• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi dan Pengertian 1. Down Syndrome

Down Syndrome merupakan kondisi keterbelakangan perkembangan fisik dan mental anak yang diakibatkan adanya abnormalitas perkembangan kromosom.

Kromosom merupakan serat-serat khusus yang terdapat di dalam setiap sel yang berada di dalam tubuh manusia, di mana terdapat bahan-bahan genetik yang menentukan sifat- sifat seseorang di sana. Wiyani (2014) melengkapi penjelasan bahwa Down Syndrome terjadi karena adanya kelainan susunan kromosom ke 21 dari 23 kromosom manusia.

Pada manusia normal, 23 kromosom tersebut berpasang-pasangan hingga jumlahnya menjadi 46. Pada seorang anak yang mengalami Down Syndrome, kromosom nomor 21 tersebut berjumlah tiga (trisomi) sehingga totalnya menjadi 47 kromosom. Jumlah yang berlebihan tersebut mengakibatkan kegoncangan pada sistem metabolisme sel, yang akhirnya memunculkan Down Syndrome (Kosasih 2012 dikutip dalam Rohmadheny 2016).

Indah, R., N., (2017) mengemukakan bahwa Down Syndrome adalah gangguan perkembangan anak yang bersifat medis dan secara tipikal bukan hanya menjadikan anak memiliki abnormalitas secara fisik melainkan juga secara mental. Down Syndrome merupakan suatu kondisi keterbelakangan perkembangan fisik dan mental anak yang diakibatkan adanya abnormalitas perkembangan kromosom. Kromosom merupakan serat-serat khusus yang terdapat di dalam setiap sel yang berada di dalam tubuh manusia, di mana terdapat bahan-bahan genetik yang menentukan sifat-sifat seseorang (Wiyani, N., A., 2014). Penelitian yang dilakukan Cuncha dikutip dalam Wiyani (2014) mengartikan Down Syndrome sebagai suatu kondisi keterbelakangan pada perkembangan fisik dan mental pada anak yang disebabkan adanya abnormalitas perkembangan kromosom.

Gangguan bahasa yang dialami penderita Down Syndrome baik anak-anak maupun dewasa, hanya bersifat terlambat (bukan bersifat kurang atau tidak mampu).

Artinya dengan perkembangan yang berlangsung lamban, proses pemerolehan bahasa yang dilaluinya mirip dengan urutan normal meskipun pada sebagian penderita tidak dapat mencapai kompetensi penuh sebagai mana pembicara dewasa normal. Hal ini tergantung tingkat parahnya kelainan yang diderita (Indah, 2011).

6

(2)

Anak dengan Down Syndrome mengalami permasalahan dalam komunikasi, penyimpangan fisik dan kemampuan dalam mental intelektual. Menurut Delong & Bukhart (2008) menjelaskan bahwa individu dengan Down Syndrome terpengaruh dengan berbagai tingkat gangguan mental (Mental Retardation) dari tingkat ringan hingga berat. Dalam ilmu Terapi Wicara, seseorang yang mengalami gangguan bicara yang disebabkan karena gangguan mental disebut Dyslogia.

Kondisi Down Syndrome dalam Ilmu Terapi Wicara banyak yang mengalami gangguan bahasa dan bicara. Down syndrome adalah penyebab genetik yang paling umum dari disabilitas intelektual (Centers for Disease Control and Prevention, 2006 dikutip dalam Estigarribia., Klusek., Martin & Roberts, 2009). Sekitar 80% dari seorang anak Down Syndrome memiliki permasalah dalam intelektual yang moderat, meskipun beberapa mengalami permasalahan intelektual yang parah (Pueschel, 1995; Roizen, 2007 dalam Estigarribia., Klusek., Martin & Roberts, 2009). Heber, R (1961) dikutip dalam Wiyani, N., A (2014) menjelaskan bahwa disabilitas intelektual ditandai dengan keterbatasan yang signifikan baik dalam fungsi intelektual dan perilaku adaptif seperti keterampilan adaptif konseptual, sosial dan praktis. Seorang anak dengan kondisi Down syndrome termasuk dalam disabilitas intelektual sehingga mengalami perkembangan mental intelektual yang tidak sesuai dengan perkembangan anak dan menyebabkan anak mengalami kesulitan dalam pemahaman bahasa dan bicara serta mengalami kesulitan dalam keterampilan untuk kemandiriannya.

