• Tidak ada hasil yang ditemukan

MENEGUHKAN BAWASLU SEBAGAI LEMBAGA PERADILAN DALAM BINGKAI PENGAWASAN PEMILU

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "MENEGUHKAN BAWASLU SEBAGAI LEMBAGA PERADILAN DALAM BINGKAI PENGAWASAN PEMILU"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

Jurnal Adhyasta Pemilu ISSN 2443-2539

Vol. 1 No. 1 2018, Hal. 55-68

MENEGUHKAN BAWASLU SEBAGAI

“LEMBAGA PERADILAN” DALAM BINGKAI PENGAWASAN PEMILU

Abdul Waid [email protected]

Abstract

Law Number 7 of 2017 concerning on General Elections now has given strong authority to the Election Supervisory Agency (Bawaslu). The Election Supervisory Agency now does not only become a recommendation institution as stated in the previous Election law. Now the Election Supervisory Agency is the executor agency or case breaker.

This was stated expressly in the formulation of Article 461 paragraph (1) of Law No.7 / 2017, that the Election Supervisory Agency, Provincial Election Supervisory Agency, Regency Election Supervisory Agency receive, examine, review, and decide election administration violations. Then paragraph 6 states that the decision of the Election Supervisory Agency, Provincial Election Supervisory Agency, Regency Election Supervisory Agency is to resolve election administration violations in the form of: first, administrative improvements to systems, procedures, or mechanisms in accordance with the provisions of the legislation; second, written warning; third, dissociate of certain stages in organizing elections; and fourth, other administrative sanctions in accordance with the provisions of the law. Based on that, this paper seeks to provide an analysis of the Election Supervisory Agency as an Election Supervisory Institution on the one hand, and as a judicial institution on the other side. The reason is that the Election Supervisory Agency now has a judicial function in implementing its authority, so that the procedure for resolving cases of election administration violations carried out in the Election Supervisory Agency is also in accordance with the judicial model of judicial institution in general. This paper also tries to confirm the performance of the Election Supervisory Agency as an institution that no longer needs to depend on the commitment of other institutions such as the KPU, the Police, and the prosecutor.

(2)

Law No. 7/2017 has made the Election Supervisory Agency as the “real” supervisory institution. That is, the Election Supervisory Agency should be an institution that has an important role in realizing the implementation of the legitimate election system.

Keywords: the Election Supervisory Agency (Bawaslu), Judicial Function, Supervision, Authority, and Election.

Abstrak

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 20017 Tentang Pemilihan Umum kini telah memberikan kewenangan yang kuat kepada Bawaslu. Bawaslu kini tidak hanya menjadi lembaga pemberi rekomendasi sebagaimana dinyatakan dalam undang-undang Pemilu sebelumnya. Kini Bawaslu menjadi lembaga eksekutor atau pemutus perkara. Hal tersebut dinyatakan dengan tegas dalam rumusan Pasal 461 ayat (1) UU No7/2017, bahwa Bawaslu, Bawaslu Provinsi, Bawaslu Kabupaten/Kota menerima, memeriksa, mengkaji, dan memutuskan pelanggaran administrasi Pemilu. Kemudian ayat 6 menyatakan bahwa putusan Bawaslu, Bawaslu Provinsi, Bawaslu Kabupaten/Kota untuk menyelesaikan pelanggaran administrasi Pemilu berupa: pertama, perbaikan administrasi terhadap tata cara, prosedur, atau mekanisme sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan-undangan; kedua, teguran tertulis; ketiga, tidak diikutkan pada tahapan tertentu dalam penyelenggaraan Pemilu; dan keempat, sanksi administrasi lainnya sesuai dengan ketentuan dalam undang-undang. Atas dasar itu, tulisan ini berupaya untuk memberikan analisis tentang Bawaslu sebagai institusi pengawas Pemilu di satu sisi, dan sebagai lembaga peradilan di sisi yang lain. Pasalnya, Bawaslu kini memiliki fungsi peradilan dalam menjalankan kewenangannya, sehingga tata cara penyelesaian perkara pelanggaran administrasi Pemilu yang dilaksanakan di Bawaslu juga sesuai dengan model persidangan lembaga yudikatif pada umumnya. Tulisan ini juga mencoba meneguhkan kinerja Bawaslu sebagai institusi yang tidak lagi perlu bergantung pada komitmen lembaga-lembaga lain seperti KPU, Kepolisian, maupun kejaksaan. UU No 7/2017 telah menjadikan Bawaslu sebagai lembaga pengawas

“yang sebenarnya”. Yaitu, Bawaslu seharusnya menjadi lembaga yang memiliki peran penting dalam mewujudkan penerapan sistem Pemilu yang benar.

Kata Kunci: Bawaslu, Fungsi Peradilan, Kewenangan, Pemilu, Pengawasan.

