• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS YURIDIS PENETAPAN TERSANGKA DALAM PRAPERADILAN (STUDI PUTUSAN PN TENGGARONG NOMOR: 2/PID.PRAP/2017/PN.TRG)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "ANALISIS YURIDIS PENETAPAN TERSANGKA DALAM PRAPERADILAN (STUDI PUTUSAN PN TENGGARONG NOMOR: 2/PID.PRAP/2017/PN.TRG)"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS YURIDIS PENETAPAN TERSANGKA DALAM PRAPERADILAN (STUDI PUTUSAN PN TENGGARONG

NOMOR: 2/PID.PRAP/2017/PN.TRG) Muhammad Fajar Wasitomo

(Mahasiswa Program S1 Fakultas Hukum Universitas Trisakti) (Email: muhammadwasitomo@yahoo.com)

Ermania Widjajanti

(Dosen Fakultas Hukum Universitas Trisakti) (Email: ermania.w@trisakti.ac.id)

ABSTRAK

Praperadilan merupakan kewenangan PN untuk memeriksa dan memutus, sesuai dengan Pasal 1 butir 10 KUHAP. Alasan pengajuan Praperadilan adalah untuk memeriksa dan memutus tentang; sah tidaknya penangkapan penahanan; sah tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan; serta ganti rugi atau rehabilitasi. Dalam Putusan Praperadilan PN Tenggarong nomor: 2/Pid.Prap/2017/PN Trg, alasan pemohon mengajukan permohonan Praperadilan mengenai penetapan tersangka berdasar Pasal 77 KUHAP jo putusan MK nomor: 21/PUU-XII/2014. Permasalahan dalam skripsi ini; Apakah jangka waktu pemeriksaan dalam Praperadilan telah sesuai dengan Pasal 82 ayat (1) huruf c?; Apakah pertimbangan hakim yang menyatakan tindakan termohon yang menetapkan pemohon sebagai tersangka adalah tidak sah dan tidak berdasarkan atas hukum. (Studi Putusan Pengadilan Negeri Tenggarong Nomor: 2/Pid.Prap/2017/PN Trg)? Metode yang digunakan dalam penelitian yaitu yuridis-normatif, penelitian ini bersifat deskriptif terhadap jangka waktu dan pertimbangan hakim. Analisis dilakukan secara kualitatif, dan cara menarik kesimpulannya dilakukan dengan deduktif. Kesimpulan penelitian ini, pemeriksaan Praperadilan diberi waktu selambat lambatnya tujuh hari sampai penjatuhan putusan Praperadilan. Pertimbangan hakim tidak sesuai dengan Pasal 1 butir 14 KUHAP jo Putusan MK nomor; 21/PUU-XII/2014, dapat dikatakan putusan Praperadilan Nomor: 2/Pid.Prap/2017/PN Trg adalah cacat formil karena bertentangan dengan aturan hukum.

(2)

A. Pendahuluan 1. Latar Belakang

Negara hukum adalah negara yang menegakkan supremasi hukum untuk menegakkan kebenaran dan keadilan dimana tidak memandang suatu kekuasaan, sehingga tidak ada kekuasaan yang tidak dapat dipertanggung jawabkan.1 Hukum adalah suatu peraturan-peraturan yang bersifat

memaksa, yang menentukan tingkah laku manusia dalam lingkungan masyarakat, yang dibuat oleh badan-badan resmi yang berwajib. Yang mana pelanggaran terhadap peraturan-peraturan tadi berakibat diambilnya tindakan, yaitu dengan hukuman tertentu.

Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 berbunyi “Indonesia Negara Hukum”. Hal ini mengakibatkan harus terpenuhinya unsur the “Rule Of Law” setidaknya wajib memiliki 3 (tiga) karateristik, yaitu: tegaknya supremasi hukum, persamaan seseorang didepan hukum dan adanya jaminan perlindungan diri atas hak. Supremasi hukum diartikan warga negara diatur oleh hukum dan dengan hukum itu sendiri seseorang dapat dihukum, bukan dihukum karena sesuatu alasan yang berbeda.2

