• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENYIMPANGAN PENGGUNAAN RAGAM BAHASA PRIA OLEH PENUTUR WANITA DALAM KOMIK GYARUZU ギャルズ の漫画における女性語話者による男性語の使用偏差 SKRIPSI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "PENYIMPANGAN PENGGUNAAN RAGAM BAHASA PRIA OLEH PENUTUR WANITA DALAM KOMIK GYARUZU ギャルズ の漫画における女性語話者による男性語の使用偏差 SKRIPSI"

Copied!
102
0
0

Teks penuh

(1)

PENYIMPANGAN PENGGUNAAN RAGAM BAHASA PRIA OLEH PENUTUR WANITA DALAM KOMIK GYARUZU

「ギャルズ」の漫画における女性語話者による男性語の使用偏差

SKRIPSI

Skripsi ini diajukan kepada panitia ujian Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Medan untuk melengkapi salah satu syarat ujian sarjana

dalam bidang ilmu Sastra Jepang OLEH

KEVIN YOHANES BATARA NIM : 160722014

PROGRAM STUDI SASTRA JEPANG EKSTENSI FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2018

(2)

PENYIMPANGAN PENGGUNAAN RAGAM BAHASA PRIA OLEH PENUTUR WANITA DALAM KOMIK GYARUZU

「ギャルズ」の漫画における女性話者による男性語の使用の偏差」

SKRIPSI

Skripsi ini diajukan kepada panitia ujian Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Medan untuk melengkapi salah satu syarat ujian sarjana

dalam bidang ilmu Sastra Jepang

Pembimbing I Pembimbing II

Dr. Siti Muharami Malayu, M.Hum Prof. Hamzon Situmorang, MS.,Ph.D NIP. 196106282006042001 NIP. 195807041984121001

PROGRAM STUDI SASTRA JEPANG EKSTENSI FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2018

(3)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, yang telah memberikan segala berkat, hikmah, serta rahmat-Nya sehingga penulis dapat diberikan kesehatan, ketabahan, serta petunjuk sampai pada masa penulisan skripsi ini yang berjudul “PENYIMPANGAN PENGGUNAAN RAGAM BAHASA PRIA OLEH PENUTUR WANITA DALAM KOMIK GYARUZU “.

Penulisan skripsi ini merupakan suatu syarat yang harus dipenuhi untuk memperoleh gelar Sarjana di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara.

Dalam proses penyelesaian skripsi ini, penulis mendapat banyak bantuan baik berupa bimbingan maupun arahan, bantuan secara moril maupun materil. Untuk itu penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih sedalam-dalamnya kepada pihak yang telah membantu penulis dalam penyelesaian skripsi ini, yakni kepada :

1. Bapak Dr. Budi Agustono, M.Si, selaku Dekan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof. Hamzon Situmorang, MS.,Ph.D, selaku Ketua Program Studi Sastra Jepang Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara.

3. Ibu Dr. Siti Muharami Malayu, M.Hum, selaku Dosen Pembimbing I penulis yang telah meluangkan banyak sekali waktu dan perhatian yang penuh untuk membimbing penulis dalam penyusunan skripsi ini ditengah-tengah kesibukan beliau.

4. Bapak Prof. Hamzon Situmorang, MS., Ph.D, selaku Dosen Pembimbing II penulis yang telah meluangkan waktu untuk membimbing penulis dalam penyusunan skripsi ini.

(4)

5. Seluruh dosen Departemen Sastra Jepang Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan ilmu yang sangat berguna bagi penulis. Dan juga kepada staf administrasi Departemen Sastra Jepang yang selalu membantu mengurus keperluan akademik dan surat-menyurat penulis.

6. Keluarga dan terkhusus kepada kedua orang tua yang sangat penulis cintai dan kasihi, Ayahanda Harlen Manurung, dan Ibunda Reni Br.

Sitompul yang telah memberikan banyak sekali dukungan, semangat, nasihat, dan doa kepada penulis untuk terus fokus menjalani dan menekuni dunia pendidikan. Saya berdoa semoga Tuhan yang senantiasa memberikan kesehatan, rezeki, dan berkat-berkat-Nya kepada bapak dan mama serta membalas segala kebaikan yang telah diberikan kepada penulis.

7. Sahabat-sahabat saya “KITAKITAAJA” yang saya kasihi, Theodoric Sebayang, Sony Chandra Lumban Tobing, Albert Hutajulu, Yeni Simbolon, Vania Chandra, dan Ledy Batubara yang telah memberikan perhatian, dukungan doa, semangat dan yang menjadi penghibur dikala penulis gundah gulana hatinya. Serta kepada kakak-kakak Rohani penulis, kak Lingling dan kak Fungling yang selama ini telah memberikan kepada saya dukungan, perhatian, bimbingan serta doanya kepada penulis hingga masa penyelesaian skripsi ini. Semoga Tuhan yang membalas segala kebaikan dan kasih yang telah diberikan kepada penulis selama ini.

(5)

8. Adik teristimewa di hati saya Erika Handayani Zega yang telah memberikan perhatian, semangat, motivasi, hiburan, dan yang terutama dukungan doa kepada penulis dalam penyelesaian skripsi ini.

9. Teman-teman BBB Squad, Friska Ratzan Riana, Dea Shafira Andhini, Fitri Udani Siagian, dan Rahul Syahputra Sihaloho yang sudah bersama- sama bahkan membantu penulis dari awal hingga akhir pengerjaan skripsi ini. Serta yang selalu juga memberikan hiburan-hiburan, dan yang selalu mendengarkan keluh dan omelan dari penulis.

10. Teman-teman Sastra Jepang Ekstensi stambuk 2016. Terima kasih atas kebersamaannya selama masa perkuliahan ini, dukungan, semangat yang senantiasa kalian berikan serta kenangan terindah yang mungkin tidak akan penulis lupakan.

Semoga Tuhan Yang Maha Esa akan memberikan balasan atas semua kasih dan kebaikan yang diberikan dengan tulus dan ikhlas. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kata sempurna, oleh sebab itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun sebagai bekal bagi penulis demi kesempurnaan skripsi ini.

Medan, Januari 2018 Penulis

Kevin Yohanes Batara 160722014

(6)

DAFTAR ISI

Hal

KATA PENGANTAR . . . .i

DAFTAR ISI . . . iv

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah . . . .1

1.2 Perumusan Masalah . . . .6

1.3 Ruang Lingkup Pembahasan . . . . . . . .8

1.4 Tinjauan Pustaka dan Kerangka Teori . . . . . . . 8

1.5 Tujuan dan Manfaat Penelitian . . . .11

1.6 Metode Penelitian . . . .12

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG DANSEIGO DAN JOSEIGO 2.1 Sejarah Danseigo dan Joseigo . . . 14

2.2 Konsep dan Pandangan mengenai Pria dalam Bahasa Jepang . . 19

2.3 Konsep dan Pandangan mengenai Wanita dalam Bahasa Jepang19 2.4 Perbedaan Danseigo dan Joseigo . . . . . 24

2.4.1 Danseigo dan Joseigo dalam Shuujoshi (Partikel Akhir) 24 2.4.2 Danseigo dan Joseigodalam Kandoushi (Interjeksi) . . . . .29

2.4.3 Danseigo dan Joseigo dalam Ninshou Daimeishi (Pronomina Persona) . . . .32

2.5 Penyimpangan Penggunaan Ragam Bahasa . . . .38

2.6 Komik Gyaruzu . . . .39

(7)

BAB III ANALISIS PENYIMPANGAN DANSEIGO OLEH PENUTUR WANITA DALAM KOMIK GYARUZU

3.1 Bentuk – Bentuk Ragam Bahasa Pria (Danseigo) Oleh Penutur

Wanita dalam Komik Gyaruzu. . . .43

3.1.1 Shuujoshi (Partikel Akhir) . . . 43

1. よ (Yo) . . . .44

2. さ (Sa) . . . .46

3. ぜ (Ze) . . . .49

4. ぞ (Zo) . . . .51

5. かな (Kana) . . . 52

3.1.2 Kandoushi (Interjeksi) . . . 55

1. おう (Ou) . . . 55

2. おい (Oi) . . . .57

3. いや (Iya) . . . 59

3.1.3 Ninshoo Daimeishi (Pronomina Persona) . . . .61

1. じぶん (Jibun) . . . .61

2. おまえ (Omae) . . . 63

3. こいつ (Koitsu) . . . .65

4. あいつ (Aitsu) . . . .67

3.2 Bagaimana Faktor-Faktor Penyebab Terjadinya Penyimpangan dalam Danseigo . . . 68

3.2.1 Faktor Usia . . . 69

3.2.2 Faktor Keakraban Keanggotaan (Uchi) . . . 70

(8)

3.2.3 Faktor Status Sosial . . . 71 3.2.4 Faktor Situasi . . . .72 BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN

4.1 Kesimpulan . . . .. . . . . . 76 4.2 Saran. . . . . . 77 DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN ABSTRAK

(9)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Manusia merupakan bagian dari masyarakat sosial yang hidupnya selalu bergantung dan berkelompok-kelompok dengan anggota masyarakat lainnya.

Sebagai makhluk sosial, manusia membutuhkan bahasa sebagai sarana untuk mengungkapkan perasaan, pendapat, ataupun keinginannya kepada manusia lainnya.Bahasa merupakan sistem tanda bunyi yang disepakati untuk dipergunakan oleh para anggota kelompok masyarakat tertentu untuk bekerja sama, berkomunikasi, dan mengidentifikasikan diri (Kridalaksana, 2005 : 3).

