• Tidak ada hasil yang ditemukan

KECENDERUNGAN CARA BERFIKIR ANAK CERDAS ISTIMEWA DALAM PEMECAHAN MASALAH GEOMETRI : Studi Kasus Terhadap Seorang Anak 9 Tahun yang Diduga Berbakat Matematik dengan Kecenderungan Berfikir sebagai Pembelajar Visual -spasial Visual-spatial Learner.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "KECENDERUNGAN CARA BERFIKIR ANAK CERDAS ISTIMEWA DALAM PEMECAHAN MASALAH GEOMETRI : Studi Kasus Terhadap Seorang Anak 9 Tahun yang Diduga Berbakat Matematik dengan Kecenderungan Berfikir sebagai Pembelajar Visual -spasial Visual-spatial Learner."

Copied!
56
0
0

Teks penuh

(1)

KECENDERUNGAN CARA BERFIKIR ANAK CERDAS ISTIMEWA DALAM PEMECAHAN MASALAH GEOMETRI

(Studi Kasus Terhadap Seorang Anak 9 Tahun yang Diduga Berbakat Matematik dengan Kecenderungan Berfikir sebagai

Pembelajar Visual(-spasial) (Visual-spatial Learner))

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Sebagian dari Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

Jurusan Pendidikan Matematika

Oleh

Abdurahman NIM. 0706444

JURUSAN PENDIDIKAN MATEMATIKA

FAKULTAS PENDIDIKAN MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA

(2)

KECENDERUNGAN CARA BERFIKIR ANAK CERDAS ISTIMEWA DALAM PEMECAHAN MASALAH GEOMETRI

(Studi Kasus Terhadap Seorang Anak 9 Tahun yang Diduga Berbakat Matematik dengan Kecenderungan Berfikir sebagai

Pembelajar Visual(-spasial) (Visual-spatial Learner))

oleh Abdurahman NIM. 0706444

Sebuah skripsi yang diajukan untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Pendidikan pada Fakultas Pendidikan Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam

© Abdurahman 2013 Universitas Pendidikan Indonesia

Maret 2013

Hak Cipta dilindungi undang-undang.

(3)

LEMBAR PENGESAHAN

KECENDERUNGAN CARA BERFIKIR ANAK CERDAS ISTIMEWA DALAM PEMECAHAN MASALAH GEOMETRI

(Studi Kasus Terhadap Seorang Anak 9 Tahun yang Diduga Berbakat Matematik dengan Kecenderungan Berfikir sebagai

Pembelajar Visual(-spasial) (Visual-spatial Learner))

oleh Abdurahman NIM. 0706444

Menyetujui:

Pembimbing I,

Prof. Dr. H. Didi Suryadi, M. Ed. NIP. 195802011984031001

Pembimbing II

Dr. Dadan Dasari, M.Si. NIP. 196407171991021001

Mengetahui,

Ketua Jurusan Pendidikan Matematika

(4)

ABSTRAK

Perkembangan konsep cerdas istimewa dengan kesulitan ganda menambah variasi kelompok cerdas istimewa dan berbakat istimewa. Kelompok ini belum begitu dikenal di Indonesia dan sangat rentan mendapat kesalahan diagnosis, baik dalam kelompok di luar cedas istimewa maupun sub tipe kelompok cerdas istimewa dengan kesulitan ganda.

Walaupun kelompok cerdas istimewa dengan kesulitan ganda memiliki komorbiditas atau hambatan yang memungkinkan menghambat kemajuan dalam kehidupan mereka, kelompok ini memiliki potensi bakat istimewa yang tinggi sebagaimana kelompok cerdas istimewa tanpa kesulitan ganda pada umumnya.

Dalam penelitian ini digambarkan profil seorang anak sembilan tahun dari kelompok cerdas dengan gaya berfikir visual spatial learner (G/VsL) (bagian dari kelompok cerdas istimewa dengan kesulitan ganda) dan diduga memiliki bakat matematik. Salah satu karakter yang memunjukan bakat matematika subjek penelitian adalah fenomena temuan konsep-konsep geometri yang lebih dini dari usianya. Fenomena ini seolah-olah menunjukan subjek penelitian mampu berfikir deduktif, menguraikan konsep-konsep matematika untuk memperoleh rumus geometri. Namun, selama pengamatan berfikir deduktif subjek penelitian masih terbatas pada masalah konkret.

Untuk memahami fenomena yang dialami subjek penelitian, diujikanlah beberapa soal masalah matematika yang sesuai dengan perkembangan kognitif subjek penelitian. Hasil pengujian memperlihatkan pada masalah yang diminatinya proses berfikirnya sirkuler, tidak berhenti sampai mendapatkan informasi yang dibutuhkan. Dengan cara berfikir tersebut seringkali subjek penelitian mendapat selesaian yang melibatkan pengalaman insight. Setelah mendapat pengalaman insight tersebut, informasi tiba-tiba menjadi lengkap dan terbentuk skema pemahaman masalah yang baru.

Dalam pengamatan lapangan, subjek penelitian tidak memperlihatkan adanya kemajuan perkembangan kognitif yang lebih dini (baik diamati dengan tahap perkembangan kognitif Piaget maupun tingkat berfikir geometri van Hiele). Cara berfikir yang mampu membangun skema berfikir konsep geometri yang lebih dini dari usianya diduga akibat dari keunikan struktur dan aktivitas otak anak berbakat matematik.

(5)

ABSTRACT

The development of the concept of twice exceptional gifted add to the variation of group gifted and talented. In Indonesia, twice exceptional gifted is not so well-known and very fragile got wrong diagnosed either in group outside the gifted and talented or sub type on the twice exceptional gifted.

Although the twice exceptional gifted have multiple commorbidity or obstacles hindering progress in their lives, they have the potential talent as group the gifted and talented without trouble.

In research is described profile a child nine years of a group the gifted with visual-spatial learner (G/VsL) (a part of twice exceptional gifted) and suspected of having mathematically talented. One of the her character who indicate mathematically talented is the phenomenon findings concepts the geometry which earlier of her age. This phenomenon seems to indicate he is capable of deductive thinking, outlines mathematical concepts to derive the formula geometry. However, during the observation of her deductive thinking are still limited to concrete problems.

To understand the phenomenon experienced by research subjects, tested some issues about the appropriate mathematics to cognitive development research subjects. The test results showed their interest in the issue of circular thinking process, do not stop until you get the information you need. By way of thinking is often a subject of research involving solution got insight experience. After receiving the experience of insight, information suddenly becomes a full understanding of the problem and formed the new scheme.

(6)

DAFTAR ISI

a. Kecerdasan Istimewa sebagai Faktor Tunggal ... 17

b. Kecerdasan Istimewa sebagai Multifaktorial dan Dinamis ……… ... 18

c. Kelompok Cerdas Istimewa dengan Kesulitan Ganda ... 25

3. Gifted Visual-spatial Learner... 27

4. Konsep Berbakat Matematik ... 35

(7)

B. Cara Berfikir... 48

1. Pengertian Berfikir ... 48

2. Beberapa Macam Cara Berfikir ... 49

C. Perkembangan Kognitif dalam Pembelajaran Matematika ... 53

1. Teori Perkembangan Kognitif Piaget ... 53

2. Teori Perkembangan Berfikir Geometri van Hiele ... 65

3. Proses Belajar dalam Pandangan Aliran Psikologi Gestalt ... 73

D. Masalah dan Pemecahan Masalah Matematika... 75

1. Pengertian dan Jenis Masalah Matematika ... 75

2. Pengertian dan Langkah-langkah Pemecahan Masalah ... 78

BAB III METODOLOGI PENELITIAN... 79

A. Pendekatan Penelitian ... 79

B. Metode Penelitian Kualitatif ... 80

C. Desain Penelitian Studi Kasus ... 82

D. Objek dan Subjek Penelitian ... 83

E. Lokasi penelitian ... 85

F. Instrumen Penelitian... 85

G. Data dan sumber data ... 86

H. Teknik Pengumpulan Data ... 87

I. Analisis Data ... 90

J. Uji Keabsahan Data... 92

K. Tahap-tahap penelitian ... 95

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN... .... 97

A. Deskripsi Hasil Penelitian ... 97

(8)

b. Identifikasi Bakat Matematika ... 108

2. Gambaran Umum Pemahaman Orangtua terhadap Fenomena Pemahaman Materi Matematika Subjek Penelitian ... 116

3. Profil Tahap Perkembangan Kognitif Subjek Penelitian ... 122

4. Profil Pemahaman Konsep Luas Daerah Subjek Penelitian .... 141

5. Gambaran Pengalaman Insight Subjek Penelitian dalam Pemecahan Masalah Geometri ... 158

B. Pembahasan Fenomena Penguasaan Materi Geometri yang Lebih Dini pada Anak Berbakat Matematik ... 178

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI... ... 183

A. Kesimpulan ... 183

B. Rekomendasi ... 185

DAFTAR PUSTAKA ... 189

LAMPIRAN ... 199

(9)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Feldhusen (Dir PSLB, 2010a: 9) menyatakan bahwa, “anak cerdas

istimewa (gifted child) adalah anak yang diidentifikasi oleh seorang ahli dengan

kualifikasi profesional sebagai anak yang mempunyai kemampuan menonjol,

diharap potensi tersebut mampu menunjukkan prestasi yang tinggi”. Pengertian

ini seringkali mengarahkan pemahanan cerdas istimewa sebagai pribadi unggul

yang biasanya menunjukan prestasi akademik yang bagus. Namun, karena

kurangnya pengetahuan tentang anak cerdas istimewa, kuat dugaan anak-anak ini

kurang mendapat pelayanan pendidikan yang sesuai –yang berimplikasi pada

kurang teroptimalnya potensi kecerdasan istimewa mereka.