B. Etiologi

Menurut Soetjiningsih (2014), kelainan Down Syndrome oleh Trisomi 21. Trisomi ini memiliki 3 tipe. Pertama adalah tipe nondisjunction atau kegagalan pemisahan pada saat oosit bermeiosis, tipe ini merupakan kelainan terbanyak (94%) pada Down Syndrome.

Kedua, adalah tipe translokasi, yakni sebagian atau seluruh kromosom ekstra 21 bergabung dengan kromosom lainnya (kromosom 14, atau 15, atau 21, atau 22), tipe ini mencakup 3,5% kasus. Ketiga, adalah tipe mosaik, yaitu campuran antara diploid normal dan sel yang mengalami trisomi 21, pada tipe ini terjadi nondisjunction selama mitosis pada awal embriogenesis, tipe ini meliputi 2,5% kasus. Selama satu abad sebelumnya banyak

(3)

hipotesis penyebab Down Syndrome, tetapi sejak di temukan pada 1959, perhatian lebih di pusatkan pada kelainan kromosom.

Kelainan kromosom tersebut kemungkinan di sebabkan oleh : 1. Genetik

Pada translokasi, 25% bersifat familial. Bukti yang mendukung teori ini didasarkan atas hasil penelitian epidemiologi yang menyatakan bahwa ada peningkatan risiko berulang bila dalam keluarga terdapat anak dengan Down Syndrome. Bila terdapat translokasi pada kedua orangtua, sebaiknya dilakukan studi familial tambahan dan konseling untuk menentukan adanya karier atau tidak. Kalau orang tuanya adalah karier, anggota keluarga lainnya juga harus diperiksa, sehingga akan teridentifikasi risiko Down Syndrome. Tipe nondisjunction juga diperkirakan berhubungan dengan genetik. (Soetjiningsih & Ranuh, 2017)

2. Infeksi

Virus diduga menjadi salah satu penyebab terjadinya Down Syndrome, tetapi sampai saat ini belum dapat dibuktikan bagaiman virus dapat menyebabkan terjadinya nondisjunction pada kromosom 21. (Soetjiningsih & Ranuh, 2017).

3. Umur Ibu

Setelah umur lebih dari 30 tahun, risiko Down Syndrome mulai meningkat dari 1:800 menjadi 1:32 pada umur 45 tahun, terutama pada tipe nondisjunction.

Peningkatan insiden ini berhubungan dengan perubahan endokrin, terutama hormon seks, antara lain meningkatnya sekresi androgen, menurunnya kadar hidroepiandosteron, menurunnya konsentrasi estradiol sistemik, perubahan konsentrasi reseptor hormon, dan peningkatan secara tajam kadar LH (Luteinizing Hormone) dan FSH (Follicular Stimulating Hormone) sebelum dan selama menopause.

(Soetjiningsih & Ranuh, 2017).

Adapun pendapat menurut National Down Syndrome Society (2016) menyatakan bahwa insiden kelahiran Down Syndrome lahir dari wanita dengan usia dibawah 35 tahun. Usia ibu hamil disebut juga menyebabkan anak lahir Down Syndrome, National Down Syndrome Society mengklasifikasikan usia ibu hamil dengan terjadinya Down Syndrome dalam bentuk tabel.

(4)

Adapun tabelnya sebagai berikut :

Tabel 2.1 Insidensi Down Syndrome

Usia Ibu Hamil Insidensi Down Syndrome

28 tahun 1 dari 1000

29 tahun 1 dari 950

30 tahun 1 dari 900

31tahun 1 dari 800

32tahun 1 dari 720

33tahun 1 dari 600

34tahun 1 dari 450

35tahun 1 dari 350

36tahun 1 dari 300

37tahun 1 dari 250

38tahun 1 dari 200

39tahun 1 dari 150

40tahun 1 dari 100

4. Radiasi

Pengaruh radiasi masih kontroversial. Suatu literatur menyebutkan bahwa radiasi meningkatkan predisposisi nondisjunction pada Down Syndrome ini. Sekitar 30% ibu yang melahirkan anak Down Syndrome, pernah mengalami radiasi di daerah perut sebelum terjadinya konsepsi, tetapi peneliti lain tidak menemukan hubungan tersebut.