Tidak ada bahasa yang tidak memiliki masyarakat penutur, sebaliknya tidak ada masyarakat yang tidak memiliki bahasa. Bahasa identik dengan masyarakat penuturnya. Dalam satu masyarakat penutur bahasa, dimungkinkan adanya perbedaan bentuk ungkapan yang dikarenakan adanya tuntutan sistem norma masyarakat penuturnya. Seiring berkembangnya zaman, kebudayaan manusiapun ikut berubah sedikit demi sedikit dari waktu ke waktu, dan bahasa yang juga menjadi bagian dari kebudayaan itupun juga ikut berubah. Hal ini mencerminkan sifat dari bahasa itu sendiri tidak statis, melainkan dinamis dan selalu berubah menurut masyarakat dan kebudayaan penuturnya. Hingga demikian, bahasa itupun menjadi beragam dan bervariasi. Terjadinya keragaman atau kevariasian bahasa ini bukan hanya disebabkan oleh para penuturnya yang tidak homogen, tetapi juga karena adanya kegiatan interaksi sosial yang mereka lakukan sangatlah beragam (Chaer dan Leonie, 1995 : 80). Bahasa dapat dikelompokkan sesuai dengan faktor

(10)

letak geografis atau region maupun sosialnya, yang kemudian dari sinilah dapat dikenali bahasa atau tuturan yang digunakan oleh seseorang ketika berkomunikasi.

Jadi, sebenarnya masyarakat mampu bertutur menurut aturan dan kaidah bahasa yang sesuai dengan latar belakang masing-masing. Misalnya bahasa yang digunakan pada saat percakapan sehari-hari dengan teman, kolega, atasan, sampai pada bahasa yang digunakan kepada orang yang baru dikenal atau pada saat resmi maupun acara kedinasan tentulah berbeda satu dengan yang lainnya.

Bahasa dituangkan dalam ilmu linguistik. Salah satu tataran linguistik yakni sosiolinguistik. Sosiolinguistik merupakan salah satu cabang linguistik yang mengkaji tentang ciri-ciri dan pelbagai varietas budaya, serta hubungan di antara para bangsawan dengan ciri fungsi variasi bahasa itu dalam suatu masyarakat bahasa (Kridalaksana, dalam Pateda 1990 : 2). Sedangkan dalam Abdul Chaer (2004 : 4) menyebutkan bahwa sosiolinguistik adalah pengembangan subbidang linguistik yang memfokuskan penelitian pada variasi ujaran, serta mengkaji dalam konteks sosial. Sosiolinguistik meneliti korelasi antara faktor-faktor sosial itu dengan variasi bahasa.

Bahasa Jepang sekarang ini menjadi sangat diminati seiring berkembangnya manga dan anime yang masuk ke Indonesia. Dengan membaca ataupun menonton, secara tidak langsung pembaca ataupun penonton mendapatkan sesuatu mengenai Jepang. Hal ini memunculkan rasa penasaran dan keingintahuan untuk lebih mengetahui informasi-informasi mengenai Jepang baik dari segi budaya maupun bahasanya.Bahasa Jepang sendiri memiliki berbagai varian baik dari segi ragam bahasa maupun huruf. Dalam penggunaannya, ragam bahasa Jepang memiliki aturan penggunaan yang dapat dipakai oleh siapa saja, kapan saja, dan dimana

(11)

saja. Menurut (Tadao, 1995 : 911) menyebutkan di dalam bahasa Jepang, pembatasan pada aspek fungsi sosial dan budaya dengan menggunakan garis pembatas gender masih kuat. Gender merupakan perbedaan jenis kelamin pria dan wanita yang dibentuk secara sosial dan budaya sehingga melahirkan danseigo (ragam bahasa pria) dan joseigo (ragam bahasa wanita). Kedua gaya bahasa tersebut memiliki perbedaan - perbedaan yang menjadi keunikan tersendiri dalam bahasa Jepang dan hal ini dikemukakan oleh (Sanada, 2000 : 19) :

男女の間で使用する言葉に相違が見られることは、日本語の一つの特 徴であると思われている。

Danjo no aida de shiyou suru kotoba ni soui ga mirareru koto wa, nihongo no hitotsu no tokuchou de aru to omowareteiru.

“Perbedaan – perbedaan yang dapat dilihat dalam penggunaan bahasa yang digunakan antara pria dan wanita merupakan salah satu karakteristik dari bahasa Jepang”.

Di dalam bahasa Jepang, perbedaan danseigo (ragam bahasa pria) dan joseigo (ragam bahasa wanita) dapat diamati dari beberapa aspek kebahasaannya, yakni partikel yang dipakai pada akhir ungkapan/kata (shuujoshi), interjeksi/kata seru (kandoushi), pronomina persona (ninshou daimeishi), dan lain-lain. Dalam shuujoshi pada penggunaan joseigo (ragam bahasa wanita) menggunakan akhiran

„wa’ ( わ ), „wayo’ ( わ よ ), „wane‟ ( わ ね ), „no‟ ( の ) dan lain - lain. Yang merefleksikan bahwa ragam bahasa wanita menjadikan bahasa yang diucapkan lemah lembut dan tidak menunjukkan ketegasan atau kekuatan melainkan untuk menghaluskan atau melemahkan pendapat, kesimpulan, keputusan, pikiran, atau pertanyaan - pertanyaan penuturnya, sehingga mereka terkesan ramah dan sopan.

(12)

Sedangkan dalam shuujoshi pada penggunaan danseigo (ragam bahasa pria) menggunakan akhiran „zo‟ (ぞ), „ze‟ (ぜ), „dayo‟ (だよ), „dane‟ (だね), „darou‟

( だ ろ う ), dan lain-lain. Yang merefleksikan bahwa ragam bahasa pria menunjukkan kemaskulinitas penuturnya sebagai insan yang tegas, berani, kuat, penuh percaya diri, penuh kepastian, atau cepat dalam mengambil keputusan.Sebagai gambaran, contoh shuujoshi yang digunakan oleh pria dan wanita beserta contohnya dalam (Susumu, 2015) :

1). 今日も暑いな。

Kyou mo atsui na 2). 今日も暑いわ。

Kyou mo atsui wa 3). 今日も暑いぞ。

Kyou mo atsui zo 4). 今日も暑いぜ。

Kyou mo atsui ze 5). 今日も暑いわね。

Kyou mo atsui wane

Saat kita tidak mengetahui siapa yang mengucapkan ungkapan diatas, kita tidak dapat membedakan apakah itu ungkapan yang diucapkan oleh pria atau wanita, sebab tidak tampak adanya perbedaan ragam bahasa pria dan ragam bahasa wanita. Tetapi bagi yang sudah terbiasa dengan danseigo (ragam bahasa pria) dan joseigo (ragam bahasa wanita) pasti dapat dengan mudah menentukan gender penuturnya.

(13)

Dalam contoh 1, 3, dan 4 merupakan ragam bahasa yang dipakai oleh pria yang menunjukkan adanya ketegasan, sedangkan contoh 2, dan 5 merupakan ragam bahasa yang dipakai oleh wanita yang menunjukkan adanya kefeminitasan, dan ke lemahlembutan pembicara.

Seiring berjalannya waktu, terbukti bahwa sifat bahasa adalah dinamis.

Bahasa selalu berubah-ubah sesuai dengan masyarakat dan kebudayaan penuturnya. Bila masyarakat dan kebudayaannya berubah, maka bahasapun ikut berubah. Sehingga tak dipungkiri bila dewasa ini terjadi penyimpangan dalam pemakaian bahasa menurut gendernya, khususnya pada bahasa Jepang. Dalam kasus yang telah dipaparkan diatas, penggunaan ragam bahasa pria juga terdapat dalam manga Gyaruzu karya Fuji Imihona yang digunakan oleh penutur wanita sebagai berikut :

1). 今さらおそい!ほれ行くぞ!

Ima sara osoi! Hore ikuzo!

„Sekarang aku terlambat lagi! Ayo pergi!‟

Pada contoh penggalan percakapan diatas tejadi penyimpangan ragam bahasa dari segi aspek kebahasaan shuujoshi (partikel akhir). Shuujoshi (partikel akhir) zo sebenarnya hanya patut diucapkan oleh penutur pria. Para penutur pria baisa menggunakannya terhadap orang yang akrab hubungannya, atau lebih rendah kedudukannya untuk mengambil perhatian atau mengeraskan nada ucapan.

Hal tersebut menjadi alasan bagi penutur wanita untuk menegaskan ungkapan agar menarik perhatian lawan bicara.

Disamping itu, bukan hanya dari aspek kebahasaan shuujoshi (partikel akhir) saja yang ditemukan oleh penulis. Ada beberapa aspek kebahasaan yang

(14)

mengalami pergeseran ragam bahasa dalam manga Gyaruzu karya Fuji Imihona, yakni kandoushi (interjeksi/kata seru), dan ninshou daimeishi (pronomina persona). Oleh karena itu, penulis tertarik untuk meneliti lebih dalam mengenai pemakaian danseigo (ragam bahasa pria) oleh penutur wanita. Penulis menggunakan kajian sosiolinguistik, karena gaya bahasa yang digunakan oleh penutur pria dan wanita berkaitan dengan faktor sosial masyarakat. Dengan dilatarbelakangi oleh hal-hal yang telah dijelaskan sebelumnya, maka penulis tertarik untuk membahas “Penyimpangan Pengunaan Ragam Bahasa Pria Oleh Penutur Wanita Dalam Komik Gyaruzu karya Fuji Imihona tahun 2002”.