(3)

1. Pendahuluan

Jika kita perhatian bagaimana mekanisme Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) menangani laporan pelanggaran administrasi Pemilu (Pemilihan Umum) 2019, maka kita akan menemukan hal baru yang tidak pernah kita temukan pada Bawaslu sebelumnya. Hal baru tersebut bukan sekadar penampilan formal Ketua dan anggota Bawaslu tampil formal seperti berjas dan berdasi rapi. Tetapi, hal baru tersebut adalah suasana penyelesaian perkara yang layaknya dilakukan di peradilan umum. Layaknya dalam sebuah persidangan di pengadilan, ketua dan anggota Bawaslu duduk di meja tinggi menghadap pengunjung. Di depan sebelah kanan duduk para pelapor dari partai politik, sedangkan di depan sebelah kiri duduk para terlapor dari anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU). Tidak hanya itu, layaknya seorang hakim di pengadilan, ketua Bawaslu mengetuk palu untuk memulai dan mengakhiri sidang, serta mengetuk palu atas hal-hal penting.

Kenyataan ini seakan mematahkan keraguan sebagian kalangan dimasa lalu, bahwa penyelenggaraan Pemilu suatu hari bisa lebih dipercayakan ke lembaga peradilan yang sekaligus menjadi indikasi lemahnya kinerja KPU dan Bawaslu.

(Fachrudin, 2013). Faktanya hari ini justru Bawaslu menjadi lembaga yang “setara”

dengan lembaga peradilan.

Itulah terobosan besar kewenangan Bawaslu dalam menangani laporan pelanggaran administrasi Pemilu. Forum penyelesannya berbentuk persidangan, bukan berbentuk rapat kajian sebagaimana sebelumnya. Hal ini adalah implikasi dari perubahan wewenang Bawaslu dalam menyelesaikan pelanggaran administrasi

pemilu. Kewenangan semacam ini tidak dimiliki oleh Bawaslu sebelumnya. Dalam undang-undang pemilu sebelumnya, Bawaslu hanya menjadi bagian dari proses penyelesaian pelanggaran administrasi, sementara eksekutor dan penuntasnya adalah KPU—bukan Bawaslu. Sebelum lahirnya UU No 7/2017, rekomendasi Bawaslu kepada KPU mengenai ada- tidaknya pelanggaran administrasi dari suatu laporan pengaduan seringkali diabaikan oleh KPU. Dalam kondisi demikian, Bawaslu tidak bisa berbuat banyak karena memang tidak memiliki kewenangan untuk mengadili dan memutuskan laporan pengaduan.

Tetapi, dengan lahirnya UU No 7/2017 Bawaslu kini bukan lagi sekadar lembaga pemberi rekomendasi, tetapi sebagai eksekutor atau pemutus perkara.

Hal tersebut bisa dilihat dalam Pasal 461 ayat (1) UU No 7/2017 yang berbunyi:

Bawaslu, Bawaslu Provinsi, Bawaslu Kabupaten/Kota menerima, memeriksa, mengkaji, dan memutuskan pelanggaran administrasi Pemilu. Kemudian ayat (6) berbunyi: Putusan Bawaslu, Bawaslu Provinsi, dan Bawaslu Kabupaten/

Kota untuk menyelesaikan pelanggaran administrasi Pemilu berupa: a. perbaikan administrasi terhadap tata cara, prosedur, atau mekanisme sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; b.

teguran tertulis; c. tidak diikutkan pada tahapan tertentu dalam Penyelenggaraan Pemilu; dan d. sanksi administrasi lainnya sesuai dengan ketentuan dalam Undang- Undang ini.

Cakupan “pelanggaran administrasi”

yang ditangani oleh Bawaslu juga cukup luas. Sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 460 UU No 7/2017, pelanggaran administrasi mencakup pelanggaran

(4)

terhadap tata cara, prosedur, atau mekanisme yang berkaitan dengan administrasi pelaksanaan pemilu dalam setiap tahapan penyelenggaraan pemilu.

Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa meskipun kepanjangan Bawaslu adalah “Badan Pengawas Pemilihan Umum”, secara yuridis formal Bawaslu bukan hanya sekadar lembaga pengawas, namun juga lembaga peradilan. Pasalnya, bawaslu juga menjalankan fungsi- fungsi peradilan sebagaimaa lembaga peradilan pada umumnya, sehingga tata cara menyelesaikan pelanggaran a d m i n i st ra s i Pe m i l u m e n g i ku t i mekanisme persidangan pada umumnya.

Dalam konteks ini, posisi ketua dan anggota sebagai pemutus perkara pelanggaran administrasi Pemilu tentu saja harus memenuhi kriteris sebagai hakim peradilan administrasi pemilu, sehingga ke depan sangat keputusan- keputusan yang lahir dari persidangan di Bawaslu dapat memperbaiki kualitas Pemilu.

Hadirnya Bawaslu sebagai lembaga peradilan Pemilu untuk menangani pelanggaran administrasi, jelas akan mengurangi proses panjang administrasi Pemilu, sehingga kondisi ini akan menyebabkan penyelesaian kasus pelanggaran administrasi Pemilu akan semakin efektif serta tidak bertele-tele.