(Soetjiningsih & Ranuh, 2017).

5. Autoimun

Terutama auitoimun tiroid atau penyakit yang dikaitkan dengan tiroid diduga berhubungan dengan Down Syndrome. Menurut Falkow (1996) dalam Soetjiningsih &

Ranuh (2017) secara konsisten mendapatkan adanya perbedaan autoantibodi tiroid pada ibu yang melahirkan anak dengan Down Syndrome dengan ibu kontrol yang umurnya sama

6. Umur Ayah

Penelitian sitogenik pada orangtua anak dengan Down Syndrome mendapatkan bahwa 20-30% kasus ekstra-kromosom 21 bersumber dari ayahnya, tetapi korelasinya tidak setinggi dengan ibu (Soetjiningsih & Ranuh, 2017). Menurut Soediono (2007) kelainan kromosom yang menyebabkan cacat lahir dapat terjadi pada pria yang mempunyai resiko menjadi ayah seorang Down Syndrome dua kali lebih besar daripada pria yang berusia muda.

(5)

C. Prevalensi

Menurut World Health Organisation (2016) perkiraan insiden Down Syndrome adalah antara 1 dari 1.000 hingga 1 dalam 1.100 kelahiran hidup di seluruh dunia. Setiap tahun sekitar 3.000 hingga 5.000 anak lahir dengan kelainan kromosom ini dan diyakini ada sekitar 250.000 keluarga di Amerika Serikat yang mengalami Down Syndrome.

Menurut American Speech-Language-Hearing Association (ASHA) (2012) menjelaskan bahwa prevalensi kasus Down Syndrome yaitu 1 dari 800 kelahiran.

Sedangkan menurut Wu dan Morris (2013) telah melakukan penelitian yang bertujuan untuk memperkirakan prevalensi penduduk dengan Down Syndrome di Inggris dan Wales pada tahun 2011. Didapatkan hasil bahwa penderita dengan kasus Down Syndrome yaitu 37.090 orang memiliki sindrom Down di Inggris dan Wales pada tahun 2011, prevalensi populasi 0,66 per 1.000 orang; 650 di bawah 1, 2673 berusia 1–5, 7115 berusia 5–18, 12819 berusia 19–40, 10 626 berusia 41–55 tahun dan 3207 berusia 56 tahun ke atas.

Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2018 dikumpulkan data mengenai penyandang tuna netra 0,01%, tuna wicara 0,15%, Down Syndrom 0,21%, tuna daksa 0,16%, bibir sumbing 0,12%, dan tuna rungu 0,11%. Prevalensi anak umur 24-59 bulan yang menyandang cacat pada Riskesdas tahun 2018 adalah sebesar 0,41% dengan jumlah kecacatan tertinggi adalah Down Syndrome. Sedangkan prevalensi Down Syndrome di Instalasi Rehabilitasi Medik RSUD Sleman pada bulan februari 2020- februari 2021 adalah 5,8% dari total kunjungan pasien sebanyak 154 pasien.

Sedikitnya prevalensi kasus Down Syndrome yang ditemukan di RSUD Sleman, penulis tertarik mengambil kasus tersebut untuk dijadikan sebagai Tugas Akhir. Kasus Down Syndrome di RSUD Sleman sebagian besar biasanya mengalami permasalahan pada bahasa, baik bahasa reseptif maupun bahasa ekspresif. Melihat dari permasalahan yang muncul pada kasus tersebut, penulis berkeinginan untuk lebih mendalami melalui pekerjaan Tugas Akhir ini dan penulis akan memfokuskan kajian pada penatalaksanaan terapi wicara pada kasus Down Syndrome dengan gangguan bahasa bicara di RSUD Sleman.