Sistem peradilan pidana adalah hasil dari suatu konsep yang dinamis dimana terciptanya konsep tersebut dari suatu peradaban, Bentuk hukuman, dan hak-hak maupun reformasi penegakan hukum akan terus berkembang dengan adanya perubahan sosial, ekonomi, dan politik dalam suatu Negara. Dalam sistem peradilan pidana di Indonesia terdapat asumsi tentang sifat yang tidak dapat dilepaskan, yaitu sistem politik dibalik sistem perdadilan pidana di Indonesia, konsep sosial yang ada di Indonesia memiliki peran penting dalam menjelaskan cara peradilan pidana yang dipraktikkan. Pada akhirnya, gabungan dari dua hal tersebut menjadi pondasi dimana peradilan pidana didasarkan. Pada praktik, peradilan pidana rawan dalam hal

1 Mokhammad Najih, Soimin, Pengantar Hukum Indonesia (Malang: Setara Press, 2014), h.

10.

(3)

penyimpangan, karena sifat peradilan pidana di Indonesia bersifat dinamis, dan sering penerapannya masih jauh dari apa yang diharapkan.3

Praperadilan merupakan salah satu Lembaga yang diperkenalkan KUHAP ditengah-tengah kehidupan penegakan hukum. Praperadilan dalam KUHAP, Ditempatkan dalam Bab X, Bagian Kesatu, sebagai salah satu bagian ruang lingkup wewenang Pengadilan Negeri. Ditinjau dari segi struktur dan susunan peradilan, Praperadilan bukan Lembaga pengadilan yang berdiri sendiri. Praperadilan merupakan pemberian wewenang dan fungsi baru yang dilimpahkan KUHAP kepada setiap Pengadilan Negeri.4

Lahirnya praperadilan disebabkan karena sebagian besar aparat penegak hukum atau pejabat yang berwenang diberikan kewenangan untuk melakukan penyidikan,5 dalam melaksanakan kewenangannya tidak

terhindar dari kemungkinan untuk melakukan perbuatan yang bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang dapat melanggar suatu Hak Asasi Manusia. 6

Arti dari Praperadilan adalah sebelum pemeriksaan dalam sidang pengadilan. KUHAP mendifinisikan “praperadilan adalah wewenang Pengadilan Negeri untuk memeriksa dan memutus menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini, tentang:

a. “Sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atas permintaan tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangka.

b. Sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan.

3 Aristo M.A. Pangaribuan, Arsa Mufti, Ichsan Zikry, Pengantar Hukum Acara Pidana Di

Indonesia (Depok: PT Raja Grafindo, 2017), h. 1.

4. M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, (Jakarta: Sinar

Grafika, 2000), h.1.

5 Elwi Danil Dkk, Penegakan Hukum Tanpa Melanggar Hukum (Padang: PT.Raja Grafindo

Persada, 2014), h.20

6 Luhut. M.P.Pangaribuan, Hukum Acara Pidana Surat Resmi Advokat Di Pengadilan (Jakarta:

(4)

c. Permintaan ganti kerugian atau rehabilitiasi oleh tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan.”

Pihak-pihak yang dapat mengajukan permohonan Praperadilan dibedakan dengan jenis pemeriksaan yang ingin diajukan dalam Praperadilan. Pihak-pihak yang dapat mengajukan permohonan Praperadilan sebagai berikut:

a. Tersangka, keluarga, atau Kuasanya.7

b. Penyidik, Penuntut Umum, atau Pihak Ketiga yang Berkepentingan.8

c. Tersangka atau Pihak Ketiga yang Berkepentingan Menuntut Ganti Rugi dan atau Rehabilitasi.9

Pasal 77 KUHAP, berbunyi: “Pengadilan Negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini tentang:

a. Sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan.

b. Ganti kerugian dan atau rehbilitasi bagi seorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan.”10

Pada tanggal 28 April 2015 Mahkamah Konstitusi memutuskan penetapan tersangka, penyitaan, dan penggeledahan menjadi bagian kewenangan atau objek dari Praperadilan yang tercantum pada putusan Mahkamah Konstitusi nomor: 21/PUU-XII/2014.

