• Tidak ada hasil yang ditemukan

PARTISIPASI WANITA DALAM OLAHRAGA PRESTASI :Sebuah Analisis Tentang Peran Pola Asuhan dan Proses Sosialisasi ke dalam Olahraga dari Perspektif Kesetaraan Gender.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "PARTISIPASI WANITA DALAM OLAHRAGA PRESTASI :Sebuah Analisis Tentang Peran Pola Asuhan dan Proses Sosialisasi ke dalam Olahraga dari Perspektif Kesetaraan Gender."

Copied!
100
0
0

Teks penuh

(1)

DAFTAR ISI

A. Kesetaraan gender dan Proses Sosialisasi... 7

B. Partisipasi Wanita dalam Berolahraga ... 18

II. Permasalahan Penelitian ……….. 28

BAB II. Kajian Teoritis Tentang Pengaruh Pola Asuh dalam Membentuk Atlet Perempuan Sebagai Atlet Elit ... 41 II. Pengaruh Lingkungan dalam Menginternalisasi Gender... 75

A. Internalisasi gender di ingkungan keluarga ... 75

B. Internalisasi gender di lingkungan sekolah ... 82

C. Pendidikan Sebagai Sarana Penyetaraan Gender ... 89

III.Dimensi Wanita ... 100

A. Perempuan dari sisi sosial ... 101

B. Perempuan dari sisi budaya ... 105

C. Kaitan budaya dan stereotip gender ... 113

IV.Perkembangan Atlet Wanita ... 121

(2)

B. Logika Hukum dalam Mengeliminir Bias Gender ... 129

C. Peran ganda perempuan (sektor domestik dan publik) ... 133

V. Beberapa Teori yang Mendukung Kesetaraan Gender ... 141

A. Teori Konflik dalam Gender ... 141

B. Teori struktural fungsional dalam gender ... 149

C. Teori feminisme ... 157

D. Cuplikan Penelitian Terdahulu sebagai Pendukung Penelitian 160 BAB III. Metode Penelitian ... 165

A. Pendekatan dan Rancangan Penelitian ... 165

B. Prosedur penelitian ... 174

C. Pemilihan tata latar (setting) penelitian ... 175

(3)
(4)
(5)

DAFTAR TABEL

2.1. Aktivitas laki-laki dan perempuan yang bekerja

di luar dan di dalam rumah untuk beberapa negara ………. . 80 2.2. Tingkat kematian laki-laki dan perempuan dalam rentang ... 136 2.3. Perbandingan rata-rata hidup laki-laki dan perempuan

(6)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Permasalahan utama yang akan diungkap dalam penelitian ini adalah diskriminasi gender dalam olahraga prestasi, utamanya olahraga yang mengundang citra laki-laki. Pada hal telah banyak payung hukum yang dibuat terkait dengan kesetaraan gender, seperti: konsep diskriminasi (discrimination) gender dalam konvensi CEDAW yang menyuarakan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. Demikian pula Undang-Undang Republik Indonesia No 3 Thn 2005 Pasal 6 Bab IV tentang Sistem Keolahragaan Nasional (SKN) yang menegaskan

mengenai hak yang sama bagi setiap warga negara untuk berolahraga, serta memperoleh pelayanan sesuai dengan kemampuan dalam kegiatan olahraga.

(7)

Diskriminasi terhadap perempuan di Indonesia menyebabkan sempitnya kesempatan mereka untuk berperan di masyarakat. Di lain pihak pemerintah Indonesia telah menunjukkan komitmen bersama masyarakat internasional untuk mengatasi aneka diskriminasi tersebut dengan ikut serta meratifikasi konvensi penghapusan semua bentuk diskriminasi terhadap perempuan atau CEDAW (The Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women) pada tahun 1975 di markas besar PBB. Komitmen itu diperkuat pula dengan diterbitkannya Undang-Undang RI no 7 tahun 1984 sebagai implementasi CEDAW yang berjalan 20 tahun lamanya, meski hanya segelintir orang tahu dan menjalankannya. Padahal sebagai payung hukum baik CEDAW maupun UU RI no 7 tahun 1984 harus mampu melindungi perempuan dalam berbagai aktivitasnya. Namun isi konvensi dan Undang-Undang tersebut belum sepenuhnya diwujudkan, hingga berhasil mendudukkan perempuan setara dengan kaum laki-laki. Bahkan potret popular yang ditampilkan wanita di Indonesia tak ubahnya dengan profil wanita di kawasan Asia Tenggara yakni sosok korban yang mengalami tingginya angka buta huruf, kemiskinan, dan rendahnya harapan hidup (Rena,1998:12). Masalah sosial inilah di antaranya yang ingin dituntaskan melalui program pengentasan kemiskinan, program penurunan angka kematian akibat melahirkan, dan pemerataan pendidikan yang menjadi sasaran Millenium Development Goals 2015. Isu ini sangat relevan untuk menyoroti masalah sosial Indonesia.

(8)

‘pingitan’. Beberapa tokoh yang dikenal oleh masyarakat luas seperti Tjut Nyak Dien, Dewi Sartika, Rasuna Said, Rahmah El Yunusiah, dan khususnya Raden Ajeng Kartini, melancarkan gerakan pembebasan kaum wanita melalui program pendidikan. Fakta sejarah ini terekam dalam surat-surat Kartini, seperti tertuang dalam naskah alih bahasa Sulastin Sutrisno (1981:IX) dari buku edisi Belanda yang berjudul Door Duisternis tot Licht yang ditulis oleh keluarga Abendanon pada sekitar tahun 1911, adalah “ … lebih mirip artinya adalah memperlihatkan gerak aktif melintasi kegelapan untuk sampai pada terang.”

Melalui program yang bercorak non-formal education (pendidikan luar sekolah), upaya Kartini dinilai memberi inspirasi bagi kaum perempuan Indonesia, dan secara langsung ikut memberi isi pada pertumbuhan nasionalisme awal (proto-nationalisme). Boleh disebut kegiatan Kartini, mengambil istilah yang pernah dipaparkan Azra (2008:10) sebagai “… dimensi sosial dan kultural” Ini berarti dibutuhkan upaya yang lebih giat terutama melalui penetapan dan penerapan kebijakan publik dari pihak pemerintah untuk memberdayakan perempuan, didukung pula oleh upaya masyarakat luas untuk menghapus diskriminasi terhadap perempuan dalam berbagai faset kehidupan.

(9)

warna pakaian, dan perilaku sehari-hari, hingga pada perolehan pendidikan dan aktivitas lainnya seperti keterlibatan dalam kegiatan berolahraga.

Selanjutnya dari tahun ke tahun, peringatan hari Kartini membangkitkan inspirasi untuk memberdayakan perempuan. Karena perempuan ini, ternyata tidak saja aktif dalam usaha ekonomi, tetapi terus menerus memperbaiki posisinya. Mereka ini kata Ravana dalam risalahnya “Women as the leader, development … are not the submissive, sufferace for active players , projected by the media, but active players, within the limitation the face.”

(10)

Kasus penonjolan prestasi wanita lainnya ialah terpilihnya Rukmini Hadihartini sebagai direktur wanita pertama di Pertamina. Dalam Harian Jawa Pos (18 April 2008) pada halaman depan wartawan menulis, “Baru kali ini Pertamina punya direktur wanita” dan perihal pencapaian karirnya, ketika ditanya wartawan, Rukmini berkomentar, “… Ya, inilah emansipasi.” Dalam kalimat lainnya Rukmini menjelaskan makna emansipasi yang sesungguhnya yaitu “…stereotipe kaum Hawa sebagai mahluk yang lemah dan tidak sekuat kaum Adam harus dihilangkan.”

(11)

pemerintahan pusat seperti kuota 30 persen anggota DPR, untuk wanita di Indonesia, masih jauh dari harapan. Dalam olahraga tampil Rita Subowo sebagai wanita pertama di Indonesia menjabat ketua umum Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) tahun 2007 dan selanjutnya Datuk Azelina menjadi menteri olahraga dan pemuda, tokoh wanita muda dari Malaysia.

Cuplikan data kecil ini memberi gambaran tentang struktur dasar sosial yang esensial yang mencerminkan masih sempitnya kesempatan bagi wanita sekarang untuk lebih leluasa berperan di masyarakat atau untuk memangku jabatan struktural, termasuk jabatan tertinggi di bidang olahraga. Situasi ini terkait pula dengan perubahan sosial yang dipengaruhi oleh nilai-nilai inti, terutama tentang nilai-nilai kesetaraan gender yang akhir-akhir ini dalam banyak perdebatan mencuat sebagai tema utama, baik pada tataran internasional maupun nasional. Isu inilah, terutama tentang tata latar proses sosialisasi di lingkungan keluarga, dan pengaruhnya terhadap pilihan kegiatan wanita dalam olahraga prestasi, yang menjadi tema sentral penelitian ini.

A. Kesetaraan Gender dan Proses Sosialisasi

Lawan dari kesetaraan adalah diskriminasi. Konsep diskriminasi (discrimination) gender dalam konvensi CEDAW yang dimuat dalam Jurnal Perempuan edisi 45 (Munti, 2006:23) dijabarkan secara rinci yakni:

(12)

Substansi deklarasi ini dapat ditelusuri yakni merujuk kepada payung besar, Universal Declaration of Human Rights, yang diadopsi dan dicanangkan dalam Sidang Umum Persatuan Bangsa Bangsa (PBB) no 217 A (III) 10 Desember 1948, yang di antaranya dalam mukadimah berbunyi: ”Whereas recognition of the inherent dignity and of the equal and inalienable rights of all members of the human family is the foundation of freedom, justice and peace in the world.”