(6)

D. Karakteristik

1. Karakteristik Fisik

Wiyani, N., A., (2014) menyatakan bahwa pada umumnya ciri-ciri anak dengan Down Syndrome bisa berupa tanda-tanda secara fisik maupun tanda-tanda secara perkembangan. Secara fisik, anak dengan Down Syndrome memiliki tanda- tanda yang sama meskipun kadar dan kombinasinya berbeda antar seorang individu dengan Down Syndrome lainnya. Seorang anak Down Syndrome mungkin saja memiliki berbagai tanda seperti ini semenjak lahir dan hampir semua tanda tersebut berkaitan dengan ciri-ciri fisik dan motorik.

Beberapa karakteristik anak dengan Down Syndrome adalah sebagai berikut (Wiyani, 2014):

a. Anak Down Syndrome dengan tanda khas sangat mudah dikenali dengan adanya penampilan fisik yang menonjol berupa bentuk kepala yang relatif kecil dari normal (microchephaly) dengan bagian anteroposterior kepala mendatar.

b. Anak Down Syndrome memiliki paras wajah yang hampir sama seperti wajah orang mongolia.

c. Pada bagian wajah seseorang anak Down Syndrome biasanya tampak sela hidung yang datar. Pangkal hidungnya kemek. Jarak diantara dua mata jauh dan berlebihan kulit di sudut dalam. Ukuran mulutnya kecil, tetapi ukuran lidahnya besar dan menyebabkan lidah selalu terjulur (macroglossia).

d. Pertumbuhan gigi lambat dan tidak teratur.

e. Paras telinga lebih rendah. Kepala biasanya lebih kecil dan agak lebar dari bagian depan ke belakang. Lehernya agak pendek.

f. Sering kali mata menjadi sipit dengan sudut bagian tengah membentuk lipatan (epicanthal folds).

g. Seseorang anak Down Syndrome mengalami gangguan mengunyah, menelan dan bicara.

h. Hypogenitalism (mikropenis, scrotum dan testis kecil), hypospadias, cryptorchism dan keterlambatan perkembangan pubertas.

i. Seorang anak Down Syndrome memiliki kulit lembut, kering dan tipis.

Sementara itu, lapisan kulit biasanya tampak keriput (dermatoglyphics).

(7)

j. Seorang anak Down Syndrome memiliki tangan yang pendek termasuk ruas jari-jarinya serta jarak antar jari pertama dan kedua, baik pada tangan maupun kaki melebar. Mereka juga mempunyai jari-jari yang pendek dan jari kelingking membengkok ke dalam. Tapak tangan mereka biasanya hanya terdapat satu garisan urat dinamakan “simian crease”

k. Kaki agak pendek dan jarak diantara ibu jari kaki dan jari kaki kedua agak jauh terpisah dan tapak kaki.

l. Seorang anak Down Syndrome memiliki otot yang lemah yang dapat menyebabkan mereka menjadi lentur dan menghadapi masalah dalam perkembangan motor kasar. Masalah-masalah yang berkaitan seperti masalah kelainan organ-organ dalam terutama jantung dan usus.

m. Seorang anak Down Syndrome memiliki ketidakstabilan di tulang-tulang kecil dibagian leher yang menyebabkan berlakunya penyakit lumpuh (atlantoaxial insability). Ini menimpa 10% dari jumlah anak-anak yang mengalami Down Syndrome.

n. Sebagian kecil dari seseorang anak Down Syndrome memiliki risiko untuk mengalami kanker sel darah putih atau leukemia.

o. Masalah perkembangan belajar seseorang anak Down Syndrome secara keseluruhan mengalami keterbelakangan perkembangan dan kelemahan akal.

Pada tahap awal perkembangannya, mereka mengalami masalah lambat dalam semua aspek perkembangan yaitu lambat untuk berjalan, perkembangan motor halus dan bercakap.

p. IQ anak Down Syndrome ada di bawah 50

q. Pada saat berusia 30 tahun, seorang anak Down Syndrome kemungkinan dapat mengalami demensia (hilang ingatan, penurunan kecerdasan dan perubahan kepribadian).

