• Tidak ada hasil yang ditemukan

Abstrak Jurnal.indb 12 12/13/2012 6:30:11 PM

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "Abstrak Jurnal.indb 12 12/13/2012 6:30:11 PM"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

masyarakat baik mayoritas dan minoritas dalam kaitannya dengan ekskalasi konflik sosial yang marak terjadi. Model relasi yang terjadi dalam masyarakat dan model pengelolaan hubungan relasional antar etnik, agama dan suku yang dilakukan negara ternyata sedikit banyak memang ‘mensegregasi’ dan

‘mengisolasi’; membuat satu kelompok dengan yang lain sebenarnya terasing dan saling tidak mengenal (indifference), dan ini pada gilirannya menciptakan kelompok-kelompok homogen yang didasarkan pada latar belakang agama dan kepercayaan yang terus berada dalam comfort zone wilayah masing-masing tanpa pernah berusaha untuk keluar dan memperluas perspektif mereka sendiri, atau mampu untuk menghargai secara lentur perbedaan, dan hidup dalam mutual trust antar-warga; sebuah sikap saling percaya dalam hidup bersama penuh kesantunan. Konflik sektarian berdasarkan etnis dan suku yang terjadi di Lampung Selatan pada akhir Oktober 2012 dan pada saat yang sama juga terjadi di beberapa tempat lain seperti penyerangan terus menerus terhadap aset kelompok minoritas agama (utamanya rumah dan tempat ibadah) seperti Ahmadiyah di beberapa tempat menjadi justifikasi dari munculnya enclave- enclave sektarian ini.

Bagian kedua tulisan ini melihat berkembangnya kecenderungan baru yang mengatasnamakan kepentingan mayoritas untuk menggunakan celah-celah yang ada dalam berbagai aturan negara dalam mobilisasi opini dan massa yang berujung pada tindakan kekerasan terhadap kelompok minoritas atau terhadap cara pandang yang berbeda. Fenomena yang disebut sebagai legal jihad sebagai sebuah strategi ini sebenarnya relatif baru dalam literatur studi regulasi dan hukum di tanah air. Model ini ‘mengedepankan’ pentingnya proses dan penegakan hukum positif di pengadilan tetapi pada saat yang sama terus membangun opini publik perlawanan untuk membuat kelompok atau cara pandang yang berseberangan dengan mereka yang kehilangan legitimasi, terintimidasi; dan oleh karena itu kelompok minoritas atau cara pandang yang berbeda itu seolah-olah bagian dari konspirasi kejahatan.

Kata kunci: minoritas, konflik sosial, regulasi agama, peran negara, legal jihad

(3)

Pendahuluan

Ada pertanyaan yang layak diangkat ke permukaan ketika kita memperbincangkan nasib minoritas dan peran yang harus dilakukan negara dalam kaitannya dengan konflik sosial yang bersifat sektarian:

yakni apakah memang secara legal regulasi negara telah memberikan pengakuan dan perlindungan yang semestinya terhadap kelompok minoritas tersebut?; apakah yang harus dilakukan oleh negara jika sebuah konflik sektarian dalam bentuk penyerangan fisik atau prilaku diskriminatif terjadi? Sebab, seperti yang diketahui dari berbagai kasus, kelompok minoritas tentu menjadi korban pertama jika hal-hal tersebut terjadi dalam masyarakat. Pertanyaan lanjutan yang mengemuka adalah apakah konflik bernuansa sektarianisme agama dan suku itu menjadi indikator utama dari kecenderungan menguatnya intoleransi dalam masyarakat? Trend ini tentu harus dilihat secara saksama mengingat variabel yang menjadi pemicu konflik (seperti disparitas ekonomi, kesenjangan sosial, perbedaan pendidikan dan kesempatan) bukan saja beragam tetapi juga berlapis dengan kadar skala intensitas yang juga berbeda.

Harus diakui dan disadari bahwa model relasi yang terjadi dalam masyarakat dan model pengelolaan hubungan relasional antar etnik, agama dan suku dewasa ini ternyata sedikit banyak memang

‘mensegregasi’dan ‘mengisolasi’; membuat satu kelompok dengan yang lain sebenarnya terasing dan saling tidak mengenal. Secara teoritis, model ketakacuhan (indifference) seperti ini memang merupakan tahap awal dari pola hubungan sosial yang bersifat pasif. Tentu seyogyanya diharapkan terjadi proses yang lebih kompleks untuk saling mengetahui dan saling menghargai secara tulus. Hanya sayangnya memang proses lanjutan ini acap tidak terjadi. Masyarakat berhenti pada pola relasi yang bersifat indiferensi ini, dan konsekuensinya mereka kurang siap untuk melihat atau menghargai perbedaan secara alami. Mereka akan terus berada dalam comfort zone wilayah masing-masing tanpa pernah berusaha untuk keluar dan memperluas perspektif mereka sendiri. Oleh karenanya, mengutip Kymlicka, segregasi ini berpotensi menciptakan kelompok- kelompok yang homogen yang didasarkan pada latar belakang agama dan kepercayaan yang tak mampu untuk bertahan secara lentur dalam perbedaan (how to live with “differences”).1

