• Tidak ada hasil yang ditemukan

(Policy options for the integration of the domestic timber market into the formal economy)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "(Policy options for the integration of the domestic timber market into the formal economy)"

Copied!
51
0
0

Teks penuh

(1)

PRO-FORMAL:

POLICY AND REGULATORY OPTIONS TO RECOGNISE AND BETTER INTEGRATE THE DOMESTIC TIMBER SECTOR IN TROPICAL COUNTRIES

WORKING PAPER SERIES No. 05

OPSI-OPSI KEBIJAKAN DALAM RANGKA

MENGINTEGRASIKAN PASAR KAYU DOMESTIK KE

DALAM EKONOMI FORMAL

(Policy options for the integration of the domestic timber

market into the formal economy)

Oleh:

Dodik Ridho Nurrochmat

Marwoto

Frida Yulianti

Kerjasama Riset Antara

Center for International Forestry Research (CIFOR)

dan

Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan (PSP3)

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Salah satu faktor terpenting yang menjamin tercapainya pengelolaan hutan lestari adalah praktik-praktik perdagangan hasil hutan, khususnya kayu, yang dapat dilacak asal usulnya dan terjamin legalitasnya sehingga dapat dipastikan kayu yang diperdagangkan berasal dari sumber yang memperhatikan prinsip-prinsip kelestarian hutan. Walaupun sejumlah peraturan perundang-undangan yang mengatur tertib peredaran kayu telah dikeluarkan, namun tidak dapat dipungkiri bahwa saat ini di Indonesia masih banyak kayu ilegal yang beredar di pasaran (Nurrochmat dan Hasan 2012). Penertiban peredaran kayu ilegal hanya dapat dicapai apabila tersedia kerangka kebijakan yang diperlukan untuk implementasi pengelolaan hutan lestari dan perdagangan kayu “formal”, salah satunya melalui Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK), SVLK berhubungan dengan dengan mekanisme, proses, dan kelembagaan tata kelola hutan dan perdagangan kayu yang terjamin legalitasnya, dalam kajian ini disebut sebagai perdagangan kayu “formal”.

SVLK merupakan salah satu pilihan kebijakan penting dalam mengurangi peredaran kayu ilegal. Namun demikian, perlu digarisbawahi bahwa SVLK bukan merupakan satu-satunya opsi kebijakan yang dapat dipergunakan untuk mengatur “formalisasi” perdagangan kayu yang diharapkan dapat menekan peredaran kayu ilegal. Dalam kajian ini SVLK ditempatkan sebagai salah satu opsi kebijakan yang dianalisis dan dikritisi kelayakannya, termasuk prasyarat yang diperlukan untuk menjamin keberhasilan implementasinya. SVLK merupakan opsi kebijakan “formalisasi” yang menekankan aspek legalitas kayu yang dianggap melengkapi dan perlu dievaluasi efektifitasya dibandingkan beberapa opsil kebijakan “formalisasi” perdagangan kayu lainnya seperti “Surat Keterangan Sahnya Kayu Bulat” (SKSKB), SKSKB Cap KR (Kayu Rakyat), “Surat Keterangan Asal Usul Kayu” (SKAU), dan sistem sertifikasi pengelolaan hutan produksi lestari (PHPL) yang bersifat wajib (mandatory) maupun sertifikasi manajemen hutan lestari oleh pihak ketiga yang bersifat sukarela (voluntary) seperti sistem sertifikasi yang dikembangkan Lembaga Ekolabel Indonesia (LEI) atau Forest Stewardship Council (FSC). Opsi-opsi kebijakan dalam “formalisasi” perdagangan kayu harus selaras dengan prinsip-prinsip efisiensi, efektivitas dan ekuitas serta mampu bersinergi dengan tiga pilar pengelolaan hutan lestari, yaitu: kesesuaian ekologi, keberterimaan sosial, dan kelayakan ekonomi. Pembangunan kerangka kebijakan “formalisasi” perdagangan kayu yang sesuai akan sangat mendukung terciptanya perdagangan kayu yang transparan, akuntabel dan

(3)

sesuai aturan hukum. Kebijakan “formalisasi” perdagangan kayu, termasuk SVLK, harus mempertimbangkan prioritas politik dan sosial-ekonomi, termasuk memerhatikan suara kelompok yang termiskin (the poorest) dan termarginalkan.

Kebijakan “formalisasi” perdagangan kayu yang tidak tepat bisa menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi deforestasi dan degradasi hutan. Kekurangan dalam infrastruktur kebijakan seperti legislasi, sistem kepemilikan, struktur organisasi dan sikap apatis birokrasi, serta beberapa isu tingkat makro dapat mengancam kesinambungan sumber daya hutan. Untuk memberikan opsi-opsi “formalisasi” kebijakan perdagangan kayu, diperlukan adanya evaluasi kebijakan yang menyangkut adanya ambiguitas dan kesenjangan pelaksanaan kebijakan yang berkaitan dengan pengelolaan hutan dan peredaran kayu.

1.2 Tujuan dan Output Kajian

Tujuan kajian terdiri dari tujuan umum dan tujuan khusus, sedangkan output kajian merupakan luaran yang dihasilkan dari kajian ini.

1.2.1 Tujuan Kajian

Tujuan umum:

Memberikan rekomendasi kebijakan perdagangan kayu “formal” yang implementatif, yang menjamin kelestarian hutan, legalitas produk kayu, kesejahteraan masyarakat, dan rasa keadilan bagi pelaku usaha kehutanan skala kecil.

Tujuan Khusus:

Merumuskan opsi-opsi kebijakan yang dapat diimplementasikan terkait isu-isu penting dalam praktik-praktik pengelolaan hutan skala kecil, pemanfaatan kayu untuk pemenuhan kebutuhan masyarakat dan pelaku usaha kehutanan skala kecil, dan pengembangan kelembagaan perdagangan kayu rakyat yang sesuai dengan lingkungan sosial-ekonomi dan politik.

1.2.2 Output Kajian

Tersedianya rekomendasi kebijakan yang dapat menjamin kelestarian hutan, legalitas kayu, kesejahteraan dan rasa keadilan masyakakat.

(4)

1.3 Struktur Laporan

Laporan ini terdiri dari lima bab; Bab-1 Pendahuluan, yang menjelaskan latar belakang, tujuan, dan output kajian. Bab-2 merupakan metodologi kajian, terdiri dari kerangka kajian dan metode yang digunakan, termasuk metode pengumpulan data, analisis kebijakan, dan pertanyaan penelitian. Bab-3 membahas kebijakan peredaran hasil hutan, khususnya kayu. Bab-4 berisi dialektika legalitas dan legitimasi dalam konteks “formalisasi” perdagangan kayu rakyat. Bab 5 mengevaluasi efektifitas kabijakan sertifikasi wajib SVLK dibandingkan dengan opsi-opsi kebijakan perdagangan kayu “formal” lainnya. Bab 6 yange merupakan penutup laporan ini berisi kesimpulan dan rekomendasi kajian terkait opsi-opsi kebijakan “formalisasi” perdagangan kayu rakyat dalam rangka menjamin kelestarian hutan, legalitas produk kayu, kesejahteraan masyarakat, dan rasa keadilan bagi pelaku usaha kehutanan skala kecil.

(5)

2

METODOLOGI

2.1 Kerangka Pemikiran

Kajian opsi-opsi kebijakan dalam rangka mengintegrasikan pasar kayu domestik ke dalam ekonomi formal dilakukan dengan menggunakan kerangka pemikiran seperti terlihat pada Gambar 1. Gambar tersebut menunjukkan kerangka pemikiran kajian opsi-opsi kebijakan dalam rangka mengintegrasikan pasar kayu domestik ke dalam ekonomi formal. Secara keseluruhan, ada dua analisis yang digunakan dalam kajian ini, yaitu:

1) Analisis Normatif

Analisis yang ditujukan untuk menjawab pertanyaan “what should be” atau apa yang seharusnya dilakukan atau seharusnya ada menurut regulasi (Birner 2001). Analisis normatif digunakan memahami konsistensi kebijakan serta kesenjangan pelaksanaan dalam “formalisasi” perdagangan kayu domestik.

2) Analisis Positif

Analisis positif adalah analisis yang dipergunakan untuk menjawab pertanyaan “what is” atau fakta apa yang terjadi (Birner 2001). Untuk melaksanakan analisis positif diperlukan survey untuk mengkonfirmasi apa yang sesungguhnya terjadi di lapangan terkait dengan pelaksanaan “formalisasi perdagangan kayu domestik”, khususnya yang terkait dengan pengelolaan hutan rakyat dan perdagangan kayu rakyat.

Analisis dilakukan terhadap konten maupun struktur dan hierarki regulasi, yang dibuat untuk melaksanakan suatu kebijakan. Sebuah kebijakan memiliki kekuatan yang besar dan akan efektif dilaksanakan jika mempunyai dasar legalitas yang sesuai, baik dari struktur maupun hierarki, dan pada saat yang bersamaan kebijakan tersebut juga memiliki legitimasi yang tinggi. SVLK merupakan opsi kebijakan sertifikasi yang lekat atau dilekatkan dengan aspek legalitas. Oleh karena itu, walaupun regulasi hanyalah merupakan satu dari empat instrumen kebijakan, yaitu: regulasi, administrasi, fiskal, dan informasi, namun dalam kajian SVLK instrumen regulasi mendapatkan perhatian terbesar. Kajian ini merumuskan opsi-opsi kebijakan perdagangan kayu “formal”, memberikan rekomendasi kebijakan perdagangan kayu “formal” (Gambar 1).

(6)

Gambar 1. Kerangka Pemikiran Kajian

Luaran kajian ini adalah tersedianya opsi-opsi kebijakan yang implementatif dalam rangka mengintegrasikan pasar kayu domestik ke dalam ekonomi formal. Untuk mencapai tujuan ini, diperlukan data dan informasi terkait tiga aspek yaitu:

1) Praktik-praktik pengelolaan hutan rakyat dan perdagangan kayu rakyat, 2) Manfaat hutan rakyat dan perdagangan kayu rakyat, dan

3) Opsi-opsi strategi kelembagaan hutan rakyat dan perdagangan kayu rakyat.