Sistem Pendidikan Nasional mengatur pendidikan bagi anak cerdas

istimewa, sebagaimana dinyatakan dalam UU No. 20 Tahun 2003 Pasal (5) ayat

(4) bahwa: “Warga negara yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa

berhak memperoleh pendidikan khusus”. Selanjutnya dalam Pasal (12) ayat (1)

poin (b) dan (f) dinyatakan bahwa: “Setiap peserta didik pada setiap satuan

pendidikan berhak: mendapatkan layanan pendidikan sesuai bakat, minat, dan

kemampuannya; serta menyelesaikan program pendidikan sesuai dengan

kecepatan belajar masing-masing dan tidak menyimpang dari ketentuan batas

waktu yang ditetapkan. Di samping itu penyelenggaraan pendidikan khusus bagi

anak cerdas istimewa, secara khusus, dijamin UU No. 23 tahun 2002 tentang

(10)

diberikan kesempatan dan aksesibilitas untuk memperoleh pendidikan khusus”.

(dalam undang-undang ini, makna istilah “anak dengan potensi kecerdasan dan

bakat istimewa” serta “anak yang memiliki keunggulan” mengarah pada

pengertian anak cerdas istimewa).

Namun, layanan pendidikan khusus bagi anak cerdas istimewa yang

diamanatkan sistem pendidikan nasional belum terealisasi secara optimal. Hal ini

terlihat dari prioritas layanan pendidikan anak cerdas istimewa yang masih

mengutamakan prosedur identifikasi dan program layanan hanya pada aspek

intelektualitas saja. Aspek lain, seperti pemahaman konsep anak cerdas istimewa

secara utuh, belum begitu diperhatikan. Padahal berdasarkan hasil penelitian

Feldhusen (1985) terungkap bahwa pendidik yang tidak disiapkan secara khusus

atau tidak memiliki latar belakang mendidik anak cerdas istimewa cenderung

bersikap negatif terhadap mereka (Wedadjati, 2008: 5).

Di samping itu, ada keraguan dari beberapa orang tua (termasuk di

dalamnya para pakar pendidikan) akan perlunya layanan pendidikan khusus bagi

anak cerdas istimewa dan bakat istimewa dengan berpendapat: “jika anak

betul-betul berbakat ia akan memenuhi kebutuhannya sendiri” (Munandar, 2009: 13).

Hal tersebut bertentangan dengan realita yang diungkapkan Wiyaiswara (Mukti,

2009: 1) dengan pernyataannya, yaitu sebagai berikut:

…membiarkan seorang anak berkembang sesuai dengan azas kematangan saja akan menyebabkan perkembangan menjadi tidak sempurna dan bakat-bakat luar biasa yang sebetulnya memiliki potensi yang dapat dikembangkan menjadi tidak berfungsi.

Senada dengan peryataan Wiyaiswara, Freeman (kompas, 28 September 2010)

(11)

biasa, bahkan mungkin punya kekuatan emosi yang lebih besar”. Kekeliruan

pemahaman karakteristik anak cerdas istimewa ini mengindikasikan perlunya

pemberian layanan pendidikan khusus bagi seluruh anak cerdas istimewa.

Secara umum, layanan pendidikan khusus untuk anak cerdas istimewa

(dan bakat istimewa), di Indonesia, masih belum memadai. Muhammad, SekJen

Asosiasi CIBI Nasional, (Republika OnLine, 15 Desember 2010) melaporkan

bahwa:

Indonesia memiliki sekitar 1,3 juta anak usia sekolah yang berpotensi Cerdas Istimewa dan Bakat Istimewa (CIBI) atau kerap disebut 'gifted-talented'. Sayangnya, baru 9.500 (0,7%) anak yang sudah mendapat layanan khusus dalam bentuk program akselerasi/percepatan.

Berdasarkan data tahun 2009 Muhammad (Harian Joglo Semar.com, 26 Februari

2010; Republika OnLine, 15 Desember 2010) merinci dari 260.471 sekolah di

Indonesia, baru 311 sekolah yang memiliki program layanan khusus bagi anak

CIBI (yaitu akselerasi) dengan persebaran yang kurang merata. Pernyataan

tersebut, secara tidak langsung, menunjukkan begitu sedikitnya anak cerdas

istimewa yang sudah mendapat layanan pendidikan khusus, itupun baru

menyentuh anak cerdas istimewa yang dapat mengikuti pendidikan di sekolah.

Tidak semua anak cerdas istimewa dapat berhasil di sekolah, khususnya

sekolah yang masih menerapkan strategi pendidikan konvensional. Secara umum,

anak cerdas istimewa prestasi belajarnya tinggi dalam pendidikan konvensional,

tetapi karena beberapa hal dapat pula ditemukan anak cerdas istimewa yang

prestasinya tidak optimal (underachievement) (Silverman, 2000: 7) bahkan dapat

(12)

bahwa lebih dari setengah populasi anak cerdas istimewa mempunyai masalah

yang mempengaruhi pencapaian prestasi akademiknya (Mönks & Ypenburg

(1995) dalam Dir PSLB, 2010c: 7). Direktorat pembinaan sekolah luar biasa

(2007: 6) di salah satu materi seminar menjelaskan:

… Bila 15-20 tahun yang lalu pemahaman anak cerdas istimewa adalah anak yang super cerdas dan tidak memiliki kesulitan dalam belajar maupun kesulitan lainnya, maka asumsi tersebut sekarang ini tidak lagi sepenuhnya benar. Konsep berkecerdasan istimewa (giftedness) berubah dari konsep perkembangan single dimensi yaitu giftedness sebagai perkembangan kognitif menjadi konsep multidimensional dan dinamis (Hoogeveen dkk, 2004), yang menyangkut bukan hanya perkembangan kognitif tetapi juga berbagai aspek tumbuh kembangnya, personalitasnya, gaya belajarnya, dan lingkungannya.

Dari pernyataan di atas setidaknya dikenal dua kelompok anak cerdas istimewa,

yaitu anak cerdas istimewa berprestasi dan anak cerdas istimewa dengan

hambatan berprestasi.

Tidak mudah untuk mengidentifikasian anak cerdas istimewa, karena

mereka bukanlah kelompok yang homogen. Tiap anak cerdas istimewa memiliki

karakteristik yang bervariasi. Hal ini dipengaruhi berbagai faktor, di antaranya:

jenis kelamin, kelompok sosial budaya, adanya cacat tersembunyi atau

terang-terangan, usia, dan apakah mereka mencapai atau kurang berprestasi (Reis dan

Sullivan, Tanpa tahun: 1-2).

Silverman, Direktur Gifted Development Center, mengusulkan mengelompokan cerdas istimewa menjadi dua kelompok, yaitu cerdas istimewa

pembelajar visual-spasial (CI/PVs) atau lebih dikenal sebagai gifted visual-spatial

learner (G/VsL) dan cerdas istimewa pembelajar audio-sequensial (CI/PAs) atau

(13)

ini berdasarkan bagaimana seseorang memperoleh, memproses, dan

mengkomunikasikan ide dan informasi (Hass, 2003: 1).

Dari dua kelompok ini, kekhasan tumbuh-kembang visual-spatial learner

(seringkali) menjadikan mereka kurang terlayani dalam layanan pendidikan

konvensional. Gaya berfikir (cognitive style) visual-spatial learner yang simultan

dan global serta tanpa kehilangan makna detilnya (van Tiel, tanpa tahun: 1), sulit

diterima dalam layanan pendidikan konvensional. Gaya berfikir ini berbeda

dengan pendekatan pendidikan konvensional yang lebih menekankan gaya

berfikir sekuensial, yaitu yang menuntut peserta didik bekerja langkah demi

langkah, menekankan pada latihan soal dan repetisi, reviu dan ujian yang dibatasi

oleh waktu (Dir PSLB, 2010b: 15).