1.2 Perumusan Masalah

Bahasa Jepang memiliki kategori gramatikal berdasarkan diferensiasi gender penuturnya yaitu danseigo (ragam bahasa pria) danjoseigo (ragam bahasa wanita). Ragam bahasa merupakan variasi bahasa menurut pemakaian yang berbeda-beda menurut topik yang dibicarakan, menurut hubungan pembicara, lawan bicara, orang yang dibicarakan, serta menurut medium pembicara.Ditambah karena adanya perbedaan gender, selain itu dalam perkembangannya sebagai salah satu akibat dari kemajuan peradaban masyarakat wanita Jepang saat ini yang menunjukkan adanya gejala pergeseran pada aspek gaya hidup dan pola pikir sehingga menimbulkan penyimpangan pemakaian ragam bahasa pada komik Gyaruzu karya Fuji Imihona, halaman 17 percakapan antara penutur wanita Kotobuki Randengan Hoshino Aya :

寿蘭:自分嫌いなやつが人に好きになってもらうなんてさー。

そりゃ虫がよすぎるぜ

(15)

星野綾:キライ!

Kotobuki Ran : Jibun girai na yatsu ga hito ni suki ni natte morau nante saa.

Sorya mushi ga yosugiru ze Hoshino Aya : Kirai !

Kotobuki Ran : Saya tidak ingin orang yang menyukai saya yang tidak menyukai dirinya sendiri. Itu sangat buruk.

Hoshino Aya : Sata tidak suka!

Pada contoh penggalan percakapan diatas tejadi penyimpangan ragam bahasa dari segi aspek kebahasaan shuujoshi (partikel akhir). Shuujoshi (partikel akhir) saa. Si pembicara pada percakapan diatas adalah Kotobuki Ran yang berbicara dengan Hoshino Aya. Mereka membicarakan hal perasaan, Otohata Rei yang sebenarnya menyukai Kotobuki Ran tetapi ia berhasil menyembunyikan perasaan itu, justru Kotobuki Ran menyampaikan kepadanya mengenai perasaan Hoshino Aya yang justru menyukai Otohata Rei. Shuujoshi saa yang diucapkan Kotobuki Ran disini menunjukkan pernyataan ketegasan terhadap hal yang sedang dibicarakan oleh si pembicara, sekaligus sebagai penekanan terhadap suatu kalimat. Shuujoshi saa ini biasanya digunakan oleh penutur pria, dan wanita jarang memakainya, sebab diangkap kasar, terlalu maskulin, terkecuali di saat situasi tertentu.

Berdasarkan hal tersebut, maka masalah yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah :

1. Bagaimana pengungkapan ragam bahasa pria oleh penutur wanita yang muncul dalam komik Gyaruzu?

(16)

2. Apa saja faktor yang melatarbelakangi penggunaan ragam bahasa pria oleh penutur wanita dalam komik Gyaruzu?

1.3 Ruang Lingkup Pembahasan

Dari permasalahan-permasalahan yang telah dipaparkan diatas, maka penulis perlu membuat batasan-batasan ruang lingkup masalah dalam pembahasan nantinya. Hal ini dimaksudkan untuk lebih memfokuskan penelitian ini agar tidak menyebar luas sehingga penulis dapat lebih terarah dan fokus. Dalam penelitian ini, hanya membahas Penyimpangan Penggunaan Ragam Bahasa Pria Oleh Penutur Wanita yang diungkapkan pada komik yang berjudul Gyaruzu karya Fuji Imihona tahun 2002, 182 halaman. Dalam skripsi ini akan dibahas mengenai :

- Sosiolinguistik

- Ragam bahasa pria dan wanita dalam Shuujoshi (partikel akhir) - Ragam bahasa pria dan wanita dalam Kandoushi (interjeksi)

- Ragam bahasa pria dan wanita dalam Ninshou Daimeishi (pronomina persona)

1.4 Tinjauan Pustaka dan Kerangka Teori 1.4.1 Tinjauan Pustaka

Untuk meneliti tentang ragam bahasa pria dan wanita, berikut ditemukan data-data yang berhubungan dengan penelitian ini. Penelitian oleh Lintang Sekar (2016) dalam skripsinya yang berjudul “Penggunaan Ragam Bahasa Pria oleh Tokoh Wanita Dalam Anime Kaichou wa Maid Sama”

mendeskripsikan bahwa penyebab terjadinya penggunaan ragam bahasa pria

(17)

dalam anime Kaichou wa Maid Samaoleh tokoh wanita dipengaruhi oleh beberapa faktor, yakni perbedaan usia, status sosial, konsep uchi, dan situasi peristiwa tuturanmerupakan faktor-faktor yang melatarbelakangi penutur wanita menggunakan ragam bahasa pria. Diantara beberapa faktor tersebut, faktor situasi merupakan faktor yang paling mempengaruhi penutur wanita menggunakan ragam bahasa pria. Situasi disini maksudnya adalah karena sudah menjadi kebiasaan penutur yang selalu menggunakan danseigo dalam lingkungannya, selain itu juga karena suasana hati.

Penelitian Subandi yang berjudul “Penyimpangan Penggunaan Ragam Bahasa Pria oleh Penutur Wanita Sebagai Bentuk Refleksi Kondisi Pertentangan Jiwa Terhadap Perbedaan Gender” menyimpulkan bahwa karena tingkat perkembangan peradaban yang tinggi, yang ditandai dengan kemajuan baik dalam bidang teknologi, informasi, pendidikan dan bidang lainnya. perkembangan dan kemajuan peradaban tersebut memberikan konsekuensi pada pola pikir dan gaya hidup masyarakat, khususnya masyarakat wanita Jepang. Mereka menyadari dalam perbedaan gender berpengaruh kepada perbedaan peran sosial maupun kepatuhan penggunaan bahasa gender, merupakan penindasan terhadap harkat dan martabat kaumnya. Dengan begitu, masyarakat wanita Jepang mulai menyuarakan penolakan jiwanya dengan menjadikan nilai sosial dari ketentuan kepatuhan yang mengikat penggunaan bahasa gender lebih longgar. Bahkan dalam perkembangannya, masyarakat wanita Jepang mulai mengabaikan kaidah sosial bahasa tersebut, dengan bentuk penyimpangan penggunaan ragam bahasa pria. Penyimpangan tersebut sebagai bentuk realisasi dari jiwa penolakan terhadap perbedaan gender dan

(18)

sebagai bentuk penyampaian dari kondisi jiwa yang menuntut atas persamaan gender. (http://ejournal.unesa.ac.id)

Penelitian Annisa Laila Khaled dalam skripsinya yang berjudul

“Penyimpangan Pemakaian Danseigo dan Joseigo Dalam Film Drama Televisi Gokusen” menyimpulkan bahwa penyimpangan itu terjadi karena penutur ingin melakukan pendekatan diri dengan pendengar, penutur ingin menunjukkan dirinya pada posisi yang lebih tinggi, penutur ingin memberikan penekanan pada pandangannya terhadap sesuatu, atau penutur memiliki latar belakang khusus, yakni berasal dari golongan keluarga yakuza dan tidak ada wanita lain yang dibesarkan dikeluarga tersebut selain penutur. Sedangkan penyebab penutur pria menggunakan ragam bahasa wanita disebabkan karena penutur ingin memberikan makna yang berbeda, seperti sindiran atau ancaman pada kalimat yang diucapkan kepada pendengar, penutur mempunyai hubungan kekerabatan dekat dengan pendengar, atau penutur mempunyai sifat yang cenderung lemah sehingga lebih pantas menggunakan joseigo dibandingkan danseigo. (http://lib.ui.ac.id)

Perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya adalah objek yang diteliti. Oleh karena itu, penelitian ini akan menguraikan tentang ragam bahasa pria (danseigo) dan ragam bahasa wanita (joseigo).

1.4.2 Kerangka Teori

Kerangka teori ini dimaksudkan untuk memberikan gambaran atau batasan-batasan tentang teori-teori yang dipakai sebagai landasan penelitian yang dilakukan.

(19)

Menurut Koentjaraningrat (1990 : 65) menyebutkan bahwa kerangka teori membantu seorang penulis dalam menentukan tujuan dan arah penelitian, serta sebagai dasar penelitian agar langkah yang ditempuh selanjutnya dapat jelas dan konsisten.

Oleh sebab itu, penelitian ini menggunakan pendekatan sosiolinguistik variasi bahasa. Sosiolinguistik variasi bahasa mengkaji tentang kevariasian bahasa yang terjadi sebagai akibat dari adanya keragaman sosial dan keragaman fungsi bahasa selain itu ragam bahasa sudah ada dengan maksud untuk memenuhi fungsinya sebagai alat interaksi dalam kegiatan masyarakat yang beraneka ragam. Kata sosiolinguistik berasal dari istilah sosio dan linguistik. Sosio berarti sosial yaitu hal yang berhubungan dengan masyarakat, dan linguistik berarti ilmu yang mengkaji tentang bahasa. Oleh sebab itu, kata sosiolinguistik dapat diartikan sebagai ilmu yang mengkaji tentang variasi ujaran, serta mengkaji dalam suatu konteks sosialnya.

