• Tidak ada hasil yang ditemukan

Studi Deskriptif Mengenai Orientasi Nilai Individualism-Collectivism Pada Masyarakat Jawa Keturunan Ningrat Usia Dewasa Madya di Jakarta.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Studi Deskriptif Mengenai Orientasi Nilai Individualism-Collectivism Pada Masyarakat Jawa Keturunan Ningrat Usia Dewasa Madya di Jakarta."

Copied!
59
0
0

Teks penuh

(1)

Universitas Kristen Maranatha

ABSTRAK

Penelitian tentang “Studi Deskriptif Mengenai Orientasi Nilai Individualism-Collectivism Pada Masyarakat Jawa Keturunan Ningrat Usia Dewasa Madya Di Jakarta”. Bertujuan untuk mengetahui adanya orientasi nilai Collectivism dan mengetahui status orientasi nilai Individualism-Collectivism. Sampel diperoleh dengan metode purposive sampling, dan berjumlah 30 orang dengan karakteristik sampel yang berusia antara 40-60 tahun, telah menikah dengan budaya lain, dan berdomisili di Jakarta.

Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah Individualism-Collectivism yang merupakan karya dari Harry C. Triandis (1995). Dalam penelitian ini, responden dijaring melalui kuesioner INDCOL (Individualism-Collectivism) yang disusun oleh Triandis (1995), lalu dikembangkan oleh Singelis dan diadaptasi oleh peneliti. Data yang diperoleh diolah menggunakan uji korelasi Pearson dengan hasil validitas antar aspek yaitu orientasi nilai Vertical Individualism adalah 0,720; orientasi nilai Horizontal Individualism adalah 0,872; orientasi nilai Vertical Collectivism adalah 0,902; dan orientasi nilai Horizontal Collectivism adalah 0,796, sedangkan analisis reliabilitas Alpha Cronbach dengan hasil 0,746 menggunakan program SPSS 16.0 for Windows.

Dalam penelitian ini diperoleh hasil bahwa mayoritas masyarakat Jawa Keturunan Ningrat yang telah berdomisili cukup lama di Jakarta cenderung berada pada orientasi nilai Vertical Individualism (26,7%). Sedangkan responden dengan orientasi nilai Vertical Collectivism dan Horizontal Individualism memiliki kedudukan yang seimbang dengan masing-masing sebanyak 23,3%. Responden dengan orientasi nilai Horizontal Collectivism dalam penelitian ini diperoleh sebanyak 20%.

(2)

Universitas Kristen Maranatha

DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN ... i

ABSTRAK ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR TABEL ... x

DAFTAR BAGAN ... xi

DAFTAR LAMPIRAN ... xii

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah ... 1

1.2 Identifikasi Masalah ... 11

1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian ... 11

1.4 Kegunaan Penelitian ... 12

1.5 Kerangka Pemikiran ... 13

1.6 Asumsi ... 22

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Nilai ... 23

2.1.1 Pengertian Nilai ... 23

(3)

Universitas Kristen Maranatha

2.1.3 Variasi nilai antar budaya ... 27

2.2 Budaya ... 28

2.2.1 Pengertian Budaya ... 28

2.2.2 Karakteristik Budaya ... 28

2.3 Orientasi Nilai Individualism-Collectivism ... 30

2.3.1 Pengertian orientasi nilai Individualism-Collectivism ... 30

2.3.2 Faktor-faktor yang mempengaruhi kecenderungan Individualistis kolektivis seseorang ... 35

2.3.3 Faktor kondusif yang terdapat pada orientasi nilai Individualism-Collectivism ... 38

2.3.4 Atribut-atribut yang mempengaruhi orientasi nilai Individualism-Collectivism ... 40

2.4 Enkulturasi ... 48

2.4.1 Pengertian Enkulturasi ... 48

2.4.2 Faktor-faktor yang mempengaruhi proses Enkulturasi ... 48

2.5 Akulturasi ... 50

(4)

Universitas Kristen Maranatha

2.6 Budaya Jawa Keraton Surakarta ... 51

2.6.1 Kehidupan dunia keraton ... 52

2.6.2 Ciri-ciri budaya keraton ... 53

2.6.3 Keluarga dan kerabat ... 54

2.6.4 Sistem perkawinan bangsawan dan priyayi ... 56

2.6.5 Kehidupan beragama dan sistem kepercayaan ... 57

2.6.6 Pola tingkah laku, bahasa, kostum ... 58

2.7 Tahap perkembangan ... 61

2.7.1 Masa dewasa madya ... 62

2.7.2 Karakteristik dewasa madya ... 62

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian ... 64

3.2 Bagan Rancangan Penelitian ... 64

3.3 Variabel Penelitian dan Definisi Operasional ... 65

3.4 Alat Ukur ... 67

3.5 Populasi Sasaran Dan Teknik Sampling ... 69

3.6 Validitas dan Reliabilitas ... 70

(5)

Universitas Kristen Maranatha

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.1 Gambaran Responden ... 73

4.2 Hasil Penelitian ... 76

4.3 Pembahasan ... 81

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan ... 92

5.2 Saran ... 93

DAFTAR PUSTAKA ... 95

DAFTAR RUJUKAN ... 98

(6)

Universitas Kristen Maranatha

DAFTAR TABEL

3.1 Tabel kisi-kisi alat ukur ... 67

4.1.1 Tabel berdasarkan jenis kelamin responden ... 73

4.1.2 Tabel berdasarkan usia responden ... 74

4.1.3 Strata sosial atau gelar kebangsawanan responden ... 74

4.1.4 Tabel berdasarkan jenis pendidikan terakhir responden ... 75

4.1.5 Tabel berdasarkan jenis pekerjaan responden ... 75

4.1.6 Lamanya responden berdomisili di Jakarta ... 76

4.2.1 Pengelompokkan responden berdasarkan kategori orientasi nilai Individualism-Collectivism ... 76

4.2.2 Tabulasi silang antara gelar kebangsawanan dengan orientasi nilai Individualism-Collectivism ... 77

4.2.3 Tabulasi silang antara usia dengan orientasi nilai Individualism-Collectivism ... 78

4.2.4 Tabulasi silang antara pendidikan terakhir responden dengan orientasi nilai Individualism-Collectivism ... 79

4.2.5 Tabulasi silang antara jenis pekerjaan dengan orientasi nilai Individualism-Collectivism ... 80

(7)

Universitas Kristen Maranatha

DAFTAR BAGAN

(8)

Universitas Kristen Maranatha

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 ... 99

Lampiran 2 ... 103

Lampiran 3 ... 105

Lampiran 4 ... 106

Lampiran 5 ... 107

Lampiran 6 ... 108

Lampiran 7 ... 112

Lampiran 8 ... 113

Lampiran 9 ... 116

(9)

Lampiran 1 : data penunjang

DATA PENUNJANG

Saya, mahasiswi Fakultas Psikologi Universitas “X”, akan melakukan pengujian alat ukur untuk menunjang data yang akan digunakan pada penyusunan skripsi mengenai nilai Individualism-Collectivism dari budaya seseorang yang ditujukan pada usia 40-60 tahun di Jakarta.

Adapun petunjuk pengisian kuesioner ini adalah Bapak/Ibu menjawab pertanyaan berdasarkan atas penghayatan Bapak/Ibu sendiri dan tidak didasarkan atas penghayatan orang lain maupun norma yang berlaku di masyarakat.

Atas partisipasi dan kerjasama Bapak/Ibu, saya mengucapkan terima kasih.

Identitas

Nama ( Inisial) : ………

Jenis Kelamin : L / P

Usia : ... tahun

Pendidikan terakhir : ……… Pekerjaan : ...

Status Perkawinan : ………

(10)

1. Dari segi budaya, Anda memandang diri sebagai :

a. Masih memegang nilai atau tradisi budaya dari orangtua b. Sudah berbaur dengan budaya lain atau lingkungan setempat c. Memiliki pandangan tersendiri akan nilai budaya yang Anda miliki d. Anda melepas budaya sendiri dan mengikuti budaya lain.

2. Dalam berumah tangga saat ini, yang tinggal dengan keluarga Anda saat ini : ...

a. Suami/ istri saja b. Anak

c. Anak dan menantu d. Orangtua/ mertua e. ...

3. Budaya apa saja yang ada di lingkungan sekitar Anda ? a. Jawa

b. Batak c. Sunda

d. Keturunan Tiong Hoa e. ...

4. Hal apa saja yang biasa Anda lakukan di akhir pekan atau saat sedang libur?

a. Berkumpul bersama keluarga

b. Berkumpul bersama teman/ rekan kerja

c. Beraktivitas dengan kesibukan Anda (berhubungan dengan pekerjaan) d. Beraktivitas dengan kesibukan Anda (berhubungan dengan hobi/

olahraga)

(11)

5. Berapa banyak waktu yang Anda habiskan bersama dengan teman/ rekan kerja dalam sepekan?

a. 1-2 hari b. 3-4 hari c. 5-6 hari d. Setiap hari e. Tidak pernah

6. Apa saja yang sering Anda lakukan bila berkumpul dengan teman-teman? a. Mengobrol (bertukar pikiran)

b. Memasak/ berolahraga bersama c. Jalan-jalan

d. Melakukan hobi bersama e. ...