Dalam menjawab soal masalah, khususnya matematika, kelompok G/VsL

cenderung tidak menampilkan pekerjaanya. Proses pekerjaan mereka cenderung

tidak bekerja langkah demi langkah. Pencapaian selesaian yang akurat, seringkali

mereka dapat secara intuitif. Namun, mereka tidak dapat menjelaskan bagaimana

proses penemuannya (Golon, 2004: 1 - 2).

Di samping itu, beberapa anak cerdas istimewa mengalami pola tumbuh

kembang tidak harmonis (dyssynchronie/asynchronous development), baik dalam aspek perkembangan dalam dirinya sendiri maupun ketidakharmonisan dengan

perkembangan teman-teman sebayanya (Dir PSLB, 2007: 8; Dir PSLB, 2010c:

170). Ketidakharmonisan perkembangan anak cerdas istimewa yang dimaksud

meliputi: kemampuan intelektual, kemampuan fisik, dan kematangan emosional.

(14)

ketidakharmonisan perkembangan yang semakin besar dan luas (Silverman dalam

Dir PSLB, 2007: 6).

Akibat dari ketidakharmonisan tumbuh kembang, beberapa anak cerdas

istimewa sulit ditangani dalam pendidikan konvensional. Sebagai contoh kasus

lompatan perkembangan kognitif yang dialami seorang ahli matematika terbesar

sepanjang masa, Carl Friedrich Gauss. Keunggulan perkembangan kognitif Gauss

sudah terlihat sejak usia dini. Di usia tiga tahun Gauss pernah mengoreksi

kesalahan kalkulasi ayahnya dalam bidang keuangan. Selanjutnya di usia tujuh

tahun Gauss pernah menegur jawaban gurunya mengenai kekeliruan hasil

penjumlahan tugas menghitung seratus bilangan dari 81297 + 91495 + 81693 + …

+ 100899. Peristiwa ini sangat mengejutkan gurunya sehingga dia merasa tidak

mampu mengajar Gauss lagi dan merelakan uang gajinya untuk membelikan

Gauss buku teks aritmetika terbaik

(http://www.mate-mati-kaku.com/matematikawan/carlFriedrichGauss.html; http://scientific-child-prodigy

.blogspot.com/2007/06/johann-carl-friedrich-gauss.html).

Dalam kasus lain, ketidakharmonisan tumbuh kembang anak cerdas

istimewa dapat pula diikuti dengan komorbiditas (commorbidity), yaitu suatu

gangguan lain yang muncul secara bersamaan atau menyertai diagnosa lain selain

kecerdasan istimewanya (Dir PSLB, 2010c: 39). Munculnya gangguan ikutan ini

berpotensi meningkatkan timbulnya masalah pencapaian prestasi anak cerdas

istimewa. Sebagai contoh, kasus yang dialami oleh sang penemu bola lampu

(kawat pijar bola lampu), Thomas Alva Edison.

(15)

mendunia, tetapi hanya beberapa orang yang tahu bahwa Edison merupakan anak

yang kurang beruntung di sekolah. Frith (2007: 8-9) memaparkan bahwa:

Di sekolah, guru Al mengeluh bahwa Al tidak memperhatikan pelajaran. Ia sering tertidur. Mungkin bosan atau tidak dapat mendengar apapun.

Suatu hari Al yang berusia delapan tahun mendengar gurunya memberitahu seseorang bahwa dia adalah anak yang “Linglung”. Maksud gurunya itu adalah ada kesemrawutan dalam otak Al. Ketika Al memberi tahu ibunya tentang hal ini, ibunya menjadi sangat marah. Ia mengeluarkan Al dari sekolah itu dan mulai mengajarinya di rumah.

Al sangat suka membaca. Betapa akan terkejutnya guru Al jika ia melihat buku-buku sulit yang diberikan ibu Al kepada Al untuk dibaca. Buku-buku tentang sejarah, alam, dan ilmu pengetahuan. Ia membaca buku-buku itu secepat mungkin. Ada satu buku favoritnya. Buku ini berjudul Ikhtisar Filosofi Alamiah dan Eksperimental. Itu adalah buku ilmu pengetahuan. Buku itu membahas tentang listrik, baterai, mainan-mainan elektrik, dan masih banyak lagi. Di dalamnya terdapat eksperimen-eksperimen sederhana….

Dari pemaparan di atas, Al (pangilan kecil untuk Thomas Alva Edison)

digambarkan sebagai seorang anak cerdas istimewa yang memiliki komorbiditas

berupa gangguan pendengaran. Dengan kondisi seperti ini Al tidak mampu

memperlihatkan prestasi yang baik di sekolah. Baru setelah Al keluar sekolah,

didukung pemilihan pendekatan pendidikan yang individual dari orangtuanya, Al

mengembangkan kecerdasan istimewanya sesuai dengan keunikannya.

Anak cerdas istimewa yang bermasalah di sekolah akibat kekhasan

tumbuh-kembang seperti dua kasus di atas dapat ditemukan di hampir semua

belahan dunia, termasuk Indonesia. Salah satu contohnya penulis temukan pada

satu keluarga yang berdomisili di Bandung dengan semua anaknya diduga

termasuk anak cerdas istimewa. Sebut saja Izzan anak kedua dari tiga bersaudara

(16)

mendapat berbagai label yang berbeda-beda dari para ahli, termasuk label sebagai

penyandang Asperger syndrome.

Terdiagnosa sebagai Asperger syndrome (AS) sempat membuat Ibunya

meragukan kecerdasan-istimewa Izzan. Kadang-kadang Izzan mengaku merasa

“blank”; seakan-akan kehilangan kontak dengan dunia; tidak merespon ketika

dipanggil atau diajak mengobrol secara verbal; konsentrasinyapun sangat mudah

terganggu ketika mendapat terlalu banyak stimulus.

Walaupun hasil perolehan skor test IQ total Izzan (22 Januari 2010)

mencapai lebih dari 140 (skala wescler) tetapi motivasi internal sangat kurang

(Bataviase.co.id, 1 Mei 2011). Dengan kondisi ini, Izzan memiliki kinerja yang

kurang baik dalam mengikuti kegiatan sekolah, bahkan dengan keinginan sendiri

dia memilih berhenti sekolah sejak Taman Kanak-kanak (Abdurahman, 2010: 57).

Dari pengamatan awal melalui wawancara dan catatan-catatan hasil belajar

Izzan dari orangtuanya (Ibunya), Izzan menunjukan ketertarikan pada fenomena

alam (fisika). Di usia enam tahun, Izzan mulai banyak bertanya tentang

Astronomi dengan pertanyaan kritis seorang anak, misalnya: bagaimana Newton

dapat menjelaskan hukum-hukum benda bergerak (planet) padahal Newton belum

pernah pergi ke luar angkasa. Karena ketertarikannya pada konsep fisika, ibunya

menawarkan Izzan untuk mempelajari materi dasarnya, yaitu matematika.

Dalam pembelajaran matematika Izzan memiliki ketertarikan yang tidak

biasa. Terbilang mulai tanggal 16 November 2008, Izzan belajar matematika

mengikuti Buku Sekolah Elektronik (BSE). Dalam waktu belajar yang relatif

(17)

tahun Izzan sudah mempelajari materi integral benda putar (wawancara pribadi,

April 2011).

Dalam dokumentasi catatan belajar matematika Izzan ditemukan

fenomena belajar Izzan yang unik. Tanpa diajarkan sebelumnya, Izzan mendapat

temuan gagasan-gagasan konsep geometri dengan cara berfikirnya sendiri. Di

usianya yang baru menginjak 6 Tahun 9 Bulan, Izzan mengkontruksi beberapa

rumus luas daerah dan volume bangun tiga dimensi hanya dengan cara

“membayangkan”. Temuan-temuan tersebut adalah sebagai berikut: fakta volume

kerucut merupakan sepertiga volume tabung; fakta luas permukaan bola adalah

empat kali luas daerah lingkaran; menghitung volume kerucut dengan pendekatan

volume limas; fakta volume kerucut adalah seperempat bola. Semua temuan itu

didapat pada hari yang sama.

Walaupun temuan Izzan bukan temuan baru, proses penemuan Izzan

merupakan fenomena yang menarik untuk diteliti. Temuan-temuan gagasan

geometri Izzan tidak melalui pembuktian penalaran secara deduktif, berhubung

perkembangan kognitif (Piaget)nya belum mencapai tahap operasional formal.

Dalam catatan belajar Izzan proses penemuan tersebut tidak begitu tergali. Ibunya

cukup puas dengan temuan-temuan Izzan sehingga lebih fokus

mendokumentasikan gagasan-gagasan yang dikemukakan Izzan. Dengan

demikian dokumentasi hasil belajar tersebut masih menyimpan pertanyaan tentang

bagaimana fenomena itu dapat terjadi.

