• Tidak ada hasil yang ditemukan

Rekonstruksi Budaya Austronesia.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Rekonstruksi Budaya Austronesia."

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

REKONSTRUKSI BUDAYA AUSTRONESIA

Oleh

Ni Luh Sutjiati Beratha

sutjiati59@gmail.com

I Wayan Ardika Ardika52@yahoo.co.id

Abstrak

Para ahli telah dapat mengidentifikasi ciri-ciri umum penutur Austronesia, meskipun telah terjadi interaksi dan perubahan secara budaya dan biologi berabad-abad lamanya. Adapun ciri-ciri umum yang dimiliki oleh penutur Austronesia adalah sebagai berikut. 1) Sebagian besar penutur Austronesia di luar Melanesia dan Filipina memiliki ciri biologi yang dapat digolongkan sebagai ras Mongoloid Selatan (Southern Mongoloid); 2) Secara budaya, penutur Austronesia di masa lampau memiliki tradisi mentato tubuh; 3) Menggunakan layar pada sampan/perahu; 4) Secara etnografi maupun di masa prasejarah mempunyai style/gaya seni, dan ciri sosial yang terkait dengan urutan kelahiran (birth order) untuk saudara kandung; serta 5) pemujaan terhadap leluhur/nenek moyang yang dianggap cikal-bakal/pendiri keturunan.

Makalah ini difokuskan pada adanya kesamaan budaya dan bahasa sebagai ciri penting yang diwarisi oleh penutur Austronesia yang tersebar dari Formosa/Taiwan (di utara) hingga Selandia Baru (di selatan), dan Madagaskar (di barat) hingga Pulau Paskah di (timur). Pendekatan sosial budaya, terutama dengan menggunakan metode komparasi diterapkan dalam penulisan makalah ini. Di samping itu, pendekatan kualitatif yang lebih mengandalkan teknik pengamatan/ observasi dalam pengumpulan data dan informasi juga diterapkan. Teori-teori yang berkaitan dengan rekonstruksi budaya digunakan untuk menganalisis data.

(2)

1. Pendahuluan

Kunjungan yang dilakukan Ardika ke Taiwan pada tanggal 17 - 22 Nopember 2014, dan ke Nias pada tanggal 12 - 14 Desember 2014 menginspirasi penulisan makalah ini. Hasil kunjungan tersebut telah menambah pemahaman tentang budaya Austronesia. Di samping itu, terdapat kesamaan elemen budaya materi yang dipamerkan di museum Sejarah Universtas Nasional Taiwan (History Museum of National Taiwan University), Museum Taman Nasional Taroko (Taroko National Park) Taiwan, dan rumah Siulu (bangsawan) di Desa Bawomatolou, Kabupaten Nias Selatan, Nias.

Kesamaan bahasa merupakan ciri penting yang diwarisi oleh penutur Austronesia yang tersebar dari Madagaskar (barat) hingga Pulau Paskah (timur), Formosa/Taiwan (utara) dan Selandia Baru (selatan). Para ahli mengidentifikasi ciri-ciri umum penutur Austronesia, meskipun telah terjadi interaksi dan perubahan secara budaya dan biologi berabad-abad lamanya. Adapun ciri-ciri umum yang dimiliki oleh penutur Austronesia antara lain sebagai berikut. 1) Sebagian besar penutur Austronesia di luar Melanesia dan Filipina memiliki ciri biologi yang dapat digolongkan sebagai ras Mongoloid Selatan (Southern Mongoloid); 2) Secara budaya, penutur Austronesia di masa lampau memiliki tradisi mentato tubuh; 3) Menggunakan layar pada sampan/perahu; 4) Secara etnografi maupun di masa prasejarah penutur Austronesia mempunyai stile/gaya seni, dan ciri sosial yang terkait dengan urutan kelahiran (birth order) untuk saudara kandung; serta 5) pemujaan terhadap leluhur/nenek moyang yang dianggap cikal-bakal/pendiri keturunan.

Rekonstruksi budaya Austronesia juga akan didukung oleh kata-kata yang berkognet sebagai bukti bahwa nama-nama yang ada pada budaya Austronesia ditunjukkan oleh bukti kebahasaan yang ada pada bahasa yang tergolong ke dalam rumpun Bahasa Austronesia. Data kebahasaan diambil dari Etimologi Volume I (1980), Volome II (1984), dan Volume III

(1986). Data tersebut akan dibandingkan dengan data Bahasa Bali yang diambil dari Prasasti Bali Volume I dan II (Goris, 1954).