Realisasi dari prinsip kesetaraan itu juga dapat disimak dalam penyelenggaraan pendidikan yang bersifat inklusif di Indonesia seperti tersurat dalam Bab 3 UU Sisdiknas tentang hak warga untuk memperoleh pendidikan. Dalam pasal 5, 6, dan 7 (UU SISDIKNAS, 1984:21) disebutkan bahwa ”Setiap warga negara berhak untuk mengikuti pendidikan.” Seterusnya ditegaskan bahwa, ”Penerimaan seseorang sebagai peserta didik dalam suatu satuan pendidikan diselenggarakan dengan tidak membedakan jenis kelamin, agama, suku, ras, kedudukan sosial, dan tingkat kemampuan ekonomi.” (1989:4-5).

Undang-Undang Sisdiknas tersebut di atas menegaskan prinsip demokratisasi dalam pendidikan, sehingga pendidikan merupakan hak azasi semua warga Indonesia, tanpa terkecuali, yang berimplikasi bahwa setiap warga negara memiliki hak yang sama untuk memperoleh pendidikan pada setiap jenis dan jenjang pendidikan. Karena itu pengaturan pelaksanaan hak tersebut tidak boleh mengurangi arti keadilan bagi setiap warga untuk memperoleh pendidikan, selain sangat menekankan prinsip persamaan, yang memang sejak lama menjadi isu nasional, seperti dituangkan dalam kebijakan pemerataan pendidikan.

(13)

membangun dan menata sistem, di dalamnya antara lain ditegaskan mengenai hak yang sama bagi setiap warga negara untuk berolahraga, serta memperoleh pelayanan sesuai dengan kemampuan dalam kegiatan olahraga. Dalam Pasal 6 Bab IV ditegaskan hak semua orang untuk berolahraga, yang berarti baik laki-laki maupun perempuan harus memperoleh kesempatan yang sama untuk berolahraga (Menpora, 2008).

Yang menjadi persoalan ialah sejauh mana implementasi payung hukum tersebut, sama hal nya dengan realisasi penerapan beberapa butir deklarasi dalam bidang olahraga, seperti Deklarasi Paris 1978 yang dirumuskan oleh UNESCO perihal International Charter of Physical Education and Sport. Dalam pasal satu ditegaskan tentang hak azasi manusia untuk berolahraga. Dapat juga disimak secara seksama isi Olympic Charter yang melarang “Any form of discrimination with regard to a person on grounds of race, religion, politics, sex or otherwise in compatible which belonging to Olympic movement.”

(14)

olahraga, seperti dalam Brightown Declaration (1994), Wind Lock dan Paris Call for Action (1994 dan 2004) dan memorandum Berlin (2002).

Olahraga modern, termasuk lembaga olahraga elit kompetitif telah melalaikan peranannya sebagai pelestarian budaya yang membentuk “masculine cultural”, budaya dominasi laki-laki. Dalam kaitan ini Guilianotti (2005:80) menjelaskan bahwa “Sport, institution at elite and gross roots levels still typically harbour formal and informal restrictions on woman’s full participations.” Sebaliknya karena dipengaruhi oleh sistem sosial seperti di Cina yang diinspirasi oleh Red Sport Movement (Gerakan Olahraga Merah) yang didirikan tahun 1932 para wanita ditempa “to produce moral active identities, iron bodies and fresh duty responsibilities for women (Hong, 1997; dalam Giulianotti, 2005:85). Keadaan serupa dijumpai dalam era Uni Sovyet, yakni para atlet wanita digembleng agar memiliki “courage, skill, even stereographic,” dan dalam olahraga “ winning, prestige for club, fantacy, farm region, ethnic group and republic.” ( Riordan, 1991;1999; dalam Guilianotti, 2005:85).

(15)

minat dan peran antara kaum laki-laki dan perempuan.” Jadi jelas bahwa pembedaan antara pria dan wanita yang terjadi di masyarakat itu cenderung dibentuk di masyarakat oleh nilai budaya, sehingga masyarakat memberi peran dan kesempatan yang berbeda kepada anak laki-laki dan perempuan. Nilai budaya yang melandasi perlakuan terhadap masing-masing anak semacam itu diwariskan atau diawetkan dari generasi tua ke generasi berikutnya, dimulai dari lingkungan keluarga.

Para orang tua mengalihkan nilai-nilai yang diusung oleh masyarakat melalui proses sosialisasi dalam bentuk pemberian peran kepada keturunannya, masing-masing sebagai laki-laki dan peran sebagai perempuan, dan masyarakat ikut serta menggiringnya tentang bagaimana seharusnya seorang laki-laki dan perempuan bersikap atau berbuat. Lambat laun sikap, pandangan, dan perlakuan seperti itu melekat menjadi stereotip gender. Nelien (2005:04) menjelaskan bahwa “makna-makna sosial yang diberikan atas perbedaan jenis kelamin secara biologis ini tercakup dalam istilah gender.”

(16)

Rumusan ke arah persamaan gender itu telah dimulai di Konferensi Vienna (1993), disusul UN International Conference on Population and Development (CPD) di Cairo tahun 1994 dan di Beijing tahun 1995 yang berisi platform tindakan nyata yang memberi tenaga bagi perjuangan hak wanita dan persamaan gender untuk beberapa tahun mendatang. Platform tindakan nyata tersebut menemukan prinsip umum kekuasaan (power) antara wanita dan pria di rumah, di tempat bekerja, dan di dalam lingkup masyarakat nasional dan internasional yang lebih luas. Gagasan penting lainnya ialah tentang “the principal of equility of women and man had to be integral to the socialization process.” Dengan kata lain persamaan derajat antara pria dan wanita itu harus menjadi bagian tak terpisahkan dari proses sosialisasi.

Pertanyaan penting di mana proses sosialisasi dimulai, dijelaskan oleh Jivka (1993) bahwa proses itu berlangsung di keluarga, sekolah, dan tempat bekerja. Di keluarga proses sosialisasi dimulai sejak usia dini atau “it starts with the opening of the eyes of the small baby.” Karena sejak itu kata Jivka (1993) dalam konteks budaya yang berbeda-beda, terhadap anak laki-laki dan perempuan dengan nuansa yang berbeda pula, sering kali diajarkan sejak awal yakni anak perempuan harus patuh dan anak laki-laki harus jadi pemimpin dan kuat. Karena itu, peran keluarga merupakan awal dari proses sosialisasi peranan gender, termasuk penghapusan stereotipe yang membedakan pria dan wanita.

(17)

Tidak kalah penting ialah sosialisasi di lapangan kerja. Hal ini berkenaan dengan pemberian status dan jabatan tanpa membedakan gender, kecuali berdasarkan prestasi dan kompetensi. Di Indonesia, misalnya, tindakan nyata sebenarnya sudah dimulai dikampanyekan di lembaga-lembaga seperti, alokasi 30% kursi di DPR untuk wanita. Selain itu mulai diupayakan jatah untuk wanita sebagai pengurus federasi olahraga lokal dan nasional.

Bagaimana peran wanita masih terbentur dengan atribut yang melekat pada dirinya, seperti dipaparkan dalam rekaman ceramah Fan Hong (2005) yakni meliputi,

(1) women are mothers and wives;

(2) women do the cooking, mending, sewing and washing;

(3) women take care of men and are subordinate to male authority;

(4) women are largely excluded from high-status occupations and from positions of power.

Paparan Fan Hong tersebut lebih menilik perempuan yang cenderung untuk mengerjakan aktivitas domestik dalam lingkungan keluarganya, dari mulai sebagai ibu rumah tangga dengan pekerjaan seperti memasak, mencuci, menjahit, mengasuh, yang keseluruhannya itu terbatas pada pelayanan kebutuhan seluruh anggota keluarga. Dalam dua butir terakhir lebih spesifik lagi diungkapkannya tentang status wanita yang lebih rendah dari pada laki-laki karena sepenuhnya mengurus keperluan laki-laki. Selanjutnya status perempuan selalu di nomor duakan dalam hal otoritas yang membuat kelompok perempuan terkucilkan dari kesempatan untuk memangku jabatan tinggi atau memegang tampuk kekuasaan.

(18)

yang pada intinya menempatkan perempuan pada sifat dan peran yang lebih rendah dari pada laki-laki. Dalam penafsiran yang berbeda mengenai pendapat ini Soekarno (1963:9) sebagai Presiden pertama Republik Indonesia, misalnya menjelaskan maknanya sebagai berikut:

... terlihat dari perilaku suami pada istrinya dan orang tua pada anak perempuannya, yang senantiasa diibaratkan bak mutiara yang disimpan dalam kotak (pingitan). Pingitan semacam ini prinsipnya sama sekali bukan bertujuan untuk memperbudak, menghina, atau merendahkan kaum perempuan, akan tetapi lebih pada upaya untuk menjaga, menghormati dan memuliakannya.