2.2 Metode

Kajian “opsi-opsi kebijakan dalam rangka mengintegrasikan pasar kayu domestik ke dalam ekonomi formal" dilakukan melalui tahapan sebagai berikut:

Tahap pertama yang dilakukan dalam kajian ini adalah pengumpulan data dan informasi tentang kebijakan dan peraturan yang terkait. Data tidak hanya berasal dari sumber resmi, tetapi juga yang tidak resmi untuk memperoleh pemahaman yang lebih baik pada praktik kebijakan dan aspek hukum dari beberapa opsi kebijakan perdagangan kayu “formal”. Data tersebut terdiri dari berbagai peraturan, laporan, dan informasi yang relevan dari person kunci dan media.

Metode Analisis Tujuan aktivitas

Tujuan Umum

Tujuan Khusus Rekomendasi Kebijakan Perdagangan Kayu “FORMAL”

Regulasi Kebijakan

Legitimasi & Legalitas

Konten Struktur and Hirarki

Analisis Normatif Analisis Positif

Opsi-Opsi Kebijakan

Obyek kajian Administrasi

Fiskal Informasi

(7)

Tahap kedua, melakukan serangkaian wawancara dan diskusi grup terfokus (Focus

Group Discussion/FGD) dilakukan dengan petani hutan rakyat dan para pihak (stakeholders) di Provinsi Jawa Tengah, dengan fokus kajian di tiga kabupaten, yaitu:

1) Kabupaten Wonosobo 2) Kabupaten Blora 3) Kabupaten Wonogiri

Wawancara dan FGD dengan para pihak yang terkait dengan perdagangan kayu dilakukan dalam rangka memperoleh informasi yang akurat tentang persepsi para pihak terhadap kebijakan, ide dan harapan, implementasi kebijakan, serta implikasi kebijakan dari perdagangan kayu formal, khususnya kebijakan Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) dan kebijakan lainnya yang terkait. Para pihak yang dikonfirmasi melalui wawancara dan/atau FGD di kabupaten Wonosobo, Blora, dan Wonogiri dengan peserta yang mewakili kepentingan para pihak dalam pengelolaan sumberdaya hutan, yaitu: 1) Rumah tangga petani hutan rakyat dan pedagang kayu rakyat;

2) Rumah tangga petani hutan rakyat yang tergabung dalam PHBM Perum Perhutani; dan

3) Para pihak yang terkait dengan pemanenan kayu skala besar (Perum Perhutani) dan industri pengolahan kayu di masing-masing lokasi.

(8)

3 Kebijakan Peredaran Hasil Hutan

3.1 Kebijakan Perdagangan Kayu Domestik

Indonesia dikenal sebagai salah satu negara pengekspor produk perkayuan terbesar di dunia. Selain menghasilkan devisa, industri perkayuan juga memberikan kontribusi terhadap penciptaan kesempatan kerja dan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Industri perkayuan mempunyai value chain yang sangat panjang dan tidak dapat dipisahkan dengan pertumbuhan berbagai sektor lainnya. Multiplier effect atau efek pengganda output, pendapatan, dan tenaga kerja yang dihasilkan dari kegiatan pengelolaan hutan dan perdagangan kayu sangat besar (Nurrochmat dan Hasan 2012), Secara keseluruhan, kegiatan kehutanan termasuk pemanfaatan kayu lestari, memiliki keterkaitan ke depan (foreward linkages) yang kuat dan panjang, mulai dari petani hutan rakyat, pedagang kayu, pengusaha bahan-bahan pendukung sampai pada penyedia jasa transportasi, pemasok makanan, penginapan dan industri jasa lainnya yang berada di sepanjang titik-titik kegiatan dalam rantai produksi produk perkayuan.

Kayu rakyat yang berasal dari Blora, Wonosobo, Wonogiri, dan daerah-daerah sentra hutan rakyat lainnya di pulau Jawa sebagian besar bermuara menjadi produk olahan mebel kayu di Jepara. Kabupaten Jepara merupakan daerah penghasil mebel terbesar di Indonesia yang mempunyai sejarah panjang industri mebel dan terutama dikenal dengan jenis mebel ukir jatinya. Ketika banyak usaha skala besar tumbang diterpa krisis ekonomi tahun 1998, usaha kecil mebel di Jepara masih dapat bertahan. Pengalaman menunjukkan, pemulihan kondisi yang terjadi akibat krisis ekonomi global relatif lebih cepat dilakukan oleh pengusaha pada skala kecil dibandingkan pada usaha-usaha besar yang bahkan membutuhkan suntikan dana yang besar dari lembaga keuangan maupun pemerintah. Walaupun fakta menunjukkan kemampuan usaha kecil untuk bertahan dalam krisis ekonomi dan mampu memulihkan penurunan kondisi usaha dengan cepat, tetapi usaha mikro, kecil dan menengah mengalami stagnasi dan sulit sekali untuk berkembang karena tidak dapat mengakumulasi modal untuk peningkatan skala usaha. Dengan kata lain, kondisi perekonomian global memang tidak mematikan usaha mikro dan kecil, tetapi keuntungan yang diperoleh pengusaha mikro dan kecil tidak cukup besar untuk dapat diinvestasikan kembali ke dalam bentuk-bentuk pengembangan usaha (Nurrochmat dan Hadijati 2010).

(9)

Salah satu kebijakan yang berpengaruh terhadap perkembangan industri perkayuan adalah kebijakan yang terkait dengan alokasi bahan baku kayu bulat (logs). Kebijakan terbaru yang mengatur alokasi bahan baku kayu bulat adalah Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P. 7/Menhut-II/2009 Tentang Pedoman Pemenuhan Bahan Baku Kayu Untuk Kebutuhan Lokal. Kebutuhan kayu lokal adalah usaha untuk memenuhi pasokan kayu bulat dan atau kayu olahan yang dibutuhkan Kabupaten/Kota dalam rangka untuk kepentingan masyarakat dan kepentingan umum. Pelaksanaan Peraturan Menteri Kehutanan ini tidak dapat dipisahkan dengan peraturan-peraturan Menteri Kehutanan yang sudah ada sebelumnya, diantaranya adalah (Nurrochmat dan Hadijati 2010):

 Keputusan Menteri Kehutanan Nomor SK.382/Menhut-II/2004 tentang Izin Pemanfaatan Kayu (IPK);

 Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.51/Menhut-II/2006 tentang Penggunaan Surat Keterangan Asal Usul (SKAU) Untuk Pengangkutan Hasil Hutan Kayu Yang Berasal Dari Hutan Hak sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.33/Mehut-II/2007;

 Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.55/Menhut-II/2006 tentang Penatausahaan Hasil Hutan Yang Berasal Dari Hutan Negara sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.63/Menhut-II/2006; Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.6/Menhut-II/2007 tentang Rencana Kerja dan Rencana Kerja Tahunan Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Dalam Hutan Alam dan Restorasi Ekosistem Pada Hutan Produksi sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.40/Menhut-II/2007;

 Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.19/Menhut-II/2007 tentang Tata Cara Pemberian Izin dan Perluasan Areal Kerja Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Tanaman Industri dalam Hutan Tanaman pada Hutan Produksi, sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Nomor P.11/Menhut-II/2008;

 Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.20/Menhut-II/2007 tentang Tata Cara Pemberian Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu dalam Hutan Alam pada Hutan Produksi, sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Nomor P.12/Menhut-II/2008;

 Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.23/Menhut-II/2007 tentang Tata Cara Permohonan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Tanaman Rakyat dalam Hutan Tanaman, sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir

(10)

 Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.18/Menhut-II/2007 tentang Petunjuk Teknis Tata cara Pengenaan, Pemungutan, dan Pembayaran Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH) dan Dana Reboisasi (DR);

 Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.37/Menhut-II/2007 tentang Hutan Kemasyarakatan;

 Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.62/Menhut-II/2008 tentang Rencana Kerja Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Tanaman Industri dan Hutan Tanaman Rakyat.

 Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.30/Manhut-II/2012 tentang Penatausahaan Hasil Hutan yang Berasal dari Hutan Hak.

Permenhut No. 7/Menhut-II/2009 tentang Pedoman Pemenuhan Bahan Baku Kayu Untuk Kebutuhan Lokal akan berimplikasi pada perkembangan dan peta persaingan industri perkayuan nasional. Dalam Permenhut tersebut disebutkan adanya alokasi bahan baku kayu yang ditujukan untuk pemenuhan kebutuhan lokal, dalam hal ini yang dimaksud dengan istilah lokal adalah kabupaten atau kota. Permenhut ini menggariskan bahwa dalam rangka pemenuhan bahan kayu untuk kebutuhan lokal diberlakukan dua jenis ketentuan sebagai berikut:

 Kewajiban untuk mengalokasikan seluruh hasil produksi untuk kebutuhan lokal, jika kebutuhan lokal sudah terpenuhi sisanya dapat dijual ke daerah lain.

Ketentuan ini mengikat terhadap kayu bulat yang diperoleh dari Ijin Pemungutan Hasil Hutan Kayu (IPHHK), Ijin Usaha Pemanfaatan Hutan Kemasyarakatan (IUPHKm), Ijin Pemanfaatan Kayu (IPK), Hutan Rakyat (HR), dan Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Tanaman Rakyat (IUPHHK-HTR).  Kewajiban untuk menyisihkan kayu untuk kebutuhan lokal maksimal 5% dari

volume produksi.

Ketentuan ini berlaku terhadap kayu bulat yang berasal dari Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu-Hutan Alam (IUPHHK-HA/HPH), Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu-Hutan Tanaman (IUPHHK-HT/HTI), Kayu Hasil lelang (temuan, sitaan, rampasan, dsb.), Hutan Tanaman Hasil Rehabilitasi (HTHR).