7. Kegiatan organisasi berupa apa saja yang Anda ikuti saat ini? a. Organisasi sosial/ kesehatan

b. Organisasi kesenian/ olahraga c. Organisasi politik/ ekonomi d. Organisasi budaya

(12)

8. Ketika mengetahui bahwa Anda termasuk salah satu keluarga (trah) dari keturunan Ningrat Keraton Surakarta, nilai-nilai budaya apa yang Anda peroleh dan sejauhmana Anda mempertahankan nilai budaya tersebut hingga saat ini?

9. Nilai budaya apa saja yang ditanamkan orangtua kepada diri Anda sejak kecil hingga saat ini?

10.Bagaimana Anda menerapkan nilai budaya tersebut di atas dalam keluarga Anda saat ini ?

11.Adat istiadat dan tradisi apa yang masih diterapkan dalam kehidupan Anda saat ini ?

(13)

Lampiran 2 : Kuesioner

KUESIONER

PETUNJUK MENGISIAN ANGKET

Kuesioner dibawah ini bersifat anonim, dan tidak ada jawaban benar atau salah.

Anda dimohon untuk mengisi pernyataan-pernyataan dibawah ini dengan cara melingkari ( ) pada salah satu kolom yang tersedia. Jika anda sangat setuju berilah tanda ( ) pada kolom angka 9, jika sangat tidak setuju, berilah tanda ( ) kolom angka 1, jika anda merasa tidak yakin dengan pernyataan tersebut, berilah tanda ( ) pada kolom angka 5 pada pernyataan tersebut. Jika anda merasa pernyataan tidak bisa anda “kenakan”/terapkan pada anda, berilah tanda ( ) pada kolom angka 5.

Sangat tidak setuju sangat setuju 1 2 3 4 5 6 7 8 9

No. Pernyataan 1 2 3 4 5 6 7 8 9 JLH

1. Kebahagiaan saya tergantung pada kebahagiaaan orang-orang sekitar saya

1 2 3 4 5 6 7 8 9 HC

2. Saya akan mengerjakan sesuatu jika diijinkan oleh keluarga saya, walaupun kegiatan yang menjijikan

1 2 3 4 5 6 7 8 9 VC

3. Apa yang terjadi pada saya adalah hasil dari apa yang saya lakukan

1 2 3 4 5 6 7 8 9 HI

4. Saya biasa mengorbankan kesenangan saya demi kepentingan kelompok saya

1 2 3 4 5 6 7 8 9 VC

5. Penting bagi saya bahwa apa yang saya kerjakan lebih baik dari yang lain

1 2 3 4 5 6 7 8 9 VI

6. Saya suka bekerja sama dalam hal-hal sederhana dengan tetangga saya

1 2 3 4 5 6 7 8 9 HC

7. Saya menikmati pekerjaan yangsituasinya melibatkan kompetisi dengan orang lain

1 2 3 4 5 6 7 8 9 VI

8. Kami harus tetap menjaga orang tua kami tetap bersama-sama dalam satu rumah

1 2 3 4 5 6 7 8 9 VC

9. Saya merasa unik dan berbeda dari orang lain dalam beberapa hal

(14)

10. Kompetisi merupakan suatu hukum yang wajar/alami

1 2 3 4 5 6 7 8 9 VI

11. Saya seorang individu yang unik 1 2 3 4 5 6 7 8 9 HI

12. Bagi saya, kesenangan terjadi saat saya menghabiskan waktu bersama teman

1 2 3 4 5 6 7 8 9 HC

13. Saya akan mengorbankan aktivitas yang sangat saya sukai jika keluarga saya tidak menyetujuinya

1 2 3 4 5 6 7 8 9 VC

14. Tanpa kompetisi tidaklah mungkin menjadi masyarakat yang baik

1 2 3 4 5 6 7 8 9 VI

15. Saya merasa nyaman saat bekerja sama dengan orang lain

1 2 3 4 5 6 7 8 9 HC

16. Saat akan sukses, biasanya hal tersebut karena kemampuan saya

(15)
(16)

Lampiran 4 : Hasil Profil orientasi nilai Individualism-Collectivism TOTVI TOTHI TOTVC TOTHC Profil

32 20 12 20 Vertical Individualism

24 24 12 24 Horizontal Individualism

36 20 24 28 Vertical Individualism

28 8 12 24 Vertical Individualism

22 20 26 30 Horizontal Collectivism

32 26 19 32 Horizontal Individualism

25 26 31 25 Vertical Collectivism

29 30 31 30 Vertical Collectivism

34 30 27 32 Vertical Individualism

28 24 20 20 Vertical Individualism

34 34 27 27 Sama

28 24 8 36 Horizontal Collectivism

33 27 26 34 Horizontal Collectivism

36 24 32 36 Vertical Collectivism

30 33 19 31 Horizontal Individualism

12 12 12 16 Horizontal Collectivism

36 36 24 32 Horizontal Individualism

16 28 28 24 Horizontal Collectivism

24 24 20 32 Horizontal Collectivism

23 28 30 23 Vertical Collectivism

24 28 29 27 Vertical Collectivism

33 29 23 19 Vertical Individualism

23 28 20 27 Horizontal Individualism 24 27 20 12 Horizontal Individualism

18 26 35 31 Vertical Collectivism

29 13 10 20 Vertical Individualism

32 32 20 20 Sama

25 25 19 22 Horizontal Individualism

31 24 31 31 Vertical Collectivism

(17)

Lampiran 5 : Validitas Hasil Uji Coba dan Hasil Penelitian

Uji Validitas (Uji Coba) Uji Validitas (Penelitian)

No.item Validitas keterangan

1 0,579 diterima

2 0,595 diterima

3 0,538 diterima

4 0,712 diterima

5 0,624 diterima

6 0,673 diterima

7 0,698 diterima

8 0,692 diterima

9 0,506 diterima

10 0,796 diterima

11 0,694 diterima

12 0,694 diterima

13 0,624 diterima

14 0,744 diterima

15 0,459 diterima

16 0,523 diterima

No.item Validitas keterangan

1 0,341 diterima

2 0,579 diterima

3 0,595 diterima

4 0,519 diterima

5 0,538 diterima

6 0,712 diterima

7 -0,015 ditolak

8 0,624 diterima

9 0,673 diterima

10 0,698 diterima 11 0,692 diterima 12 0,342 diterima 13 0,694 diterima 14 0,344 diterima 15 0,796 diterima

16 0,280 ditolak

17 0,694 diterima 18 0,506 diterima 19 0,624 diterima

20 0,060 ditolak

21 0,744 diterima

(18)

Lampiran 6 : Uji Validitas antar item

Vertical Individualism

Correlations

VI_item8 VI_item10 VI_item15 VI_item21 TotVI

VI_item8 Pearson Correlation 1 .188 .260 .201 .624**

Sig. (2-tailed) .320 .165 .287 .000

N 30 30 30 30 30

VI_item10 Pearson Correlation .188 1 .412* .290 .698**

Sig. (2-tailed) .320 .024 .120 .000

N 30 30 30 30 30

VI_item15 Pearson Correlation .260 .412* 1 .806** .796**

Sig. (2-tailed) .165 .024 .000 .000

N 30 30 30 30 30

VI_item21 Pearson Correlation .201 .290 .806** 1 .744**

Sig. (2-tailed) .287 .120 .000 .000

N 30 30 30 30 30

TotVI Pearson Correlation .624** .698** .796** .744** 1

Sig. (2-tailed) .000 .000 .000 .000

(19)

Vertical Collectivism

Correlations

VC_item3 VC_item6 VC_item11 VC_item19 VC_item22 VC_item24 TotVC

VC_item3 Pearson Correlation 1 .248 .304 .182 -.225 .447* .595**

Sig. (2-tailed) .186 .102 .334 .232 .013 .001

N 30 30 30 30 30 30 30

VC_item6 Pearson Correlation .248 1 .473** .239 .392* .211 .712**

Sig. (2-tailed) .186 .008 .204 .032 .263 .000

N 30 30 30 30 30 30 30

VC_item11 Pearson Correlation .304 .473** 1 .403* .029 .046 .692**

Sig. (2-tailed) .102 .008 .027 .880 .810 .000

N 30 30 30 30 30 30 30

VC_item19 Pearson Correlation .182 .239 .403* 1 -.011 .322 .624**

Sig. (2-tailed) .334 .204 .027 .954 .083 .000

N 30 30 30 30 30 30 30

VC_item22 Pearson Correlation -.225 .392* .029 -.011 1 .032 .299

Sig. (2-tailed) .232 .032 .880 .954 .867 .108

N 30 30 30 30 30 30 30

VC_item24 Pearson Correlation .447* .211 .046 .322 .032 1 .555**

Sig. (2-tailed) .013 .263 .810 .083 .867 .001

N 30 30 30 30 30 30 30

TotVC Pearson Correlation .595** .712** .692** .624** .299 .555** 1

Sig. (2-tailed) .001 .000 .000 .000 .108 .001

(20)