Agak bertentangan dengan pendapatnya di atas, Bung Karno (1963:9) malah menyatakan bahwa ”... penjagaan yang cukup ketat yang diibaratkan pundi-pundi dewi itu menjadikan setiap wanita tidak pernah dianggap akil-balig sampai mati.” Kemudian istilah sangat mencintai, sangat menyayangi, menghargai, menjaga, menghormati bahkan memuliakan para perempuan, bukankah perilaku dari pola pemingitan. Bahkan Sukarno mengistilahkan sebagai ”Suatu blasteran antara seorang dewi dan seorang tolol.” Rasionalisasi budaya pingitan seperti itu juga dijumpai dalam praktek meringkus kaki dalam sepatu sempit sejak kecil atau ’footbinding’ di kalangan perempuan di Cina yang menurut laki-laki di Cina, perempuan dengan kaki cacat dan kecil yang berjalan tertatih-tatih itu terlihat lebih seksi (Fan Hong, 2005). Selain itu meskipun belum dijumpai penelitian yang serupa itu di Indonesia, perempuan bangsawan Madura memakai hiasan gelang kaki yang disebut ”penggel” yang beratnya bisa mencapai 3 kg dari bahan perak atau emas. Penggel adalah simbol kebanggaan wanita Madura (TMI, 2008:4), atau anting-anting besar di kuping perempuan Suku Dayak di Kalimantan Timur, seluruhnya dapat dilihat sebagai wujud budaya pingitan.

(19)

rumah tangga sudah mulai tampak. Berkaitan dengan fenomena ini Muthali’in (2001:65) menjelaskan bahwa ”Perempuan sudah menunjukkan kecenderungan untuk berperan di sektor publik, meski yang dipilih masih peran-peran feminin, dan sektor domestik masih menjadi tanggung jawabnya, sehingga muncul peran ganda pada perempuan.” Dengan kata lain pemberian peran atau pilihan peran lebih disesuaikan pada struktur tugas dengan sifat yang lazim di masyarakat, karena sebagian besar warga masyarakat masih terperangkap pada pandangan stereotip yang sudah mengakar.

Dalam konteks pembangunan bangsa, rumusan Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) Thn 1983, menempatkan peranan wanita, yang jika dicermati sepenuhnya merupakan praktik diskriminasi yang boleh jadi dipengaruhi oleh mitos kodrat wanita. Di dalamnya dinyatakan: (1) istri pendamping suami, (2) ibu pengelola rumah tangga, (3) ibu penerus keturunan, pendidik anak, dan pembina generasi muda, (4) sebagai pekerja untuk menambah penghasilan suami, dan (5) sebagai anggota organisasi sosial kemasyarakatan, khususnya organisasi perempuan. Rumusan GBHN seperti ini mengundang kritik yang mengharapkan perempuan berperan sejajar dengan laki-laki, jangan hanya sebagai objek, tetapi mestinya juga sebagai subjek pembangunan (Soetanto, 1991:13). Mudah dipahami pada masa itu, semua program berada di bawah paradigma ”Pembangunan nasional” yang dipandu oleh Trilogi Pembangunan, di antaranya stabilitas nasional, meskipun intervensi pemerintah terasa ke semua bidang, termasuk peranan wanita. Kemajuan yang dicapai dalam ekonomi, tetapi imbalannya, mengutip paparan Nina Herlina (2008:6) ”... negara betul-betul menguasai rakyat, hingga menarik hak aktif mereka yang juga diinginkan oleh negara.”

(20)

maupun sebagai sumber daya insani pembangunan merupakan mitra sejajar pria dan mempunyai hak dan kewajiban serta kesempatan yang sama dengan pria dalam pembangunan di segala bidang.” Niat baik untuk mendudukkan wanita setara dengan pria dinyatakan oleh Presiden Soeharto dalam sambutan pada peringatan Hari Ibu ke-22 Desember 1995: ”Pada hakekatnya wanita sebagai insan pembangunan mempunyai peran sejajar dengan pria.” Isi pidato itu kemudian ditegaskan kembali dengan diterbitkannya Instruksi Presiden no 5 tahun 1995.

Sosialisasi tentang gender ini sebenarnya telah masuk secara rasional, tetapi masih lemah dalam politik, sebuah proses yang mirip dengan hasil kajian Ollenburger dan Moore (1996:145-192) terhadap sekolah di Amerika, yang menunjukkan bahwa awalnya dalam praktik, diskriminasi para perempuan telah berkembang melalui masyarakat, memperoleh pendidikan pada jenjang tertentu. Meski diskriminasi itu belakangan berkurang, namun dalam wujud lain masih tampak.

(21)

olahraga keras atau Masculine Sport (Nelien, 2005:28). Selanjutnya Nelien (2005:29) mengemukakan beberapa bukti ketidakadilan gender sebagaimana hasil pengamatannya dari beberapa literatur seperti dalam Bhasin (1996), Mosse (1996), Prasetyio dan Marzuki (1997), Ihromi (1990) yaitu meliputi: “ (1) marginalisasi perempuan, (2) subordinasi perempuan, (3) stereotip jenis kelamin, (4) beban kerja lebih berat, dan (5) kekerasan terhadap perempuan.”

Kesetaraan gender dianggap akan bisa dicapai manakala sesuatu yang kecil dan ekstra khusus dapat dilakukan oleh anak perempuan. Artinya hal-hal yang tadinya dianggap sepele dan selalu menjadi kebiasaan laki-laki juga dibiasakan untuk anak perempuan. Misalnya, aktivitas naik turun kursi, memanjat pohon, dan lainnya yang sejenis meskipun kelihatan sepele yang biasanya cocok untuk anak laki-laki, dapat juga dilakukan oleh anak perempuan, dan hal itu perlu disertai restu orang tuanya. Jika gagasan penyetaraan gender tidak dimulai dari keluarga sebagai tempat pendidikan pertama anak, maka cita-cita tentang kesetaraan gender dalam praktiknya sukar diwujudkan, karena ketidak setaraan gender telah dimantapkan secara mendalam dalam struktur sosial, ekonomi, kebudayaan, dan politik di masyarakat.

(22)

yang memasuki sekolah) untuk tingkat Sekolah Dasar (SD) 100:95; untuk SLTP 100:89; untuk SLTA 100:84; dan untuk Perguruan Tinggi 100: 69. Sebaliknya, imbasnya dari ketimpangan gender itu ialah munculnya prestasi dari kalangan kaum perempuan. Dari agenda wisudawan di Universitas Pendidikan Indonesia, kebanyakan wisudawan wanita mencapai predikat cum-laude, jauh melebihi proporsi wisudawan pria.

Pemilihan pendidikan juga dipandang sebagai upaya pembedaan gender, karena tidak saja terlihat dari sisi kualitas, akan tetapi secara kuantitas sungguh tidak berimbang pula. Ini dapat dilihat dari anak perempuan yang hanya tamat SD jumlahnya jauh lebih banyak dibanding laki-laki. Dalam ulasan kualitatif Nelien (2005:21) dengan jelas mengungkapkan bahwa ” Di antara anak-anak yang tidak bersekolah di seluruh dunia 60% adalah anak perempuan.” Demikian pula Wille (2002) dan Nelien (2005:21) menggali hasil studi tentang latar belakang pekerja anak dan menyimpulkan bahwa ”Anak perempuan memiliki tingkat pendidikan yang lebih rendah dari pada anak laki-laki.”

B. Partisipasi Wanita dalam Berolahraga

(23)

tim pria. Sebagai contoh pada tahun 1974 budget program olahraga pria lima kali lipat budget untuk wanita. Bahkan pada tingkat Universitas perbedaannya sampai 100 kali lipat.

Kondisi ini juga dipicu oleh tataran birokrasi yang menjadi penghambat peraihan peluang para perempuan untuk berprestasi di bidang olahraga. Karena itu, di Kanada strategi pembungunan olahraga berubah dari “equality” menjadi “equity” dengan alasan kalau hanya dijamin “equality” kebijakan ini membuka pintu bagi kelompok tak beruntung (disadvantaged groups) termasuk wanita. Tapi melalui kebijakan kesetaraan (equity policy), sistem keolahragaan itu sendiri menjamin keterlibatan dalam olahraga: atau “are equity similar for man and women.” (Guilianotti 2005:89; dalam M.A.Hill, 2002:203).

Kondisi lainnya memperlihatkan diskriminasi, yaitu dalam penggunaan fasilitas dan peralatan dan seringkali sarana yang lebih baru diperuntukkan bagi laki-laki, sedangkan wanita menggunakan yang lama. Bahkan wanita menggunakan peralatan bekas tim pria dan jika tidak ada yang bekas terkadang tim wanita tidak mempunyai apa-apa. Dalam menggunakan fasilitas yang sama, wanita mendapatkan giliran jadwal yang tidak fair. Wanita tidak mendapatkan perhatian yang cukup mengenai latihan seperti halnya pria. Sebagai ilustrasi bahwa sering kali untuk berangkat ke pertandingan, tim wanita harus menggunakan bis padahal tim pria mendapatkan pelayanan pesawat.

(24)

pesan adalah dominasi citra laki-laki, atau secara eksplisit seperti paparan Resner dan Dunbar dan Hunt (2000) dalam Guilianotti (2005:99) yaitu “Sport media disseminate dominant masculine norms among boys and young manhood formula, build won themes of gender, rare, mediterism, aggression, violence, and commercialism. Demikian pula diungkapkan oleh Donna Lopiano (2004) yakni; ”We must use and support highly visible media tactics.” Penjelasan singkat ini memaparkan adanya perbedaan peliputan media terhadap wanita dalam olahraga yang secara langsung media ikut membangun citra olahraga hanya cocok untuk laki-laki.