(11)

3.2 Batasan Ekonomi Formal

Sesungguhnya agak sulit memberikan batasan ekonomi formal, namun dalam kajian ini pengertian ekonomi formal adalah aktivitas ekonomi yang tercatat secara resmi dan mengikuti ketentuan yang berlaku. Oleh karena itu, ekonomi formal dalam kajian ini berkaitan dengan aktivitas-aktivitas yang memiliki dasar hukum atau acuan peraturan. Dengan demikian, batasan kajian ekonomi formal dalam perdagangan kayu rakyat yang diuraikan dalam kajian ini sebangun dengan kajian pengelolaan hutan rakyat dan perdagangan kayu rakyat yang dilakukan dengan pendekatan legalistik-formal. Selama bertahun-tahun pengelolaan hutan rakyat dan perdagangan kayu rakyat berada di luar kegiatan ekonomi formal sepanjang kegiatan yang dilakukan tidak tercatat secara resmi dan berada di luar sistem perdagangan kayu formal. Pemerintah melakukan beberapa upaya untuk memberikan baju legalitas terhadap kegiatan pengelolaan hutan rakyat dengan mendorong terbentuknya lembaga yang mewadahi kelompok tani hutan rakyat yang walaupun belum semuanya berbadan hukum namun setidaknya memiliki sistem administrasi. Demikian pula dengan perdagangan kayu rakyat, pemerintah mengeluarkan beberapa ketentuan yang mengatur dan mengadministrasikan perdagangan kayu rakyat dengan memberlakukan Surat Keterangan Asal Usul (SKAU) yang diterbitkan oleh Kepala Desa untuk kayu rakyat yang akan diperjualbelikan, terutama untuk jenis-jenis kayu rimba campuran (kayu kebun atau tegal) non-jati dan mahoni. Sampai dengan tahun 2012, untuk jenis kayu jati dan mahoni diterbitkan SKSKB-Cap KR (Surat Keterangan Sahnya Kayu Bulat – Cap Kayu Rakyat). Hal ini dimaksudkan untuk membedakan kayu yang berasal dari hutan negara (Perum Perhutani) dengan kayu rakyat.

Namun demikian, pemberlakuan SKSKB Cap KR ini dirasakan masih menimbulkan ekonomi biaya tinggi sehingga dikhawatirkan menjadi disinsentif bagi petani dalam mengembangkan hutan rakyat dan memadamkan gairah usaha perdagangan kayu rakyat. Oleh karena itu, pada tanggal 20 Juli 2012 pemerintah mengeluarkan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.30/Manhut-II/2012 tentang Penatausahaan Hasil Hutan yang Berasal dari Hutan Hak yang mengatur dan menyederhanakan dokumen tata usaha kayu rakyat. Dalam Pasal 4 ayat (1) disebutkan bahwa surat keterangan asal usul hasil hutan yang berasal dari hutan hak berupa:

 Nota Angkutan;

(12)

Pada ayat (2) disebutkan “Setiap hasil hutan hak yang akan diangkut dari lokasi tebangan atau tempat pengumpulan di sekitar tebangan ke tujuan, wajib dilengkapi Nota Angkutan atau Nota Angkutan Penggunaan Sendiri atau SKAU, yang merupakan dokumen angkutan hasil hutan dari hutan hak yang berlaku untuk seluruh wilayah Republik Indonesia.” Selanjutnya Pasal 5 Ayat (1) menguraikan bahwa Nota Angkutan digunakan untuk pengangkutan kayu jenis: Cempedak, Dadap, Duku, Jambu, Jengkol, Kelapa, Kecapi, Kenari, Mangga, Manggis, Melinjo, Nangka, Rambutan, Randu, Sawit, Sawo, Sukun, Trembesi, Waru, Karet, Jabon, Sengon dan Petai. Pengangkutan lanjutan yang digunakan untuk mengangkut semua jenis kayu hutan hak selain dari pelabuhan umum. Sedangkan Nota Angkutan Penggunaan Sendiri digunakan dalam peredaran kayu hutan hak semua jenis kayu untuk keperluan sendiri atau fasilitas umum dengan tujuan kecuali IUIPHHK, IPKL, IPKT dan TPT. Selain Nota Angkutan dan Nota Angkutan Penggunaan Sendiri, untuk pengangkutan kayu rakyat juga digunakan SKAU untuk setiap angkutan hasil hutan hak selain kriteria penggunaan Nota Angkutan dan Nota Angkutan Penggunaan Sendiri.

3.3 Masalah Informalitas

Kendala yang pada umumnya dihadapi oleh usaha skala kecil, termasuk pengusahaan hutan rakyat dan perdagangan kayu rakyat adalah kesulitan dalam pengembangan skala usaha. Salah satu penyebab sulitnya usaha berkembang adalah sifat informalitasnya. Perlu digarisbawahi bahwa walaupun terkesan mirip pengertian usaha “informal” sesungguhnya berbeda dengan usaha “ilegal”. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia sektor “informal” adalah lingkungan usaha “tidak resmi” atau lapangan pekerjaan yg diciptakan dan diusahakan sendiri oleh pencari kerja. Pada umumnya sektor “informal” berkaitan dengan unit usaha kecil yg melakukan kegiatan produksi dan/atau distribusi barang dan jasa yang bekerja dengan keterbatasan, baik modal, fisik, tenaga, maupun keahlian (KBBI 2012). Dalam Oxford dictionary disebutkan bahwa “informal (of economic

activity) carried on by self-employed or independent people on a small scale, especially unofficially or illegally.” (Oxford University Press 2013). Dalam konteks kajian ini,

penekanan dari “informalitas” melekat dengan kondisi “small scale” dan “unofficially”, bukan dalam pengertian “illegally”.

Berbeda dengan pengertian “informal” yang lekat dengan kondisi “keterbatasan”, aktiivitas “ilegal” berkaitan dengan kegiatan-kegiatan yang tidak legal atau tidak menurut hukum (KBBI 2012), terlepas dari apakah kegiatan “ilegal” tersebut berskala kecil maupun besar. Seseorang yang membuka usaha warung makanan di rumah, misalnya,

(13)

adalah usaha “legal” yang cenderung bersifat “informal”. Sementara, usaha perdagangan barang-barang terlarang jelas merupakan usaha “ilegal”, namun dalam banyak kasus dioperasikan oleh sebuah kartel atau mafia perdagangan yang beroperasi secara “formal” karena melibatkan struktur dan hierarki formal yang terorganisir. Berbeda dengan kegiatan ekonomi “formal” yang berskala cukup besar, usaha yang bersifat “informal” biasanya berjalan sekedar untuk memenuhi kebutuhan hidup dan sulit berkembang menjadi usaha besar selama belum mampu menanggalkan sifat “informalitasnya”.

(14)

4 Dialektika Kebijakan Perdagangan Kayu:

Legalitas vs Legitimasi

4.1 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Legalitas Kayu Rakyat

Ada beberapa faktor yang mempengaruhi legalitas usaha hutan rakyat dan perdagangan kayu rakyat yang (dapat) terkait satu dengan lainnya, yaitu:

1) Legalitas tempat usaha

Faktor pertama yang penting diperhatikan terkait legalitas usaha adalah legalitas status tempat usaha. Dalam konteks pengelolaan hutan rakyat, legalitas tempat usaha terkait dengan status lahan tempat tumbuh pohon. Kayu yang dihasilkan disebut sebagai kayu rakyat apabila dihasilkan dari hasil pemanenan hutan rakyat, yaitu hutan yang tumbuh di atas lahan yang dibebani hak. Apabila status kepemilikan lahan hutan rakyat kurang jelas, maka legalitas kayu yang dihasilkan juga menjadi lemah. Oleh karena itu, salah satu cara untuk meningkatkan kekuatan legalitas kayu adalah penguatan status kepemilikan lahan. Semakin kuat status kepemilikan lahan hutan rakyat, maka semakin kuat pula status legalitas asal usul kayu rakyat yang dihasilkan dari lahan hutan rakyat tersebut.

2) Legalitas badan usaha

Selain legalitas status tempat usaha, faktor lain yang perlu diperhatikan adalah legalitas badan usaha. Dalam hal pengelolaan hutan rakyat legalitas badan usaha berkaitan dengan ada atau tidaknya organisasi atau lembaga pengelola hutan, misalnya kelompok tani hutan, gabungan kelompok tani hutan, lembaga masyarakat desa hutan, koperasi petani hutan rakyat, atau lembaga lain yang sejenis. Walaupun kayu dipanen dari hutan rakyat yang status kepemilikannya jelas, namun formalitas usaha tidak cukup kuat apabila tidak dikelola oleh suatu badan usaha atau lembaga pengelola hutan rakyat yang formal.

3) Legalitas sistem usaha

Legalitas sistem usaha merupakan faktor yang harus diperhatikan terkait dengan aspek legalitas usaha. Dalam konteks pengelolaan hutan rakyat, sistem pengelolaan hutan rakyat dikatakan memiliki standar legalitas yang tinggi apabila sistem yang

(15)

dilaksanakan diakui dapat menjamin manajemen hutan lestari atau sustainable forest

management (SFM). Pengakuan yang diberikan untuk sistem manajemen hutan

rakyat lestari dapat diberikan oleh pihak ketiga setelah melakukan assessment dengan mengacu pada standar sertifikasi kelestarian hutan yang ditetapkan oleh lembaga tertentu seperti Lembaga Ekolabel Indonesia (LEI), Forest Stewardship Council (FSC), atau standar pengelolaan hutan lainnya yang diterapkan di suatu negara.

4) Legalitas produk

Selain legalitas tempat usaha, badan usaha, dan sistem usaha, legalitas usaha juga melekat dengan legalitas produk yang dihasilkan. Kayu hutan rakyat dikatakan memiliki legalitas yang tinggi apabila jenis kayu yang diperdagangkan bukan kayu langka yang dilarang atau dibatasi perdagangannya dan kayu tersebut dapat diverifikasi berasal dari sumber yang legal dan dapat dipertanggungjawabkan asal usulnya berasal dari hutan yang dikelola secara lestari. Sistem verifikasi legalitas kayu (SVLK) merupakan suatu upaya untuk memastikan bahwa kayu yang diperjualbelikan diperoleh dari sumber yang legal dan lestari.