HI_item1 HI_item4 HI_item5 HI_item13 HI_item14 HI_item17 HI_item20 HI_item25 TotHI

HI_item1 Pearson Correlation 1 -.023 .102 .132 -.038 .142 -.187 .040 .341

Sig. (2-tailed) .902 .593 .486 .843 .455 .323 .834 .065

N 30 30 30 30 30 30 30 30 30

HI_item4 Pearson Correlation -.023 1 .099 .263 .074 .300 -.079 -.105 .519**

Sig. (2-tailed) .902 .604 .160 .697 .108 .677 .580 .003

N 30 30 30 30 30 30 30 30 30

HI_item5 Pearson Correlation .102 .099 1 .300 .030 .070 -.172 .662** .538**

Sig. (2-tailed) .593 .604 .108 .874 .712 .364 .000 .002

N 30 30 30 30 30 30 30 30 30

HI_item13 Pearson Correlation .132 .263 .300 1 .076 .569** -.024 .174 .694**

Sig. (2-tailed) .486 .160 .108 .688 .001 .900 .359 .000

N 30 30 30 30 30 30 30 30 30

HI_item14 Pearson Correlation -.038 .074 .030 .076 1 .208 .069 .218 .344

Sig. (2-tailed) .843 .697 .874 .688 .271 .717 .248 .062

N 30 30 30 30 30 30 30 30 30

HI_item17 Pearson Correlation .142 .300 .070 .569** .208 1 .015 .170 .694**

Sig. (2-tailed) .455 .108 .712 .001 .271 .938 .370 .000

N 30 30 30 30 30 30 30 30 30

HI_item20 Pearson Correlation -.187 -.079 -.172 -.024 .069 .015 1 .089 .060

Sig. (2-tailed) .323 .677 .364 .900 .717 .938 .640 .753

N 30 30 30 30 30 30 30 30 30

HI_item25 Pearson Correlation .040 -.105 .662** .174 .218 .170 .089 1 .523**

Sig. (2-tailed) .834 .580 .000 .359 .248 .370 .640 .003

N 30 30 30 30 30 30 30 30 30

TotHI Pearson Correlation .341 .519** .538** .694** .344 .694** .060 .523** 1

Sig. (2-tailed) .065 .003 .002 .000 .062 .000 .753 .003

(21)

Horizontal Collectivism

Correlations

HC_item2 HC_item7 HC_item9 HC_item12 HC_item16 HC_item18 HC_item23 TotHC

HC_item2 Pearson Correlation 1 -.218 .236 -.270 -.109 .149 .235 .579**

Sig. (2-tailed) .248 .210 .149 .565 .433 .211 .001

N 30 30 30 30 30 30 30 30

HC_item7 Pearson Correlation -.218 1 .030 .246 .104 -.316 -.211 -.015

Sig. (2-tailed) .248 .874 .190 .584 .089 .263 .937

N 30 30 30 30 30 30 30 30

HC_item9 Pearson Correlation .236 .030 1 .510** .213 .021 .091 .673**

Sig. (2-tailed) .210 .874 .004 .258 .913 .634 .000

N 30 30 30 30 30 30 30 30

HC_item12 Pearson Correlation -.270 .246 .510** 1 .502** -.119 -.142 .342

Sig. (2-tailed) .149 .190 .004 .005 .529 .455 .064

N 30 30 30 30 30 30 30 30

HC_item16 Pearson Correlation -.109 .104 .213 .502** 1 -.070 -.010 .280

Sig. (2-tailed) .565 .584 .258 .005 .711 .957 .135

N 30 30 30 30 30 30 30 30

HC_item18 Pearson Correlation .149 -.316 .021 -.119 -.070 1 .299 .506**

Sig. (2-tailed) .433 .089 .913 .529 .711 .108 .004

N 30 30 30 30 30 30 30 30

HC_item23 Pearson Correlation .235 -.211 .091 -.142 -.010 .299 1 .459*

Sig. (2-tailed) .211 .263 .634 .455 .957 .108 .011

N 30 30 30 30 30 30 30 30

TotHC Pearson Correlation .579** -.015 .673** .342 .280 .506** .459* 1

Sig. (2-tailed) .001 .937 .000 .064 .135 .004 .011

(22)

Lampiran 7 : Uji Validitas antar Aspek Correlations

HI VI TOTIND

HI Pearson Correlation 1 .287 .872**

Sig. (2-tailed) .124 .000

N 30 30 30

VI Pearson Correlation .287 1 .720**

Sig. (2-tailed) .124 .000

N 30 30 30

TOTIND Pearson Correlation .872** .720** 1

Sig. (2-tailed) .000 .000

N 30 30 30

**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).

Correlations

HC VC TOTCOL

HC Pearson Correlation 1 .455* .796**

Sig. (2-tailed) .012 .000

N 30 30 30

VC Pearson Correlation .455* 1 .902**

Sig. (2-tailed) .012 .000

N 30 30 30

TOTCOL Pearson Correlation .796** .902** 1

Sig. (2-tailed) .000 .000

N 30 30 30

*. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).

(23)

Lampiran 8 : Uji Reliabilitas

Reliability

Case Processing Summary

N %

Cases Valid 30 100.0

Excludeda 0 .0

Total 30 100.0

a. Listwise deletion based on all variables in the

procedure.

Reliability Statistics

Cronbach's

Alpha

Cronbach's

Alpha Based on

Standardized

Items N of Items

(24)
(25)

! "!

(26)

Lampiran 9 : Hasil Frequency Table

Frequency Table

Tabel 4.1.2

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid 40-45 tahun 5 16.7 16.7 16.7

46-50 tahun 4 13.3 13.3 30.0

51-55 tahun 19 63.3 63.3 93.3

56-60 tahun 2 6.7 6.7 100.0

[image:26.612.107.439.122.558.2]

Total 30 100.0 100.0

Tabel 4.1.1.

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid L 8 26.7 26.7 26.7

P 22 73.3 73.3 100.0

Total 30 100.0 100.0

Tabel 4.1.3

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid GPH 2 6.7 6.7 6.7

GRAy 1 3.3 3.3 10.0

BRM 2 6.7 6.7 16.7

BRAy 1 3.3 3.3 20.0

RM 5 16.7 16.7 36.7

RAy 11 36.7 36.7 73.3

Rr 8 26.7 26.7 100.0

[image:26.612.103.420.584.690.2]

Total 30 100.0 100.0

Tabel 4.1.4

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid SMA 3 10.0 10.0 10.0

Akademi 11 36.7 36.7 46.7

Sarjana 13 43.3 43.3 90.0

Magister 3 10.0 10.0 100.0

(27)

Tabel 4.1.5

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid Ibu RT 12 40.0 40.0 40.0

BUMN 7 23.3 23.3 63.3

Swasta 10 33.3 33.3 96.7

Dosen 1 3.3 3.3 100.0

Total 30 100.0 100.0

Tabel 4.1.6

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid 10-20 tahun 8 26.7 26.7 26.7

21-30 tahun 14 46.7 46.7 73.3

31-40 tahun 8 26.7 26.7 100.0

Total 30 100.0 100.0

Tabel 4.2.1.

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid VI 8 26.7 26.7 26.7

VC 7 23.3 23.3 50.0

HI 7 23.3 23.3 73.3

HC 6 20.0 20.0 93.3

sama 2 6.7 6.7 100.0

(28)

Lampiran 10 : Hasil CrossTabulation CROSSTABULATION

Case Processing Summary

Cases

Valid Missing Total

N Percent N Percent N Percent

gender * kategori 30 100.0% 0 .0% 30 100.0%

usia * kategori 30 100.0% 0 .0% 30 100.0%

pend.terakhir * kategori 30 100.0% 0 .0% 30 100.0%

pekerjaan * kategori 30 100.0% 0 .0% 30 100.0%

domisili * kategori 30 100.0% 0 .0% 30 100.0%

gelar * kategori 30 100.0% 0 .0% 30 100.0%

gender * kategori Crosstabulation

kategori

Total

VI VC HI HC sama

gender L Count 4 2 1 1 0 8

% of Total 13.3% 6.7% 3.3% 3.3% .0% 26.7%

P Count 4 5 6 5 2 22

% of Total 13.3% 16.7% 20.0% 16.7% 6.7% 73.3%

Total Count 8 7 7 6 2 30

[image:28.612.107.514.156.708.2]

% of Total 26.7% 23.3% 23.3% 20.0% 6.7% 100.0%

Tabel 4.2.2.