1 Will Kymlicka, Politics in the Vernacular: Nationalism, Multiculturalism and Citizenship,

(4)

Lebih lanjut, pola indiferensi ini memang sejatinya diadopsi secara sengaja utamanya oleh Pemerintahan Orde Baru sebagai bagian dari politik relasi untuk mengeliminir kemungkinan terjadinya konflik antar kelompok. Ia menjadi bagian integral dari preservasi SARA dimana negara dengan secara sistematis menjadikan isu suku, agama, ras dan antar-golongan sebagai tabu untuk diperbincangkan di ruang publik. Pada gilirannya disparitas perbedaan elemen-elemen itu menjadi faktor yang paling berpengaruh bagi hilangnya mutual trust antar-warga; sebuah sikap saling percaya dalam hidup bersama penuh kesantunan. Ia mereduksi nilai-nilai kewargaan (civic values) yang didasarkan pada sikap saling menghormati. Pada level dan tingkatan tertentu, ia juga terinternalisir dalam masyarakat dan memberi jalan pula bagi segregasi lanjutan berdasarkan agama, suku dan etnis; menciptakan enclave-enclave baru hubungan berdasarkan homogenitas dan persamaan semata. Pada titik ini ia mengancam nilai-nilai keadaban itu sendiri. Konflik sektarian berdasarkan etnis dan suku yang terjadi di Lampung Selatan pada akhir Oktober 2012 dan pada saat yang sama juga terjadi di beberapa tempat lain seperti penyerangan terus menerus terhadap aset kelompok minoritas agama (utamanya rumah dan tempat ibadah) seperti Ahmadiyah di beberapa tempat menjadi justifikasi dari munculnya enclave-enclave sektarian ini.

Minoritas dan Disonansi Kebijakan Negara

Jika fakta yang terpapar sebagaimana diungkap di atas merupakan persoalan mendasar dalam hubungan relasional antar-warga di tanah air, lalu apakah sejatinya hal tersebut (utamanya tentang konseptualisasi minoritas) memang diatur dalam perundangan kita. Dengan bahasa lain, adakah pengakuan terhadap eksistensi minoritas dalam konstitusi kita (UUD 1945 hasil amandemen) dan apa konsekuensinya?

Secara umum, amandemen UUD 1945 memang membawa banyak perubahan dalam konstruksi dasar hukum kita dimana hak-hak individu (individual rights) utamanya secara eksplisit mendapat perlindungan.

Hampir semua prinsip yang berkenaan dengan hak asasi manusia dapat ditemukan seperti hak untuk hidup (Pasal 28A), hak untuk mendapat informasi (Pasal 28F), hak untuk tidak disiksa dan mencari suaka (Pasal 28H), hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum serta untuk diperlakukan sama di hadapan hukum (Pasal 28D) atau hak bebas dari diskriminasi atas dasar apapun (Pasal 28I). Karena itu secara

(5)

umum dapat dikatakan bahwa komitmen konstitusional yang tersurat bagi penegakan hak-hak individu (individual rights) itu layak untuk terus didorong.

Hanya harus juga dicatat bahwa secara linear UUD 1945 hasil amandemen ini harus tetap diletakkan dalam konteks dan sebagai “instrumen persatuan”

(instrument of unity) atau “simbol persatuan nasional” (symbol of national unity) yang mengedepankan keinginan untuk ke’ikaa’n ketimbang ke’bhinneka’an entitas kultural, kepercayaan dan etnisitas dalam masyarakat. Dengan kata lain, yang menjadi keinginan utama adalah menjadi unitas ketimbang pluralitas. Oleh karena itu, konsep minority rights atau collective rights yang dilekatkan kepada kelompok-kelompok minoritas tentu tidak secara ‘terang- benderang’ ditemukan dalam konstitusi kita. Ini yang menjadi salah-satu alasan mengapa konsep minoritas dan mayoritas hanya dipandang sebagai kondisi social de facto tapi ia tidak mendapatkan pendasaran eksistensial secara legal (de jure). Di sini dengan model hegemonik dalam bungkus retorika ekualitas (equality), maka pada dasarnya konstitusi kita bukan hanya menafikan tetapi lebih jauh memberangus keragaman (diversity).

Contoh yang cukup jelas mengenai hal ini adalah bagaimana rumusan tentang kebudayaan nasional yang dianggap sebagai pertemuan kebudaya- an-kebudayaan daerah. Kalau kita merujuk pada konstitusi maka terlihat bahwa ungkapan seperti ‘Pemerintah memajukan kebudayaan nasional Indonesia’ itu sendiri sangat kabur dan membingungkan. Apa yang kita temukan selama ini ternyata hegemoni sebuah kebudayaan daerah yang diusung oleh negara (karena rezimnya kebanyakan berasal dari kebudayaan tertentu itu) dan kemudian budaya tertentu itu “didefinisikan” sebagai

‘kebudayaan nasional’ yang logika dan sistemnya harus diikuti dan diadopsi oleh kelompok-kelompok (utamanya minoritas) lain. Inilah contoh dari apa yang oleh Acciaiolidisebut sebagai model ‘an exclusionary government discourse’ dimana negara secara sadar mengukuhkan hegemoni dengan konsep kebudayaan nusantara (archipelagic culture) tersebut atas kebudayaan-kebudayaan daerah atau lokal yang ada.2 Lebih jauh dalam beberapa kasus atas nama kebudayaan dan peradaban itu, maka hak-hak kolektif yang seharusnya diberikan kepada kelompok minoritas untuk mempertahankan jati diri mereka cenderung diberangus. Kasus ‘koteka’

2 Greg Acciaioli, “Archipelagic Culture’ as an Exclusionary Government Discourse in

(6)

dan agama-agama lokal atau agama-agama suku bisa dilihat sebagai misal.

