KECENDERUNGAN CARA BERFIKIR ANAK CERDAS ISTIMEWA DALAM PEMECAHAN MASALAH GEOMETRI
(Studi Kasus Terhadap Seorang Anak 9 Tahun yang Diduga Berbakat Matematik dengan Kecenderungan Berfikir sebagai
Pembelajar Visual(-spasial) (Visual-spatial Learner))
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Sebagian dari Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan
Jurusan Pendidikan Matematika
Oleh
Abdurahman NIM. 0706444
JURUSAN PENDIDIKAN MATEMATIKA
FAKULTAS PENDIDIKAN MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA
KECENDERUNGAN CARA BERFIKIR ANAK CERDAS ISTIMEWA DALAM PEMECAHAN MASALAH GEOMETRI
(Studi Kasus Terhadap Seorang Anak 9 Tahun yang Diduga Berbakat Matematik dengan Kecenderungan Berfikir sebagai
Pembelajar Visual(-spasial) (Visual-spatial Learner))
oleh Abdurahman NIM. 0706444
Sebuah skripsi yang diajukan untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Pendidikan pada Fakultas Pendidikan Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
© Abdurahman 2013 Universitas Pendidikan Indonesia
Maret 2013
Hak Cipta dilindungi undang-undang.
LEMBAR PENGESAHAN
KECENDERUNGAN CARA BERFIKIR ANAK CERDAS ISTIMEWA DALAM PEMECAHAN MASALAH GEOMETRI
(Studi Kasus Terhadap Seorang Anak 9 Tahun yang Diduga Berbakat Matematik dengan Kecenderungan Berfikir sebagai
Pembelajar Visual(-spasial) (Visual-spatial Learner))
oleh Abdurahman NIM. 0706444
Menyetujui:
Pembimbing I,
Prof. Dr. H. Didi Suryadi, M. Ed. NIP. 195802011984031001
Pembimbing II
Dr. Dadan Dasari, M.Si. NIP. 196407171991021001
Mengetahui,
Ketua Jurusan Pendidikan Matematika
ABSTRAK
Perkembangan konsep cerdas istimewa dengan kesulitan ganda menambah variasi kelompok cerdas istimewa dan berbakat istimewa. Kelompok ini belum begitu dikenal di Indonesia dan sangat rentan mendapat kesalahan diagnosis, baik dalam kelompok di luar cedas istimewa maupun sub tipe kelompok cerdas istimewa dengan kesulitan ganda.
Walaupun kelompok cerdas istimewa dengan kesulitan ganda memiliki komorbiditas atau hambatan yang memungkinkan menghambat kemajuan dalam kehidupan mereka, kelompok ini memiliki potensi bakat istimewa yang tinggi sebagaimana kelompok cerdas istimewa tanpa kesulitan ganda pada umumnya.
Dalam penelitian ini digambarkan profil seorang anak sembilan tahun dari kelompok cerdas dengan gaya berfikir visual spatial learner (G/VsL) (bagian dari kelompok cerdas istimewa dengan kesulitan ganda) dan diduga memiliki bakat matematik. Salah satu karakter yang memunjukan bakat matematika subjek penelitian adalah fenomena temuan konsep-konsep geometri yang lebih dini dari usianya. Fenomena ini seolah-olah menunjukan subjek penelitian mampu berfikir deduktif, menguraikan konsep-konsep matematika untuk memperoleh rumus geometri. Namun, selama pengamatan berfikir deduktif subjek penelitian masih terbatas pada masalah konkret.
Untuk memahami fenomena yang dialami subjek penelitian, diujikanlah beberapa soal masalah matematika yang sesuai dengan perkembangan kognitif subjek penelitian. Hasil pengujian memperlihatkan pada masalah yang diminatinya proses berfikirnya sirkuler, tidak berhenti sampai mendapatkan informasi yang dibutuhkan. Dengan cara berfikir tersebut seringkali subjek penelitian mendapat selesaian yang melibatkan pengalaman insight. Setelah mendapat pengalaman insight tersebut, informasi tiba-tiba menjadi lengkap dan terbentuk skema pemahaman masalah yang baru.
Dalam pengamatan lapangan, subjek penelitian tidak memperlihatkan adanya kemajuan perkembangan kognitif yang lebih dini (baik diamati dengan tahap perkembangan kognitif Piaget maupun tingkat berfikir geometri van Hiele). Cara berfikir yang mampu membangun skema berfikir konsep geometri yang lebih dini dari usianya diduga akibat dari keunikan struktur dan aktivitas otak anak berbakat matematik.
ABSTRACT
The development of the concept of twice exceptional gifted add to the variation of group gifted and talented. In Indonesia, twice exceptional gifted is not so well-known and very fragile got wrong diagnosed either in group outside the gifted and talented or sub type on the twice exceptional gifted.
Although the twice exceptional gifted have multiple commorbidity or obstacles hindering progress in their lives, they have the potential talent as group the gifted and talented without trouble.
In research is described profile a child nine years of a group the gifted with visual-spatial learner (G/VsL) (a part of twice exceptional gifted) and suspected of having mathematically talented. One of the her character who indicate mathematically talented is the phenomenon findings concepts the geometry which earlier of her age. This phenomenon seems to indicate he is capable of deductive thinking, outlines mathematical concepts to derive the formula geometry. However, during the observation of her deductive thinking are still limited to concrete problems.
To understand the phenomenon experienced by research subjects, tested some issues about the appropriate mathematics to cognitive development research subjects. The test results showed their interest in the issue of circular thinking process, do not stop until you get the information you need. By way of thinking is often a subject of research involving solution got insight experience. After receiving the experience of insight, information suddenly becomes a full understanding of the problem and formed the new scheme.
DAFTAR ISI
a. Kecerdasan Istimewa sebagai Faktor Tunggal ... 17
b. Kecerdasan Istimewa sebagai Multifaktorial dan Dinamis ……… ... 18
c. Kelompok Cerdas Istimewa dengan Kesulitan Ganda ... 25
3. Gifted Visual-spatial Learner... 27
4. Konsep Berbakat Matematik ... 35
B. Cara Berfikir... 48
1. Pengertian Berfikir ... 48
2. Beberapa Macam Cara Berfikir ... 49
C. Perkembangan Kognitif dalam Pembelajaran Matematika ... 53
1. Teori Perkembangan Kognitif Piaget ... 53
2. Teori Perkembangan Berfikir Geometri van Hiele ... 65
3. Proses Belajar dalam Pandangan Aliran Psikologi Gestalt ... 73
D. Masalah dan Pemecahan Masalah Matematika... 75
1. Pengertian dan Jenis Masalah Matematika ... 75
2. Pengertian dan Langkah-langkah Pemecahan Masalah ... 78
BAB III METODOLOGI PENELITIAN... 79
A. Pendekatan Penelitian ... 79
B. Metode Penelitian Kualitatif ... 80
C. Desain Penelitian Studi Kasus ... 82
D. Objek dan Subjek Penelitian ... 83
E. Lokasi penelitian ... 85
F. Instrumen Penelitian... 85
G. Data dan sumber data ... 86
H. Teknik Pengumpulan Data ... 87
I. Analisis Data ... 90
J. Uji Keabsahan Data... 92
K. Tahap-tahap penelitian ... 95
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN... .... 97
A. Deskripsi Hasil Penelitian ... 97
b. Identifikasi Bakat Matematika ... 108
2. Gambaran Umum Pemahaman Orangtua terhadap Fenomena Pemahaman Materi Matematika Subjek Penelitian ... 116
3. Profil Tahap Perkembangan Kognitif Subjek Penelitian ... 122
4. Profil Pemahaman Konsep Luas Daerah Subjek Penelitian .... 141
5. Gambaran Pengalaman Insight Subjek Penelitian dalam Pemecahan Masalah Geometri ... 158
B. Pembahasan Fenomena Penguasaan Materi Geometri yang Lebih Dini pada Anak Berbakat Matematik ... 178
BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI... ... 183
A. Kesimpulan ... 183
B. Rekomendasi ... 185
DAFTAR PUSTAKA ... 189
LAMPIRAN ... 199
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Feldhusen (Dir PSLB, 2010a: 9) menyatakan bahwa, “anak cerdas
istimewa (gifted child) adalah anak yang diidentifikasi oleh seorang ahli dengan
kualifikasi profesional sebagai anak yang mempunyai kemampuan menonjol,
diharap potensi tersebut mampu menunjukkan prestasi yang tinggi”. Pengertian
ini seringkali mengarahkan pemahanan cerdas istimewa sebagai pribadi unggul
yang biasanya menunjukan prestasi akademik yang bagus. Namun, karena
kurangnya pengetahuan tentang anak cerdas istimewa, kuat dugaan anak-anak ini
kurang mendapat pelayanan pendidikan yang sesuai –yang berimplikasi pada
kurang teroptimalnya potensi kecerdasan istimewa mereka.