kategori

Total

VI VC HI HC sama

gelar GPH Count 2 0 0 0 0 2

% of Total 6.7% .0% .0% .0% .0% 6.7%

GRAy Count 0 0 0 0 1 1

% of Total .0% .0% .0% .0% 3.3% 3.3%

BRM Count 1 0 0 1 0 2

% of Total 3.3% .0% .0% 3.3% .0% 6.7%

BRAy Count 0 0 1 0 0 1

% of Total .0% .0% 3.3% .0% .0% 3.3%

RM Count 2 2 1 0 0 5

% of Total 6.7% 6.7% 3.3% .0% .0% 16.7%

RAy Count 2 2 3 3 1 11

% of Total 6.7% 6.7% 10.0% 10.0% 3.3% 36.7%

Rr Count 1 3 2 2 0 8

% of Total 3.3% 10.0% 6.7% 6.7% .0% 26.7%

Total Count 8 7 7 6 2 30

(29)
[image:29.612.104.530.111.719.2]

Tabel 4.2.3.

kategori

Total

VI VC HI HC sama

usia 40-45 tahun Count 0 2 2 1 0 5

% of Total .0% 6.7% 6.7% 3.3% .0% 16.7%

46-50 tahun Count 2 1 0 1 0 4

% of Total 6.7% 3.3% .0% 3.3% .0% 13.3%

51-55 tahun Count 5 3 5 4 2 19

% of Total 16.7% 10.0% 16.7% 13.3% 6.7% 63.3%

56-60 tahun Count 1 1 0 0 0 2

% of Total 3.3% 3.3% .0% .0% .0% 6.7%

Total Count 8 7 7 6 2 30

% of Total 26.7% 23.3% 23.3% 20.0% 6.7% 100.0%

Tabel 4.2.4

kategori

Total

VI VC HI HC sama

pend.terakhir SMA Count 1 0 0 2 0 3

% of Total 3.3% .0% .0% 6.7% .0% 10.0%

Akademi Count 1 2 5 2 1 11

% of Total 3.3% 6.7% 16.7% 6.7% 3.3% 36.7%

Sarjana Count 4 4 2 2 1 13

% of Total 13.3% 13.3% 6.7% 6.7% 3.3% 43.3%

Magister Count 2 1 0 0 0 3

% of Total 6.7% 3.3% .0% .0% .0% 10.0%

Total Count 8 7 7 6 2 30

% of Total 26.7% 23.3% 23.3% 20.0% 6.7% 100.0%

Tabel 4.2.5.

kategori

Total

VI VC HI HC sama

pekerjaan Ibu RT Count 4 0 5 2 1 12

% of Total 13.3% .0% 16.7% 6.7% 3.3% 40.0%

BUMN Count 1 3 1 2 0 7

% of Total 3.3% 10.0% 3.3% 6.7% .0% 23.3%

Swasta Count 2 4 1 2 1 10

% of Total 6.7% 13.3% 3.3% 6.7% 3.3% 33.3%

Dosen Count 1 0 0 0 0 1

% of Total 3.3% .0% .0% .0% .0% 3.3%

Total Count 8 7 7 6 2 30

(30)
[image:30.612.105.530.112.272.2]

Tabel 4.2.6

kategori

Total

VI VC HI HC sama

domisili 10-20 tahun Count 3 1 2 2 0 8

% of Total 10.0% 3.3% 6.7% 6.7% .0% 26.7%

21-30 tahun Count 3 4 3 2 2 14

% of Total 10.0% 13.3% 10.0% 6.7% 6.7% 46.7%

31-40 tahun Count 2 2 2 2 0 8

% of Total 6.7% 6.7% 6.7% 6.7% .0% 26.7%

Total Count 8 7 7 6 2 30

(31)

Universitas Kristen Maranatha

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. LATAR BELAKANG MASALAH

Globalisasi telah mendorong terciptanya rekonfigurasi geografis,

sehingga ruang-sosial tidak lagi semata dipetakan oleh kawasan teritorial,

jarak teritorial, dan batas-batas teritorial. A. Giddens (1990) mendefinisikan

globalisasi sebagai intensifikasi hubungan sosial global yang menghubungkan

komunitas lokal sedemikian rupa sehingga peristiwa yang terjadi di kawasan

yang jauh bisa dipengaruhi oleh peristiwa yang terjadi di suatu tempat yang

jauh pula, dan sebaliknya.

Kota Jakarta sebagai ibukota negara, pusat perekonomian, dan kota

yang sangat berkembang dalam segala hal (seperti perkembangan teknologi,

pendidikan, dan bisnis) di Indonesia memunculkan keinginan setiap individu

atau masyarakat dari latar belakang budaya yang berbeda untuk datang atau

merantau dengan tujuan menempuh pendidikan, mencari nafkah, dan

memperluas jalinan relasi sosial. Sebagai dampak dari beragamnya budaya,

akan menimbulkan interaksi sosial yang saling mempengaruhi dalam berbagai

kehidupan sosial seperti bagaimana individu berusaha untuk mempertahankan

budayanya atau berusaha berbaur dengan budaya lain di kehidupan

multikultural. Kehidupan Jakarta yang disiplin akan aturan membuat individu

(32)

Universitas Kristen Maranatha

Masyarakat Indonesia sejak dulu sudah dikenal sebagai masyarakat

yang sangat heterogen dalam berbagai aspek, seperti adanya keragaman suku

bangsa, agama, bahasa, adat istiadat, dan sebagainya. Selain dikenal sebagai

masyarakat yang heterogen, Indonesia juga merupakan salah satu negara yang

memiliki kebudayaan yang bersifat kolektifistik (Triandis, 1985). Dalam hal

ini, salah satu budaya Indonesia yang memiliki sifat kolektifistik adalah

budaya Jawa.

Masyarakat Jawa yang merupakan keturunan bangsawan dan memiliki

hierarki dalam bermasyarakat, seperti adanya perbedaan kekuasaan antar level

struktur sosial. Memiliki rasa hormat yang patut menjadi contoh, dalam

berbicara dan bertingkah laku, itu merupakan aspek utama dari budaya Jawa.

Mereka termasuk golongan yang memiliki kelas sosial tinggi; memiliki

banyak tempat untuk berbagai macam kalangan. Sistem hierarki yang dimiliki

para bangsawan, dapat menjamin pandangan setiap orang dalam memahami

masyarakatnya mengenai suatu kedudukan dan kewajiban dalam struktur

sosial. Budaya Jawa memiliki karakteristik orientasi nilai Collectivism dan

memiliki sistem saling melindungi (Perspektif Barat Gary Dean, July 2001,

dalam http://okusi.net/garydean/works/bizindo.html)

Dampak dari globalisasi terhadap masyarakat Jawa Ningrat adalah

semakin maju perkembangan arus globalisasi, maka akan sangat

memungkinkan melunturkan nilai-nilai budaya Jawa salah satunya budaya

(33)

Universitas Kristen Maranatha

akan cenderung memiliki orientasi nilai Individualism daripada Collectivism,

mereka akan berjuang sendiri dan tidak bergantung dengan orang lain serta

sangat mementingkan, menghargai dan menghormati struktur hierarki. Namun

ada yang tetap mempertahankan orientasi nilai Collectivism dengan

memperkuat relasi di antara mereka walaupun nilai dan norma budaya yang

tertanam dalam diri mereka sedikit melonggar.

Dengan adanya pergeseran budaya akibat globalisasi yang membuat

suku Jawa Ningrat yang kebanyakan sudah tidak tinggal di lingkungan

Keraton Surakarta dan lebih memilih untuk berdomisili di kota lain, dapat

terlihat sejauh mana mereka dapat mempertahankan nilai-nilai budayanya.

Mereka yang telah meninggalkan lingkungan Keraton cukup lama,

kebanyakan dari mereka masih mempertahankan budaya dan tradisi budaya

Jawa Keraton Surakarta dan masih cukup kuat dalam mementingkan tata

krama dalam struktur hierarkinya.

Dalam lingkungan budaya Jawa, nilai kerukunan merupakan salah satu

nilai budaya yang tertinggi. Dengan kerukunan itulah suasana hidup bisa

diciptakan dengan penuh rasa kedamaian, tenteram dan bahagia. Tujuan hidup

orang Jawa yang utama adalah bisa hidup tenteram dan damai. Ungkapan

Jawa “Memayu Hayuning Bawana” merupakan cita-cita kedamaian bagi

seluruh manusia di muka bumi. Dalam hubungan bisnis pun nilai kerukunan

(34)

Universitas Kristen Maranatha

untung-rugi dalam berbisnis. Ungkapan Jawa “Tuna sathak bathi sanak”

mengandung nilai persaudaraan di atas nilai material.

Menurut Koentjaraningrat, orang Jawa memiliki 3 golongan sosial

yaitu wong cilik (orang kecil) terdiri dari petani dan mereka berpendapatan

rendah, kaum priyayi terdiri dari pegawai dan orang-orang intelektual, dan

kaum Ningrat gaya hidupnya tidak jauh dari kaum Priyayi. Pandangan hidup

masyarakat Jawa, mereka percaya bahwa Tuhan adalah pusat alam semesta

dan segala kehidupan. Tuhan dapat memberikan penghidupan, keseimbangan,

dan kestabilan. Pandangannya tersebut dinamakan “Kawula lan Gusti”,

maksudnya pandangan yang beranggapan bahwa kewajiban moral manusia

adalah mencapai harmoni dengan kekuatan terakhir dan pada kesatuan

terakhir. (Superkoran Apakabar, 16 Desember 2007).