Pasalnya, pelanggaran administrasi itu bisa diselesaikan di Bawaslu. Apalagi, hasil pemeriksaan di Bawaslu sifatnya putusan, harus ditaati oleh KPU tanpa menimbang-nimbang lagi, karena putusan Bawaslu bersifat final dan mengikat.

Terlepas dari semua itu, barangkali tidak banyak pihak yang menyadari bahwa perluasan kewenangan Bawaslu ini sebenarnya juga menimbulkan

persoalan. Setidak-tidaknya ada satu persoalan krusial yang bisa dikemukakan dalam tulisan ini. Yaitu, adanya dwi fungsi Bawaslu. Di satu sisi, Bawaslu menjalankan fungsi pengawasan terhadap Pemilu, tetapi pada sisi yang lain juga menjalankan fungsi peradilan. Dwifungsi Bawaslu ini tentu saja bisa melahirkan persoalan dan konflik kepentingan dalam penyelenggaraan Pemilu. Sebab, dalam hal pengawasan Pemilu, Bawaslu telah memiliki penilaian tertentu terhadap suatu pelanggaran administrasi Pemilu, baik yang dilaporkan oleh partai politik (masyarakat) maupun yang ditemukan oleh Bawaslu sendiri di lapangan.

Padahal, dari penilaian yang dimiliki oleh Bawaslu tersebut masih akan ditindaklanjuti dengan persidangan yan juga disidang oleh Bawaslu sendiri.

Dengan kata lain, dalam menjalankan kewenangannya Bawaslu bertindak sebagai pengumpul keterangan, namun pada saat yang sama lembaga ini sekaligus juga bertindak sebagai hakim yang menentukan pelanggaran administrasi.

Sehingga, penilain Bawaslu terhadap suatu kasus mana kala menjalan fungsi pengawasannya akan memengaruhi putusannya ketika bawaslu menjalankan fungsinya sebagai lembaga peradilan.

Padahal, setiap lembaga peradilan—

termasuk Bawaslu yang menjalani fung- fungsi peradilan—sejatinya bersifat pasif dalam arti menunggu laporan atau gugatan dari masyarakat (Yulikhasan, 2016).

Persoalan inilah yang akan ditelaah secara mendalam dalam tulisan ini sehingga nantinya diharapkan akan melahirkan solusi yang tepat bagi Bawaslu dalam rangka upaya meneguhkan Bawaslu sebagai “lembaga peradilan”,

(5)

atau setidak-tidaknya lembaga yang menjalankan fungsi peradilan—dalam bingkai pengawasan pemilu.

1.1 Rumusan Masalah

Dari pendahulan yang menguraikan latar belakang masalah tentang kewenangan Bawaslu yang menjalankan fungsi-fungsi peradilan di atas, maka ada beberapa rumusan masalah akan dipecahkan dalam pembahasan- pembahasan selanjutnya dalam tulisan ini. Beberapa rumusan masalah tersebut adalah sebagai berikut:

• Bagaimana sebaiknya fokus peran Bawaslu dalam rangka menjalankan kewenangannya terkait dengan Pemilu?

• Apakah dwifungsi Bawaslu (fungsi pengawasan dan fungsi peradilan) akan mempengaruhi obyektivitas putusan-putusan Bawaslu terkait Pemilu?

1.2 Tujuan dan Kegunaan

Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

• Untuk mengetahui bagaimana sebaiknya fokus peran Bawaslu dalam rangka menjalankan kewenangannya terkait dengan Pemilu

• Untuk memahami pengaruh dwifungsi Bawaslu (fungsi pengawasan dan fungsi peradilan) terhadap obyektivitas putusan-putusan Bawaslu terkait Pemilu

Sedangkan kegunaan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

• Memberikan masukan secara akademik kepada Bawaslu terkait dengan kewenangannya sebagai

lembaga pengawas pemilu dan lembaga yang menjalankan fungsi- fungsi peradilan.

• Menjadi pijakan atau pertimbangan ke p a d a B awa s l u p a d a s a at menjalankan kewenangannya, khususnya ketika menjalankan fungsinya sebagai lembaga peradilan.

• Memberikan pandangan akademis kepada Bawaslu sehingga dapat dijadikan pertimbangan ketika menyusun peraturan Bawaslu tentang mekanisme atau tata cara penyelesaian perkara pelanggaran administrasi Pemilu.

• Dapat dijadikan pandangan ketika menyusun regulasi-regulasi berikut terkait Pemilu di periode-periode selanjutnya.

2. Metode Penelitian

Dalam penelitian ini, penyusun menggunakan beberapa langkah sebagai berikut:

2.1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini merupakan penelitian pustaka (library research), yaitu suatu penelitian dengan cara menumpulkan, menuliskan, mengklasifikasikan bahan pustaka (literature) sebagai sumber data yang diperoleh dari berbagai sumber yang berkaitan dengan judul tulisan (paper) ini.