5) Legalitas dokumen perdagangan

Suatu produk dikatakan legal apabila produknya sendiri legal dan diperjualbelikan dengan menggunakan dokumen yang sah. Kayu rakyat dikatakan legal apabila berasal dari hutan yang jelas status lahannya, dikelola oleh lembaga pengelola hutan rakyat yang kompenen, sistem pengelolaan yang lestari, memiliki asal usul yang jelas dan dapat diverifikasi, dan dilengkap dengan dokumen-dokumen tata usaha kayu yang lengkap dan sah, misalnya: Surat Keterangan Asal Usul (SKAU) atau Surat Keterangan Sahnya Kayu Bulat-Cap Kayu Rakyat (SKSKB-Cap KR).

4.2 Faktor-faktor yang mempengaruhi legitimasi kayu rakyat

Pada umumnya orang menganggap bahwa legalitas sebangun dengan legitimasi, namun pada kenyataannya tidak demikian karena legalitas tidak selalu berbanding lurus dengan legitimasi. Menurut pengertian bahasa, “legalitas” adalah sesuatu yang berkaitan perihal (keadaan) sah atau dengan kata lain legalitas adalah sinonim dari kata keabsahan. Sementara, “legitimasi” mengandung pengertian keterangan yang mengesahkan atau membenarkan bahwa pemegang keterangan adalah betul-betul orang (pihak) yang dimaksud (KBBI 2012). Secara singkat dapat dikatakan bahwa legalitas adalah keabsahan dari suatu keadaan, sedangkan legitimasi adalah pengakuan terhadap kebijakan atau pihak tertentu.

(16)

Suatu produk yang memiliki legalitas kuat belum tentu memiliki legitimasi yang tinggi, demikian pula sebaliknya. Kuat atau lemahnya legitimasi terhadap kayu rakyat dipengaruhi oleh beberapa faktor yang berkaitan dengan kepercayaan (trust), diantaranya:

1) Kepercayaan terhadap produsen

Jika seseorang membeli kayu dari pohon yang ditebang dari kebun atau halaman rumah tetangganya, maka kayu tersebut pastilah memiliki legitimasi yang sangat tinggi walaupun kayu tersebut tidak dilengkapi dengan dokumen apapun. Dari aspek legalitas, kayu yang diperjualbelikan sesungguhnya memiliki legalitas rendah atau bahkan dapat dikatakan ilegal karena tidak dilengkapi dengan dokumen tata niaga kayu yang sah. Meskipun memiliki legalitas yang sangat lemah, namun legitimasi dari jual beli kayu tersebut sangat tinggi. Hal ini terjadi karena pembeli mengetahui secara pasti asal usul kayu yang dibelinya dan sebagai tetangga pembeli sangat mengenal pemilik kayunya. Dalam konteks ini legitimasi terbangun karena adanya kepercayaan

(trust) yang tinggi konsumen terhadap produsen.

2) Kepercayaan terhadap sistem administrasi

Menurut ketentuan kayu-kayu yang berasal dari Hak Pengusahaan Hutan (HPH) atau Hutan Tanaman Industri (HTI), termasuk kayu dari Perum Perhutani adalah kayu-kayu yang telah terjamin legalitasnya. Kayu HPH hanya boleh ditebang sesuai dengan ketentuan pengelolaan hutan TPTI (Tebang Pilih Tanam Indonesia) atau sistem lain yang sah. Demikian pula dengan kayu dari HTI yang diperdagangkan berasal dari sistem pengelolaan hutan tanaman THPB (Tebang Habis Permudaan Buatan) yang sah berlaku di Indonesia. Jenis dan jumlah kayu yang ditebangpun harus mengikuti batasan yang ditetapkan dalam RKT (Rencana Karya Tahunan) yang basis perhitungannya mengikuti konsep AAC (Annual Allowable Cut) yang sampai saat ini masih diakui sebagai salah satu konsep fundamental dalam pengelolaan hutan lestari. Saat ini, pemerintah Indonesia juga mewajibkan seluruh HPH dan HTI untuk diasses dalam rangka memastikan bahwa pengelolaan hutan yang dilakukan sesuai dengan prinsip-prinsip pengelolaan hutan lestari (mandatory certification). HPH dan HTI yang dinyatakan lolos dalam assessment memperoleh sertifikat Manajemen Hutan Lestari (MHL) yang dikeluarkan oleh Kementerian Kehutanan. Artinya, kayu-kayu yang dikeluarkan oleh HPH atau HTI sesungguhnya telah memenuhi unsur-unsur legalitas karena dihasilkan oleh suatu badan usaha yang sah, ditebang berdasarkan ketentuan jenis dan volume yang sah, dan dikelola berdasarkan prinsip manajemen hutan lestari yang diperoleh dari mandatory certification. Namun demikian, faktanya walaupun

(17)

telah memenuhi unsur-unsur legalitas kayu-kayu tersebut memiliki legitimasi yang rendah, khususnya dalam perdagangan internasional. Dalam konteks ini, jelas bahwa lemahnya legitimasi kayu Indonesia di pasar internasional tidak disebabkan oleh ketidaklengkapan aspek legal melainkan rendahnya kepercayaan terhadap sistem administrasi tata niaga kayu di Indonesia, termasuk ketidakpercayaan terhadap otoritas yang menerbitkan dokumen tata niaga kayu, dalam hal ini Kementerian Kehutanan. Oleh karena itu, walaupun telah dilengkapi dengan setumpuk dokumen legal, pasar internasional masih sering menuntut dengan berbagai persyaratan yang lebih banyak, misalnya sertifikasi dari pihak ketiga (lembaga independen) yang diakui oleh pasar internasional.

3) Kepercayaan terhadap pelaku pemasaran

Sering dijumpai dalam sebuah perdagangan produk yang sama tidak dapat dijual oleh seseorang atau suatu negara, tetapi dengan mudah dapat dijual oleh pelaku yang lain atau negara lain. Dalam konteks ini, keberhasilan penjualan tidak terkait dengan legalitas produk atau produsennya tetapi melekat pada legitimasi yang dimiliki oleh pelaku pemasaran atau perantara. Hal yang demikian ini juga dapat ditemui dalam perdagangan kayu. Pada perdagangan kayu, kepercayaan (trust) terhadap pelaku pemasaran seringkali bagi konsumen (industri pengolahan kayu) lebih penting daripada kelengkapan dokumen yang melekat pada kayu.

4.3 Mapping model-model “formalisasi” pengelolaan hutan rakyat dan perdagangan kayu rakyat

Fokus kajian ini adalah praktik-praktik pengelolaan hutan rakyat dan kayu rakyat. Sesuai dengan batasan dalam Undang-Undang Kehutanan, seluruh hutan rakyat yang ada di lokasi Kabupaten Blora, Wonosobo, dan Wonogiri ditanam di atas lahan yang dibebani hak (hutan hak). Sebagai pembanding dilakukan pula kajian terhadap pengelolaan hutan bersama masyarakat (PHBM) yang merupakan kerjasama Perum Perhutani dengan masyarakat di beberapa desa yang memiliki hutan pangkuan di Kabupaten Blora. Status pengelolaan hutan rakyat di ketiga kabupaten kajian disajikan pada Tabel 1.

Model perdagangan kayu rakyat di tiga kabupaten (Kabupaten Blora, Wonosobo, dan Wonogiri) secara umum serupa. Waktu pemanenan pada umumnya sesuai dengan kebutuhan petani (tebang butuh). Sistem pemanenan dapat dilakukan dengan dua cara yakni tebang pilih dan tebang habis.

(18)

Tabel 1. Status pengelolaan hutan rakyat di Blora, Wonosobo, dan Wonogiri

Lokasi Status

Hutan

Model

Pengelolaan Pengelola Kelembagaan Sertifikasi

Kabupaten Blora

- Kec. Blora Hutan hak Hutan rakyat Mandiri dan kelompok

KTH/Gapoktan/ Koperasi Jati Mustika

SVLK

- Kec. Randublatung Hutan

negara PHBM Kelompok LMDH Tidak ada Kabupaten Wonosobo

- Desa Jonggolsari Hutan hak Hutan rakyat Mandiri dan

kelompok KTH/Koperasi SVLK

- Desa Besani Hutan hak Hutan rakyat Mandiri dan kelompok KTH/Koperasi Tidak ada

Kabupaten Wonogiri

- Kec. Giriwoyo Hutan hak Hutan rakyat Mandiri dan kelompok KTH/Koperasi Tidak ada

- Kec. Batuwarno Hutan hak Hutan rakyat Mandiri dan kelompok KTH/Koperasi LEI

Tebang pilih dilakukan pada sistem penjualan berbasis tegakan (batang pohon), sedangkan tebang habis dipraktikkan pada sistem penjualan “tebasan area”. Pada sistem penjualan dengan “tebasan area” pedagang membeli seluruh kayu yang ada di atas areal tertentu, tanpa dibatasi jeis dan ukuran kayu. Satuan penjualan pada umumnya adalah pohon berdiri, walaupun beberapa petani ada yang telah menjual dengan sistem taksiran kubikasi. Dokumen tata niaga kayu yang umum dipergunakan adalah SKSKB-Cap KR untuk kayu rakyat jenis jati dan mahoni sebagaimana diterapkan di Kabupaten Blora dan Wonogiri dan SKAU untuk kayu jenis lain seperti sengon di kabupaten Wonosobo (Tabel 2).

Pada dasarnya “formalisasi” pengelolaan hutan rakyat dan perdagangan kayu rakyat dapat dibedakan berdasarkan: obyek, fokus, pelaksana, dasar pelaksanaan, dan motivasi dalam pelaksanaan suatu sistem. Formalisasi dapat dikategorikan ke dalam dua obyek besar, yaitu: “manajemen hutan” dan “kayu”. Penerapan kewajiban sertifikasi manajemen hutan lestari (MHL mandatory) oleh Kementerian Kehutanan di areal ijin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu baik di hutan alam (IUPHHK-HA atau HPH) maupun di hutan tanaman (IUPHHK-HT atau HTI), sistem sertifikasi sukarela berdasarkan standar Lembaga Ekolabel Indonesia (LEI) dan Forest Stewardship Council (FSC) yang dilaksanakan oleh pihak ketiga merupakan sistem “formalisasi” yang obyek utamanya adalah manajemen hutan, yang berfokus pada kelestarian hutan sebagai tujuan. Ketiga

(19)

sistem sertifikasi ini (MHL, LEI, dan FSC), memiliki kesamaan fokus yaitu kelestarian pengelolaan hutan yang lokusnya “on forest”.