Dari fenomena pemahaman pada beberapa materi matematika Izzan yang

(18)

berfikirnya untuk membangun gagasan baru. Dugaan ini didukung dari cara

belajar (berfikir) Izzan yang cenderung membangun konsep dari seluruh

pengalamanya –dan kemudian akan dipertanyakan kembali. Sebagai contoh

terlihat pada pembelajaran di usia tujuh tahun empat bulan. Ketika Ibunya

memperkenalkan konsep sudut, Izzan mengembangkannya konsep dengan

mempertanyakan derajat sudut lengkung. Ibunya yang kewalahan dengan

pertanyaan tersebut kemudian meminta bantuan kepada dosen matematika

kenalannya. Rupanya jawaban dosen tersebut kurang dapat memuaskan

keingintahuan Izzan –diapun mulai berteori. Ibunya yang penasaran dengan

pertanyaan Izzan melanjutkan mencari jawaban kembali dan akhirnya diketahui

bahwa pertanyaan Izzan merupakan materi kuliah Spherical Astronomi dari

jurusan Astronomi tingkat 2 di ITB. Dalam kuliah inilah dugaan Izzan mendapat

tanggapan yang baik.

Fenomena penguasaan beberapa materi matematika lebih dini yang

disebabkan karena cara berfikir yang berbeda sering kali dihubungkan dengan

karakter anak berbakat matematik. Anak berbakat matematik memiliki aktivitas

otak yang unik yang memungkinkan mereka dapat menanggapi masalah dengan

cara berfikir yang berbeda.

Bagi peneliti fenomena belajar Izzan sangat penting untuk diteliti karena

dapat menggambarkan bagaimana cara berfikir berbeda kelompok anak berbakat

matematik. Salah satunya karena alasan tersebut, peneliti tertarik mengangkat

fenomena tersebut ke dalam skripsi yang berjudul “Kecenderungan Cara

(19)

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian dari latar belakang maka rumusan masalah yang akan

dikaji dalam penelitian ini adalah:

1. Bagaimana kesesuaian indikator karakter dan perilaku berbakat matematika

pada subjek penelitian?

2. Bagaimana tingkat perkembangan kognitif subjek penelitian?

3. Bagaimana skema berfikir luas daerah bangun datar subjek penelitian?

4. Bagaimana proses terjadi pemahaman beberapa materi geometri subjek

penelitian yang dikuasai lebih dini dapat terjadi?

5. Bagaimana hubungan fenomena penelitian dalam kaitannya dengan cara

berfikir memahami masalah yang berbeda pada anak berbakat matematik?

C. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penulisan ini adalah untuk memperoleh jawaban atas

masalah yang telah dirumuskan di atas. Tujuan tersebut adalah untuk:

1. Mengamati karakter dan perilaku bakat matematika pada subjek penelitian.

2. Menganalisa tingkat perkembangan kognitif subjek penelitian.

3. Menganalisa skema berfikir subjek penelitian terhadap luas daerah pada

bangun datar.

4. Mengamati proses terjadi pemahaman pada beberapa materi geometri subjek

penelitian yang dikuasai lebih dini.

5. Mendeskripsikan hubungan fenomena penelitian dalam kaitannya dengan cara

(20)

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi peneliti, pendidik, G/VsL, dan

orangtua G/VsL. Berikut ini mamfaat yang diharapkan, yaitu :

1. Bagi Peneliti, dengan penelitian ini diharapkan peneliti dapat:

a. Memahami karakteristik kelompok G/VsL berbakat matematik,

b. Menambah wawasan dan pengalaman tentang G/VsL,

c. Merancang bahan ajar matematika untuk anak G/VsL.

2. Bagi pendidik, dengan penelitian ini diharapkan pendidik dapat:

a. Mengoptimalkan pembelajaran matematika bagi anak G/VsL,

b. Mempertimbangkan penanganan kelompok G/VsL,

c. Mengurangi masalah belajar di kelas.

3. Bagi G/VsL, dengan penelitian ini diharapkan pembelajar G/VsL dapat:

a. Mengenal karakteristik sebagai G/VsL.

b. Memperoleh pembelajaran yang sesuai karakteristik G/VsL.

c. Mengatasi masalah belajar seorang G/VsL.

4. Bagi orangtua G/VsL, dengan penelitian ini diharapkan orangtua G/VsL dapat:

a. Memahami gaya belajar matematika kelompok G/VsL.

b. Membedakan karakteristik belajar matematika G/VsL (secara khusus)

dengan karakteristik penyandang AS.

c. Membantu mengurangi konflik keluarga dalam menangani penyandang

(21)

E. Batasan Istilah

Istilah yang digunakan pada suatu penelitian mempunyai makna tersendiri.

Untuk menghindari kesalahpahaman pembaca, peneliti memberi penjelasan

terhadap istilah-istilah yang terkait dalam penelitian, yaitu sebagai berikut:

1. Gifted Visual-spatial Learner (G/VsL)

Gifted Visual-spatial Learner merupakan salah satu kelompok Cerdas Istimewa dan Bakat Istimewa (CIBI) dengan pemikir khas, mereka memiliki

memori jangka panjang yang kuat dan keterampilan observasi. Mereka belajar

lebih baik dari melihat daripada mendengar; berfikir dalam gambar dan

biasanya “melihat” sesuatu secara “keseluruhan”. Pemrosesan ini

membutuhkan banyak waktu menerjemahkan gambar dan fikiran mereka ke

dalam kata-kata.

2. Anak berbakat matematik

Anak berbakat matematik merupakan bagian kelompok anak CIBI yang

menunjukan potensi kemampuan matematika yang menjanjikan. Mereka

memiliki stuktur dan aktivitas otak unik yang memungkinkan dapat

memahami masalah (matematika) yang cara berbeda.

3. Skema

Skema adalah suatu stuktur mental atau kognitif yang dengannya seseorang

secara intelektual beradaptasi dan mengkoordinasi lingkungan sekitarnya.

Skema seseorang mengalami perkembangan seiring dengan bertambahnya

(22)

4. Soal Pemecahan Masalah matematika

Suatu soal yang benar-benar baru bagi pemecah masalah, dan pada soal

tersebut tidak dapat ditemukan cara/teknik yang dapat digunakan secara

langsung menyelesaikan soal tersebut.

5. Insight learning

Merupakan proses belajar yang terjadi secara tiba-tiba sehingga proses belajar

menjadi lengkap. Insight learning tidak terjadi dengan sendirinya tetapi

merupakan hasil dari banyak pemikiran dan kerja keras dari

(23)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

Pada bab ini dijelaskan mengenai metodologi yang digunakan dalam

penelitian ini mencakup: pendekatan penelitian; metode penelitian;desain penelitian

studi kasus; objek dan subjek penelitian; lokasi penelitian; instrumen penelitian; data

dan sumber data; teknik pengumpulan data; analisis data; uji keabsahan data; dan

tahapan penelitian. Adapun uraiannya sebagai berikut:

A. Pendekatan Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Menurut Strauss dan

Corbin dalam Cresswell (Rahmat, 2009: 2), yang dimaksud penelitian kualitatif

adalah jenis penelitian yang menghasilkan penemuan-penemuan yang tidak dicapai

(diperoleh) dengan menggunakan prosedur-prosedur statistik atau cara lain dari

kuantifikasi (pengukuran). Kirk dan Miller (1986 dalam Abidin, 2006: 31 - 32),

menyebut penelitian kualitatif sebagai suatu tradisi tertentu dalam ilmu pengetahuan

sosial yang secara fundamental tergantung pada pengamatan manusia dalam

kawasannya sendiri dan berhubungan dengan orang-orang dalam peristilahannya.

Bogdan dan Taylor memberi batasan sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan

data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang

diamati. Moleong (2005 dalam Kuntjojo, 2009: 15) menyatakan bahwa penelitian

kualitatif adalah penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa

(24)

bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai

metode alamiah.

Pendekatan kualitatif sering juga disebut sebagai metode alamiah (Lincoln

dan Guba, 1985) karena menghendaki adanya kenyataan-kenyataan sebagai keutuhan

yang tidak dapat dipahami jika dipisahkan dari konteksnya. Selain itu pendekatan

kualitatif sering juga disebut metode naturalistik karena penelitiannya dilakukan

dalam situasi yang wajar atau dalam “natural setting” (Nasution, 1988) (Abidin,

2006: 32).

B. Metode Penelitian Kualitatif

Dalam prakteknya kegiatan penelitian dengan pendekatan kualitatif, terdapat

berbagai jenis metode, misalnya (1) studi kasus; (2) etnografi; (3) fenomenologi; (4)

grounded theory; (5) etnometodologi; (6) life history; (7) observasi partisipan.

Masing-masing metode itu memiliki karakteristik dan teknik-teknik spesifik

tersendiri dalam mendekati dan menelaah sebuah fenomena sosial (Mudjianto, Tanpa

tahun: 156).