Menurut pandangan Sumadi Suyasubrata (1989), peneliti hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder dinamakan penelitian hukum normatif atau penelitian hukum kepustakaan.

(6)

2.2. Sifat Penelitian

Sifat dari penelitian ini adalah deskriptif analitik (descriptive analysis), yaitu penelitian yang bertujuan memberikan gambaran yang jelas tentang bagaimana sebaiknya penerapan kewenangan Bawaslu dalam pengawasan Pemilu terkait fungsi pengawasannya dan fungsi peradilannya.

2.3. Pendekatan Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif, yaitu mengkaji penerapan kewenangan Bawaslu pengawasan Pemilu yang sekaligus memiliki fungsi peradilan sebagaimana diatur dalam UU No 7/2017.

2.4. Data dan Sumbernya

Sumber data penelitian ini dibedakan menjadi dua, yaitu sumber bahan hukum primer dan sumber bahan hukum sekunder. Perincian kedua data tersebut adalah sebagai berikut:

Sumber bahan hukum primer terdiri dari UU No 7/2017 tentang Pemilu, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 49 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 Tentang Peradilan Umum, Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman, dan regulasi-regulai lainnya yang dianggap pokok dan penting terkait tulisan ini.

Sumber bahan hukum sekunder yang berfungsi sebagai pendukung terhadap bahan hukum primer bersumber dari berbagai karya ilmiah yang membahas tentang kewenangan Bawaslu, fungsi peradilan, kuasi yudikatif, pengawasan Pemilu, dan lain sebagainya.

2.5. Teknik Penumpulan Data

Dalam peneltian ini, karena penelitian ini menggunakan penelitian pustaka, maka penulis menelusuri berbagai dokumen terkait dengan obyek pembahasan, yaitu penerapan kewenangan Bawaslu dalam pengawasan Pemilu terkait fungsi pengawasannya dan fungsi peradilannya.

Dengan kata lain, pembahasan dalam paper ini ini dikonstruksikan langsung terhadap liteatur-liteatur yang ada hubungannya dengan penerapan kewenangan Bawaslu dalam pengawasan Pemilu terkait fungsi pengawasannya dan fungsi peradilannya. Teknik pengumpulan data semacam ini juga bisa disebut dengan dokumentasi, yaitu motode yang bertujuan untuk mencari data mengenai hal-hal atau variabel yang berupa catatan, transkip, buku-buku ilmiah yang berkaitan dengan obyek kajian penelitian ini, surat kabar, majalah, dan lain sebagainya (Arikunto, 1998, 202).

2.6. Motode Analisis Data

Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah berpola induktif ke deduktif. Maksudnya adalah, setelah data terkumpul mengenai pembahasan penerapan kewenangan Bawaslu dalam pengawasan Pemilu terkait fungsi pengawasannya dan fungsi peradilannya, lalu dilakukan analisis, yaitu analisis dengan data khusus yang menghasilkan kesimpulan umum (Hadi, 1984, 42). Ada pun metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif, yakni suatu tata cara penelitian yang menghasilkan data yang deskriptif- analisis.

(7)

3. Perspektif Teori (Kerangka Teoritik)

3.1. Pengawasan, Kewenangan, Tugas dan Kewajiban

Pengawasan berasal dari kata awas dalam kamus bahasa Indonesia yang berarti dapat melihat baik-baik, tajam penglihatan, sedangkan mengawasi adalah memperhatikan, dan pengawas adalah orang yang mengawasi (Anwar, 2000, 58). Maka pengawasan adalah langkah sekaligus salah satu fungsi organik manajemen yang sangat penting, dikatakan demikian karena melalui pengawasanlah diteliti apakah hal yang tercantum dilaksanakan dengan baik atau tidak. Kegiatan pengawasan yang dilakukan oleh Bawaslu adalah mengawasi proses jalannya pesta demokrasi Pemilu serta pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah telah sesuai dengan hasil yang diharapkan.

Setiap kegiatan yang berkaitan dengan pengawasan baik itu menindak lanjuti penemuan pelanggaran Pemilu harus ada full up atau evaluasi. Dengan adanya evaluasi tersebut maka dapat diketahui kelemahan yang menjadi dasar akan kurangnya mungkin dari segi partisipasi anggota, motivasi dan lain sebagainya. Selanjutnya kegiatan Bawaslu ini adalah melakukan tindakan-tindakan korektif terhadap masalah-masalah yang ditemui dilapangan untuk ditindak lanjuti agar dimasa akan datang tidak terulang lagi kesalahan- kesalahan yang sama pada objek yang sama.

Kewenangan berasal dari kata wenang dalam kamus bahasa Indonesia berarti hak dan kekuatan untuk melakukan sesuatu, berwenang adalah mempunyai atau diberi hak dan kekuasaan untuk

melakukan sesuatu, Kewenangan adalah kekuasaan untuk melakukan sesuatu hal berwenang. Sumber kewenangan adalah tradisi keluarga atau darah biru, kekuatan sakral seperti Tuhan, Dewa dan wahyu seperti kerajaan, kualitas pribadi seperti atlit, artis, peraturan perundang-undangan yang mengatur prosedur dan syarat menjadi pemimpin, dan instrumental yaitu kekayaan dan keahlian iptek.