2. Karakter Bahasa dan Bicara

Anak Down Syndrome mengalami gangguan bahasa reseptif karena pemahaman bahasa lebih jelek dari pada bahasa ekspresif. Kemampuan reseptif dan ekspresif sangat rendah sering diikuti dengan gangguan nonverbal dan mengalami keterbelakangan

(8)

mental (Njiokikjen C. et al., 2005). Dalam beberapa penelitian lain anak-anak dengan kondisi Down Syndrome yang usianya di bawah usia remaja biasanya difokuskan untuk bahasa reseptifnya (Price et al, 2007). Anak Down Syndrome mengalami kesulitan untuk bertutur kata dan lambat menguasai hal tersebut, mereka hanya dapat menggunakan kalimat pendek dan sulit untuk berkata-kata (Muhammad, 2007).

Permasalahan dari Down Syndrome menurut Weiss, C.E., Gordon, M.E., &

Lilywhite, H.S., 1987. Dalam buku Clinical Management of Articulatory and Phonologic Disorders. Baltimore: William & Wilkins

a. Artikulasi tidak jelas

b. Omisi, substitusi, dan distorsi fonem c. Jeda yang tidak tepat

d. Perkembangan bahasa yang terlambat e. Kesalahan prosodi

f. Gangguan kejelasan bicara

g. Sulit mendorong lidah ke belakang dan drolling/ngeces h. Kualitas suara rendah dan infleksi

i. Kecepatan bicara lambat

j. Prevalensi tinggi masalah irama kelancaran dan masalah pendengaran k. Lamanya respon terhadap stimulus.

l. Konsetrasi kurang dan hiperaktif.

m. Kondisi fisik yang lemah terutama organ artikulator n. Masalah penyesuaian sosial

o. Masalah akademik p. Kerusakan otak difus

Menurut Caselli et al., 1998; Chapman, Hesketh & Kistler, 2002; Laws & Bishop, 2003 dikutip dalam Estigarribia., Klusek., Martin & Roberts (2009) pada seorang anak Down Syndrome kemampuan bahasa ekspresif lebih lemah daripada kemampuan bahasa resptif. Berikut penulis menggambarkan kemampuan bahasa reseptif dan kemampuan bahasa ekspresif pada seorang anak Down Syndrome:

(9)

a. Kemampuan Oral Motor

Produksi bicara seorang anak Down Syndrome dengan anak lainnya mungkin mengalami perbedaan dalam struktur oral dan fungsinya (Miller &

Leddy, 1998 ; Stoel, G, 1997 dalam Estigarribia., Klusek., Martin & Roberts, 2009). Miller & Leddy (1998) dikutip dalam Estigarribia., Klusek., Martin &

Roberts (2009) menyatakan bahwa perbedaan struktur termasuk rongga mulut kecil dengan lidah yang relatif berukuran besar dan kecil, tinggi langit-langit melengkung serta perbedaan dalam sistem persarafan oral. Perbedaan- perbedaan ini yang dianggap menyebabkan seorang anak Down Syndrome memiliki permasalah bicara. Seorang anak Down Syndrome biasanya memiliki permasalahan seperti penurunan kecepatan bicara dan mengalami kesalahan artikulasi. Menurut Barnes, Roberts, Mirrett, Sideris & Misenheimer (2006) dalam Estigarribia., Klusek., Martin & Roberts(2009) mengemukakan bahwa dibandingkan dengan perkembangan anak normal lainnya seorang anak Down Syndrome memiliki perbedaan dalam struktur bibir, lidah, velopharynx, mengalami permasalahan bicara dan koordinasi organ artikulator yang melibatkan bibir, lidah, velopharynx dan laring.

b. Kemampuan Kognitif

Sekitar 80% dari seorang anak Down Syndrome memiliki permasalah dalam intelektual yang moderat, meskipun beberapa mengalami permasalahan intelektual yang parah (Pueschel, 1995; Roizen, 2007 dalam Estigarribia., Klusek., Martin & Roberts, 2009). Fidler, Hepburn, & Rogers (2006); Jarrold, Baddeley, & Hewes (1999); Klein & Mervis (1999) dalam Estigarribia., Klusek., Martin & Roberts (2009) mengemukakan pada seorang anak Down Syndrome juga mengalami permasalahan bahasa reseptif.

