• Tidak ada hasil yang ditemukan

IMPLIKASI ADANYA UPAYA HUKUM TERHADAP PUTUSAN BAWASLU TENTANG PELANGGARAN ADMINISTRATIF PEMILU

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2024

Membagikan "IMPLIKASI ADANYA UPAYA HUKUM TERHADAP PUTUSAN BAWASLU TENTANG PELANGGARAN ADMINISTRATIF PEMILU"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

IMPLIKASI ADANYA UPAYA HUKUM TERHADAP PUTUSAN BAWASLU TENTANG PELANGGARAN ADMINISTRATIF PEMILU

PROBLEMATIC OF SETTLEMENT OF ELECTION ADMINISTRATIVE OF VIOLATION’S

Ahmad Syarifudin

Institut Agama Islam Negeri Metro, Email: [email protected]

Submitted: March 2, 2020; Reviewed: March 24, 2020; Accepted: April 6, 2020 DOI: 10.25041/cepalo.v4no1.1897

Abstrak

Proses penyelesaian pelanggaran administratif Pemilihan Umum (Pemilu) dan implikasi adanya upaya hukum ke Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) terhadap putusan pelanggaran administratif Pemilu Bawaslu Provinsi atau Bawaslu Kabupaten/Kota yang dianggap turut menciptakan ketidakpastian hukum dan mengancam hak seseorang untuk dipilih (right to be elected). Riset ini merupakan penelitian hukum normatif yang berarti hanya akan meneliti tentang norma peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pelanggaran administratif Pemilu dengan mengandalkan bahan hukum primer berupa Undang-Undang Pemilihan Umum, Peraturan Badan Pengawas Pemilihan Umum tentang Penyelesaian Pelanggaran Administratif Pemilihan Umum dan Peraturan Mahkamah Agung tentang Tata Cara Penyelesaian Pelanggaran Administratif Pemilihan Umum di Mahkamah Agung serta bahan hukum sekunder yaitu buku, jurnal, dan hasil penelitian yang berkaitan dengan tema yang sama yang diperoleh melalui studi kepustakaan dan kemudian dianalisis secara yuridis-kuantitatif sehingga diperoleh hasil yaitu: Pertama, penyelesaian pelanggaran administratif Pemilu diatur di dalam Pasal 460 sampai Pasal 465 Undang-Undang Pemilihan Umum serta peraturan di bawahnya yaitu Peraturan Badan Pengawas Pemilihan Umum tentang Penyelesaian Pelanggaran Administratif Pemilihan Umum yang keduanya mengatur penyelesaian pelanggaran administratif Pemilu dilaksanakan secara terbuka dan harus diputus paling lama 14 hari sejak laporan/temuan diterima. Kedua, implikasi dari adanya upaya hukum ke Bawaslu atas putusan Bawaslu Provinsi atau Kabupaten/kota justru dapat menghambat kinerja Komisi Pemilihan Umum (KPU) serta berpotensi kehilangan hak menempuh upaya hukum ke Mahkamah Agung bagi calon yang dibatalkan sebagai calon oleh Keputusan KPU atas dasar putusan Bawaslu Provinsi atau Bawaslu Kabupaten/Kota.

Kata Kunci: Administratif, Implikasi, Pelanggaran, Pemilu.

Abstract

The process of settlement of election administrative of violation’s and implication of the legal remedy mechanism to the Election Supervisory Body (Bawaslu) to Election Supervisory Body Bandar Lampung, Lampung, Indonesia.

E-ISSN: 2598-3105 P-ISSN: 2723-2581 http://jurnal.fh.unila.ac.id/index.php/cepalo

(2)

Province/District (Bawaslu Kabupaten/Kota) decision that co-create legal uncertainty and losing right to be elected. This is normative law research focus on law norm that related with this topic and using primary legal material Law Number 7 of 2017, Regulation of Election Supervisory Body Number 8 of 2018, Supreme Court Rules Number 4 of 2017 and secondary legal material like book, journal, and research result. Then analyzed with qualitative- juridical are result: First, settlement of election administrative of violation regulated in Article 460 to 465 Law Number 7 of 2017 and Election Supervisory Body Rules Number 8 of 2018. Both regulate settlement of election administrative of violation must implementation open and no later than 14 (fourteen) working days after report received and registred.

Second, implication from legal remedy norm to Election Superfisory Body precisely can disturb of the General Election Comission (KPU) working and losing right to use legal remedy to Supreme Court (MA) for candidate who canceled by KPU on the basis of The Election Supervisory Body Provinsi/Kabupaten decision.

Keywords: Administrative, Elections, Implications, Violations.

A. Pendahuluan

Demokrasi merupakan istilah yang memiliki asal mula dari bahasa Yunani Klasik pada Abad 5 SM. Istilah yang dikenalkan pertama kali di Athena ini bermula dari dua kata, yaitu demos yang mempunyai arti rakyat, dan kratos/cratein yang berarti pemerintahan (rule) atau kekuasaan (strength). Telaah secara konseptual, kata demokrasi dapat diberi definisi sebagai sebuah pemerintahan yang dilangsungkan dengan dimemegang teguh prinsip kedaulatan rakyat sebagai puncak kekuasaan tertinggi atau kekuasaan yang memiliki legitimasi yang sangat kuat, atau yang biasa kita kenal sebagai suara yang berasal dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Pelopor dari konsep ini ialah Abraham Lincoln pada 1867 dengan memberikan Definisi demokrasi “goverment of the people by the people, and for the people.”1

Indonesia sebagai negara hukum yang menganut sistem demokrasi perwakilan (representative democracy) harus dapat menghadirkan mekanisme sirkulasi kepemimpinan melalui Pemilihan Umum (Pemilu) yang dapat diakses oleh setiap warganya tanpa harus merasa diintimidasi dan diintervensi dalam menentukan pilihannya,2 selain menjamin perlindungan, menghadirkan lembaga peradilan yang independen, menggaransi kebebasan berpendapat dan berserikat serta menjamin adanya akses pendidikan bagi setiap warganya berdasarkan hasil rumusan International Commission of Jurist di Bangkok Tahun 1965.3 Perkembangan politik dan hukum ketatanegaraan di Indonesia berkembang lebih baik pasca dilakukannya perubahan terhadap UUD 1945 oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat RI pada rentang waktu 1999-2002. Satu contoh pperkembangan sebagaimana dimaksud memiliki indikator dengan adanya penguatan demokrasi partisipatif oleh rakyat dalam membentuk adanya kepemimpinan nasional yang lebih berkualitas melalui sarana penyelenggaraan Pemilihan Umum yang dilaksanakan secara langsung. Adapun dari perintah UUD Negara Republik Indonesia yang merupakan konstitusi Indonesia, khususnya Pasal 1 ayat 2 menegaskan bahwa, “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang Undang Dasar”.4 Manifestasi dari kedalulatan rakyat tersebut diwujudkan melalui mekanisme pemilihan umum (Pemilu).

1 Ria Casmi Arrsa, “PEMILU SERENTAK DAN MASA DEPAN KONSOLIDASI DEMOKRASI,” Jurnal

Konstitusi 11, no. 3 (2014): 515–537, 516, DOI: 10.31078/jk%25x.

