• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

1 BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Tahun 1986, Perdana Menteri Jepang Yasuhiro Nakasone dalam satu kesempatan menyatakan bahwa Jepang merupakan satu negara yang homogen atau dapat diartikan sebagai negara yang hanya memiliki satu etnis mayoritas.1 Pernyataan ini kemudian mendapatkan perhatian khusus dari berbagai pihak terutama etnis minoritas di wilayah Jepang. Pada kenyataannya beberapa etnis merupakan bagian dari Jepang walaupun jumlahnya sedikit sehingga merupakan golongan minoritas di Jepang. Beberapa etnis tersebut merupakan penduduk asli dari beberapa wilayah di Jepang seperti Okinawa dan Hokkaido maupun imigran yang masuk ke Jepang selama perang berlangsung. Salah satu penduduk asli Jepang yang kemudian secara lantang memprotes pernyataan Perdana Menteri Nakasone tersebut adalah Ainu. Ainu merupakan kelompok etnis minoritas dan merupakan penduduk asli wilayah Hokkaido. Ainu juga merupakan kelompok yang paling aktif dalam memperjuangkan hak-haknya untuk mendapatkan pengakuan dari Jepang serta telah mencapai hasil yang signifikan apabila dibandingkan dengan etnis minoritas lain di Jepang.

Menilik sejarah hubungan Ainu dengan permerintah Jepang maka dapat dilihat sejak pemerintah awal Jepang masih dibawah pemerintahan Shogun Tokugawa, Ainu mulai mendapatkan perlakuan diskriminatif dan dikenal sebagai masyarakat barbar.2 Setelah restorasi Meiji, Ainu kemudian dipaksa untuk berasimilasi dengan kebudayaan Jepang. Pemerintah Jepang mulai melarang praktik budaya mereka. Kebudayaan asli Ainu yang cukup berbeda dengan masyarakat Jepang dilarang dan mereka dipaksa untuk menerapkan budaya-budaya Jepang dalam kehidupan sehari-hari seperti penggunaan nama, bahasa, dan gaya hidup.3 Larangan berburu sebagai bagian dari kebudayaan Ainu serta adanya diskriminasi oleh masyarakat Jepang terhadap masyarakat Ainu pada akhirnya juga menyebabkan mereka terpuruk dalam kemiskinan.4 Secara politis, etnis

1 Simon Cotterill, ‗Ainu Success: the Political and Cultural Achievements of Japan‘sIndigenous Minority‘, The Asia-Pacific Journal, Vol 9, Issue 12 No 2,2011, p. 2

2 Yoko Tanabe,‗The UN Declaration of The Rights of Indigenous Peoples and The Ainu Of Japan:

Development and Challenges‘, Indigenous Policy Journal, Vol. XXIV, No. 4, 2014, p.3 3 Yoko Tanabe, p.6-9.

4 Final Report Ainu Policy 2009, Advisory Council for Future Ainu Policy, July 2009, p.11

(2)

2 Ainu juga tidak memiliki representatif di dalam pemerintahan Jepang. Dalam catatan sejarah hanya ada satu orang keturunan Ainu yang sempat menjadi bagian dalam Diet di Jepang, yaitu Shigeru Kayano melalui partai sosialis Jepang.5

Diperlukan proses resolusi konflik yang cukup panjang untuk menyelesaikan permasalahan antara Ainu dan Pemerintah Jepang tersebut. Sejak dimulainya pergerakan mereka melalui proposal terbuka—Ainu Shinpo sebagai bentuk tuntutan atas hak-hak mereka sebagai indigenous people pada tahun 1984, pemerintah Jepang baru mulai merespon tuntutan tersebut pada tahun 1987 pasca Ainu, melalui Ainu Association of Hokkaido (AAH), mengirimkan delegasinya pada forum UN Working Group on Indigenous Populations (UWGIP). Lebih jauh, pemerintah Jepang barumengakui Ainu sebagai kelompok minoritas di tahun 1991 dan sebagai indigenous people di tahun 2008.