Kasus yang terjadi di Pengadilan Negeri Tenggarong, pemohon mengajukan permohonan Praperadilan mengenai penetapan tersangka. Dalam putusan Praperadilan Pengadilan Negeri Tenggarong Nomor: 2/Pid.Prap/2017/PN Trg, dalam putusannya hakim menerima dan mengabulkan permohonan pemohon dan menyatakan tindakan termohon

7 Ramelan. Hukum Acara Pidana Teori dan Implementasi (Jakarta: Sumber Ilmu Jaya, 2006),

h. 125.

8 Ibid, h. 126.

9 Undang-Undang nomor 8 Tahun 1981, Op.Cit., Pasal 81.

(5)

yang menetapkan pemohon sebagai tersangka adalah tidak sah dan tidak berdasarkan atas hukum. Pertimbangan hakim adalah termohon tidak mempunyai bukti permulaan atau minimal dua alat bukti sehingga penetapan tersangka yang dilakukan pemohon tidak sah dan tidak berdasar atas hukum. Pada putusan tersebut, hakim dalam Pengadilan Negeri Tenggarong memeriksa dan memutus permohonan tersebut melebihi batas waktu pemeriksaan yang ditetapkan dalam Pasal 82 ayat (1) Butir c.

Pasal 82 ayat (1) huruf c KUHAP berbunyi “pemeriksaan tersebut dilakukan secara cepat dan selambat-lambatnya tujuh hari hakim sudah harus menjatuhkan putusannya.”11 Dalam putusan ini hakim memeriksa dan

memutus permohonan yang diajukan oleh pemohon mengenai penetapan tersangka melebihi jangka waktu yang diberikan oleh Pasal 82 ayat (1) huruf c.

Putusan Mahkamah Konstitusi nomor: 21/PUU-XII/2014 dalam dictum putusan angka 1.1 dan angka 1.2 yaitu: “sepanjang tidak dimaknai bahwa bukti permulaan yang cukup dan bukti yang cukup adalah minimal dua alat bukti yang termuat dalam Pasal 184 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.”12 Dalam putusan MK ini menyatakan

seseorang yang ditetapkan sebagai tersangka harus didasarkan minimal 2 (dua) alat bukti. Mengenai peraturan tersebut, terdapat perbedaan dalam realita dengan ketentuan hukum yang diterapkan dalam Putusan Praperadilan Nomor 2/Pid.Prap/2017/PN Trg.

Adapun terhadap apa yang telah diuraikan penulis di atas terkait adanya ketidaksesuaian antara ketentuan hukum yang ada, dengan apa yang diterapkan dalam suatu putusan. Maka penulis merasa terdorong untuk melakukan penelitian lebih jauh dengan menuangkannya dalam penulisan skripsi yang berjudul “Analisis Yuridis Penetapan Tersangka Dalam Praperadilan (Studi Putusan PN Tenggarong Nomor: 2/Pid.Prap/2017/PN Trg).”

11 Ibid, Pasal 82 ayat (1) huruf c.

(6)

2. Pokok Permasalahan

Berdasarkan apa yang telah diuraikan pada latar belakang dalam penelitian ini, timbulah beberapa permasalahan. Adapun yang menjadi permasalahan di sini adalah sebagai berikut:

a. Apakah jangka waktu pemeriksaan dalam Praperadilan telah sesuai dengan Pasal 82 ayat (1) huruf c?

b. Apakah pertimbangan hakim yang menyatakan tindakan termohon yang menetapkan pemohon sebagai tersangka adalah tidak sah dan tidak berdasarkan atas hukum. (Studi Putusan Pengadilan Negeri Tenggarong Nomor: 2/Pid.Prap/2017/PN Trg)?

B. Metode Penelitian

Menurut Soerjono Soekanto, penelitian hukum merupakan suatu bentuk kegiatan ilmiah, yang didasarkan pada metode, sistematika, dan pemikiran tertentu, yang bertujuan untuk mempelajari suatu atau beberapa gejala hukum tertentu, dengan jalan menganalisanya. Disamping itu, dilakukan juga pemeriksaan secara mendalam terhadap suatu faktor hukum tersebut, untuk kemudian mengusahakan suatu pemecahan atas permasalahan-permasalahan yang timbul di dalam gejala yang bersangkutan13.