2 Ibid, 517.

3 Sukriono Didik, “MENGGAGAS SISTEM PEMILIHAN UMUM DI INDONESIA,” Jurnal Konstitusi PKK Universitas Kanjuruhan Malang 11, no. 1 (2009): 7–35, 24.

4 Ria Casmi, Op.Cit,. 516.

(3)

Pemilu dalam konteks ini juga menjadi sarana sekaligus wujud dari kedaulatan rakyat untuk memilih wakil-wakilnya duduk di Parlemen, bertugas untuk dan atas nama rakyat5 yang dalam kriteria Moh. Mahfud MD dalam upaya memenuhi kriteria sebagai negara demokratis yang tercermin dalam pemerintahan oleh rakyat, dari rakyat, dan kembali lagi manfaatnya untuk rakyat.6

Tidak dapat dihindarkan bahwa pada pelaksanaan Pemilu ke Pemilu terjadi berbagai bentuk pelanggaran, termasuk pada pelaksanaan Pemilu 2019. Meski telah dijalankan secara konsisten dalam rentan waktu yang cukup lama bahkan sejak Pemilu 1955, selalu terdapat pihak yang merasa dicurangi baik oleh Penyelenggara Pemilu maupun oleh peserta Pemilu.7 Demikian halnya pada gelaran Pemilu 2019, gelombang demonstrasi—yang merupakan wujud hak menyatakan pendapat—terus terjadi sampai sidang Perselisihan Hasil Pemilu (PHP) Mahkamah Konstitusi setelah sebelumnya juga menuntut Badan Pengawas Pemilu untuk mendiskualifikasi pasangan calon tertentu.8 Berkaca pada Pemilu sebelumnya dan berdasarkan pada riset tahun 2016 menengarahi bahwa beberapa hal dianggap menjadi faktor lahirnya pelanggaran, antara lain terkait dengan mekanisme dan prosedur penanganan pelanggaran Pemilu yang tidak jelas.9 Hal itu sepertinya masih cukup relevan bila dikaitkan dengan Pemilu 2019, khususnya pada pelanggaran administratif Pemilu, yang telah melahirkan jumlah pelanggaran yang cukup signifikan, datanya sebagai berikut:

Tabel 1 Jumlah data penanganan pelanggaran per-20 Mei 2019 diolah dari data Bawaslu10

Pelanggaran Pidana

Pelanggaran Kode Etik

Pelanggaran Administrasi

Pelanggaran Hukum Lainnya

458 149 5.319 730

Berdasarkan tabel di atas diketahui bahwa pelanggaran administrasi menduduki urutan pertama dengan jumlah 5.319, disusul dengan jenis pelanggaran hukum lainnya 730, pelanggaran pidana 458 dan terakhir pelanggaran kode etik sebanyak 149. Terlepas dari adanya kesengajaan, pelanggaran administrasi Pemilu memberikan spekulasi lain bahwa informasi tentang tata cara, prosedur, maupun mekanisme dalam penyelenggaraan Pemilu sepertinya belum terdistribusi dengan baik. Dalam tubuh penyelenggara, kondisi tersebut jelas mencederai prinsip penyelenggaraan Pemilu yang profesional.11 Sebagai institusi yang melaksanakan pengawasan dan penegakan hukum dalam penyelenggaraan Pemilu12 Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) dan jajaran di bawahnya sampai tingkat

5 Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, 1 ed. (Jakarta: Rajawali Pers, 2016), 414.

6 Moh Mahfud MD, Hukum dan Pilar-pilar Demokrasi (Yogyakarta: Gama Media, 1999), 8.

7 Fauzi Wahyu Pradika, Happy Anugraha Putra, and Anwar Noris, “LEMBAGA PENYELESAIAN SENGKETA PEMILU YANG IDEAL DI INDONESIA,” DIVERSI : Jurnal Hukum 6, no. 1 (2020): 73–91, DOI: 10.32503/diversi.v6i1.793.

8 https://www.voaindonesia.com/a/sidang-pilpres-ratusan-pendukung-prabowo-demo-di-sekitar-mk- /4959062.html, diakses pada 5 Juli 2020.

9 Joko Santoso dan Dkk, Kajian Kebijakan: Sistem Penegakan Hukum Pemilu 2009-2014 (Jakarta: Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi, 2016), 4.

10 Badan Pengawas Pemilihan Umum, Data Pelanggaran Pemilu Tahun 2019 (Jakarta: Badan Pengawas Pemilihan Umum, 2019), 8.

11 Josner Simanjuntak, “KEMANDIRIAN LEMBAGA PENYELENGGARA PEMILIHAN UMUM DI INDONESIA,” Papua Law Journal 1, no. 1 (2018): 119–141, 123, DOI: 10.31957/plj.v2i2.584.

12 Sri Warjiyati, “PENATAAN STRUKTUR DAN KEWENANGAN KOMISI PEMILIHAN UMUM, BADAN PENGAWAS PEMILU DAN DEWAN KEHORMATAN PENYELENGGARA PEMILU DALAM UPAYA MEWUJUDKAN PEMILIHAN UMUM YANG DEMOKRATIS DI INDONESIA,” ARISTO 8, no. 1 (2020):

27-41, 32, DOI: 10.24269/ars.v8i1.2403.

(4)

kabupaten/kota sesuai Pasal 461 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum diberikan kewenangan menyelesaikan pelanggaran administratif Pemilu.13 Selanjutnya paling lama 14 (empat belas) hari setelah melalui pemeriksaan secara terbuka, Bawaslu memutuskan apakah terlapor terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan pelanggaran administratif Pemilu atau sebaliknya. Aturan secara lebih rinci dituangkan di dalam Peraturan Badan Pengawas Pemilihan Umum Nomor 8 Tahun 2018 tentang Penyelesaian Pelanggaran Administratif Pemilihan Umum.

Muncul persoalan manakala terlapor adalah calon anggota legistalif yang dinyatakan terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan pelanggaran oleh Bawaslu yang ditindaklanjuti dengan pembatalan sebagai calon melalui penerbitan keputusan Komisi Pemilihan Umum (KPU) yakni adanya dualisme penyelesaian.14 Pertama, berdasarkan Pasal 463 ayat (5) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum calon dapat mengajukan upaya hukum ke Mahkamah Agung paling lama 3 (tiga) hari sejak keputusan KPU ditetapkan—setelah sebelumnya KPU Provinsi atau Kabupaten/Kota memiliki waktu 3 (tiga) hari untuk melaksanakan rekomendasi Bawaslu Provinsi atau Bawaslu Kabupaten/Kota.