2. Metode Penulisan

(3)

dilakukan dengan cara peneliti ikut serta berada di tempat melakukan kegiatan bersama para pelakunya masing-masing. Namun perlu dikemukakan di sini, bahwa dalam pengamatan juga dilakukan wawancara dengan menanyakan sesuatu yang telah dilihat dan didengar terkait dengan masalah yang dikaji guna memperoleh pengetahuan dan pemahaman yang lebih jauh. Hal ini biasa dilakukan dalam pengamatan terlibat, sehingga para ahli mengatakan pengamatan terlibat sebagai pengamatan langsung bersama metode lainnya dalam pengumpulan informasi (Mulyana, 2006 : 162), atau sebagai pengamatan yang bercirikan interaksi peneliti dengan subjek (Satori dan Komariah, 2009 : 117). Aspek-aspek yang akan dicermati dalam pengamatan adalah (1) keadaan/situasi dan di rumah informan; (2) orang-orang yang ikut serta dalam situasi tersebut, termasuk jenis kelamin, usia, profesi, tempat asal, dan lain-lain; (3) kegiatan yang dilakukan orang dalam situasi tersebut; (4) benda-benda yang ada di tempat itu serta letak dan penggunaannya; (5) perbuatan, yaitu tindakan para pelaku dalam proses berlangsungnya kegiatan dalam situasi yang diamati; ekspresi wajah yang dapat dilihat sebagai cerminan perasan dan emosi.

Analisis data/informasi dilakukan secara interprétatif, terutama secara emik dan etik, sehingga dapat dihindari kemungkinan adanya masalah dengan informan yang telah melakukan sesuatu tindakan tetapi tidak mampu menginformasikan maknanya sebagaimana dikatakan oleh Brian Vay (2004). Proses analisis ini bisa sejalan dengan proses wawancara dan pengamatan, artinya analisis dilakukan secara bergantian dengan wawancara dan pengamatan dalam satu paket waktu. Secara konkret mekanismenya bahwa setiap informasi penting yang diperoleh dari informan langsung dianalisis untuk membuat hipotesis-hipotesis kecil yang kemudian digunakan untuk membuat pertanyaan yang diajukan berikutnya. Dengan demikian teknik analisis dan wawancara tersebut mengacu kepada apa yang oleh Taylor dan Bogdan (1984 : 128) disebut dengan istilah go hand-in-hand. Data yang akan dikumpulkan dalam penelitian ini sebagian besar berwujud data kualitatif. Data ini akan dianalisis dengan mengikuti prosedur analisis data kualitatif sebagaimana dikemukakan oleh Miles dan Huberman (1992), yaitu reduksi data, menyajikan data, menafsirkan data, dan menarik simpulan.

3. Pembahasan

(4)

dari bahasa yang tergolong ke dalam rumpun Bahasa Austronesian, khususnya Malayu Polinesia Barat.

3.1 Rekonstruksi Budaya Austronesia

Sebelum penutur Austronesia pindah ke Taiwan, mereka kemungkinan berasal dari Tiongkok Selatan dengan ciri budaya pertanian. Temuan arkeologi di situs Hemudu di pantai selatan Hangzhou Bay, Provinsi Zhejiang mencerminkan sebuah desa yang berasal dari 7000 tahun yang lalu dengan telah menghasilkan sejumlah temuan antara lain: gerabah, kapak batu, peralatan pertanian yang terbuat dari kayu dan tulang, pengerjaan kayu untuk pembuatan perahu/sampan, pengayuh sampan, alat pemintal benang untuk tenun, anyaman, tali dan sisa-sisa padi. Selain itu, di situs tersebut juga ditemukan tulang hewan yang telah didomestikasi seperti babi, anjing, ayam, dan mungkin juga sapi dan kerbau (Bellwood, 1995: 98).

Menurut Bellwood (1995: 100) bahwa komunitas Proto Austronesia (PAN) dan Proto Malayo-Polinesia (PMP) telah bercocok tanam atau masyarakat agraris, membuat gerabah, membuat bangunan/rumah kayu, dan mendomestikasi babi. Neolitik di Taiwan diperkirakan berasal dari 3000-4000 tahun Sebelum Masehi dengan bukti temuan arkeologi yang sama dengan di Tiongkok Selatan. Bukti arkeologi berupa padi, pollen, dan pembukaan hutan untuk lahan pertanian di Taiwan berasal dari 3000 tahun Sebelum Masehi.

Sekitar 2500-1500 BC terdapat himpunan temuan arkeologi (asemblage) yang terdiri atas gerabah berselip merah dan domestikasi babi di Filipina, Sulawesi, Kalimantan Utara, Halmahera, sampai Timor. Namun, di Indonesia bagian barat belum ditemukan/dilaporkan situs dengan karakater tersebut.

(5)

Gambar. 1. Tulang rahang babi digantung di dinding pada museum Taroko dan di rumah Siulu, Desa Bawomatolou, Nias

Dalam masyarakat Nias terdapat tradisi mengadakan upacara owase yakni semacam pesta besar dengan menyebelih sejumlah hewan untuk menjamu para tamu. Pesta ini dimaksudkan untuk meningkatkan status sosial, dan pada saat yang sama keluarga penyelenggara upacara tersebut juga bertambah kekuataan/kekuasaannya (Koestoro dan Wiradnyana,2007: 28-29). Bawi (babi) adalah hewan yang paling dibutuhkan dalam setiap pesta tradisional di Nias. Tinggi-rendahnya status sosial seseorang di Nias dapat diketahui atau diukur dari banyak-sedikitnya daging babi yang dimiliki atau tersedia untuk upacara (Koestoro dan Wiradnyana: 2007: 54). Dengan kata lain, terdapat korelasi positif antara status sosial seseorang dengan jumlah daging babi yang dimiliki oleh seseorang pada saat menyelenggarakan upacara dan pesta.