Stratifikasi gender dalam olahraga sudah lama terjadi hingga akhir abad ke-19. Sub-kultur pemuda perkasa merebak dalam aneka kegiatan masa lalu seperti dalam ”olahraga berdarah” misalnya tinju profesional yang brutal, jadi percontohan dan kebiasaam rutin (Gonn Goldsteein, 1993 dalam Guilianotti, 2005:99). Ketika kita sudah masuk ke abad 21, meski banyak keinginan dan perubahan, partisipasi wanita dalam olahraga seakan-akan terbelenggu oleh anggapan itu. Messner (1987) dalam Maguire, et al (2003:203) mengatakan bahwa “Sport became described as masculinity-validating experience.” Begitu juga pendapat Burgess, Edwards, dan Skinner (2003:200) bahwa “sport now connected to ”hegemonic masculinity” Dengan kata lain olahraga selalu terkait dengan kesan hegemoni kaum laki-laki atau bahwa partisipasi laki-laki dalam olahraga merupakan jalan, seperti yang digambarkan oleh Maguire, et al (2002:203) bahwa “… of developing physical skill and strength, mental acumen, a

(25)

Ihwal stereotipe gender dalam olahraga terutama dari sisi kesesuaian dan kepatutan olahraga yang terkait dengan pemenuhan harapan, misalnya untuk wanita dijelaskan oleh Colley et al., (1987); Csizma, Wittig, & Schurr (1988); Koivula (1995); Matteo (1986) sebagai berikut;

Sports become stereotyped as gender-neutral, feminine, or masculine based on conceptions regarding gender, gender differences, and beliefs about the appropriateness of participation due to gender. Sports labeled as feminine seem to be those that allow women participants to act in accordance with the stereotyped expectations of femininity (such as being graceful and non aggressive) and that provide for beauty and aesthetic pleasure (based on largely male standards).

Dua hal penting dari kutipan di atas adalah, pertama tujuan yang diharapkan dari partisipasi wanita dalam olahraga dikaitkan dengan stereotip sifat kewanitaan menjadi anggun dan tidak agresif, dan kedua, pencapaian tujuan seperti cantik dan indah, tetapi lebih didasarkan pada standar laki-laki. Sebaliknya stereotip yang terjadi untuk kaum laki-laki dijelaskan lebih rinci oleh Metheny (1965); Koivula (2001) dalam situs yang sama dan merekomendasikan bahwa

A sport is labeled as masculine if it involves the following (1) attempts to physically overpower the opponent(s) by bodily contact; (2) a direct use of bodily force to a heavy object; (3) a projection of the body into or through space over distance; and (4) face-to-face competition in situations in which bodily contact may occur. These characteristics are believed to be appropriate expressions of masculine attributes such as aggressiveness, effectiveness, and power.

(26)

wanita yang dianggap tidak cocok untuk menendang bola. Penonton, seperti paparan dalam wawancara (Rusli Lutan, 2008) seolah-olah mengalami “kejutan budaya” menyaksikan perempuan berlarian menendang bola dan menggunakan celana pendek, sebuah kegiatan yang sebelumnya dianggap cocok hanya untuk laki-laki.

Citra wanita dalam sepak bola seperti di Inggris secara evolusioner pelan-pelan berubah. Louise (2006) berkomentar tentang dampak pemutaran film Inggris berjudul "Bend it like Beckham" yang mampu membawa sepak bola wanita ke layar lebar dan media ini berhasil menunjukkan bahwa anak perempuan bisa memiliki keahlian sekalipun menikmati kompetisi seperti halnya anak laki-laki. Film seperti ini kerap dijadikan model bagi anak perempuan untuk semakin termotivasi dan berpartisipasi aktif dalam olahraga. Sebagai contoh yakni Ellie seorang wanita Inggris yang begitu menyenangi sepakbola, yang bermain pada setiap akhir minggu di sebuah klub di London, ia mengatakan bahwa ‘bermain sepakbola lebih menarik dari pada olah raga lain karena akan menguji stamina, skill, dan kemampuan mental yang tangguh untuk tetap

tenang selama permainan berlangsung, juga bermain dengan cerdas meskipun berada di dalam tekanan.

Hingga saat ini sepakbola telah menjadi permainan favorit para wanita di Inggris. Angka yang dikumpulkan oleh Asosiasi Sepakbola telah mencatat lebih dari 60,000 anak perempuan dan wanita dewasa yang terdaftar sebagai anggota klub sepakbola dan bermain dalam berbagai macam kompetisi dan pertandingan sepakbola.

(27)

1.800.000 siswi yang berpartisipasi, terjadi lonjakan partisipasi sebesar 600%. Data ini akan semakin menarik ketika pada periode yang sama jumlah siswi justru menurun sebanyak 5%. Data lainnya yang menunjukkan pelonjakan yakni tahun 1970-an pada tingkat Universitas, terdapat 16.000 mahasiswi berolahraga dan menjadi tim di perguruan tingginya, namun pada tahun 1984 lebih dari 150.000 mahasisiwi aktif berolahraga dan menjadi tim di perguruan tingginya, berarti terjadi kenaikan sekitar 900%.

Meski sulit untuk menunjukkan data secara tepat mengenai jumlah partisipasi pada program olahraga masyarakat, tetapi hampir semua laporan memperlihatkan adanya kenaikan partisipasi wanita dalam olahraga. Kesulitan memaparkan data itu muncul, terutama dari perspektif, definisi partisipasi aktif dan definisi olahraga (sport) itu sendiri. Kini ada kecenderungan ”regular activity between 15 and 30 minutes each day is now considered to lead to more positive health benefit, than the previously recommended 20 minutes of exercise three times a week.” (Women Sport Foundation). Ditaksir tahun 1987 dan 1990 yang lampau ada peningkatan 2,5 juta wanita berprestasi, artinya terjadi peningkatan, khususnya pada cabang atau kegiatan populer seperti renang, joging, dan aerobik. Sebagai bandingan, yaitu sejak 1972, Title IX (gender equity legislation) diimplementasi jumlah administrator wanita dalam program olahraga wanita menurun, waktu itu 90% tim mahasiswa wanita dikalahkan oleh wanita. Tahun 1994 hanya 21 persen perempuan program olahraga diakukan oleh wanita. (Sportstrust, 2004).

Masih dalam konteks masyarakat Amerika yang melakukan aktivitas olahraga, Donna Lopiano (2004:13) memaparkan data gender dalam olahraga yakni;

• less than 35% of all high school athletes are women

• less than 34% of all college athletes are women

(28)

• collegiate institutions spend 24% of the athletic operating budgets, 16% of their recruiting budgets and 33% of the scholarship budgets on female athletes

• less than 1% of all coaches of men's teams and less than 46% of all coaches of women's teams are female

Selanjutnya juga dipaparkan bahwa “She is discriminated against by her gender. She is discriminated against by her race. African-American females represent less than 5% of all high school athletes, less than 10% of all college athletes, less than 2% of all coaches and less than 1% of all college athletics administrators.” Angka partisipasi yang belum memuaskan ini sekaligus menunjukkan bahwa penting adanya perhatian khusus pada agen sosial dan secara umum masyarakat pengusung budaya untuk bersama-sama memiliki agenda dalam upaya meningkatkan partisipasi para anak khususnya anak perempuan dalam olahraga. Penafsiran data partisipasi wanita dalam olahraga elit-kompetitif yang berakhir pada prestasi, seperti dalam olympiade jauh lebih mudah, karena jumlahnya terekam cermat. Sejak tahun 1970 tercatat kenaikan partisipasi wanita dalam olympiade, dan kesempatan besar yaitu pada olympiade Sydney dari segi pencapaian prestasi wanita. Pada olympiade XXIII di Athena 2004, wanita bertanding dalam 26 cabang olahraga (dari 28 cabang) dan dari 135 event, antara 45% dari seluruh nomor yang diperlombakan. Jumlah atlet wanita 40,7% dari seluruh atlet yang bertanding, ini merupakan rekor dalam sejarah olympiade (IOC, journal website of the Olympic Movement, 2004:16).

Dari paparan di atas dapat dikatakan bahwa, ketika peluang yang sama diberikan pada perempuan untuk aktif berolahraga, peningkatan prestasi juga akan terjadi secara berimbang dengan kaum laki-laki. Pendapat lainnya yang lebih menegaskan berhubungan dengan peluang dan partisipasi wanita dalam olahraga adalah sebagai berikut:

(29)

Another important aspect is that, despite the hardships they may have had to endure, there have remained a good number of male and female athletes who have continued to break down the sex barriers in sport and, because of those men and women, acceptance is growing. In a Sports Illustrated forum on women’s boxing, the majority of posters voiced their support of the female participants (Sports Illustrated.com, 2000).

Peningkatan angka partisipasi olahraga wanita dapat saja disebabkan oleh banyak hal, di Amerika misalnya peningkatan ini dipengaruhi oleh beberapa faktor di antaranya, (1) adanya peluang baru, (2) Tekanan dari pemerintah dalam bentuk title IX, (3) Gerakan kaum perempuan, (4) Gerakan kesehatan dan kebugaran, dan (5) Adanya tokoh olahraga teladan. Paparan poin ke-5 sangat signifikan dalam meningkatkan angka partisipasi ini, di mana adanya tokoh olahraga yang dapat dijadikan teladan bagi kaum wanita segala usia. Para tokoh ini sekali lagi memperkuat definisi bahwa olahraga adalah kegiatan umat manusia, bukan hanya untuk kaum pria saja.