Kedua, berdasarkan Peraturan Badan Pengawas Pemilihan Umum Nomor 8 Tahun 2018 tentang Penyelesaian Pelanggaran Administratif Pemilihan Umum calon dapat mengajukan permohonan koreksi ke Bawaslu dan diputus paling lama 14 hari sejak permintaan koreksi diterima oleh Bawaslu. Konsekuensinya bila calon mengajukan upaya hukum koreksi ke Bawaslu berpotensi kehilangan hak konstitusionalnya untuk mengajukan upaya hukum ke Mahkamah Agung karena proses penyelesaian di Bawaslu yang relatif lama. Di sisi lain, tidak mengajukan upaya hukum koreksi merupakan bentuk penerimaan terhadap putusan majelis pemeriksa Bawaslu baik ditingkat provinsi maupun kabupaten/kota meski mekanismenya telah disediakan.15

Putusan Bawaslu Provinsi Lampung nomor 003/ADM/BWSL.08.00/PEMILU/XI/2018 bisa menjadi salah satu contoh. Terlapor dalam putusan tersebut merupakan calon anggota DPRD Provinsi Lampung yang diputus bersalah kemudian ditindaklanjuti oleh KPU Provinsi Lampung dengan menerbitkan Surat Keputusan Nomor 522//HK.03.1 -Kpt/18/Prov/XI/2018 yang pada pokoknya mencoret caleg Provinsi Lampung dalam Daftar Calon Tetap (DCT).

Tidak menempuh upaya hukum koreksi ke Bawaslu, calon anggota DPRD Provinsi Lampung tersebut langsung mengajukan upaya hukum ke Mahkamah Agung (MA) dan berdasarkan Putusan Nomor 9.P/PAP/2018, MA memerintahkan kepada KPU Provinsi Lampung untuk menetapkan kembali yang bersangkutan dalam DCT.

Terhadap uraian latar belakang di atas rumusan masalah yang coba dijawab ialah pertama bagaimana mekanisme penyelesaian pelanggaran administratif Pemilu oleh Bawaslu dan kedua, apa implikasi upaya hukum koreksi bagi penyelenggara Pemilu dan calon anggota legislatif yang dinyatakan bersalah dan dibatalkan pencalonannya melalui Keputusan KPU?

B. Pembahasan

1. Penyelesaian Pelanggaran Administratif Pemilu

Pembagian upaya hukum terbagi menjadi dua, yaitu hukum publik dan hukum privat.

Hukum publik merupakan hukum yang memberikan peran terhadap negara secara

13 Heru Widodo, “THE INSTITUTIONAL RENEWAL IN SETTLEMENT OF DISPUTES OF LOCAL ELECTION RESULTS,” Jurnal Cita Hukum 6, no. 2 (2018): 277–292, 278, DOI: 10.15408/jch.v6i2.8690.

14 Angelo Emanuel Flavio Seac, “PENGUATAN KEWENANGAN LEMBAGA BADAN PENGAWAS PEMILU DALAM PENEGAKAN HUKUM PEMILU,” Legal Spirit 1, no. 2 (2018): 83–100, 90, DOI:

10.31328/ls.v1i2.589.

15 Putra Haloman, “TINJAUAN YURIDIS TENTANG UPAYA-UPAYA HUKUM,” Yurisprudentia 1, no. 1 (2015): 42-53, 43, DOI: 10.24952/yurisprudentia.v1i1.603.

(5)

menyeluruh sebagai penengah dalam mengakomodir kepentingan umum, dengan kata lain wilayah hukum publik berbicara tentang fungsi negara. Sedangkan hukum privat adalah kelengkapan hukum yang mengatur mengenai hubungan antara individu dengan individu dalam permasalahan kepentingan pribadi. Perbedaan yang paling terlihat antara wilayah hukum publik dan wilayah hukum privat adalah hukum publik menyangkut fungsi negara sedangkan hukum privat menyangkut kepentingan individu. Upaya hukum merupakan upaya yang diberikan oleh aturan negara kepada seseorang atau badan hukum untuk dalam hal tertentu melawan putusan hakim. Hal ini berkaitan dengan hak asasi manusia yang berhubungan kepada hak bagi seseorang yang dikenai oleh putusan hakim tersebut. Teori dan praktik memiliki kedua hal yang sangat berbeda, terdapat 2 (dua) jenis upaya hukum yaitu, upaya hukum biasa dan upaya hukum luar biasa. Perbedaan mendasar mengenai keduanya terletak pada pada unsur asas yang mempengaruhinya, upaya hukum biasa bisa saja menangguhkan eksekusi (kecuali bila terhadap suatu putusan dikabulkan tuntutan serta mertanya), sedangkan upaya hukum luar biasa tidak menangguhkan eksekusi.16 Upaya hukum dalam hal ini merupakan upaya hukum biasa dan berada didalam cakupan penegakan hukum pemilihan umum, terkhusus pada pelanggaran administrasi pemilu.

Pelanggaran administratif Pemilu sebelum diundangkannya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum diatur di dalam tiga undang-undang yaitu Undang- Undang No. 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, Undang- Undang Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum, dan Undang- Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Pencabutan ketiga undang-undang tersebut ditegaskan di dalam Pasal 571 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.17 Dengan demikian, secara yuridis, setelah diundangkannya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 maka Undang-Undang No. 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum, dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.18

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum dalam ketentuannya tidak pernah menyebutkan secara eksplisit pengertian pelanggaran administratif Pemilu.

Tetapi dalam ranah praktikal mengenal adanya pelanggaran administrasi. Bila mencermati dan memahami lebih dalam dan dianalisis secara komprehensif tercantum di dalam Pasal 460 ayat (1) undang-undang A-Quo, maka dapat diperoleh gambaran tentang apa saja pelanggaran yang masuk dalam pelanggaran administratif Pemilu. Pasal A-Quo misalnya mengkategorisasikan jenis pelanggaran apa saja yang termasuk dalam pelanggaran administratif Pemilu seperti yang terkait dengan tata cara, prosedur, atau mekanisme yang berkaitan dengan administrasi pelaksanaan Pemilu dalam setiap tahapan penyelenggaraan Pemilu. Kategorisasi tersebut kemudian digunakan sebagai definisi pelanggaran administratif Pemilu dalam Peraturan Badan Pengawas Pemilihan Umum Nomor 8 Tahun 2018 tentang Penyelesaian Pelanggaran Administratif Pemilihan Umum dan Peraturan Mahkama h Agung Nomor 4 Tahun 2017 tentang Tata Cara Penyelesaian Pelanggaran Administratif Pemilihan Umum di Mahkamah Agung yang pada prinsipnya merupakan pelanggaran terhadap sesuatu

16 Ibid., 43.

17 Pan Mohamad Faiz, “MEMPERKUAT PRINSIP PEMILU YANG TERATUR, BEBAS, DAN ADIL MELALUI PENGUJIAN KONSTITUSIONALITAS UNDANG-UNDANG,” Jurnal Konstitusi 14, no. 3 (2018): 672-700, 674, DOI: 10.31078/jk14310.

18 Maria Farida Indrati Soeprapto, Ilmu Perundang-Undangan, Proses dan Teknik Pembentukannya (Yogyakarta: Kanisius, 2007), 133.

(6)

yang berkaitan dengan administrasi, bukan merupakan pelanggaran pidana maupun kode etik.19

Sebelum lahirnya Peraturan Badan Pengawas Pemilihan Umum Nomor 8 Tahun 2018 tentang Penyelesaian Pelanggaran Administratif Pemilihan Umum, perdebatan muncul dikalangan pemerhati Pemilu dan KPU mengenai dasar hukum yang digunakan oleh Bawaslu.