1.5 Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.5.1 Tujuan Penelitian

Penelitian mengenai Penyimpangan Penggunaan Ragam Bahasa Pria Oleh Penutur Wanita Dalam Komik Gyaruzu bertujuan untuk :

1. Mendeskripsikan bentuk-bentuk ragam bahasa pria oleh penutur wanita yang muncul dalam komik Gyaruzu

2. Mendeskripsikan faktor-faktor yang melatarbelakangi penggunaan ragam bahasa pria oleh penutur wanita dalam komik Gyaruzu

(20)

1.5.2 Manfaat Penelitian

Adapun manfaat yang ingin diperoleh dari penelitian ini adalah :

1. Manfaat teoritis dalam penelitian ini adalah diharapkan agar pembaca dapat mengetahui penggunaan ragam bahasa pria oleh penutur wanita yang terjadi, serta faktor-faktor yang melatarbelakangi terjadinya hal tersebut dalam kehidupan keseharian. Yang tertuang dalam faktor sosial budaya (tercakup daerah dan wilayah), kelas soisial, perbedaan jenis kelamin dan usia, tempat atau suasana tuturan, bahkan hubungan manusia dan sebagainya.

2. Manfaat praktis dalam penelitian ini adalah diharapkan dapat dijadikan bahan referensi dan sebagai acuan bagi penelitian yang berkaitan dengan sosiolinguistik.

1.6 Metode Penelitian

Metode penelitian merupakan alat, prosedur, dan teknik yang dipilih dalam melaksanakan penelitian untuk mengumpulkan data. Dalam penulisan skripsi ini, penulis menggunakanmetode deskriptif analitik, yakni dengan menjelaskan gambaran joseigo, serta penyimpangan penggunaan joseigo dalam komik Gyaruzu karya Fuji Imihona tahun 2002. Menurut (Sugiono, 2009 : 29) menyebutkan bahwa metode deskriptif adalah suatu metode yang berfungsi untuk mendeskripsikan atau memberi gambaran terhadap suatu objek yang diteliti melalui data atau sampel yang telah terkumpul sebagaimana adanya tanpa melakukan analisis dan membuat kesimpulan yang berlaku untuk umum. Dengan kata lain, metode deskriptif analitik adalah suatu penelitian yang bertujuan untuk

(21)

memberikan gambaran tentang realitas pada objek yang diteliti secara objektif.

Metode deskriptif analitik mengambil masalah atau memusatkan perhatian kepada masalah-masalah sebagaimana adanya saat penelitian dilaksanakan, hasil penelitian tersebut kemudian diolah dan dianalisis untuk diambil kesimpulannya.

Studi kepustakaan merupakan suatu aktifitas yang sangat penting dalam kegiatan penelitian yang ditujukan untuk mewujudkan jalan pemecahan masalah penelitian. Dalam sebuah skripsi, beberapa aspek yang penting yang perlu dicari dan digali adalah masalah, teori, konsep, dan penarikan kesimpulan dan saran (Nasution, 2001 : 14).

Metode deskriptif adalah penelitian dengan membuat deskriptif mengenai suatu bentuk keadaan atau kejadian (Kontjaraningrat, 1985 : 29). Dalam memecahkan masalah penelitian penulis mengumpulkan, menyusun, mengklarifikasi, mengkaji serta menginterpretasikan seluruh data yang ada. Data yang digunakan penulis adalah data tulisan. Data tulisan ini berhubungan langsung dengan pokok permasalahan seperti buku, jurnal dan informasi dari media cetak maupun media elektronik.

(22)

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG DANSEIGO DAN JOSEIGO

2.1 Sejarah Danseigo dan Joseigo

Pada awalnya, bahasa pria dan wanita ditemukan dalam kesusastraan kerajaan pada zaman Hen (abad ke 9-12). Bahasawanita (joseigo) berkembang dari nyooba kotoba yang pada mulanya dipakai oleh sesama wanita petugas istana yang mulai dipakai oleh para wanita yang bertugas di dairi dan di sendoo gosho yang ada di istana Kyoto (Reiichi, 1990:33).

Mengenai sejarah lahirnya serta perkembangannya nyooboo kotoba hingga menjadi joseigo dijelaskan oleh Horii Reichi dalam buku Onna no Kotoba. Dalam buku tersebut dikatakan bahwa sebagai dokumen tertua mengenai nyooboo kotoba ada sebuah buku yang berjudul Ama no Mokuzu karya Emyooin Gonnosoojoo Nobumori. Dalam buku ini dicatat nyooboo kotoba yang dipakai dalam kehidupan putri istana kira - kira pada tahun 1420. Dari buku ini diketahui bahwa pemakaian kata kugo untuk meshi „nasi‟, kukon untuk sake, kachin untuk mochi, mushi untuk miso diamati sebagai kata - kata yang berbeda dengan kata - kata yang dipakai oleh masyarakat umum pada masa itu.Dari isi Ama no Mokuzu pun terlihat bahwa nyooboo kotoba tidak hanya dipakai didalam istana, tetapi pada permulaan abad 15 dipakai juga dilingkungan keluarga Ashikaga Shogun.

Seorang shogun yang bernama Oda Yasumune merupakan generasi kedelapan sebagai penerus Tokugawa Yoshimune menyebutkan lahirnya nyooboo kotoba kira - kira pada permulaan abad 15, berubah menjadi karakteristik bahasa rahasiayang bersifat enkyokuteki (eufemisme).Pada mulanya banyak dipakai

(23)

nama-nama lain untuk makanan, lalu menyebar sebagai bahasa yang khas yang dipakai di dalam istana raja dan istana shogun. Hal tersebut terjadi karena sejak zaman Nambokuchoo (1336-1392) sering terjadi hubungan antara kelas kuge(kelas atas) dan kelas shomin(kelas bawah).

Dengan berkembangnya percampuran kehidupan kelas atas dan kelas bawah, maka makanan dan minuman yang biasa disantap oleh kelas shomin disajikan juga dimeja makan kelas kuge. Kaum kuge (bangsawan) menganggap penggunaan nama makanan dan minuman sebagaimana yang biasa diucapkan oleh kaum shomin kasar, lalu mereka menghindari istilah-istilah tersebut, dan akhirnya menjadi banyak penyebutan nama makanan dan minuman dengan istilah-istilah lain. Istilah-istilah tersebut sedikit demi sedikit mulai terbiasa dipakai para nyooboo yang mengabdi di istana, dan akhirnya membentuk nyooboo kotoba.

Singkat kata, nyooboo kotoba pada mulanya merupakan ragam lisan yang berakar pada kehidupan sehari - hari para putri atau permaisuri yang hidup di istana.

Nyooboo kotoba meluas dari istana ke masyarakat kuge, ke machikata. Sementara itu juga meluas ke istana keluarga shogun, kemudian meluaske keluarga daimyoo, dan keluarga bushi (samurai), dari lingkungan keluarga bushi meluaske machikata.

Ruang lingkup kosakatanya pun meluas dari nama-nama makanan dan minuman ke kosakata yang berhubungan dengan pakaian, tempat tinggal, dan sebagainya.

Memasuki zaman Edo ada beberapa tulisan yang berhubungan dengan jochuu kotoba (bahasa dikalangan pembantu rumah tangga istana). Meluasnya nyooboo kotoba ke machikata telihat dari masuknya nyooboo kotoba ke dalam buku pendidikan wanita dan ke dalam kumpulan kosakata seperti jochuu kotoba, jochuushi, onna kotoba, atau onna shorei anyanishiki.Penyebaran nyooboo kotoba

(24)

masuk ke dalam bahasa para istri machikata.Pada akhir abad 17 jochuu kotoba berkembang sebagai joseigo yang dipergunakan oleh anak wanita pada keluarga yang baik. Sehingga pada masa pertengahan hingga akhir zaman Edo bahasa ini sudah dipakai juga secara luar oleh masyarakat umum (Reiichii, 1990:33-36).

Pada zaman Edo (1603-1868) feminimisme mulai terjadi, feminimisme dalam bahasa mulai diberlakukan secara sistematis. Banyak naskah yang digunakan untuk mencapai tujuan tersebut, didasari pada ajaran konfusianisme yang berasal dari Cina. Di dalamnya mengajarkan bagaimana seorang wanita harus bersikap dan berbicara. Pada zaman itu, wanita dilarang berbicara menggunakan kango (kata yang berasal dari Cina), melainkan mereka harus berbicara dengan menggunakan yamato kotoba (kata asli bahasa Jepang yang dewasa ini dikenal juga dengan sebutan wago) yang berasal dari nyooboo kotoba.

Selain itu wanita pun harus berbicara dengan sopan dan lembut, mereka tidak boleh berbicara seperti layaknya kaum laki-laki. Sehingga pada pemerintahan Meiji (1868) tejadilah Revolusi Budaya yang memusatkan perhatiannya pada penggolongan bahasa berdasarkan gender yang menyebutkan bahwa wanita harus bisa menjadi ideal dengan cara menjadi istri yang baik dan juga ibu yang bijaksana. Kebijakan tersebut digunakan untuk mendorong para wanita agar bisa lebih berkontribusi untuk negara melalui kerja keras, kesederhanaan, kepedulian mereka terhadap remaja, lansia, orang sakit serta tanggung jawab untuk mendidik anak-anak. Kemudian, pada tahun 1890 jumlah wanita yang bekerja pada industri ringan (tekstil) lebih banyak dibandingkan dengan pria. Meskipun demikian, peran wanita dalam lingkungan sosial tetap dibatasi. Mereka diharapkan dapat bekerja, namun tidak untuk memasuki dunia politik.Zaman dulu di Jepang sangat

(25)

jelas dibedakan posisi peran pria dan wanita, maka dibentuklah ragam bahasa pria dan ragam bahasa wanita. Namun, kedua ragam bahasa ini berubah terus dengan arus zaman. Asal bahasa pria yang sering dipakai sekarang adalah bahasa Samurai pada zaman Edo (Edo Jidai). Samurai adalah istilah untuk perwira militer kelas elit sebelum zaman industrialisasi di Jepang. Kata “samurai” berasal dari kata samorau yang berasal dari bahasa Jepang kuno, berubah menjadi saburau yang berarti “melayani”, dan akhirnya menjadi “samurai” yang bekerja sebagai pelayan bagi sang majikan. Ciri khas dari ragam bahasa pria adalah variasi kata ganti pertama. Misalnya, “Ore”, „Boku‟, “Washi”, “Oira”, dan lain - lain. Kata ganti pertama dalam bahasa perempuan adalah “Watashi” dan “Atashi”.Dilihat dari aspek pemakaian akhir kalimat terdapat beberapa perbedaan antara yang dipakai pria dan yang dipakai wanita.