Beberapa faktor yang dipaparkan di atas secara kombinasi mempengaruhi partisipasi olahraga wanita dan anak perempuan. Dengan tingginya partisipasi, diharapkan program dan peluang akan semakin bertambah. Implikasi dari kenaikan partisipasi olahraga pada wanita secara langsung pada keterlibatannya dalam tenaga kerja, karena batasan peluang kerja bagi wanita biasanya disebabkan karena mereka dianggap tidak mampu secara fisik. Namun setelah para wanita kuat secara fisik akibat terlatih dalam olahraga, maka argumen seperti ini dapat dihilangkan.

Beberapa argumen yang diajukan (Coakley & Westkott, 1984) berkaitan dengan keuntungan para wanita dalam berolahraga yang berpotensi memberikan pengalaman-pengalaman positif terhadap perkembangan wanita, yakni:

Pertama, partisipasi olahraga dapat menekankan pembangunan identitas anak perempuan dalam

(30)

lebih mengutamakan melakukan sesuatu dari pada menjadi sesuatu, jadi aktif bukannya pasif. Partisipasi dalam olahraga membuat wanita dapat mengejar aspirasi mereka dengan lebih serius. Kedua, partisipasi olahraga membuat wanita menjadi individu yang tersendiri, di mana aktivitas

dan tantangannya tidak ditentukan atau dikendalikan oleh keluarga lagi.

Ketiga, partisipasi olahraga dapat memberikan jenis dan figur pemimpin yang dapat dikaitkan

dengan diri mereka. Dengan menggambarkan figur pemimpin dalam situasi dan kemampuan yang berbeda, maka wanita akan melihat pemimpin sebagai manusia biasa yang tidak selalu benar dan sempurna.

Dari tinjauan sosiologi, partisipasi perempuan dalam olahraga dapat ditinjau dari dua sisi; Pertama, bahwa pengalaman olahraga tidak hanya untuk pria saja. Kedua, menjelaskan stereotip tradisional tentang feminisme, dan pengalaman atlet wanita yang memperlihatkan bahwa partisipasi olahraga oleh wanita tidaklah normal. Konteks kedua ini sejalan dengan pendapat Rusli Lutan (2000:49) bahwa ”Perilaku pembinaan olahraga akan dipengaruhi oleh sistem kepercayaan (belief system) dan nilai panutan.” Selanjutnya juga dijelaskan bahwa partisipasi berolahraga akan berpotensi untuk memacu perubahan sosial masyarakat di sekitarnya, karena dalam partisipasi itu berpeluang untuk keberlangsungan proses sosialisasi.

(31)

budaya patriarkat) menjadi indikator dalam memberi peluang dan memutuskan aktivitas olahraga yang digeluti anak, khususnya anak perempuan.

Untuk mempelajari mengenai partisipasi olahraga anak-anak perempuan Saavedra (2005:5) menyatakan ada tiga kategori permasalahan yakni: “(1) Safety, (2) Competing Obligations, dan (3) Gender and Sexuality. Sementara Coakley (2001:203) mengungkapkan

bahwa:

fairness and equity issues revolve around topics such as: (1) sport participation patterns among women, (2) gender inequities in participation opportunities, support for athletes, and jobs in coaching and administration, (3) strategies for achieving equal opportunities for girls and women.

Dapat dikatakan bahwa partisipasi wanita dalam olahraga merupakan permasalahan kunci yang menuntun untuk mengungkap peluang yang sama, yang dapat dimaknai bahwa pengasuhan yang diberikan oleh keluarga pada tiap anak dalam menentukan olahraga seyogianya tidak bias gender.

C. Permasalahan Penelitian

(32)

wanita), keterkaitan olahraga wanita dan budaya majemuk, olahraga wanita dan kepentingan budaya, perlindungan terhadap mantan olahragawan wanita, nilai-nilai sosial olahraga wanita dan sistem demokrasi, dan olahraga wanita dan kesejahteraan keluarga perlu mendapat perhatian lebih komprehensif melalui penelitian yang berkelanjutan.

1. Identifikasi Masalah

Berdasarkan paparan terdahulu semakin jelas bahwa partisipasi wanita dalam olahraga terkait langsung dengan beberapa faktor, dalam hubungan yang sangat kompleks. Pertama-tama pada tataran makro, faktor politik yang diturunkan dalam kebijakan publik sangat mempengaruhi partisipasi wanita dalam olahraga. Sama halnya seperti disinggung dalam paparan tentang kasus pembinaan olahraga di Uni Sovyet negara blok sosialis sebelum adanya perubahan menjadi negara yang lebih demokratis. Di negara tersebut terkesan olahraga sebagai alat propaganda sehingga partisipasi wanita dalam olahraga terutama olahraga kompetitif cenderung memanipulasi keunggulan wanita sebagai alat propaganda untuk menunjukkan keberhasilan sistem politik negara yang bersangkutan.

Dewasa ini kebijakan pemerintah seperti yang tercermin dalam kebijakan publik dan kecenderungan global, seperti yg disuarakan dalam konvensi internasional cenderung lebih tulus, misalnya partisipasi wanita yang dibungkus dalam kesetaraan gender dan pemberdayaan wanita semata-mata dimaksudkan untuk mencapai tujuan, yakni adapula segi positifnya meskipun lebih banyak diarahkan pada wilayah pengembangan aspek budaya, ekonomi, bahkan juga akhir-akhir ini berkaitan dengan masalah lingkungan hidup.

(33)

Inilah sebabnya mantan Sekretaris Jendral PBB Copianan menyatakan bahwa tidak ada keberhasilan pembangunan yang lebih efektif dari pada pemberdayaan wanita. Hal yang hampir sama juga diungkapkan oleh Bung Karno dalam buku Sarinah (1963:14) bahwa ”Perempuan itu tiang negri. Manakala baik perempuan, maka baiklah negri. Manakala rusak perempuan, maka rusaklah negri.” Itulah sebabnya permasalahan perempuan hendaknya dipecahkan secara bersama-sama dengan kaum laki-laki, karena permasalahan perempuan merupakan bagian dari permasalahan masyarakat.

Dalam pertemuan puncak kepala-kepala negara PBB akhir September 2005 ditegaskan bahwa kemajuan bagi wanita adalah kemajuan bagi anak. Dengan demikian tindakan-tindakan konkrit memang sangat diharapkan, seperti implementasi dari Piagam Internasional tentang pendidikan jasmani dan olahraga yang diluncurkan dalam konferensi Paris 1978 yang menyuarakan tentang olahraga sebagai hak azasi, atau lebih tegas lagi dalam konferensi Berlin 1998 yang menyuarakan prinsip inklusif, sehingga prinsip kesetaraan gender dalam olahraga itu benar-benar merupakan cetusan aspirasi masyarakat internasional.

Namun persoalannya, apa yang diinginkan masih jauh dari harapan, dengan kata lain hanya sedikit perubahan yang dicapai dan bahkan dampak jangka pendek yang diharapkan di Indonesia tampaknya masih memerlukan upaya yang lebih keras; meskipun dalam kurikulum pendidikan jasmani dan olahraga dengan jelas ditandaskan bahwa pendidikan jasmani dan olahraga merupakan mata pelajaran wajib bagi semua siswa. Maksudnya kesempatan yang sudah dibuka bagi semua orang tanpa terkecuali tidak dengan sendirinya termanfaatkan.

(34)

dilakukan. Dalam penelitian ini peneliti lebih condong meneliti perkembangan olahraga prestasi bagi wanita, dengan membagi dalam tiga kelompok cabang olahraga, yakni yudo, angkat besi, dan senam. Alasan yang dapat dikemukakan seiring dengan pemilihan cabang olahraga yang terkait dengan pemilihan unit analisis adalah adanya satu keinginan untuk mendalami bahwa baik olahraga yang tergolong masculine sport maupun feminine sport apakah juga dapat dilakukan oleh wanita terkait dengan pencapaian prestasi tinggi. Sesuatu kegiatan yang dianggap unik karena begitu dekat dengan beberapa bentuk bias atas stereotip yang dikenakan terhadap kaum wanita. Dengan kata lain dalam olahraga kompetitif ini sangat kentara sekali sistem kepercayaan yang mengarah pada pemahaman bahwa olahraga sebagai perjuangan keras yang memerlukan tenaga besar, bahkan juga ada unsur kekerasan. Dengan begitu maka jenis olahraga yang demikian itu hanya dipandang sesuai bagi laki-laki dalam rangka mengungkapkan sifat-sifat kelaki-lakiannya itu, yang dalam istilah umum disebut masculine sport. Seperti halnya di Indonesia dan bahkan juga di bangsa-bangsa lainnya, kasus penonjolan prestasi wanita telah banyak jumlahnya dan menarik perhatian orang, seperti Susi Susanti dalam bulu tangkis, Nadya Kumenichi pesenam asal Rumania, Asal Saparbaeva dan Luiza Galiulina angkat besi dari Uzbekistan, Yang Xiuli peyudo dari China dan Yalennis Castillo peyudo dari Cuba.

(35)

faktor yang lebih mendalam ialah faktor budaya yang dibentuk dan diusung sendiri oleh para anggota keluarga masyarakat secara meluas. Alasan inilah yang mengarahkan studi ini lebih tertuju pada konsep sosialisasi dalam olahraga sebagai isu sentral. Banyak definisi tentang sosialisasi, salah satu diantaranya dipakai dalam memperkokoh studi (Coaklay, 2001:82) dengan memaparkan bahwa “sosialization is anactive process of learning and social development, which occurs as we interact with one another and become acquainted with the social word in which we live,” maksudnya adalah sosialisasi sebagai sebuah proses belajar yang aktif yang terjadi manakala berlangsung interaksi antara seseorang dengan yang lain, hingga kemudian kita terbiasa hidup dalam dunia sosial di mana kita tinggal.