Sistem Pendidikan Nasional mengatur pendidikan bagi anak cerdas
istimewa, sebagaimana dinyatakan dalam UU No. 20 Tahun 2003 Pasal (5) ayat
(4) bahwa: “Warga negara yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa
berhak memperoleh pendidikan khusus”. Selanjutnya dalam Pasal (12) ayat (1)
poin (b) dan (f) dinyatakan bahwa: “Setiap peserta didik pada setiap satuan
pendidikan berhak: mendapatkan layanan pendidikan sesuai bakat, minat, dan
kemampuannya; serta menyelesaikan program pendidikan sesuai dengan
kecepatan belajar masing-masing dan tidak menyimpang dari ketentuan batas
waktu yang ditetapkan. Di samping itu penyelenggaraan pendidikan khusus bagi
anak cerdas istimewa, secara khusus, dijamin UU No. 23 tahun 2002 tentang
diberikan kesempatan dan aksesibilitas untuk memperoleh pendidikan khusus”.
(dalam undang-undang ini, makna istilah “anak dengan potensi kecerdasan dan
bakat istimewa” serta “anak yang memiliki keunggulan” mengarah pada
pengertian anak cerdas istimewa).
Namun, layanan pendidikan khusus bagi anak cerdas istimewa yang
diamanatkan sistem pendidikan nasional belum terealisasi secara optimal. Hal ini
terlihat dari prioritas layanan pendidikan anak cerdas istimewa yang masih
mengutamakan prosedur identifikasi dan program layanan hanya pada aspek
intelektualitas saja. Aspek lain, seperti pemahaman konsep anak cerdas istimewa
secara utuh, belum begitu diperhatikan. Padahal berdasarkan hasil penelitian
Feldhusen (1985) terungkap bahwa pendidik yang tidak disiapkan secara khusus
atau tidak memiliki latar belakang mendidik anak cerdas istimewa cenderung
bersikap negatif terhadap mereka (Wedadjati, 2008: 5).
Di samping itu, ada keraguan dari beberapa orang tua (termasuk di
dalamnya para pakar pendidikan) akan perlunya layanan pendidikan khusus bagi
anak cerdas istimewa dan bakat istimewa dengan berpendapat: “jika anak
betul-betul berbakat ia akan memenuhi kebutuhannya sendiri” (Munandar, 2009: 13).
Hal tersebut bertentangan dengan realita yang diungkapkan Wiyaiswara (Mukti,
2009: 1) dengan pernyataannya, yaitu sebagai berikut:
…membiarkan seorang anak berkembang sesuai dengan azas kematangan saja akan menyebabkan perkembangan menjadi tidak sempurna dan bakat-bakat luar biasa yang sebetulnya memiliki potensi yang dapat dikembangkan menjadi tidak berfungsi.
Senada dengan peryataan Wiyaiswara, Freeman (kompas, 28 September 2010)
biasa, bahkan mungkin punya kekuatan emosi yang lebih besar”. Kekeliruan
pemahaman karakteristik anak cerdas istimewa ini mengindikasikan perlunya
pemberian layanan pendidikan khusus bagi seluruh anak cerdas istimewa.
Secara umum, layanan pendidikan khusus untuk anak cerdas istimewa
(dan bakat istimewa), di Indonesia, masih belum memadai. Muhammad, SekJen
Asosiasi CIBI Nasional, (Republika OnLine, 15 Desember 2010) melaporkan
bahwa:
Indonesia memiliki sekitar 1,3 juta anak usia sekolah yang berpotensi Cerdas Istimewa dan Bakat Istimewa (CIBI) atau kerap disebut 'gifted-talented'. Sayangnya, baru 9.500 (0,7%) anak yang sudah mendapat layanan khusus dalam bentuk program akselerasi/percepatan.
Berdasarkan data tahun 2009 Muhammad (Harian Joglo Semar.com, 26 Februari
2010; Republika OnLine, 15 Desember 2010) merinci dari 260.471 sekolah di
Indonesia, baru 311 sekolah yang memiliki program layanan khusus bagi anak
CIBI (yaitu akselerasi) dengan persebaran yang kurang merata. Pernyataan
tersebut, secara tidak langsung, menunjukkan begitu sedikitnya anak cerdas
istimewa yang sudah mendapat layanan pendidikan khusus, itupun baru
menyentuh anak cerdas istimewa yang dapat mengikuti pendidikan di sekolah.
Tidak semua anak cerdas istimewa dapat berhasil di sekolah, khususnya
sekolah yang masih menerapkan strategi pendidikan konvensional. Secara umum,
anak cerdas istimewa prestasi belajarnya tinggi dalam pendidikan konvensional,
tetapi karena beberapa hal dapat pula ditemukan anak cerdas istimewa yang
prestasinya tidak optimal (underachievement) (Silverman, 2000: 7) bahkan dapat
bahwa lebih dari setengah populasi anak cerdas istimewa mempunyai masalah
yang mempengaruhi pencapaian prestasi akademiknya (Mönks & Ypenburg
(1995) dalam Dir PSLB, 2010c: 7). Direktorat pembinaan sekolah luar biasa
(2007: 6) di salah satu materi seminar menjelaskan:
… Bila 15-20 tahun yang lalu pemahaman anak cerdas istimewa adalah anak yang super cerdas dan tidak memiliki kesulitan dalam belajar maupun kesulitan lainnya, maka asumsi tersebut sekarang ini tidak lagi sepenuhnya benar. Konsep berkecerdasan istimewa (giftedness) berubah dari konsep perkembangan single dimensi yaitu giftedness sebagai perkembangan kognitif menjadi konsep multidimensional dan dinamis (Hoogeveen dkk, 2004), yang menyangkut bukan hanya perkembangan kognitif tetapi juga berbagai aspek tumbuh kembangnya, personalitasnya, gaya belajarnya, dan lingkungannya.
Dari pernyataan di atas setidaknya dikenal dua kelompok anak cerdas istimewa,
yaitu anak cerdas istimewa berprestasi dan anak cerdas istimewa dengan
hambatan berprestasi.
Tidak mudah untuk mengidentifikasian anak cerdas istimewa, karena
mereka bukanlah kelompok yang homogen. Tiap anak cerdas istimewa memiliki
karakteristik yang bervariasi. Hal ini dipengaruhi berbagai faktor, di antaranya:
jenis kelamin, kelompok sosial budaya, adanya cacat tersembunyi atau
terang-terangan, usia, dan apakah mereka mencapai atau kurang berprestasi (Reis dan
Sullivan, Tanpa tahun: 1-2).
Silverman, Direktur Gifted Development Center, mengusulkan mengelompokan cerdas istimewa menjadi dua kelompok, yaitu cerdas istimewa
pembelajar visual-spasial (CI/PVs) atau lebih dikenal sebagai gifted visual-spatial
learner (G/VsL) dan cerdas istimewa pembelajar audio-sequensial (CI/PAs) atau
ini berdasarkan bagaimana seseorang memperoleh, memproses, dan
mengkomunikasikan ide dan informasi (Hass, 2003: 1).
Dari dua kelompok ini, kekhasan tumbuh-kembang visual-spatial learner
(seringkali) menjadikan mereka kurang terlayani dalam layanan pendidikan
konvensional. Gaya berfikir (cognitive style) visual-spatial learner yang simultan
dan global serta tanpa kehilangan makna detilnya (van Tiel, tanpa tahun: 1), sulit
diterima dalam layanan pendidikan konvensional. Gaya berfikir ini berbeda
dengan pendekatan pendidikan konvensional yang lebih menekankan gaya
berfikir sekuensial, yaitu yang menuntut peserta didik bekerja langkah demi
langkah, menekankan pada latihan soal dan repetisi, reviu dan ujian yang dibatasi
oleh waktu (Dir PSLB, 2010b: 15).
Dalam menjawab soal masalah, khususnya matematika, kelompok G/VsL
cenderung tidak menampilkan pekerjaanya. Proses pekerjaan mereka cenderung
tidak bekerja langkah demi langkah. Pencapaian selesaian yang akurat, seringkali
mereka dapat secara intuitif. Namun, mereka tidak dapat menjelaskan bagaimana
proses penemuannya (Golon, 2004: 1 - 2).
Di samping itu, beberapa anak cerdas istimewa mengalami pola tumbuh
kembang tidak harmonis (dyssynchronie/asynchronous development), baik dalam aspek perkembangan dalam dirinya sendiri maupun ketidakharmonisan dengan
perkembangan teman-teman sebayanya (Dir PSLB, 2007: 8; Dir PSLB, 2010c:
170). Ketidakharmonisan perkembangan anak cerdas istimewa yang dimaksud
meliputi: kemampuan intelektual, kemampuan fisik, dan kematangan emosional.
ketidakharmonisan perkembangan yang semakin besar dan luas (Silverman dalam
Dir PSLB, 2007: 6).