Menurut keterangan kepala Desa Bawomatolou bahwa terdapat tujuh upacara pada saat pengukuhan seseorang sebagai bangsawan (siulu) pada masyarakat Bawomatolou, Teluk Dalam, Nias Selatan. Pada saat upacara pengukuhan tersebut diadakan jamuan makan dengan menggunakan daging babi untuk para undangan yang hadir. Jumlah daging babi yang disediakan untuk upacara pengukuhan bangsawan Nias tampaknya menjadi penanda status sosial di masyarakat tersebut.

Fenomena yang sama juga terlihat pada masyarakat Toraja, terutama saat upacara kematian. Pada upacara kematian itu disembelih sejumlah kerbau. Dalam kehidupan orang Toraja jaman dulu, keberadaan kerbau adalah simbol kemakmuran, begitu pula dengan kepemilikan

babi dan sawah. Ketiga hal ini menjadi komponen penting dalam kehidupan masyarakat Toraja.

Dalam upacara adat, kerbau hanya digunakan saat kematian yakni pada upacara penguburan.

Biasanya disembelih sejumlah kerbau menurut kemampuan keluarga dan kedudukan yang

(6)

Toraja, diunduh 6/5/2015). Tanduk kerbau dipajang sebagai hiasan rumah adat warga, dan

sekaligus menunjukan status sosial pemiliknya (lihat gambar 2).

Gambar 2. Kerbau yang disembelih untuk upacara kematian dan hiasan tanduk kerbau pada

Tongkona di Toraja.

Pada saat kunjungan ke museum sejarah di Universitas Nasional Taiwan dipajang sejumlah koleksi sisir kayu, dan pada bagian pegangannya (handle) terdapat hiasan berupa kepala manusia atau ular (lihat gambar 3). Gambar sisir juga dijumpai pada sebuah patung dan hiasan pintu rumah siulu di desa Bawomatolou (lihat gambar 3). Kenyataan ini mengindikasikan adanya kesamaan seni pahat ataupun tradisi di kalangan penutur Austronesia

Gambar 3. Beberapa bentuk sisir dengan pola hias kepala manusia dan ular koleksi Museum Sejarah NTU dan gambar sisir di rumah Siulu di desa Baw omat olou, Nias

Sisir kayu (petat, bahasa Bali) kemungkinan berfungsi penting dalam masyarakat penutur bahasa Austronesia. Sisir kayu biasanya digunakan oleh mereka yang berambut panjang. Masyarakat penutur Austronesia kemungkinan mempunyai tradisi memelihara rambut panjang baik laki maupun perempuan.

Komunitas Austronesia juga mempunyai tradisi menghias tubuh dengan tato. Di museum

Taroko ditayangkan video tentang proses mentato tubuh di kalangan orang aborigin Taiwan (lihat

gambar 4). Tradisi tato pada aborigin Taiwan dilakukan pada bagian wajah baik laki ataupun

perempuan. Tradisi mentato tubuh juga dijumpai di kalangan orang Dayak Kenyah, Bahau, Iban dan

Kayan, sedangkan kelompok Dayak lain tidak memiliki praktik tersebut. Laki-laki Kenyah hanya

(7)

Kenyah meliputi rantai-rantai anjing, motif parang, tanduk-tanduk binatang di bagian lengan dan

paha, serta motif lingkaran dibetis atau pergelangan kaki. Tato pada laki-laki Kenyah merupakan

tanda kedewasaan. Gadis-gadis di Long Mekar kini tidak melanjutkan tradisi mentato diri tersebut

(Maunati, 2004: 154- 155). Mentato bagian tubuh merupakan fenomena budaya Austronesia.

Gambar 4. Tradisi t at o di kalangan aborigin Taiw an dan Dayak, Kalimant an

Tradisi menenun adalah salah satu unsur budaya Austronesia. Peralatan tenun dipamerkan

pada museum Taroko (lihat gambar 5). Kebiasaan menenun kini masih berlanjut dan tersebar di

seluruh Nusantara. Motif kain tenun di Indonesia dipengaruhi oleh pola hias geometris yang

digambarkan pada nekara Dongson seperti : spiral, meander, zigzag. Motif spiral, meander, dan belah

ketupat ditemukan pada kain tenun di kalangan orang Batak, Lampung, Dayak, Toraja, dan Timor.

Selain geometris, terdapat pula motif binatang seperti, reptil, buaya, ular, kadal dan katak. Gambar

manusia dan perahu juga diwariskan dari kebudayaan Dongson. Gambar atau motif manusia pada

kain diinterpretasikan sebagai leluhur, demikian pula bila muncul pada periode kemudian (Jay, 2010:

18-19).