1. Objek Penelitian

Penelitian yang penulis lakukan mengenai “jangka waktu pemeriksaan Praperadilan, serta pertimbangan hakim dalam memutus dan mengabulkan yang menyatakan penetapan tersangka oleh termohon kepada pemohon dinyatakan tidak sah dan tidak berdasar atas hukum, dalam Praperadilan Pengadilan Negeri Antara Rudy Tanair Melawan Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Studi Putusan Praperadilan Nomor: 2/Pid.Prap/2017/PN Trg)”.

(7)

2. Sifat Penelitian

Penelitian ini bersifat deskriptif, analisis penelitian yang berusaha menggambarkan secara lengkap aspek-aspek hukum dari suatu keadaan.14

3. Data dan Sumber Data

Berdasarkan jenis dan bentuknya, data yang diperlukan dalam penelitian ini adalah data sekunder. Data Sekunder adalah data yang diperoleh dari bahan pustaka.

4. Cara Pengumpulan Data

Pengumpulan data yang digunakan adalah studi kepustakaan yaitu bahan-bahan pustaka yang diperlukan banyak terdapat di Perpustakaan, penulis melakukan studi kepustakaan di Perpustakaan Universitas Trisakti, Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, Perpustakaan Mahkamah Agung Republik Indonesia, penulis juga menghimpun bahan-bahan pustaka melalui media elektronik atau mengaksesnya melalui internet.

5. Analisis Data

Data hasil penelitian ini dianalisis secara kualitatif..15

6. Cara Menarik Kesimpulan

Cara menarik kesimpulan dalam penelitian ini adalah dengan cara metode deduktif.

14Ibid., h. 49.

15 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2009),

(8)

C. ANALISA HASIL PEMBAHASAN

1. Analisa Batas Waktu Dalam Pemeriksaan Praperadilan Berdasarkan Pasal 82 ayat (1) huruf c

Rudy Tanair memberikan kuasa kepada kuasa hukumnya yaitu Mulyati,S.H.,CIL dan Wamamu,S.H.,CIL untuk mengajukan permohonan Praperadilan kepada Ketua Pengadilan Negeri Tenggarong pada tanggal 23 Nopember 2017 dengan alasan penetapan tersangka yang dilakukan oleh termohon atau penyidik merupakan tindakan kesewenang-wenangan dan bertentangan dengan asas kepastian hukum. Kuasa hukum pemohon telah diberitahukan oleh pengacara pelapor bahwa pemohon adalah orang yang dicari oleh Kepolisian yang dalam hal ini adalah penyidik untuk dihadapkan ke Jaksa Penuntut Umum Kejaksaan Negeri Tenggarong guna proses lebih lanjut perkara pidana yang dilakukan oleh pemohon. Sampai perkara Praperadilan ini diajukan kepada Pengadilan Negeri Tenggarong yang dilakukan pemohon dengan Nomor: 2/Pid.Prap/2017/PN Trg, Praperadilan ini hanya dihadiri oleh kuasa hukum dari Rudy Tanair yang sudah ditetapkan sebagai tersangka, tanpa dihadiri oleh Rudy Tanair yang juga sudah ditetapkan sebagai Daftar Pencarian orang.

Setelah pemohon mengajukan permohonan Praperadilan mengenai penetapan tersangka pada tanggal 23 Nopember 2017 dimana pada tanggal tersebut proses pemeriksaan persidangan mulai dilakukan, pada akhirnya hakim memutus yang menyatakan tindakan termohon yang menetapkan pemohon sebagai tersangka dengan dugaan tindak pidana penipuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 378 KUHP adalah tidak sah dan tidak berdasar atas hukum oleh karenanya penetapan tersangka tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat kepada pemohon pada tanggal putusannya yaitu 15 Desember 2017.