Di sini atas nama persatuan dan keseragaman tadi, ditambah dengan keinginan untuk mencapai ‘peradaban baru’, hak-hak minoritas (minority rights) tadi baik secara kultural, etnis maupun agama untuk memproteksi atau mempertahankan eksistensi mereka memang sengaja diabaikan.

Kalaupun dalam amandemen UUD 1945 ini mengandung beberapa pasal yang berkenaan dengan ‘pengakuan’ atas collective rights (seperti dalam Pasal Otonomi Daerah) maka bentuk dan semangatnya harus disaksamai. Seperti diungkap sebelumnya, collective rights adalah hak-hak yang bisa diusung oleh warganegara (atau kelompok) ketika ia menjadi bagian dari kelompok tertentu yang ‘didefinisikan’ dalam aturan negara.3 Ini lazimnya ditujukan kepada kelompok kecil, dimana hak-hak mereka dalam hal-hal tertentu bersifat pengecualian (circumstances). Hak-hak tersebut juga bersifat afirmatif yang mengatur bagaimana kelompok tersebut memproteksi atau mempertahankan eksistensi mereka di hadapan cara pandang, kebudayaan, model prilaku dari kelompok besar (majority) atau kelompok kebanyakan (mainstream).4

Kembali ke ‘problematika’ dalam konstitusi kita yang berkenaan dengan desentralisasi dan otonomi yang secara teoritis menjadi pintu bagi klaim hak-hak kolektif. ketika kebijakan ini diletakkan dalam konteks kabupaten, maka terciptalah enclave-enclave yang berafiliasi dalam etnis dan kelompok agama secara umum bersifat homogen. Konsekuensinya, dalam kehidupan keagamaan sebagai misal, enclave yang dihasilkan dari kebijakan desentralisasi itu secara logis memunculkan regulasi yang pastinya memihak kelompok mayoritas dalam enclave itu saja. Ini ditandai dengan munculnya peraturan-peraturan daerah tentang penegakan syariat Islam di beberapa kabupaten di tanah air. Pada gilirannya, enclave- enclave ini dengan intensitas politik Islamisme tertentu di beberapa tempat menjadi battleground bagi penyemaian ‘campaign against the heresy’

3 Gary F. Bell, “Minority Rights and Regionalism in Indonesia: Will Constitutional Recognition Lead to Disintegration and Discrimination?” Singapore Journal of International and Comparative Law 5 (2001): 793-4.

4 Sander menyatakan bahwa dalam prakteknya collective rights atau minority rights ini terdiri atas 2 (dua) macam yakni hak-hak yang diajukan secara individual (individually exercised minority rights) misalnya hak untuk mendapatkan pengajaran bahasa ibu bagi suku aborigin di Kanada dan hak-hak yang diajukan secara kolektif (collectively exercised minority rigths) seperti pemberlakuan hukum-hukum lokal sebagaimana terjadi di Australia. Lihat Douglas Sanders, “Collective Rights,” Human Rights Quarterly

(7)

meminjam istilah Olle, yakni ideologi anti toleran atas ajaran atau kelompok yang dianggap berbeda dan menyimpang.5 Munculnya enclave- enclave berdasarkan agama seiring dengan semangat desentralisasi tadi mungkin saja hanya sebuah kebetulan. Namun jika disaksamai, terlihat suatu pola yang cukup runtun dari apa yang disebut dengan the creeping shariatisation di Indonesia dewasa ini. Secara politis, agak sulit rasanya untuk memisahkan antara semangat penerapan syariah Islam di beberapa kabupaten dengan munculnya kesadaran untuk melakukan penyerangan fisik atas mereka yang dituduh sebagai ‘penoda agama’ seperti Ahmadiyah baru-baru ini, atau memobilisir penolakan atas ideologi Islam yang liberal, plural dan sekular, pengrusakan gereja-gereja yang dianggap ilegal, dan demontrasi RUU anti-pornografi yang terjadi beberapa waktu lalu. Pada praktek yang lebih luas, model enclaving ini juga memicu segregasi etnis mayoritas dan minoritas. Apapun penyebab dari ekskalasi konflik sosial sebagaimana terjadi di Lampung pada Oktober 2012 sebagai misal, dapat disimpulkan bahwa ini merupakan konsekuensi tak terduga (unintended consequence) dari segregasi itu sendiri.