Berkaitan dengan metode penelitian kualitatif, penelitian ini menggunakan

metode studi kasus. Menurut Yin (1981 dalam Mudjianto, Tanpa tahun: 164), “studi

kasus adalah suatu inkuiri empiris yang menyelidiki fenomena di dalam konteks

kehidupan yang nyata, bilamana batasan antara fenomena dan konteks yang dipelajari

(25)

lain, studi kasus dibutuhkan apabila peneliti hanya memiliki sedikit peluang untuk

mengontrol peristiwa yang akan dipelajari, seperti cara berfikir anak cerdas istimewa.

Alasan-alasan utama pengunaan model pendekatan studi kasus dalam

penelitian ini, adalah sebagai berikut:

a. Cerdas istimewa merupakan suatu fenomena yang sulit dijelaskan. Baik

pengidentifikasian maupun pilihan pendidikan yang sesuai bagi mereka masih

dalam perdebatan para ahli. Konsep cerdas istimewa ini terus mengalami

perkembangan dan belum disepakati bersama.

b. Berkembangnya konsep cerdas istimewa dengan kesulitan ganda menambah

variasi cerdas istimewa sekaligus berpotensi munculnya pemahaman yang salah.

c. Karakter individu berbakat matematik sebagai bagian dari kelompok cerdas

istimewa belum begitu dipahami sebagian besar pendidik, orangtua, maupun

masyarakat disekitarnya.

d. Karakter individu berbakat matematik dapat pada anak-anak. Karakter anak

berbakat matematik lebih sulit teridentifikasi karena keunikan tumbuh-kembang

anak dan terkadang muncul tanpa diikuti prestasi matematika yang berarti.

e. Seringkali anak berbakat matematik tertarik pada suatu konsep matematika yang

lebih tinggi dengan usianya. Fenomena ini berpotensi disalahartikan oleh

masyarakat awam.

f. Pendidik maupun orang awam umumnya mengetahui bahwa anak berbakat

(26)

Namun, bagaimana perbedaan cara berfikir tersebut, belum diketahui dengan

jelas.

g. Cara berfikir merupakan proses mental yang sulit digeneralisasikan polanya.

C. Desain Penelitian Studi Kasus

Nachmias dan Nachmias (1976) mendeskripsikan desain penelitian sebagai

suatu rencana yang membimbing peneliti dalam proses pengumpulan, analisis dan

interpretasi observasi. Desain penelitian merupakan suatu model pembuktian logis

yang memungkinkan peneliti untuk mengambil inferensi mengenai hubungan kausal

antar variabel di bawah suatu penelitian. Desain penelitian tersebut juga menentukan

ranah kemungkinan generalisasi, yaitu apakah interpretasi yang dicapai dapat

digeneralisasikan terhadap suatu populasi yang lebih besar atau situasi-situasi yang

berbeda. (Philliber dkk, 1980) (dalam Mudjianto, Tanpa tahun: 157).

Studi kasus sendiri mempunyai beberapa desain penelitian. Berdasarkan

model pengkajiannya, yaitu eksploratif, deskriptif, dan eksplanatif. Berdasarkan

besaran atau jumlah kasus terkait dengan model analisisnya, yaitu: kasus tunggal

dengan single level analysis, kasus tunggal dengan multilevel analysis, kasus jamak

dengan single level analysis, dan kasus jamak dengan multi-level analysis. Dilihat

dari aspek pemilihan kasus sebagai obyek penelitian, ada tiga macam studi kasus

yang selama ini dikembangkan oleh para periset kualitatif, yaitu: intrinsic case study,

instrumental case study, dan collective case study (Mudjianto, Tanpa tahun: 161 -

(27)

Dari beberapa desain penelitian studi kasus di atas, desain penelitian ini

digolongkan ke dalam desain deskriptif, desain kasus tunggal dengan single level

analysis, dan desain instrumental case study. Desain penelitian jenis deskriptif, yaitu

penelitian yang bertujuan memberi gambaran atau menerangkan fenomena yang

diteliti. Desain penelitian kasus tunggal dengan single level analysis ialah analisa

yang digunakan untuk menyoroti perilaku individu dengan satu masalah penting.

Sedangkan penelitian instrumental case study merupakan studi atas kasus untuk

alasan eksternal, bukan karena ingin mengetahui hakikat kasus tersebut. Kasus hanya

dijadikan sebagai „sarana‟ untuk memahami hal lain di luar kasus, seperti misalnya

untuk membuktikan suatu teori yang sebelumnya sudah ada.

D. Objek dan Subjek Penelitian

Salah satu karakter dan perilaku bakat matematika adalah fenomena

penguasaan beberapa materi matematika yang lebih dini, lebih cepat dari pada

usianya. Fenomena ini sangat menarik untuk diteliti, karena bagaimanapun juga cara

berfikir anak berbeda dengan cara berfikir orang dewasa. Karena itu, yang dijadikan

objek penelitian adalah fenomena penguasan materi matematika yang lebih cepat dari

usianya akibat dari cara berfikir yang berbeda pada anak berbakat matematik.

Untuk memahami objek penelitian tersebut, peneliti memilih seorang anak

berusia sembilan tahun bernama Musa Izzanardi yang diduga termasuk anak berbakat

matematik sebagai subjek dari penelitian. Beberapa alasan peneliti mengkaji subjek

(28)

1. Subjek penelitian di usia dini telah menunjukan ketertarikan pada konsep

matematika. Subjek tertarik pada beberapa materi matematika di atas usianya,

bahkan dapat menyelesaikan beberapa soal masalah matematika dengan skema

berfikirnya sendiri.

2. Dari hasil tes IQ subjek penelitian dalam skala Wechsler, skor potensi IQ subjek

penelitian lebih dari 140 (termasuk kelompok cerdas istimewa). Namun, ada

ketidaksinkronan skor IQ, antara skor verbal-IQ (VIQ) dan performance- IQ

(PIQ) (VIQ>PIQ). Jika ketidaksingkronan ini memunculkan “gangguan”, subjek

penelitian dapat dikatagorikan sebagai cerdas istimewa dengan kesulitan ganda.

Dugaan ini diperkuat dengan kesuaian karakter subjek penelitian dengan daftar

ceklis karakter visual spatial learner dari Silveman (salah satu contoh kasus

kelompok cerdas istimewa dengan gaya belajar yang berbeda).

3. Subjek penelitian tidak mengikuti sekolah formal, dia seorang pelajar

homeschooling yang berdomisili di Bandung. Pembelajaran matematika dipelajari

subjek peneliti sesuai keinginannya. Hal tersebut memungkinkan, pengaruh

lingkungan luar (khusus guru) tidak begitu kuat sehingga proses pembentukan

skema berfikirnya terbentuk secara alami.

4. Dari usianya (Sembilan tahun), subjek penelitian diperkirakan belum mencapai

tahap berfikir formal dalam teori tahapan perkembangan kognitif Piaget.

Sehingga cara berfikirnya diperkirakan akan berbeda dengan cara orang dewasa

(29)

Melalui desain penelitian instrumental case study, kasus yang terjadi pada subjek

penelitian dijadikan sebagai sarana untuk memahami objek penelitian secara

mendalam.

E. Lokasi penelitian

Subjek penelitian merupakan pelajar homeschooling di kota Bandung yang

tidak terikat dengan ruang kelas. Karena itu lokasi pelaksanaan penelitian disesuaikan

dengan kesepakatan keluarga subjek penelitian.

F. Instrumen Penelitian

Menurut Sugiono (2009: 223), dalam penelitian kualitatif segala sesuatu yang

akan dicari objek penelitian belum jelas dan pasti masalahnya, sumber datanya, hasil

yang diharapkan semuanya belum jelas. Rancangan penelitian masih bersifat

sementara dan akan berkembang setelah peneliti memasuki objek penelitian. Dengan

ketidakpastian tersebut, instrumen penelitian belum dapat dikembangkan sebelum

masalah yang diteliti jelas. Oleh karena itu dalam penelitian kualitatif, peneliti

merupakan intrumen kunci.

Peneliti adalah instrumen utama dalam penelitian kualitatif. Namun

selanjutnya setelah fokus penelitian menjadi jelas, maka kemungkinan akan

dikembangkan instrumen penelitian yang sederhana, yang diarahkan dapat

melengkapi data dan membandingkan dengan data yang telah ditemukan melalui

(30)

Penelitian kualitatif tidak lepas dari validasi. Walaupun instrumen utamanya

adalah peneliti, peneliti dituntut mampu memvalidasi diri melalui evaluasi diri:

seberapa jauh pemahaman peneliti terhadap metode kualitatif, pengusaan teori dan

wawasan terhadap bidang yang diteliti, serta kesiapan dan bekal memasuki lapangan.

untuk itu peneliti harus mengumpulkan dan mempelajari banyak data yang

berhubungan dengan objek dan subjek penelitian. Karena itu peneliti melakukan studi

literatur yang mendalam terhadap kasus-kasus yang berhubungan dengan cara berfikir

subjek penelitian terhadap pemecahan masalah matematika.

