• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
24
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Kerangka Teori

1. Tinjauan Umum tentang Hukum a. Pengertian Hukum

Hukum tidak dapat di definisikan hanya dari satu sudut pandang saja karena ada beberapa pendapat dan penjelasan mengenai hukum ini di mana para ahli juga telah memberikan penjelasan tentang definsi hukum tersebut. Seperti misalnya E. Utrech yang menjelaskan bahwa hukum adalah himpunan petunjuk hidup (perintah atau larangan) yang mengatur tata tertib dalam suatu masyarakat yang seharusnya ditaati oleh anggota masyarakat dan jika dilanggar dapat menimbulkan tindakan dari pihak pemerintah dari masyarakat itu.

(Arrasjid 2000, 21). Thomas Hobbes juga memberikan pandangannya bahwa hukum adalah perintah-perintah dari orang yang memiliki kekuasaan untuk memerintah dan memaksakan perintahnya kepada orang lain. Dalam hal ini pemegang kekuasaan yang bisa memaksakan aturan tersebut bisa berupa alat-alat penegak hukum. Disisi lain Sudikno Mertokusuma mengartikan bahwa hukum merupakan kumpulan peraturan-peraturan dan kaidah-kaidah tentang tingkah laku masyarakat dalam kehidupan bersama yang dapat dipaksakan dengan suatu sanksi. (Raharjo 2005, 38)

1) Hukum menurut Para Ahli

a) John Austin, seorang filsuf dari Inggris berpendapat bahwa hukum adalah perintah dari mereka yang memegang kekuasaan tertinggi atau dari mereka yang memegang kedaulatan. Menurut Austin, hukum diberlakukan untuk mengatur makhluk berpikir, yang perintahnya dilakukan oleh makhluk berpikir yang memegang dan berkuasa.

Jadi hukum didasarkan pada kekuasaan penguasa. Austin menilai bahwa hukum yang sebenarnya, yaitu hukum yang dibuat oleh penguasa bagi para pengikutnya, mengandung 4 (empat) unsur, yaitu perintah, sanksi, kewajiban, dan kedaulatan b) Hans Kelsen seorang ahli hukum dari Austria yang berpaham positivis, menyatakan

hukum adalah suatu perintah memaksa terhadap tingkah laku manusia

(2)

c) Friedrich Karl Von Savigny, seorang tokoh sejarah hukum dari Jerman, mengemukakan bahwa hukum merupakan perwujudan dari kesadaran hukum masyarakat (Volkgeist). Menurutnya, semua undang-undang bersumber dari adat (adat istiadat) dan kepercayaan, bukan dari legislator (pembentuk undang-Undang) (Soerjono Soekanto, 2007: 38-39).

d) E.M. Meyers, menyatakan hukum adalah semua peraturan yang mengandung pertimbangan kesusilaan ditujukan pada tingkah laku manusia dalam masyarakat dan menjadi pedoman penguasa negara dalam melakukan tugasnya.

e) Leon Duguit Ahli hukum dari Perancis, berpendapat hukum adalah aturan tingkah laku para anggota masyarakat, aturan yang daya penggunaannya pada saat tertentu diindahkan oleh suatu masyarakat sebagai jaminan dari kepentingan bersama terhadap orang yang melanggar peraturan itu.

f) Immanuel Kant, seorang ahli hukum dari rusia mengemukakan hukum adalah keseluruhan syarat yang dengan ini kehendak bebas dari orang yang satu dapat menyesuaikan dengan kehendak bebas dari orang lain memenuhi peraturan hukum tentang kemerdekaan.

g) J.T.C. Simorangkir dan Woerjono Sastropranoto, hukum ialah peraturan yang bersifat memaksa, yang menentukan tingkah laku manusia dalam lingkungan masyarakat, yang dibuat oleh badan resmi yang berwajib, pelanggaran mana terhadap peraturan tadi berakibat diambilnya tindakan, yaitu dengan hukuman (Lemaire 1998, 21)

Dari pendapat diatas menjelaskan bahwa hukum memiliki kriteria yaitu berupa suatu alat untuk mengatur dalam bentuk peraturan-peraturan tertentu yang wajib ditaati dan bisa dipaksakan ketentuannya oleh para pemegang kekuasaan dan alat-alat penegak hukum lainnya agar terciptanya sebuah kehidupan yang mengedepankan ketertiban, keamanan, serta keadilan di masyarakat.

2) Sistem Hukum

Dalam kaitannya dengan Sistem Hukum perlu diketahui sebelumnhya yaitu istilah “sistem”, menurut Nur Khalif Hazim, A.R. Elham yaitu sebuah susunan, kesatuan dari bagian-bagian yang saling bergantung. (Nur Khalif Hazin n.d., 401) Sistem

(3)

merupakan satu kesatuan yang utuh yang terdiri atas berbagai bagian yang saling berkaitan dan tidak bertentangan.

Sistem hukum di Indonesia sebagai suatu Hukum Positif terdiri atas beberapa bagian antara lain hukum pidana, hukum perdata, hukum tata negara, hukum administrasi negara, dan sebagainya, yang masing masing hukum tersebut tetap dalam satu kesatuan, yaitu sistem hukum Indonesia. Menurut Lili Rasyidi, dan I.B. Wyasa Putra sistem hukum ialah suatu kesatuan sistem yang tersusun atas integritas sebagai komponen sistem hukum, yang masing-masing memiliki fungsi tersendiri dan terikat dalam satu kesatuan hubungan yang saling terkait, bergantung, memengaruhi, bergerak dalam kesatuan proses, yakni proses sistem hukum untuk mewujudkan tujuan hukum. (Lili Rasyidi 1993, 103-104)

Kemudian masih menurut Lili Rasyidi, dan I.B. Wyasa Putra bahwa dalam system hukum adanya suatu komponen-komponen yang berperan antara lain:

a) Masyarakat hukum, merupakan himpunan kelompok kesatuan hukum, baik individu ataupun kelompok yang strukturnya ditentukan oleh tipenya masing-masing (sederhana, negara, atau masyarakat internasional).

b) Budaya hukum, merupakan pemikiran manusia dalam usahanya mengatur kehidupannya; dikenal tiga budaya hukum masyarakat hukum, yaitu budaya hukum tertulis, tidak tertulis, dan kombinatif.

c) Filsafat hukum, merupakan formulasi nilai tentang cara mengatur kehidupan manusia; dapat bersifat umum (universal), dapat bersifat khusus (milik suatu masyarakat hukum tertentu)

d) Ilmu pendidikan hukum, merupakan media komunikasi antara teori dan praktik hukum; juga merupakan media pengembangan teori-teori hukum, desain-desain, dan formula-formula hukum praktis (konsep hukum).

e) Konsep hukum, merupakan formulasi kebijaksanaan hukum yang ditetapkan oleh suatu masyarakat hukum; berisi tentang budaya hukum yang dianutnya (tertulis, tidak tertulis, atau kombinatif), berisi formulasi nilai hukum (konsepsi filosofis) yang dianutnya; dan mengenai proses pembentukan, penetapan, pengembangan dan pembangunan hukum yang hendak dilaksanakannya.