Dalam danseigo dipakai seperti zo, ze, kai, dazo, daze, sedangkan di dalam joseigo (ragam bahasa wanita) dipakai kashira, wa, wayo, wane, no, noyo, none,dan kotoyo. Zo, ze, kai, dazo, daze, dan sebagainya dalam ragam bahasa pria merefleksikan maskulinitas penuturnya sebagai insan yang sangat tegas, berani, kuat, penuh percaya diri, penuh kepastian, atau cepat dalam mengambil keputusan.

Berbeda dengan partikel-partikel akhir yang dipakai dalam joseigo seperti kashira, wa, wayo, wane, no, noyo, none,dan kotoyo yang dipakai dalam ragam bahasa perempuan menjadikan bahasa yang diucapkan lemah lembut dan tidak menunjukkan ketegasan atau kekuatan. Partikel-partikel itu dipakai untuk menghaluskan atau melemahkan pendapat, kesimpulan, keputusan, pikiran, atau pertanyaan penuturnya sehingga mereka terkesan ramah tamah dan sopan santun.

(26)

Dalam penggunaan kata benda juga perbedaan bahasa priadan wanita sangat jelas. Dalam ragam bahasa wanita, di depan kata benda menggunakan awalan “O”.

Misalnya, “Sushi” menjadi “Oshushi”, “Cha (teh)” menjadi “Ocha”, “Hana (bunga)” menjadi “Ohana”, dan lain - lain.

Sama seperti halnya di atas, dari zaman dulu bahasa Jepang dibagi menjadi ragam bahasa pria dan ragam bahasa wanita dengan jelas. Akan tetapi, sedikit demi sedikit fenomena tersebut berubah dengan arus zaman. Dulu peran wanita di Jepang adalah menjada rumah sebagai ibu rumah tangga, namun zaman sekarang wanita pun bisa bekerja seperti pria.Peran wanita dan pria tidak seperti dulu lagi, maka bahasa antara pria dan wanita juga berubah. Banyak wanita muda Jepang tidak mau menggunakan ragam bahasa wanita.Ragam bahasa pria menjadi bahasa Jepang yang sering dipakai oleh orang Jepang, baik pria maupun wanita zaman sekarang.

Jepang saat ini tentunya sudah sangat berbeda. Wanita tidak lagi dibatasi dalam berkarier. Bahkan pekerjaan - pekerjaan yang pada zaman dahulu didominasi oleh kaum pria, saat ini dapat diduduki oleh kaum wanita. Hal ini tentu saja berkat adanya emansipasi wanita.Namun, emansipasi wanita ternyata tidak berlaku untuk kehidupan berbahasa mereka, wanita tetap dituntut berbahasa layaknya wanita karena meskipun mereka ingin menunjukkan kesetaraannya dengan menggunakan ragam bahasa pria, para wanita justru akan dianggap tidak berpendidikan dan memiliki perilaku yang buruk. Hal tersebut juga akan terjadi ketika pria menggunakan ragam bahasa wanita (Tanaka, 2004).

(27)

2.2 Konsep dan Pandangan Mengenai Pria dalam Bahasa Jepang

Adanya perbedaan bentuk bahasa pria dan wanita dalam masyarakat Jepang disebabkan oleh perbedaan peran dan kedudukan antara pria dan wanita dalam masyarakat. Penggunaanragam bahasa pria memiliki rasa bahasa yang kasar, rasa bahasa yang kuat dan fokus pada hal-hal yang berkaitan dengan pemikiran.Kata otoko berarti pria dan dilambangkan dengan huruf kanji 男 yang mengandung unsur kanji 田 ta „sawah‟ dan 力 chikara „tenaga‟. Sehingga gambaran yang kuat mengenai pria adalah perannya sebagai orang yang bekerja sekuat tenaga sejak menanam padi hingga memanennya di sawah. Pekerjaan ini dipandang sangat mulia karena dapat menyokong kehidupan masyarakat untuk membangun negara.

Pekerjaan ini dianggap miliknya pria walaupun pada kenyataannya banyak wanita yang turun ke sawah untuk turut serta menanam padi.

Begitu pula dalam pembentukan kata, tampaknya pria selalu mendapat prioritas utama. Kata danjo 男女 „pria-wanita‟, kata-kata lain yang mendahulukan unsur prianya seperti fubo 父母 „ayah dan ibu‟, fuufu (夫婦) „suami-istri‟ dan shijo 子女 „anak laki-laki dan perempuan‟ tidak bisa dibalikkan menjadi bofu, fuufu dan joshi.

2.3 Konsep dan Pandangan Mengenai Wanita dalam Bahasa Jepang

Ada beberapa kata yang berarti „wanita‟ dalam bahasa Jepang, yakni onna, fujin, josei, dan joshi. Walaupun secara harafiah memiliki arti yang sama, namun kata - kata tersebut masing-masing memiliki nuansa yang berbeda- beda. Dalam (Izuru 1990) kata onna berasal dari bahasa klasik omina. Onna bisa berarti wanita yang pada umumnya tidak ada hubungannya dengan usia, wanita yang sudah

(28)

dewasa (seinen) atau wanita yang sudah tampakkematangannya dalam karakteristik seksualnya, ataupun wanita yang pada umumnya dapat diperhaikan sebagai orang yang memiliki pembawaan lemah lembut, tidak tegas, tidak keras, atau tidak kasar.Di lain pihak, kata fujindiartikan sebagai wanita yang sudah dewasa (seijin), dan wanita yang sudah bersuami. Kata fujin sering dipusatkan pada kedudukan wanita dalam masyarakat, atau memberikan makna wanita sebagai eksistensi sosial, dan dipakai pada saat mengucapkan wanita dengan cara yang agak hormat (Reynold, 1993:127). Kata josei sering dipakai untuk menggantikan kata fujin dan cenderung menjadi sebutan yang lebih umum untuk wanita. Kata josei tidak sehormat kata fujin, tetapi tidak memiliki tingkat eksistensi seksual sebagaimana kata onna. Dengan kata lain, kata josei memiliki unsur kata fujin dan onna, namun tidak bergabung ke salah satu pihak melainkan merupakan istilah yang berada di antara kedua kata itu. Kata joshi lebih sering dipakai untuk menunjukkan makna „anak wanita‟, „anak muda‟, atau „wanita remaja‟ daripada sebagai sebutan wanita pada umumnya (Reynold, 1993:135,138,145). Dalam bahasa dan huruf Jepang tercerminkan

„ketidakberuntungan‟ kaum wanita dibanding kaum pria. Hal tersebut dapat dilihat dari pembentukan huruf kanji dan pembentukan atau pemakaian kata.

Bahkan kurang baiknya nasib wanita tercerminkan juga dalam peribahasa yang diciptakan oleh masyarakat Jepang pada masa lampau yang masih dipakai hingga saat ini. Hal ini menjadi suatu bukti rendahnya kedudukan wanita daripada pria yang dilihat dari sudut pandang kebahasaan.

Berbeda dengan kata otoko, kata onna yang berarti wanita ditulis dengan huruf 女 yang melambangkan orang yang sedang menari. Hal ini memberi

(29)

gambaran bagi wanita sebagai penari yang lemah lembut yang bertugas menghibur orang (pria) yang melihatnya. Dari huruf kanji ini muncul kanji 安い (yasui = murah) yang dilambangkan dengan kanji onna (女) ditambah bagian kanji yang menyerupai topi di atasnya. Dengan kata lain, kata yasui yang berarti

„murah‟ ditulis dengan kanji yang melambangkan seorang wanita yang menari sambil memakai topi. Walaupun banyak pria yang menjadi penari, namun kanji otoko (男) tidak diperlakukan seperti itu. Huruf kanji yang melambangkan pria dan wanita dapat digabungkan dengan kanji lain sehingga membentuk kanji-kanji baru yang melambangkan kata yang memiliki makna tertentu. Dan apabila diamati, tenyata banyak kanji yang mengandung makna negatif, seperti huruf kanji yang melambangkan kata kobiru (媚びる) yang berarti merayu, menjilat, menghibur, atau cemburu; netamu (妬む) yang berarti iri hati atau cemburu;

samatageru (妨げる) yang berarti mengganggu, atau menghalangi; kirau (嫌う) yang berarti membenci, tidak suka, dan tidak senang; ayashii (妖しい) yang berarti meragukan, mencurigakan, atau tidak dapat dipercaya; sonemu (嫉む) yang berarti cemburu atau iri hati; yasui (安い) yang berarti murah; sedangkan kashimashii (姦しい) yang berarti ribut, gaduh, dan ramai.