Tabel 2. Model perdagangan kayu rakyat di Blora, Wonosobo, dan Wonogiri

Lokasi Waktu Pemanenan Sistem Pemanenan Satuan Sistem Pembelian Dokumen Tata Niaga Kabupaten Blora

- Kec. Blora Tebang butuh

Tebang pilih & tebang habis Pohon berdiri Beli pohon & tebasan areal. SKSKB-Cap KR - Kec. Randublatung Tebang daur Tebang

habis Kubikasi Beli kayu SKSKB

Kabupaten Wonosobo

- Desa Jonggolsari Tebang butuh

Tebang pilih & tebang habis Pohon berdiri & kubikasi Beli pohon & tebasan areal. SKAU

- Desa Besani Tebang butuh

Tebang pilih & tebang habis Pohon berdiri & kubikasi Beli pohon & tebasan areal. SKAU Kabupaten Wonogiri

- Kec. Giriwoyo Tebang butuh

Tebang pilih & tebang habis Pohon berdiri & kubikasi Beli pohon & tebasan areal. SKSKB-Cap KR

- Kec. Batuwarno Tebang butuh

Tebang pilih & tebang habis Pohon berdiri & kubikasi Beli pohon & tebasan areal. SKSKB-Cap KR

Sementara, Surat Keterangan Asal Usul (SKAU), Surat Keterangan Sahnya Kayu Bulat (SKSKB), SKSKB cap Kayu Rakyat (SKSKB cap KR), dan Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) obyeknya lebih banyak terkait dengan hasil hutan kayu yang lokus kegiatannya sebagian besar di luar areal hutan “off forest” –walaupun SVLK juga terkait dengan beberapa aspek yang lokusnya “on forest” seperti legalitas lahan hutan dan manajemen hutan, khususnya sistem pengaturan pemanenan kayu. Pengesahan Rencana Karya Tahunan (RKT) yang menjadi dasar ijin kegiatan penebangan di hutan produksi berkaitan dengan penentuan jatah tebang (jenis pohon, jumlah pohon, dan volume pohon). Penentuan jenis pohon yang ditebang dalam RKT sejatinya tidak hanya terkait dengan kayu yang ditebang atau “off forest”, tetapi sekaligus juga berkaitan dengan manajemen untuk kelestarian hutan (“on forest”) karena penentuan jatah tebang dalam RKT berbasis AAC (Annual Allowable Cut) yang diakui sebagai salah satu metode pengaturan hasil lestari dalam ilmu manajemen hutan. Sejatinya, sistem kredit tunda tebang yang diterapkan di beberapa koperasi petani hutan rakyat sebangun dengan

(20)

bersifat wajib diikuti pemegang konsesi di hutan negara, sistem kredit tunda tebang sifatnya sukarela. Sistem kredit tunda tebang bertujuan untuk kelestarian hutan dengan motivasi untuk meningkatkan kesejahteraan petani hutan rakyat (Tabel 3).

Tabel 3. Sistem “formalisasi” pengelolaan hutan rakyat dan perdagangan kayu rakyat

Sistem Obyek Fokus Pelaksana Dasar

Pelaksanaan Motivasi MHL-mandatory Manajemen hutan Kelestarian hutan Pihak

ketiga Kewajiban Pengaturan

RKT Manajemen hutan dan kayu Kelestarian hutan Dinas

kehutanan Kewajiban. Pengaturan

Sistem kredit tunda tebang Manajemen hutan dan kayu Kelestarian hutan dan kesejahteraan petani hutan rakyat Pemilik hutan rakyat Sukarela Pemenuhan kebutuhan petani hutan rakyat FSC Manajemen hutan Kelestarian hutan Pihak ketiga Sukarela Pengakuan konsumen LEI Manajemen hutan Kelestarian hutan Pihak ketiga Sukarela Pengakuan konsumen

SKAU Kayu Legalitas kayu

Kepala

Desa Kewajiban Pengaturan

SKSKB Kayu Legalitas kayu

Dinas

kehutanan Kewajiban Pengaturan

SKSKB-Cap

KR Kayu

Legalitas kayu

Dinas

kehutanan Kewajiban Pengaturan

SVLK Kayu Legalitas kayu Pihak ketiga Kewajiban Pengaturan & Pengakuan konsumen

4.4 Akseptabilitas SVLK dalam Pandangan Para Pihak

Sebagai sebuah sistem, SVLK akan dapat diimplementasikan dengan baik jika dan hanya jika memiliki tingkat keberterimaan (akseptabilitas) yang tinggi dari para pihak. Dalam hal ini, para pihak yang berkaitan erat dengan SVLK antara lain adalah Kementerian Kehutanan, Pemerintah Daerah, Petani Hutan Rakyat, Kelompok Tani Hutan, Pdagang Kayu, Industri Pengolahan Kayu, dan Lembaga Swadaya Masyarakat.

4.4.1 Kementerian Kehutanan

Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) merupakan upaya yang dilakukan pemerintah Indonesia untuk meningkatkan keberterimaan atau akseptabilitas produk perkayuan

(21)

Indonesia di pasar dunia, khususnya pasar Uni Eropa. Pada mulanya sistem ini diujicobakan di lapangan dengan dukungan pendanaan dari negara Uni Eropa. Pemerintah Indonesia, c.q. Kementerian Kehutanan, menganggap bahwa SVLK merupakan salah satu langkah terobosan yang dapat dilakukan untuk mengikis ketidakpercayaan konsumen terhadap legalitas produk perkayuan Indonesia yang masuk pasar Uni Eropa. Oleh karena itu, Kementerian Kehutanan menetapkan bahwa sertifikasi SVLK menjadi suatu prasyarat yang wajib diikuti oleh seluruh unit usaha pengelola hutan dan industri perkayuan (mandatory certification), termasuk hutan rakyat dan industri kayu rakyat. Dalam konteks ini dapat dilihat bahwa posisi Kementerian Kehutanan mendukung bahkan mewajibkan unit usaha kehutanan untuk memperoleh sertifikat SVLK dalam rangka memperkuat legalitas kayu Indonesia yang akan memasuki pasar internasional, khususnya pasar Uni Eropa. Permasalahannya adalah ketika SVLK ditetapkan menjadi sertifikasi wajib (mandatory certification) oleh Kementerian Kehutanan, maka unit usaha pemanfaatan hutan atau industri pengolahan kayu yang lingkup usahanya hanya di pasar domestik atau tidak berorientasi ekspor ke negara-negara yang mewajibkan SVLK, juga terkena kewajiban untuk mengikuti sertifikasi SVLK. Tentu hal ini akan membawa konsekuensi terjadinya ekonomi biaya tinggi (high cost

economy) yang akan berakibat pada penurunan efisiensi dan daya saing produk dan

memaksa konsumen domestik untuk juga membayar lebih. Efektifitas SVLK sebagai sebuah skema sertifikasi wajib diduga sangat rendah karena sesuai dengan namanya SVLK ditujukan untuk melekatkan “simbol legalitas” terhadap produk kayu Indonesia. Padahal, sesungguhnya produk perkayuan Indonesia telah penuh dengan berbagai atribut “legalitas” mulai dari sertifikat manajemen hutan lestari (MHL) sampai dengan dokumen tata niaga kayu seperti SKSKB (Surat Keterangan Sahnya Kayu Bulat) yang telah secara terang benderang menjelaskan status “sahnya” produk kayu bulat yang diperjualbelikan. Oleh karena itu, permasalahan yang sesungguhnya dihadapi pemerintah oleh produk perkayuan Indonesia sejatinya bukan kurangnya “atribut legalitas” tetapi justru lemahnya “legitimasi” atas atribut legalitas dari produk kayu Indonesia. Artinya, sebenarnya masalah utamanya terletak pada rendahnya kepercayaan atau legitimasi pemerintah Indonesia yang menerbitkan surat keterangan legalitas kayu. Jika permasalahannya adalah rendahnya legitimasi, seharusnya untuk mengatasinya tidak dengan menambah panjang deretan surat “legalitas” kayu tetapi justru memperbaiki tata kelola pemerintahan sehingga ke depan dokumen-dokumen tata niaga kayu yang dikeluarkan oleh pemerintah Indonesia tidak lagi dianggap sebagai “pepesan kosong” oleh pasar internasional.

(22)

4.4.2 Pemerintah Daerah

Pemerintah daerah pada umumnya terkesan ambigu dalam menyikapi sertifikasi SVLK. Pada tahap uji coba pelaksanaan SVLK pemerintah daerah cenderung mendukung karena alasan kebanggaan daerah dan harapan terbukanya pasar yang lebih baik bagi hasil hutan kayu dan produk perkayuan di daerahnya. Pemerintah daerah juga merasa senang karena pada proyek uji coba SVLK biasanya juga disertai dengan program-program pemberdayaan petani hutan rakyat. Dalam proyek uji coba SVLK, termasuk program-program pemberdayaan petani, assessment, dan proses sertifikasi semuanya dibiayai dana bantuan dari negara donor. Kegiatan penyiapan kelembagaan, pemberdayaan petani, dan kesiapan teknis sertifikasi biasanya dilakukan melalui Lembaga Swadaya Masyarakat yang ditunjuk oleh donor. Kegiatan assessment dan sertifikasi SVLK dilakukan oleh lembaga independen yang dibiayai dan disetujui oleh negara donor. Oleh karena itu, pada umumnya dalam proyek uji coba SVLK pemerintah daerah tidak keberatan karena tidak ada konsekuensi biaya bagi pemerintah daerah. Walaupun pada awalnya mendukung, namun pada umumnya pemerintah daerah merasa keberatan ketika mengetahui konsekuensi finansial yang harus dipenuhi dalam sertifikasi SVLK setelah proyek uji coba selesai. Ada wacana pemerintah daerah akan membantu mengalokasikan bantuan dana untuk sertifikasi SVLK setelah berakhir tanpa bantuan dana dari negara donor. Namun demikian, pada kenyataannya pengalokasian dana SVLK dalam APBD tersebut tidak mudah karena selain harus memperoleh persetujuan DPRD, pemerintah daerah juga harus mengorbankan alokasi dana untuk kepentingan yang lain.