(4)

f) Pembentukan hukum, merupakan bagian proses hukum yang meliputi lembaga – aparatur– dan sarana pembentukan hukum; menurut konsep hukum yang telah ditetapkan; termasuk prosedur-prosedur yang harus dilaluinya.

g) Bentuk hukum, merupakan hasil proses pembentukan hukum; dapat berupa peraturan perundang-undangan (jika pembentukannya melalui legislatif, atau lembaga- lembaga negara yang melaksanakan fungsi legislatif), dapat berupa keputusan hakim (jika hakim diberi kewenangan untuk itu).

h) Penerapan hukum, merupakan proses kelanjutan dari proses pembentukan hukum;

meliputi lembaga, aparatur, saran, dan prosedur penerapan hukum.

i) Evaluasi hukum, merupakan proses pengujian kesesuaian antara hukum yang berbentuk dengan konsep yang telah ditetapkan sebelumnya, dan pengujian kesesuaian antara hasil penerapan hukum dengan undang-undang dan tujuan hukum yang telah ditetapkan sebelumnya dalam konsep ataupun dalam peraturan perundangan (Lili Rasyidi 1993, 104)

Sedangkan menurut Lawrence M. Friedman, (Esmi Warassih, 2005, 81-82) terdiri dari 3 komponen utama dari sistem harus berfungsi yaitu:

a) Structure, yaitu lembaga yang dibentuk oleh sistem hukum yang berfungsi untuk mendukung jalannya sistem hukum itu sendiri.

b) Substansi, yaitu berupa norma hukum, baik peraturan perundang-undangan, surat keputusan, dan sebagainya, semuanya digunakan oleh penegak hukum maupun yang diatur.

c) Kebudayaan (kultur), yaitu suatu komponen yang terdiri dari gagasan, sikap, harapan, dan pendapat tentang hukum.

Dalam menilai suatu hukum dapat disebut sebagai sebuah sistem yang berjalan maka menurut Fuller harus memenuhi persyaratan tertentu demi mempertahankan keberadaan sistem hukum, dan memberikan pengkualifikasian bagi sistem sebagai satu kesatuan yang mengandung suatu moralitas tertentu. Syarat tersebut antara lain:

a) Harus ada peraturan terlebih dahulu; hal ini berarti, tidak ada tempat bagi keputusan secara ad hoc, atau tindakan yang bersifat arbiter.

b) Peraturan itu harus diumumkan secara layak.

c) Peraturan itu tidak boleh berlaku surut.

(5)

d) Perumusan peraturan itu harus jelas dan terperinci; ia harus dapat dimengerti oleh rakyat.

e) Hukum tidak boleh meminta dijalankannya hal-hal yang tidak mungkin.

f) Di antara sesama peraturan tidak boleh terdapat pertentangan satu sama lain.

g) Peraturan harus tetap, tidak boleh sering diubah.

h) Harus terdapat kesesuaian antara tindakan para pejabat hukum dan peraturan yang telah dibuat.

Adanya Syarat tersebut akan menjamin sebuah sistem hukum berjalan teratur dan sesuai jalurnya masing-masing yang telah ditentukan di sistem tersebut dengan satu sistem utama yang disebut Sistem Hukum Indonesia,

3) Tujuan Hukum

Hukum merupakan sebuah perangkat dalam sistem sosial. Yang mana Fungsi sistem sosial hukum adalah mengatur setiap kepentingan dalam suatu masyarakat, sehingga tercipta suatu keadaan yang tertib berdasarkan tugas hukum untuk mencapai keadilan, yaitu keserasian antara nilai kepentingan hukum (rechtszekerheid) (Panjaitan 1998, 57)

Para ahli hukum memiliki beberapa pendapat mengenai tujuan hukum itu sendiri.

a) Satjipto Rahardjo menjelaskan bahwa tujuan hukum adalah menciptakan tata tertib di dalam masyarakat. (Raharjo n.d., 65)

b) Surojo Wignjodipuro mengatakan, tujuan hukum ialah demi menjamin kepastian dalam perhubungan kemasyarakatan. (Wignjodipuro 1982, 104)

c) Sudikno Mertokusumo, memberikan pendapatnya bahwa tujuan pokok hukum adalah menciptakan tatanan masyarakat yang tertib, menciptakan ketertiban dan keseimbangan. (Mertokusumo 1999, 71)

d) Soejono menyatakan, bahwa hukum yang diadakan atau dibentuk membawa misi tertentu, yaitu keinsafan masyarakat yang dituangkan dalam hukum sebagai sarana pengendali dan pengubah agar terciptanya kedamaian dan ketenteraman masyarakat.

(Soejono 1996, 37)

(6)

e) Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto mengemukakan, bahwa tujuan suatu hukum yaitu agar terciptanya kedamaian hidup antarpribadi yang meliputi ketertiban ekstern antarpribadi dan ketenangan intern pribadi. (Purnadi Purbacaraka 1982, 67) f) Prof. Subekti, S.H. Menurutnya, tujuan hukum adalah untuk mengabdi pada tujuan

negara yang dalam pokoknya ialah mendatangkan kemakmuran kebahagiaan pada rakyatnya.

Pada dasarnya dari semua pendapat para ahli hukum bahwa suatu hukum akan dapat mencapai tujuannya jika terjadi keseimbangan antara kepastian hukum dan keadilan, atau keserasian antara kepastian yang bersifat umum (objektif) terhadap semua pihak dan penerapan keadilan secara khusus yang bersifat subjektif terhadap suatu hukum.

4) Penegakan Hukum

Penegakan hukum merupakan suatu bentuk pelaksanaan tujuan hukum yang menjadi persoalan yang dihadapi oleh setiap masyarakat. Pada dasarnya penegakan hukum mempunyai maksud untuk menegakkan, melaksanakan ketentuan di dalam masyarakat, namun disisi lain penegakan hukum juga merupakan suatu proses berlangsungnya perwujudan konsep-konsep yang abstrak dalam hukum yang harus diwujudkan menjadi kenyataan. Proses penegakan hukum sendiri akan selalu bergantung pada pelaksanaannya oleh para pejabat penegak hukum itu sendiri.

Soerjono Soekanto pernah menyebutkan bahwa Penegakan hukum adalah kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan di dalam kaidah-kaidah dan sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir, untuk menciptakan, memelihara, dan mempertahankan kedamaian pergaulan hidup. (Soekanto 1990, 3) menurutnya juga penegakan hukum sebagai suatu proses, pada hakikatnya merupakan penerapan diskresi oleh penegak hukum yang menyangkut tentang membuat keputusan yang walau tidak secara ketat diatur oleh kaidah-kaidah hukum, tetapi mempunyai unsur penilaian pribadi yang harus menyerasikan antara penerapan hukum secara konsekuen dengan faktor manusiawi (S. Soekanto 1990, 6)

Kemudian dalam penegakan hukum ada faktor-faktor yang mempengaruhi pelaksanaan penegakan hukum, Soerjono Soekanto, sendiri menjabarkan 5 (lima) faktor yang mempengaruhi penegakan hukum yang kelimanya saling berkaitan dan

(7)

beruhubungan erat dalam terselenggaranya penegakan hukum yaitu (Soerjono Soekanto, 2011,8):

a) Faktor Hukum

Hukum pada dasaranya bertujuan mengatur kehidupan dalam masyarakat, pelaksanaan penegakan hukum akan berbanding lurus apbila hukum tersebut baik, dan sebaliknya jika hukum tersebut tidak baik maka akan sulit dalam pelaksanaan penegakan hukumnya. Hukum berlaku efektif/tidak berdasarkan pada faktor apakah peraturan/hukum tersebut terdapat suatu permasalahan ataupun tidak karena suatu hukum dibuat bertujuan agar terciptanya keadilan, kepastian, kemanfaatan.

b) Faktor Penegak Hukum

Faktor Penegak Hukum terdiri atas semua pihak baik yang membentuk maupun yang menerapkan hukum. Dalam hal ini yaitu adanya peran suatu aparatur penegak hukum yang handal dan profesional serta mampu mengemban tugas agar terciptanya keadilan, kepastian, dan manfaat hukum secara proporsional. dalam penegakan hukum Pihak-pihak yang terkait dalam proses penegakan hukum menempati posisi yang sentral dalam upaya penegakan hukum itu sendiri, apabila dari pihak yang terlibat dalam penegakan ternyata berperilaku menyimpang maka pelaksanaan hukum akan jauh dari tujuan hukum itu sendiri diciptakan.

c) Faktor Sarana atau Fasilitas Hukum

Sarana dan fasilitas hukum adalah sebuah alat untuk mencapai tujuan hukum. Soerjono Soekanto memberikan batasan bahwa sarana harus punya kontribusi penting dalam kelancaran tugas aparatur penegak hukum. Sarana atau fasilitas sendiri dapat berupa tenaga manusia yang terampil, organisasi yang baik, dan keuangan yang cukup untuk membiayai suatu pelaksanaan peraturan hukum.

d) Faktor Masyarakat

Seperti tujuannya bahwa hukum diciptakan agar tercipta sebuah kedamaian dan ketertiban dalam masyarakat, namun efektif tidaknya suatu hukum akan sangat tergantung pada kesadaran hukum yang ada pada masyarakat. Karena semakin tinggi dam baik tingkat pelaksanaan hukum akan sangat bergantung pada semakin tingginya kesadaran hukum pada masyarakat, begitu pula sebaliknya apabila

(8)

masyarakat kurang sadar akan suatu hukum dapat mengakibatkan terhambatnya pelaksanaan hukum.

e) Faktor Kebudayaan

Faktor kebudayaan juga punya peran besar dalam hukum. Karena suatu kebudayaan akan mempengaruhi tentang bagaimana perilaku seseorang dalam bersikap dan bertindak dalam masyarakat. Yang mana sautu kebudayaan juga menetapkan aturan mengenai apa yang kita harus lakukan dan apa yang dilarang.

Kebudayaan (sistem) hukum pada dasarnya mencakup seperti nilai-nilai yang menjadi dasar hukum yang berlaku, nilai-nilai yang merupakan konsepsi-konsepsi abstrak mengenai apa yang dianggap baik dan apa yang dianggap buruk dalam suatu lingkungan masyarakat. Kebudayaan masyarakat yang sesuai dengan peraturan hukum yang dibuat maka semakin mudah peraturan itu diterapkan dalam masyarakat, sebaliknya apabila peraturan hukum yang dibuat berbeda/bertentangan dengan kebudayaan masyarakat setempat maka pelaksanaan peraturan hukum tersebut akan terhambat.

2. Tinjauan tentang Hukum Agraria a. Pengertian Hukum Agraria

Secara etimologi Hukum agraria bisa berasal dari dalam bahasa latin ager berarti tanah atau sebidang tanah. Agrarius berarti perladangan, persawahan, pertanian. (Harsono 2013, 4)

Hukum Agraria merujuk pada perangkat peraturan-peraturan hukum yang bertujuan mengadakan pembagian-pembagian tanah yang luas dalam rangka lebih meratakan penguasaan dan pemilikannya (Boedi Harsono 1999, 5). Para ahli juga memberikan pendapatnya mengenai Hukum Agraria antara lain:

1) Soebekti dan R. Tjitrosoedibio Hukum Agraria (Agrarisch dan Recht) adalah keseluruhan dari ketentuan-ketentuan hukum, baik hukum perdata maupun hukum tata negara (Staatsrecht) maupun hukum tata usaha negara yang mengatur hubungan-hubungan antara orang termasuk badan hukum dengan bumi,air dan ruang angkasa dalam seluruh wilayah negara dan mengatur pula wewenang-wewenang yang bersumber pada hubungan-hubungan tersebut. (Harsono 2005, 5)

(9)

2) Gouw Giok Siong berpendapat bahwa Hukum Agraria adalah keseluruhan kaidah-kaidah hukum yang mengatur mengenai agraria secara lebih luas, tidak hanya mengenai tanah saja. Misalnya persoalan jaminan tanah untuk hutang, seperti ikatan kredit atau ikatan panen, sewa menyewa antar golongan, pemberian izin untuk peralihan hak-hak atas tanah dan barang tetap dan sebagainya

3) Boedi Harsono juga memberikan definisi terhadap hukum agraria bahwa hukum agraria bukan hanya satu perangkat bidang hukum saja. Hukum agraria merupakan satu kelompok berbagai bidang hukum yang mengatur penguasaan atas sumber daya alam tertentu yang termasuk didalam definisi agraria. (Harsono, Hukum Agraria 2013)

Seperti pendapat Boedi Harsono bahwa Hukum Agraria sendiri merupakan suatu kelompok berbagai bidang hukum, yang mengatur hak-hak penguasaan atas sumber-sumber daya alam tertentu. yang terdiri atas:

1) Hukum tanah, yang mengatur hak-hak penguasaan atas tanah dalam arti permukaan bumi 2) Hukum air, yang mengatur hak-hak penguasaan atas air

3) Hukum pertambangan, yang mengatur hak-hak penguasaan atas bahan-bahan galian yang dimaksudkan oleh UU Pokok pertambangan

4) Hukum perikanan yang mengatur hak-hak penguasaan atas kekayaan alam yang terkandung didalam air

5) Hukum penguasaan atas tenaga dan unsur-unsur dalam ruang angkasa, mengatur hak-hak penguasaan atas tenaga dan unsur-unsur dalam ruang angkasa yang dimaksudkan oleh pasal 48 UUPA (Dr. Urip Santoso 2017, 6)

Dan dari penjelasan diatas yang mana dapat dismpulkan hukum agrarian adalah hukum yang mengatur segala hal tentang tanah dan hal diatasnya baik antara perseorangan maupun badan hukum

b. Wilayah Hukum Agraria

Pelaksanaan Hukum Agraria tidak terlepas dari pengaturannya yang diatur dalam UUPA (Undang-undang Pokok Agraria) yang juga merupakan pelaksanan dari Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 yaitu “bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat” yang mana menjelaskan bahwa adanya hukum agraria mengatur mengenai penguasaan negara terhadap tanah, dan juga Hak Atas Tanah,

(10)

Yaitu hak atas permukaan bumi yang memberi wewenang kepada pemegangnya untuk mengunakan tanah yang bersangkutan, beserta tubuh bumi dan air serta ruang udara di atasnya, yang digunakan untuk kepentingan yang langsung berhubungan dengan penggunaan tanah itu semdiri dan tetap dalam batasan-batasan menurut UUPA dan peraturan hukum lain yang lebih tinggi, Yang mana hak atas tanah ini di dalamnya termasuk :

1) Hak guna Usaha

Menurut Pasal 28 ayat (1) UUPA yang dimaksud dengan Hak Guna Usaha adalah hak untuk menguasai tanah yang dikuasai oleh negara dalam jangka waktu tertentu (U. Santoso 2007, 99) yang mana kepemilikannya diatur dalam Pasal 30 ayat (1) yaitu Perseorangan dan Badan Hukum Indonesia. Namun disisi lain Pasal 6 UUPA menjelaskan bahwa semua hak atas tanah haruslah mempunyai fungsi sosial, yang artinya bagi pemilik Hak Guna Usaha dan menggunakan haknya di tanah indonesia berkewajiban memberikan manfaat kepada masyarakat indonesia agar tercapai kemakmuran dan kemaslahatan bagi rakyat indonesia.

2) Hak Guna Bangunan

Pendirian bangunan sekaligus kepemilikan atas bangunan yang telah mempunyai hak meskipun bukan kepemilikan sendiri, yang dapat berupa tanah negara, tanah hak pengelolaan, tanah hak milik orang lain dengan jangka waktu paling lama 30 tahun dan dapat diperpanjang paling lama 20 tahun. Setelah berakhir jangka waktu dan perpanjangannya barulah dapat diberikan pembaharuan terhadap Hak Guna Bangunan.

(Harsono 2013, 24) 3) Hak Pakai

Penguasaan tanah oleh negara atau tanah orang lain yang memiliki hak untuk mengelola dan menikmati hasil dari tanah tersebut berdasarkan keputusan dari pejabat yang berwenang melalui perjanjian pemberian wewenang untuk menggunakan tanah dengan persetujuan perjanjian oleh pemilik tanah yang sah, dengan ketentuan tidak melanggar dari ketentuan yang berlaku sebagaimana telah dijelaskan di undang-undang.

4) Hak Membuka Tanah dan Memungut Hasil Hutan

Yaitu hak yang dapat dipunyai oleh Warga Negara Indonesia dan diatur dengan Peraturan Pemerintah.

5) Hak Menguasai Tanah oleh Negara

(11)

Penjelasan hak ini diatur dalam pasal 2 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokokpokok Agraria (selanjutnya disebut UUPA) yang menyatakan bahwa bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya itu pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh negara, sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat. Tanah negara adalah tanah yang dikuasai secara langsung oleh negara, dalam arti tanah-tanah tersebut bebas dari hak yang melekat diatasnya. (Arie V. Sendow 2013, 35)

c. Asas-Asas Hukum Agraria 1) Asas Kenasionalan

Seluruh wilayah Indonesia adalah kesatuan tanah air dari seluruh rakyat Indonesia yang bersatu sebagai bangsa Indonesia. Ini menunjukan bahwa tanah bagi bangsa Indonesia mempunyai sifat komunalistik, artinya semua tanah yang ada dalam wilayah Negara Republik Indonesia merupakan tanah bersama rakyat Indonesia, yang bersatu sebagai bangsa Indonesia. (Supriadi 2007, 53-54)

2) Asas Semua Hak Atas Tanah Mempunyai Fungsi Sosial.

Asas semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial detemukan dalam pasal 6 UUPA, yaitu: “semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial.” Hak atas tanah mempunyai fungsi sosial tidak hanya berupa hak milik, akan tetapi Juga Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai, dan Hak Sewa Untuk Bangunan. (Supriadi 2007, 55) 3) Asas Persamaan Bagi Setiap Warga Negara

Asas ini ditemukan dalam pasal 9 ayat (2) UUPA, yaitu: “tiap- tiap warga negara Indonesia, baik laki-laki maupun wanita mempunyai kesempatan yang sama untuk memperoleh sesuatu hak atas tanah serta untuk mendapat manfaat dan hasilnya, baik bagi diri sendiri maupun keluarganya.” (Supriadi 2007, 60) Yang artinya tidak batasan gender bagi setiap warga negara untuk memiliki hak atas tanah,

4) Asas Kebangsaan

Asas ini dapat ditemui dalam Pasal 21 ayat (1) UUPA.yang menyatakan bahwa Hak milik tidak dapat dipunyai oleh orang asing. Dan hanya dimiliki oleh Warga Negara Indonesia namun Asas ini tidak mencakup warga negara Indonesia yang menikah dengan orang asing. Karena saat menikah terjadi percampuran harta, sehingga pasangan warga negara Indonesia yang memiliki hak milik akan kehilangan haknya.

(12)

5) Asas Kepentingan Nasional dan Negara Diatas Kepentingan Perseorangan dan Golongan Asas ini berasal dari Pasal 3 UUPA. Yang menjelaskan bahwa meskipun hak ulayat (tanah bersama menurut hukum adat) masih diakui keberadaannya oleh Hukum Agraria Nasional, namun karena asas ini, menjelaskan bahwa apabila tanah digunakan untuk kepentingan pembangunan, masyarakat hukum adat tidak dibenarkan untuk menolak penggunaan tanah untuk pembangunan meski berdasar pada hak ulayatnya.

Sehingga Negara memiliki hak untuk membuka tanah secara besar-besaran untuk hal yang merupakan kepentingan nasional.

3. Tinjauan tentang Pengadaan Tanah a. Pengertian Pengadaan Tanah

Menurut Pasal 1 ayat (2) Peraturan Pemerintah No.19 Tahun 2021 jo. Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang No.2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Kepentingan Umum menjelaskan bahwa “Pengadaan Tanah adalah kegiatan menyediakan tanah dengan cara memberi ganti kerugian yang layak dan adil kepada pihak yang berhak.” Gunanegara menjelaskan bahwa pengadaan tanah adalah Proses pelepasan hak atas kepemilikan orang atas tanah dan/atau benda-benda yang ada di atasnya yang dilakukan secara sukarela untuk kepentingan umum. (Gunanegara 2008, 11)

b. Pengertian Pengadaan Tanah menurut Ahli

1) Sarjita menyatakan bahwa pengadaan tanah adalah setiap kegiatan untuk mendapatkan tanah dengan memberikan ganti kerugian kepada yang berhak atas tanah tersebut (Sarjita 2005, 43)

2) Boedi Harsono mengemukakan bahwa pengadaan tanah adalah perbuatan hukum yang berupa melepaskan hubungan hukum yang semula ada antara pemegang hak dan tanahnya yang diperlukan dengan pemberian imbalan dalam bentuk uang, fasilitas atau lainnya melalui musyawarah untuk mencapai kata sepakat antara empunya tanah dan pihak yang memerlukan.

3) Gunanegara memberikan penjelasan yaitu pengadaan tanah adalah proses pelepasan hak atas tanah kepemilikan orang atau tanah dan/atau benda-benda yang ada diatasnya yang dilakukan secara sukarela untuk kepentingan umum.

c. Asas-Asas Pengadaan Tanah

(13)

Berdasarkan ketentuan dalam Undang-undang Nomor 2 Tahun 2012 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum disebutkan adanya asas- asas dalam pengadaan tanah yang diatur di Pasal 2 antara lain:

1) Asas kemanusiaan;

2) Asas keadilan;

3) Asas kemanfaatan;

4) Asaskepastian;

5) Asas keterbukaan;

6) Asas kesepakatan;

7) Asas keikutsertaan;

8) Asas kesejahteraan;

9) Asas keberlanjutan; dan 10) Asas keselarasan.

d. Tujuan Pengadaaan Tanah

Dari penjelasan diatas pengadaan tanah bertujuan untuk menyediakan tanah yang diikuti dengan pemberian ganti rugi bagi pihak pemilik tanah tersebut yang memiliki beberapa unsur yaitu

1) Perbuatan hukum berupa pelepasan hak atas tanah menjadi tanah Negara;

2) Pelepasan hak atas tanah untuk kepentingan umum;

3) Perbuatan hukum didasarkan pada musyawarah dan kesukarelaan;

4) Disertai ganti rugi yang adil dan layak

Apabila unsur-unsur tersebut terpenuhi maka suatu tujuan pengadaan tanah akan dapat terwujud seperti yang telah disebutkan dalam Pasal 3 UU No.2 Tahun 2012 yaitu

“Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum bertujuan menyediakan tanah bagi pelaksanaan pembangunan guna meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran bangsa, negara, dan masyarakat dengan tetap menjamin kepentingan hukum Pihak yang Berhak.”

e. Tahapan Pelaksanaan Pengadaan Tanah

Dalam pelaksanaan pengadaan tanah ada beberapa tahapan yang perlu dilakukan oleh pihak yang mengadakan tanah tahapan tersebut sudah diatur dalam Pasal 3 Peraturan Pemerintah No.19 Tahun 2021 jo. Pasal 13 Undang-Undang No.2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Kepentingan Umum yang antara lain:

(14)

1) Perencanaan;

2) Persiapan;

3) Pelaksanaan; dan 4) Penyerahan Hasil.

4. Tinjauan tentang Kepentingan Umum a. Pengertian Kepentingan Umum

Secara etimologis, kepentingan umum terdiri dari dua kata, yaitu “kepentingan” dan

“umum”. Kata “kepentingan” berasal dari kata penting yang bisa berarti sangat perlu, sangat utama/diutamakan, dan hal yang menjadi prioritas disisi lain kata “umum” dapat memiliki makna keseluruhan, untuk siapa saja, hal yang lazim, atau masyarakat luas. Kepentingan umum dapat diartikan sebagai sesuatu yang dilakukan untuk keperluan, kebutuhan atau kepentingan orang banyak atau tujuan yang luas. Pasal 1 ayat (7) Peraturan Pemerintah No.19 Tahun 2021 jo. Pasal 1 ayat (6) Undang-Undang No.2 Tahun 2012 menjelaskan bahwa

“kepentingan umum adalah kepentingan bangsa, Negara, dan masyarakat yang harus diwujudkan oleh pemerintah dan digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.”

Maria SW Sumardjono juga mengemukakan pendapat bahwa kepentingan umum selain harus memenuhi “peruntukannya” juga harus dapat dirasakan kemanfaatannya (for public use) (Maria S.W. Sumardjono 2008, 200).

b. Pengertian Kepentingan Umum Menurut Ahli

1) John Salindheo menjelaskan, kepentingan umum adalah termasuk kepentingan bangsa dan negara serta kepentingan bersama rakyat, dengan memperhatikan segi-segi sosial, politik, psikologis, atas dasar asas-asas pembangunan nasional dengan mengindahkan ketahanan nasional serta wawasan nusantara (Salindheo 1988, 40)

2) J.J Rousseau, memberikan pandangannya bahwa kepentingan umum merupakan kepentingan masyarakat yang setiap individu tidak dapat melaksanakannya sendiri- sendiri.

3) Van Wijk menjelaskan bahwa kepentingan umum adalah suatu tuntutan hukum masyarakat yang harus dilayani dan diberi oleh pemerintah, demi terwujudnya kesejahteraan masyarakat.

(15)

4) Koentjoro Poerbopranoto, menjelaskan juga kepentingan umum adalah hal yang meliputi kepentingan bangsa, masyarakat, dan negara. Dan kepentingan tersebut mengatasi kepentingan individu, kepentingan golongan, dan daerah. (Sufriadi 2013, 123)

c. Bandara Sebagai Kepentingan Umum

Pasal 2 Peraturan Pemerintah No.19 Tahun 2021 jo. Pasal 123 Undang-Undang No.11 Tahun 2020 tentang Perubahan ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 20l2 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum, menjelaskan tentang bentuk-bentuk sarana yang dapat difungsikan sebagai sarana bagi kepentingan umum yang mana di dalam pasal tersebut disebutkan jenis jenis pembangunan yang diperbolehkan dalam proses pengadaan tanah yang didasarkan pada perwujudan kepentingan umum dan salah satunya adalah Fasilitas Transportasi umum yaitu Bandara. Dalam penjelasan diatas serta ketentuan Pasal 8 Peraturan No.19 Tahun 2021, Pembangunan Bandara adalah salah satu perwujudan dari pemerintah dalam menjaankan fungsi kepentingan umum terhadap suatu pembangunan Karena pada dasarnya kepentingan umum memiliki tujuan bukan hanya bagi kepentingan pribadi, namun harus memberikan kemanfaatan dan berguna bagi masyarakat secara luas di mana pemerintah adalah pihak yang memiliki kewajiban dalam mewujudkan hal tersebut.

5. Tinjauan tentang Hak Atas Tanah a. Pengertian Hak Atas Tanah

Hak Atas Tanah adalah hak yang berisikan serangkaian wewenang, kewajiban dan/atau larangan bagi pemegang haknya untuk berbuat sesuatu mengenai tanah yang dimilikinya. (Boedi Harsono 2007, 283).

Hak atas tanah dalam Pasal 4 ayat 2 UUPA menjelaskan, “Hak-hak atas tanah yang dimaksud dalam ayat (1) Pasal ini memberikan wewenang untuk mempergunakan tanah yang bersangkutan, demikian pula tubuh bumi dan air serta ruang yang ada diatasnya sekedar diperlukan untuk kepentingan yang langsung berhubungan dengan penatagunaan tanah itu dalam batas-batas menurut undang-undang ini dan peraturan-peraturan hukum yang lebih tinggi.”

Pasal diatas menjelaskan bahwa bagi setiap pemilik tanah terutama negara dapat mempergunakan haknya atas tanah sesuai yang diatur dalam peraturan yang ada. Dalam

(16)

praktiknya hak atas tanah dapat digunakan sesuai dengan yang telah disebutkan dalam Pasal 16 ayat (1) UUPA yang meliputi :

1) Hak Milik;

2) Hak Guna-Usaha;

3) Hak Guna-Bangunan;

4) Hak Pakai;

5) Hak Sewa;

6) Hak Membuka Tanah;Hak Memungut-Hasil Hutan;

7) Hak-hak lain yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut diatas yang akan ditetapkan dengan Undang-Undang serta hak-hak yang sifatnya sementara sebagai yang disebutkan dalam Pasal 53.

b. Subjek Hak Milik Atas Tanah

Pasal 21 ayat (1) dan (2) UUPA, hak milik atas tanah hanya dapat dimiliki oleh warganegara Indonesia dan badan-badan hukum yang sudah sesuai dengan syarat-syarat yang ditetapkan oleh pemerintah. Pasal tersebut menjelaskan bahwa pemberian suatu hak atas tanah, bisa saja diberikan kepada badan-badan hukum bukan hanya perseorangan saja sesuai dalam ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Ketentuan terkait pemberian hak atas tanah kepada badan-badan hukum diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 1963 tentang Penunjukan Badan-Badan Hukum Yang Dapat Mempunyai Hak Milik Atas Tanah. Badan-badan hukum yang dapat memiliki hak atas tanah menurut Pasal 1 Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 1963 tersebut, antara lain :

1) Bank-bank yang didirikan oleh Negara (selanjutnya disebut Bank Negara);

2) Perkumpulan-perkumpulan Koperasi Pertanian yang didirikan berdasar atas Undang- Undang Nomor 79 Tahun 1958 (Lembaran Negara Tahun 1958 Nomor 139);

3) Badan-badan keagamaan yang ditunjuk oleh Menteri Pertanian/Agraria, setelah mendengar Menteri Agama;

4) Badan-badan sosial, yang ditunjuk oleh Menteri Pertanian/Agraria, setelah mendengar Menteri Kesejahteraan Sosial.

Walaupun dalam penerapan hak milik atas tanah BUMN bukan termasuk pemilik Hak Atas Tanah namun disisi lain BUMN masih dapat mempunyai hak atas tanah yang lain,

(17)

dalam wujud yaitu Hak Guna Usaha dalam Pasal 30 UUPA, Hak Guna Bangunan dalam Pasal 36 UUPA, Hak Pakai dalam Pasal 42 UUPA serta dijelaskan juga menegani hak milik atas tanah oleh BUMN yang secara eksplisit disebutkan bahwa penggunaan tanah bagi kepentingan umum dapat dilakukan oleh Badan Usaha Milik Negara seperti yang disebutkan dalam Pasal 1 ayat (1) Peraturan Pemerintah No.19 Tahun 2021 jo. Pasal 1 Ayat (1) Undang- undang No.2 Tahun 2012: sebagai pihak yang memerlukan tanah,

c. Terjadinya Hak Milik Atas Tanah

Terjadinya suatu hak milik atas tanah dapat disebabkan beberapa hal yang mana ada yang diatur di dalam Pasal 22 UUPA, yaitu hak milik atas tanah terjadi karena :

1) Terjadinya hak milik menurut hukum adat diatur dengan Peraturan Pemerintah

2) Selain menurut cara sebagai yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini hak milik terjadi karena :

a) Penetapan Pemerintah, menurut cara dan syarat-syarat yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah;

b) Ketentuan Undang-Undang.

Hak milik atas tanah juga dapat terjadi melalui 2 (dua) cara yaitu (Santoso 2014, 70):

1) Secara Originair

Cara perolehan hak atas tanah secara Originair adalah hak atas tanah diperoleh untuk pertama kali (asli). Hak atas tanah ini dapat diperoleh atas tanah yang berasal dari tanah negara atau tanah pihak lain. Hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai, hak pengelolaan dapat terjadi atas tanah yang berasal dari tanah negara. Hak atas tanah yang berasal dari pihak lain, yaitu hak guna bangunan, hak pakai, atau hak milik dapat terjadi atas tanah yang berasal dari tanah hak pengelolaan, atau hak guna bangunan atau hak pakai dapat terjadi atas tanah yang berasal dari hak milik.

2) Derivatif

Cara perolehan hak atas tanah secara derivatif, hak atas tanah dapat diperoleh melalui peristiwa hukum atau perbuatan hukum. Seseorang atau badan hukum. dapat memperoleh hak atas tanah melalui peristiwa hukum, dimana seseorang atau badan hukum memperoleh hak atas tanah melalui dengan cara jual-beli, tukar-menukar, hibah atau pewarisan warisan dari orang tuanya yang meninggal dunia. atau lelang.

(18)

d. Hapusnya Hak Milik Atas Tanah

Walaupun suatu Hak milik atas tanah tidak memiliki batas waktu, namun faktanya bukan berarti suatu hak milik atas tanah tidak dapat hilang atau hapus. Dijelaskan dalam Pasal 27 UUPA bahwa hak milik atas tanah akan terhapus apabila:

1) Tanahnya jatuh kepada negara :

2) Karena pencabutan hak berdasarkan Pasal 18 UUPA.

Dalam Pasal 18 UUPA tersebut hak milik atas tanah dapat dicabut oleh negara secara paksa untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan bangsa dan Negara serta kepentingan bersama dari rakyat, hak-hak atas tanah dapat dicabut, dengan memberi ganti kerugian yang layak dan menurut cara yang diatur dengan Undang-undang.

Pencabutan hak atas tanah tersebut disertai dengan ganti kerugian yang layak dan berdasarkan cara yang diatur dengan peraturan perundang-undangan.

3) Karena penyerahan dengan sukarela oleh pihak pemiliknya.

Penyerahan secara sukarela artinya bahwa pemegang hak atas tanah yang melepaskan haknya secara sukarela kepada Negara tanpa adanya ganti kerugian terhadap hak atas tanah yang dilepaskan dan menjadi tanah Negara.

4) Karena ditelantarkan.

Maksud ditelantarkan dalam hal ini yaitu secara sengaja tidak pergunakan sesuai dengan sifat dan tujuan haknya. Ketentuan terkait dengan tanah terlantar diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2021 tentang Penertiban Kawasan dan Tanah Terlantar.

5) Karena ketentuan Pasal 21 ayat (3) dan Pasal 26 ayat (2) UUPA.

Ketentuan Pasal 21 ayat (3) mengatur tentang keharusan melepaskan hak milik yang diperoleh karena pewarisan tanpa wasiat atau pencampuran harta karena perkawinan serta bagi seorang warga negara Indonesia yang memiliki hak milik atas tanah namun setelah berlakunya UUPA kehilangan kewarganegaraannya wajib melepaskan haknya dalam tempo 1 (satu) tahun sejak diperoleh haknya ataupun hilangnya kewarganegaraannya. Dan apabila jangka waktu 1 (satu) tahun tersebut sudah terpenuhi namun hak milik atas tanahnya tidak dilepaskan, maka hak tersebut terhapus demi hukum dan tanah tersebut dikembalikan kepada Negara.Dan Untuk ketentuan Pasal 26 ayat (2) dinyatakan bahwa pemindahan hak milik kepada orang asing, atau orang yang memiliki

(19)

kewarganegaraan disamping kewarganegaraan Indonesia mempunyai kewarganegaraan asing, atau badan hukun yang tidak sesuai dengan ketetapan Pemerintah termaksud pasal 21 ayat (2), karena kegiatan jual-beli, penukaran, penghibahan, pemberian dengan wasiat dan perbuatan-pebuatan lain yang dimaksudkan baik langsung atau tidak langsung memindahkan hak miliknya adalah batal karena hukum dan tanahnya jatuh kepada Negara.

6) Tanahnya Musnah.

Maksud tanahnya musnah adalah suatu hak milik atas tanah dapat terhapus karena adanya perubahan dari bentuk secara fisik tanah dan tidak dapat dipergunakan secara layak sesuai dengan isi/kewenangan haknya oleh pemegang hak milik. Dan walaupun secara fisik masih dapat ditemukan, tetapi karena sudah tidak dapat mendukung kegunaanya secara layak, maka haknya akan terhapus menjadi tanah negara. Untuk tanah musnah ini biasanya disebabkan oleh terjadinya peristiwa alam seperti erosi sungai ataupun pantai dan bencana alam lainnya.

6. Tinjauan tentang Bandara a. Pengertian Bandar Udara

Bandar Udara adalah kawasan di daratan dan/atau perairan dengan batas-batas tertentu yang digunakan sebagai tempat pesawat udara mendarat dan lepas landas, naik turun penumpang, bongkar muat barang, dan tempat perpindahan moda transportasi, yang dilengkapi dengan fasilitas keselamatan dan keamanan penerbangan dan fasilitas penunjang serta fasilitas pokok lainnya (http://hubud.dephub.go.id/website 2014, 1)

b. Fungsi dan Peran Bandar Udara

Bandar udara memiliki beberapa fungsi dan juga peran antara lain:

1) Pintu gerbang kegiatan perekonomian dalam upaya pemerataan pembangunan, pertumbuhan dan stabilitas ekonomi serta keselarasan pembangunan nasional dan pembangunan daerah;

2) Tempat kegiatan alih moda transportasi;

3) Pendorong dan penunjang kegiatan industri, perdagangan dan pariwisata;

4) Pengembangan daerah perbatasan;

5) Untuk mempercepat penanganan bencana dsb.

(20)

Selain memiliki peran penting terhadap kegiatan perekonomian dan transportasi, Bandar udara memiliki fungsi dalam penyelenggaraan pemerintahan dimana di dalamnya terdapat instansi pemerintah meliputi:

1) Pembinaan kegiatan penerbangan;

2) Kepabeanan;

3) Keimigrasian;

4) Kekarantinaan;

Bandar udara seperti yang telah dijelaskan diatas merupakan sebuah fasilitas trasnportasi yang multifungsi serta sangat dibutuhkan bagi kepentingan nasional.

7. Tinjauan tentang Ganti Rugi a. Pengertian Ganti Rugi

Secara umum Ganti rugi adalah pemberian prestasi yang setimpal akibat suatu perbuatan yang menyebabkan kerugian diderita oleh salah satu pihak yang melakukan kesepakatan/konsensus. Dalam kaitannya dengan pengadaan tanah ganti rugi merupakan penggantian atas nilai tanah berikut bangunan, tanaman, dan/atau benda-benda lain yang terkait dengan tanah sebagai akibat pelepasan atau penyerahan hak atas tanah (Kansil 2002, 681) Pasal 1 ayat (2) Peraturan Pemerintah No.19 Tahun 2021 jo. Undang – Undang Nomor 2 Tahun 2012 menyatakan bahwa Pengadaaan Tanah adalah kegiatan menyediakan tanah dengan cara memberi ganti kerugian yang layak dan adil kepada yang berhak. Dimana Pasal 1 ayat (12) Peraturan Pemerintah No.19 Tahun 2021 jo. Undang-undang Nomor 2 Tahun 2012 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum, dengan lebih jelas lagi. “Ganti rugi adalah penggantian yang layak dan adil kepada pihak yang berhak dalam proses pengadaan tanah”.

b. Objek Yang Diberi Ganti Rugi

Dalam Penilaian terhadap besarnya nilai dari ganti kerugian pihal yang diberikan wewenang ialah Lembaga Pertanahan yang akan melakukan penilaian yang diberikan terhadap Hak atas tanah, Bangunan, Tanaman, Benda-benda lain yang berkaitan dengan tanah.

(Kansil 2002, 685) Dijelaskan di Undang-undang Nomor 2 Tahun 2012 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum bahwa objek Pengadaan Tanah adalah

(21)

tanah, ruang atas tanah dan bawah tanag, bangunan, tanaman, benda yang berkaitan dengan tanah, atau lain-lainnya yang dapat dinilai.

c. Bentuk-bentuk Ganti Rugi

Ganti kerugian yang diwajibkan adalah bentuk penggantian yang layak dan adil kepada pihak yang berhak dalam bentuk yang diatur dalam Pasal 76 Peraturan Pemerintah No.19 Tahun 2021 jo. Pasal 123 Undang-Undang No.11 Tahun 2020 tentang Perubahan ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 20l2 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum:

1. Uang;

2. Tanah Pengganti;

3. Permukiman Kembali;

4. Kepemilikan Saham; atau

5. Bentuk Lain yang Disetujui oleh Kedua Belah Pihak

Dalam menentukan ganti rugi harus dilakukan dengan memberikan penilaian terhadap ganti rugi yang dilakukan oleh Penilai Publik yang ditunjuk Panitia Pengadaan tanah dengan kriteria yang telah diatur dalam Pasal 68 Peraturan Pemerintah No.19 Tahun 2021 yang penilaiannya meliputi:

1. Tanah;

2. Ruang Atas Tanah Dan Ruang Bawah Tanah;

3. Bangunan;

4. Tanaman;

5. Benda yang Berkaitan dengan Tanah; dan/atau 6. Kerugian Lain yang dapat Dinilai.

d. Proses Penilaian Ganti Rugi

Adanya suatu proses Penilaian terhadap nilai ganti rugi suatu tanah bertujuan sebagai pertanggungjawaban oleh pemerintah kepada pemegang hak atas tanah untuk memenuhi kelayakan terhadap hasil ganti rugi. Dimana ganti rugi yang layak adalah apabila pemberian ganti rugi nantinya dapat memberikan kelangsungan hidup yang lebih baik dari tingkat kehidupan sosial ekonomi sebelum terkena pengadaan tanah. Suatu Penaksiran Nilai Tanah akan ditentukan berdasarkan hak dan status penguasaan tanah yang terkena pembangunan, sedangkan nilai bangunan, tanaman dan benda-benda lainnya ditentukan oleh Instansi Pemerintah yang bertanggung jawab di bidang terkait yang mana nantinya dalam mementukan nilai ganti rugi maka Instansi tersebut akan menunjuk suatu Tim/Lembaga

(22)

Penilai Publik untuk menentukan nilai dari tanah tersebut sehingga dapat dijadikan dasar pemberian ganti rugi.

Menurut Pasal 37 ayat 1 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 ditentukan bahwa Lembaga Pertanahan melakukan musyawarah dengan pihak yang berhak dalam waktu paling lama 30 hari kerja sejak hasil penilaian dari Tim Penilai yang dipilih oleh instansi yang memerlukan tanah telah disampaikan kepada Lembaga Pertanahan yang nantinya digunakan sebagai dasar untuk menetapkan bentuk dan/atau besarnya ganti kerugian.

e. Proses Musyawarah Dalam Penentuan Ganti Rugi

Musyawarah adalah salah satu hal yang perlu untuk mengetahu mengenai bentuk dan besarnya ganti kerugian. Adanya proses musyawarah bertujuan sebagai sarana untuk menghasilkan titik temu keinginan antara pemilik tanah dengan pihak yang instansi pemerintah yang memerlukan tanah, sehingga diharapkan akan memperoleh suatu kesepakatan mengenai bentuk ganti rugi yang akan diberikan serta berapa jumlah besaran ganti kerugian. Nantinya suatu musyawarah apabila telah memperoleh hasil maka kemudian akan diberitahukan kepada masing-masing pihak melalui suatu Berita Acara Musyawarah yang telah ditandatangani oleh pihak masyarakat yang tanahnya terkena pembangunan serta dari pihak instansi Pemerintah yang memerlukan tanah.

Kemudian dalam penentuan mengenai bentuk dan besarnya ganti kerugian dari kedua pihak nantinya akan dituangkan dalam bentuk Surat Keputusan PPT Kanwil setempat yang ditandatangai oleh Ketua PPT. Namun apabila suatu bentuk dan besarnya ganti kerugian tidak tercapai sebuah kesepakatan, pihak PPT akan menetapkan bentuk dan besarnya ganti kerugian dengan melampirkan Berita Acara Penaksiran dan Notulen Rapat Musyawarah.

B. Kerangka Pemikiran

 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA)

 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum

 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja

 Peraturan Presiden Nomor 19 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum

(23)

Penjelasan Kerangka Pemikiran :

1. Pengadaan tanah bagi kepentingan umum merupakan bagian dari pemenuhan hak menguasai tanah yang dimiliki oleh negara. Salah satu bentuk pengadaan tanah bagi kepentingan umum adalah pembangunan Bandara New Yogyakarta International Airport. Dalam proses

Pelaksanaan Pengadaan Tanah Bagi Kepentingan Umum

Pembangunan Bandara New Yogyakarta International Airporgt

Proses Pelaksanaan Pengadaaan Tanah

Proses Pemberian Ganti Rugi

Pengadaan Tanah Bagi Kepentingan Umum yang Sesuai Dengan Ketentuan Hukum yang Berlaku

(24)

pelaksanaan pengadaan tanah diketahui adanya tata cara pelaksanaan pengadaan tanah yang harus dilaksanakan oleh pihak yang melakukan pengadaan tanah tersebut. selain itu pengadaan tanah juga merupakan bentuk hak menguasai atas tanah yang dilakukan dengan cara ganti rugi yang bentuknya ada beberapa macam dan diberikan kepada pihak yang berhak yang dilaksanakan melalui kesepakatan dan ketentuan-ketentuan yang telah diatur dalam peraturan yang berlaku. Namun dalam pengadaan tanah bagi kepentingan umum belum tentu semua berjalan dengan baik dan sesuai peraturan, adapun masalah tata cara pelaksanaan maupun ganti rugi terkadang juga menjadi sebuah penghambat tentunya perlu untuk dikaji dan dicari tahu agar tercipta suatu penyelesaian masalah dari permasalahan yang timbul dari pengadaan tanah bagi kepentingan umum,.

Referensi

Dokumen terkait

Spesimen pertama di uji cobakan pada kecepatan putaran 620 rpm, kedalaman pemakanan 1 mm, sudut clearence angel sebesar 10º, rake angle sebesar 12º, back rake

Hasil penelitian ini sejalan dengan pendap DW 3DQGH\ GDQ .KDUH ´ the findings of the research conclude that there is a significant impact of job satisfaction and

Besaran tarif umumnya disesuaikan dengan umur mobil dan waktu sewa, misalnya jangka pendek (harian/mingguan), jangka panjang (bulanan/tahunan). Untuk dapat memberikan

ada sesuatu kekhilafan/prosedur hukum, dengan cara membuat pembetulan/perbaikan atau dengan kata lain hanya dapat dilakukan dengan membuat akta lagi guna

Ke depan, kebijakan Bank Indonesia pada tahun 2014 tetap difokuskan untuk menjaga stabilitas perekonomian dan sistem keuangan melalui penguatan bauran kebijakan di bidang

Karena dalam penelitian ini belum dimungkinkan untuk dilakukan penebangan pohon untuk memperoleh serbuk kayu dari bagian kayu teras sejumlah yang dibutuhkan untuk kegiatan

Sura Indah Wood Industries selama periode April 2020 s/d Maret 2021 bahan baku import yang diterima perusahaan berasal dari pemasok yang telah bersertifikat FSC dan masih

Penataan ruang harus dapat memudahkan siswa untuk meraih atau mengambil barang-barang yang dibutuhkan selama proses pembelajaran. Selain itu jarak antar tempat duduk