Sistem sosial yang muncul pada masyarakat Jawa keturunan Ningrat

adalah sistem feodalisme, yang memiliki ciri khas, sifat dan sikapnya yang

feodalistik. Sikap jumawa dan sikap anggun terutama terhadap kalangan rakyat

jelata karena perbedaan level kasta maupun status sosial. Walaupun mereka

memiliki sikap feodalistik, bukan berarti mereka merupakan seseorang yang

dikatakan individualistik, ada dari mereka yang tetap mempertahankan sifat

kolektifistik sebagai masyarakat Jawa pada umumnya.

Dalam masyarakat Individualism sangat ditekankan kesadaran dan

kemandirian ‘aku’ yang ditandai oleh independensi emosi, inisiatif pribadi,

(35)

Universitas Kristen Maranatha

univeralisme. Orang Jawa keturunan Ningrat yang memiliki sikap feodalistik,

cenderung memiliki sifat individualistik. Bila mereka berhadapan dengan

masyarakat umum, mereka cenderung akan menonjolkan jati diri sebagai

bangsawan, mereka akan tampil “unik” atau berbeda dari orang lain dengan

menunjukkannya dalam bersikap anggun, cara berkomunikasi dengan bahasa

Jawa yang sangat halus, atau bahkan dari cara berpakaiannya. Sebaliknya,

masyarakat Collectivism menonjolkan kesadaran ‘kami’ dan identitas kolektif,

yang ditandai oleh ketergantungan emosi, solidaritas, sharing, keputusan

kelompok, kewajiban dan keharusan, dan keinginan akan persahabatan yang

stabil dan memuaskan. Antar orang Jawa Ningrat dengan masyarakat umum

bukan keturunan Jawa Ningrat akan dapat lebih terbuka dalam menceritakan

kehidupan pribadinya jika dibandingkan orang Jawa Ningrat bertemu dengan

sesamanya (Hofstede, 1980, dalam Berry).

Orientasi nilai Individualism maupun Collectivism, keduanya memiliki

sejumlah atribut psikologis yang khas, yang oleh Triandis disebut sebagai

sindrom budaya (cultural syndrome), yakni pola belief, sikap, norma, peran,

dan nilai-nilai yang dihayati bersama dalam suatu wilayah geografis

sepanjang periode sejarah tertentu (Triandis, 1995). Sindrom budaya ini

sangat spesifik dan unik untuk setiap budaya, sehingga seringkali

(36)

Universitas Kristen Maranatha

Triandis (1995) berargumen bahwa setiap individu membawa empat

orientasi nilai Vertical Individualism, Horizontal Individualism, Vertical

Collectivism, dan Horizontal Collectivism, tapi mereka akan memiliki

probabilitas yang berbeda, tergantung dari situasi yang sedang dihadapi

individu tersebut. Sebagai contoh, ketika ingroup berada dalam pengaruh

kognisi secara kolektif, dan ketika ketua kelompok tersebut memberi seruan

terhadap anggota, itu sebagai vertical collective cognitions (pemikiran yang

bersifat kolektif dan terdapat hierarki). Dalam situasi dimana individu

menggunakan seragam yang sama, itu akan memiliki tendensi yang kuat

terhadap horizontal cognitions (pemikiran yang terjadi dalam kelompok yang

sejajar). Dalam situasi militer vertical cognitions sangat terlihat dengan jelas,

sama halnya dalam kehidupan masyarakat Jawa Ningrat. Ketika menulis

buku, seorang pengarang memiliki tendensi yang kuat pada individualistic

cognitions (Scenario for the Measurement of Collectivism and Individualism,

dalam htriandi@s.psych.uiuc.edu).

Orientasi nilai Individualism-Collectivism, sisi Individualism adalah

individu yang diharapkan untuk memperhatikan dirinya sendiri atau keluarga

dekat bukan yang lainnya. Sisi Collectivism adalah orang yang loyal terhadap

kelompoknya, dimana pada individu akan meningkatkan posisi seseorang atau

meningkatkan keuntungan untuk komunitas pada yang bersifat kolektif.

Amerika dan Belanda memiliki nilai yang tinggi pada individu, sedangkan

(37)

Universitas Kristen Maranatha

motivasi berdasarkan individu atau kolektif, bentuk retorika adalah lebih

kepada kontroversi, argumentasi untuk nilai individu yang tinggi, atau slogan

resmi dan terlalu berlebih untuk nilai kolektif yang tinggi, menekankan

keadaan yang baru dan unik untuk nilai individu yang tinggi, atau yang

bersifat nilai sejarah dan tradisi untuk nilai kolektif yang tinggi (Hofstede,

1983).

Seorang yang individualis mencoba menjelaskan diri mereka dalam

pola karakteristik internal yang membuat mereka menjadi unik dibandingkan

orang lain. Seorang yang kolektif lebih suka memikirkan diri mereka dalam

kedekatan hubungan dengan orang lain. Identitas sosial ini diperoleh dengan

menjadi anggota dalam sebuah kelompok yang dapat membuat mereka

menceritakan keadaan yang biasa atau dengan berperan serta dalam sebuah

kegiatan sosial sebagai tanda menjalin relasi dengan orang lain (Triandis,

1988,1989, dalam Collen Ward, 2003).

Tingkat yang menentukan suatu budaya itu individualistik atau

kolektifistik mempunyai dampak pada perilaku nonverbal budaya tersebut

dalam berbagai cara. Orang-orang dari budaya individualistik relatif kurang

bersahabat dan membentuk jarak yang jauh dengan orang lain.

Budaya-budaya kolektifistik saling tergantung, dan akibatnya mereka bekerja,

bermain, tidur, dan tinggal berdekatan dalam keluarga besar atau suku.

Masyarakat industri perkotaan kembali ke norma individualisme, keluarga

(38)

Universitas Kristen Maranatha

(Hofstede, Geert, 1980). Hal tersebut dapat membuktikan bahwa suku Jawa

cukup heterogen dalam berbagai aspek yang merupakan nilai Collectivism.

Sedangkan pada suku Jawa Ningrat cenderung memiliki nilai Individualism

sebagai dampak dari sistem feodalism, namun adakalanya mereka memiliki

nilai Collectivism terutama ketika berbaur dengan masyarakat umum bukan

keturunan Ningrat.

Berdasarkan pengamatan peneliti terhadap beberapa perilaku para

bangsawan ketika berkumpul dalam suatu acara, perilaku non-verbal yang

dilakukan oleh individu berbudaya Jawa Ningrat hingga saat ini adalah bila

berhadapan dengan individu yang memiliki strata lebih tinggi atau terhadap

orang dewasa lainnya, mereka masih melakukan jalan merunduk, saat

berbicara tidak memandang mata lawan bicaranya, selalu mengucapkan kata

maaf/ permisi (nuwun sewu) dalam melakukan sesuatu hal terhadap siapapun,

dan atau mengadakan perkumpulan keluarga berupa arisan keluarga yang satu

garis darah (trah) agar dapat saling mengenal lebih dalam anggota keluarga

besarnya. Kebanyakan dari mereka sering berbagi senang dan duka

bersama-sama. Namun beberapa dari mereka pun merasa dirinya adalah seorang

keturunan Ningrat yang memiliki banyak kekuasaan dan wewenang bila

berhadapan dengan orang lain, terkadang mereka dapat bertindak seperti itu

terhadap mereka yang memiliki strata di bawahnya. Beberapa dari mereka pun

(39)

Universitas Kristen Maranatha

Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan pada bulan

Februari-Maret 2008 dengan 8 orang Keturunan Ningrat Kasunanan Surakarta yang

berdomisili di Kota Jakarta, beberapa dari mereka memandang dirinya adalah

sebagai individu yang memiliki sikap feodalistik atau cenderung

mempertahankan struktur hirarkis yang cukup tinggi dikarenakan status strata

mereka yang digolongkan tinggi. Beberapa dari mereka walaupun sudah

terakulturasi dengan lingkungan tempat berdomisili saat ini dan enkulturasi

dari sebuah perkawinan antar budaya, beberapa dari mereka masih

mempertahankan nilai budaya dan adat istiadat yang masih sering

dilakukannya, misal ketika melaksanakan upacara perkawinan lebih sering

menggunakan adat Jawa Keraton.

Namun ada beberapa dari mereka yang sudah merenggangkan adat

istiadat budayanya, misal lebih memilih dengan upacara perkawinan yang

lebih modern baik dari segi pakaiannya. Alasan mereka untuk keluar (tidak

bertempat tinggal) dari lingkungan Keraton Surakarta kebanyakan ingin

memperluas kehidupan sosialisasinya, agar mereka tidak merasa terkungkung

dengan segala aturan dan nilai-nilai adat istiadatnya. Berusaha untuk mencari

jati diri mereka sebagai bangsawan yang juga merupakan masyarakat pada

umumnya. Mereka pun tidak ingin dikatakan sebagai seseorang yang

sombong karena kedudukan stratanya, mereka ingin berbaur dengan

(40)

Universitas Kristen Maranatha

Sebanyak 4 orang suku Jawa keturunan Ningrat memiliki tendensi

nilai orientasi Horizontal Collectivism, dimana mereka cenderung

memandang sama rata semua masyarakat luas, tanpa membeda-bedakan

kedudukan strata (kelas), dapat berbaur dan berelasi dengan banyak orang

pada umumnya, mayoritas mengikuti banyak kegiatan organisasi sosial.