4.4.3 Petani Hutan Rakyat

Pada umumnya petani hutan rakyat tidak merasa keberatan mengikuti uji coba sertifikasi SVLK. Mereka menerima proyek uji coba SVLK karena beberapa alasan. Pertama, petani berharap dengan diperolehnya sertifikat SVLK harga jual kayu mereka akan lebih baik. Kedua, petani memperoleh pengetahuan dalam pengelolaan hutan dan berorganisasi yang lebih baik. Ketiga, dengan ikut berpartisipasi dalam proyek uji coba SVLK, petani merasa tidak ketinggalan informasi dan turut menjadi bagian dalam proses pembangunan desa. Petani merasa mendapatkan dampak positif dari keikutsertaannya proyek uji coba SVLK dengan adanya tambahan pengetahuan mengenai pengelolaan hutan dan pemasaran kayu yang benar, misalnya: pengetahuan menghitung diameter tegakan setinggi dada, informasi harga, keterampilan berorganisasi, dan kemampuan berjejaring khususnya melalui penguatan gabungan kelompok tani hutan (Gapoktan). Namun demikian, pada umumnya petani keberatan jika ada konsekuensi finansial yang

(23)

cukup besar yang harus ditanggung petani dalam sertifikasi SVLK. Selain itu, tidak semua petani sepakat dengan sistem pengelolaan hutan termasuk pengaturan volume dan waktu tebang yang harus dikoordinasikan dan ditentukan oleh kelompok yang menjadi salah satu prasyarat tata kelola dalam manajemen hutan rakyat lestari, termasuk sertifikasi SVLK. Pengaturan volume dan waktu tebang sulit dilaksanakan karena pengelolaan hutan rakyat sepenuhnya menjadi hak petani pemilik hutan rakyat. Peran hutan rakyat bagi sebagian besar petani adalah sebagai fungsi tabungan (saving

function) sehingga petani akan memanen atau menebang hutan rakyat yang dimilikinya

pada saat membutuhkan (tebang butuh). Waktu penebangan dan banyak atau sedikitnya pohon yang ditebang tergantung pada besar atau kecilnya biaya yang dibutuhkan oleh petan, bukan ditentukan oleh keputusan kelompok tani. Jika petani membutuhkan biaya yang mendesak petani akan segera menjual pohon-pohon yang dimilikinya, walaupun ukuran pohonnya masih kecil dan kurang menguntungkan jika dijual.

4.4.4 Kelompok Tani Hutan

Bagi kelompok tani hutan, adanya proyek uji coba SVLK diterima dengan senang hati karena proyek tersebut memberikan pencerahan bagi mereka untuk menghidupkan kembali semangat kebersamaan dan menguatkan organisasi petani hutan. Dengan adanya kegiatan SVLK, Kelompok Tani Hutan memiliki banyak aktivitas dan dapat turut serta memberikan tambahan pengetahuan bagi petani anggotanya melalui berbagai program pelatihan dan penguatan kapasitas yang diberikan oleh lembaga swadaya masyarakat yang mendampingi mereka selama persiapan SVLK. Namun demikian, kelompok tani hutan juga mengalami kesulitan ketika dihadapkan pada permasalahan pengaturan waktu dan volume tebang bagi para anggotanya. Ketika ada anggota yang ingin menjual kayu yang sebenarnya masih belum layak tebang karena sedang membutuhkan biaya yang mendesak, kelompok tani hutan tidak dapat berbuat apa-apa. Beberapa kelompok tani hutan berinisiatif membentuk Koperasi dan berupaya memberikan “dana talangan” dengan cara membeli pohon-pohon petani yang membutuhkan biaya mendesak dan menjualnya ketika pohon-pohon tesebut telah layak tebang dengan memberikan bagi hasil keuntungan bagi petani pemilik. Skema ini cukup menarik dan tidak memberatkan petani. Namun demikian, tidak mudah untuk merealisasikan gagasan tersebut karena beberapa hal. Pertama, koperasi kesulitan memperoleh dana talangan yang jumlahnya cukup besar. Kedua, perlu ada perhitungan yang cermat tingkat kenaikan harga dan volume kayu yang baru akan dijual beberapa tahun kemudian dibandingkan dengan laju inflasi. Ketiga, seberapa jauh kekuatan yang

(24)

dimiliki oleh koperasi untuk memperoleh konsumen yang mampu dan mau membeli kayu dengan harga yang lebih baik.

4.4.5 Pedagang Kayu

Pada umumnya pedagang kayu yang beroperasi di Kabupaten Blora, Wonosobo, dan Wonogiri adalah pedagang kayu lokal yang menjual kayu dagangannya di pasar domestik. Para pedagang kayu tidak mempermasalahkan ada atau tidaknya sertifikat SVLK karena dalam pasar kayu lokal yang lebih menentukan tinggi-rendahnya harga kayu adalah volume dan kualitas kayu, bukan sertifikat. Oleh karena itu, para pedagang kayu lokal menerima kayu bersertifikat SVLK tetapi mereka tidak mau membayar lebih terhadap kayu bersertifikat SVLK dengan volume dan kualitas yang sama. Dalam konteks ini jelas bahwa sertifikat SVLK hampir atau bahkan sama sekali tidak mempengaruhi peningkatan harga jual kayu di pasar lokal.

4.4.6 Industri Pengolahan Kayu

Sebagian besar industri pengolahan kayu, khususnya industri pengolahan kayu yang berorientasi pada pasar lokal tidak peduli dengan ada atau tidaknya sertifikat SVLK. Menurut informasi responden di lokasi penelitian, sampai dengan saat ini baru ada satu industri pengolahan kayu di Wonosobo yang menginginkan kayu-kayu bersertifikat SVLK dan berupaya menjalin kerjasama dengan koperasi petani hutan yang bersertifikat SVLK. Industri pengolahan kayu tersebut berorientasi ekspor dan mau membeli kayu bersertifikat SVLK dengan harga yang sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan kayu non-sertifikat. Namun demikian, tidak semua petani hutan rakyat di Wonosobo sepakat dengan kerjasama tersebut karena beberapa alasan. Pertama, biaya untuk persiapan, assessment, dan surveilance sertifikasi SVLK yang harus dikeluarkan oleh petani mungkin lebih besar dibandingkan dengan kenaikan harga yang diterima petani. Kedua, dengan adanya kewajiban sertifikasi SVLK dan hanya ada beberapa industri pengolahan kayu yang mau membeli dengan harga lebih tinggi berarti mempersempit pasar kayu rakyat. Struktur pasar kayu rakyat bersertifikasi SVLK cenderung akan mengarah pada oligopsoni, bahkan monopsoni. Dalam struktur pasar oligopsoni atau monopsoni, posisi tawar petani hutan rakyat sebagai penjual sangat lemah.

4.4.7 Lembaga Swadaya Masyarakat

Lembaga swadaya masyarakat (LSM) pendamping berada dalam posisi yang cukup sulit dalam menyikapi rencana sertifikasi wajib (mandatory certification) SVLK. Di satu sisi, LSM pendamping menyetujui proyek uji coba SVLK karena mereka menerima dana dari

(25)

negara donor untuk melaksanakan pendampingan, pengembangan kapasitas, dan pelatihan-pelatihan kepada para petani dalam rangka mempersiapkan diri untuk memperoleh sertifikat SVLK. Di sisi lain, LSM pendamping juga gamang karena pasar kayu bersertifikat SVLK hingga sekarang masih lebih banyak pasar hipotetik. Demikian juga harga premium (premium price) untuk kayu bersertifikat SVLK yang kerap didengar oleh petani ternyata kenyataannya hampir tidak ada. Kalaupun ada perusahaan yang mau membeli dengan harga sedikit lebih tinggi, biasanya meminta persyaratan yang cukup sulit dipenuhi atau segmen pasarnya sangat kecil sehingga kurang ekonomis. Dalam beberapa kasus, LSM pendamping justru tidak menyampaikan kepada para anggota kelompok tani hutan yang hutan rakyatnya sebenarnya telah tersertifikasi karena khawatir dengan tidak adanya harga premium untuk kayu bersertifikat sebagaimana yang ada di dalam benak petani.

(26)

5 Evaluasi Kebijakan Sertifikasi Wajib SVLK

5.1 Menakar Manfaat dan Biaya SVLK

Apakah sistem verifikasi legalitas kayu bermanfaat? Pada umumnya petani hutan rakyat menyatakan bahwa keikutsertaan mereka dalam proyek uji coba SVLK memberikan dampak positif untuk peningkatan pengetahuan, pemahaman, pengalaman, dan kemampuan berjejaring. Apakah petani hutan rakyat bersedia melakukan sertifikasi SVLK dengan biaya sendiri? Walaupun sebagian besar petani sepakat bahwa SVLK bermanfaat, namun untuk melakukan sertifikasi SVLK dengan mengeluarkan biaya sendiri mereka menyatakan keberatan. Demikian pula dengan stakeholders yang lain (pemerintah daerah, pedagang kayu, industri pengolahan kayu, dan LSM pendamping) pada umumnya juga khawatir dengan diberlakukannya kebijakan sertifikasi wajib

(mandatory certification) SVLK.

Beberapa argumen yang melandasi keberatan dari para pihak terhadap kebijakan sertifikasi wajib SVLK antara lain sebagai berikut:

1) Biaya penyiapan, pemeliharaan, assessment, dan surveilance dalam skema sertifikasi SVLK cukup besar sehingga memberatkan petani. Penerapan sertifikasi SVLK tidak hanya berkaitan dengan seberapa besar potensi keuntungan yang diterima petani, tetapi pada saat yang bersamaan juga berkaitan dengan biaya yang harus dikeluarkan untuk rangkaian proses sertifikasi. Pada saat ini hampir semua kelompok tani yang telah memperoleh sertifikat SVLK atau sedang dalam proses sertifikasi SVLK pembiayaannya didukung oleh pihak ketiga (lembaga internasional yang berkepentingan) yang pelaksanaannya pada umumnya dilakukan oleh lembaga swadaya masyarakat nasional atau lokal. Pada konteks persiapan sertifikasi “bersubsidi” seperti ini, biasanya para petani dan kelompok tani hutan rakyat tidak keberatan mengikuti skema sertifikasi yang ditawarkan karena mereka tidak perlu mengeluarkan biaya untuk proses sertifikasi SVLK.