Isi dari pada proses interaksi yang dimaksudkan itu mencakup pengalihan nilai, pembentukan gagasan, sebagaimana halnya manakala seseorang yang lebih dewasa menularkan kebiasaan yang baik, mengalihkan informasi tentang manfaat berolahraga, juga mengenai manfaat berolahraga ke pada anak yang lebih muda. Dalam proses interaksi itu memang berlangsung hubungan antara subjek dengan subjek, maksudnya adalah seseorang yang menerima informasi sebagaimana peserta didik dengan kedudukannya bukanlah sebagai seseorang yang pasif, karena di antara keduanya itu terjadi hubungan yang saling mempengaruhi. Inilah alasan mengapa sosialisasi itu bukan merupakan proses satu arah dalam rangka mengalihkan atau membentuk nilai rujukan yang kemudian disepakati secara bersama.

(36)

jasmani jika ditinjau dari perspektif sosialisasi, di mana setiap orang disiapkan untuk melakoni fungsinya masing-masing.

Pada dasarnya dalam proses sosialisasi ada pihak yang lebih berperan seperti keluarga, dan juga media. Studi ini lebih tertarik pada keluarga, karena persoalan ini terkait dengan pembentukan diri anak sejak awal terjadi pada kalangan keluarga. Pengalihan nilai dan pembentukan sikap sekaligus, bahkan bisa juga terjadi proses pengawetan yang berlaku secara turun temurun. Kondisi ini sangat kentara terjadi di Indonesia, yang dikenal dengan budaya patriarkat yang lebih banyak mengunggulkan laki-laki sebagai pembuat keputusan. Meskipun demikian secara empirik tampaknya peranan media, termasuk juga peranan klub olahraga dan penilaian usia dini penting mendapat perhatian, meski pihak keluargalah terutama ayah atau ibu bahkan sibling (saudara sekandung) sangat kuat pengaruhnya, seperti unit analisis angkat besi, di mana internal motivation yang tinggi terjadi akibat dari keberhasilan tiga kakak kandungnya dalam prestasi olahraga.

Dalam proses sosialisasi seperti di atas dapat terbangun ekspektasi, di samping nilai ekonomi, sehingga lebih kompleks kelihatannya pada olahraga kompetitif dalam memilih sebagai keputusan untuk jalan hidup. Dari banyak bukti-bukti yang ada di lapangan, munculnya atlet yang dibesarkan oleh keluarga, cenderung menunjukkan indikasi bahwa pihak orang tua ayah atau ibu memegang peranan. Namun demikian peranan lembaga pendidikan formal juga memberikan pengaruh positif, karena tersusun kurikulum yang terencana untuk pendidikan jasmani. Pengaruh faktor lain seperti media masa yang menonjolkan atlet sebagai modeling ikut serta memutuskan agar anak melakukan olahraga.

(37)

Dari beberapa identifikasi permasalahan pokok yang dapat diungkap adalah kecilnya peluang para wanita Indonesia dalam melakukan aktivitas, khususnya aktivitas olahraga yang terkait dengan masalah pola asuh, budaya, sosial, ekonomi, dan agama. Secara umum keberadaan para wanita di Indonesia masih terbilang kelompok ’nomor dua’ dibandingkan dengan laki-laki. Indonesia yang memiliki budaya majemuk yang dipedomani sebagai aturan kehidupan penggunanya, seringkali memperkuat kelanggengan bias gender, sehingga sampai sekarang Indonesia masih menghadapi persoalan kesetaraan gender yang belum terpecahkan.

Keterbatasan peran perempuan di sektor publik sebagai akibat dominansi laki-laki, di mana budaya mengisyaratkan bahwa laki-lakilah yang bertanggungjawab dalam memenuhi nafkah keluarganya, sedangkan para perempuan cukup betanggung jawab atas seluruh pekerjaan di rumah. Kendala sosial budaya yang secara umum dirasakan para wanita, selanjutnya menimbulkan kendala lain sebagai dampaknya, yakni terbentuknya kesenjangan sosial di antara gender. Akibatnya terlihat kesenjangan pada bidang pendidikan, ekonomi, kesehatan, gizi, pekerjaan, pengupahan, pengambil keputusan, politik, hukum, dan banyak lagi.

Pokok permasalahan yang diungkap dalam penelitian ini, dicoba untuk dicarikan solusi dengan pendekatan Qualitative Research, yang seyogianya menurut analisa sementara peneliti bahwa prospek kesetaraan gender masih berpeluang untuk diupayakan melalui pendekatan budaya dan agama. Untuk mempermudah pengelompokan permasalahan, peneliti merumuskan masalah tersebut dalam beberapa pertanyaan penelitian sebagai berikut:

(38)

2. Bagaimana proses rekrutmen dan pembinaan anak wanita usia dini ke dalam olahraga prestasi?

3. Bagaimana dampak partisipasi wanita dalam olahraga prestasi terutama ditinjau dari perspektif perubahan sifat-sifat psikologis dan sosial-ekonomi ?

D. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah:

1. Ingin menyingkap bentuk pola pengasuhan di lingkungan keluarga dalam kaitannya dengan proses sosialisasi anak wanita usia dini dalam kerangka budaya patriarkhat. 2. Untuk mengungkap proses rekrutmen dan pembinaan anak wanita usia dini dalam

olahraga prestasi

3. Untuk menyingkap dampak partisipasi anak wanita dalam olahraga prestasi ditinjau dari perubahan sifat-sifat psikologis dan sosial-ekonomi.

F. Kerangka Berfikir

Untuk menyelami proses sosialisasi ke dalam olahraga dan rangkaian perubahan pada pelaku wanita, beberapa pokok pikiran dikembangkan sebagai berikut.

(39)

tatanan gender ini bukanlah sesuatu yang menetap dan membatu, melainkan sesuatu yang memang manantang dan dapat diubah.

2. Kesetaraan gender dalam olahraga yang dimaksud dalam studi ini adalah penerapan prinsip inklusif, kesejajaran, persamaan hak, dan kesempatan berolahraga, dengan mempertimbangkan kemampuan masing-masing pria dan wanita sesuai dengan kodratnya. Prinsip kesetaraan gender bukanlah persamaan antara pria dan wanita, karena dalam kegiatan olahraga, yang pada dasarnya juga sebagai bagian dari budaya, sama sekali tidak dapat diabaikan norma dan kepatutan budaya.

3. Olahraga merupakan alat ampuh untuk memberdayakan wanita dan kesempatan untuk mengungkapkan kesetaraan, karena melakukan olahraga dapat terjadi proses re-negoisasi dan penataan ulang tatanan gender yang lebih adil dan bersahabat.

4. Keluarga merupakan wahana utama dari proses sosialisasi anak ke dalam olahraga, yang berawal dari pengalihan nilai, pemberian kesempatan, dan dukungan untuk menekuni olahraga.

G. Pembatasan Masalah

Ragamnya permasalahan yang muncul sebagai indikator dan turut mempengaruhi prestasi para atlet wanita membutuhkan penyelesaian yang cukup kompleks dan rumit. Mengingat keterbatasan yang ada pada pihak peneliti, dan harapan analisis yang sempurna terhadap data, maka diadakan pembatasan permasalahan penelitian sebagai berikut:

(40)

2. Keragaman peluang atau kesempatan yang ada pada tiap atlet wanita, sekaitan dengan budaya yang berbeda

3. Perkembangan karakter sosial para atlet wanita, yang terfokus pada fungsi instrumental olahraga yang berpangkal pada partisipasi.

H. Manfaat Penelitian

Informasi yang didapat berdasarkan analisis data diharapkan dapat memberikan makna pada perkembangan olahraga wanita secara nasional. Potensi yang dimiliki para atlet wanita hendaknya mampu dianalisis sehubungan dengan indikator yang turut memberikan kontribusi pada prestasi secara umum.

Multikulturalisme atau keberagaman budaya sebagai aturan yang tidak tertulis, dijadikan sebagai aturan dalam membesarkan/mendewasakan anak sejak dalam pendidikan keluarga hingga pada suasana sekolah dan kehidupan rumahtangga. Untuk itu penerapan model pola asuh di tiap keluarga dapat berdampak pada pemberian peluang/kesempatan pada anak perempuan.

Diharapkan penelitian ini juga dapat menghasilkan dasar teori sebagai pijakan untuk membentuk pribadi anak perempuan dalam konteks pola asuh, sehingga potret pola asuh yang dilihat dalam observasi langsung dan wawancara secara mendalam diharapkan juga mampu menghadirkan perilaku anak perempuan dalam kaitannya dengan pemilihan cabang olahraga yang digeluti dan kesinambungan proses pelatihan.

(41)

Secara teoritis diharapkan penelitian ini dapat memberikan penjelasan yang akurat sehubungan dengan perkembangan wanita, ditinjau dari sisi sejarah hingga prestasi olahraga wanita sekarang. Kajian ini juga diharapkan dapat bermanfaat bagi ilmu pendidikan dan pelatihan, utamanya pendidikan olahraga dan pelatihan olahraga, khususnya dalam penanganan atlet wanita.