Saat itu penanganan pelanggaran administratif Pemilu hanya berdasarkan Surat Edaran (SE) Bawaslu Nomor 1093/K.Bawaslu/PM.06.00/X/2017 tentang Penyelesaian Pelanggaran Administrasi Pemilihan Umum. Sangat beralasan hukum bahwa semestinya Perbawaslu-lah yang digunakan sebagai dasar dalam penyelesaian pelanggaran administratif karena eksistensinya merupakan wujud dari perintah Pasal 465 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Dalam peraturan perundang-undangan Peraturan Bawaslu merupakan seperangkat aturan yang dimaksudkan oleh Pasal 8 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang keberadaannya diakui dan mempunyai kekuatan hukum mengikat karena dua hal yaitu perintah undang- undang dan dibuat oleh lembaga yang berwenang. Lebih lanjut, Surat Edaran Bawaslu tersebut sesungguhnya hanya berfungsi sebagai penjelas peraturan yang harus dijalankan atau membuat prosedur agar menjadi mudah dipahami, namun dengan catatan tidak bertentangan dengan peraturan yang lain.20

Sisi positifnya proses penyelesaian pelanggaran adminitratif dalam surat edaran itu juga menjadi langkah awal bagi Bawaslu menyelesaikan pelanggaran administrasi dengan mekanisme pemeriksaan yang dilakukan secara terbuka, diperiksa oleh majelis pemeriksa didampingi oleh seorang asisten dan sekretaris pemeriksa. Sebelumnya, penyelesaian pelanggaran administratif Pemilu hanya berdasarkan kajian oleh Bawaslu. Dapat dipahami bahwa telah terjadi perubahan yang sangat signifikan terhadap proses penyelesaian pelanggaran administratif Pemilu yang semula output-nya berupa kajian Bawaslu, menjadi putusan yang digunakan untuk merekomendasikan kepada KPU, dan kewajiban bagi KPU untuk melaksanakannya.21 Lebih lengkapnya peraturan perundang-undangan yang menjadi landasan hukum dalam penyelesaian terhadap pelanggaran administratif Pemilu yaitu: 1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum; 2) Peraturan Badan Pengawas Pemilihan Umum Nomor 8 Tahun 2018 tentang Penyelesaian Pelanggaran Administratif Pemilihan Umum; dan 3) dan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2017 tentang Tata Cara Penyelesaian Pelanggaran Administratif Pemilihan Umum di Mahkamah Agung. Berdasarkan Pasal 460 sampai dengan Pasal 464 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, Peraturan Badan Pengawas Pemilihan Umum Nomor 8 Tahun 2018 tentang Penyelesaian Pelanggaran Administratif Pemilihan Umum dan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2017 tentang Tata Cara Penyelesaian Pelanggaran Administratif Pemilihan Umum di Mahkamah Agung dapat dijelaskan proses penanganan pelanggaran administratif Pemilu sebagai berikut:

a. Pelapor dan Terlapor

1) Pihak yang dapat menjadi Pelapor adalah 1) WNI yang mempunyai hak untuk memilih; 2) Peserta Pemilu; 3) Pemantau Pemilu.

19 Evi Noviawati and Mamay Komariah, “EFEKTIVITAS PENYELESAIAN PELANGGARAN ADMINISTRATIF PEMILIHAN UMUM BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 2017,” Jurnal Ilmiah Living Law 11, no. 2 (2019): 140-151, 140, DOI: 10.30997/jill.v11i2.2100.

20 https://www.hukumonline.com/berita/baca/hol18765/surat-edaran-bukan-peraturan-perundangundangan/, diakses pada 24 Februari 2020.

21 Ferdian, Asrinaldi, Syahrizal, “PERILAKU MEMILIH MASYARAKAT, MALPRAKTIK PEMILU DAN PELANGGARAN PEMILU,” NUSANTARA : Jurnal Ilmu Pengetahuan Sosial 6, no. 1 (2019): 20-31, 22, DOI:

/10.31604/jips.v6i1.2019.20-31.

(7)

2) Pihak yang bisa dijadikan Terlapor ialah calon anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi atau Kabupaten/Kota, pasangan calon, tim kampanye, dan/atau Penyelenggara Pemilu.

b. Tahap Pelaporan

Pada tahap pelaporan dugaan Pelanggaran administratif Pemilu dapat bersumber dari laporan maupun temuan. Syarat formil berupa identitas pelapor meliputi:

1) Nama;

2) Alamat;

3) nomor telpon;

4) Faksimile;

5) Fotokopi KTP dan identitas terlapor yang meliputi nama, alamat, dan kedudukan dalam penyelenggaraan Pemilu. Adapun syarat materil berupa objek pelanggaran meliputi waktu peristiwa, tempat peristiwa, saksi, bukti lainnya, riwayat/ uraian peristiwa dan petitum.

c. Tahap Pemeriksaan Pendahuluan

Sebalum digelarnya sidang pemeriksaan dugaan pelanggaran, majelis pemeriksa yang sudah dibentuk oleh Bawaslu Provinsi atau Kabupaten melakukan pemeriksaan pendahuluan dengan agenda:

1) Memeriksa kelengkapan syarat baik syarat formil maupun materil laporan;

2) Kewenangan menyelesaikan dugaan pelanggaran;

3) Kedudukan atau status pelapor dan terlapor;

4) Tenggang waktu dugaan pelanggaran administratif pemilu.

Apabila semua terpenuhi maka tahap selanjutnya ialah menuangkannya dalam putusan pendahuluan yang dibacakan didepan Pelapor dan Terlapor.

d. Tahap Pemeriksaan

Pada tahap pemeriksaan terdapat beberapa agenda yang harus ditempuh yaitu:

1) Pembacaan materi laporan oleh pelapor/penemu;

2) Jawaban/tanggapan terlapor;

3) Pembuktian;

4) Kesimpulan;

5) Putusan.

Dalam putusan Bawaslu Provinsi maupun Bawaslu kabupaten/kota untuk menyelesaikan pelanggaran administratif Pemilu berupa:

1) Memperbaiki administrasi baik yang terkait dengan tata cara, prosedur, atau mekanisme;

2) Teguran tertulis;

3) Pada tahapan tertentu tidak diikutkan;

4) Sanksi administrasi lain sesuai dengan aturan.

Beberapa tahapan tersebut sesuai dengan Pasal 461 ayat (5) Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum harus diselesaikan paling lama 14 (empat belas) hari dihitung sejak laporan pelanggaran administrtif Pemilu diterima oleh Bawaslu Provinsi atau Bawaslu Kabupaten/Kota.

Secara umum proses penanganan pelanggaran melalui pemeriksaan terbuka oleh Bawaslu Provinsi atau Bawaslu Kabupaten/Kota dapat diwakilkan dalam bagan berikut ini:22

22Faizal Riza, Mohammad, dan Ruhermansyah, “Pelanggaran Administrasi Bawaslu Pasca Rekapitulasi dan Putusan MK: Konsekuensi dan Problematikanya,” dalam Serial Evaluasi Penyelenggaraan Pemilu Serentak 2019 Perihal Penegakan Hukum Pemilu, ed. oleh Ahsanul Minan (Jakarta: Badan Pengawas Pemilihan Umum, 2019), 114.