Begitu pula dalam pembentukan kata, tampaknya pria selalu mendapat prioritas utama. Kata danjo yang berarti „pria dan wanita‟ tidak dapat diubah menjadi jodan dengan harapan mendahulukan unsur wanitanya. Sama dengan kata danjo, kata-kata lain yang mendahulukan unsur prianya seperti fubo (ayah dan ibu), fuufu (suami dan istri), dan shijo (anak laki-laki dan perempuan) tidak bisa dibalikkan menjadi bofu, fufuu, dan joshi. Selain itu kata fukeikai, yang berasal

(30)

dari kata chichi (ayah) dan ani (kakak laki - laki) yang mengandung arti persatuan orangtua/wali murid. Meskipun menunjukkan makna orangtua atau wali murid, namun dalam kata fukei itu tidak terkandung unsur kata yang berarti wanita, baik ibu (haha) maupun kakak perempuan (ane). Berarti, hal ini dianggap sebagai suatu pandangan yang menunjukkan adanya nilai positif terhadap pria dibandingkan wanita, dan menununjukkan bahwa dalam bahasa Jepang masih terkandung paham/pemikiran tradisional yang mendahulukan pria daripada wanita.Belum lagi kalau melihat kata-kata yang menunjukkan profesi yang cukup populer dan mantap seperti isha (dokter), repootaa (reporter), keiji (polisi), sakka (penulis), dan lain-lain. Kelihatannya semua mengacu pada profesi yang dimiliki pria. Sebab selain itu terdapat juga kata joi (dokter wanita), josei repootaa (reporter wanita), onna keiji (polisi wanita), joryou sakka (penulis wanita), dan lain-lain. Sedangkan kata dan’i (dokter pria), dansei repootaa (reporter pria), otoko keiji (polisi pria), danryuu sakka (penulis pria), dan lain-lain tidak ada dalam jajaran kosakata bahasa Jepang. Begitu juga dengan peribahasa. Tidak sedikit peribahasa dalam bahasa Jepang yang mengangkat citra wanita seperti itu.

Beberapa contoh dapat kita lihat sebagai berikut:

1. Onna wa sangai ni ie nashi 2. Otoko wa matsu onna wa fuji 3. Onna sannin yoreba kashimashii 4. Onnagokoro to aki no sora 5. Onna no sarujie

6. Onna no kami no ke ni wa taizoo mo tsunagaru 7. Onna wa mamono

(31)

Pandangan yang tidak seimbang terhadap wanita dan pria tergambar dalam semua peribahasa di atas yang menyiratkan bahwa wanita berada di bawah prioritas pria. Dalam peribahasa 1 digambarkan bahwa wanita tidak memiliki

„rumah‟ sendiri yang tetap di mana pun di atas dunia ini. Saat masih kecil ia harus tunduk kepada bapaknya, setelah menikah ia harus patuh terhadap suaminya, bahkan setelah berusia tua pun ia harus menurut terhadap kekuasaan anak pria (pertamanya). Oleh sebab itu wanita dianggap tidak memiliki majikan yang tetap untuk dapat hidup tenang

Dalam peribahasa 2 digambarkan karakteristik pria dan wanita. Karakter pria yang diibaratkan sebuah pohon pinus yang dapat hidup berdiri sendiri dan tetap bertahan walaupun diterpa badai atau salju. Sementara wanita diibaratkan sebuah pohon bunga fuji yang tumbuh menjalar pada pohon pinus. Makna yang terkandung dalam peribahasa ini adalah bahwa pria merupakan insan yang kuat, baik secara rohani maupun jasmani, sehingga mereka memiliki kelebihan dan kemampuan dalam kehidupannya. Sedangkan wanita dianggap sebagai insan yang lemah, yang pantas hidup bergantung pada pria.

Predikat tidak baik yang dimiliki wanita juga tergambar dalam peribahasa 3 yang bermakna bahwa wanita merupakan insan yang suka ngobrol atau banyak bicara, maka kalau berkumpul tiga orang saja dalam waktu yang sama, akibatnya suasana akan menjadi ribut atau gaduh. Dalam peribahasa 4 menyebutkan bahwa hati wanita digambarkan seperti keadaan langit pada musim gugur yang mudah berubah-ubah secara tiba-tiba. Begitu juga dalam segi kepandaian, pada peribahasa 5 menyebutkan bahwa pengetahuan yang dimiliki wanita menduduki

(32)

posisi jauh di bawah pria, bahkan dikatakan pengetahuan yang dimiliki wanita sangat dangkal.

Kemudian dalam peribahasa 6 menyebutkan bahwa wanita sebagai penggoda hati pria. Pada peribahasa ini menunjukkan sebagaimana pun kuatnya seorang pria namun ia akan tergoda juga oleh daya tarik dan kecantikan wanita.

Bahkan dalam peribahasa 7 menyebutkan bahwa wanita sering membuat pria lupa daratan.

2.4 Perbedaan Danseigo dan Joseigo

Variasi bahasa dapat diamati dari segi gender penuturnya, yakni pria dan wanita. Dalam pemakaiannya akan terlihat perbedaan baik yang berhubungan dengan suasana pembicara, topik, maupun pemilihan kata yang digunakan. Sesuai dengan namanya, danseigo dipakai oleh pria sedangkan joseigo dipakai oleh wanita. Di dalam bahasa Jepang perbedaandanseigo dan joseigo dapat diamati dari beberapa aspek kebahasaannya seperti pemakaian partikel akhir kalimat (shuujoshi), pemakaian interjeksi (kandoushi), pemakaian pronomina persona (ninshou daimeishi), dan sebagainya.

2.4.1 Danseigo dan Joseigo dalam Shuujoshi (Partikel Akhir) Naohashi (1977:195) mendefinisikan shuujoshi sebagai berikut:

終助詞は文の終末に位置する助詞である。

Shuujoshi wa bun no shuumatsu ni ichi suru joshi de aru.

‘Shuujoshi adalah joshi yang terletak diakhir kalimat‟.

Shuujoshi (partikel diakhir kalimat) umumnya digunakan dalam situasi percakapan yang tidak resmi atau dalam kesempatan-kesempatan non formal.

(33)

Menurut Tadasu (1989:143-144), shuujoshi dipakai pada akhir kalimat atau pada akhir bagian kalimat (bunsetsu) untuk menyatakan perasaan pembicara seperti rasa terharu, larangan, pertanyaan, seruan, dan sebagainya.

Penggunaan shuujoshi dibedakan atas status sosial atau kedudukan dari si penutur terhadap lawan bicara (apakah kedudukannya sama, lebih tinggi, atau sebaliknya), jenis kelamin, keadaan atau situasi yang tejadi saat percakapan itu dilakukan. Yang menjadi ciri khas dari shuujoshi atau partikel akhir ini yaitu posisinya yang selalu terletak di akhir kalimat.

Ciri - ciri ragam bahasa pria maupun ragam bahasa wanita dalam bahasa Jepang dapat kita perhatikan dalam pemakaian shuujoshi tertentu. Contohnya dalam shuujoshi ~yo, ~sa, ~ze, ~zo, ~kana penggunaannya lebih mutlak dipakai oleh pria. Sedangkan shuujoshi yang dipakai oleh wanita adalah shuujoshi ~no, ~wa, ~kashira, ~koto, dan sebagainya. Shuujoshi digunakan dalam suatu percakapan dengan dilihat tentang bagaimana keadaan perasaan pembicara kepada lawan bicara. Adapun shuujoshi yang digunakan oleh pria antara lain adalah:

a. ~Yo(~よ)

Partikel ~yo dapat dipakai untuk menyatakan ketegasan, pemberitahuan, atau peringatan kepada lawan bicara (Sudjianto 2000:79). Partikel ~yo ini sebenarnya dapat digunakan oleh penutur pria maupun penutur wanita, tetapi tergantung bagaimana situasinya, yang menandakan menjadi bentuk danseigo biasanya terdapat pada penambahan kata yakni menjadi ~dayo. Partikel ini digunakan untuk

(34)

menunjukkan suatu pernyataan untuk memastikan dan juga untuk menunjukkan omelan atau hinaan.

Contoh: 一人で帰れるから大丈夫だよ。

Hitori de kaereru kara daijoubu da yo.

„Saya pulang sendiri tidak apa - apa kok‟

b. ~Na(~な)

Partikel na lebih cenderung dipakai oleh pria. Partikel na bisa dipakai setelah kalimat atau setelah bagian kalimat tersebut sebagai cara untuk menarik perhatian lawan bicara terhadap hal - hal yang diucapkan. Partikel na menunjukkan rasa, meminta agar orang lain setuju, dan memperhalus suatu permintaan.

Contoh: 今日はいい天気だな!

Kyou wa ii tenki da na!

„Hari ini cuacanya baik ya!‟

c. ~Sa (~さ)

Shuujoshi atau partikel akhir sa dapat dipakai setelah bagian - bagian kalimat untuk menekankan bagian - bagian kalimat itu sebagai cara untuk menarik perhatian lawan bicara. Setelah itu partikel sa dapat dipakai dalam kalimat tanya. Partikel sa juga dapat dipakai pada bagian akhir kalimat untuk menyatakan ketegasan atau keputusan pembicara. Partikel sa kebanyakan digunakan oleh pria yang berfungsi untuk menunjukkan perasaan tegas dalam pernyataan.

Contoh: 子供にだって出来るさ。

(35)

„Anak kecil saja bisa loh‟

d. ~Ze (~ぜ)

Partikel ze dapat dipakai pada akhir kalimat yang mendukung ajakan.

Partikel ze juga dapat dipakai untuk menegaskan atau menekankan ungkapan atau kata - kata yang diucapkan untuk menarik perhatian lawan bicara terhadap hal - hal yang diucapkan.

Contoh: だめだぜ、雨がひどく降ってるんだぜ。

Dame da ze, ame ga hidoku futterunda ze.