Ketertinggalan prestasi olahraga untuk atlet wanita, semata-mata bukanlah disebabkan ketidak mampuan wanita untuk bersaing di sektor publik, layaknya atlet nasional dan internasional, akan tetapi lebih pada keberagaman problema yang dialami atlet wanita dalam upaya menerobos peluang untuk mampu berkiprah dalam pergulatan pelatihan dan pertandingan olahraga. Sekaitan dengan itu hasil penelitian ini ingin memberi sumbangan pemikiran baik pada masyarakat pelaku olahraga maupun non-pelaku olahraga dan masyarakat secara umum, untuk lebih mengerti sekaitan dengan sejarah, budaya, dan keterkaitan aspek lain yang terkait yang menjadi penyebab ’keterikatan’ para wanita dalam pengertian ’kodrati’.

(42)

Selanjutnya kajian ini diharapkan dapat bermanfaat dalam membangun semangat kebangsaan, rasa nasionalisme, dan kepemilikan pada tatanan kebangsaan yang terpupuk melalui proses pelatihan dan penerimaan atlet dalam bentuk pola asuh pelatih yang bervariasi. Dengan demikian perolehan nilai-nilai, rasa bertanggung jawab, kerjasama, sportivitas, menghargai lawan dan diri sendiri, kemenangan dan kekalahan dapat berkembang dalam diri anak/atlet, yang diharapkan dapat melekat dan menjadi kebiasaan yang positif.

Secara teoritis penelitian ini diharapkan mampu mengisi kajian sport sociology dan sport psychology, seperti pemahaman yang lebih mendalam mengenai keterkaitan isu gender dengan konteks pembangunan yang sebabkan oleh faktor sosial yang terbatasinya oleh kesetaraan kesempatan. demikian halnya dengan kajian sport psychology yang banyak memahami tentang hal-hal yang berkaitan dengan faktor-faktor yang berpengaruh secara langsung pada diri atlet dan yang dari luar diri atlet yang keseluruhan itu mampu mempengaruhi tampilannya dalam konteks prestasi. Selain itu penelitian ini juga akan memberikan manfaat pada kajian sport psychology yang berkaitan dengan pembentukan kepribadian, watak dan karakter lewat pola pengasuhan (keluarga, pelatih, dan sekolah) pada atlet, yang berkembang sesuai jenis olahraga yang digelutinya.

2. Manfaat Secara Praktis

(43)

Sumbangan dalam bentuk gagasan bagi para pelatih dan pelaku olahraga, dalam mensiasati pelatihan dalam keragaman budaya, etnis, ras, dan agama yang membaur menjadi satu dalam proses pelatihan. Meski kadang kala tidak begitu ’kentara’ adanya multikulturalisme, akan tetapi keberagaman ini dapat dipedomani dalam upaya kelancaran penerapan program latihan. Hal lain yang tidak kalah pentingnya sekaitan dengan seringnya terungkap ke permukaan perlakuan budaya yang salah, diharapkan dengan hasil kaijian ini para pelatih dapat mengeliminir sebesar mungkin lewat pelatihan olahraga, dengan kreativitas dan corak khas kepelatihannya.

(44)
(45)

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Pendekatan dan Rancangan Penelitian

Penelitian dilakukan melalui pendekatan kualitatif dengan studi kasus, dan merupakan studi yang berusaha menyingkap, mendeskripsi, menganalisis, memproyeksi dan pemberian makna tentang berbagai upaya orang tua dalam model pola asuh yang dilakukan dalam membesarkan dan mendewasakan anak perempuannya, sehingga anak memutuskan untuk tetap menggeluti olahraga kompetitif/olahraga prestasi. Penelitian ini tergolong pada studi kasus, karena sangat unik ditinjau dari proses perkembangan dan dampak olahraga prestasi dari ke-3 unit analisis wanita yang menggeluti olahraga prestasi, sehingga memerlukan pendalaman.

Berkaitan dengan penelitian kualitatif, sesungguhnya merupakan payung untuk berbagai strategi penelitian yang mempunyai persamaan karakteristik (Bogdan dan Biklen, 1982:2). Selanjutnya disebutkan pula dalam istilah lain seperti penelitian naturalistik untuk bidang pendidikan. Bogdan dan Biklen lebih jauh memaparkan tentang bermacam-macam istilah lain yang sering digunakan, seperti; studi kasus, fenomenologi, ekologi, etnografis, aliran Chicago, dan lain-lain.

Pada paparan Lincoln & Guba (1985:361) dijelaskan bahwa:

There is no simple taxonomy within which various kinds of case studies might be classified. In seffective evaluation, we note:

● case studies may be written with different purposes in mind, including to chronicle (to record temporally and sequentially, as in a history) to render (as in a description or to provide vicarious experience), to teach (as instructional material for students such as the Harvad Law School case studies, especially when the materials are open ended), and to test (to use the case as a trial for certain theories and hypotheses) . A given case may serve multiple purposes.

(46)

● case studies will, depending on purpose and level, demand different action from the inquirer/writer, ranging, for example, from simple recording for a factual chronicle to the weighting of complex alternatives for the evaluative test.

● case studies will, depending on purpose and level, result in different products, from a simple register for a factual chronicle to elaborated judgments for the evaluative test.

Strauss dan Corbin (2003:6) memaparkan sekaitan dengan penelitian kualitatif bahwa penelitian kualitatif bisa dilakukan oleh peneliti di bidang ilmu sosial, juga oleh para peneliti di bidang yang menyoroti masalah yang terkait dengan perilaku dan peranan manusia. Sedangkan Nasution (1988:5) menjelaskan bahwa penelitian kualitatif pada hakekatnya adalah mengamati orang dalam lingkungan hidupnya, berinteraksi dengan mereka, berusaha memahami bahasa, dan tafsiran mereka tentang dunia sekitarnya.

Upaya orang tua dan pelatih dalam menata situasi dan kondisi tiap anak/atlet tanpa bias gender, merupakan fokus utama dalam penelitian ini, sehingga tiap anak, baik laki-laki maupun perempuan memiliki kesempatan yang sama dalam segala aktivitas.

Penelitian kualitatif pada dasarnya telah lama digunakan dalam wilayah ilmu sosial, terutama dalam kajian antropologi yang dikenal dengan metode ‘ethnographic’. Sedangkan dalam wilayah ilmu pendidikan metode semacam ini lebih dikenal dengan istilah ‘naturalistic’. Hal senada dikemukakan oleh Bogdan dan Biklen (1990:3), yang menyebutkan: “In education, qualitative research is frequently called naturalistic because the research hangs around where the events, he or she is interested in naturally occur. And the data is gathered by people engaging in natural behavior: talking, visiting, looking, eating, and so on”.

(47)

terkumpulkan menurut analisis peneliti yang berfungsi sebagai instrumen utama dalam pengambilan data.

Penggalian tentang keterjadian pola asuh yang sudah dilakukan dapat dianggap sebagai riwayat hidup informan. Dalam konteks ini Strauss dan Corbin (2003:8) mengungkapkan bahwa jenis penelitian kualitatif di antaranya adalah teoritisasi data, etnografi, fenomenologi, riwayat hidup (life histories), dan analisis percakapan. Sedangkan dalam proses penelitian di lapangan peneliti mengacu pada “conceptual frame work” dengan maksud segala permasalahan yang diteliti mampu dijajagi secara mendalam dengan kesungguhan dan ketelitian dalam memaknai situasi yang dijumpai.

Untuk itu lewat arahan para pembimbing, upaya untuk menghadirkan berbagai media yang menunjang sangat diharapkan dalam penjaringan data, sehingga peneliti mampu melakukan deskripsi situasi dan kondisi secara langsung. Pendeskripsian yang dilakukan secara langsung tanpa penundaan bertujuan agar data yang diperoleh, khususnya mengenai atmosfir, situasi, kondisi yang menyangkut emosi dapat disimpulkan langsung dalam bentuk rangkuman data pertahap, sehingga diharapkan tidak ada momen perilaku yang tertinggal. Kondisi seperti ini dilakukan terus secara berkelanjutan tanpa menunda pada hari berikutnya.

(48)

penelitian ini merupakan perspektif yang didasarkan pada suatu kerangka teoritik yang feminis, sehingga kegiatan penelitian yang berkaitan dengan perempuan dapat diterima dan dihargai, dan merupakan konsep yang dapat dipertimbangkan dalam berbagai situasi dan kondisi dalam pengambilan keputusan. Penonjolan karakteristik perempuan yang tidak kompeten, lemah, tidak mandiri, lebih merupakan produk budaya, yang sekaligus meremehkan kaum perempuan yang cerdas, pintar, mandiri, berani, mampu mengambil keputusan, etis, sukses, dan berbagai ketangguhan dalam kehidupan. Kemampuan perempuan yang sering tersimpan akibat bias budaya, semestinya dapat bersama-sama dengan masyarakat mampu mengembangkan kondisi lingkungan, di bidang ekonomi, politik, dan pribadi.

Terkait dengan variabel penelitian yang mendudukkan pola asuh yang dilakukan orang tua di rumah, pelatih di klubnya, dan para guru di sekolah, maka peneliti telah berupaya menggali kehidupan tiap unit analisis jauh ke belakang yang merupakan potret masa lalu yang memfokuskan diri pada pemberian peluang. Sehingga tiap unit analisis dapat memutuskan untuk melakukan atau berlatih cabang olahraga yang merupakan pilihannya sendiri. Paradigma pengalaman masa lalu tentang perempuan, menjadi konteks utama dalam penelitian ini, sehingga dapat dikatakan bahwa prinsip utama metodologi feminis adalah pengalaman perempuan sebagai sumber pengetahuan. Dengan demikian pengalaman-pengalaman perempuan dapat dijadikan sebagai indikator dalam menunjuk dan menganalisis struktur-struktur yang lebih besar. Kondisi itu dapat juga digunakan untuk menghargai subjektivitas perempuan dan pengalaman hidup perempuan sebagai variabel penting untuk pembelajaran berikutnya.