Akibat dari ketidakharmonisan tumbuh kembang, beberapa anak cerdas
istimewa sulit ditangani dalam pendidikan konvensional. Sebagai contoh kasus
lompatan perkembangan kognitif yang dialami seorang ahli matematika terbesar
sepanjang masa, Carl Friedrich Gauss. Keunggulan perkembangan kognitif Gauss
sudah terlihat sejak usia dini. Di usia tiga tahun Gauss pernah mengoreksi
kesalahan kalkulasi ayahnya dalam bidang keuangan. Selanjutnya di usia tujuh
tahun Gauss pernah menegur jawaban gurunya mengenai kekeliruan hasil
penjumlahan tugas menghitung seratus bilangan dari 81297 + 91495 + 81693 + …
+ 100899. Peristiwa ini sangat mengejutkan gurunya sehingga dia merasa tidak
mampu mengajar Gauss lagi dan merelakan uang gajinya untuk membelikan
Gauss buku teks aritmetika terbaik
(http://www.mate-mati-kaku.com/matematikawan/carlFriedrichGauss.html; http://scientific-child-prodigy
.blogspot.com/2007/06/johann-carl-friedrich-gauss.html).
Dalam kasus lain, ketidakharmonisan tumbuh kembang anak cerdas
istimewa dapat pula diikuti dengan komorbiditas (commorbidity), yaitu suatu
gangguan lain yang muncul secara bersamaan atau menyertai diagnosa lain selain
kecerdasan istimewanya (Dir PSLB, 2010c: 39). Munculnya gangguan ikutan ini
berpotensi meningkatkan timbulnya masalah pencapaian prestasi anak cerdas
istimewa. Sebagai contoh, kasus yang dialami oleh sang penemu bola lampu
(kawat pijar bola lampu), Thomas Alva Edison.
mendunia, tetapi hanya beberapa orang yang tahu bahwa Edison merupakan anak
yang kurang beruntung di sekolah. Frith (2007: 8-9) memaparkan bahwa:
Di sekolah, guru Al mengeluh bahwa Al tidak memperhatikan pelajaran. Ia sering tertidur. Mungkin bosan atau tidak dapat mendengar apapun.
Suatu hari Al yang berusia delapan tahun mendengar gurunya memberitahu seseorang bahwa dia adalah anak yang “Linglung”. Maksud gurunya itu adalah ada kesemrawutan dalam otak Al. Ketika Al memberi tahu ibunya tentang hal ini, ibunya menjadi sangat marah. Ia mengeluarkan Al dari sekolah itu dan mulai mengajarinya di rumah.
Al sangat suka membaca. Betapa akan terkejutnya guru Al jika ia melihat buku-buku sulit yang diberikan ibu Al kepada Al untuk dibaca. Buku-buku tentang sejarah, alam, dan ilmu pengetahuan. Ia membaca buku-buku itu secepat mungkin. Ada satu buku favoritnya. Buku ini berjudul Ikhtisar Filosofi Alamiah dan Eksperimental. Itu adalah buku ilmu pengetahuan. Buku itu membahas tentang listrik, baterai, mainan-mainan elektrik, dan masih banyak lagi. Di dalamnya terdapat eksperimen-eksperimen sederhana….
Dari pemaparan di atas, Al (pangilan kecil untuk Thomas Alva Edison)
digambarkan sebagai seorang anak cerdas istimewa yang memiliki komorbiditas
berupa gangguan pendengaran. Dengan kondisi seperti ini Al tidak mampu
memperlihatkan prestasi yang baik di sekolah. Baru setelah Al keluar sekolah,
didukung pemilihan pendekatan pendidikan yang individual dari orangtuanya, Al
mengembangkan kecerdasan istimewanya sesuai dengan keunikannya.
Anak cerdas istimewa yang bermasalah di sekolah akibat kekhasan
tumbuh-kembang seperti dua kasus di atas dapat ditemukan di hampir semua
belahan dunia, termasuk Indonesia. Salah satu contohnya penulis temukan pada
satu keluarga yang berdomisili di Bandung dengan semua anaknya diduga
termasuk anak cerdas istimewa. Sebut saja Izzan anak kedua dari tiga bersaudara
mendapat berbagai label yang berbeda-beda dari para ahli, termasuk label sebagai
penyandang Asperger syndrome.
Terdiagnosa sebagai Asperger syndrome (AS) sempat membuat Ibunya
meragukan kecerdasan-istimewa Izzan. Kadang-kadang Izzan mengaku merasa
“blank”; seakan-akan kehilangan kontak dengan dunia; tidak merespon ketika
dipanggil atau diajak mengobrol secara verbal; konsentrasinyapun sangat mudah
terganggu ketika mendapat terlalu banyak stimulus.
Walaupun hasil perolehan skor test IQ total Izzan (22 Januari 2010)
mencapai lebih dari 140 (skala wescler) tetapi motivasi internal sangat kurang
(Bataviase.co.id, 1 Mei 2011). Dengan kondisi ini, Izzan memiliki kinerja yang
kurang baik dalam mengikuti kegiatan sekolah, bahkan dengan keinginan sendiri
dia memilih berhenti sekolah sejak Taman Kanak-kanak (Abdurahman, 2010: 57).
Dari pengamatan awal melalui wawancara dan catatan-catatan hasil belajar
Izzan dari orangtuanya (Ibunya), Izzan menunjukan ketertarikan pada fenomena
alam (fisika). Di usia enam tahun, Izzan mulai banyak bertanya tentang
Astronomi dengan pertanyaan kritis seorang anak, misalnya: bagaimana Newton
dapat menjelaskan hukum-hukum benda bergerak (planet) padahal Newton belum
pernah pergi ke luar angkasa. Karena ketertarikannya pada konsep fisika, ibunya
menawarkan Izzan untuk mempelajari materi dasarnya, yaitu matematika.
Dalam pembelajaran matematika Izzan memiliki ketertarikan yang tidak
biasa. Terbilang mulai tanggal 16 November 2008, Izzan belajar matematika
mengikuti Buku Sekolah Elektronik (BSE). Dalam waktu belajar yang relatif
tahun Izzan sudah mempelajari materi integral benda putar (wawancara pribadi,
April 2011).
Dalam dokumentasi catatan belajar matematika Izzan ditemukan
fenomena belajar Izzan yang unik. Tanpa diajarkan sebelumnya, Izzan mendapat
temuan gagasan-gagasan konsep geometri dengan cara berfikirnya sendiri. Di
usianya yang baru menginjak 6 Tahun 9 Bulan, Izzan mengkontruksi beberapa
rumus luas daerah dan volume bangun tiga dimensi hanya dengan cara
“membayangkan”. Temuan-temuan tersebut adalah sebagai berikut: fakta volume
kerucut merupakan sepertiga volume tabung; fakta luas permukaan bola adalah
empat kali luas daerah lingkaran; menghitung volume kerucut dengan pendekatan
volume limas; fakta volume kerucut adalah seperempat bola. Semua temuan itu
didapat pada hari yang sama.
Walaupun temuan Izzan bukan temuan baru, proses penemuan Izzan
merupakan fenomena yang menarik untuk diteliti. Temuan-temuan gagasan
geometri Izzan tidak melalui pembuktian penalaran secara deduktif, berhubung
perkembangan kognitif (Piaget)nya belum mencapai tahap operasional formal.
Dalam catatan belajar Izzan proses penemuan tersebut tidak begitu tergali. Ibunya
cukup puas dengan temuan-temuan Izzan sehingga lebih fokus
mendokumentasikan gagasan-gagasan yang dikemukakan Izzan. Dengan
demikian dokumentasi hasil belajar tersebut masih menyimpan pertanyaan tentang
bagaimana fenomena itu dapat terjadi.
Dari fenomena pemahaman pada beberapa materi matematika Izzan yang
berfikirnya untuk membangun gagasan baru. Dugaan ini didukung dari cara
belajar (berfikir) Izzan yang cenderung membangun konsep dari seluruh
pengalamanya –dan kemudian akan dipertanyakan kembali. Sebagai contoh
terlihat pada pembelajaran di usia tujuh tahun empat bulan. Ketika Ibunya
memperkenalkan konsep sudut, Izzan mengembangkannya konsep dengan
mempertanyakan derajat sudut lengkung. Ibunya yang kewalahan dengan
pertanyaan tersebut kemudian meminta bantuan kepada dosen matematika
kenalannya. Rupanya jawaban dosen tersebut kurang dapat memuaskan
keingintahuan Izzan –diapun mulai berteori. Ibunya yang penasaran dengan
pertanyaan Izzan melanjutkan mencari jawaban kembali dan akhirnya diketahui
bahwa pertanyaan Izzan merupakan materi kuliah Spherical Astronomi dari
jurusan Astronomi tingkat 2 di ITB. Dalam kuliah inilah dugaan Izzan mendapat
tanggapan yang baik.