G. Data dan sumber data

Sumber data merupakan segala keterangan atau informasi mengenai hal yang

berkaitan dengan masalah dibahas. Dalam hal ini sumber data yang digunakan

adalah:

a. Sumber data primer yaitu sumber data yang mempunyai kaitan langsung dengan

masalah-masalah yang dibahas (Sugiono, 2009: 225), data ini diperoleh dari

pengamatan dan wawancara mendalam.

b. Sumber data sekunder yaitu sumber data yang digunakan atau diperoleh secara

tidak langsung dalam permasalahan yang dibahas (Sugiono, 2009: 225). Data ini

diperoleh dari. catatan-catatan belajar subjek penelitian dari orangtua subjek,

artikel dan laporan hasil penelitian tentang visual spasial learner dan

mathematically gifted yang bersumber dari internet, artikel-artikel tentang cerdas

(31)

orangtua subjek dan pembina kelompok diskusi mailinglist

anakbakat@yahoogroups.com melalui jejaring sosial facebook, dan perbandingan

pengalaman peneliti dalam menyelesaikan soal pemecahan masalah geometri.

H. Teknik Pengumpulan Data

Untuk memperoleh data yang berhubungan dengan fenomena cara berfikir

subjek penelitian terhadap (soal) masalah matematika, peneliti menggunakan

beberapa teknik pengumpulan data. Sugiono (2009: 225) membagi empat macam

teknik pengumpulan data yang umum digunakan dalam penelitian kualitatif, yaitu:

observasi, wawancara, dokumentasi, dan gabungan/triangulasi.

Teknik yang digunakan pada penelitian ini adalah triangulasi. Triangulasi

merupakan teknik pengumpulan data yang menggabungkan berbagai teknik (metode)

pengumpulan data dan sumber data yang tersedia. Tujuan triangulasi bukan untuk

mencari kebenaran dari suatu fenomena, tetapi lebih pada peningkatan pemahaman

peneliti terhadap apa yang telah ditemukan (Sugiyono, 2009: 241).

Jenis triangulasi yang digunakan dalam penelitian ini lebih pada triangulasi

“teknik” pengumpulan data, yaitu mengunakan bermacam-macam metode pada

sumber yang sama (Sugiono, 2009: 241). Adapun metode-metode pengumpuan data

yang dimaksud adalah sebagai berikut:

1. Observasi

Observasi yaitu teknik pengumpulan yang mengharuskan peneliti turun ke

(32)

waktu, peristiwa, tujuan dan perasaan (Kurniawan dkk, 2008: 8). Faisal (1990 dalam

Sugiyono, 2009: 226) mengklasifikasikan observasi menjadi observasi berpartisipasi,

observasi secara terang-terangan dan tersamar, dan observasi yang tak struktur.

Observasi dalam penelitian ini dilakukan dengan tidak berstruktur. Hal ini karena

dalam penelitian ini belum begitu jelas. Dalam observasi penelitian ini, tidak

menggunakan instrument penelitian yang baku. Peneliti hanya menggunakan

rambu-rambu pengamatan. Peneliti dapat melakukan pengamatan bebas, mencatat hal-hal

yang menarik, melakukan analisi dan kemudian membuat simpulan.

2. Wawancara

Wawancara merupakan pertemuan dua orang untuk pertukaran informasi dan

ide melalui tanya jawab, sehingga dapat mengkontruksi makna dalam suatu topik

tertentu. Esterberg (2002, dalam Sugiyono, 2009: 233) mengemukakan beberapa

macam wawancara, yaitu wawancara terstruktur, semiterstruktur, dan tidak

terstruktur. Dalam penelitian ini digunakan teknik wawancara tidak terstruktur.

Wawancara tidak terstruktur merupakan wawancara bebas, peneliti tidak

menggunakan pedoman wawancara yang tersusun sistematis dan lengkap untuk

mengumpulkan data. Pengunaan pedoman wawancara hanya berupa garis-garis besar

permasalahan yang akan ditanyakan.

Dalam wawancara tidak terstruktur, peneliti diharapkan lebih banyak

mendengar apa yang diceritakan subjek penelitian. Peneliti dituntut mampu

(33)

“berputar-putar baru menukik” agar pertanyaan fokus pada satu tujuan (Sugiono,

2009: 234). Metode wawancara seperti ini bertujuan untuk mengali lebih dalam

informasi tentang subjek penelitian.

Dalam prakteknya metode wawancara dapat dilaksanakan bersama-sama

dengan observasi (Sugiono, 2009: 232) (dalam waktu yang sama atau bergantian).

Hasil wawancara dapat dicek melalui observasi ataupun sebaliknya. Baik

dilaksanakan dalam waktu yang sama maupun bergantian, teknik wawancara dan

teknik observasi dapat saling melengkapi data penelitian. Kombinasi kedua teknik ini

dapat menghasilkan data yang lebih mendalam.

Pengunaan kombinasi metode wawancara dan observasi dimaksudkan agar

mendapat pengamatan yang lebih mendalam dalam pengumpulan informasi tentang:

1) kesesuaian daftar ceklis karakter dan perilaku bakat matematika pada subjek

penelitian; 2) tingkat berfikir kognitif subjek penelitian; 3) penguasaan materi

matematika subjek penelitian; 4) skema berfikir subjek penelitian terhadap materi

matematika yang dikuasinya; 5) pemahaman jenis-jenis masalah dan strategi

penyelesaian masalah subjek penelitian; 6) proses pencarian selesaian masalah subjek

penelitian.

3. Dokumentasi

Metode dokumentasi merupakan pengumpulan data dengan menggunakan

data sekunder yang bersumber dari catatan-catatan publik tentang hal-hal penting

(34)

Metode dokumentasi, peneliti lakukan di sepanjang penelitian. Sebelum

memasuki lapangan, peneliti mempelajari catatan-catatan belajar subjek penelitian

dari orangtua subjek untuk memahami bagaimana keberadaan karakter dan perilaku

bakat matematika subjek penelitian serta cara berfikir subjek penelitian berdasarkan

pandangan orangtua (sebagai pendidik subjek penelitian). Dalam kesempatan ini

peneliti juga mempelajari bagaimana terjadinya proses pembelajaran matematika

subjek penelitian. Hasil dokumentasi ini akan dijadikan sebagai petunjuk untuk

menyusun instrumen tes yang yang akan digunakan dalam pengumpulan data pada

tahap berikutnya.

Studi dokumentasi tetap dilakukan selama penelitian di lapangan dan

setelahnya. Selama penelitian di lapangan, seiring dengan semakin jelasnya fokus

penelitian, studi dokumentasi digunakan untuk menyempurnakan penyusunan

instrumen penelitian. Setelah penelitian di lapangan selesai, studi dokumentasi

digunakan untuk menguji keabsahan data. Temuan-temuan di lapangan kemudian

dicari kesesuaian dengan studi literatur terhadap laporan hasil-hasil penelitian yang

relevan dan artikel ilmiah yang berhubungan. Jika dalam hasil analisis tersebut data

belum mengarah pada satu kesimpulan, dilakukan perpanjangan pengamatan sampai

data jenuh.

I. Analisis Data

Analisis data kualitatif adalah proses mencari dan menyusun secara sistematis

(35)

sehingga dapat mudah difahami, dan temuannya dapat diinformasikan kepada orang

lain (Sugiono, 2009: 244).

Analisis data dalam penelitian kualitatif dilakukan sejak sebelum memasuki

lapangan, selama di lapangan, dan setelah selesai di lapangan (sugiyono, 2009: 245).

Miler dan Huberman mengemukakan bahwa aktivitas dalam analisis data kualitatif

dilakukan secara interaktif dan berlangsung secara terus menerus sampai tuntas,

sehingga datanya jenuh (Sugiono, 2009: 246). Aktivitas dalam analisis data yaitu:

reduksi data, penyajian data, penarikan kesimpulan dan verifikasi.

1. Reduksi data (data reduction)

Selama penelitian kualitatif, jumlah data akan semakin banyak, kompleks, dan

rumit. Mereduksi data berarti merangkum, memilih hal-hal pokok, memfokuskan

pada hal-hal penting, dicari tema dan polanya sehingga memperoleh gambaran

masalah yang jelas (Sugiono, 2009: 247).

2. Penyajian data (data display)

Data yang telah direduksi kemudian disajikan agar data lebih terorganisir,

tersusun dalam pola hubungan, sehingga semakin mudah difahami. Bentuk penyajian

data dalam penelitian kualitatif umumnya disajikan dalam bentuk teks naratif. Selain

naratif dapat juga dibentuk dalam grafik, matrik, network (jejaring kerja), dan chart

(Sugiono, 2009: 249).

(36)

Dalam penelitian kualitatif umumnya kesimpulan awal telah dibuat.

Tujuannya adalah untuk menduga jawaban yang mungkin dari rumusan masalah

dalam proposal penelitian.