(8)

Bagan 1.

Penyelesaian Pelanggaran Administrasi Bawaslu

Penjelasan mengenai bagan tersebut pada poin pertama dalam sidang pendahuluan memiliki muatan bahwa harus dipenuhi syarat formil dan syarat materil terlebih dahulu sebelum melakukan pengaduan dalam pelanggaran administrasi tersebut, yang perlu menjadi perhatian dalam sidang pendahuluan ialah permasalahan tenggang waktu temuan atau bisa dalam bentuk laporan dugaan pelanggaran administrasi yang dilakukan oleh para calon.

Permasalahan klasik yang sering dijumpai oleh banyak pihak adalah keterlambatan dalam mengetahui adanya temuan pelanggaran administrasi dan berakibat lewatnya batas tenggang waktu yang ditentukan. Berlanjut pada sidang pemeriksaan maka ada beberapa hal yang perlu menjadi sorotan yaitu pembacaan materi laporan; selanjutnya, tanggapan yang diutarakan oleh para pelapor, lalu terdapat tahap pembuktian dalam proses sidang pemeriksaan, lalu harus ada pula kesimpulan dari para pihak pelapor dan temuan dari para terlapor. Terakhir adalah harus ada putusan yang menjadi output atau luaran dari sidang pemeriksaan ini. Tenggang waktu yang dibutuhkan dalam menyelesaikan permasalahan administratif ini adalah empat belas hari kerja sejak laporan didaftarkan.

e. Permohonan Koreksi

Setelah dibacakannya putusan Bawaslu Provinsi atau Bawaslu Kabupaten/Kota Pelapor maupun Terlapor dapat mengajukan upaya hukum koreksi ke Bawaslu. Sesuai dengan istilah yang dipakai “Koreksi”, secara harfiah diartikan sebagai pembetulan atau pemeriksaan.23 Permohonan koreksi ke Bawaslu menurut Pasal 62 ayat (3) Peraturan Badan Pengawas Pemilihan Umum Nomor 8 Tahun 2018 tentang Penyelesaian Pelanggaran Administratif Pemilihan Umum dimaksudkan untuk memeriksa ketepatan penggunaan hukum menjatuhkan putusan Bawaslu Provinsi atau Bawaslu Kabupaten/Kota atau melawan putusan hakim yang

23 https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/koreksi, diakses 8 Oktober 2019.

(9)

dalam konteks ini merupakan putusan Majelis Pemeriksa Bawaslu Provinsi atau Bawaslu Kabupaten/Kota. Secara tertulis, permohonan koreksi harus disampaikan paling lama 3 (tiga) hari sejak pembacaan putusan. Permohonan yang dibuat secara tertulis harus menerangkan alasan permohonan, petitum, dan putusan dimaksud dan dibuat sebanyak 2 (dua) rangkap.

Setelah dilakukan registrasi, Bawaslu melakukan pemeriksaan permohonan dan bukti-bukti paling lama 14 (empat belas) hari sejak permohonan koreksi diterima. Setidaknya 2 (dua) bentuk putusan Bawaslu atau permohonan sesuai dengan Pasal 65 ayat (2) Peraturan A-Quo yaitu menguatkan putusan atau mengoreksi putusan.

f. Upaya Hukum ke Mahkamah Agung

Sesuai dengan ketentuan Pasal 462 Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum bahwa setelah dibacakan putusan pelanggaran administratif Pemilu oleh Bawaslu, KPU wajib untuk menindaklanjuti paling lama tiga hari kerja. Bentuk tindak lanjut itu berupa dikeluarkannya keputusan KPU yang apabila dalam putusan Bawaslu peserta Pemilu dinyatakan terbukti bersalah melanggar administrasi Pemilu, kemudian dalam peraturan perundang-undangan menormakan disanksi dengan pelanggaran administratif berupa pembatalan maka isi dari keputusan KPU tersebut ialah berisi pembatalan/pencoretan dari DCT. Peserta Pemilu yang dinyatakan batal sebagai calon dapat mengajukan upaya hukum ke Mahkamah Agung (MA) yang sifat putusannya ialah final dan mengikat (final and binding) layaknya putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang tidak ada mekanisme maupun upaya konstitusional lain untuk melawan putusan hakim tersebut.24 Pemeriksaan dan pengucapan putusan oleh MA paling lama 14 (empat belas) hari kerja terhitung sejak MA menerima berkas permohonan sesuai ketentuan Pasal 463 ayat (6) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Dalam pengajuan ke MA sesuai Peraturan Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2017 tentang Tata Cara Penyelesaian Pelanggaran Administratif Pemilihan Umum di Mahkamah Agung, permohonan diajukan ke MA paling lama 3 (hari) sejak diterbitkannya keputusan KPU. Permohonan diajukan secara tertulis dengan memuat beberapa ketentuan antara lain syarat formil pemohon dan termohon, objek permohonan, legal standing pemohon, tenggang waktu pengajuan, dan fakta-fakta yang dapat menunjukkan pelanggaran yang dilakukan oleh Termohon. Adapun pada bagian petitum Pemohon dapat meminta mengabukan permohonan secara keseluruhan, membatalkan objek permohonan, memerintahkan termohon mencabut objek permohonan, memerintahkan termohon menetapkan kembali sebagai calon, dan memerintahkan termohon membayar biaya perkara.

Terakhir, pemohon atau kuasa hukum membubuhkan tanda tangan dalam permohonan tersebut.

2. Implikasi Upaya Hukum Koreksi

Upaya Hukum dapat mengandung beberapa pengertian antara lain menurut terminologi Pasal 1 angka 12 KUHAP, bahwa yang dimaksud dengan upaya hukum ialah hak konstitusional untuk melawan putusan yang dijatuhkan oleh pengadilan yang diberikan kepada orang yang didakwa atau penuntut.25 Berdasarkan definisi yang tercantum didalam KUHP menunjukan bahwa upaya hukum merupakan salah satu instrument penegakan hukum dalam hal pemenuhan akses keadilan bagi para pihak yang sedang bermasalah dalam suatu perkara. Upaya hukum sangat memiliki posisi penting dalam sistem penegakan hukum di

24 Mohammad Agus Maulidi, “Problematika Hukum Implementasi Putusan Final Dan Mengikat Mahkamah Konstitusi Perspektif Negara Hukum,” Jurnal Hukum Ius Quia Iustum 24, no. 4 (2017): 535–57, https://doi.org/10.20885/iustum.vol24.iss4.art2.

25 M. Lutfi Chakim, “Mewujudkan Keadilan Melalui Upaya Hukum Peninjauan Kembali Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi,” Jurnal Konstitusi 12, no. 2 (2016): 328–52, https://doi.org/10.31078/jk1227.

(10)

Indonesia, karena dengan adanya mekanisme upaya hukum memberikan citra penegakan hukum menjadi lebih terlihat adil dan fair.