Fenomena penguasaan beberapa materi matematika lebih dini yang
disebabkan karena cara berfikir yang berbeda sering kali dihubungkan dengan
karakter anak berbakat matematik. Anak berbakat matematik memiliki aktivitas
otak yang unik yang memungkinkan mereka dapat menanggapi masalah dengan
cara berfikir yang berbeda.
Bagi peneliti fenomena belajar Izzan sangat penting untuk diteliti karena
dapat menggambarkan bagaimana cara berfikir berbeda kelompok anak berbakat
matematik. Salah satunya karena alasan tersebut, peneliti tertarik mengangkat
fenomena tersebut ke dalam skripsi yang berjudul “Kecenderungan Cara
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian dari latar belakang maka rumusan masalah yang akan
dikaji dalam penelitian ini adalah:
1. Bagaimana kesesuaian indikator karakter dan perilaku berbakat matematika
pada subjek penelitian?
2. Bagaimana tingkat perkembangan kognitif subjek penelitian?
3. Bagaimana skema berfikir luas daerah bangun datar subjek penelitian?
4. Bagaimana proses terjadi pemahaman beberapa materi geometri subjek
penelitian yang dikuasai lebih dini dapat terjadi?
5. Bagaimana hubungan fenomena penelitian dalam kaitannya dengan cara
berfikir memahami masalah yang berbeda pada anak berbakat matematik?
C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penulisan ini adalah untuk memperoleh jawaban atas
masalah yang telah dirumuskan di atas. Tujuan tersebut adalah untuk:
1. Mengamati karakter dan perilaku bakat matematika pada subjek penelitian.
2. Menganalisa tingkat perkembangan kognitif subjek penelitian.
3. Menganalisa skema berfikir subjek penelitian terhadap luas daerah pada
bangun datar.
4. Mengamati proses terjadi pemahaman pada beberapa materi geometri subjek
penelitian yang dikuasai lebih dini.
5. Mendeskripsikan hubungan fenomena penelitian dalam kaitannya dengan cara
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi peneliti, pendidik, G/VsL, dan
orangtua G/VsL. Berikut ini mamfaat yang diharapkan, yaitu :
1. Bagi Peneliti, dengan penelitian ini diharapkan peneliti dapat:
a. Memahami karakteristik kelompok G/VsL berbakat matematik,
b. Menambah wawasan dan pengalaman tentang G/VsL,
c. Merancang bahan ajar matematika untuk anak G/VsL.
2. Bagi pendidik, dengan penelitian ini diharapkan pendidik dapat:
a. Mengoptimalkan pembelajaran matematika bagi anak G/VsL,
b. Mempertimbangkan penanganan kelompok G/VsL,
c. Mengurangi masalah belajar di kelas.
3. Bagi G/VsL, dengan penelitian ini diharapkan pembelajar G/VsL dapat:
a. Mengenal karakteristik sebagai G/VsL.
b. Memperoleh pembelajaran yang sesuai karakteristik G/VsL.
c. Mengatasi masalah belajar seorang G/VsL.
4. Bagi orangtua G/VsL, dengan penelitian ini diharapkan orangtua G/VsL dapat:
a. Memahami gaya belajar matematika kelompok G/VsL.
b. Membedakan karakteristik belajar matematika G/VsL (secara khusus)
dengan karakteristik penyandang AS.
c. Membantu mengurangi konflik keluarga dalam menangani penyandang
E. Batasan Istilah
Istilah yang digunakan pada suatu penelitian mempunyai makna tersendiri.
Untuk menghindari kesalahpahaman pembaca, peneliti memberi penjelasan
terhadap istilah-istilah yang terkait dalam penelitian, yaitu sebagai berikut:
1. Gifted Visual-spatial Learner (G/VsL)
Gifted Visual-spatial Learner merupakan salah satu kelompok Cerdas Istimewa dan Bakat Istimewa (CIBI) dengan pemikir khas, mereka memiliki
memori jangka panjang yang kuat dan keterampilan observasi. Mereka belajar
lebih baik dari melihat daripada mendengar; berfikir dalam gambar dan
biasanya “melihat” sesuatu secara “keseluruhan”. Pemrosesan ini
membutuhkan banyak waktu menerjemahkan gambar dan fikiran mereka ke
dalam kata-kata.
2. Anak berbakat matematik
Anak berbakat matematik merupakan bagian kelompok anak CIBI yang
menunjukan potensi kemampuan matematika yang menjanjikan. Mereka
memiliki stuktur dan aktivitas otak unik yang memungkinkan dapat
memahami masalah (matematika) yang cara berbeda.
3. Skema
Skema adalah suatu stuktur mental atau kognitif yang dengannya seseorang
secara intelektual beradaptasi dan mengkoordinasi lingkungan sekitarnya.
Skema seseorang mengalami perkembangan seiring dengan bertambahnya
4. Soal Pemecahan Masalah matematika
Suatu soal yang benar-benar baru bagi pemecah masalah, dan pada soal
tersebut tidak dapat ditemukan cara/teknik yang dapat digunakan secara
langsung menyelesaikan soal tersebut.
5. Insight learning
Merupakan proses belajar yang terjadi secara tiba-tiba sehingga proses belajar
menjadi lengkap. Insight learning tidak terjadi dengan sendirinya tetapi
merupakan hasil dari banyak pemikiran dan kerja keras dari
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
Pada bab ini dijelaskan mengenai metodologi yang digunakan dalam
penelitian ini mencakup: pendekatan penelitian; metode penelitian;desain penelitian
studi kasus; objek dan subjek penelitian; lokasi penelitian; instrumen penelitian; data
dan sumber data; teknik pengumpulan data; analisis data; uji keabsahan data; dan
tahapan penelitian. Adapun uraiannya sebagai berikut:
A. Pendekatan Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Menurut Strauss dan
Corbin dalam Cresswell (Rahmat, 2009: 2), yang dimaksud penelitian kualitatif
adalah jenis penelitian yang menghasilkan penemuan-penemuan yang tidak dicapai
(diperoleh) dengan menggunakan prosedur-prosedur statistik atau cara lain dari
kuantifikasi (pengukuran). Kirk dan Miller (1986 dalam Abidin, 2006: 31 - 32),
menyebut penelitian kualitatif sebagai suatu tradisi tertentu dalam ilmu pengetahuan
sosial yang secara fundamental tergantung pada pengamatan manusia dalam
kawasannya sendiri dan berhubungan dengan orang-orang dalam peristilahannya.
Bogdan dan Taylor memberi batasan sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan
data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang
diamati. Moleong (2005 dalam Kuntjojo, 2009: 15) menyatakan bahwa penelitian
kualitatif adalah penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa
bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai
metode alamiah.
Pendekatan kualitatif sering juga disebut sebagai metode alamiah (Lincoln
dan Guba, 1985) karena menghendaki adanya kenyataan-kenyataan sebagai keutuhan
yang tidak dapat dipahami jika dipisahkan dari konteksnya. Selain itu pendekatan
kualitatif sering juga disebut metode naturalistik karena penelitiannya dilakukan
dalam situasi yang wajar atau dalam “natural setting” (Nasution, 1988) (Abidin,
2006: 32).
B. Metode Penelitian Kualitatif
Dalam prakteknya kegiatan penelitian dengan pendekatan kualitatif, terdapat
berbagai jenis metode, misalnya (1) studi kasus; (2) etnografi; (3) fenomenologi; (4)
grounded theory; (5) etnometodologi; (6) life history; (7) observasi partisipan.
Masing-masing metode itu memiliki karakteristik dan teknik-teknik spesifik
tersendiri dalam mendekati dan menelaah sebuah fenomena sosial (Mudjianto, Tanpa
tahun: 156).
Berkaitan dengan metode penelitian kualitatif, penelitian ini menggunakan
metode studi kasus. Menurut Yin (1981 dalam Mudjianto, Tanpa tahun: 164), “studi
kasus adalah suatu inkuiri empiris yang menyelidiki fenomena di dalam konteks
kehidupan yang nyata, bilamana batasan antara fenomena dan konteks yang dipelajari
lain, studi kasus dibutuhkan apabila peneliti hanya memiliki sedikit peluang untuk
mengontrol peristiwa yang akan dipelajari, seperti cara berfikir anak cerdas istimewa.