Gambar 5. Pemint al benang dan alat -alat t enun yang dipajang di M useum Taroko

Tekstil pada umumnya merepresentasikan simbol status pemakainya. Pemujaan terhadap

leluhur sebagai salah satu sistem kepercayaan masyarakat Indonesia diwujudkan dalam motif

manusia, hewan dan/atau motif abstrak pada tekstil, yang dapat dilihat pada etnik Batak, Toraja,

Dayak, dan di pulau-pulau Indonesia bagian timur (Tanimbar, Maluku, dan Timor)(Jay, 2010: 21).

Upacara kematian adalah bentuk penghormatan terakhir kepada tokoh atau orang yang telah

(8)

sejumlah etnik di Nusantara. Pada masyarakat Nias misalnya, berbagai upacara yang terkait dengan

megalitik dilakukan untuk pemujaan leluhur, dan pada saat yang sama dimaksudkan untuk

menunjukan status, prestige, dan kemasyuran seseorang (Koestoro dan Wiradnyana: 2007: 70).

Upacara Rambu Solo di kalangan masyarakat Toraja telah diwarisi secara turun temurun. Keluarga yang ditinggal diwajibkan membuat sebuah pesta sebagai tanda penghormatan terakhir pada mendiang yang telah pergi. Namun dalam pelaksanaannya, upacara Rambu Solo terbagi dalam beberapa tingkatan sesuai dengan strata sosial masyarakat Toraja, yakni: Dipasang Bongi adalah upacara yang hanya dilaksanakan satu malam.

Dipatallung Bongi adalah upacara yang berlangsung selama tiga malam dan dilaksanakan di rumah dan ada pemotongan hewan. Dipalimang Bongi yakni upacara pemakaman yang berlangsung selama lima malam dan dilaksanakan di sekitar rumah serta dilakukan pemotongan hewan. Dipapitung Bongi ialah upacara pemakaman yang berlangsung selama tujuh malam, dan setiap hari ada pemotongan hewan.

Upacara tertinggi dilaksanakan dua kali dengan rentang waktu sekurang kurangnya setahun; upacara yang pertama disebut Aluk Pia biasanya dilaksanakan di sekitar Tongkonan

keluarga yang berduka, sedangkan upacara kedua yakni Rante biasanya dilaksanakan di sebuah “lapangan Khusus” karena upacara ini menjadi puncak dari prosesi pemakaman yang disertai berbagai ritual adat yang harus dijalani seperti : Ma’tundan, Mebalun (membungkus jenazah), Ma’roto (membubuhkan ornamen dari benang emas dan perak pada peti jenazah),

Ma’Popengkalo Alang (menurunkan jenazah ke lumbung untuk disemayamkan), dan yang terkahir Ma’Palao yakni mengusung jenazah ke tempat peristirahatan terakhir.

Kematian bagi masyarakat Toraja menjadi salah satu hal yang paling bermakna, sehingga tidak hanya upacara prosesi pemakaman yang dipersiapkan ataupun peti mati yang dipahat menyerupai hewan (Erong), namun mereka pun mempersiapkan tempat “peristirahatan terakhir” dengan sedemikian apiknya, yang tentunya tidak lepas dari strata sosial yang berlaku dalam masyarakat Toraja maupun kemampuan ekonomi individu bersangkutan. Tempat menyimpan jenazah adalah gua/tebing gunung atau dibuatkan sebuah rumah (Pa’tane).

(9)

upacara pemakaman Ne’Ramba’ 100 ekor kerbau dikorbankan dan didirikan dua Simbuang Batu. Selanjutnya pada tahun1807 pada pemakaman Tonapa Ne’padda’ didirikan 5 buah

Simbuang Batu, dan kerbau yang dikorbankan sebanyak 200 ekor. Ne’Lunde’ pada upacara kematiannya dikorbankan 100 ekor kerbau, dan didirikan 3 buah Simbuang Batu

(file:///C:/Users/Vaio/Documents/Arti kerbau (Bahasa Toraja tedong ) bagi orang Toraja. Diunduh tanggal 6 Mei 2015).

Kepercayaan Marapu adalah “keyakinan hidup” yang masih dianut oleh orang Sumba di Pulau Sumba, Nusa Tenggara Timur. Masyarakat Sumba yang masih menganut kepercayaan Merapu atau “ajaran para leluhur” senantiasa melakukan upacara dan perayaan ritual untuk mengiringi berbagai sendi kehidupan mereka. Kepercayaan ini dilakukan dengan ritual, perayaan, dan pengorbanan untuk penghormatan kepada sang pencipta dan arwah para leluhur mereka. Merapu dalam bahasa Sumba berarti “Yang dipertuan atau dimuliakan” terutama untuk menyebut arwah-arwah para leluhur mereka.