Pengertian lain mengartikannya sebagai usaha untuk memohon pembatalan putusan pengadilan. Ringkasnya, dalam konteks penanganan pelanggaran Pemilu, upaya hukum dijadikan sebagai salah satu usaha dan upaya bagi terlapor untuk menguji penerapan hukum putusan Bawaslu baik pada tingkatan provinsi maupun kabupaten/kota. Upaya hukum dalam penanganan pelanggaran administratif Pemilu tidak diatur normanya di dalam UU 7/2017, melainkan diatur di dalam Peraturan Badan Pengawas Pemilihan Umum Nomor 8 Tahun 2018 tentang Penyelesaian Pelanggaran Administratif Pemilihan Umum yang merupakan aturan yang dilahirkan atas amanah Pasal 465 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Dalam konteks ini kedudukan Peraturan Badan Pengawas Pemilihan Umum Nomor 8 Tahun 2018 tentang Penyelesaian Pelanggaran Administratif Pemilihan Umum berdasarkan teori hierarki perundangan berlaku yaitu pasal Lex Superior Derogat Lega Inferior, asas hukum ini memberikan arti bahwa peraturan lebih rendah tidak diperkenankan bertentangan dengan pengatura hukum ang ada diatasnya. ,sebagai peraturan pelaksanaan atas peraturan hukum di atasnya yakni Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.26 Pasal 61 ayat (1) undang-undang pemilu secara eksplisit menegaskan dan memberikan pemahaman baik bagi pihak pelapor maupun terlapor dapat memohon koreksi. Landasan hukum telah cantumkan dalam suatu aturan tertulis agar memudahkan para pihak melaksanakan upaya hukum dalam ranah praktik. Terkhusus Upaya hukum hanya dapat dilakukan di Bawaslu dan bukan merupakan kewenangan dari Bawaslu Provinsi. Artinya apabila Pelapor ingin menggunakan upaya koreksi atas putusan Bawaslu Kabupaten/Kota tidak dilakukan berjenjang setingkat di atasnya atau melakukan upaya koreksi ke Bawaslu Provinsi, melainkan langsung ke Bawaslu. 27 Pengaturan tersebut memberikan implikasi terhadap beberapa pihak yaitu penyelenggara Pemilu dan calon yang dibatalkan oleh KPU akibat rekomendasi dari Badan Pengawas Pemilu.

a. Terhadap Penyelenggara Pemilu

Berada dalam penyelenggaraan Pemilu, KPU memegang peranan penting untuk melaksanakan setiap tahapan Pemilu berjalan sesuai dengan prinsip penyelengaraan yang mandiri, jujur, adil, berkepastian hukum, tertib, terbuka, proporsional, profesional, akuntabel, efektif dan efisien. Meski demikian tidak menutup kemungkinan KPU melakukan kesalahan atau kelalaian dalam melaksanakan tugasnya yang menyebabkan dilanggarnya beberapa ketentuan tentang administrasi Pemilu. Kemudian berlanjut menjadi laporan yang menempatkan KPU sebagai Terlapor pada pelanggaran administratif Pemilu. Setelah dikeluarkannya putusan Bawaslu baik provinsi atau kabupaten/kota yang akan dihadapi oleh KPU pertama kali ialah pelaksanaan putusan. Hanya berselang waktu 3 (tiga) hari KPU wajib menindaklanjuti putusan Bawaslu sebagaimana ketentuan Pasal 462 Undang- Peraturan Badan Pengawas Pemilihan Umum Nomor 8 Tahun 2018 tentang Penyelesaian Pelanggaran Administratif Pemilihan Umum. Jika tidak dilaksanakan maka Bawaslu dapat mengadukan KPU ke Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu untuk menghadapi dalil aduan pelanggaran kode etik sesuai pasal 464 Peraturan Badan Pengawas Pemilihan Umum Nomor 8 Tahun 2018 tentang Penyelesaian Pelanggaran Administratif Pemilihan Umum. Tindak lanjut putusan Bawaslu yang demikian singkat dapat mengganggu tahapan Pemilu. Sebagai contoh, atas Putusan Bawaslu terhadap sembilan partai politik yang dinyatakan gagal oleh

26 Zaka Firma Aditya and Muhammad Reza Winata, “Rekonstruksi Hierarki Peraturan Perundang-Undangan Di Indonesia (Reconstruction Of The Hierarchy Of Legislation In Indonesia),” Negara Hukum: Membangun Hukum Untuk Keadilan Dan Kesejahteraan 9, no. 1 (2018): 79–100, https://doi.org/10.22212/jnh.v9i1.976.

27 Lusy Liany, “Desain Hubungan Kelembagaan Penyelenggara Pemilu,” JURNAL CITA HUKUM 4, no. 1 (2016), https://doi.org/10.15408/jch.v4i1.3198.

(11)

KPU karena tidak memenuhi persyaratan sesuai dengan undang-undang, KPU harus kembali memproses pendaftaran 9 (sembilan) Partai Politik tersebut.

b. Terhadap Caleg yang Mengalami Sanksi Pembatalan

Terlapor yang dinyatakan melanggar administrasi Pemilu oleh Bawaslu Provinsi atau Kabupaten/Kota dapat mengajukan upaya hukum koreksi ke Bawaslu. Konsekuensinya ialah kehilangan upaya hukum pelanggaran administratif ke Mahkamah Agung karena limitasi waktu. Upaya hukum koreksi ke Bawaslu misalnya sesuai Pasal 62 ayat (1) Peraturan Badan Pengawas Pemilihan Umum Nomor 8 Tahun 2018 tentang Penyelesaian Pelanggaran Administratif Pemilihan Umum dibatasi paling lama 3 (tiga) hari sejak putusan Bawaslu dibacakan permintaan koreksi harus sudah disampaikan. Limitasi waktu yang sama juga terjadi pada KPU dimana mereka harus melaksanakan rekomendasi Bawaslu Provinsi atau Bawaslu Kabupaten/Kota. Itu artinya saat KPU mengeluarkan keputusan atas rekomendasi Bawaslu Provinsi atau Bawaslu Kabupaten/Kota, proses penanganan permohonan koreksi di Bawaslu bisa saja baru dimulai. Dan sesuai dengan Pasal 64 ayat (1) Peraturan Badan Pengawas Pemilihan Umum Nomor 8 Tahun 2018 tentang Penyelesaian Pelanggaran Administratif Pemilihan Umum, Bawaslu dapat menyelesaikan permintaan koreksi paling lama 14 (empat belas) hari sejak permintaan koreksi diterima. Bila hal demikian terjadi, maka Terlapor dapat kehilangan haknya untuk mengajukan upaya hukum ke Mahkamah Agung.

Dalam ketentuan Pasal 463 ayat (5) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum dan Pasal 4 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2017 tentang Tata Cara Penyelesaian Pelanggaran Administratif Pemilihan Umum di Mahkamah Agung misalnya, tenggang waktu pengajuan ke MA paling lama 3 (tiga) hari sejak ditetapkannya keputusan KPU.