Alasan-alasan utama pengunaan model pendekatan studi kasus dalam
penelitian ini, adalah sebagai berikut:
a. Cerdas istimewa merupakan suatu fenomena yang sulit dijelaskan. Baik
pengidentifikasian maupun pilihan pendidikan yang sesuai bagi mereka masih
dalam perdebatan para ahli. Konsep cerdas istimewa ini terus mengalami
perkembangan dan belum disepakati bersama.
b. Berkembangnya konsep cerdas istimewa dengan kesulitan ganda menambah
variasi cerdas istimewa sekaligus berpotensi munculnya pemahaman yang salah.
c. Karakter individu berbakat matematik sebagai bagian dari kelompok cerdas
istimewa belum begitu dipahami sebagian besar pendidik, orangtua, maupun
masyarakat disekitarnya.
d. Karakter individu berbakat matematik dapat pada anak-anak. Karakter anak
berbakat matematik lebih sulit teridentifikasi karena keunikan tumbuh-kembang
anak dan terkadang muncul tanpa diikuti prestasi matematika yang berarti.
e. Seringkali anak berbakat matematik tertarik pada suatu konsep matematika yang
lebih tinggi dengan usianya. Fenomena ini berpotensi disalahartikan oleh
masyarakat awam.
f. Pendidik maupun orang awam umumnya mengetahui bahwa anak berbakat
Namun, bagaimana perbedaan cara berfikir tersebut, belum diketahui dengan
jelas.
g. Cara berfikir merupakan proses mental yang sulit digeneralisasikan polanya.
C. Desain Penelitian Studi Kasus
Nachmias dan Nachmias (1976) mendeskripsikan desain penelitian sebagai
suatu rencana yang membimbing peneliti dalam proses pengumpulan, analisis dan
interpretasi observasi. Desain penelitian merupakan suatu model pembuktian logis
yang memungkinkan peneliti untuk mengambil inferensi mengenai hubungan kausal
antar variabel di bawah suatu penelitian. Desain penelitian tersebut juga menentukan
ranah kemungkinan generalisasi, yaitu apakah interpretasi yang dicapai dapat
digeneralisasikan terhadap suatu populasi yang lebih besar atau situasi-situasi yang
berbeda. (Philliber dkk, 1980) (dalam Mudjianto, Tanpa tahun: 157).
Studi kasus sendiri mempunyai beberapa desain penelitian. Berdasarkan
model pengkajiannya, yaitu eksploratif, deskriptif, dan eksplanatif. Berdasarkan
besaran atau jumlah kasus terkait dengan model analisisnya, yaitu: kasus tunggal
dengan single level analysis, kasus tunggal dengan multilevel analysis, kasus jamak
dengan single level analysis, dan kasus jamak dengan multi-level analysis. Dilihat
dari aspek pemilihan kasus sebagai obyek penelitian, ada tiga macam studi kasus
yang selama ini dikembangkan oleh para periset kualitatif, yaitu: intrinsic case study,
instrumental case study, dan collective case study (Mudjianto, Tanpa tahun: 161 -
Dari beberapa desain penelitian studi kasus di atas, desain penelitian ini
digolongkan ke dalam desain deskriptif, desain kasus tunggal dengan single level
analysis, dan desain instrumental case study. Desain penelitian jenis deskriptif, yaitu
penelitian yang bertujuan memberi gambaran atau menerangkan fenomena yang
diteliti. Desain penelitian kasus tunggal dengan single level analysis ialah analisa
yang digunakan untuk menyoroti perilaku individu dengan satu masalah penting.
Sedangkan penelitian instrumental case study merupakan studi atas kasus untuk
alasan eksternal, bukan karena ingin mengetahui hakikat kasus tersebut. Kasus hanya
dijadikan sebagai „sarana‟ untuk memahami hal lain di luar kasus, seperti misalnya
untuk membuktikan suatu teori yang sebelumnya sudah ada.
D. Objek dan Subjek Penelitian
Salah satu karakter dan perilaku bakat matematika adalah fenomena
penguasaan beberapa materi matematika yang lebih dini, lebih cepat dari pada
usianya. Fenomena ini sangat menarik untuk diteliti, karena bagaimanapun juga cara
berfikir anak berbeda dengan cara berfikir orang dewasa. Karena itu, yang dijadikan
objek penelitian adalah fenomena penguasan materi matematika yang lebih cepat dari
usianya akibat dari cara berfikir yang berbeda pada anak berbakat matematik.
Untuk memahami objek penelitian tersebut, peneliti memilih seorang anak
berusia sembilan tahun bernama Musa Izzanardi yang diduga termasuk anak berbakat
matematik sebagai subjek dari penelitian. Beberapa alasan peneliti mengkaji subjek
1. Subjek penelitian di usia dini telah menunjukan ketertarikan pada konsep
matematika. Subjek tertarik pada beberapa materi matematika di atas usianya,
bahkan dapat menyelesaikan beberapa soal masalah matematika dengan skema
berfikirnya sendiri.
2. Dari hasil tes IQ subjek penelitian dalam skala Wechsler, skor potensi IQ subjek
penelitian lebih dari 140 (termasuk kelompok cerdas istimewa). Namun, ada
ketidaksinkronan skor IQ, antara skor verbal-IQ (VIQ) dan performance- IQ
(PIQ) (VIQ>PIQ). Jika ketidaksingkronan ini memunculkan “gangguan”, subjek
penelitian dapat dikatagorikan sebagai cerdas istimewa dengan kesulitan ganda.
Dugaan ini diperkuat dengan kesuaian karakter subjek penelitian dengan daftar
ceklis karakter visual spatial learner dari Silveman (salah satu contoh kasus
kelompok cerdas istimewa dengan gaya belajar yang berbeda).
3. Subjek penelitian tidak mengikuti sekolah formal, dia seorang pelajar
homeschooling yang berdomisili di Bandung. Pembelajaran matematika dipelajari
subjek peneliti sesuai keinginannya. Hal tersebut memungkinkan, pengaruh
lingkungan luar (khusus guru) tidak begitu kuat sehingga proses pembentukan
skema berfikirnya terbentuk secara alami.
4. Dari usianya (Sembilan tahun), subjek penelitian diperkirakan belum mencapai
tahap berfikir formal dalam teori tahapan perkembangan kognitif Piaget.
Sehingga cara berfikirnya diperkirakan akan berbeda dengan cara orang dewasa
Melalui desain penelitian instrumental case study, kasus yang terjadi pada subjek
penelitian dijadikan sebagai sarana untuk memahami objek penelitian secara
mendalam.
E. Lokasi penelitian
Subjek penelitian merupakan pelajar homeschooling di kota Bandung yang
tidak terikat dengan ruang kelas. Karena itu lokasi pelaksanaan penelitian disesuaikan
dengan kesepakatan keluarga subjek penelitian.
F. Instrumen Penelitian
Menurut Sugiono (2009: 223), dalam penelitian kualitatif segala sesuatu yang
akan dicari objek penelitian belum jelas dan pasti masalahnya, sumber datanya, hasil
yang diharapkan semuanya belum jelas. Rancangan penelitian masih bersifat
sementara dan akan berkembang setelah peneliti memasuki objek penelitian. Dengan
ketidakpastian tersebut, instrumen penelitian belum dapat dikembangkan sebelum
masalah yang diteliti jelas. Oleh karena itu dalam penelitian kualitatif, peneliti
merupakan intrumen kunci.
Peneliti adalah instrumen utama dalam penelitian kualitatif. Namun
selanjutnya setelah fokus penelitian menjadi jelas, maka kemungkinan akan
dikembangkan instrumen penelitian yang sederhana, yang diarahkan dapat
melengkapi data dan membandingkan dengan data yang telah ditemukan melalui
Penelitian kualitatif tidak lepas dari validasi. Walaupun instrumen utamanya
adalah peneliti, peneliti dituntut mampu memvalidasi diri melalui evaluasi diri:
seberapa jauh pemahaman peneliti terhadap metode kualitatif, pengusaan teori dan
wawasan terhadap bidang yang diteliti, serta kesiapan dan bekal memasuki lapangan.
untuk itu peneliti harus mengumpulkan dan mempelajari banyak data yang
berhubungan dengan objek dan subjek penelitian. Karena itu peneliti melakukan studi
literatur yang mendalam terhadap kasus-kasus yang berhubungan dengan cara berfikir
subjek penelitian terhadap pemecahan masalah matematika.