Segregasi yang terjadi akibat munculnya enclave-enclave semakin kasat mata seiring dengan terjadi disonansi dalam sistem kenegaraan kita utamanya semenjak gerakan reformasi menumbangkan regim Orde Baru. Gerakan reformasi memang mampu memperbaharui kulit sistem kenegaraan bangsa ini. Ini menciptakan sebuah pemerintahan yang kelihatannya demokrasi. Gerakan ini berhasil menghadirkan apa yang menjadi bagian terpenting dalam kuasa yang menjadi bagian inheren dari demokrasi itu sendiri yakni ‘majority rules’ (kelompok mayoritas menjadi penguasa). Hanya saja ia melupakan elemen dan prasyarat penting lain yang juga melekat dalam sistem demokrasi itu sendiri yakni

‘to protect minority (and differences)’ (memproteksi kelompok minoritas dan menghargai perbedaan). Majority rules dan protecting minority merupakan dua sisi dari koin demokrasi yang tidak bisa dipisahkan. Jika salah satunya tidak diakui maka yang terjadi adalah praktek-praktek otoritarianisme.

Entah otoritarianisme kelompok besar terhadap kelompok kecil (seperti yang terlihat pada tahun belakang ini di tanah air); atau otoritarianisme kelompok kecil atas kelompok besar (seperti pernah terjadi pada awal masa formasi pemerintahan Orde Baru).

5 John Olle, “The Campaign against ‘Heresy’: State and Society in Negotiation in Indonesia,” Paper presented to the 16th Biennial Conference of the Asian Studies

(8)

Inilah disonansi yakni munculnya kontradiksi-kontradiksi dalam sistem kenegaraan kita. Ia kelihatan memberi ruang pada perbedaan namun sebenarnya mengebiri perbedaan itu sendiri. Kekhawatiran atas dominasi kelompok ‘mayoritas’ belakangan ini tidak hanya dalam penulisan tetapi juga penerapan beberapa regulasi di tanah air (baik di tingkat pusat maupun lokal). Memang diakui bahwa, sebagaimana diungkap oleh Beyer, eksistensi kelompok mayoritas yang dominan memberikan warna yang sangat kental dalam perumusan hukum negara. Dan pada gilirannya rumusan nilai atau hukum yang ekspresi dan bentuknya diambil dari kelompok ini merupakan fenomena umum yang ditemukan di berbagai belahan dunia. Tentu saja, kita harus cermat mendefinisikan makna mayoritas dan minoritas dalam konteks ini: apakah ia merujuk pada perbandingan numerik populasi; atau ia merujuk pada dominasi suatu kelompok atas yang lain; atau konsep ini merujuk pada perbedaan etnik, agama dan linguistik sebagai misal.6 Oleh karena itu penting kiranya ke depan untuk melakukan penelaahan yang lebih komprehensif atas hal-hal yang berkenaan dengan perlindungan atas minoritas ini. Dalam literatur studi tentang minoritas dan negara, Barth menyebut konsep minority regime dimana sebagai bagian dari perlindungan terhadap kelompok- kelompok minoritas, telah terdapat instumen-instrumen hukum dasar yang menjadi rujukan bagi upaya tersebut.7

Harus diakui bahwa dalam konteks Indonesia, sebenarnya konsepsi mayoritas (seperti halnya terjadi minoritas) nyata-nyatanya sangat kabur dan membingungkan: siapa sebenarnya yang disebut mayoritas itu. Yang kasat mata terlihat adalah konsep ‘atas nama mayoritas’ yang kerap kali dipakai untuk mengukuhkan hegemoni satu kelompok kecil yang ada dalam payung besar mayoritas yang sebenarnya sangat heterogen pula.

Tak sulit diduga bahwa kelompok kecil ini sering ‘mengedepankan’

isu pentingnya proses dan penegakan hukum yang memihak kepada kepentingan ‘atas nama mayoritas’. Dalam kaitannya dengan kehidupan beragama sebagai misal, kelompok ini menciptakan suatu model definitif terhadap apa yang diyakini sebagai agama yang sah, dan dengan model ini mereka kemudian “memaksa” negara untuk melakukan peminggiran atau membatasi kebebasan terhadap institusi atau model keberagamaan yang dianggap tidak sesuai dengan model yang mereka tawarkan. Sering

6 Lihat lebih lanjut Hikmat Budiman (ed.), Hak Minoritas: Dilema Multikulturalisme di Indonesia, Jakarta: Yayasan Interseksi, 2007, 13-15.

7 Lihat William Kurt Barth, On Cultural Rights: The Equality of Nations and the Minority Legal

(9)

kali atas nama ‘mayoritas’ tadi atau pada saat sebuah rezim begitu lemah seperti pada masa transisi, kelompok kecil yang dominan ini bisa menjelma menjadi “instutusi negara bayangan” (quasi-governing institution) yang lebih banyak mudharatnya ketimbang manfaat.