2) Permasalahan biaya sertifikasi untuk skema sertifikasi “non-subsidi” perlu dicarikan solusi karena petani harus mengeluarkan biaya sertifikasi yang cukup besar. Tanpa adanya subsidi biaya dan bantuan pembinaan, pada umumnya petani merasa keberatan mengikuti skema sertifikasi. Bantuan pembiayaan dari lembaga

(27)

internasional sifatnya hanya sementara dan bersifat “pilot project” sehingga untuk penerapan skema SVLK dalam skala luas perlu dicari opsi-opsi untuk solusi pembiayaannya. Salah satu opsi pembiayaan sertifikasi SVLK adalah membebankan pada APBD. Hal ini tidak mudah dilakukan karena pembiayaan sertifikasi SVLK dalam APBD memerlukan persetujuan DPRD dan pada saat yang sama, pemerintah daerah harus menggeser kebutuhan sektor lain untuk pembiayaan sertifikasi SVLK. 3) Pada umumnya harga premium yang ditawarkan untuk kayu bersertifikat SVLK

kurang menarik, sementara persyaratan yang diminta cukup rumit. Kenaikan harga premium sampai dengan tingkat harga yang rasional sejatinya adalah salah satu solusi yang harus terus diupayakan. SVLK sebagaimana sistem sertifikasi lainnya dapat berjalan dengan baik tanpa dibebani subsidi jika keuntungan yang diperoleh dari kenaikan harga premium lebih tinggi dari seluruh biaya yang dikeluarkan untuk sertifikasi. Dengan adanya harga premium yang profitable, setiap pelaku usaha perdagangan kayu rakyat akan terdorong untuk melakukan sertifikasi SVLK melalui mekanisme bisnis yang lebih “alamiah dan adil” sehingga tidak perlu terjerat skema subsidi. Hal semacam ini sering disuarakan oleh kelompok tani hutan rakyat di Kabupaten Wonosobo, Kabupaten Blora, dan Kabupeten Wonogiri terkait harga kayu sertifikasi yang dianggap masih terlalu rendah, tidak hanya kayu bersertifikat SVLK, namun juga kayu bersertifikat FSC maupun LEI.

4) Tidak banyak industri pengolahan kayu yang bersedia membeli kayu bersertifikat SVLK dengan harga premium. Namun, jika nantinya ada industri yang bersedia membeli kayu bersertifikat dengan harga premium bukan berarti masalah teratasi. Potensi masalah baru akan muncul karena kesediaan industri tertentu membeli dengan harga premium kayu bersertifikat SVLK cenderung mengarahkan struktur pasar kayu menjadi oligopsoni atau bahkan monopsoni. Pada kondisi yang demikian, posisi tawar petani hutan rakyat terhadap industri pengolahan kayu selaku pembeli kayu bersertifikat SVLK cenderung semakin melemah. Jika tidak dapat diantisipasi dengan baik, pergerakan menuju struktur pasar monopsoni akan terjadi di beberapa daerah, misalnya di Kabupaten Wonosobo, dimana beberapa kelompok tani hutan bersertifikasi menjalin kerjasama penjualan kayu dengan industri kayu tertentu. Dengan adanya perjanjian kerjasama ini, para petani hutan rakyat memiliki kepastian tempat penjualan kayu sehingga petani dapat lebih mudah memprediksi hasil yang akan diperoleh dari kayu yang dipanen. Namun demikian, terpangkasnya rantai pemasaran kayu ini juga berdampak terhadap hilangnya beberapa usaha pedesaan yang terkait dengan rantai pemasaran kayu seperti pedagang pengumpul,

(28)

penyewaan transportasi kayu, dan pekerjaan lainnya yang terkait dengan aktivitas ekonomi di sepanjang saluran pemasaran (misalnya: pedagang makanan, pekerja UKM penggergajian, dsb.). Selain itu, sistem pembayaran “konsinyasi” yang biasa diterapkan dalam perdagangan skala besar juga menyimpan masalah karena pada umumnya petani hutan rakyat menginginkan pembayaran kontan pada saat pohon ditebang. Oleh karena itu, penjualan dengan skema kerjasama penjualan “koperasi – industri besar” dapat berjalan jika koperasi atau kelompok tani hutan rakyat memiliki sistem “dana talangan” (misalnya melalui kredit tunda tebang) yang dapat memberikan talangan dana pembelian kontan bagi petani yang menjual kayu untuk memenuhi kebutuhan mendesak (tebang butuh). Hal ini telah diupayakan dilakukan oleh koperasi petani hutan di Kabupaten Wonosobo, Blora, dan Wonogiri, namun masih menghadapi kendala karena keterbatasan modal yang dimiliki oleh koperasi. 5) Kayu hanya menyumbang 17-30 persen total pendapatan dalam sistem nafkah

rumahtangga petani hutan rakyat. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa sesungguhnya kayu bukanlah sumber nafkah utama rumahtangga petani hutan rakyat sehingga upaya-upaya yang dikeluarkan (waktu, tenaga, dan dana) untuk sertifikasi SVLK semestinya tidak lebih besar daripada perhatian petani untuk pendapatan utama. Para petani di Wonogiri, misalnya, cenderung membiarkan pohon yang ditanam tanpa pemeliharaan yang memadai karena waktunya tercurah untuk mengejar pendapatan dari sumber lain. Sebagian besar petani mengandalkan pendapatan utama dari pekerjaannya di luar hutan rakyat atau kiriman anggota keluarga yang merantau ke kota. Sementara di Kabupaten Wonosobo dan Kabupaten Blora, waktu para petani hutan rakyat juga harus dibagi untuk pekerjaan pertanian yang lain seperti bekerja di sawah, kebun, atau menjadi tukang.

6) Sertifikasi SVLK untuk hutan rakyat tidak diberikan kepada petani secara perseorangan, melainkan kepada kelompok. Oleh karena itu sistem ini mempersyaratkan pengelolaan hutan secara bersama-sama melalui kelompok tani hutan atau koperasi petani hutan rakyat. Tidak semua petani hutan rakyat sepakat dengan sistem pengelolaan kolektif, terutama yang berkaitan dengan waktu tebang dan volume kayu yang boleh ditebang karena mereka memanen pohon pada saat membutuhkan biaya untuk keperluan tertentu (tebang butuh). Untuk mengatasi terjadinya penebangan pohon sebelum waktunya (pohon belum layak tebang) karena desakan kebutuhan petani, beberapa koperasi petani hutan rakyat berinisiatif untuk memberikan “dana talangan” terhadap kebutuhan mendesak petani anggotanya dan mempertahankan pohon untuk dijual beberapa tahun kemudian

(29)

setelah dinilai lebih layak secara ekonomi. Namun demikian, hal ini tidak mudah dilakukan karena keterbatasan modal koperasi dalam penyediaan dana talangan, serta resiko dan ketidakpastian yang harus dihadapi koperasi terhadap pohon-pohon yang telah “dibeli” terutama dalam hal kepastian harga ke depan dibandingkan dengan laju inflasi.

Selain eanam argumen diatas, perlu pula diperhatikan bahwa pemberlakuan SVLK dengan skema sertifikasi wajib terhadap hutan rakyat diduga tidak akan efektif dan melenceng dari sasaran SVLK itu sendiri. Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa SVLK sejatinya ditujukan untuk mengeliminir beredarnya kayu-kayu ilegal. Pada umumnya pencurian kayu terjadi di kawasan hutan negara, sementara pencurian kayu di lahan milik atau hutan rakyat sangat kecil jumlahnya, bahkan mungkin tidak tercatat. Dengan demikian, sertifikasi SVLK untuk kayu-kayu yang berasal dari hutan rakyat diragukan efektifitasnya karena tidak sesuai dengan sasaran diberlakukannya sertifikasi SVLK. Pemberlakuan sertifikasi wajib SVLK juga melenceng secara konseptual karena kayu bukan sumber nafkah utama bagi petani. Oleh karena itu, maka akan menyesatkan apabila pengembangan hutan rakyat menggunakan asumsi formal-business-ethics, dimana petani diandaikan layaknya businessman yang akan selalu responsif terhadap insentif ekonomi. Oleh karena sertifikasi SVLK menggunakan basis etika bisnis formal, dimana sertifikasi dianggap sebagai dasar untuk merangsang kinerja bisnis kayu, maka pendekatan ini kurang cocok diterapkan untuk desa-desa di ketiga kabupaten lokasi kajian (Blora, Wonosobo, dan Wonogiri). Terlebih lagi, secara tradisi, kayu hanyalah dipandang sebagai "saving account" yang akan ditebang manakala ada kebutuhan ekonomi mendesak ("tebang butuh"). Dengan demikian, kebijakan sertifikasi wajib SVLK untuk hutan rakyat tidak sesuai diterapkan karena konsep SVLK memandang logika bisnis hutan rakyat sebangun dengan bisnis pada umumnya (business as usual).

Formalisasi bisnis kayu rakyat, termasuk skema sertifikasi wajib SVLK, menghadap-hadapkan para petani hutan rakyat dengan persoalan baru berupa pengadaan dana sertifikasi (self financing). Di tiga lokasi yang diteliti (Blora, Wonosobo, dan Wonogiri), ternyata para petani tidak siap untuk self-financing untuk proses dan maintenance sertifikasi SVLK (sertifikasi dan surveillance) tanpa bantuan dana dari pihak ketiga (lembaga donor). Alasan keterbatasan ekonomi dan kemiskinan, menghadang proses sertifikasi selanjutnya. Artinya, dari perspektif livelihood, sebenarnya skema sertifikasi tidak kompatibel dengan derajat atau status sosial-ekonomi petani hutan rakyat. Dengan kata lain, memaksakan sertifikasi bagi petani hutan rakyat, akan membuat ekonomi rumahtangga mereka harus berkompromi lebih dalam. Artinya, livelihood mereka menjadi

(30)

"tidak aman" bila harus mengeluarkan biaya sertifikasi, sementara manfaat ekonomi dari sertifikat yang mereka punyai selama ini tidak memberikan tambahan pendapatan apapun ke dalam "sistem pendapatan rumahtangga" (sistem nafkah) mereka.