„Janganlah, sedang hujan lebat‟

e. ~Zo (~ぞ)

Partikel zo dapat dipakai pada waktu berbicara sendiri (menyatakan sesuatu terhadap dirinya) untuk menyatakan keputusan atau ketidakpastian hati pembicara. Partikel zo digunakan oleh pria terhadap orang yang akrab hubungannya atau lebih rendah kedudukannya untuk mengambil perhatian atau mengeraskan nada ucapan. Partikel zo memperkuat kalimat menjadi lebih tegas dibandingkan dengan partikel ze.

Contoh: 二度とそんな事をしてはいけないぞ!

Nido to sonna koto wo shite wa ikenai zo!

„Jangan mengulangi lagi perbuatan seperti itu!‟

f. ~Kana (~かな)

Pemakaian kana digunakan untuk menunjukkan ketidakpastian dan menunjukkan pertanyaan kepada seseorang. Pada dasarnya digunakan oleh pria, sedangkan kashirayang dipakai oleh wanita.

(36)

Contoh: 聞いてもいいかな?

Kiite mo ii kana ?

„Sepertinya bolehlah di dengar?‟

Sedangkan shuujoshi yang digunakan oleh wanita diantaranya adalah a. ~No (~の)

Partikel no yang termaksud shuujoshi dipakai pada akhir kalimat untuk menyatakan keputusan atau menyampaikan berita dengan lembut serta dapat menunjukkan perintah yang halus.

Contoh: 彼女はとても親切なの。

Kanojo wa totemo shinsetsu na no.

„Dia (perempuan) baik banget‟

b. ~Wa (~は)

Partikel wa sering dipakai dalam ragam bahasa wanita untuk melemah-lembutkan bahasa yang diucapkan. Hal ini sebagai cara untuk menunjukkan feminimitas, kelemah-lembutan, atau keramah- tamahan pembicara.

Contoh: まあ、すばらしいわ。

Maa, subarashii wa.

„Wah, hebat‟

c. ~Kashira (~かしら)

Partikel kashira cenderung lebih digunakan oleh wanita untuk menunjukkan ketidakpastian dan menunjukkan pertanyaan kepada seseorang. Pemakaian kashira pada dasarnya sama dengan kana.

(37)

Nee, kore kara, dou kashira ?

„Oya, kalau ini bagaimana?‟

d. ~Koto (~こと)

Partikel koto sebagai kata bantu akhir kalimat, umumnya dipakai oleh wanita yang digunakan untuk menunjukkan perasaan, menunjukkan saran, kagum, kecewa, terkejut, dan sebagainya.

Contoh: この花の色の美しいこと。

Kono hana no iro no utsukushii koto.

„Alangkah indahnya warna yang dimiliki bunga ini‟

2.4.2 Danseigo dan Joseigo dalam Kandoushi (Interjeksi)

Kandoushi adalah semacam jiritsugo 自立語 (kata yang dapat berdiri sendiri, dapat membuat kalimat tanpa bantuan kata lain), tidak berkonjugasi, tidak dapat menjadi subjek, predikat, kata keterangan atau kata sambung.

Kandoushi merupakan kata yang mengungkapkan secara langsung maksud dari jawaban, panggilan, ajakan, peringatan, semua yang berhubungan dengan kesenangan, kebingungan, kekagetan, dan sebagainya. Kandoushi yang dipakai dalam ragam bahasa pria menunjukkan kesan tegas, dan cenderung kasar.

Sedangkan kandoushi yang dipakai dalam ragam bahasa wanita lebih terkesan dengan kelembutan, terkecuali bagi wanita yang ingin disebut tomboy atau lainnya. Menurut (Nasihin, 2008:39) interjeksi atau kata seru dalam bahasa Jepang merupakan ucapan atau ungkapan pendek secara tiba - tiba sebagai ungkapan perasaan yang seketika itu dirasakan oleh pembicaranya, dari penggunaannya dapat terlihat dengan jelas perbedaan jenis kelamin

(38)

pembicaranya.Berikut merupakan kandoushi dalam penggunaan ragam bahasa pria (danseigo), yakni

a. Oi (おい)

Mengungkapkan suatu panggilan terhadap orang lain yang sederajat atau yang lebih rendah baik usia maupun kedudukannya daripada pembicara. Dalam bahasa Indonesia, bisa berarti: hei, hai, hallo, dan wahai

Contoh: おい、早く来い!

Oi, hayaku koi!

„Hei, cepat kesini!‟

b. Ou (おう)

Kandoushi ou adalah suara yang keluar ketika teringat sesuatu, terkejut, ataupun suatu jawaban terhadap orang yang lebih tinggi.

Biasanya diucapkan oleh pria, mengungkapkan suatu pengertian atau persetujuan. Kata yang lebih hormat dari kandoushi ini adalah hai, yang berarti „ya‟.

Contoh: ア:: おじさんいるか?

A : Ojisan iru ka?

„Ayah ada?‟

イ:おう、ここだ。

I : Ou, koko da.

‟Iya, ada disini‟

(39)

c. Un (うん)

Mengungkapkan suatu persetujuan, pengakuan, atau pengertian, dalam bahasa Indonesia berarti ya, baik, oh ya.Kandoushi ini lebih cenderung dipakai oleh pria.

Contoh: ア:明日も来てくるよ!

A : Ashita mo kite kuru yo!

„Besok kamu kesini lagi ya!‟

イ:うん、くるさ。

I : Un, kuru sa

„Baiklah‟

d. Iya (いや)

Mengungkapkan ketidaksetujuan atau penolakan, bentuk hormatnya yaitu iie, dalam bahasa Indonesia berarti bukan,tidak,atau salah.

Contoh: ア:これ君の?

A : Kore kimi no?

„Ini punya kamu bukan?‟

イ:いや、僕のじゃない。

I :Iya, boku no janai.

„Bukan, bukan punya saya‟

Sedangkan kandoushi yang umum digunakan dalam ragam bahasa wanita (joseigo) adalah

(40)

a. Ara (あら)

Merupakan kandoushi yang mengungkapkan keterkejutan, kegembiraan, dan juga ratapan.

Contoh: あら、どうしたの?

Ara, doushita no?

„oh, kenapa?‟

b. Maa (まあ)

Mengungkapkan rasa heran, rasa terkejut, dan dapat pula mengungkapkan rasa kagum. Dalam bahasa Indonesia berarti oh, aduh, astaga,amboi, wah.

Contoh: まあ、きれいな花ですね。

Maa, kirei na hana desu ne.

„Wah, bunganya cantik ya‟

c. Are (あれ)

Kandoushi ini umumnya dipakai oleh wanita, yang menunjukkan perasaan terkejut, heran, kaget.

Contoh: あれ、何してるの?

Are, nani shiteru no?

„Hei, sedang apa kamu?‟

2.4.3 Danseigo dan Joseigo dalam Ninshou Daimeishi (Pronomina Persona)

Pronomina persona atau yang disebut dengan ninshou daimeishi

(41)

kata - kata benda yang menunjukkan orang, benda, tempat, atau arah. Ninshou daimeishi terdiri dari beberapa macam bagian, yakni:

a. Kata ganti orang pertama (jishou)

Jishou adalah pronomina persona yang dipergunakan untuk menunjukkan diri sendiri. Kata ganti orang pertama dalam bahasa Jepang yaitu watashi dan watakushi merupakan kata yang standar untuk menyatakan, menunjukkan diri sendiri, dapat dipakai oleh siapa saja baik pria maupun wanita. Kata watakushi lebih halus, lebih formal, dan lebih sopan dibanding kata watashi. Namun, dalam pemakaiannya sama dengan watashi yang dapat digunakan oleh siapa saja karena sifatnya sangat netral.Watakushi lebih sering digunakan oleh pria sebab kesan yang tersirat adalah menunjukkan seseorang tersebut dewasa, bijak, dan mampu membawa diri dengan baik.

Contoh: これは私の子供の写真です。

Kore wa watashi no kodomo no shashin desu.

„Ini foto anak saya.‟

わたくしはミヤダと申すものでございます。

Watakushi wa Miyada to mousu mono de gozaimasu.

„Saya biasa dipanggil Miyada.‟

Jishou yang sering digunakan oleh pria yaitu boku, ore, dan ware.

Kata boku sering dipakai pada ragam bahasa laki - laki yang dipergunakan pada situasi akrab, terhadap orang yang sederajat atau

(42)

orang yang lebih rendah daripada pembicara. Kata ore lebih kasar daripada boku. Jarang digunakan terhadap orang yang lebih tua atau lebih kedudukannya, tetapi pada situasi tidak resmi atau diantara teman akrab dengan pemakaian kata - kata itu akan menjadikan suasana terasa lebih intim. Sedangkan ware mengandung makna yang lebih kuat daripada watashi, boku, maupun ore. Kata ware sering dipakai dalam bentuk jamak, yaitu wareware atau warera.

Contoh: おれはこの家の主人だ。

Ore wa kono ie no shujin da.

„Aku suami pemilik rumah ini.‟

明日ぼくのうちへ来たまえ!

Ashita boku no uchi e kita mae!

„Besok datang kerumahku dulu ya!‟

われわれ中学生は勉強にもいっしょけんめいにならな ければならない。

Wareware chuugakusei wa benkyou ni mo isshokenmei ni naranakereba naranai.

„Para murid SMP itu harus belajar sungguh - sungguh.‟

Sedangkan jishou yang sering dipakai oleh kalangan wanita yaitu atashi, atau atakushi. Kata atashi digunakan untuk menyatakan diri sendiri yang sering digunakan dalam ragam bahasa wanita, karena

(43)

kata atashi lebih halus dari watashi. Begitu pula dengan atakushi yang memiliki fungsi yang sama dengan atashi.