Soeriadiredja menjelaskan bahwa secara hirarki, Merapu terbagi menjadi dua golongan, yaitu Merapu dan Merapu Ratu.Merapu yang pertama merupakan arwah leluhur yang didewakan dan dianggap menjadi cikal-bakal dari suatu kabihu (keluarga luas, clan), sedangkan merapu Ratu ialah merapu yang dianggap turun dari langit dan merupakan leluhur dari para Merapu lainnya.

Kehadiran para marapu bagi masyarakat Sumba di dunia nyata diwakili dan dilambangkan dengan lambang-lambang suci yang berupa perhiasan mas atau perak (ada pula berupa patung atau guci) yang disebut Tanggu Marapu. Lambang-lambang suci itu disimpan di Pangiangu Marapu, yaitu di bagian atas dalam menara uma bokulu (rumah besar, rumah pusat) suatu kabihu.

(10)

Pengakuan adanya Sang Maha Pencipta biasanya dinyatakan dengan kata-kata atau kalimat kiasan. Itu pun hanya dalam upacara-upacara tertentu atau peristiwa-peristiwa penting saja. Dalam keyakinan Marapu, Sang Maha Pencipta tidak campur tangan dalam urusan duniawi dan dianggap tidak mungkin diketahui hakekatnya sehingga untuk menyebut nama-Nya pun dipantangkan.

Hampir seluruh segi-segi kehidupan masyarakat Sumba diliputi oleh rasa keagamaan. Bisa dikatakan agama Marapu sebagai inti dari kebudayaan mereka, sebagai sumber nilai-nilai dan pandangan hidup, serta mempunyai pengaruh besar terhadap kehidupan masyarakat yang bersangkutan. Orang Sumba juga percaya bahwa manusia merupakan bagian dari alam semesta yang tak terpisahkan.

Manusia yang masih hidup mempunyai kewajiban untuk tetap dapat mengadakan hubungan dengan arwah-arwah leluhurnya. Mereka beranggapan bahwa para arwah leluhur itu selalu mengawasi dan menghukum keturunannya yang telah berani melanggar segala nuku-hara sehingga keseimbangan hubungan antara manusia dengan alam sekitarnya terganggu. Untuk memulihkan ketidakseimbangan yang disebabkan oleh perbuatan manusia terhadap alam sekitarnya dan mengadakan kontak dengan para arwah leluhurnya, maka manusia harus melaksanakan berbagai upacara.

Tradisi leluhur yang diwariskan selama berabad-abad bersamaan dengan pandangan hidup orang Sumba, dewasa ini mulai dipengaruhi oleh kehidupan yang berasal dari luar kehidupan mereka. Generasi muda Sumba kini telah memperoleh cara pandang yang baru dan berbeda dengan tradisi serta ajaran yang telah diwariskan oleh leluhur mereka. Kendati demikian generasi muda Sumba masih menyimpan hormat dengan menjalankan nilai-nilai kepercayaan Merapu dalam kehidupannya (file:///C:/Users/Vaio/Documents/Marapu Ajaran dan Kepercayaan Leluhur Masyarakat Sumba.htm, diunduh 6 Mei 2015 ).

3.2 Kata-Kata Berkognet pada Bahasa-Bahasa Austronesia

(11)

Makalah ini juga menggunakan data serupa dengan membandingkan kata-kata yang memiliki kognet pada bahasa-bahasa yang tergolong ke dalam rumpun Bahasa Austronesia.

Menurut Blust (1980:11) Bahasa Bali dikelompokkan ke dalam sub-grup Bahasa Malayu-Polinesia Barat yang terdiri atas Sumatra, Jawa, Bali, Sasak, dll. Berikut akan disajikan kata-kata yang berkognet sebagai bukti dari bahasa-bahasa yang serumpun dari Proto Austronesia (PAN). Kata-kata PAN akan diberi tanda bintang (*), sedangkan kognet pada Bahasa Bali akan ditulis dibawah garis putus-putus.

3.2.1 Vokal

PAN memiliki empat bunyi vokal, yaitu *i, *a, *e, dan *u PAN *i pada posisi akhir

PAN *siji ‘sejenis ayakan/ saringan’ PSas sidi ‘ayakan’

TAG sili ‘ayakan’

BBK sigi ‘ayakan’

---

BB sidi ‘ayakan’

PAN *a pada posisi penultimate

PAN *lamak ‘tikar’

BJ lamak ‘sejenis alas’

BSas lamak ‘tikar’ ---

BB lamak ‘sejenis tikar untuk hiasan tempat pemujaan’

PAN *a pada posisi akhir

PAN *qara? ‘sejenis pohon’ BJK (h) ara ‘pohon ara’ SAN aha ‘sejenis pohon ara’ BSas ara ‘pohon ara’ ---

BB aa ‘pohon ara’

PAN *ě pada posisi penultimate

(12)

BB kědik ‘sedikit’

PAN * ě pada posisi akhir

PAN *pěkpěk ‘berkerumun’ BM pěpěk ‘berkumpul’ BSas pěpěk ‘berkerumun’ BJ pěpěk ‘berkumpul’ ---

BB pěpěk ‘semua/ lengkap’

PAN *u pada silebel pertama

PAN *bulan ‘bulan’

CEB bulan ‘bulan’

CHM bulan ‘bulan’

---

BB bulan ‘bulan

PAN *u pada silebel ke dua

PAN *pitung ‘sejenis bambu’

BM bitung ‘bambu besar’

BKL bitu ‘bambu’ ---

BB pětung ‘sejenis bambu’

PAN *u >o ada baik pada Bahasa Bali (Sutjiati Beratha, 1992:100), maupun pada Bahasa Sasak dan Sumbawa ( Meko Mbete (1990)) seperti contoh berikut.