G. Data dan sumber data
Sumber data merupakan segala keterangan atau informasi mengenai hal yang
berkaitan dengan masalah dibahas. Dalam hal ini sumber data yang digunakan
adalah:
a. Sumber data primer yaitu sumber data yang mempunyai kaitan langsung dengan
masalah-masalah yang dibahas (Sugiono, 2009: 225), data ini diperoleh dari
pengamatan dan wawancara mendalam.
b. Sumber data sekunder yaitu sumber data yang digunakan atau diperoleh secara
tidak langsung dalam permasalahan yang dibahas (Sugiono, 2009: 225). Data ini
diperoleh dari. catatan-catatan belajar subjek penelitian dari orangtua subjek,
artikel dan laporan hasil penelitian tentang visual spasial learner dan
mathematically gifted yang bersumber dari internet, artikel-artikel tentang cerdas
orangtua subjek dan pembina kelompok diskusi mailinglist
anakbakat@yahoogroups.com melalui jejaring sosial facebook, dan perbandingan
pengalaman peneliti dalam menyelesaikan soal pemecahan masalah geometri.
H. Teknik Pengumpulan Data
Untuk memperoleh data yang berhubungan dengan fenomena cara berfikir
subjek penelitian terhadap (soal) masalah matematika, peneliti menggunakan
beberapa teknik pengumpulan data. Sugiono (2009: 225) membagi empat macam
teknik pengumpulan data yang umum digunakan dalam penelitian kualitatif, yaitu:
observasi, wawancara, dokumentasi, dan gabungan/triangulasi.
Teknik yang digunakan pada penelitian ini adalah triangulasi. Triangulasi
merupakan teknik pengumpulan data yang menggabungkan berbagai teknik (metode)
pengumpulan data dan sumber data yang tersedia. Tujuan triangulasi bukan untuk
mencari kebenaran dari suatu fenomena, tetapi lebih pada peningkatan pemahaman
peneliti terhadap apa yang telah ditemukan (Sugiyono, 2009: 241).
Jenis triangulasi yang digunakan dalam penelitian ini lebih pada triangulasi
“teknik” pengumpulan data, yaitu mengunakan bermacam-macam metode pada
sumber yang sama (Sugiono, 2009: 241). Adapun metode-metode pengumpuan data
yang dimaksud adalah sebagai berikut:
1. Observasi
Observasi yaitu teknik pengumpulan yang mengharuskan peneliti turun ke
waktu, peristiwa, tujuan dan perasaan (Kurniawan dkk, 2008: 8). Faisal (1990 dalam
Sugiyono, 2009: 226) mengklasifikasikan observasi menjadi observasi berpartisipasi,
observasi secara terang-terangan dan tersamar, dan observasi yang tak struktur.
Observasi dalam penelitian ini dilakukan dengan tidak berstruktur. Hal ini karena
dalam penelitian ini belum begitu jelas. Dalam observasi penelitian ini, tidak
menggunakan instrument penelitian yang baku. Peneliti hanya menggunakan
rambu-rambu pengamatan. Peneliti dapat melakukan pengamatan bebas, mencatat hal-hal
yang menarik, melakukan analisi dan kemudian membuat simpulan.
2. Wawancara
Wawancara merupakan pertemuan dua orang untuk pertukaran informasi dan
ide melalui tanya jawab, sehingga dapat mengkontruksi makna dalam suatu topik
tertentu. Esterberg (2002, dalam Sugiyono, 2009: 233) mengemukakan beberapa
macam wawancara, yaitu wawancara terstruktur, semiterstruktur, dan tidak
terstruktur. Dalam penelitian ini digunakan teknik wawancara tidak terstruktur.
Wawancara tidak terstruktur merupakan wawancara bebas, peneliti tidak
menggunakan pedoman wawancara yang tersusun sistematis dan lengkap untuk
mengumpulkan data. Pengunaan pedoman wawancara hanya berupa garis-garis besar
permasalahan yang akan ditanyakan.
Dalam wawancara tidak terstruktur, peneliti diharapkan lebih banyak
mendengar apa yang diceritakan subjek penelitian. Peneliti dituntut mampu
“berputar-putar baru menukik” agar pertanyaan fokus pada satu tujuan (Sugiono,
2009: 234). Metode wawancara seperti ini bertujuan untuk mengali lebih dalam
informasi tentang subjek penelitian.
Dalam prakteknya metode wawancara dapat dilaksanakan bersama-sama
dengan observasi (Sugiono, 2009: 232) (dalam waktu yang sama atau bergantian).
Hasil wawancara dapat dicek melalui observasi ataupun sebaliknya. Baik
dilaksanakan dalam waktu yang sama maupun bergantian, teknik wawancara dan
teknik observasi dapat saling melengkapi data penelitian. Kombinasi kedua teknik ini
dapat menghasilkan data yang lebih mendalam.
Pengunaan kombinasi metode wawancara dan observasi dimaksudkan agar
mendapat pengamatan yang lebih mendalam dalam pengumpulan informasi tentang:
1) kesesuaian daftar ceklis karakter dan perilaku bakat matematika pada subjek
penelitian; 2) tingkat berfikir kognitif subjek penelitian; 3) penguasaan materi
matematika subjek penelitian; 4) skema berfikir subjek penelitian terhadap materi
matematika yang dikuasinya; 5) pemahaman jenis-jenis masalah dan strategi
penyelesaian masalah subjek penelitian; 6) proses pencarian selesaian masalah subjek
penelitian.
3. Dokumentasi
Metode dokumentasi merupakan pengumpulan data dengan menggunakan
data sekunder yang bersumber dari catatan-catatan publik tentang hal-hal penting
Metode dokumentasi, peneliti lakukan di sepanjang penelitian. Sebelum
memasuki lapangan, peneliti mempelajari catatan-catatan belajar subjek penelitian
dari orangtua subjek untuk memahami bagaimana keberadaan karakter dan perilaku
bakat matematika subjek penelitian serta cara berfikir subjek penelitian berdasarkan
pandangan orangtua (sebagai pendidik subjek penelitian). Dalam kesempatan ini
peneliti juga mempelajari bagaimana terjadinya proses pembelajaran matematika
subjek penelitian. Hasil dokumentasi ini akan dijadikan sebagai petunjuk untuk
menyusun instrumen tes yang yang akan digunakan dalam pengumpulan data pada
tahap berikutnya.
Studi dokumentasi tetap dilakukan selama penelitian di lapangan dan
setelahnya. Selama penelitian di lapangan, seiring dengan semakin jelasnya fokus
penelitian, studi dokumentasi digunakan untuk menyempurnakan penyusunan
instrumen penelitian. Setelah penelitian di lapangan selesai, studi dokumentasi
digunakan untuk menguji keabsahan data. Temuan-temuan di lapangan kemudian
dicari kesesuaian dengan studi literatur terhadap laporan hasil-hasil penelitian yang
relevan dan artikel ilmiah yang berhubungan. Jika dalam hasil analisis tersebut data
belum mengarah pada satu kesimpulan, dilakukan perpanjangan pengamatan sampai
data jenuh.
I. Analisis Data
Analisis data kualitatif adalah proses mencari dan menyusun secara sistematis
sehingga dapat mudah difahami, dan temuannya dapat diinformasikan kepada orang
lain (Sugiono, 2009: 244).
Analisis data dalam penelitian kualitatif dilakukan sejak sebelum memasuki
lapangan, selama di lapangan, dan setelah selesai di lapangan (sugiyono, 2009: 245).
Miler dan Huberman mengemukakan bahwa aktivitas dalam analisis data kualitatif
dilakukan secara interaktif dan berlangsung secara terus menerus sampai tuntas,
sehingga datanya jenuh (Sugiono, 2009: 246). Aktivitas dalam analisis data yaitu:
reduksi data, penyajian data, penarikan kesimpulan dan verifikasi.
1. Reduksi data (data reduction)
Selama penelitian kualitatif, jumlah data akan semakin banyak, kompleks, dan
rumit. Mereduksi data berarti merangkum, memilih hal-hal pokok, memfokuskan
pada hal-hal penting, dicari tema dan polanya sehingga memperoleh gambaran
masalah yang jelas (Sugiono, 2009: 247).
2. Penyajian data (data display)
Data yang telah direduksi kemudian disajikan agar data lebih terorganisir,
tersusun dalam pola hubungan, sehingga semakin mudah difahami. Bentuk penyajian
data dalam penelitian kualitatif umumnya disajikan dalam bentuk teks naratif. Selain
naratif dapat juga dibentuk dalam grafik, matrik, network (jejaring kerja), dan chart
(Sugiono, 2009: 249).
Dalam penelitian kualitatif umumnya kesimpulan awal telah dibuat.
Tujuannya adalah untuk menduga jawaban yang mungkin dari rumusan masalah
dalam proposal penelitian.