Permasalahan pendanaan untuk sertifikasi wajib hutan rakyat ini bukan hal yang mudah diatasi. Intervensi negara, misalnya melalui Pemerintah Daerah, untuk menolong rumahtangga petani hutan rakyat (melalui penyediaan "dana talangan" atau apapun namaya melalui APBD) utk biaya sertifikasi dan surveillance, ternyata tidak mudah. Pemerintah Daerah di tiga lokasi kajian menghadapi keterbatasan dana publik (APBD) untuk bisa membantu Gabungan Kelompok Tani Hutan (Gapoktan) dalam pembiayaan sertifikasi.

Secara ekonomi, sertifikasi SVLK untuk hutan rakyat juga menghadapi logika yang ganjil. Sertifikasi atau formalisasi pasar kayu ala SVLK diarahkan untuk "memperpendek" rantai tata-niaga kayu. Asumsinya, dengan melalui SVLK, petani hutan rakyat bersertifikasi akan dimitrakan secara langsung dengan pihak industri. Keduanya dijalin dalam mekanisme rantai-pasok kemitraan usaha antara industri pengolahan kayu dengan petani hutan rakyat. Konsekuensi dari pemendekan rantai tata-niaga ini adalah hilangnya sejumlah mata-rantai yang selama ini menghubungkan industri dan petani hutan rakyat. Idealnya, marjin tata-niaga dari sejumlah mata-rantai yang hilang itu bisa diberikan kepada dua belah pihak (industri dan petani) secara adil. Persoalannya, biasanya yang terjadi adalah akumulasi marjin tataniaga ke satu sisi saja. Diperkirakan, industri akan menikmati harga kayu yang lebih murah, karena suplai kayu setelah sertifikasi, diperoleh langsung dari petani. Sementara petani tidak mendapatkan tambahan harga. Artinya, pihak industri yang akan menikmati "efisiensi pasar" akibat formalisasi via sertifikasi. Pemendekan rantai tata-niaga kayu akan menimbulkan beberapa permasalahan sosial-ekonomi. Pertama, dengan adanya sertifikasi SVLK proses jual beli kemungkinan akan bergeser dari petani-pedagang pengumpul menjadi petani-industri. Hal ini berpotensi merugikan petani karena proses jual beli petani-pedagang pengumpul berlangsung secara tunai dan seketika, sementara proses dengan industri biasanya menggunakan cara konsinyasi sehingga memerlukan waktu yang lebih lama karena pembayaran dilakukan di belakang. Pemendekan rantai tata-niaga sebagai akibat sertifikasi, akan berimbas pada tutupnya sejumlah industri penggergajian skala kecil. Artinya, kemungkinan akan terbentuk pengangguran dan hilangnya lapangan usaha yang perlu diantisipasi oleh semua pihak agar tidak menimbulkan gejolak sosial seiring dengan berjalannya skema sertifikasi wajib SVLK.

(31)

Sertifikasi wajib SVLK juga akan berdampak terhadap timbulnya ekonomi biaya tinggi

(high cost economy). Hal ini akan berakibat pada merosotnya daya tarik usaha hutan

rakyat karena margin usaha yang cenderung semakin rendah dibandingkan dengan alternatif penggunaan lahan untuk tanaman non-kayu. Apabila kondisi ini dibiarkan, maka akan terjadi potensi hilangnya hutan rakyat akibat petani (kasus Wonosobo) yang tidak lagi memperoleh insentif yang memadai untuk tanaman sengon, karena struktur pasar (pendapatan) kayu yang tidak lebih menarik dibandingkan struktur pasar buah salak. Salak yang awalnya diperkenalkan di kabupaten Wonosobo sebagai tanaman tumpang sari di bawah tanaman pokok sengon, perlahan tetapi pasti saat ini telah menggeser posisi pohon sengon sebagai tanaman utama. Hal ini disebabkan secara teknis, salak lebih cepat mendatangkan cash-income tanpa peraturan yang berbelit dibandingkan sengon. Oleh karena itu tidak mengherankan jika di beberapa tempat di kabupaten Wonosobo, petani mulai mengkonversi lahannya dari hutan tanaman sengon menjadi kebun salak.

5.2 Opsi-Opsi Kebijakan Pengelolaan Hutan dan Peredaran Kayu “Formal”

Opsi-opsi kebijakan pengelolaan hutan rakyat dan peredaran kayu “formal” yang dikembangkan dalam kajian ini berbasis pada realitas yang dipotret di lapangan (Kabupaten Wonogiri, Kabupaten Blora, dan Kabupaten Wonosobo), keluhan dan harapan para pihak, hukum positif yang berlaku saat ini, dan kondisi ideal yang ingin dicapai secara normatif.

5.2.1 Opsi kelembagaan pengelolaan hutan rakyat

Kelembagaan pengelolaan hutan rakyat mencakup dua aspek, yaitu:

1) Kelembagaan Sistem Produksi

Kelembagaan sistem produksi mencakup aspek permodalan, penyediaan input, penanaman, pemeliharaan, dan pemanenan. Ada beberapa opsi untuk setiap aspek dalam sistem produksi yang mungkin dapat diimplementasikan (Tabel 4):

(32)

Tabel 4. Opsi-opsi dalam kelembagaan sistem produksi kayu rakyat

Aspek Opsi Kondisi Pemungkin

Permodalan

1) Mandiri Petani memiliki cukup modal

2) Industri kayu Ada kerjasama produksi & pemasaran hasil 3) Kelompok Kelompok memiliki cukup modal

Penyedian input

1) Mandiri Petani memiliki pengetahuan dan input mudah diperoleh di pasar.

2) Kelompok Petani tidak memiliki cukup pengetahuan dan input lebih mudah diperoleh secara kolektif. 3) Dishut Petani dan kelompok tani tidak memiliki akses

terhadap input.

Penanaman

1) Mandiri Petani memiliki pengetahuan dan tenaga kerja keluarga tersedia.

2) Kelompok Petani tidak memiliki cukup pengetahuan dan/atau tenaga kerja keluarga tidak tersedia.

Pemanenan

1) Individu Petani memiliki akses informasi terhadap pasar. 2) Kelompok

Petani kurang memiliki akses informasi terhadap pasar dan/atau kelompok memiliki dana talangan yang memadai

Aspek pertama dalam sistem produksi yang perlu diperhatikan adalah permodalan. Untuk membangun hutan rakyat yang baik diperlukan modal yang memadai untuk penyiapan lahan, pengadaan input dan pengerjaan tanaman. Untuk permodalan ada tiga opsi yang mungkin dilakukan, yaitu:

1) Penyediaan modal secara mandiri atau swadaya.

Opsi penyediaan modal secara swadaya sesuai pada kondisi petani yang secara ekonomi cukup kuat, atau hutan rakyat yang dibangun adalah hutan rakyat campuran, dimana penanaman pohon dapat dilakukan secara bertahap atau hutan rakyat tipe pematang yang tidak memerlukan terlalu banyak modal.

2) Modal disediakan oleh calon pembeli (industri kayu terkait).

Opsi kedua, modal pembangunan hutan rakyat disediakan oleh calon pembeli dalam hal ini industri kayu mitra atau mitra usaha petani. Opsi ini dimungkinkan apabila ada perjanjian kemitraan jangka panjang antara petani pemilik lahan dan mitra usaha. Dalam kasus di lokasi penelitian, opsi ini tidak ditemukan. Namun, peran serta aktif masyarakat dalam program Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) yang dilaksanakan bersama dengan Perum Perhutani di Kabupaten Blora sesungguhnya secara konsep cukup dekat dengan opsi kedua

Gambar

Gambar 1.  Kerangka Pemikiran Kajian
Tabel 1. Status pengelolaan hutan rakyat di Blora, Wonosobo, dan Wonogiri
Tabel 2. Model perdagangan kayu rakyat di Blora, Wonosobo, dan Wonogiri
Tabel 3. Sistem “formalisasi” pengelolaan hutan rakyat dan perdagangan kayu  rakyat
+6

Referensi

Dokumen terkait

Misi-misi ini, khususnya leraning to live together dalam bidang ilmu-ilmu sosial dan humaniora bahkan juga dalam science tidak mungkin dikembangkan secara speculative thinking

Penelitian lain telah menemukan bahwa kualitas layanan merupakan penentu yang kuat kepuasan pelanggan dan loyalitas pelanggan (Buzzel dan Gale, 1987; Zeithami et al 1996;

a. Surat Tugas dan dokumen penugasan lainnya. Laporan Rekapitulasi Pertanggungjawaban Penggunaan Jam Penugasan Kegiatan Pengawasan. Surat keterangan lembur sesuai dengan format

Sistem informasi yang dikembangkan pada penelitian ini dapat digunakan untuk penyebarluasan informasi peta Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) di Kabupaten

(terlampir). Ketiga anak belum bisa membalut lidi dengan kain saten, memaku dengan paku manik-manik dan sebagainya. Di samping itu kemampuan anak diketahui bahwa

Kerajaan diketuai oleh Perdana Menteri yang dipilih daripada parti yang mendapat majoriti dalam pilihan raya umum Perdana Menteri menjalankan kuasa eksekutif dengan dibantu

Dengan ditanda tanganinya Surat Perjanjian ini oleh PIHAK PERTAMA dan PIHAK KEDUA, maka seluruh ketentuan yang tercantum dalam pasal-pasal perjanjian ini dan seluruh ketentuan

Hasil penelitian yang telah dilakukan tentang hubungan pola asuh orangtua dengan status identitas diri remaja kepada 87 responden di SMAN 6 Pekanbaru dapat