C. Kesimpulan

Konsep penanganan pelanggaran administratif Pemilu menurut peraturan perundang- undangan diatur dalam ketentuan Pasal 460 sampai Pasal 465 UU No.7/2017, Perbawaslu No.

8/2018 dan Perma 4/2017 mendefinisikan pelanggaran administratif Pemilu sebagai pelanggaran terhadap tata cara, prosedur, atau mekanisme yang berkaitan dengan administratif Pemilu dalam setiap tahapan penyelenggaraan Pemilu. Bawaslu Provinsi atau Bawaslu Kabupaten/Kota memiliki kewenangan untuk menyelesaikan pelanggaran dengan mekanisme pemeriksaan secara terbuka. Selanjutnya atas putusan Bawaslu Provinsi maupun Bawaslu Kabupaten/Kota dapat dimohonkan koreksi ke Bawaslu, sebagai upaya hukum untuk mengoreksi penerapan hukum. Namun adanya pengaturan tentang upaya hukum koreksi telah menimbulkan ketidakpastian hukum. Implikasi bagi penyelenggara misalnya proses koreksi di Bawaslu yang harus diputuskan paling lambat 14 hari sejak permohonan disampaikan akan menjadi langkah yang tidak menguntungkan karena 3 hari sejak putusan Bawaslu Provinsi/Bawaslu Kabupaten/Kota KPU harus menindaklanjuti rekomendasi Bawaslu.

Sementara bagi Terlapor yang merupakan calon anggota legislatif, upaya hukum ke Bawaslu akan membuka peluang kehilangan hak konstitusionalnya mengajukan permohonan ke Mahkamah Agung atas Keputusan KPU nantinya yang akan dikeluarkan paling lama 3 hari sejak putusan Bawaslu dibacakan. Hal itu berdasarkan ketentuan dalam Perma 4/2017 dimana permohonan harus disampaikan paling lambat 3 hari sejak keputusan KPU dikeluarkan.

Sementara di sisi lainnya seperti yang sudah diuraikan sebelumnya, penyelesaian permohonan koreksi dapat diselesaikan oleh Bawaslu paling lambat 14 hari.

Sebagai saran, perlu adanya harmonisasi dan sinkronisasi antara undang-undang dan peraturan di bawahnya, dalam hal ini ialah peraturan Bawaslu supaya tidak terjadi ketidakpastian hukum dengan adanya upaya hukum permohonan koreksi ke Bawaslu.

Konkritnya upaya hukum melalui koreksi di Bawaslu dihapuskan sehingga putusan Bawaslu

(12)

Provinsi/ atau Kabupaten/Kota terhadap pelanggaran administratif Pemilu bersifat final dan mengikat (final and binding). Artinya, terlapor yang dinyatakan bersalah oleh putusan Bawaslu hanya perlu menunggu paling lama 3 hari terbitnya keputusan KPU untuk kemudian mengajukan upaya hukum ke Mahkamah Agung atas keputusan tersebut.

DAFTAR PUSTAKA A. Jurnal

Aditya., Firma, Zaka., Winata, Muhammad Reza Winata. “REKONSTRUKSI HIERARKI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA (RECONSTRUCTION OF THE HIERARCHY OF LEGISLATION IN INDONESIA).” Negara Hukum:

Membangun Hukum Untuk Keadilan dan Kesejahteraan 9, no. 1, 2018: 79–100, DOI:

10.22212/jnh.v9i1.976.

Casmi Arrsa, Ria. “PEMILU SERENTAK DAN MASA DEPAN KONSOLIDASI DEMOKRASI.” Jurnal Konstitusi 11, no. 3, 2014: 515–537, DOI: 10.31078/jk%25x Chakim, M. Lutfi. “MEWUJUDKAN KEADILAN MELALUI UPAYA HUKUM

PENINJAUAN KEMBALI PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI.” Jurnal Konstitusi 12, no. 2, 2016: 328–352, DOI: 10.31078/jk1227.

Didik, Sukriono. “MENGGAGAS SISTEM PEMILIHAN UMUM DI INDONESIA.” Jurnal Konstitusi PKK Universitas Kanjuruhan Malang 11, no. 1, 2009: 7–35.

Faiz, Pan Mohamad. “MEMPERKUAT PRINSIP PEMILU YANG TERATUR, BEBAS, DAN ADIL MELALUI PENGUJIAN KONSTITUSIONALITAS UNDANG - UNDANg.” Jurnal Konstitusi 14, no. 3, 2018: 672-700, DOI: 10.31078/jk14310.

Ferdian., Asrinaldi., Syahrizal. “PERILAKU MEMILIH MASYARAKAT, MALPRAKTIK PEMILU DAN PELANGGARAN PEMILU.” NUSANTARA : Jurnal Ilmu Pengetahuan Sosial 6, no. 1, 2019: 20-31, DOI: 10.31604/jips.v6i1.2019.20-31.

Haloman, Putra. “TINJAUAN YURIDIS TENTANG UPAYA-UPAYA HUKUM.”

Yurisprudentia 1, no. 1, 2015: 42-53, DOI: 10.24952/yurisprudentia.v1i1.603

Liany, Lusy. “DESAIN HUBUNGAN KELEMBAGAAN PENYELENGGARA PEMILU.”

JURNAL CITA HUKUM 4, no. 1, 2016: 51-72, DOI: 10.15408/jch.v4i1.3198.

Maulidi, Mohammad Agus. “PROBLEMATIKA HUKUM IMPLEMENTASI PUTUSAN FINAL DAN MENGIKAT MAHKAMAH KONSTITUSI PERSPEKTIF NEGARA HUKUM.” Jurnal Hukum Ius Quia Iustum 24, no. 4, 2017: 535–557, DOI:

10.20885/iustum.vol24.iss4.art2.

Noviawati., Evi., Komariah, Mamay. “EFEKTIVITAS PENYELESAIAN PELANGGARAN ADMINISTRATIF PEMILIHAN UMUM BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 2017.” Jurnal Ilmiah Living Law 11, no. 2, 2019: 140-151, DOI:

10.30997/jill.v11i2.2100.

Pradika., Wahyu, Fauzi., Putra, Happy Anugraha., Noris, Anwar. “LEMBAGA PENYELESAIAN SENGKETA PEMILU YANG IDEAL DI INDONESIA.” DIVERSI : Jurnal Hukum 6, no. 1, 2020: 73–91, DOI: 10.32503/diversi.v6i1.793.

Seac., Flavio, Angelo Emanuel. “PENGUATAN KEWENANGAN LEMBAGA BADAN PENGAWAS PEMILU DALAM PENEGAKAN HUKUM PEMILU.” Legal Spirit 1, no. 2, 2018: 83–100, DOI: 10.31328/ls.v1i2.589.

Simanjuntak, Josner. “KEMANDIRIAN LEMBAGA PENYELENGGARA PEMILIHAN UMUM DI INDONESIA.” Papua Law Journal 1, no. 1, 2018: 119–141, DOI:

10.31957/plj.v2i2.584.Aditya, Zaka Firma, and Muhammad Reza Winata. “Rekonstruksi Hierarki Peraturan Perundang-Undangan Di Indonesia (Reconstruction Of The Hierarchy Of Legislation In Indonesia).” Negara Hukum: Membangun Hukum Untuk Keadilan Dan Kesejahteraan 9, no. 1, 2018: 79–100. https://doi.org/10.22212/jnh.v9i1.976.