(9)

Pasal 82 ayat (1) huruf c mengatakan pemeriksaan yang dilakukan dalam Praperadilan merupakan pemeriksaan yang dilakukan secara cepat, dan diberi Batasan waktu untuk memutus permohonan Praperadilan tersebut, hakim dalam Praperadilan hanya diberi waktu selambat-lambatnya tujuh hari untuk melakukan pemeriksaan sampai adanya putusan yang dikeluarkan hakim. Pada kenyataannya dalam putusan Praperadilan nomor: 2/Pid.Prap/2017/ PN Trg terhitung sejak pemohon mengajukan permohonan mengenai penetapan tersangka kepada Ketua Pengadilan Negeri Tenggarong pada tanggal 23 Nopember 2017, dimana pada tanggal tersebut telah dilakukan penunjukan hakim tunggal dan seorang panitera. Terhitung sejak tanggal 23 Nopember 2017 sampai dengan adanya putusan Praperadilan Nomor: 2/Pid.Prap/2017/PN Trg pada tanggal 15 Desember 2017, hakim dalam pemeriksaan sampai adanya putusan tersebut telah melewati jangka waktu yang di tentukan dalam Pasal 82 ayat (1) huruf c KUHAP.

Melihat adanya kewenangan Praperadilan dalam Pasal 77 KUHAP yang kemudian diperluas dengan adanya putusan MK nomor: 21/PUU-XII/2014 mengenai penetapan tersangka masuk kedalam kewenangan atau ruang lingkup dari Praperadilan. Dalam kasus permohonan yang diajukan oleh pemohon mengenai penetapan tersangka kepada Praperadilan tepat karena sudah adanya perluasan kewenangan dengan adanya Putusan MK nomor: 21/PUU-XII/2014, walaupun pemohon sudah ditetapkan sebagai DPO dan pada saat pemeriksaan Praperadilan dimulai hanya dihadiri oleh kuasa hukumnya saja.

Dalam Praperadilan nomor: 2/Pid.Prap/2017/PN Trg pada saat pemeriksaan Praperadilan sampai adanya putusan hakim, terhitung dari 23 Nopember 2017 sampai 15 Desember 2017, menurut penulis pemeriksaan yang dilakukan oleh hakim Praperadilan sampai adanya putusan yang dikeluarkan oleh hakim, terhitung sejak

(10)

tanggal pengajuan permohonan Praperadilan mengenai penetapan tersangka tanggal 23 Nopember 2017 sampai 15 Desember 2017 telah melewati batas waktu yang sudah ditentukan dalam aturan mengenai proses pemeriksaan Praperadilan sebagaimana dalam Pasal 82 ayat (1) huruf c, yang memberikan waktu kepada hakim selambat-lambatnya tujuh hari dari pemeriksaan sampai adanya putusan. Menurut penulis putusan yang dikeluarkan oleh hakim Praperadilan nomor: 2/Pid.Prap/2017 PN Trg adalah tidak sesuai dengan aturan mengenai pemeriksaan dalam Praperadilan sebagaimana tercantum dalam Pasal 82 ayat (1) huruf c, menurut penulis putusan tersebut cacat formil, dikarenakan hakim dalam pemeriksaan sampai hakim mengeluarkan suatu putusan telah melewati batas waktu yang diberikan oleh Pasal 82 ayat (1) huruf, dan tidak terpenuhinya asas Peradilan cepat, sederhana dan biaya ringan.

2. Analisa Mengenai Pertimbangan Hakim Dalam Putusan Praperadilan Nomor: 2/Pid.Prap/2017/PN Trg yang Dalam Pertimbangannya Menyatakan Tindakan Termohon yang Menetapkan Pemohon Sebagai Tersangka Adalah Tidak Sah dan Tidak Berdasar Pada Hukum

Dalam putusan Praperadilan nomor: 2/Pid.Prap/2017/PN Trg hakim mengabulkan permohonan Praperadilan yang diajukan oleh pemohon (Rudy Tanair) mengenai penetapan tersangka, dan dalam putusannya hakim memutus bahwa tindakan termohon yang menetapkan pemohon sebagai tersangka adalah tidak sah dan tidak berdasar kepada hukum, dengan pertimbangan bahwa terhadap penetapan pemohon sebagai tersangka dengan merujuk pada asas hukum serta kaidah formal yang diatur dalam undang-undang, penetapan termohon tersebut tidak memenuhi kaidah bukti permulaan, dan minimal 2 (dua) alat bukti untuk menduganya sebagai pelaku tindak pidana sebagaimana diatur dalam pada Pasal 1 angka 14

(11)