Memori jangka panjang pada seorang anak Down Syndrome juga tampaknya menjadi suatu permasalahan (Fidler, Hepburn, & Rogers, 2006;

Jarrold, Baddeley, & Hewes, 1999; Klein & Mervis, 1999 dalam Estigarribia., Klusek., Martin & Roberts, 2009).

(10)

c. Perkembangan Vokal Pre Linguistik dan Keterampilan Komunikasi Non Verbal Awal

Frekuensi dan variasi konsonan & vokal yang di ucapkan serta kemanpuan mengoceh seorang anak Down Syndrome mengalami keterlambatan dibandingkan dengan perkembangan anak normal seusianya (Dodd, 1972 ; Smith & Oller, 1981 ; Lynch et al., 1995 dalam Estigarribia., Klusek., Martin

& Roberts, 2009). Seorang anak Down Syndrome tampaknya menggunakan gerakan tubuh untuk berkomunikasi (Iverson, Longobardi & Caselli, 2003 dalam Estigarribia., Klusek., Martin & Roberts, 2009), meskipun fungsi komunikatif gerakan mungkin berbeda maknanya (Mundy, Kasari, Sigman &

Ruskin, 1995; Mundy , Sigman, Kasari & Yirmiya, 1988 dalam Estigarribia., Klusek., Martin & Roberts, 2009). Secara khusus Mundy, dkk (1995) dikutip dalam Estigarribia., Klusek., Martin & Roberts (2009) mengemukakan bahwa seorang anak Down Syndrome berusia 18-48 bulan mengalami permasalahan dalam berkomunikasi secara nonverbal dibandingkan usiak perkembangan anak normal pada umumnya.

d. Kemampuan Fonologi

Pada usia pra sekolah dan usia sekolah seorang anak Down Syndrome menunjukkan kesalahan fonologis sebagai permasalahan umum (Dodd, 1976;

Rosin et al., 1988 dikutip dalam Estigarribia., Klusek., Martin & Roberts 2009).

Ketidakkonsisten kesalahan menjadi hal yang utama dari karakteristik gangguan fonologis pada seorang anak Down Syndrome (Dodd & Thompson, 2001 dalam Estigarribia., Klusek., Martin & Roberts, 2009). Selanjutnya menurut Bleile & Schwartz, 1984; Dodd, 1976; Roberts et al., 2005; Smith &

Stoel- Gammon, 1983; Stoel-Gammon, 1980 dikutip dalam Estigarribia., Klusek., Martin & Roberts (2009) seorang anak Down Syndrome terus mengalami perkembangan kesalahan fonologis (kesalahan bunyi dan pola penyederhanaan). Seorang anak Down Syndrome memiliki gangguan fonologis yang terkait dengan pemahaman bahasa ekspresif yang mempengaruhi panjang ujaran anak (MLU) dan kesulitan membaca untuk anak-anak & remaja (Hukum, 1998, 2014 dalam Estigarribia., Klusek., Martin & Roberts, 2009).

(11)

Menurut Robert, dkk (2005) dikutip dalam Estigarribia., Klusek., Martin &

Roberts (2009) mengemukakan bahwa seorang anak Down Syndrome dengan jenis kelamin laki-laki lebih banyak mengalami kesalahan artikulasi seperti substitusi, omisi pada konsonan cluster, omisi konsonan akhir, distorsi dan adisi. Seorang anak Down Syndrome memiliki kejelasan bicara yang lebih buruk daripada usia perkembangan anak pada umumnya (Chapman, Seung, Schwartz, & Kay Raining Bird, 1998 dalam Estigarribia., Klusek., Martin &

Roberts, 2009).

Kejelasan bicara yang buruk mempengaruhi kemampuan bahasa yang dapat membantu menjelaskan perbedaan antara tingkat bahasa reseptif dan bahasa ekspresif yang terlihat pada seorang anak Down Syndrome (Bray &

Woolnough, 1988; Miller & Leddy, 1998 dalam Estigarribia., Klusek., Martin

& Roberts, 2009). Menurut Bray & Woolnough (1998) dikutip dalam Estigarribia., Klusek., Martin & Roberts, (2009) mengemukakan bahwa untuk berkomunikasi dengan seorang anak Down Syndrome menggunakan struktur kalimat yang lebih sederhana dan menggunakan kata-kata kunci akan mempermudah seorang anak Down Syndrome berkomunikasi dengan lingkungannya.

e. Kemampuan Kosa Kata

Perkembangan kemampuan bahasa reseptif seorang anak Down Syndrome mengalami keterlambatan dibandingkan perkembangan usia mental anak seusianya (Caselli, Monako, Trasciani, & Vicari, 2008; Hick, Botting, & Conti- Ramsden, 2005; Price, Roberts, Vandergrift, & Martin, 2007; Roberts, Price et al., 2007 dalam Estigarribia., Klusek., Martin & Roberts, 2009).