Sebanyak 2 orang memiliki tendensi terhadap nilai orientasi Vertical

Collectivism, mereka cenderung memandang strata (tingkatan kelas) terhadap

orang lain namun mampu rela berkorban demi kelompok dalam berelasi,

mereka patuh akan norma dan aturan-aturan yang ada. Sebanyak 1 orang

memiliki tendensi nilai orientasi Horizontal Individualism, dimana mereka

tampil secara “unik” (tampil apa adanya sesuai dengan jati diri

masing-masing) di lingkungan, hidup lebih mandiri dan tidak bergantung dengan

orang lain, tidak mudah terpengaruh oleh orang lain. Sisanya, 1 orang

bertendensi terhadap nilai orientasi Vertical Individualism, dimana individu

tersebut lebih menonjolkan sikap kompetitif, terdapat tingkatan antar individu,

ia selalu berusaha untuk menjadi contoh dan yang terbaik diantara teman

(kelompok), berusaha menunjukkan sikap jumawa.

Dalam penelitian ini, peneliti mengambil sampel berusia 40-60 tahun

yang digolongkan dalam dewasa madya karena mereka telah menjalani

kehidupan yang cukup lama dan telah mengalami percampuran dan

pergeseran budaya dari yang mereka peroleh sewaktu berada di lingkungan

(41)

Universitas Kristen Maranatha

menikah dengan orang dari budaya lain, serta berdomisili di kota Jakarta.

Alasan penelitian ini dilakukan berdasarkan sampel yang berasal dari Keraton

Surakarta adalah ingin mengetahui gambaran orientasi nilai suku Jawa

keturunan Ningrat Keraton Surakarta dalam mempertahankan tradisi

kebudayaannya di tengah globalisasi terhadap orientasi nilai

Individualism-Collectivism.

1.2. IDENTIFIKASI MASALAH

Bagaimana gambaran orientasi nilai Individualism-Collectivism yang

dimiliki suku Jawa keturunan Ningrat Keraton Surakarta yang berusia 40-60

tahun di Jakarta.

1.3. MAKSUD DAN TUJUAN PENELITIAN

1.3.1. Maksud Penelitian

Maksud penelitian ini adalah untuk memperoleh gambaran adanya

orientasi nilai Individualism-Collectivism pada suku Jawa keturunan Ningrat

di Jakarta.

1.3.2. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran status orientasi

nilai Individualism-Collectivism dalam kaitannya dengan faktor-faktor lain

(42)

Universitas Kristen Maranatha

1.4. KEGUNAAN PENELITIAN

1.4.1. Kegunaan Ilmiah

Sebagai informasi tambahan dalam bidang ilmu psikologi khususnya

psikologi lintas budaya, terutama mengenai perkembangan teori orientasi nilai

Individualism-Collectivism.

Penambahan informasi mengenai hasil penelitian orientasi nilai

Individualism-Collectivism pada suku Jawa keturunan Ningrat yang dapat digunakan peneliti

lain, yang tertarik dalam penelitian serupa.

1.4.2. Kegunaan Praktis

Melalui penelitian ini diharapkan masyarakat suku Jawa, khususnya

masyarakat Jawa keturunan Ningrat dapat memperoleh informasi dan

memahami mengenai perbedaan orientasi nilai Individualism-Collectivism

dalam bersosialisasi.

Sebagai masukan bagi pemerhati masalah sosial, psikolog dan konselor agar

dapat memberikan penyuluhan dan bimbingan kepada masyarakat baik dari

budaya luar dan budaya pribumi, sehingga dapat mempererat persatuan dan

(43)

Universitas Kristen Maranatha

1.5. KERANGKA PEMIKIRAN

Menurut Berry & Cavalli-Sforza (Berry, 2002), dalam pembentukan nilai

pada individu pun terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi pembentukan

tersebut yaitu orangtua, orang dewasa lainnya, teman sebaya. Dalam kaitannya

dengan budaya, juga terdapat variasi nilai antar budaya. Bahwa pola asuh dari

orang tua, lingkungan sosial pun turut mempengaruhi nilai seseorang dalam

bertingkah laku, baik saat bergaul dengan teman sebaya atau saat berelasi dengan

individu yang memiliki tingkatan, misal bila berhadapan dengan orang yang

lebih tua, yang memiliki strata lebih tinggi.

Dalam menilai sejauh mana perbedaan orientasi nilai

Individualism-Collectivism suatu budaya adalah dengan melihat dari sudut nilai budaya

tersebut. Dalam pandangan Gould dan Kolb (dalam Triandis, 1995), orientasi

nilai Individualism adalah suatu keyakinan yang berpusat pada diri individu itu

sendiri. Orientasi nilai Collectivism dapat dikatakan sebagai suatu bentuk

kehidupan yang individunya saling menaruh perhatian satu sama lain (khususnya

pada kelompok sendiri), dan bentuk kehidupan yang demikian tidak terdapat

pada masyarakat Individualism, yang masing-masing individunya lebih

memprioritaskan kepentingannya sendiri.

Orientasi nilai Individualism maupun Collectivism, kedua-duanya

memiliki sejumlah atribut psikologis yang khas, yang oleh Triandis disebut

sebagai sindrom budaya (cultural syndrome), yakni pola belief, sikap, norma,

(44)

Universitas Kristen Maranatha

sepanjang periode sejarah tertentu (Triandis, 1995). Sindrom budaya ini sangat

spesifik dan unik untuk setiap budaya, sehingga seringkali mengesankan

keterpisahan atau gap antar budaya.

Budaya Keraton Surakarta memiliki norma yang sangat ketat dan

mengandung nilai-nilai kehormatan, sehingga pembagian peran antara pria dan

wanita dalam budaya Keraton sangat terlihat jelas. Dalam hal ini, tradisi dalam

budaya Keraton lebih mengutamakan “pancer kakung”(garis laki-laki) atau

mendahulukan urutan yang “lebih tua” usia dalam sistem kekeluargaan/

kekerabatan atau dalam “trah”(keturunan). Bagi mereka, Keturunan Jawa Ningrat

sangat menjaga sikap privasinya bila berhadapan dalam satu kelompok. Dalam

berkomunikasi, mereka yang memiliki nilai individualis akan berbicara langsung

pada pokok permasalahan, sedangkan mereka yang bersikap kolektivistik akan

berusaha untuk menjalin relasi lebih mendalam dengan banyak bertanya. Dalam

mencari solusi permasalahan, orang kolektifis cenderung lebih terang-terangan

daripada orang individualistik karena mereka akan berusaha sendiri dan tidak

akan bergantung dengan orang lain untuk bermusyawarah.

Studi yang dilakukan oleh Triandis (1994, 1995) menunjukkan ada 4

unsur universal yang menjembatani konstruk orientasi nilai

Individualism-Collectivism. Keempat unsur yang menunjukkan bahwa konstruk ini

multidimensional, bukan unidimensional, masing-masing adalah (1) pengertian

self yang bersifat interdependen pada collectivism dan independent pada

(45)

Universitas Kristen Maranatha

pada budaya kolektivisme. Sedangkan pada orientasi nilai Individualism kedua

tujuan ini terpisah satu sama lain; (3) perilaku sosial : pada kolektivis ditentukan

oleh kognisi (pola pikir) yang berpusat pada norma, kewajiban, dan komitmen

bersama, sedangkan pada individualisme diarahkan oleh kognisi yang berfokus

pada sikap, kebutuhan pribadi, hak, dan perjanjian; (4) relasi interpersonal :

budaya kolektivis mementingkan relasi yang harmonis sekalipun tidak

menguntungkan, sedangkan budaya individualisme lebih berdasarkan analisa

untung-rugi.

Triandis (1995) mengemukakan empat bentuk turunan Individualism dan

Collectivism, yaitu independent (tidak bergantung) atau interdependent (saling

bergantung) dan sama atau berbeda. Kombinasi dari keempat bentuk turunan ini

dapat dikelompokkan menjadi Horizontal Individualism (tidak

bergantung/sejajar), Horizontal Collectivism (saling bergantung/sejajar), Vertical

Individualism (tidak bergantung/hierarki) dan Vertical Collectivism (saling

bergantung/ hierarki).

Triandis (1995) menjelaskan bahwa Horizontal Collectivism (HC)

merupakan pola budaya dimana setiap individunya merasa sebagai bagian dari

sebuah kelompok (keluarga, bangsa, pegawai, dll.), dan masing-masing

individunya saling bergantung, namun tidak ada tingkatan dalam kelompok itu,

semua individunya dianggap sama. Sebagai contoh adalah suku Jawa Ningrat

Keraton Surakarta yang bergabung atau tidak dalam suatu perkumpulan, yang

(46)

Universitas Kristen Maranatha

Dalam Vertical Collectivism (VC), individu merasa bagian dari kelompok

dan mengikuti seluruh aturan dan norma yang berlaku, bahkan rela berkorban

demi kelompoknya tersebut. Dalam kelompok ini ada tingkatan antar anggota,

dengan individu yang lain. Masyarakat India, yang memiliki struktur berdasarkan

kasta, merupakan contoh dari kolektivisme vertikal ini. Dalam kehidupan budaya

Jawa Ningrat terlihat dari kelompok yang memiliki strata rendah (Raden Mas dan

Raden Ayu) dalam mengikuti perkumpulan “trah” akan sangat menghormati

mereka yang memiliki strata tinggi (GPH & BRA) dan menghargai perkumpulan

tersebut.

Horizontal individualism (HI) merupakan pola budaya dimana

masyarakatnya bersifat lebih mandiri, tidak saling bergantung dengan anggota

masyarakat yang lain dan melakukan sesuatu keinginannya sendiri, namun tidak

membandingkan diri mereka dengan orang lain, sehingga tidak ada perbedaan

kedudukan antar individu. Dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Jawa

Keturunan Keraton Surakarta, sebagian orang dari mereka lebih memilih bekerja

sendiri tanpa bergantung dengan orang lain (misalnya pembantu rumah tangga).

Vertical Individualism (VI) merupakan pola budaya yang sangat

mementingkan perbedaan tingkat strata. Anggota masyarakatnya juga tidak saling

bergantung dengan individu lain (lebih mandiri). Vertical Individualism ini dapat

dijumpai pada masyarakat kelas menengah dan atas di Amerika Serikat dan

berbagai negara demokrasi di Barat. Mereka yang memiliki strata tinggi akan

(47)

Universitas Kristen Maranatha

atau orang yang harus sangat dihormati. Terkadang mereka akan memandang

rendah orang lain yang tidak sederajat dengannya, namun masih dapat berelasi

dengan orang di lingkungan sekitar.

Triandis (1995) mengemukakan bahwa setiap individu memiliki keempat

aspek tersebut (HI,VI, HC, VC), dengan posisi yang berbeda, dan tergantung pada

situasi yang dihadapinya. Pada umumnya, dalam budaya kolektivis, dan

sebaliknya di budaya individualis, situasi yang ambigu akan dianggap sebagai

situasi individualis, sebagaimana diungkapkan Kiyatama (dalam Triandis, 1995).

Jadi, pada dasarnya, individu akan memperlakukan situasi sesuai dengan budaya

dimana ia berada.

Menurut Triandis (1995), faktor-faktor yang mempengaruhi

kecenderungan individualistis-kolektivis seseorang adalah faktor (1) usia, karena

semakin bertambahnya usia seseorang, semakin banyak hubungan sosial yang

dimiliki seseorang dan Norick (dalam Triandis, 1995) mengatakan bahwa

seseorang menjadi semakin kolektivis seiring bertambahnya usia; (2) adanya

perbedaan kelas sosial bahwa dalam setiap masyarakat, mereka yang berada

dalam kelas sosial atas cenderung lebih individualistis daripada kelas sosial

bawah. Para bangsawan sebagai kelas sosial atas lebih individualistis daripada

para priyayi dan pedagang sebagai kelas sosial di bawahnya; (3) adanya

perbedaan pola asuh antar individu karena apa yang menjadi tingkah laku dari

individu tersebut adalah hasil pola asuh yang diberikan oleh orang tuanya; pola

(48)

Universitas Kristen Maranatha authoritarian, dimana orang tua sangat menjaga ketat perkembangan kehidupan

sosial bagi anak-anaknya sehingga mereka cenderung lebih individualistis; dan

(4) adanya pengaruh perjalanan (travelling), pendidikan, dan pekerjaan, akibat

dari melakukan perjalanan akan terjadi akulturasi suatu budaya, dalam pendidikan

dan pekerjaan akan lebih terlihat seseorang tersebut Individualism atau

Collectivism karena dalam melakukan hal tersebut akan membutuhkan suatu

kelompok dimana interaksinya sangat terlihat cukup jelas.

Dalam kehidupan keraton, anggota masyarakat/komunitas keraton

tersusun secara hirarki dengan raja di puncaknya, diikuti oleh lapisan bangsawan,

kemudian para abdi dalem, para pengiring, dan para abdi. Kehidupan di dalam

keraton tidak berlangsung secara mulus seperti tampak dari luar. Terjadi pula

intrik di dalamnya, persaingan antar anggota komunitas yang menyangkut

berbagai macam segi kehidupan, namun mereka sangat pandai dalam

menutupinya rapat-rapat, sehingga interaksi secara vertikal dan horizontal itu

tampak berjalan lancar (Darsiti, 1989).

Masa dewasa adalah salah satu bentuk rentang kehidupan individu setelah

individu tersebut memasuki periode dewasa, yang menyangkut kedewasaan di

bidang biologis, psikologis, sosial dan dalam bidang hukum. Paruh kehidupan

adalah suatu masa menurunnya keterampilan fisik dan semakin besarnya

tanggung jawab, merupakan suatu periode dimana orang menjadi semakin sadar

akan polaritas muda – tua dan semakin berkurangnya jumlah waktu yang tersisa

(49)

Universitas Kristen Maranatha

sesuatu yang berarti pada generasi berikutnya, dan merupakan suatu masa ketika

orang mencapai dan mempertahankan kepuasan dalam karirnya (Santrock, 1994).

Karakteristik dari masa dewasa madya yaitu masa dewasa madya

merupakan periode yang penuh dengan rasa takut, masa dewasa madya

merupakan masa transisi. Masa penuh dengan stres, merupakan “usia yang

berbahaya”, merupakan “usia yang canggung”, masa untuk berprestasi, masa

untuk mengadakan evaluasi diri, merupakan tahap evaluasi dari standar kedua

dalam hidup, masa yang penuh kehampaan hidup, dan masa yang penuh dengan

kebosanan. Perubahan-perubahan pada masa dewasa madya yang sesuai dengan

nilai budaya mereka yaitu lebih kepada perubahan pada sistem kognitif, dan

perubahan pada karir. Dalam hal ini nilai-nilai yang dimiliki sebagai orang

dewasa madya adalah kaku, masih memiliki pandangan yang tradisional.

Interaksi sosial itu dilakukan baik secara individual, maupun secara

kolektif. Tightness terjadi dalam budaya yang homogen yang relatif terisolasi dari

budaya lainnya. Di sana sering terjadi kepadatan populasi yang tinggi, dan

budayanya tidak terlalu dinamis. Misalnya, anggota komunitas berhubungan

secara kait-mengkait satu dengan lainnya, sehingga terjadilah jaringan dan

ketergantungan di antara mereka. Selain terjadi interaksi secara individual dan

kolektif, terjadi pula interaksi yang dilakukan lewat organisasi sosial. Sebagai

komunitas, keraton mengadakan hubungan dengan komunitas lain di luar dunia

keraton. Hubungan keluar ini makin banyak dilakukan sesudah jumlah anggota

(50)

Universitas Kristen Maranatha

besar. Saat ini mereka memiliki organisasi perkumpulan di kota-kota besar seperti

Bandung dan Jakarta (Pelto, 1968, dalam Triandis, 1995).

Looseness terjadi pada masyarakat yang heterogen, dimana orang

mendapat reward terhadap kebebasan tingkah laku dan disana memiliki kepadatan

populasi yang kecil. Mereka yang tinggal di luar kota dengan adanya multikultur

dari budaya setempat akan mengalami pergeseran budaya. Mereka terkadang

merenggangkan budaya keraton yang telah dimilikinya atau bahkan bisa terjadi

akan memperkuat budayanya. Mereka kebanyakan berusaha untuk menyesuaikan

budaya setempat. Namun beberapa dari mereka terkadang sangat menonjolkan

status identitasnya sebagai Ningrat dalam kehidupan sehari-hari. Mereka

beranggapan dirinya memiliki derajat yang tinggi dan patut dihormati. Jadi,

tightness dan looseness merupakan situasi yang spesifik, dimana suatu budaya

mungkin menjadi ketat dalam situasi sosial-politik dan longgar dalam situasi

(51)

Universitas Kristen Maranatha Bagan 1.1. Bagan Kerangka Pemikiran

Horizontal Collectivism (saling bergantung/ sama) Horizontal Individualism (tidak bergantung/ sama) Vertical Individualism (tidak bergantung/ berbeda) Masyarakat Jawa Keturunan Ningrat usia 40-60 tahun yang berdomisili

di Jakarta

Faktor-faktor yang mempengaruhi (eksternal) : 1. Usia

2. Kelas Sosial

3. Pola Asuh/ pengasuhan anak

4. Perjalanan, Pendidikan, dan Pekerjaan

INDIVIDUALISM dan COLLECTIVISM

Dimensi Individualism-Collectivism : 1. pengertian self yang bersifat

interdependen pada kolektivisme dan independent pada individualisme 2. tujuan personal dan kelompok 3. perilaku sosial

4. relasi interpersonal

Vertical Collectivism (saling bergantung/

(52)

Universitas Kristen Maranatha

1.6. ASUMSI

Asumsi yang diberikan dalam penelitian ini adalah, sebagai berikut :

Masyarakat Jawa Ningrat cenderung memiliki orientasi nilai Individualism.

• Setiap individu Keturunan Jawa Ningrat memiliki 4 kategori orientasi nilai

Horizontal Individualism, Vertical Individualism, Horizontal Collectivism, dan Vertical Collectivism, bergantung dalam tingkatan yang berbeda dan situasi yang mempengaruhi lingkungan individu.

• Faktor usia, pola asuh atau sistem pengasuhan terhadap anak (keluarga),

(53)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

1. Orientasi nilai Vertical individualism: diperoleh hasil 26,7% responden cenderung memiliki orientasi tersebut. Terlihat bagaimana mereka lebih menyenangi adanya kompetisi untuk selalu berusaha lebih baik dari orang lain dan atau sangat mementingkan/ menghargai adanya jenjang strata dalam keluarga. Individu tersebut cenderung senang memperlihatkan dan bangga akan tradisi kebudayaan mereka di kehidupan sosial yang lebih multikultural.

2. Orientasi nilai Vertical collectivism: diperoleh hasil 23,3% responden cenderung memiliki orientasi nilai tersebut. Terlihat dari bagaimana mereka merasa dirinya siap rela berkorban demi kelompok, bersedia dan mampu mematuhi norma dan nilai yang dimiliki budaya Jawa Keraton berdasarkan nenek moyangnya. Individu tersebut sebagian besar masih terus mempertahankan dan menjalankan tradisi-tradisi tersebut.

(54)

dapat mempertahankan tali persaudaraan tanpa membedakan tingkatan gelar kebangsawanan.

4. Orientasi nilai Horizontal collectivism: diperoleh hasil sebesar 20% responden yang memiliki orientasi nilai tersebut. Terlihat dari antusias mereka yang sangat mementingkan kebersamaan dengan orang lain di sekitarnya dan ingin berbaur dengan orang dari budaya lain tanpa membeda-bedakan latar belakang orang lain.

5.2. Saran

5.2.1. Saran Teoritis

1. Melakukan penelitian mengenai orientasi nilai Individualism-Collectivism dengan teori yang lebih berkembang dan mendalam terhadap kelompok dewasa madya dengan setting yang berbeda, misal dalam setting industri. 2. Melakukan penelitian lebih lanjut dengan melibatkan sampel yang lebih

(55)

5.2.2. Saran Praktis

(56)

Universitas Kristen Maranatha

DAFTAR PUSTAKA

Berry, J. W. & Cavalli-Sforza, L. L., 1986. Cultural & Genetic Influences On Imuit

Art. Unpublished report

Berry, J. W., & Kim, U. 1988. Acculturation and Mental Health. In P. Dasen, J. W. Berry & N. Sartorius (Eds), Cross-Cultural Psychology and Heath: Towards

Application. London: Sage.

Berry, J. W., Poortinga, Y. H., Segall, M. H., & Dasen, P. R., 1992. Cross cultural

psychology. Cambridge, USA : Cambridge University Press

Chaplin, J. P., 2001. Kamus Lengkap Psikologi. Jakarta : Raja Grafindo Persada

Cohen, R., 1991. Negotiating Across Culture. Washington, D.C. : United States Institute of Peace Press

Daab, W. Z., 1991. Changing Perspective On Individualism. Paper presented at the International Society for Political Psychology, University of Helsinki, July

Friendenberg, Lisa, 1995. Psychological Testing : Design, Analysis And Use, Boston : Allyn And Bacon.

Gould, J. & Kolh, W.J., 1964. A Dictionary Of The Social Sciences. Glencoe, Ill :Free Press

Gudykunst, W. B., 1983. Intercultural Communication Theory. Beverly Hills, California : Sage

Guilford, J. P., 1956. Fundanmental Statistics in Psychology and Education. (3rd

Ed.). Tokyo : Mc. Graw-Hill Kogakusha Company. Ltd.

Gulo, W., 2004. Metodologi Penelitian. Jakarta : Grasindo

Herkovits, M. J., 1948. Man & His Work : The Science Of Cultural Anthropology. New York : Knoff

Hofstede, G., 1980. Culture’s consequences. Beverly Hills : Sage

Hurlock, E. 1981. Developmental Psychology, a Life Span Approach 5th ed.. New

(57)

Universitas Kristen Maranatha

Lonner, Walter J. Dkk, 1999. Merging Past, Present, and Future In Cross-cultural

Psychology. The Netherlands : Swets & Zeitlinger

Markus, H. R. & Kiyatama, S., 1991b. Culture & Self : Impilcations For Cognition,

Emotion & Motivation. Psychological Review

Matsumoto, D., 1989, Cultural Differences In The Perception Of Emotion. Journal of cross Cultural Psychology

Moghaddam, F. M., Taylor, D. M., & Wright, S. C., 1993. Social Psychology In

Cross Cultural Perspective. New York : Freeman

Morris, M. W. & Peng, K., (submitted Cultural & Course )

Nazir, Mohammad, 1999. Metode Penelitian. Jakarta : Ghalia Indonesia

Norick, J. S, Agler, L. H., dkk., 1987, Age, Abstrack Thinking, & The American

Concept Of Person. American Anthropologist

Pelto, P. J., 1968. The Difference Between “Tight” & “Loose” Societies. Transaction, April

Robbins, M. C., de Walt, E. R., & Pelto, P. J., 1972. Climate & Behavior : A

Biocultural Study. Journal of Cross Cultural Psychology

Rokeach, M., 1973. The Nature Of Human Values. New York : Free Press

Santrock, John W., 2006. Life-Span Development. Dubuque, Iowa : Wm. C. Brown Publisher

Schwartz, S. H. & Bilsky, W., 1990. Toward A Theory Of The Universal Content &

Structure Of Values : Extension & Cross Cultural Replication. Journal of

Personality & Social Psychology

Smith, P. B. & Bond, M. H., 1994. Social Psychology Across Cultures. Boston : Allyn & Bacon

Soeratman, Darsiti. 1989. Kehidupan Dunia Keraton Surakarata 1830-1939, Cetakan

I, Yogyakarta : Yayasan Penerbitan Tamansiswa Yogyakarta

Stewart, R. A. C., 1971. Cultural Dimension. New Haven : Human Relationa Area Files

(58)

Universitas Kristen Maranatha

Triandis, H. C. 1995. Individualism and Collectivism. United States of America : Westview Press, Inc.

Ward, Collen A. 2001. The Psychology of Culture Shock 2nd ed.. London and New

York : Routledge

Winarti P.,S RAy. 2004. Sekilas Sejarah Keraton Surakarta. Sukoharjo-Surakarta : Cendrawasih

Zavalloni, M., 1980. Values. In H. C. Triandis & R. Brislin (Eds.), Handbook Of

(59)

Universitas Kristen Maranatha

DAFTAR RUJUKAN

Tradisi dan Spritual Jawa; OmTatok, www.jawapalace.org., 2007

Triandis, A. (htriandi@psych.uiuc.edu). 15 Oktober 2008. Scenario for the

Measurement of Collectivism and Individualism.

Upacara Adat Jawa, www.heritageofjava.com

www.jawapalace.org

Perspektif Barat Gary Dean, July 2001, dalam http://okusi.net/garydean/works/bizindo.html

Gambar

Tabel 4.1.1.
Tabel 4.2.2.
Tabel 4.2.3.
Tabel 4.2.6

Referensi

Dokumen terkait

Dalam rangkaianya terdapat keterlibatan antara Negara hukum yang didalamnya mengatur regulasi yang secara jelas berkaitan dengan kehidupan berbangsa dan Negara

Kualitas guru pamong sudah sangat baik, dalam arti mampu memandu proses belajar mengajar di lapangan. Beliau seorang guru yang baik, berwibawa, menjunjung tinggi

Adapun subtansi kerangka pemikiran yang dilakukan oleh penulis ialah: a. Penelitian yang dilakukan dengan judul Hukum Merokok dan Jual Beli Rokok Perspektif Ulama

Budaya organisasi sekolah yang kondusif, yang di dalamnya bertaburan inovasi, stabilitasnya terjaga, penghormatan atas sesama warga sekolah terpelihara dengan baik,

Adapun tujuannya meliputi; (1). Upaya meningkatkan kesejahterahan taraf perekonomian masyarakat setempat yang berprofesi sebagai perajin gula semut. Karena selama ini

Tujuan dari ekstrakurikuler seni karawitan sendiri yaitu untuk mengenalkan dan memberikan gambaran awal kepada siswa mengenai seni karawitan yang merupakan salah

Kelalaian atau salah saji dari item dalam laporan keuangan adalah material jika. item tersebut dihilangkan dalam laporan keuangan akan

Akuntabilitas kinerja instansi pemerintah pada kantor Pemerintah Kota Banda Aceh terjadi perubahan setiap saat akibat berubahnya berbagai faktor termasuk didalamnya