Pada tahap ini bertujuan untuk mendapat kesimpulan yang kredibel. Dalam

penelitian kualitatif, seringkali kesimpulan awal bersifat sementara dan akan berubah

bila tidak ditemukan bukti-bukti yang kuat yang mendukung pada tahap

pengumpulan data berikutnya. Tetapi apabila kesimpulan didukung oleh bukti yang

valid dan konsisten (jenuh) saat pengumpulan data di lapangan, kesimpulan seperti

inilah yang merupakan kesimpulan yang kredibel (Sugiono, 2009: 252).

J. Uji Keabsahan Data

Untuk mempertanggungjawabkan kredibilitas dalam penelitian ini, peneliti

menguji keabsahan data dengan cara berikut:

1. Melaksanakan triangulasi

Triangulasi adalah langkah yang dilakukan untuk menguji keabsahan data

penelitian, terutama tentang konsistensi dari data tersebut. Sugiyono (2009: 273)

membagi tiga jenis triangulasi, antara lain: triangulasi sumber data, triangulasi teknik

pengumpulan data, triangulasi waktu pengumpulan data.

Penelitian ini hanya menggunakan triangulasi teknik pengumpulan data.

Triangulasi teknik pengumpulan data merupakan pengujian kredibilitas data yang

dilakukan dengan cara mengecek data kepada sumber yang sama dengan teknik

(37)

penelitian ini adalah wawancara, observasi, dan dokumentasi. Triangulasi sumber

data sulit terlaksana karena cara berfikir merupakan proses individual yang

tergantung pada pengalaman pemikir yang bersangkutan. Sangat sulit mendapat data

valid dari cara befikir seseorang dari dari orang lain. Sedangkan alasan triangulasi

waktu pengumpulan data tidak dilaksanakan karena pemahaman seseorang itu dapat

dipengaruhi pengalaman, cara berfikir seseorang pada saat ini kemungkinan akan

berbeda dengan cara berfikir di waktu yang lain karena bertambahnya pengalaman.

2. Memperpanjang pengamatan

Pada awal melakukan pengamatan, peneliti mungkin masih dianggap orang

asing, masih dicurigai, sehingga informasi yang diberikan masih belum lengkap.

Untuk mengatasi hal tersebut, peneliti dapat mengeceknya dengan melakukan

perpanjangan pengamatan. Dengan perpanjangan pengamatan ini, hubungan peneliti

dengan narasumber (subjek penelitian dan orangtua subjek penelitian) akan semakin

berbentuk rapport, semakin akrab (tidak ada jarak lagi), semakin terbuka, saling

mempercayai sehingga tidak ada informasi yang disembunyikan lagi. Bila telah

terbentuk rapport, maka akan terjadi kewajaran dalam penelitian, kehadiran peneliti

tidak lagi mengganggu perilaku yang sedang dipelajari (Sugiono, 2009: 271).

Perpanjangan pengamatan dilakukan jika data yang subjek penelitian

meragukan. Misalnya peneliti merasa ragu dengan pernyataan subjek penelitian yang

mengatakan tidak dapat menyelesaikan masalah dengan pendekatan aljabar. Peneliti

(38)

pemainan peneliti memberikan tes dan mewawancarainya hingga memperoleh

jawaban yang meyakinkan.

3. Diskusi dengan teman sejawat

Dalam pengecekan data kualitatif ada kalanya pendapat peneliti terlalu kuat

sehingga fenomena yang sebenarnya tidak teranalisis dengan baik. Analisis penelitian

ini membutuhkan orang lain untuk mendampinginya selama proses penelitian. Proses

pendampingan ini dapat diarahkan sebagai teman berdiskusi untuk mengulas tentang

pelaksanaan penelitiannya, atau dapat juga diarahkan sebagai teman untuk berdebat

yang selalu mengkritisi peneliti dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang

tajam mengenai penelitian.

Dalam melaksanakan penelitian ini, peneliti mandapatkan banyak teman

diskusi, termasuk dosen pembimbing, keluarga subjek penelitian, kelompok diskusi

mailinglist anakbakat@yahoogroups.com, dan orang-orang yang tertarik pada

penelitian anak cerdas istimewa.

4. Menggunakan bahan referensi

Bahan-bahan referensi dapat digunakan sebagai alat yang dapat mengkritisi

hasil penelitian, terutama untuk keperluan evaluasi dan konfrontasi teori, guna

menguji atau mengikis asumsi dan prasangka peneliti ketika melakukan proses

analisis informasi. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan berbagai bahan

referensi seperti berupa hasil penelitian terdahulu yang sejenis, buku-buku dan

(39)

K. Tahap-tahap penelitian

Fenomena penguasan materi matematika yang lebih cepat dari usianya karena

cara berfikir yang berbeda dari anak berbakat matematik merupakan masalah yang

tidak umum dalam penelitian. Sejauh pengetahuan peneliti, belum ada penelitian

khusus yang menjelaskan fenomena tersebut. Karena itu rancangan penelitian disusun

dari dugaan-dugaan yang bersifat sementara dan akan berkembang selama proses

penelitian.

Untuk memudahkan memahami bagaimana proses penelitian berlangsung,

berikut dipaparkan garis-garis besar dari tahapan penelitian, yaitu:

1. Studi literatur mengenai subjek dan objek penelitian

Pada tahap ini bertujuan untuk mencari fokus penelitian serta menyusun

instrumen yang akan digunakan selama penelitian.

2. Pengecekan bakat matematika terhadap subjek penelitian

Pada tahap ini dikumpulkan data berupa dokumentasi hasil tes IQ dan catatan

dalam akun pribadi facebook orangtua subjek tentang karakter kecerdasan istimewa

subjek penelitian, wawancara tentang keberadaan karakter G/VsL subjek penelitian

pada Orangtua subjek, dan menguji kemampuan spasial subjek penelitian dengan

intrumen tes. Pengumpulan data tersebut bertujuan untuk memastikan bahwa subjek

penelitian tidak mengalami hambatan dalam berfikir kreatif.

3. Pengecekan keberadaan fenomena objek penelitian pada subjek penelitian

(40)

Pengecekan dilakukan dengan mengumpulkan data dokumentasi catatan hasil belajar

subjek penelitian dalam akun pribadi facebook orangtua subjek dan mempelajari

literatur-literatur tentang perkembangan kognitif anak, serta melakukan pengamatan

langsung proses pemecahan masalah subjek penelitian terhadap soal masalah

geometri yang dikuasainya.

Pada tahap ini juga dilakukan pengecekan bagaimana subjek penelitian

mempelajari materi geometri. Pengamatan ini dilakukan untuk meyakinkan bahwa

“keaslian” pemecahan masalah subjek penelitian bukan didapat dari hasil latihan.

4. Observasi pemahaman masalah dan strategi pemecahan masalah subjek penelitian

Tahap ini merupakan pendalaman dari pengumpulan data tahap sebelumnya.

Pada tahap ini diberikan bermacan-macam masalah geometri untuk dipilih dan di cari

penyelesaiannya oleh subjek penelitian. Baik masalah yang dipilih maupun yang

tidak dipilih akan diwawancara dan diamati untuk menggali pemahaman masalah dan

strategi pemecahan masalah subjek penelitian.

5. Analisis data (kasus) dan uji keabsahan data

Analisis data dilaksanakan sepanjang penelitian sampai diperoleh kesimpulan

studi kasus yang kredibel. Untuk menguji kredibilitas data digunakan beberapa teknik

uji keabsahan data yang telah dikemukakan sebelumnya.

6. Kesimpulan dan rekomendasi

Pada tahap ini disusun kesimpulan dari penelitian dan rekomendasi hasil

(41)

BAB V

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

A. KESIMPULAN

Berdasarkan uraian-uraian hasil penelitian yang telah dikemukakan pada

bab-bab sebelumnya, dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut:

1. Subjek penelitian teridentifikasi dalam kelompok cerdas istimewa dengan gaya

berfikir visual spatial learner. Secara umum cara berfikir kelompok ini berbeda

dan paling mungkin belajar melalui pengalaman insight.

2. Fenomena pemahaman beberapa materi geometri yang lebih dini dari usia subjek

penelitian dapat dijelaskan dalam psikologi aliran Gestalt melalui insight

learning. Proses belajar ini diawali dengan proses trial and error (coba-coba dan

kesalahan) dan setelah muncul pengalaman insight, subjek penelitian segera

mendapat pemahaman baru yang berbeda dengan skema berfikir sebelumnya.

3. Fenomena pemahaman beberapa materi geometri yang lebih dini dari usia subjek

penelitian bukan pertanda kemajuan perkembangan kognitif yang lebih dini.

Pemahaman tersebut dibangun dari skema lama subjek penelitian yang belum

tentu skema tersebut memiliki kelengkapan seperti skema orang dewasa.

Kemampuan menggeneralisasi materi matematika tersebut termasuk dalam salah

satu karakter anak berbakat matematik.