Contoh: あたし、行きたいなんです。

Atashi, ikitai nan desu.

„Saya sangat ingin pergi.‟

b. Kata ganti orang kedua (taishou)

Taishou yaitu pronomina persona yang digunakan untuk menunjukkan orang yang diajak bicara yang dalam bahasa Indonesia berarti pronomina persona kedua. Kata ganti orang kedua yakni

„anata‟ dalam bahasa Indonesia yang berarti „anda‟. Kata anata digunakan untuk menyatakan orang yang diajak bicara yang derajatnya atau umurnya sama atau lebih rendah dari pembicara.

Anata cenderung digunakan oleh pria. Kata anata dalam lingkungan keluarga kadang - kadang diucapkan anta sebagai kata sapaan/panggilan oleh istri terhadap suaminya. Kata anta diucapkan oleh penutur wanita.

Contoh: あなたはバスでいきますか Anata wa basu de ikimasuka

„Apakah Anda pergi naik bus?‟

あんた、何をしてるの?

Anta, nani wo shiteru no?

„Kamu sedang ngapain?‟

(44)

Lain halnya dengan kimi, dan omae yang terkesan berbeda bila digunakan. Kata kimi, omae digunakan terhadap orang yang sama derajatnya, terhadap orang yang lebih muda umurnya atau yang lebih rendah kedudukannya, oleh orangtua terhadap anaknya, oleh guru terhadap muridnya, majikan terhadap bawahannya. Namun, dalam hubungan yang akrab pemakaian kata tersebut tidaklah dianggap kasar, bahkan suasana tampak lebih intim. Kata kimi, omae lebih sering digunakan oleh penutur pria daripada penutur wanita.

Contoh: きみ、もう食べた?

Kimi, mou tabeta?

„Kamu sudah makan?‟

おまえ、昨日どこへ行ったんだ?

Omae, kinou doko e ittanda?

„Kamu kemana saja kemarin?‟

c. Kata ganti orang ketiga (Tasho)

Tasho adalah pronomina persona yang digunakan untuk menunjukkan orang yang menjadi pokok pembicaraan selain persona pertam dan persona kedua, yang dalam bahasa Indonesia disebut pronomina persona ketiga atau ada pula yang menyebutnya kata ganti orang ketiga atau orang yang dibicarakan.

Kata ganti orang ketiga dalam bahasa Jepang berupa kono hito (orang ini), sono hito (orang itu), dan ano hito (orang itu), yang dalam bentuk sopannya kata hito dapat diganti dengan kata.

(45)

Contoh: このかたがマトバ先生です。

Kono kata ga Matoba sensei desu.

„Beliau ini adalah Matoba sensei‟

そのかたはあなたのお兄さんですか。

Sono kata wa anata no oniisan desu ka

„Apakah orang itu kakak laki-laki Anda?‟

あのかたはやさしいです。

Ano kata wa yasashii desu.

„Orang itu baik hati/ramah.‟

Sama halnya dengan kata ganti orang ketiga kono kata, sono kata, dan ano kata dengan penggunaan kata ganti orang ketiga koitsu, soitsu, dan aitsu yang lebih sering dipakai oleh penutur pria, sebab dianggap kurang sopan atau lebih kasar.

Selain itu ada pula penggunaan untuk kata ganti orang ketiga pria yakni kare dan untuk kata ganti orang ketiga perempuan yakni kanojo.

Kata ganti orang ketiga kare dan kanojo memiliki arti yang sama, yakni dia atau ia yang dapat dipakai oleh siapa saja baik penutur pria maupun wanita, sebab bersifat netral. Kedua kata ini biasanya digunakan dikalangan pelajar.

Contoh: こいつはあつこちゃんです

Koitsu wa Atsuko chan desu.

„Orang ini namanya Atsuko.‟

(46)

そいつはりゅうがくせいです。

Soitsu wa ryuugakusei desu.

„Dia mahasiswa pertukaran pelajar.‟

2.5 Penyimpangan Penggunaan Ragam Bahasa

Bahasa erat kaitannya dengan budaya, temasuk sifat dan sikap yang dimiliki oleh penutur. Manusia dapat terampil berbahasa karena adanya pengaruh dari ligkungan sosial. Kemampuan berbahasa seseorang awalnya diperoleh dari orang- orang terdekat seperti orangtua, saudara, ataupun dari teman-teman disekelilingnya. Selain secara tidak formal, kemampuan berbahasa seseorang dapat diperoleh juga secara formal, seperti di sekolah, di tempat kursus, dan sebagainya. Hal ini menunjukkan bahwa bahasa ada dan dipakai di dalam masyarakat sehingga keduanya menunjukkan hubungan yang tidak terpisahkan.

Seiring berjalannya waktu, terbukti bahwa bahasa bersifat dinamis.

Maksudnya adalah bahasa dapat berubah-ubah sesuai dengan masyarakat dan kebudayaan penuturnya. Bila masyarakat dan kebudayaannya berubah, maka bahasa pun ikut berubah. Oleh sebab itu, tidak bisa dipungkiri bila sekarang ini terjadi pergeseran/penyimpangan dalam pemakaian bahasa, khususnya pemakaian bahasa menurut gendernya.

Dewasa ini, keadaan yang menunjukkan adanya penyimpangan di dalam penggunaan ragam bahasa pria dan ragam bahasa wanita sudah dianggap suatu kewajaran karena dalam penggunaan ragam bahasa tidak dapat dipaksakan. Tetapi di sisi lain ada juga yang menganggap bahwa keadaan itu sebagai suatu hal yang aneh. Hal tersebut dapat dianggap sebagai suatu penyimpangan apabila

(47)

masyarakat tidak menghendaki perilaku kebahasaan yang tidak sesuai dengan norma-norma sosial. Selain itu, hal tersebut dapat dikatakan wajar apabila diucapkan pada situasi-situasi tertentu. Pemakaian ragam bahasa pria oleh penutur wanita hanya sebagai bahasa pergaulan atau bahasa pertemanan yang digunakan terhadap teman sebaya yang sudah sangat akrab hubungannya dengan situasi bermain. Begitu pula pemakaian ragam bahasa wanita oleh penutur pria, hal tersebut dilakukan hanya untuk tujuan tertentu, misalnya untuk tujuan bisnis untuk menarik minat para pelanggan yang menjadi lawan bicara yang kebetulan sebagian besar adalah wanita. Kecuali pada pria yang menyerupai wanita atau banci atau pada wanita yang menyerupai pria atau yang disebut dengan tomboy.

Oleh sebab itu, sudah bukan merupakan pengalaman yang aneh jika memperhatikan remaja seusia sekolah tingkat lanjut di Jepang dengan sengaja menggunakan kata-kata, ungkapan-ungkapan ataupun kalimat-kalimat yang menyimpang dari ragam bahasa masing-masing.

2.6 Komik Gyaruzu

Manga merupakan komik yang dibuat di Jepang, kata tersebut digunakan khusus untuk membicarakan tentang komik Jepang, sesuai dengan gaya yang dikembangkan di Jepang pada akhir abad ke-19. Dalam manga (komik) biasanya dicirikan melalui gambar-gambar yang berwarna-warni yang menampilkan tokoh- tokoh dalam berbagai macam lokasi dan cerita yang ditujukaan kepada beragam pembaca.Di Jepang, orang-orang dari segala usia membaca manga. Media mencakup karya dalam berbagai genre (aliran), aksi, petualangan, asmara, olahraga, permainan, komedi, detektif, dan lain-lain. Sejak tahun 1950-an

(48)

mangatelah terus menjadi bagian utama dari industri penerbitan Jepang.Mangabiasanya serial di majalah manga besar, sering mengandung banyak cerita, masing-masing disajikan dalam satu episode kemudian dialnjutkan dalam edisi berikutnya. Dan apabila seri berhasil, bab dikumpulkan dan dapat dipublikasikan ulang pada buku paperback atau yang biasa disebut tankoubon.Apabila seri manga cukup populer, mungkin akan dianimasikan setelah atau bahkan disaat mangasedang berjalan. Kini kehadiran manga di Indonesia semakin banyak diminati seiring banyaknya serial manga yang masuk ke Indonesia dengan cerita yang menarik dan seru. Salah satunya yaitu manga (komik) Gyaruzu.

Manga Gals ialah manga (komik) dan anime karya Fuji Imihona. Manga ini diterbitkan dalam bentuk majalah mingguan dari tahun 1999 sampai 2002 dan buku sebanyak 10 seri. Kemudian anime Gals disiarkan di TV Tokyo pada 1 april 2001 sampai 31 maret 2002. Kemudian di Indonesia, manga ini diterbitkan oleh M&C Comics.

Manga Gals menceritakan tentang Kotobuki Ran siswi SMA Hounan yang menjadi co Gals nomor satu di Shibuya. Ran bersahabat erat dengan Hoshino Aya dan Yamazaki Miyu. Mereka menghadapi masalah setiap hari bersama-sama, mulai dari sekolah, persahabatan, cinta, perkelahian, bekerja sambilan, dan lain- lain. Kotobuki Ran terlahir dalam keluarga besar polisi, bahkan Sayo, satu- satunya adik perempuan Ran bercita-cita menjadi polisi. Namun berbeda dengan Kotobuki Ran yang menentang keinginan keluarganya yang malahan ia menjadi seorang co Gals terkuat di kotanya, Shibuya.Co Gals merupakan sebutan bagi cewek-cewek yang berpakaian dalam dengan selera fashion yang tinggi, terutama

Referensi

Dokumen terkait