Pada seorang anak Down Syndrome akuisisi kata-kata pertama tertunda dan pertumbuhan selanjutnya dalam perkembangan bahasa ekspresif lebih lambat dibandingkan dengan perkembangan anak seusianya, 90% anak berusia tiga tahun dan 94% anak berusia lima tahun menghasilkan satu atau lebih kata (dengan 73% dari lima tahun memiliki 50 kata atau lebih) (Berglund, Eriksson,

& Johansson, 2001; Caselli et al., 1998; Mervis & Robinson, 2000 dikutip dalam Estigarribia., Klusek., Martin & Roberts, 2009).

(12)

f. Kemampuan Morfem dan Sintaksis

Rondal (2010) dikutip dalam Indah, R., N (2017) mengemukakan bahwa kesulitan utama perkembangan morfosintaksis pada penyandang Down Syndrome sebagai berikut:

1) Menyusun frasa dengan menggunakan kata-kata fungsional disamping kelas kata (nomina, verba, kata sifat, kata keterangan) sedemikian rupa untuk menyampaikan makna yang tepat.

2) Menghasilkan kata dengan imbuhan yang tepat.

3) Menyatukan frasa membentuk kalimat sederhana.

4) Menghasilkan beragam kalimat pragmatik (kalimat afirmatif, kalimat tanya, kalimat perintah, kalimat seruan).

5) Menyusun dan memahami perbedaan kalimat aktif dan pasif.

3. Suara

Tangisan bayi Down Syndrome memiliki melodi yang datar, nada suara lebih rendah di bandingkan dengan suara normal, tegang, dan keras. Kualitas suara anak dengan kondisi ini cenderung serak, monoton, parau, kasar, dan nasalitas, bila dibandingkan dengan suara anak normal pada umumnya. Ketegangan terjadi karena adanya hiper-adduksi ventrikel pada pita suara selama melakukan fonasi (Aronson &

Bless, 2009).

Referensi

Dokumen terkait

diantaranya yakni kebijakan pemerintah, penetapan peraturan perundang-undangan, atau bahkan putusan pengadilan. Prinsip Pengakuan dan Perlindungan Hak-Hak Warga Negara

Selain kewajiban dan tanggung jawab sebagaimana di atas, maka negara, pemerintah, dan pemerintah daerah harus menjamin perlindungan, pemeliharaan, dan kesejahteraan

Kajian aktifitas antimikroba ekstrak dan fraksi rimpang lengkuas (Alpinia galanga L. Swartz) terhadap mikroba perusak dan pathogen pangan [disertasi].. Bogor:

Penulis berharap dan berencana untuk menciptakan buku tentang alusista yang dimiliki oleh Tentara Nasional Indonesia (TNI) untuk memberi wawasan kepada warga negara Indonesia

1. Ketika Praktikan terjun dalam dunia kerja, Praktikan sedikit mengalami kesulitan karena budaya perusahaan sangat berbeda dengan kebiasaan yang praktikan

Namun yang juga tidak kalah pentingnya, adalah bagaimana cara menyimpan pakaian dengan benar agar tidak berbau yang kurang sedap, serta menjadi awet. Salah satu caranya adalah

Pembuatan Motion Graphic ini berdasarkan penelitian terhadap target audiens serta hasil dari wawancara kepada ahli dalam bidang penyakit leptospirosis, kemudian

Kebisingan yang paling utama berasal dari kendaraan yang menggunakan Jalan Setiabudi (di bagian Timur tapak, kendaraan dari arah Selatan) dan Jalan Sukawangi (di bagian Utara