Pada Juni 2008, Diet atau parlemen pemerintah Jepang mengeluarkan Resolution Calling for the Recognition of the Ainu People sebagai bentuk pengakuan pemerintah Jepang terhadap etnis Ainu sebagai indigenous people.6 Keengganan Jepang dalam menyikapi isu-isu minoritas dapat dikatakan sebagai salah satu faktor penyebab lambannya proses negosiasi sebagai bagian dari resolusi konflik antara Ainu dan Jepang.Perubahan sikap Jepang dalam merespon isu minoritas seiring dengan munculnya tekanan internasional juga merupakan faktor penting dibalik pengakuan Jepang pada tahun 2008. Pengakuan tersebut merupakan titik balik bagi perjuangan etnis minoritas Ainu di Jepang sekaligus menjadi satu momentum penting bagi pemerintah Jepang. Mengingat pemerintah Jepang selalu mengesampingkan isu minoritas dan mendeklarasikan diri sebagai satu negara yang homogen.

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang permasalahan yang telah disebutkan sebelumnya, penulis kemudian akan mengkaji secara lebih mendalam mengenai faktor-faktor yang melatarbelakangi lamanya proses resolusi konflik antara Ainu dan Jepang yang telah dimulai sejak 1987 dan baru menunjukan signifikansi di tahun 2008. Maka pertanyaan penelitian yang kemudian penulis ajukan adalah ―Mengapa proses negosiasi antara Ainu dan Jepang membutuhkan waktu yang relatif lama?‖

5 Kyodo, ‗Ainu group gives up fielding candidates in poll‘, Japantimes(daring),12 Juli 2013,

<http://www.japantimes.co.jp/news/2013/07/12/national/politics-diplomacy/ainu-group-gives-up-fielding- candidates-in-poll/#.Vk_IjdIrLIV>, diakses pada 21 Oktober 2015

6 Yoko Tanabe, p.4

(3)

3 1.3. Landasan Konseptual

1.3.1. Resolusi Konflik

Konsep mengenai resolusi konflik akan penulis gunakan untuk menjawab pertanyaan di atas dan memberikan penjabaran secara komprehensif mengenai proses resolusi konflik yang berlangsung. Resolusi konflik sendiri menurut Peter Wallensteen merupakan situasi dimana pihak-pihak yang berkonflik sepakat untuk menyelesaikan perselisihan (incompatibilities) diantara mereka dan menerima keberadaan satu sama lain serta menghentikan segala bentuk tindak kekerasan yang pernah terjadi.7 Dalam konflik yang terjadi dalam proses pembentukan negara sendiri permasalahan utama yang muncul adalah mengenai identitas dan/atau permasalahan teritori.8 Konflik Ainu dan Jepang sendiri dapat dipahami sebagai konflik identitas antara Jepang yang ingin mempertahankan identitasnya yang telah melekat kuat dibawah payung nihonjinron dan Ainu yang menuntut untuk diakui sebagai indigeous people karena memiliki identitas budaya yang berbeda dan tidak dapat diseleraskan dengan pemahaman nihonjinron. Merujuk pada tulisan Marc H. Ross terkait penyelesaian konflik yang melibatkan etnis, identitas adalah salah satu faktor krusial yang harus diselesaikan mengingat hal tersebut sangat berkaitan dengan kesadaran bahwa mengakui identitas pihak lain merupakan penentangan terhadap identitas diri sendiri.9

Wallensteen juga menekankan bahwa pihak-pihak yang berkonflik harus secara sukarela untuk terlibat dalam proses ini. Pihak yang memiliki legitimasi juga dilihat sebagai pihak yang memiliki peranan penting dalam proses tersebut sebagai contohnya adalah negara. Negara memiliki kemampuan untuk melemahkan lawannya terutama dalam konflik yang melibatkan pihak dengan power yang berbeda seperti dalam konflik etnis. Apabila usaha pelemahan pihak lawan tersebut terlampau jauh dilakukan dapat berakibat pada semakin sulitnya proses resolusi konflik dikarenakan hilangnya keinginan kedua belah pihak untuk bernegosiasi.10 Dalam kasus ini, peran Jepang sangat penting dalam menentukan arah resolusi konflik, mengingat posisinya yang lebih kuat dari Ainu yaitu