PAN *tatu ‘tanda rajah/cahcahan’ BJK tatu ‘luka’

---

BB tatu ‘luka’

Menarik untuk dikemukakan di sini bahwa kata PAN *tatu ‘tanda rajah cacahan’yang selanjutnya berubah menjadi tato. Aktivitas kebudayaan mentato sudah dilaksanakan pada sejak 3000 Sebelum Masehi, atau bahkan mungkin lebih awal, contoh lain adalah seperti yang ditemukan oleh Meko Mbete (1990).

PSas olas ‘sebelas’ PSum olas ‘sebelas’ ---

(13)

PSas kado ‘rugi’ PSum kado ‘rugi’ --- BB kado ‘rugi’

Blust (1980) tidak menemukan *e untuk PAN, akan tetapi menurut Clynes (1989:149), /e/ dan /o/ pada bahasa Bali berasal dari Bahasa Sanskerta. Meko Mbete (1990:167; 173) dalam Rekonstruksi Proto Bali-Sasak-Sumbawa mengatakan bahwa fonem /e/ dan /o/ ada pada bahasa Sasak dan Sumbawa, dan bukti tersebut diperkuat oleh Sutjiati Beratha (1992:95) fonem /e/ dan /o/ juga dimiliki oleh Bahasa Bali Kuna karena ke dua fonem tersebut sudah ada pada prasasti Bali Kuna yang berangka tahun 882. Bukti tersebut disajikan pada data berikut.

PSas bale ‘rumah’ PSum bale ‘rumah’ ---

BB bale ‘rumah’

PSas pane ‘tempayan’ PSum pane ‘tempayan’ --- BB bale ‘tempayan’

PSas kěbo kerbau PSum kěbo kerbau --- BB kěbo ‘kerbau’

(14)

3.2.2 Konsonan

Konsonan PAN terdiri atas *w, *y, *p, *t, *c, *k, *b, *d, *z, *g, *m, *n, *ng, *ny, *l, *r, *s, *q.

Semi Vokal

Meko Mbete (1990) mengusulkan bahwa semi vocal /w/ dan /y/ mungkin sudah ada bahasa-bahasa yang tergolong ke dalam bahasa Malayu Polinesia Barat. Kehadiran ke dua fonem ini ditemukan pada kata di antara vocal. Bukti tersebut didukung oleh data BJK dan BBK yang akan disajikan pada contoh untuk ke dua fonem /w/ dan /y/ seperti berikut.

PAN *w (?)

BSas lawang ‘pintu’ BSum lawang ‘pintu’ ---

BB lawang ‘pintu’

BJK bawi ‘babi’ BBK bawi ‘babi’ --- BB bawi ‘babi’

Binatang bawi ‘babi’ pada contoh di atas digunakan sebagai sarana upacara dan untuk menjamu tamu seperti yang telah dipaparkan di atas. Kata ini tampaknya sudah ada sejak 2500 atau mungkin 1500 Sebelum Masehi.

PAN *y

PAN *suyung ‘bergetar’

AKL huyung ‘bergetar’

BJK (h)uyang ‘merasa panas’

---

BB uyang ‘gelisah’

PAN Stop Tak Bersuara

*p

PAN *puyuq ‘burung puyuh’ TAG pugo ‘burung puyuh’

BM puyoh ‘burung puyuh’

(15)

PAN *děrěp ‘membantu secara komunal’ BSun děrěp ‘membantu pada saat panen’ BJ děrěp ‘membantu pada saat panen’ ---

BB děrěp ‘membantu pada saat panen sebagai imbalannya adalah hasil panennya’

*t

PAN *ampět ‘menutup aliran’

TAG ampat ‘menutup aliran’

BJ ampět ‘menahan’ --- BB ěmpět ‘menahan aliran’

*c

PAN *cělěb ‘masuk ke air’ BM cělěp ‘masuk ke air‘ --- BB cělěb ‘masuk ke air’

PAN *pacěk ‘paku’

BM pacak ‘paku’

BJK pacěk ‘paku’ ---

BB pacěk ‘paku/ menanam’

*k

PAN *kamuning ‘sejenis tanaman’

CEB kamuning ‘sejenis tanaman’

BJK kamuning ‘sejenis tanaman’

---

BB kamuning ‘sejenis tanaman’

PAN *sikěp ‘burung elang’

CEB sikup ‘burung elang’

BM sikap ‘burung elang

--- BB sikěp ‘burung elang’

(16)