Minoritas dan Legal Jihad:

Model Konflik Baru dalam Ranah Hukum

Jika disaksamai, terdapat kecenderungan baru dari kelompok kecil yang mengatasnamakan kepentingan mayoritas tadi (yang biasanya konservatif atau militan) untuk dengan sangat cermat menggunakan celah-celah yang ada dalam berbagai aturan negara sebagai ‘stimulan’ dalam mobilisasi opini dan massa yang pada gilirannya berujung pada munculnya tindakan kekerasan. Strategi ini sebenarnya relatif baru dalam literatur studi regulasi dan hukum. Ia menjadi amunisi efektif yang digunakan untuk mendapatkan dukungan moral dari publik atas perkara dan kasus yang sedang menjadi pembicaraan atau menjadi wacana. Model ini oleh beberapa sarjana disebut sebagai legal jihad yakni perjuangan jihad dengan

‘mengedepankan’ pentingnya proses dan penegakan hukum positif di pengadilan tetapi pada saat yang sama terus membangun opini publik perlawanan untuk membuat kelompok yang berseberangan dengan mereka kehilangan legitimasi, terintimidasi dan seolah-olah bagian dari konspirasi kejahatan.8

Dalam berbagai kasus, strategi ini jelas-jelas membela penegakan aturan yang ada dan menjadi garda terdepan dalam mobilisasi membela status- quo regulasi itu, dan cenderung efektif untuk memengaruhi opini dalam proses pengambilan keputusan selanjutnya (biasanya melalui pengerahan massa). Bisa ditebak bahwa jika keputusan yang dihasilkan tidak sesuai dengan apa yang diinginkan, maka potensi dengan menggerakkan massa untuk melakukan pengrusakan atau kekerasan menjadi alternatif yang juga ditempuh jika dilihat bahwa penegak hukum kelihatan kehilangan wibawa. Apa yang terjadi di Temanggung beberapa waktu lalu ketika massa merusak beberapa gereja sebagai bentuk ketidakpuasan atas putusan hakim mengenai sebuah perkara dugaan penistaan agama dalam tataran tertentu, adalah potret dari wajah legal jihad ini.

8 Lihat Brooke Goldstein And Aaron Eitan Meyer, “’Legal Jihad’: How Islamist Lawfare Tactics Are Targeting Free Speech,” ILSA Journal of International and Comparative Law

(10)

Legal jihad tentu memiliki tingkatan-tingkatan sesuai dengan kasus dan kontroversi yang ada (dan/atau yang diciptakan). Kontestasi yang berlarut- larut tentang rumah ibadah adalah contoh lain betapa aturan tentang rumah ibadah menjadi sebuah ladang yang efektif bagi penyemaian radikalisme dan budaya kekerasan. Betapapun harus diakui bahwa peraturan baru tentang rumah ibadah ini jauh lebih baik dibanding aturan yang ada sebelumnya, aturan baru ini juga menjadi sebuah cara yang efektif untuk ‘memaksa negara’ mengambil posisi berpihak atau melakukan peminggiran.

Pada tingkatan yang tertinggi legal jihad ini bisa menjadi lawfare yang secara umum berarti penggunaan piranti hukum sebagai senjata pertempuran yang kompleks; sebuah strategi dan taktik mengedepankan manuver-manuver agresif atas celah hukum yang ada. Kasus-kasus lawfare di beberapa negara di Eropa, di Australia dan di Amerika Serikat, beberapa tahun belakangan telah menjadi sarana efektif perjuangan jihad melalui pengadilan untuk melakukan penuntutan hukum (legal suit) terhadap akademisi, organisasi-organisasi maupun institusi negara yang

‘dianggap’ memiliki pandangan ‘negatif’ terhadap gerakan Islamisme ini sebagimana yang diungkap oleh Goldstein dan Meyer. Inilah fenomena yang kelihatannya luput dari perhatian kita bersama di tanah air.

Tentu perkembangan lawfare yang menjadi fenomena hukum baru di belahan dunia Barat belum terjadi di Indonesia. Agaknya kita masih bisa bernafas lega sebab kemungkinan berkembangnya budaya lawfare masih cukup jauh dari kenyataan. Tapi bibit legal jihad sebagai tahap awal lawfare ini tentu sudah mulai tersemai secara efektif. Ini yang penting disaksami dan ditelisik lebih jauh. Sebab dari beberapa kasus kontroversial yang pernah ada, strategi legal jihad yang dijalankan terlihat sedikit banyak telah menuai keberhasilan. Salah-satu contoh yang bisa dikedepankan di sini adalah apa yang terjadi pada proses yang melingkupi upaya uji materi terhadap UU No.1/PNPS/1965 (juncto Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1969) tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama [atau yang kemudian dikenal sebagai UU No. 1/1965] pada medio tahun 2010.

Tentu kita sangat mafhum dalam perjalanannya, UU No. 1/1965 ini memang menjadi sangat represif seiring dengan konsolidasi regim Orde Baru yang otoritarian. Hasilnya memang jelas. Jika direkapitulasi secara

(11)

dalam buku Peraturan Perundang-undangan Kehidupan Beragama (1999) yang diterbitkan Kementerian Agama (Departemen Agama) RI terdapat paling tidak 51 (lima puluh satu) aturan yang berisi tentang pelarangan negara terhadap sekte, ajaran, kegiatan agama, buku-buku, kalender dan lain sebagainya, yang oleh otoritas negara dianggap menyebarkan paham palsu, menyimpang dari mainstream atau menodai satu tradisi agama tertentu sesuai dengan batasan sederhana yang ada dalam Penjelasan UU No. 1/1965 itu. Jumlah ini tentu saja berlipat jauh dari apa yang bisa kita hitung dari buku tersebut sebab banyak kasus pelarangan memang tidak tercatat di Kementerian itu.

Seperti yang dimafhumi, bahwa kasus di atas tidak semata-mata sebagai merupakan manifestasi kuatnya kontrol negara, tetapi pada saat yang sama ia juga mencerminkan kontestasi kontrol hegemoni yang secara esensial merujuk pada kepentingan dan nilai-nilai kelompok ‘mayoritas’.

Merekalah yang paling banyak mendapatkan keuntungan dari kontrol negara itu. Bagi kelompok mayoritas, betapapun UU ini secara potensial mengintervensi kehidupan mereka sendiri, namun pada dasarnya ia tetap penting untuk mempertahankan hegemoni dan untuk berkompetisi dengan kelompok yang lain. Di sini dalam beberapa kasus, regulasi itu digunakan sebagai senjata yang efektif untuk mempertahankan hegemoni dan memonopoli kebenaran. Itulah yang menjadi salah satu argumen utama bagi para pemohon uji materi untuk meninjau kembali keberadaan UU No. 1/1965.

Jika kita kembali pada upaya uji materi yang dilakukan, tentu harus digarisbawahi semenjak awal bahwa upaya para aktifis kebebasan beragama harus diapresiasi terlepas dari minimnya pemahaman konseptual yang komprehensif tentang nomenklatur kebebasan beragama itu sendiri, sejauhmana ide itu bisa disemai di sebuah negara yang notebene ‘Islami’

seperti Indonesia, dan sejauhmana mereka benar-benar akrab dengan sejarah latar belakang sebenarnya dari UU itu sendiri. Kelangkaan tinjauan teoritis yang cermat yang diajukan dalam uji materi dan kealpaan untuk mereview secara teliti proses hukum (due process of law) yang secara eksplisit termaktub dalam UU itu (dan menjadi kewajiban yang harus dipenuhi negara) tentu menjadikan loophole bagi kekalahan upaya hukum itu.

Terlepas dari hal tersebut yang tentu panjang untuk diperdebatkan, apa yang berkembang yang melingkupi proses uji materi itu di ruang publik

(12)

menarik untuk dilihat. Tanpa banyak yang menyadari opini-opini yang berkembang tentang pentingnya UU itu merupakan bagian integral dari strategi legal jihad. Di sini polarisasi opini publik yang dibangun (melalui media massa terutama) adalah bahwa aturan ini adalah ‘sakral’ dan harus dipertahankan tanpa reserve. Dibangun pula sedemikian rupa bahwa mereka yang mendukung pencabutan (atau revisi atas) UU ini adalah kelompok amoralis, penyuka sejenis, liberalis, antek Barat, pendukung komunisme dan yang lebih penting lagi adalah ‘musuh’ bersama umat Islam.

Inilah legal jihad yang sedang terjadi; sebuah kontestasi perjuangan mempertahankan kemuliaan agama Islam utamanya dari penodaan yang dilakukan oleh kelompok lain atau umat lain. Karena itu opini yang berkembang atas pentingnya mempertahankan UU ini menjadi bagian dari perjuangan bersama yang religius dan sakral demi kepentingan dan hidup mati umat Islam di Indonesia. Di sini dibangun pula logika bahwa

‘kebebasan beragama’ bukan berarti ‘kebebasan menodai agama’ dan logika ini menjadi argumen terpenting di ruang publik secara sistematis dan kontinum. Menariknya, argumen ini juga diamini oleh banyak tokoh penting organisasi-organisasi keagamaan besar di Indonesia.

Sekilas kesamaan argumen biner yang dibangun oleh kelompok Islamis dan para tokoh agama itu merupakan sebuah ‘kebetulan’ semata. Namun jika dilihat secara saksama, walau keduanya mirip, apa yang dibangun oleh para Islamis jauh lebih kompleks dari sekedar penolakan terhadap penodaan agama yang mereka kedepankan. Ia sekali lagi merupakan strategi legal untuk menegaskan identitas ortodoksi dan kedirian yang dibarengi dengan kemampuan membangun opini. Dalam beberapa hal strategi ini mirip dengan legal jihad atas nama ‘Islamophobia’ dimana beberapa organisasi Muslim berhasil membujuk Komisi Hak Azasi Manusia PBB (U.N. Human Rights Commision) untuk memberlakukan Resolusi 7/19 yang melarang diseminasi rasisme dan ide-ide yang xenophobik (yakni sebuah kebencian terhadap sesuatu yang baru seperti Islamophobia) melengkapi beberapa konvensi internasional yang telah diratifikasi berbagai negara di Barat yang melarang diskriminasi atas nama ras ataupun agama. Pada gilirannya, Resolusi ini memang menjadi amunisi baru yang efektif untuk memaksa beberapa negara, berbagai organisasi, institusi dan individu untuk bersikap ekstra hati-hati ketika memberikan opini tentang Islamisme yang berkembang di wilayah mereka.