(49)

orientasi pada aksi, 3. pertimbangan pada unsur afeksi, dan 4. pemanfaatan situasi yang tengah berlangsung.”

Masalah sosial yang dikaji dalam penelitian ini meliputi banyak aspek seperti prestasi para atlet perempuan yang ditinjau dari sisi budaya nasional, di mana para perempuan pada dasarnya belum sepenuhnya diizinkan untuk berprestasi di bidang olahraga khususnya olahraga maskulin, yakni olahraga yang mengundang citra laki-laki. Sejalan dengan itu Neuman (1991:16) menjelaskan tentang qualitative style antara lain: “Construct social reality, cultural meaning, focus on interactive processes, events, situationally constrained, few cases, subjects,…”. Untuk memperoleh kedalaman masalah, peneliti menjajagi pola pengasuhan yang dilakukan orang tua selama berada di rumah, pola pengasuhan pelatih selama berada di tempat pelatihan, dan pengasuhan yang dilakukan guru di sekolah. Untuk itu dalam jumlah waktu yang tidak terbatas peneliti berada dan tinggal serumah dengan keluarga unit analisis terpilih, sehingga dengan demikian dapat lebih mencermati secara langsung model pola pengasuhan yang

dilakukan pada atlet perempuan (pelaku olahraga maskulin dan feminin). Oleh karena itu upaya penyimpulan tentang fokus masalah dapat terlihat secara nyata.

Kumpulan informasi dan situasi serta kondisi emosional yang ada dalam pola pengasuhan yang dialami anak sebagai atlet perempuan, disusun secara terarah dan terorganisasi dalam kerangka pemikiran tertentu, sehingga pada tahap selanjutnya dapat diberikan makna dalam menjelaskan permasalahan penelitian. Metode yang digunakan untuk itu adalah qualitative research (Bogdan dan Biklen, 1990). Selanjutnya dijelaskan juga bahwa penelitian kualitatif

merupakan suatu istilah yang mengandung makna yang luas dan disebut sebagai ‘as an umbrella terms’ maksudnya adalah pendekatan ini mencakup segala bentuk penelitian yang memiliki ciri

(50)

data). Ini sekaitan dengan data yang dikumpulkan yang merupakan uraian kaya akan informasi

dan deskripsi tentang kegiatan informan.

Data yang dibutuhkan dalam penelitian kualitatif seperti dalam penelitian ini dilakukan langsung oleh peneliti, dengan mengumpulkan deskripsi tentang atlet perempuan, tempat berlatih, pola pengasuhan yang dilakukan orang tua dan pelatih, dan sekolah, yang keseluruhan itu sulit diproses secara statistik. Untuk itu pendekatan kualitatif lebih pada pemberian makna pada potret yang dilakukan di lapangan, sehingga participant perspective (Bogdan dan Biklen, 1982) dilakukan peneliti dalam upaya menghampiri permasalahan dalam pemusatan perhatian, minat dan motivasi keingintahuan dalam konteks memahami perilaku, kondisi, perkembangan, keinginan, persepsi, pendapat, sikap dan aspek kehidupan lainnya dalam perlintasan kehidupan sehari-hari di rumah dan di tempat pelatihan angkat besi, yudo, dan senam yang digeluti unit analisis.

(51)

Penjaringan data yang dibutuhkan dalam penelitian ini berkaitan dengan persepsi, pendapat, dan keberadaan seseorang dalam banyak hal. Demikian juga aspek-aspek lain yang menyangkut fisik, mental, dan sosial yang terjadi sebelum dan yang sedang dialami oleh tiap unit analisis. Informasi yang dibutuhkan lebih cenderung pada keberadaan masa lalu, yang merupakan dampak dari penerapan model pola asuh yang dilakukan orang tua dalam upaya membesarkan dan mendewasakan anak-anaknya, sehingga anak mampu memutuskan untuk memilih cabang olahraga prestasi, baik olahraga maskulin maupun olahraga yang termasuk rumpun feminin.

Kegiatan penjaringan data tidak hanya dilakukan pada unit analisis saja, akan tetapi juga pada anggota keluarga inti (nuclear family), peer group (kelompok bermain), sekolah, klub sebagai tempat atlet berlatih (seluruh individu yang bergerak pada organisasi klub tersebut), dan lingkungan rumah di mana atlet berdomisili. Data dalam bentuk uraian/informasi seperti ini biasanya sulit dijaring dan dikerjakan melalui prosedur`statistik yang menggunakan instrumen yang baku.

(52)

demikian maka laporan penelitian kualitatif kaya dengan deskripsi, penjelasan dan uraian tentang aspek-aspek masalah yang menjadi fokus penelitian.

Dapat dimengerti bahwa pada tahap awal penelitian, peneliti belum memiliki gambaran yang jelas tentang keberadaan subjek sebagai unit analisis. Dengan demikian, fokus dan desain penelitian sebenarnya muncul dan ditemukan ketika peneliti sedang dalam proses mengumpulkan data di lapangan. Lincoln dan Guba (1985:102) mengistilahkan proses seperti ini sebagai “emergent design”. Untuk itu seorang peneliti kualitatif merumuskan pertanyaan-pertanyaannya setelah di lapangan dan berkembang sesuai dengan kondisinya. Dengan demikian dituntut kemampuan peneliti sebagai instrumen tunggal untuk menghampiri permasalahan dengan pemusatan perhatian, motivasi, fleksibilitas, ketangguhan, sebagai upaya untuk mengetahui keberadaan, perilaku, persepsi, pendapat, sikap, dan berbagai aspek lain yang berkaitan dengan pola kehidupan tiap unit analisis dalam kegiatan kontak langsung.

Sehubungan dengan data yang digali dan berkembang sepenuhnya di lapangan, maka penelitian ini lebih menaruh perhatian pada proses penelitiannya. Dengan demikian peneliti tidak saja berhubungan dengan sampel dalam upaya pengumpulan data, akan tetapi melibatkan orang tua dan pelatih sebagai tokoh dalam pengasuhan atlet, demikian pula kelompok bermain, lingkungan di mana atlet tinggal, sekolah, dan kelompok-kelompok yang turut melakukan interaksi sosial pada sampel terpilih.

(53)

1. jika anak dibesarkan dengan celaan, maka ia akan belajar memaki; 2. jika anak dibesarkan dengan permusuhan, maka ia belajar berkelahi; 3. jika anak dibesarkan dengan cemoohan, maka ia belajar rendah diri; 4. jika anak dibesarkan dengan penghinaan, maka ia akan belajar menyesali diri; 5. jika anak dibesarkan dengan toleransi, maka ia akan belajar menahan diri; 6. jika anak dibesarkan dengan dorongan, maka ia akan belajar percaya diri; 7. jika anak dibesarkan dengan sebaik-baiknya perlakuan, maka ia akan belajar keadilan; 8. jika anak dibesarkan dengan kasih sayang dan persahabatan, maka ia belajar menemukan cinta dalam kehidupan.

Penataan situasi yang dimaksudkan sebagai aplikasi pola asuh anak, menurut Soelaeman (1994:76) adalah: “… dapat berupa penataan situasi fisik, situasi psikis, dan situasi sosial budaya”, di mana ketiga variabel ini berjalan seiring dan sekaligus dalam pembinaan anak dalam keluarga, sehingga memungkinkan anak merasa betah menjadi bagian dari keluarga. Penataan fisik misalnya adalah yang berkaitan dengan pengaturan ruang dan alat perabotan rumah, sedang yang berkaitan dengan psikis yakni penataan suasana kejiwaan yang mengundang setiap anggota keluarga tanpa ada yang dibedakan untuk ambil bagian dalam perjalanan dan situasi keluarga, sedangkan penataan sosial budaya berkenaan dengan pola hubungan komunikasi dan pewarisan nilai-nilai, etika, dan moral dalam keluarga, yang diharapkan dapat terbina dengan harmonis, sehingga tercipta kelompok yang utuh, saling membutuhkan, dan adanya ketergantungan antara satu dengan yang lainnya.

B. Prosedur Penelitian

(54)

penyempurnaan data yang dituju. Data terkumpul secara cermat dari ketiga keluarga atlet secara berkesinambungan selama lebih kurang 6 bulan lamanya.

Seperti telah dijelaskan sebelumnya, peneliti bekerja langsung sebagai instrumen dalam penelitian ini, oleh karena itu prosedur penelitian yang menggunakan prinsip kerja penelitian kualitatif bersiklus secara simultan antara proses pengumpulan data dan analisis datanya. Dengan demikian data yang belum lengkap tergambar secara langsung pada langkah berikutnya. Selain itu peneliti secara langsung menuliskan rekaman ulang situasi dan kondisi setiap hari setelah pengambilan data di lapangan, khususnya yang berkaitan dengan kognisi dan afeksi yang tidak terlihat dalam rekaman media kaset ataupun kamera. Ini dilakukan agar tidak ada satupun situasi yang tertinggal dalam pengambilan data, yang dibuat lengkap dalam bentuk rangkuman sementara.

C. Pemilihan Tata Latar (Setting) Penelitian

Referensi

Dokumen terkait