Casmi Arrsa, Ria. “Pemilu Serentak Dan Masa Depan Konsolidasi Demokrasi.” Jurnal

(13)

Konstitusi 11, no. 3, 2014: 515–37.

Chakim, M. Lutfi. “Mewujudkan Keadilan Melalui Upaya Hukum Peninjauan Kembali Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi.” Jurnal Konstitusi 12, no. 2, 2016: 328–52.

https://doi.org/10.31078/jk1227.

Didik, Sukriono. “Menggagas Sistem Pemilihan Umum Di Indonesia.” Jurnal Konstitusi Pkk Universitas Kanjuruhan Malang 11, no. 1, 2009: 7–35.

Faiz, Pan Mohamad. “Memperkuat Prinsip Pemilu Yang Teratur, Bebas, Dan Adil Melalui Pengujian Konstitusionalitas Undang-Undang.” Jurnal Konstitusi 14, no. 3, 2018: 672.

https://doi.org/10.31078/jk14310.

Ferdian, Ferdian, Asrinaldi Asrinaldi, and Syahrizal Syahrizal. “PERILAKU MEMILIH MASYARAKAT, MALPRAKTIK PEMILU DAN PELANGGARAN PEMILU.”

NUSANTARA : Jurnal Ilmu Pengetahuan Sosial 6, no. 1, 2019: 20.

https://doi.org/10.31604/jips.v6i1.2019.20-31.

Haloman, Putra. “Tinjauan Yuridis Tentang Upaya-Upaya Hukum.” Yurisprudentia 1, no. 1, 2015.

Liany, Lusy. “Desain Hubungan Kelembagaan Penyelenggara Pemilu.” JURNAL CITA HUKUM 4, no. 1, 2016. https://doi.org/10.15408/jch.v4i1.3198.

Maulidi, Mohammad Agus. “Problematika Hukum Implementasi Putusan Final Dan Mengikat Mahkamah Konstitusi Perspektif Negara Hukum.” Jurnal Hukum Ius Quia Iustum 24, no. 4, 2017: 535–57. https://doi.org/10.20885/iustum.vol24.iss4.art2.

Noviawati, Evi, and Mamay Komariah. “Efektivitas Penyelesaian Pelanggaran Administratif Pemilihan Umum Berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017.” JURNAL ILMIAH LIVING LAW 11, no. 2, 2019: 140. https://doi.org/10.30997/jill.v11i2.2100.

Pradika, Fauzi Wahyu, Happy Anugraha Putra, and Anwar Noris. “Lembaga Penyelesaian Sengketa Pemilu Yang Ideal Di Indonesia.” DIVERSI : Jurnal Hukum 6, no. 1, 2020: 73–

91. https://doi.org/10.32503/diversi.v6i1.793.

Seac, Angelo Emanuel Flavio. “Penguatan Kewenangan Lembaga Badan Pengawas Pemilu Dalam Penegakan Hukum Pemilu.” Legal Spirit 1, no. 2, 2018: 83–100.

https://doi.org/10.31328/ls.v1i2.589.

Simanjuntak, Josner. “Kemandirian Lembaga Penyelenggara Pemilihan Umum Di Indonesia.”

Papua Law Journal 1, no. 1, 2018: 119–41. https://doi.org/10.31957/plj.v2i2.584.

Syarifudin, Ahmad. “IMPLIKASI ADANYA UPAYA HUKUM TERHADAP PUTUSAN

BAWASLU TENTANG PELANGGARAN ADMINISTRATIF PEMILU

PROBLEMATIC OF SETTLEMENT OF ELECTION ADMINISTRATIVE OF VIOLATION’S.” Cepalo 4, no. 1, June 5, 2020: 1–12.

https://doi.org/10.25041/cepalo.v4no1.1897.

Warjiyati, Sri. “Penataan Struktur Dan Kewenangan Komisi Pemilihan Umum, Badan Pengawas Pemilu Dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu Dalam Upaya Mewujudkan Pemilihan Umum Yang Demokratis Di Indonesia.” ARISTO 8, no. 1, 2020:

24. https://doi.org/10.24269/ars.v8i1.2403.

Widodo, Heru. “The Institutional Renewal In Settlement Of Disputes Of Local Election Results.” JURNAL CITA HUKUM 6, no. 2, 2018: 277–92.

https://doi.org/10.15408/jch.v6i2.8690.

B. Buku

Asshiddiqie, Jimly. Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara. 1 ed. Jakarta: Rajawali Pers, 2016.

Badan Pengawas Pemilihan Umum. Data Pelanggaran Pemilu Tahun 2019. Jakarta: Badan Pengawas Pemilihan Umum, 2019.

Budiardjo, Miriam. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1991.

(14)

Dewata, Mukti Fajar Nur. Achmad, Yulianto. Dualisme Penelitian Hukum Normatif &

Empiris. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

MD, Moh Mahfud. Hukum dan Pilar-pilar Demokrasi. Yogyakarta: Gama Media, 1999.

Santoso, Joko Dkk. Kajian Kebijakan: Sistem Penegakan Hukum Pemilu 2009-2014. Jakarta:

Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi, 2016.

Soeprapto, Maria Farida Indrati. Ilmu Perundang-Undangan, Proses dan Teknik Pembentukannya. Yogyakarta: Kanisius, 2007.

C. Peraturan Perundang-undangan

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.

Peraturan Badan Pengawas Pemilihan Umum Nomor 8 Tahun 2018 tentang Penyelesaian Pelanggaran Administratif Pemilu.

Peraturan Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2017 tentang Tata Cara Penyelesaian Pelanggaran Administratif Pemilihan Umum di Mahkamah Agung.

Referensi

Dokumen terkait

KAJIAN YURIDIS TERHADAP PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI TEN TANG DUGAAN PELANGGARAN HUKUM PRESIDEN DAN/ATAU WAKIL PRESIDEN OLEH DEWAN PER WAKILAN RAKYAT TERKAIT DENGAN KEWENANGAN

PANDANGAN KRITIS TERHADAP PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI PERKARA NOMOR 06/PUU-IV/2006 TENTANG PUTUSAN PEMBATALAN UNDANG-UNDANG NO 27 TAHUN 2004.. SERTA IMPLIKASINYA TERHADAP

Pengertian penyelenggara Pemilu menurut Undang Undang tentang Penyelenggara Pemilu adalah lembaga yang menyelenggarakan Pemilu yang terdiri atas KPU dan Bawaslu

Upaya administratif melalui penyelesaian Pemilu oleh peserta Pemilu terhadap Keputusan KPU Nomor 278/PL.01.3- Kpt/06/KPU/IV/2018 tentang Penetapan Daerah Pemilihan dan

Adapun permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini adalah bagaimana kajian sosiologi hukum terhadap penyelesaian pelanggaran lalu lintas secara damai dan apakah