Undang-undang Republik Indonesia nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP jo Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 21/PUU-XII/2014 yang dapat dikonstruksikan seseorang ditetapkan sebagai tersangka apabila karena perbuatannya atay keadaannya, berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana. Menyangkut maksud dan bukti permulaan dalam ketentuan tersebut ditegaskan kembali dalam putusan Mahkamah Konstitusi sebagaimana tercantum dalam dictum putusan 1.1 dan angka 1.2 yaitu sepanjang tidak dimaknai bahwa “bukti permulaan”, “bukti permulaan yang cukup” dan bukti yang cukup” adalah minimal dua alat bukti yang termuat dalam Pasal 184 KUHAP. Menurut penulis pertimbangan hakim yang menyatakan tindakan termohon yang menetapkan pemohon sebagai tersangka tidak sah dan tidak berdasar atas hukum, dapat dikatakan petimbangan hakim tersebut cacat formil, dikarenakan termohon atau penyidik sudah mendapatkan bukti permulaan, kemudian termohon dalam menetapkan pemohon sebagai tersangka, melakukan prosedur yang ada dalam KUHAP, termohon telah melakukan pemeriksaan kepada saksi, kemudian pemohon menetapkan termohon sebagai tersangka setelah mendengarkan keterangan dari seorang ahli yaitu Dr. Chairul Huda.S.H., M.H. kemudian termohon mempunyai surat yaitu surat penyitaan milik termohon. Jaksa sudah mengeluarkan surat mengenai P.21 dan P.21 A yang menyatakan berkas yang dikumpulkan oleh termohon sudah lengkap. D. PENUTUP

1. Kesimpulan

a. Analisa Jangka Waktu Pemeriksaan Praperadilan Berdasarkan Pasal 82 ayat (1) Huruf C adalah pemeriksaan sampai adanya suatu putusan Praperadilan yang dilakukan secara cepat, dan diberi Batas waktu selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari. dalam mengajukan permohonan Praperadilan kepada Ketua Pengadilan Negeri memperhatikan kewenangan atau ruang lingkup yang dimiliki oleh Lembaga Praperadilan. Kewenangan atau ruang lingkup dari Praperadilan sudah

(12)

diatur dalam Pasal 77 KUHAP jo Putusan Mahkamah Konstitusi nomor: 21/PUU-XII/2014. Proses pemeriksaan dalam Praperadilan sampai penjatuhan putusan oleh hakim diberikan waktu selambat-lambatnya tujuh hari, diatur dalam Pasal 82 ayat (1) huruf c. Dalam Hukum Acara Pidana juga dikenal asas peradilan cepat, sederhana dan biaya ringan, namun pada kenyataannya dalam putusan Praperadilan Pengadilan Negeri Tenggarong nomor: 2/Pid.Prap/2017/PN Trg tidak sesuai dengan Pasal 82 ayat (1) huruf c. Penulis berkesimpulan putusan Praperadilan nomor: 2/Pid.Prap/2017/ PN Trg adalah cacat formil.

b. Analisa Yuridis Pertimbangan Hakim Yang Menyatakan Tindakan Termohon Yang Menetapkan Pemohon Sebagai Tersangka Adalah Tidak Sah Atau Tidak Berdasar Atas Hukum (Studi Putusan PN Tenggarong nomor: 2/Pid.Prap/2017/PN Trg) adalah hakim merujuk kepada ketentuan Pasal 1 angka 14 KUHAP jo Putusan MK nomor 21/PUU-XII/2014. Menurut penulis jika hakim dalam pertimbangannya mengacu kepada aturan hukum pada Pasal 1 angka 14 Undang-undang Republik Indonesia nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP jo Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 21/PUU-XII/2014 yang dikonstruksikan seseorang ditetapkan sebagai tersangka apabila karena perbuatannya atau keadaannya, berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana. Menyangkut maksud dan bukti permulaan dalam ketentuan tersebut ditegaskan kembali dalam putusan Mahkamah Konstitusi sebagaimana tercantum dalam dictum putusan 1.1 dan angka 1.2 yaitu sepanjang tidak dimaknai bahwa “bukti permulaan”, “bukti permulaan yang cukup” dan bukti yang cukup” adalah minimal dua alat bukti yang termuat dalam Pasal 184 KUHAP. Menurut penulis pertimbangan hakim yang menyatakan tindakan termohon yang menetapkan pemohon sebagai tersangka tidak sah dan tidak berdasar atas hukum, dapat dikatakan petimbangan hakim tersebut cacat formil. 2. Saran

(13)

a. Hakim memperhatikan aturan hukum yang mengatur mengenai proses pemeriksaan dalam Praperadilan, serta asas asas yang terkandung dalam Hukum Acara Pidana agar putusannya tidak dikatakan cacat formil atau bertentangan dengan aturan hukum yang terkait.

b. Hakim diharapkan berhati-hati dalam memeriksa dan mempertimbangkan hukum, untuk mendapatkan putusan yang menjunjung tinggi nilai kebenaran dan keadilan.