Dalam hal ini, Bawaslu mendapat sumber berwenang oleh peraturan perundang-undang yaitu Undang-Undang No 7 Tahun 2017 tentang Pemilu wajib melaksanakan kewenangannya.

Indonesia sebagai negara hukum tertuang dalam pasal 1 ayat 3 UUD 1945. Konsep “Indonesia adalah negara hukum” ini menjelaskan bahwa segala kewenangan dan tindakan alat-alat perlengkapan negara atau penguasa, semata-mata berdasarkan hukum atau dengan kata lain diatur oleh hukum.

Negara hukum Indonesia yang memakai sistem pemisahan kekuasaan antara legislatif, eksekutif, yudikatif ialah bertujuan agar hak asasi betul-betul terlindungi dengan memisahkan antara pembuat peraturan , pelaksana peraturan dan mengadilinya tidak berada pada satu tangan.

3.2. Kedudukan Peradilan dan Moral Power

Diskursus mengenai cabang-cabang kekuasaan, tentu akan selalu dibenturkan dengan aspek peradilan di ranah yudikatif, selain eksekutif dan legislatif. Jika dilihat ketiganya, ternyata badan peradilan adalah cabang kekuasaan yang paling lemah bila dibanding dengan eksekutif dan legislatif. Cabang kekuasaan terlemah

(8)

itu tidak memiliki kekuatan apa-apa, kecuali moral power semata. Selain eksekutif, legislatif juga memiliki berbagai hak di tangannya. Demikian pun Bawaslu yang kini juga memiliki kewenangan dalam menjalankan fungsi peradilan.

Bawaslu tentu tidak seperti eksekutif yang memiliki senjata politik sebagai penopang riel-nya. Bahkan, Bawaslu harus bersih dari unsur-unsur politik.

Dalam konteks itu, tentu masalah yang dihadapi oleh Bawaslu tidak sekadar masalah personil yang dituntut memiliki kapsitas keilmuan dibidang hukum karena berbenturan dengan penyelesaian pelanggaran administrasi Pemilu yang dilaksanakan dengan model persidangan. Akan tetapi juga menyangkut masalah sistem, termasuk fungsi-fungsi manajemen dan adminitrasi, beserta orang-orang yang menjalankan fungsi-fungsi tersebut di Bawaslu. Di sisi lain, kondisi sistem Pemilu dan sistem politik di Indonesia saat ini dalam kaitannya dengan upaya membentuk badan peradilan yang sehat. Sejauh mana sistem politik saat ini kondusif untuk menciptakan suatu keadaan agar lembaga seperti Bawaslu menjadi lembaga yang sehat. Jika DPR sebagai lembaga yang berwenang membuat undang-undang hanya habis-habisan memperbaiki kondisi internal peradilan, tetapi fungsi-fungsi luarnya tidak diperbaiki maka akan sulit sekali menciptakan Pemilu yang sehat.

Oleh karena itu, betapa pentingnya integritas moral para penegak hukum—

termasuk anggota Bawaslu—dan orang- orang yang menunjangnya. Ketika mengkritik fungsi peradilan, kebanyakan orang hanya mengkritik hakimnya saja.

Banyak orang lupa bahwa para hakim juga ditunjang oleh staf administrasi

dan tata usaha. Dengan kata lain, itu juga merupakan bagian yang harus diperbaiki. Pembenahan peradilan tidak dapat dilakukan tanpa melihatnya sebagai suatu kesatuan yang integral. Misalnya, Bawaslu yang kini juga menjalankan fungsi peradilan memutuskan hukuman sebuah partai politik lolos sebagai peserta Pemilu yang sebelumnya dinyatakan tidak lolos oleh KPU, tetapi KPU tidak mau melaksankaan putusan itu, maka semuanya tidak akan berjalan dengan baik.

Jadi dapat terlihat betapa pembenahan lembaga-lembaga yang menjalankan fungsi peradilan sangat tergantung pada unsur-unsurnya satu sama lain.

3.3. Unsur-Unsur Profesionalisme dan Fungsi Peradilan

Berdasarkan fungsi Pancasila sebagai dasar negara, fungsi dari lembaga yang menjalankan fungsi peradilan seperti Bawaslu untuk menerapkan dan menegakkan hukum dan keadilan yang berlandaskan dasar negara. Secara umum lembaga peradilan berfungsi sebagai penegak hukum bertugas untuk memeriksa, mengadili, dan memutus setiap perkara yang diajukan kepadanya agar mendapatkan keadilan (Sulistiyono

& Isharyanto, 2018)

Perkara yang masuk tidak boleh ditolak hakim pengadilan dengan alasan tidak mampu atau tidak ada hukum yang dapat dipakai untuk menyelesaikannya.

Dengan demikian, Bawaslu yang juga memiliki kewenangan dalam menjalankan fungsi peradilan juga tidak boleh menolak laporan pelanggaran administrasi Pemilu yang dilaporkan oleh setiap partai politik.

Jenis perkara yang masuk disesuaikan dengan tugas dan kewenangan dari tiap lembaga peradilan yang ada. Jadi,

(9)

melaksanakan fungsi peradilan bagi Bawaslu tentu saja untuk menegakkan hukum dan keadilan yang menjadi adalah peranan bawaslu.

Bawaslu yang kini memiliki kewenangan menjalankan fungsi peradilan tentu harus menjaga profesionalisme. Ada tiga unsur pokok yang harus dimiliki oleh ketua dan anggota Bawaslu ketika menjalankan fungsi peradilan. Pertama, integritas dan kejujuran semua individu yang ada di Bawaslu. Kedua, kapasitas individual, apakah ia menguasai teori-teori dan konsep-konsep hukum dengan baik atau tidak. Ketiga, efisiensi ketua dan anggota Bawaslu dalam memutus suatu kasus pelanggaran administrasi Pemilu.

4. Hasil dan Pembahasan

4.1. Bawaslu dan Lembaga Peradilan Khusus Pemilu

Jika meilihat kewenangan dwifungsi Bawaslu sebagaimana tertuang dalam UU No 7/2017, yaitu berkaitan dengan fungsi peradilan dan fungsi pengawasan, maka bisa dibilang keberadaan Bawaslu yang mengawasi pelaksanaan pemilu dinilai sudah tidak relevan dengan perkembangan pemilu masa kini.

Selain itu, dari sisi kepentingan hukum, tentu Bawaslu harus obyektif dalam menjalankan fungsi peradilannya yang tidak boleh dirusak atau diganggu oleh fungsi lain yang melekat pada Bawaslu.

Pada dasarnya, fungsi pengawasan kini bisa dialihkan ke masyarakat sipil. Jika dilihat dari sudut kepentingan hukum, Bawaslu akan lebih obyektif jika dirubah menjadi Pengadilan Pemilu yang bertugas mengadili khusus perkara pelanggaran administrasi Pemilu. Jika ini dilakukan, sebenarnya fungsi pengawasan dalam

Bawaslu tetap tidak akan hilang. Sebab, dalam fungsi peradilan seyogyanya terdapat fungsi pengawasan secara substantif (Sulistiyono & Isharyanto, 2018). Artinya, ketika Bawaslu mengadili, pada saat yang sama ia sebenarnya sedang mengawasi.

Jika Bawaslu ditransformasi menjadi pengadilan Pemilu yang khusus mengadili perkara pelanggaran administrasi Pemilu, maka hal ini akan meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pengawasan Pemilu. Pasalnya, fungsi pengawasan diserahkan kepada masyarakat sebagai wujud partisipasi yang nyata. Kewenangan pengawasan yang ada di Bawaslu sudah tidak lagi relevan karena kewenangan pengawasan akan mengurangi obyektivitas fungsi peradilan yang dijalankan oleh Bawaslu. Fungsi peradilan yang dijalankan seperti melaksanakan sidang, menggelar perkara, mendengar keterangan saksi dan ahli, menilai alat bukti, hingga memutus perkara yang putusannya bersifat final dan mengikat, akan berkurang obyektivitasnya jika putusan itu dipengaruhi oleh pendapat anggota Bawaslu yang datang dari luar persidangan. Padahal, semua putusan pengadilan—termasuk bawaslu yang memiliki fungsi peradilan—harus murni berpijak pada bukti-bukti persidangan (Sangadji, 2003).

Misalnya, ketika ada larangan mantan narapidana untuk mendaftarkan diri sebagai calon anggota legislatif pada Pemilu 2019, maka wacana ini sudah didengar dan diikuti oleh Bawaslu di luar persidangan sehingga semua anggota Bawaslu tentu saja mempunyai sikap dan pendapat tersendiri tentang wacana tersebut. Kemudian, jika ada pihak yang mengajukan sengketa ke Bawaslu lalu dibawa ke persidangan di Bawaslu,

(10)

keputusan Bawaslu dalam sidang tentu akan dipengaruhi oleh pendapat anggota Bawaslu sendiri di luar sidang. Tentu saja keputusan semacam itu tidak dapat disebut telah mencerminkan keadilan.

Contoh lain adalah terkait dengan pendaftaran calon anggota legislatif melalui sistem online. Apabila muncul statemen salah seorang anggota Bawaslu yang menyebut bahwa pendaftaran melalui sistem online tidak terlalu penting dalam Pemilu. Namun, jika ada ada pihak yang mengajukan masalah tersebut ke sidang di Bawaslu, tentu saja putusan yang keluar akan dipengaruhi oleh pendapat dan pernyataan anggota Bawaslu di laur sidang. Oleh karena itu, situasi yang muncul akibat adanya dwifungsi ini tidak akan mencerminkan keadilan dalam setiap putusan yang dikeluarkan oleh Bawaslu.

Penulis berpendapat, di satu sisi, sebaiknya peran KPU dikuatkan sebagai lembaga penyelenggara pemilu. Namun di sisi yang lain, pengawasan yang semula dilakukan oleh Bawaslu dialihkan kepada masyarakat. Dalam hal ini, KPU bisa mengatur lembaga-lembaga masyarakat yang melakukan pengawasan tersebut.

Jika ada pelanggaran administrasi Pemilu, maka di ranah inilah Bawaslu bisa berperan secara total. Namun, tentu saja, penulis tetap mengakui bahwa usulan perubahan kewenangan Bawaslu ke Pengadilan Pemilu tentu saja membutuhkan perjuangan panjang yang salah satunya adalah dengan revisi undang-undang terkait. Oleh karena itu, jika fungsi Bawaslu akan difokuskan ke fungsi peradilan saja, maka revisi undang-undang tentang penyelenggara Pemilu adalah sebuah keniscayaan. Hal ini tentu saja membutuhkan kerjasama dan

komitmen semua pihak. Sebab, langkah itu tidak bisa dikerjakan sendiri, namun harus dikerjakan secara kolektif oleh semua pihak yang memiliki kepentingan dalam Pemilu.

4.2. Profesionalisme dan Obyektivitas Ketia Bawaslu masih memiliki dwifungsi, yaitu fungsi pengawasan dan fungsi peradilan, maka profesionalisme di Bawaslu sulit terbangun kuat. Sebab, konsentrasi dan tugas yang diembang menjadi tidak fokus. Jika kita melihat pada persidangan-persidangan yang dilakukan oleh Bawaslu, misalnya persidangan antara partai Bulan Bintang (PBB) dan KPU, maka tampak beberapa hal yang menunjukkan beberapa kelemahan fungsi peradilan yang diterapkan. Misalnya, berkaitan dengan penataan waktu dalam proses persidangan. Harus mulai ditegaskan lagi oleh Bawaslu soal waktu registrasi, berapa waktu yang diberikan untuk peserta pemilu untuk memperbaiki, dan kapan paling lambat dikumpulkan ke Bawaslu.

Selain itu, sidang dengan dua agenda penting tidak dilaksanakan dalam satu hari yang sama. Seperti yang sudah terjadi dan diberitakan oleh berbagai media massa di mana sidang pernyataan permohonan disatukan dengan agenda menjawab permohonan pada waktu yang sama. Jika dilihat dari proses persidangan yang lazim terjadi di lembaga peradilan, tentu saja hal tersebut akan menyulitkan semua pihak menyiapkan dokumen yang rapi. Selanjutnya, hal yang tidak kalah pentingnya adalah mengenai akses publik terhadap persidangan termasuk risalah persidangan—lebih-lebih jika persidangan itu digelar terbuka untuk umum.

(11)

Selain itu, tata tertib persidangan di Bawaslu juga sangat penting diperhatikan untuk menjaga marwah lembaga pemutus perkara (baca: Bawaslu) agar hasil putusannya tidak dipertanyakan.

Tata tertib persidangan harus menjadi perhatian serius bagi Bawaslu dan semua pihak. Misalnya, jika sejak awal diingatkan untuk tidak menggunakan alat komunikasi, maka semua pihak tentu tidak boleh menggunakan alat komunikasi baik dari pemohon, termohon termasuk juga para hakim. Hal semacam itu sering terjadi karena memang faktanya Bawaslu masih terkonsentrasi pada dwifungsi, yaitu fungsi pengawasan dan fungsi peradilan.

Profesionalisme Bawaslu dalam m e n j a l a n ka n f u n g s i p e ra d i l a n sangat penting ditekankan dengan cara menghilangkan dwifungsi, dan difokuskan pada fungsi peradilan saja.

Apalagi, selama ini Indonesia masih melimpahkan peradilan pemilu kepada Mahkamah Agung (MA) dan Mahkamah Konstitusi (MK). Pelimpahan pada dua institusi itu saat ini tentu saja masih kurang optimal karena masing-masing lembaga belum memiliki kesamaan cara pandang dalam menangani peradilan Pemilu. Dengan kata lain, kedua lembaga peradilan tersebut masih belum saling support atas keputusannya, mekanisme, serta tata beracaranya. Jika Bawaslu menjadi lembaga peradilan khusus Pemilu, menurut hemat penulis, hal ini akan menata mekanisme penyelesaian sengketa Pemilu dengan lebih mapan.

Jika Bawaslu ditransformasi menjadi lembaga Peradilan khusus Pemilu dan fungsi pengawasan kembali ke masyarakat, maka Bawaslu akan terfokus pada satu kewenangan, yaitu menjalankan

fungsi peradilan saja. Di beberapa negara maju peradilan khusus Pemilu adalah sebagai salah satu langkah yang sangat ditekankan untuk menata sistem Pemilu yang berkualitas. Mislanya, sistem penyelenggaraan Pemilu di Meksiko yang membuat Peradilan khusus Pemilu yang bisa diadaptasi oleh Indonesia. Di negara tersebut, peradilan khusus Pemilu atau Tribunal Electoral del Poder Judicial de la Federacion (TRIFE) berwenang mengadili sengketa proses yang terjadi selama pelaksanaan pemilu. Lembaga itu juga berhak mengadili sengketa hasil pemilu.