7 Petter Wallenstein, Understanding Conflict Resolution 2nd Edition, Sage Publication, London, 2007, p.3 8 Petter Wallenstein, p.154

9 Marc H. Ross, ‗Creating the Conditions for Peacemaking: Theories of Practices in Ethnic Conflict Resolution‘, Ethnic and Racial Studies, Vol. 23, No.6, 2000, p. 1015

10 William I. Zartman, Negotiation and Conflict Management Essays on theory and practice, Routledge, New York, 2008, p.175

(4)

4 sebagai negara yang memiliki legitimasi dan berkuasa atas wilayah Jepang berikut isinya.

Di sisi lain, Oliver Ramsbotham melihat bahwa resolusi konflik tidak hanya proses penyelesaian satu konflik (conflict settlement) namun juga melibatkan proses transformasi konflik (conflict transformation) yaitu proyeksi panjang dalam menyelesaikan permasalahan yang berkaitan dengan kekerasan stuktural dan kekerasan budaya serta melibatkan transformasi identitas dan relasi antar kedua belah pihak.11 Ramsbotham juga menjelaskan bahwa tujuan normatif dari resolusi konflik bukanlah mengatasi konflik karena konflik merupakan hal penting dari perubahan sosialsehingga tujuan normatif dari resolusi konflik adalah untuk mentransformasikan konflik yang melibatkan kekerasan menjadi nirkekerasan dalam kerangka perubahan sosial.12 Pandangan Ramsbotham tersebut kemudian penting untuk melihat signifikansi transformasi konflik yang melibatkan perubahan relasi antara Ainu dan Jepang dalam proses resolusi konflik. Usaha Jepang untuk menjalin hubungan yang lebih kooperatif daripada sebelumnya sejak akhir tahun 1990an sangat berperan dalam akselerasi proses resolusi konflik dikemudian hari.

Lebih jauh lagi, menurut Thomas Ohlson dan Mimmi Söderberg dalam

"From Intra-State War to Democratic Peace in Weak States" dalam mengkaji proses resolusi konflik dapat dibagi kedalam tiga fase yaitu fase dialog, implementasi, dan fase konsolidasi.13 Ketiga fase tersebut dapat berjalan saling beriringan dan terkadang tidak dapat dipisahkan satu sama lain.

a. Fase Negosiasi

Ohlson dan Söderberg menyebut fase awal ini sebagai fase dialog, akan tetapi penulis kemudian melihat bahwa fase ini lebih tepat disebut sebagai fase negosiasi karena merujuk pada pengertian negosiasi menurut beberapa penulis seperti Pruitt dan Carnavale maka negosiasi dapat dipahami sebagai satu diskusi yang mempertemukan pihak-pihak berkonflik secara langsung untuk menyelesaikan perbedaan kepentingan yang ada sebagai usaha untuk menyelesaikan permasalahan sosial. Hasil pencapaian akhir dari

11Oliver Ramsbotham,Transforming Violent Conflict Radical disagreement, dialogue and survival, Routledge, New York, 2010, p.52

12 Oliver Ramsbotham, p.52-53

13 Thomas Ohlson &Mimmi Söderberg, From Intra-State War to Democratic Peace in Weak States,Uppsala:

Department of Peace and Conflict Research, 2002, p. 14-21

(5)

5 fase ini adalah satu kesepakatan tertulis tidak hanya sebatas menyatukan pandangan antara kedua belah pihak tapi juga satu kesepakatan nyata.14 Dalam fase awal dari proses resolusi konflik ini, salah satu pihak yang berkonflik mulai melihat bahwa negosiasi baik secara bilateral atau multilateral sebagai bagian dari resolusi konflik merupakan hal yang lebih logis dilakukan dibanding tindakan unilateral yang selama ini dilakukan.