DAFTAR REFERENSI

A.C Abdul Hakim G, Hart. Hukum Acara Pidana Dalam Perspektif Hak Asasi

Manusia. Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, 1996.

Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana,Jakarta: PT Rineka Cipta, 2014.

Aristo M.A. Pangaribuan, Arsa Mufti, Ichsan Zikry, Pengantar Hukum Acara

Pidana Di Indonesia Depok: PT Raja Grafindo, 2017.

Elwi Danil, dkk. Menegakkan Hukum Tanpa Melanggar Hukum, Padang: PT Raja Grafindo Persada, 2015.

Luhut M.P. Pangaribuan, Hukum Acara Pidana Surat Resmi Advokat di

Pengadilan, Jakarta: Papas Sianar Sinanti, 2014.

M. Mawran, Jimmy P, Kamus Hukum (Dictionary Law Complete Edition), Surabaya: Realite Publisher, 2009.

M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Jakarta: Sinar Grafika, 2000.

Mokhammad Najih, Soimin, Pengantar Hukum Indonesia, Malang: Setia Press, 2014.

Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2009.

Poernomo, Bambang Seri Hukum Acara Pidana Pandangan terhadap Asas-Asas

(14)

Ramelan Hukum Acara Pidana Teori dan Implementasi Jakarta: Sumber Ilmu Jaya, 2005.

Simanjuntak, Nikolas. Acara Pidana Dalam Sirkus Hukum. Ghalia Indonesia, 2009.

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: UI Press, 1986.

Sudibyo Triatmojo, Pelaksanaan Penahanan dan Kemungkinan Yang Ada dalam

KUHAP, Bandung: Alumni, 1982.

Taufik Makarao, Mohamad dan Suhasril. Hukum Acara Pidana Dalam Teori dan

Praktek. Ghalia Indonesia, 2010.

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana Undang-undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman

Referensi

Dokumen terkait

Dalam penulisan skripsi ini, penulis akan melakukan perancangan suatu program aplikasi yang dapat mengolah data-data percobaan pertanian menggunakan analisis ragam dan

PERENCANAAN ULANG TIMBUNAN OPRIT DAN ABUTMENT JEMBATAN PLASMA BATU TUGU- PLASMA TANJUNG KURUNG, PALEMBANG (YANG MENGALAMI KERUNTUHAN SEBELUMNYA PADA SAAT PELAKSANAAN).. RIF’

Kajian ini bertujuan mengkaji (1) tahap penggunaan bahasa Arab lisan dalam kalangan pelajar UiTM, (2) hubungan korelasi antara penggunaan bahasa Arab lisan dengan

Penjelasan tersebut di atas dapat menjadi pertimbangan bahwa memang hak merek dapat dikategorikan sebagai benda/ harta yang kemudian tentunya dapat dijadikan

bertentangan untuk dapat mengetahui manakah di antara yang lebih kuat dibandingkan dengan yang lainnya. Sebagaimana diketahui, hadits sebagai hujjah bukan hanya

Meskipun tidak ada perbedaan pada performa pertumbuhan antara kolam dengan rasio Na/K ideal (kolam B) dengan rasio Na/K tinggi (kolam C), namun secara fisiologis

Peubah Bji ini terdiri dari harga komoditas lada hitam (Pik ) dan pengeluaran negara –i yang digunakan untuk konsumsi lada putih negara-j (Eij). Pada simulasi ini diasumsikan

stok karbon aboveground pool dansoil pool pada studi ini, setidaknya hutan mangrove primer Delta Mahakam menyimpan sekitar 741,9 MgC/hektar atau setara dengan. 2.722,7 MgCO