Pada tahap ini bertujuan untuk mendapat kesimpulan yang kredibel. Dalam
penelitian kualitatif, seringkali kesimpulan awal bersifat sementara dan akan berubah
bila tidak ditemukan bukti-bukti yang kuat yang mendukung pada tahap
pengumpulan data berikutnya. Tetapi apabila kesimpulan didukung oleh bukti yang
valid dan konsisten (jenuh) saat pengumpulan data di lapangan, kesimpulan seperti
inilah yang merupakan kesimpulan yang kredibel (Sugiono, 2009: 252).
J. Uji Keabsahan Data
Untuk mempertanggungjawabkan kredibilitas dalam penelitian ini, peneliti
menguji keabsahan data dengan cara berikut:
1. Melaksanakan triangulasi
Triangulasi adalah langkah yang dilakukan untuk menguji keabsahan data
penelitian, terutama tentang konsistensi dari data tersebut. Sugiyono (2009: 273)
membagi tiga jenis triangulasi, antara lain: triangulasi sumber data, triangulasi teknik
pengumpulan data, triangulasi waktu pengumpulan data.
Penelitian ini hanya menggunakan triangulasi teknik pengumpulan data.
Triangulasi teknik pengumpulan data merupakan pengujian kredibilitas data yang
dilakukan dengan cara mengecek data kepada sumber yang sama dengan teknik
penelitian ini adalah wawancara, observasi, dan dokumentasi. Triangulasi sumber
data sulit terlaksana karena cara berfikir merupakan proses individual yang
tergantung pada pengalaman pemikir yang bersangkutan. Sangat sulit mendapat data
valid dari cara befikir seseorang dari dari orang lain. Sedangkan alasan triangulasi
waktu pengumpulan data tidak dilaksanakan karena pemahaman seseorang itu dapat
dipengaruhi pengalaman, cara berfikir seseorang pada saat ini kemungkinan akan
berbeda dengan cara berfikir di waktu yang lain karena bertambahnya pengalaman.
2. Memperpanjang pengamatan
Pada awal melakukan pengamatan, peneliti mungkin masih dianggap orang
asing, masih dicurigai, sehingga informasi yang diberikan masih belum lengkap.
Untuk mengatasi hal tersebut, peneliti dapat mengeceknya dengan melakukan
perpanjangan pengamatan. Dengan perpanjangan pengamatan ini, hubungan peneliti
dengan narasumber (subjek penelitian dan orangtua subjek penelitian) akan semakin
berbentuk rapport, semakin akrab (tidak ada jarak lagi), semakin terbuka, saling
mempercayai sehingga tidak ada informasi yang disembunyikan lagi. Bila telah
terbentuk rapport, maka akan terjadi kewajaran dalam penelitian, kehadiran peneliti
tidak lagi mengganggu perilaku yang sedang dipelajari (Sugiono, 2009: 271).
Perpanjangan pengamatan dilakukan jika data yang subjek penelitian
meragukan. Misalnya peneliti merasa ragu dengan pernyataan subjek penelitian yang
mengatakan tidak dapat menyelesaikan masalah dengan pendekatan aljabar. Peneliti
pemainan peneliti memberikan tes dan mewawancarainya hingga memperoleh
jawaban yang meyakinkan.
3. Diskusi dengan teman sejawat
Dalam pengecekan data kualitatif ada kalanya pendapat peneliti terlalu kuat
sehingga fenomena yang sebenarnya tidak teranalisis dengan baik. Analisis penelitian
ini membutuhkan orang lain untuk mendampinginya selama proses penelitian. Proses
pendampingan ini dapat diarahkan sebagai teman berdiskusi untuk mengulas tentang
pelaksanaan penelitiannya, atau dapat juga diarahkan sebagai teman untuk berdebat
yang selalu mengkritisi peneliti dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang
tajam mengenai penelitian.
Dalam melaksanakan penelitian ini, peneliti mandapatkan banyak teman
diskusi, termasuk dosen pembimbing, keluarga subjek penelitian, kelompok diskusi
mailinglist anakbakat@yahoogroups.com, dan orang-orang yang tertarik pada
penelitian anak cerdas istimewa.
4. Menggunakan bahan referensi
Bahan-bahan referensi dapat digunakan sebagai alat yang dapat mengkritisi
hasil penelitian, terutama untuk keperluan evaluasi dan konfrontasi teori, guna
menguji atau mengikis asumsi dan prasangka peneliti ketika melakukan proses
analisis informasi. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan berbagai bahan
referensi seperti berupa hasil penelitian terdahulu yang sejenis, buku-buku dan
K. Tahap-tahap penelitian
Fenomena penguasan materi matematika yang lebih cepat dari usianya karena
cara berfikir yang berbeda dari anak berbakat matematik merupakan masalah yang
tidak umum dalam penelitian. Sejauh pengetahuan peneliti, belum ada penelitian
khusus yang menjelaskan fenomena tersebut. Karena itu rancangan penelitian disusun
dari dugaan-dugaan yang bersifat sementara dan akan berkembang selama proses
penelitian.
Untuk memudahkan memahami bagaimana proses penelitian berlangsung,
berikut dipaparkan garis-garis besar dari tahapan penelitian, yaitu:
1. Studi literatur mengenai subjek dan objek penelitian
Pada tahap ini bertujuan untuk mencari fokus penelitian serta menyusun
instrumen yang akan digunakan selama penelitian.
2. Pengecekan bakat matematika terhadap subjek penelitian
Pada tahap ini dikumpulkan data berupa dokumentasi hasil tes IQ dan catatan
dalam akun pribadi facebook orangtua subjek tentang karakter kecerdasan istimewa
subjek penelitian, wawancara tentang keberadaan karakter G/VsL subjek penelitian
pada Orangtua subjek, dan menguji kemampuan spasial subjek penelitian dengan
intrumen tes. Pengumpulan data tersebut bertujuan untuk memastikan bahwa subjek
penelitian tidak mengalami hambatan dalam berfikir kreatif.
3. Pengecekan keberadaan fenomena objek penelitian pada subjek penelitian
Pengecekan dilakukan dengan mengumpulkan data dokumentasi catatan hasil belajar
subjek penelitian dalam akun pribadi facebook orangtua subjek dan mempelajari
literatur-literatur tentang perkembangan kognitif anak, serta melakukan pengamatan
langsung proses pemecahan masalah subjek penelitian terhadap soal masalah
geometri yang dikuasainya.
Pada tahap ini juga dilakukan pengecekan bagaimana subjek penelitian
mempelajari materi geometri. Pengamatan ini dilakukan untuk meyakinkan bahwa
“keaslian” pemecahan masalah subjek penelitian bukan didapat dari hasil latihan.
4. Observasi pemahaman masalah dan strategi pemecahan masalah subjek penelitian
Tahap ini merupakan pendalaman dari pengumpulan data tahap sebelumnya.
Pada tahap ini diberikan bermacan-macam masalah geometri untuk dipilih dan di cari
penyelesaiannya oleh subjek penelitian. Baik masalah yang dipilih maupun yang
tidak dipilih akan diwawancara dan diamati untuk menggali pemahaman masalah dan
strategi pemecahan masalah subjek penelitian.
5. Analisis data (kasus) dan uji keabsahan data
Analisis data dilaksanakan sepanjang penelitian sampai diperoleh kesimpulan
studi kasus yang kredibel. Untuk menguji kredibilitas data digunakan beberapa teknik
uji keabsahan data yang telah dikemukakan sebelumnya.
6. Kesimpulan dan rekomendasi
Pada tahap ini disusun kesimpulan dari penelitian dan rekomendasi hasil
BAB V
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
A. KESIMPULAN
Berdasarkan uraian-uraian hasil penelitian yang telah dikemukakan pada
bab-bab sebelumnya, dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut:
1. Subjek penelitian teridentifikasi dalam kelompok cerdas istimewa dengan gaya
berfikir visual spatial learner. Secara umum cara berfikir kelompok ini berbeda
dan paling mungkin belajar melalui pengalaman insight.
2. Fenomena pemahaman beberapa materi geometri yang lebih dini dari usia subjek
penelitian dapat dijelaskan dalam psikologi aliran Gestalt melalui insight
learning. Proses belajar ini diawali dengan proses trial and error (coba-coba dan
kesalahan) dan setelah muncul pengalaman insight, subjek penelitian segera
mendapat pemahaman baru yang berbeda dengan skema berfikir sebelumnya.
3. Fenomena pemahaman beberapa materi geometri yang lebih dini dari usia subjek
penelitian bukan pertanda kemajuan perkembangan kognitif yang lebih dini.
Pemahaman tersebut dibangun dari skema lama subjek penelitian yang belum
tentu skema tersebut memiliki kelengkapan seperti skema orang dewasa.
Kemampuan menggeneralisasi materi matematika tersebut termasuk dalam salah
satu karakter anak berbakat matematik.