Mengacu pada hal tersebut maka dalam fase ini perubahan sikap dari salah satu pihak yang berkonflik sangat mungkin untuk terjadi. Perubahan sikap dalam konflik dapat terjadi karena alasan rasionalitas pihak yang berkonflik, seperti ketakutan terhadap semakin banyaknya kerugian yang harus ditanggung daripada terciptanya perdamaian. Dalam konflik internal negara, perubahan sikap tersebut tidak terjadi karena adanya keinginan altruistik dari pihak tersebut maupun keinginan politik semata. Namun, perubahan sikap yang terjadi salah satunya disebabkan adanya tekanan politik yang muncul seiring dengan berjalannya konflik. Fase ini kemudian akan mengarah pada kesepakatan dalam bentuk perjanjian.

Kajian tulisan ini kemudian akan lebih banyak berfokus pada fase awal ini. Negosiasi secara lebih aktif yang mempertemukan kedua belah pihak secara langung dalam satu meja antara Ainu dan Jepang sendiri dapat dikatakan baru terjadi sekitar tahun 1993. Akan tetapi, penulis melihat bahwa proses ini dapat dikaji sejak Ainu mengajukan tuntutan terbuka kepada pemerintah Jepang melalui Ainu Shinpo karena tuntutan tersebut menunjukan upaya awal proses negosiasi yaitu untuk menarik Jepang agar mau mempertimbangkan kepentingan Ainu dalam kebijakan minoritasnya. Serta menunjukan inisiatif kelompok Ainu bahwa proses negosiasi lebih rasional dilakukan dibandingkan dengan tindakan unilateral yang sebelumnya dilakukan. Lebih jauh, penulis akan mengkaji mengenai proses tarik-ulur kepentingan kedua belah pihak dalam fase ini hingga pada akhirnya sikap Jepang mulai melunak untuk mau terlibat dalam negosiasi secara langsung.

b. Fase Implementasi

Proses resolusi konflik memasuki fase implementasi pasca ditandangani perjanjian yang telah disepakati selama fase dialog. Fase ini

14 Dean G, Pruitt & Peter J. Carnavale, Negotiation in Social Conflict, Open University Press, 1993, p.16-17

(6)

6 akan melihat bagaimana kesepakatan tersebut diterapkan dalam kehidupan nyata. Fase ini merupakan titik krusial dalam proses membangun kepercayaan antara kedua belah pihak pasca konflik berlangsung.

Kepercayaan tersebut akan diukur dari rasa aman yang dibentuk oleh kedua belah pihak serta keadilan dalam proses distributive of power. Fase ini dapat dilihat dalam kasus Ainu-Jepang melalui tindakan Jepang dalam menerjemahkan kesepakatan yang telah disepakati sebelumnya sebagai bentuk pengakuan atas Ainu dalam berbagai bentuk kebijakan maupun lembaga nasionalserta bagaimana kebijakan-kebijakan tersebut berdampak pada transformasi relasi antara kedua belah pihak.

c. Fase Konsolidasi

Fase ini merupakan tahap akhir dari proses resolusi konflik. Dalam tahap ini, kedua belah pihak sudah tidak lagi mempermasalahkan perang yang pernah terjadi di masa lalu, namun lebih berfokus pada bagaimana mencegah terjadinya perang di masa yang akan datang. Dalam fase ini mulai dilakukan perubahan terutama dalam peningkatan partisipasi politik, keamanan masyarakat, hingga distibutive of justice.

Selain beberapa fase resolusi konflik di atas, ada beberapa hal krusial yang perlu diperhatikan dalam konteks resolusi konflik yang melibatkan etnis minoritas. Resolusi konflik dalam kasus konflik etnis memang memerlukan strategi penyelesaian tersendiri karena melibatkan dua pihak yang memiliki disparitas posisi, status, maupun latar belakang budaya yang berbeda dalam konflik tersebut.15 Negosiasi kemudian dapat dijadikan instrumen yang efektif dalam resolusi konflik antar etnis, namun negosiasi dalam konteks yang lebih luas yaitu proses yang tidak hanya penyelesaian dari serangkaian permasalahan- permasalahan tertentu tapi juga melibatkan transformasi relasi kedua belah pihak.16 Prinsip pengakuan identitas atau identity recognition kemudian juga berperan penting dalam proses negosiasi karena dengan mengakui identitas dari kelompok lain akan lebih mudah untuk memulai diskursus dalam kesetaraan.

Wallensten juga menambahkan bahwa resolusi konflik dalam konflik etnis yang

15 Wsevolod W. Isajiw, ‗Approaches to Ethnic Conflict Resolution: Paradigm and Priciple‘, Internationl Journal of Intercultural Relations, No. 24, 2000, p.114

16 Wsevolod W. Isajiw, p. 114

(7)

7 disebabkan diskriminasi perlu juga memperhatikan adanya prinsip yang terlegitimasi. Hal ini diperlukan agar resolusi yang diberikan dapat dilihat sebagai bagian dari keinginan bersama semua pihak dan merupakan fokus dari negara.

Dari pernyataan tersebut kemudian juga dapat dilihat bagaimana Jepang dan Ainu membangun proses negosiasi di atas fondasi perbedaan kekuatan, posisi, dan latar belakang budaya yang berbeda. Hingga tercipta kesepakatan yang tidak semuanya berimplikasi pada transformasi relasi kedua belah pihak sehingga resolusi konflik masih terus berproses.

1.4. Argumen Utama

Proses negosiasisebagai tahapan krusial dalam proses resolusi konflik antara Ainu dan Jepang memerlukan waktu yang relatif lama. Kecenderungan Jepang untuk tidak mau terlibat dalam negosiasi secara langsung dengan Ainu—sebagai usaha merespon tuntutan Ainu tersebut, tidak lepas karena adanya pengaruh dari isu identitas yang menjadi akar dari konflik antara Ainu dan Jepang. Keinginan Ainu untuk diakui identitasnya sebagai indigenous people di Jepang bertentangan dengan identitas kuat Jepang yang dibangun dari ideologi nihonjinron.Mengacu pada pendapat Marc H. Ross maka menemukan titik tengah dari pertentangan identitas tersebut merupakan satu kunci penting dalam proses resolusi koflik. Kuatnya pendirian masing-masing pihak dalam memperjuangkan identitas mereka kemudian mempersulit proses ini.

Ideologi nihonjinron yang sudah melekat kuat dalam masyarakat Jepang tersebut juga membuat masyarakat Jepang memandang diri mereka sebagai satu bangsa yang homogen yaitu terdiri dari etnis Yamato atau Wajin dan memiliki posisi yang lebih tinggi serta kuat dibandingkan etnis lain. Pandangan tersebut kemudian terefleksi pada sikap pemerintah yang konservatif dan ingin mempertahankan status quo—yaitu persatuan bangsa yang dibangun dari semangat monoetnis dalam nihonjinron—dalam masyarakat Jepang. Munculnya tuntutan dari Ainu kemudian dipandang akan mengancam status quo tersebut sehingga cara yang ditempuh Jepang kemudian adalah dengan mempersulit proses penyelesaian konflik tersebut, seperti menolak untuk terlibat dalam negosiasi.

Apabila mengacu pada pendapat Isajiw maka sikap Jepang dalam menghindari proses negosiasi juga dapat dipahami sebagai bentuk penolakan Jepang dalam mengakui eksistensi Ainu sebagai aktor yang setara untuk duduk dalam kursi negosiasi. Pada perjalanannya juga dapat dilihat bahwa banyak keputusan yang dikeluarkan secara

(8)

8 sepihak oleh pemerintah Jepang tanpa melalui proses negosiasi langsung dengan pihak Ainu sehingga tidak memperhatikan kebutuhan Ainu. Pada akhirnya hal ini berimplikasi proses resolusi konflik antara Ainu dan Jepang yang cenderung stagnan dalam fase negosiasi. Hingga butuh waktu kurang lebih dua dekade untuk membawa proses resolusi konflik antara Ainu dan Jepang masuk dalam fase implementasi hingga fase konsolidasi.

1.5. Metodologi Penelitian

Metode penelitian yang akan digunakan untuk menjawab pertanyaan penelitian di atas adalah desk research, yaitu dengan memanfaatkan berbagai sumber-sumber data yang ada untuk merumuskan jawaban yang komprehensif dalam bentuk data kualitatif maupun kuantitatif. Secara umum, dokumen resmi, buku, jurnal, dan artikel akan menjadi acuan utama dalam penulisan ini. Beberapa data kualitatif akan mengacu pada beberapa sumber seperti dokumen resmi dalam bentuk laporan pemerintah, undang-undang kebijakan, maupun transkrip pidato pemimpin AAH di forum PBB terkait kasus tersebut.Dokumen tersebut merupakan data-data primer dan krusial yang akan menjelaskan dinamika kasus Ainu serta sebagai bukti kongkrit mengenai permasalahan tersebut. Data tersebut kemudian akan didukung dengan data-data sekunder yang akan dihimpun dari berbagai jurnal ataupun artikel cetak dan daring terpecaya yang membahas mengenai perkembangan kasus Ainu dengan Jepang. Data-data tersebut dapat berupa data kuantitatif, mengingat pentingnya data kuantitatif sebagai data komplementer dalam memperkuat penjelasan kasus tersebut.

Untuk mencapai satu analisis yang komprehensif, data-data mengenai kasus Ainu yang telah diperoleh sebelumnya akan dianalisis dengan menggunakan konsep-konsep mengenai resolusi konflik. Analisis akan dilakukan dengan tetap mengaitkan proses resolusi konflik dengan konsep politik pemerintah Jepang sendiri.

1.6. Sistematika Penulisan

Penulisan skripsi ini akan dibagi ke dalam empat bab. Bab pertama, merupakan bab pendahuluan yang terdiri dari latar belakang penelitian, pertanyaan penelitian, landasan konseptual yang digunakan untuk menjelaskan jawaban penelitian, argumen utama dari penelitian, metodologipenelitian, serta sistematika penulisan. Bab kedua, akan lebih berfokus pada gambaran awal mengenai kasus ini sehingga akan memaparkankonteks sejarah diskriminasi terhadap etnis Ainu dan munculnya pertentangan identitas antara Ainu dan Jepang. Bab ini juga akan memaparkan awal dari

(9)

9 pergerakan etnis tersebut sebagai proses awal resolusi konflik ini. Bab ketiga, akan mulai mengkaji dinamika proses resolusi konflik antara Ainu dan Jepang dengan menempatkan fokus utama kajian pada permasalahan identitas antara kedua belah pihak sebagai faktor penghambat negosiasi. Bab keempat, akan lebih jauh mengkaji korelasi antarakebijakan Jepang yang tidak mengakomodir kebutuhan dasar Ainu serta tidak memperhatikan transformasi relasi dengan lamanya proses negosiasi yang dilakukan. Bab kelima, merupakan penutup yang berisi kesimpulan dari jawaban yang telah disampaikan dalam bab-bab sebelumnya.

Referensi

Dokumen terkait

Dari hasil penelitian tersebut diketahui bahwa telah terjadi proses transformasi montmorilonit ke illit pada zona B Formasi Sauda (sekitar kedalaman 2300 m)

Terlihat pula bahwa frekuensi mutlak dan fekuensi relatif tertinggi untuk tingkat semai adalah pada Myristica sulcata Warb., dengan nilai sebesar 0,118 individu (39,716

Artikel ini menerapkan teori dan definisi tersebut ke dalam praktek kepustakawanan, khususnya bagaimana teknologi Web 2.0 seperti sinkronisasi pengiriman pesan dan media

1) Penjatuhan tindakan disiplin dilaksanakan seketika dan langsung pada saat diketahuinya pelanggaran disiplin yang dilakukan oleh anggota Kepolisian Negara Republik

Harga perdagangan besar adalah harga transaksi yang terjadi antara penjual/pedagang besar pertama dengan pembeli/pedagang besar berikutnya dalam jumlah besar pada pasar

Unggul program studi diartikan bahwa semua program studi mampu mengembangkan pusat pusat unggulan ilmu pengetahuan dan teknologi kesehatan masing masing, sesuai

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Ekstrak Etanolik Herba Ciplukan memberi- kan efek sitotoksik dan mampu meng- induksi apoptosis pada sel kanker payudara MCF-7