(13)

Dalam beberapa level, legal jihad juga terlihat dalam kasus rumah ibadah di tanah air. Kasus permohonan gugatan atau uji materi pada tahun 2005 terhadap Surat Keputusan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No. 1/BER/mdn-mdg/1969 tentang Pelaksanaan Tugas Aparatur Pemerintah Dalam Menjamin Ketertiban dan Kelancaran Pelaksanaan Pengembangan dan Ibadat Agama oleh Pemeluk-pemeluknya (yang dikenal dengan SKB Rumah Ibadah tahun 1969) merupakan fitur yang memicu legal jihad di Indonesia. Sebab uji materi ini, diakui atau tidak, merupakan salah-satu landasan utama bagi keluarnya revisi atas regulasi itu. Yakni dengan dikeluarkannya Peraturan Bersama Menteri (PBM) No. 9 dan No. 8 tentang Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dalam Pemeliharaan Kerukunan, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama dan Pendirian Rumah Ibadah tahun 2006 (yang dikenal dengan PBM tahun 2006 tentang Rumah Ibadah). Tentu kontroversi di sekitar PBM menjadi kontestasi penting tidak saja bagaimana negara mengelola agama tetapi bagaimana negara, kelompok Islamis dan sebagian organisasi Islam menjadi kelompok terpenting yang mendukung regulasi baru ini vis-à-vis sekali lagi kelompok ‘liberal’ dan minoritas yang merasa dirugikan oleh regulasi rumah ibadah ini.

Menarik untuk diketengahkan salah satu argumen yang dibangun mengapa regulasi baru ini harus diberlakukan dan menjadi opini publik yang diterima begitu saja. Salah satu argumen yang diungkap (misalnya oleh Mantan Menteri Agama Maftuh Basuni) adalah bahwa regulasi ini penting untuk merespon ‘pertumbuhan rumah ibadah yang tidak imbang’

bagi masing-masing kelompok agama semenjak tahun 1997 sampai 2004.

Dikemukakan bahwa pertumbuhan jumlah masjid pada kurun waktu itu hanya 64% dan jauh tertinggal dibanding dengan pertumbuhan rumah ibadah bagi kelompok agama lain: Gereja Protestan naik 131%, Gereja Katolik naik 153%, Vihara Buddha 368% and rumah ibadah bagi Hindu 368% (Basyuni 2006).

Persoalan di sini adalah apakah memang angka-angka itu valid dan mewakili apa yang terjadi? Tentu saja dengan mudah logika yang sangat sederhana bisa dijelaskan. Bahwa jika data itu berasal dari catatan resmi yang ada di kantor Kementerian Agama maka jelas disparansi bisa terjadi.

Kecilnya jumlah masjid yang terdata lebih dikarenakan sedikit sekali pembangunan masjid yang mengikuti prosedur yang ada dalam SKB 1969 dan tercatat secara resmi di Kementerian ini. Sementara aturan-

(14)

aturan yang ketat dan permohonan izin formal yang memakan waktu bertahun-tahun tentu harus dilalui oleh kelompok agama lain ketika mereka menginginkan pendirian rumah ibadah. Ini adalah sebuah contoh dimana opini yang dibangun atas sebuah regulasi menjadi bagian dari peneguhan Islamisme itu sendiri. Yang diposisikan sebagai eksploitator dan penghasut di sini adalah para pendukung upaya peninjau-ulangan atas regulasi itu dan pada titik ini terlihat bahwa upaya sistematis legal jihad mampu membangun opini publik atas bahaya yang ditimbulkan jika regulasi ini kembali ditelisik.

Melihat contoh kontestasi menguatnya legal jihad sebagaimana yang diungkap tentu mengandaikan kelompok masyarakat harus senantiasa terlibat aktif dalam perumusan regulasi dan mengawal pelaksanaan regulasi itu secara kontinum. Di pihak lain pemerintah juga harus membuka diri untuk terus mencermati kemungkinan celah yang ada dalam aturan-aturan yang dikeluarkan yang bisa menjadi breeding ground bagi potensi radikalisasi atas beberapa peraturan yang sebenarnya cukup baik yang mampu mengatur lalu lintas hubungan antar-kelompok secara sehat. Hanya saja jika disaksamai potensi ini terus ada dan memungkinkan. Beberapa regulasi seperti tentang penyiaran agama yang belum menjadi wilayah garapan para legalist jihadits ini mungkin akan menjadi ladang pertempuran baru pada masa depan.

Adalah penting untuk ditekankan, sebagai modus vivendi, ada prinsip dasar bagi sebuah regulasi negara yang baik yakni fairness. Prinsip fairness ini paling tidak memiliki 2 dimensi: pertama, adalah kesadaran (consent) sebagai indikasi bahwa aturan itu diterapkan kepada setiap orang, dan kedua adalah resiprok (reciprocity) yakni bahwa setiap orang mendapatkan keuntungan atau kesempatan yang sama ketika aturan itu berlaku (Garvey 1996). Prinsip fairness (baik kesadaran dan resiprok) seharusnya menjadi salah-satu ukuran bagi kebajikan sebuah aturan. Inilah bagian dari sebuah civic culture yang ‘sehat’ bisa berkembang dalam sebuah sistem sosial dimana agama tidak diperlakukan sebagai entitas terpisah atau distinct sebagaimana diungkap Machacek.9 Ia tumbuh ketika semua nilai baik agama, budaya, etnis dan sebagainya diperlakukan seimbang dan proporsional. Inilah yang disebut dengan value pluralism dalam teori politik liberal kontemporer sebagaimana yang menjadi perhatian John

(15)

Rawls atau William Galston.10 Secara sederhana dapat dijelaskan di sini bahwa value pluralism melihat bahwa setiap nilai baik dari moralitas, agama maupun filsafat adalah sangat absolut (absolute depth). Yang harus ditemukan dalam pada ini adalah comprehensive doctrines sebagai modus vivendi bagi hubungan nilai-nilai itu.11 Pada ranah ini sebuah kultur keadaban tadi dapat disemai dan berkembang. Dengan ukuran itu ia akan terbukti apakah memang penting bagi masyarakat. Dalam konteks ini, maka agak jelas kiranya bahwa lebih banyak regulasi negara yang cenderung gagal memenuhi prasyarat ini. Bahkan jika ingin jujur bukan hanya regulasi-regulasi itu memiliki potensi kegagalan, tetapi juga bahwa kebanyakan regulasi yang pernah dikeluarkan itu memang nyata-nyata tidak memiliki relevansi dengan kebutuhan dan apa yang sebenarnya terjadi dalam masyarakat itu sendiri. Wallahu Alam bi al-Shawab



Daftar Pustaka

Acciaioli, Greg. “‘Archipelagic Culture’ as an Exclusionary Government Discourse in Indonesia.” The Asia Pacific Journal of Anthropology 2, 1 (2001): 1-23.

Barth, William Kurt. On Cultural Rights: The Equality of Nations and the Minority Legal Tradition. Leiden-Boston: Martinus Nijhoff Publishers, 2008.

Beaman, Lori. “The Myth of Pluralism, Diversity and Vigor: The

Constitutional Privileging of Protestantism in the United States and Canada.” Journal for the Scientific Study of Religion 42, 3 (2003): 118-126.

Bell, Gary F. “Minority Rights and Regionalism in Indonesia: Will Constitutional Recognition Lead to Disintegration and

Discrimination?” Singapore Journal of International and Comparative Law 5 (2001): 784-806.

Budiman, Hikmat. ed. Hak Minoritas: Dilema Multikulturalisme di Indonesia.

Jakarta: Yayasan Interseksi, 2007.

10 John Rawls, Political Liberalism, New York: Columbia Univeristy Press, 1996. Lihat pula William Galston, The Practice of Liberal Pluralism, Cambridge: Cambridge University Press, 2004.

11 Robert B. Talisse, “Liberalism, Pluralism, and Political Justification,” The Harvard Review of

(16)

Departemen Agama RI, Peraturan Perundang-undangan Kehidupan Beragama.

Jakarta: Departemen Agama RI, 1999.

Departemen Agama RI. Peraturan Perundang-undangan Kehidupan Beragama.

Jakarta: Departemen Agama RI, 1999.

Galston, William. The Practice of Liberal Pluralism. Cambridge: Cambridge University Press, 2004.

Goldstein, Brooke and Meyer, Aaron Eitan. “’Legal Jihad’: How Islamist Lawfare Tactics Are Targeting Free Speech.” ILSA Journal of International and Comparative Law 15, 2 (2009): 395-410.

Grim, Brian J. and Finke, Roger. “International Religion Indexes:

Government Regulation, Government Favoritism, and Social Regulation of Religion.” Interdisciplinary Journal of Research on Religion 2 (2006): 3-40.

Machacek, David W. “The Problem of Pluralism.” Sociology of Religion 64, 2 (2003): 145-161.

McGrath, Alister E. “Understanding and Responding to Moral Pluralism.”

Center for Applied Chistian Ethics Wheaton College Wheaton Illinois February 1994.

Nordbs, Ragnhild. “Regulating Religious Minorities: For Better of Worse?”

Paper presented for the 45th Annual Convention of the International Studies Association in Montreal in Quebec Canada 17-20 March 2004.

Olle, John. “The Campaign Against ‘Heresy’: State and Society in Negotiation in Indonesia.” Paper presented to the 16th Biennial Conference of the Asian Studies Association of Australia in Wollonggong 26-29 June 2006.

Rawls, John. Political Liberalism. New York: Columbia Univeristy Press, 1996.

Sanders, Douglas. “Collective Rights.” Human Rights Quarterly 13 (1991): 368- 386.

Scheinin, Martin.“Freedom of Thought, Conscience and Religion.” Studia Theologia 54 (2000): 5-18.

Talisse, Robert B. “Liberalism, Pluralism, and Political Justification.” The Harvard Review of Philosophy XIII, 2 (2005): 57-72.

Referensi

Dokumen terkait