4. Fenomena belajar matematika subjek penelitian dapat dijadikan indikator

(42)

5. Cara Subjek penelitian memecahkan soal masalah mencari luas daerah kurva

tertutup sederhana yang dikuasainya umumnya dengan cara memanipulasi daerah

kurva dengan memanfaatkan konsep luas daerah bangun datar yang dikuasainya.

Manipulasi daerah kurva tersebut dapat dilakukan dengan cara membagi daerah

kurva menjadi beberapa daerah atau menanbahkan daerah kurva agar menjadi

bentuk daerah bangun datar yang dikuasainya.

6. Selama memecahkan masalah yang melibatkan pengalaman insight perilaku dan

fokus pemikiran subjek penelitian berubah-ubah. Diawali dengan kecemasan yang

diperlihatkan dengan banyak bergerak. Perilaku tersebut berubah menjadi

keriangan setelah mengalami pengalaman insight. Perubahan tingkah laku

tersebut diduga berhubungan dengan struktur dan aktivitas otak anak berbakat

matematik yang berbeda.

7. Pengalaman insight dapat mengarahkan pada selesaian masalah atau hanya

membantu memahami masalah.

8. Pemecahan masalah yang melibatkan pengalaman insight setidaknya dipengaruhi

oleh minat dan skema berfikir pemecah masalah.

9. Pemecahan masalah yang melibatkan pengalaman insight dapat didokumentasikan setidaknya jika pengamat dapat mengikuti proses pemecahan

masalah dari awal dan mengamati skema berfikir yang diamati sebelum dan

(43)

B. REKOMENDASI

Berkaitan dengan hasil penelitian, pada bagian ini dikemukakan beberapa

rekomendasi yang ditujukan pada beberapa pihak yang terkait. Rekomendasi yang

dimaksud adalah sebagai berikut:

1. Subjek penelitian

Rekomendasi ini bertujuan untuk pengembangan pembelajaran matematika

subjek penelitian. Rekomendasi tersebut sebagai berikut:

a. Agar proses pemecahan masalah subjek penelitian dipahami orang lain, subjek

penelitian perlu mencoba berlatih menuliskan langkah-langkah pemecahan

masalah secara rinci. Penulisan langkah-langkah pemecahan masalah ini dapat

membantu mengoreksi kemungkinan kesalahan subjek penelitian.

b. Untuk mengembangkan kemampuan pemecahan masalah, subjek penelitian dapat

berlatih berbagai strategi pemecahan masalah yang sudah ada. Dengan variasi

strategi pemecahan masalah subjek penelitian dapat memilih strategi seperti apa

yang paling efisien untuknya.

c. Agar pemahaman geometri subjek penelitian berkembang, subjek penelitian dapat

mulai berlatih menyelesaikan masalah geometri yang berhubungan dengan

(44)

2. Bagi Orangtua Subjek penelitian

Memenuhi keinginan belajar anak yang berfikir dengan cara yang berbeda

mungkin menyulitkan. Untuk membantu orangtua memberikan pembelajaran yang

sesuai dengan subjek penelitian disusunlah rekomendasi berikut:

a. Dibandingkan memberikan pembelajaran yang diinginkanan subjek penelitian,

peneliti menyarankan memberikan pendalaman materi yang dikuasainya untuk

melengkapi skema berfikir subjek penelitian.

b. Untuk menghindari pembelajaran yang mengganggu waktu tidur sebaiknya

orangtua melakukan penjadwalan belajar subjek penelitian yang disepakati

bersama. Selain itu pemberian ruang belajar yang bebas dari gangguan (suara

gaduh dan faktor yang mengganggu lainnya) dapat membantu penyelesaian

masalah subjek penelitian tanpa harus menunggu malam hari.

c. Selain memberikan bimbingan dan pelatihan untuk kemampuan subjek penelitian

yang kurang, faktor kuat subjek penelitian perlu dikembangkan untuk

menghindari kebosanan subjek penelitian.

3. Bagi Pendidik

Memberikan pelayanan pendidikan untuk semua peserta didik adalah tugas

pendidik. Berikut ini beberapa rekomendasi penganan pembelajaran matematika

untuk anak dengan cara berfikir yang berbeda.

a. Untuk menghindari konflik karena cara berfikir yang berbeda, pendidik sebaiknya

(45)

b. Pendidik harus memberikan kebebasan belajar sesuai dengan cara berfikir peserta

didik agar skema berfikirnya berkembang. Sesekali pendidik dapat berdiskusi

dengan peserta didik tentang skema pemahaman materi-materi matematika dan

bila memungkinkan dapat juga melengkapi skemanya.

c. Jika cara berfikirnya berpotensi mengganggu peserta didik yang lain sebaiknya

peserta didik tersebut belajar terpisah dengan materi yang disesuaikan

perkembangan berfikirnya.

4. Penelitian Selanjutnya

Bagaikan fenomena gunung es, dalam penelitian ini bermunculan

masalah-masalah yang menarik untuk diteliti. Berikut ini beberapa rekomendasi yang dapat

digunaan perbaikan dan pengembangan penelitian kecenderungan cara berfikir anak

cerdas istimewa.

a. Agar mendapat gambaran kecenderungan cara berfikir anak cerdas istimewa yang

lebih mendalam, ada baiknya pengamatan lapangan dilakukan oleh beberapa

pengamat dari berbagai disiplin ilmu. Setiap pengamat dapat mengamati satu atau

lebih fokus pengamatan sehingga akan didapat gambaran fenomena dari berbagai

sudut pandang.

b. Penggunaan instrumen pengidentifikasian karakter visual spatial learner dan

instrumen pengamatan perkembangan kognitif pada anak berbakat matematik dari

kelompok selain cerdas istimewa dengan gaya berfikir visual spatial learner

(46)

gaya berfikir visual spatial learner dengan kelompok anak berbakat matematika.

Selain itu akan juga diperoleh gambaran hubungan tingkat perkembangan kognitif

dengan pencapaian matematika pada anak berbakat matematik.

c. Penelitian tentang hubungan model The Three Ring dari Renzulli dengan

kelompok cerdas istimewa dengan kesulitan ganda dapat membantu prosedur

pengidentifikasian anak cerdas istimewa yang membutuhkan layanan pendidikan

khusus.

d. Penelitian hubungan tugas berfikir spasial dengan anak berbakat matematik dari

kelompok cerdas istimewa dengan gaya berfikir visual spatial learner dapat

memberikan gambaran pada kelompok visual spatial learner seperti apa yang

paling berpeluang menjadi anak berbakat matematik.

e. Untuk memahami hubungan kelompok cerdas istimewa dengan asperger

syndrome dan kelompok cerdas istimewa dengan gaya berfikir visual spatial

learner, perlu diteliti kecenderungan cara berfikir kelompok cerdas istimewa dengan asperger syndrome dalam materi matematika.

f. Untuk mendapat gambaran aktivitas pemecahan masalah matematika, pengunaan

(47)

DAFTAR PUSTAKA

Abdurahman. (2010). Mengenal Gaya Belajar Matematika Penyandang “The

Einstein Syndrome”. Tugas Seminar Pendidikan Matematika pada

FPMIPA UPI. Tidak diterbitkan

Abidin, Z. (2006). Pendekatan Kualitatif pada Skripsi Mahasiswa Psikologi UNDIP Tahun 2006. Jurnal Psikologi Universitas Diponegoro. Vol. 3 (2),

hal. 26-36. [Online]. Tersedia:

http://ejournal.undip.ac.id/index.php/psikologi/article/download/654/529

[15 Desember 2011]

Abied. (Tanpa tahun-a). Modul-Matematika-Teori-Belajar-Piaget. [Online]. Tersedia: http://masbied.files.wordpress.com/2011/05/modul-matematika-teori-belajar-piaget.pdf [15 Desember 2011]

Abied. (Tanpa tahun-b). Modul-Matematika-Teori-Belajar-van-Hielle. [Online]. Tersedia: http://masbied.files.wordpress.com/2011/05/modul-matematika-Program Magister Keperawatan, Fakultas Kedokteran dan Kesehatan Universitas Muhamadiyah Jakarta. [Online]. Tersedia:

Http://Virgana.Files.Wordpress.Com/2012/01/Umj-Jean-Piaget-Riris-Andriati.Docx [15 Desember 2011]

Anonim. (2009). Gifted atau Autisme Bagaimana Membedakannya?. Di bawakan dalam Seminar Gifted-Autisme – ADHD Penanganan dan Permasalahannya, di Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada Jogjakarta, 11 December 2004. [Online]. Tersedia:

http://gamalbudidoyo.blogspot.com/2009/03/gifted-atau-autisme-bagaimana.html [15 Desember 2011]

Argapratama, Y. (2010). Gifted atau Autisme Bagaimana Membedakannya?(part

18). [Online]. Tersedia:

Referensi

Dokumen terkait