Saat ini, penyelesaian sengketa pemilu di Indonesia, baik proses maupun hasil, masih tersebar di beberapa lembaga peradilan. Apabila lahir upaya integrasi dan interkoneksi dalam satu badan Peradilan—Bawaslu, mislanya—tentu akan sangat efektif menjamin proses yang lebih transparan, menjamin kepastian hukum dan electoral justice.

5. Kesimpulan dan Penutup

Adalah sebuah keniscayaan untuk meneguhkan Bawaslu sebagai “lembaga peradilan” dalam bingkai pengawasan pemilu. Namun, sebagaimana uang sudah dijlaskan panjang lebar dalam makalah ini, Bawaslu perlu menghilangkan dwifungsi- nya dan memfokuskan diri pada fungsi peradilannya. Jika Bawaslu ditransformasi menjadi pengadilan Pemilu yang khusus mengadili perkara pelanggaran administrasi Pemilu, maka hal ini akan meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pengawasan Pemilu. Pasalnya, fungsi pengawasan diserahkan kepada masyarakat sebagai wujud partisipasi yang nyata. Kewenangan pengawasan yang ada di Bawaslu sudah tidak lagi relevan karena kewenangan pengawasan

(12)

akan mengurangi obyektivitas fungsi peradilan yang dijalankan oleh Bawaslu.

Fungsi peradilan yang dijalankan seperti melaksanakan sidang, menggelar perkara, mendengar keterangan saksi dan ahli, menilai alat bukti, hingga memutus perkara yang putusannya bersifat final dan

mengikat, akan berkurang obyektivitasnya jika putusan itu dipengaruhi oleh pendapat anggota Bawaslu yang datang dari luar persidangan. Padahal, semua putusan pengadilan—termasuk bawaslu yang memiliki fungsi peradilan—harus murni berpijak pada bukti-bukti persidangan.

(13)

DAFTAR PUSTAKA

Anwar, Desi. (2000). Kamus Lengkap Bahasa Indonesia. Jakarta. Gramedia Pustaka Utama.

Arikunto, Suharsimi. (1998). Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta:

Rineka Cipta.

Fachrudin, Achmad. (2013). Mengawasi Pemilu Memperkuat Demokrasi. Jakarta:

Garmedia Utama Publishindo.

Hadi, Sutriono. (1984). Metodologi Research. Yogyakarta: Yayasan Penerbitan Fakultas Psikolog UGM.

Sangadji. (2003). Kompetensi Badan Peradilan Umum dan Peradilan Tata Usaha Negara. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Sulistiyono, Adi dan Isharyanto. (2018). Sistem Peradilan di Indonesia Dalam Teori dan Praktik. Jakarta, Kencana.

Suyasubrata, Sumadi. (1989). Metodologi Penelitian. Jakarta: CV Rajawali Press.

UU No 7 Tahun 2017 Tentang Pemilu

Yulikhasan, Eri. (2016). Keputusan Diskresi dalam Dinamika Pemerintahan (Aplikasi dalam PTUN). Yogyakarta: Deepublish

(14)

Referensi

Dokumen terkait

yang terakhir atau keempat, untuk memperkuat citra lembaga. Dalam era milenial seperti saat ini, Humas Bawaslu Kabupaten/Kota juga perlu melakukan beberapa hal. Pertama,

Bawaslu, dalam praktiknya memiliki kewenangan yaitu mengawasi persiapan dan pelaksanaan tahapan pemilu; mengawasi netralitas aparatur sipil negara, Tentara Nasional

Pengaturan diversi secara tegas telah diatur dalam Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak sebagai landasan hukum untuk bisa diterapkannya penyelesaian perkara

Dalam praktek penyelenggaraan pemilu sulit sekali dihindari terjadinya pelanggaran pemilu, karena dalam penyelenggaraannya sering kali terjadi conflict of interest. Namun tidak

Untuk mengetahui bagaimana implementasi putusan yang dikeluarkan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu dalam perkara pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh

Faktor-faktor yang mempegaruhi pengawasan Provinsi NTB dalam aspek menangani pelanggaran administrasi Pemilu Bawaslu NTB dapat dilihat dari 2 aspek yaitu

Berdasarkan Pasal 460 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Pelanggaran yang meliputi tata cara, prosedur, dan mekanisme yang berkaitan dengan administrasi pelaksanaan pemilu

PEMBINAAN PENANGANAN PELANGGARAN TENTANG NETRALITAS APARATUR SIPIL NEGARA ASN DALAM PEMILU SERENTAK TAHUN 2024 DI BAWASLU DKI JAKARTA Didik Suhariyanto1 Program Studi Hukum,