PAN Stop Bersuara

*b

PAN *bang(e)qěs ‘bau tidak enak’

BON bang? ěs ‘bau tidak enak’

MGG bangěs ‘mulai berbau tidak enak

--- BB bangěs ‘bau/ rasa tidak enak’

PAN *lě (m)beng ‘lembah’ BM lěmbah ‘lembah’ BJ lěmbah ‘lembah’ --- BB lěbah ‘landai’

PAN *lě (b)lěb ‘berendam’ BM lělap ‘berendam’ BJK lěleb ‘berendam’ ---

BB lěblěb ‘berendam’

*z

PAN *zě (m)pit ‘menjepit’ BM jěpit ‘menjepit’ BJ jěpit ‘menjepit’ --- BB jěpit ‘menjepit’

*g

PAN *sě (ng)gěr ‘segar/sehat’ MGG cěngěr ‘segar/ sehat’ BM sěgar ‘segar’ BJ sěger ‘segar/sehat’ --- BB sěgěr ‘segar/ sehat’

PAN *sagsag ‘retak’

ILK sagsag ‘retak’

TAG sagsag ‘retak’

---

(17)

PAN Nasal

*m pada posisi penultimate

PAN *gěměl ‘menggenggam dengan tangan’

IKL gammal ‘menggenggam dengan tangan’

BM gěměl ‘menggenggam dengan tangan’ --- BB gěměl ‘menggenggam dengan tangan’

*m pada posisi akhir

PAN kizěm ‘memejamkan mata’ ILK kiděm ‘memejamkan mata’ BM kirěm ‘memejamkan mata’ --- BB kiděm ‘memejamkan mata’

*n

PAN *iněm ‘minum’ BK iněm ‘minum’ BSas iněm ‘minum’ --- BB inum ‘meinum’

PAN *suqun ‘menjunjung’

PAI tuqut ‘menjunjung’

MUK su?un ‘menjinjing’

--- BB suun ‘menjunjung’

*ny

PAN *qanyud ‘terapung’

NgD hanyut ‘terapung’

BM anyut ‘terapung’

---

BB anyud ‘terapung’

*ng pada posisi penultimate PAN *běngěr ‘tuli’

CEB bungug ‘tuli’

MIN bangar ‘tuli’

---

(18)

*ng pada posisi akhir

PAN *něngněng ‘menatap’ PAI těng ‘menatap’ MAR něněng ‘menatap’ ---

BB něngněng ‘menatap’

PAN Liquid

*l

PAN *silěm ‘lenyap dari pandangan’

BK silěm-silěm ‘melakukan sesuatu dengan diam-diam’

BM silam ‘mendung/ suram’

BJ silem ‘menyelam’

--- BB silěm ‘menyelam’

PAN *taltal ‘memukul/ menghancurkan’ ISG taltal ‘menghancurkan’

BT taltal ‘memukul/ menghancurkan’ --- BB taltal ‘memukul/ menghancurkan’

*r

PAN *r > *r atau *R. *r adalah apical trill, sedangkan *R mungkin bunyi velar. Menurut Collin (1981:12—14), proto Malayu Polinesia *R mungkin merupakan bunyi vilar fricative, tepi Sneddon (1984:39—40) menganggap *R adalah bunyi fricative uvular karena *R dapat berubah dengan mudah menjadi /r/ atau /h/. Pada Bahasa Bali, fonem ini tampaknya kadang-kadang menjadi O sehingga PAN *R > h > O.

PAN *ratu ‘titel’ BM datu ‘titel’ BBK ratu ‘titel’ --- BB ratu ‘titel’

PAN *gěrit ‘menggosok’ BM gěrit ‘menggosok’ MGG gěrit ‘menggosok’ --- BB gěrit ‘menggosok’

(19)

*puruq > puhuh > puuh ‘burung puyuh’

*rěbuk > hěbuk .> ěbuk ‘debu’

*linur > linuh ‘gempa’

PAN *s

*s pada posisi penultimate

PAN *gasgas ‘menggaruk’

CEB gasgas ‘menggaruk’

BM gergas ‘menggaruk’

---

BB gasgas ‘menggaruk’

PAN *kělas ‘mengupas’ BON kělas ‘mengupas’ --- BB kělas ‘mengupas’

PAN spirant *q

*q

PAN *suqun ‘menjunjung’

LgA su?un ‘menjunjung’

BBk suhun ‘menjunjung’

--- BB suun ‘menjunjung’

PAN *panaq ‘memanah’ TAG pana? ‘memanah’

BM panah ‘memanah’

BJ panah ‘memanah’

---

BB panah ‘memanah’

4. Simpulan

Unsur seni (pahat/ukir, tato, dan tenun), pemujaan leluhur, dan bahasa digunakan merekonstruksi budaya Austronesia. Kesamaan unsur budaya tersebut mengindikasikan eksistensi dan kontak di kalangan komunitas penutur Austronesia yang tersebar di wilayah Nusantara. Tradisi seni dan upacara pemujaan leluhur masih tetap berlanjut, meskipun telah mengalami dinamika dan perubahan karena pengaruh dari luar dan perkembangan lokal.

Kesamaan budaya juga didukung oleh kata-kata yang berkognat. Kata bawi dan kebo

(20)

PAN *tatu dimulai sejak 3000 Sebelum Masehi. Demikian pula titel untuk bangsawan PAN *Ratu telah digunakan oleh masyarakat Austronesia sekitar 3000 SM.

Daftar Singkatan

AKL = Aklanon

BBK = Bahasa Bali Kuna BB = Bahasa Bali

BON = (Bahasa) Bontok BT = (Bahasa) Batak Toba BKL = (Bahasa) Bikol ILK = (Bahasa) Ilokano BJK = Bahasa Jawa Kuna BJ = Bahasa Jawa CHN = (Bahasa) Chamoro CEB = (Bahasa) Cebuano PAN = Proto Austronesia MGG = (Bahasa) Magarai NgD = Ngaju Dayak MIN = (Bahasa) Minangkabau MAR = (Bahasa) Maranao ISG = (Bahasa) Isneg

PSas = Proto Sasak BS = Bahasa Sasak PSum = Proto Sumbawa BSun = Bahasa Sunda

SAN = Sangir PAI = (Bahasa) Paiwan

TAG = Tagalog MUK = (Bahasa) Mukah

LgA = Long Anap

Daftar Pustaka

Ardika, I Wayan. 1986. Sumbangan Linguistik terhadap Arkeologi: Studi kasus dalam Prasejarah Melanesia. Pertemuan Ilmiah Arkeologi. 309-326. Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional.

Bellwood, Peter. 1995. Austronesian Prehistory in Southeast Asia: Homeland, Expansion and Transformatin. Dalam Bellwood, P., James J. Fox & Darell Tryon (eds). 1995. The Austronesians. Historical & Comparative Perspectives. pp: 96-111. Canberra: ANU Printing Service.

Bellwood, P., James J. Fox & Darell Tryon (eds). 1995. The Austronesians. Historical & Comparative Perspectives. Canberra: ANU Printing Service.

Blust, R.A. 1980. ‘Austronesian Etymologies I. OceanicLinguistics 7— 9 : 104—162. Blust, R.A. 1983--1984. ‘Austronesian Etymologies II. OceanicLinguistics 22— 23 : 29—

149.

Blust, R.A. 1986. ‘Austronesian Etymologies III. OceanicLinguistics 25 : 1—123.

Brandstetter, R. 1916. An Introduction to Indonesian Linguistics. London: The Royal Asiatic Society.

Clynes, A. 1989. ‘Speech Styles in Javanese and Balinese: A Comparative Study’. Tesis, The Australian National University.

Dahl, O. C. 1977. Proto Austronesian. Scandinavian Institute of Asian Studies Monograph Series 15. London: Curzon Press.

Dyen, I. 1971. ‘The Austronesian Languages and Proto-Austronesian’. Current Trends in Linguistics (5—54) dalam T.A. Sebeok (ed.). The Hague: Mouton and Co.

Goris, R. 1954. Prasasti Bali I dan II. Bandung: Masa Baru

(21)

Their Histories. Dalam Bellwood, P., James J. Fox & Darell Tryon (eds). 1995. The Austronesians. Historical & Comparative Perspectives. pp: 152-163. Canberra: ANU Printing Service.

Jay, Sian, E. 2010. Tenun. Handwoven Textiles of Indonesia. Jakarta: BAB Publishing Indonesia.

Koestoro, Lukas Partanda dan Ketut Wiradnyana. 2007. Megalithic Traditions in Nias Island. Medan: North Sumatra Heritage Series No. 0105.

Maunati, Yekti. 2004. Identitas Dayak. Komodifikasi dan Politik Kebudayaan. Yogyakarta:

LkiS.

Meko Mbete, A. 1990. Rekonstruksi Proto Bali-Sasak-Sumbawa. Disertasi pada Universitas Indonesia. Jakarta: Universitas Indonesia.

Sutjiati Beratha, Ni Luh. 1992. Evolution of Verbal Morphology in Balinese. Disertasi pada The Australian National University. Australia: Canberra.

Tryon, Darrell. 1995. Proto-Austronesian and The Major Austronesian Subgroups. Dalam Bellwood, P., James J. Fox & Darell Tryon (eds). 1995. The Austronesians. Historical & Comparative Perspectives. pp: 17-38. Canberra: ANU Printing Service.

Internet

1. file:///C:/Users/Vaio/Documents/Arti kerbau (Bahasa Toraja tedong ) bagi orang Toraja. Diunduh tanggal 6 Mei 2015.

Gambar

Gambar. 1. Tulang rahang babi digantung di dinding pada museum Taroko dan di rumah Siulu, Desa Bawomatolou, Nias
Gambar 2. Kerbau yang disembelih untuk upacara kematian dan hiasan tanduk kerbau pada Tongkona di Toraja

Referensi

Dokumen terkait