4. Fenomena belajar matematika subjek penelitian dapat dijadikan indikator
5. Cara Subjek penelitian memecahkan soal masalah mencari luas daerah kurva
tertutup sederhana yang dikuasainya umumnya dengan cara memanipulasi daerah
kurva dengan memanfaatkan konsep luas daerah bangun datar yang dikuasainya.
Manipulasi daerah kurva tersebut dapat dilakukan dengan cara membagi daerah
kurva menjadi beberapa daerah atau menanbahkan daerah kurva agar menjadi
bentuk daerah bangun datar yang dikuasainya.
6. Selama memecahkan masalah yang melibatkan pengalaman insight perilaku dan
fokus pemikiran subjek penelitian berubah-ubah. Diawali dengan kecemasan yang
diperlihatkan dengan banyak bergerak. Perilaku tersebut berubah menjadi
keriangan setelah mengalami pengalaman insight. Perubahan tingkah laku
tersebut diduga berhubungan dengan struktur dan aktivitas otak anak berbakat
matematik yang berbeda.
7. Pengalaman insight dapat mengarahkan pada selesaian masalah atau hanya
membantu memahami masalah.
8. Pemecahan masalah yang melibatkan pengalaman insight setidaknya dipengaruhi
oleh minat dan skema berfikir pemecah masalah.
9. Pemecahan masalah yang melibatkan pengalaman insight dapat didokumentasikan setidaknya jika pengamat dapat mengikuti proses pemecahan
masalah dari awal dan mengamati skema berfikir yang diamati sebelum dan
B. REKOMENDASI
Berkaitan dengan hasil penelitian, pada bagian ini dikemukakan beberapa
rekomendasi yang ditujukan pada beberapa pihak yang terkait. Rekomendasi yang
dimaksud adalah sebagai berikut:
1. Subjek penelitian
Rekomendasi ini bertujuan untuk pengembangan pembelajaran matematika
subjek penelitian. Rekomendasi tersebut sebagai berikut:
a. Agar proses pemecahan masalah subjek penelitian dipahami orang lain, subjek
penelitian perlu mencoba berlatih menuliskan langkah-langkah pemecahan
masalah secara rinci. Penulisan langkah-langkah pemecahan masalah ini dapat
membantu mengoreksi kemungkinan kesalahan subjek penelitian.
b. Untuk mengembangkan kemampuan pemecahan masalah, subjek penelitian dapat
berlatih berbagai strategi pemecahan masalah yang sudah ada. Dengan variasi
strategi pemecahan masalah subjek penelitian dapat memilih strategi seperti apa
yang paling efisien untuknya.
c. Agar pemahaman geometri subjek penelitian berkembang, subjek penelitian dapat
mulai berlatih menyelesaikan masalah geometri yang berhubungan dengan
2. Bagi Orangtua Subjek penelitian
Memenuhi keinginan belajar anak yang berfikir dengan cara yang berbeda
mungkin menyulitkan. Untuk membantu orangtua memberikan pembelajaran yang
sesuai dengan subjek penelitian disusunlah rekomendasi berikut:
a. Dibandingkan memberikan pembelajaran yang diinginkanan subjek penelitian,
peneliti menyarankan memberikan pendalaman materi yang dikuasainya untuk
melengkapi skema berfikir subjek penelitian.
b. Untuk menghindari pembelajaran yang mengganggu waktu tidur sebaiknya
orangtua melakukan penjadwalan belajar subjek penelitian yang disepakati
bersama. Selain itu pemberian ruang belajar yang bebas dari gangguan (suara
gaduh dan faktor yang mengganggu lainnya) dapat membantu penyelesaian
masalah subjek penelitian tanpa harus menunggu malam hari.
c. Selain memberikan bimbingan dan pelatihan untuk kemampuan subjek penelitian
yang kurang, faktor kuat subjek penelitian perlu dikembangkan untuk
menghindari kebosanan subjek penelitian.
3. Bagi Pendidik
Memberikan pelayanan pendidikan untuk semua peserta didik adalah tugas
pendidik. Berikut ini beberapa rekomendasi penganan pembelajaran matematika
untuk anak dengan cara berfikir yang berbeda.
a. Untuk menghindari konflik karena cara berfikir yang berbeda, pendidik sebaiknya
b. Pendidik harus memberikan kebebasan belajar sesuai dengan cara berfikir peserta
didik agar skema berfikirnya berkembang. Sesekali pendidik dapat berdiskusi
dengan peserta didik tentang skema pemahaman materi-materi matematika dan
bila memungkinkan dapat juga melengkapi skemanya.
c. Jika cara berfikirnya berpotensi mengganggu peserta didik yang lain sebaiknya
peserta didik tersebut belajar terpisah dengan materi yang disesuaikan
perkembangan berfikirnya.
4. Penelitian Selanjutnya
Bagaikan fenomena gunung es, dalam penelitian ini bermunculan
masalah-masalah yang menarik untuk diteliti. Berikut ini beberapa rekomendasi yang dapat
digunaan perbaikan dan pengembangan penelitian kecenderungan cara berfikir anak
cerdas istimewa.
a. Agar mendapat gambaran kecenderungan cara berfikir anak cerdas istimewa yang
lebih mendalam, ada baiknya pengamatan lapangan dilakukan oleh beberapa
pengamat dari berbagai disiplin ilmu. Setiap pengamat dapat mengamati satu atau
lebih fokus pengamatan sehingga akan didapat gambaran fenomena dari berbagai
sudut pandang.
b. Penggunaan instrumen pengidentifikasian karakter visual spatial learner dan
instrumen pengamatan perkembangan kognitif pada anak berbakat matematik dari
kelompok selain cerdas istimewa dengan gaya berfikir visual spatial learner
gaya berfikir visual spatial learner dengan kelompok anak berbakat matematika.
Selain itu akan juga diperoleh gambaran hubungan tingkat perkembangan kognitif
dengan pencapaian matematika pada anak berbakat matematik.
c. Penelitian tentang hubungan model The Three Ring dari Renzulli dengan
kelompok cerdas istimewa dengan kesulitan ganda dapat membantu prosedur
pengidentifikasian anak cerdas istimewa yang membutuhkan layanan pendidikan
khusus.
d. Penelitian hubungan tugas berfikir spasial dengan anak berbakat matematik dari
kelompok cerdas istimewa dengan gaya berfikir visual spatial learner dapat
memberikan gambaran pada kelompok visual spatial learner seperti apa yang
paling berpeluang menjadi anak berbakat matematik.
e. Untuk memahami hubungan kelompok cerdas istimewa dengan asperger
syndrome dan kelompok cerdas istimewa dengan gaya berfikir visual spatial
learner, perlu diteliti kecenderungan cara berfikir kelompok cerdas istimewa dengan asperger syndrome dalam materi matematika.
f. Untuk mendapat gambaran aktivitas pemecahan masalah matematika, pengunaan
DAFTAR PUSTAKA
Abdurahman. (2010). Mengenal Gaya Belajar Matematika Penyandang “The
Einstein Syndrome”. Tugas Seminar Pendidikan Matematika pada
FPMIPA UPI. Tidak diterbitkan
Abidin, Z. (2006). Pendekatan Kualitatif pada Skripsi Mahasiswa Psikologi UNDIP Tahun 2006. Jurnal Psikologi Universitas Diponegoro. Vol. 3 (2),
hal. 26-36. [Online]. Tersedia:
http://ejournal.undip.ac.id/index.php/psikologi/article/download/654/529
[15 Desember 2011]
Abied. (Tanpa tahun-a). Modul-Matematika-Teori-Belajar-Piaget. [Online]. Tersedia: http://masbied.files.wordpress.com/2011/05/modul-matematika-teori-belajar-piaget.pdf [15 Desember 2011]
Abied. (Tanpa tahun-b). Modul-Matematika-Teori-Belajar-van-Hielle. [Online]. Tersedia: http://masbied.files.wordpress.com/2011/05/modul-matematika-Program Magister Keperawatan, Fakultas Kedokteran dan Kesehatan Universitas Muhamadiyah Jakarta. [Online]. Tersedia:
Http://Virgana.Files.Wordpress.Com/2012/01/Umj-Jean-Piaget-Riris-Andriati.Docx [15 Desember 2011]
Anonim. (2009). Gifted atau Autisme Bagaimana Membedakannya?. Di bawakan dalam Seminar Gifted-Autisme – ADHD Penanganan dan Permasalahannya, di Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada Jogjakarta, 11 December 2004. [Online]. Tersedia:
http://gamalbudidoyo.blogspot.com/2009/03/gifted-atau-autisme-bagaimana.html [15 Desember 2011]
Argapratama, Y. (2010). Gifted atau Autisme Bagaimana Membedakannya?(part
18). [Online]. Tersedia: