• Tidak ada hasil yang ditemukan

FAKTOR PENGELOLAAN YANG MEMPENGARUHI PRODUKTIVITAS TAMBAK DI KABUPATEN LAMONGAN PROVINSI JAWA TIMUR

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "FAKTOR PENGELOLAAN YANG MEMPENGARUHI PRODUKTIVITAS TAMBAK DI KABUPATEN LAMONGAN PROVINSI JAWA TIMUR"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

FAKTOR PENGELOLAAN YANG MEMPENGARUHI PRODUKTIVITAS TAMBAK DI

KABUPATEN LAMONGAN PROVINSI JAWA TIMUR

Erna Ratnawati, Utojo, dan Mudian Paena Balai Penelitian dan Pengembangan Budidaya Air Payau Jl. Makmur Dg. Sitakka 129 Maros 90512, Sulawesi Selatan

E-mail: ernaratnawati_syam@yahoo.com

ABSTRAK

Kabupaten Lamongan adalah satu di antara beberapa kabupaten yang ada di Provinsi Jawa Timur di mana sebagian penduduknya bekerja sebagai pembudidaya ikan baik budidaya air payau maupun budidaya air tawar. Dari 27 kecamatan yang ada, 3 di antaranya adalah kecamatan yang melakukan budidaya di tambak dan 18 budidaya sawah tambak. Namun demikian belum ada informasi tentang pengelolaan tambak yang dilakukan oleh pembudidaya di kabupaten tersebut. Oleh karena itu, dilakukan penelitian yang bertujuan untuk mengetahui faktor pengelolaan tambak yang mempengaruhi produktivitas tambak Kabupaten Lamongan yang selanjutnya dijadikan dasar dalam peningkatan produktivitas tambak. Metode penelitian yang diaplikasikan adalah metode survai untuk mendapatkan data primer dari produksi dan pengelolaan tambak yang dilakukan melalui pengajuan kuisioner kepada responden secara terstruktur. Sebagai peubah tidak bebas adalah produksi total tambak dan peubah bebas adalah faktor pengelolaan tambak yang terdiri dari 18 peubah. Analisis regresi berganda dengan peubah boneka digunakan untuk memprediksi produktivitas tambak. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata produktivitas tambak di Kabupaten Lamongan Provinsi JawaTimur sebesar 1.793,205 kg/ha/musim yang merupakan produksi total dari udang windu yang dipolikulturkan dengan ikan bandeng. Ada 10 peubah pengelolaan tambak yaitu: padat penebaran udang, ukuran udang, terjadinya serangan penyakit, pengeringan, kapur kaptan awal, dosis pupuk urea awal, pupuk SP 36 susulan, pakan pelet, dosis kapur dolomit awal, dan ukuran ikan bandeng yang mempengaruhi produktivitas. Hal ini menunjukkan bahwa produksi total tambak masih dapat ditingkatkan melalui pengelolaan tambak dengan mengurangi lama pengeringan dasar tambak, dosis kapur dolomit awal, dosis pupuk TSP/SP 36 susulan, pakan pelet, dan meningkatkan dosis pupuk urea awal, ukuran nener yang ditebar.

KATA KUNCI: pengelolaan, produktivitas, tambak, Kabupaten Lamongan PENDAHULUAN

Kabupaten Lamongan adalah satu di antara beberapa kabupaten yang ada di Provinsi Jawa Timur di mana sebagian penduduknya bekerja sebagai pembudidaya ikan baik budidaya air payau maupun air tawar. Perikanan budidaya yang selama ini diusahakan di Kabupaten Lamongan adalah: budidaya kolam, budidaya sawah tambak, waduk, dan budidaya tambak. Budidaya air payau terdapat pada tiga kecamatan yaitu: Kecamatan Gelagah, Paciran, dan Brondong sedangkan budidaya air tawar yaitu sawah tambak terdapat pada 18 kecamatan. Sampai pada tahun 2010 pembudidaya tambak di Kabupaten Lamongan berjumlah 2.282 RTP yang memiliki luas sebesar 1.745,40 ha dengan jumlah produksi sebesar 3.606,02 ton dengan nilai produksi sebesar Rp 80.210.620.000,- (Anonim, 2010) atau produktivitas tambak 2.066 kg/ha/tahun. Produktivitas tambak ini masih dapat ditingkatkan melalui pengelolaan tambak yang tepat.

Pengelolaan tambak yang dilakukan oleh pembudidaya tambak sangat bervariasi. Di Kabupaten Pangkep, Sulawesi Selatan telah dilaporkan oleh Nessa (1985) dan Mustafa et al. (2010), Kabupaten Maros, Takalar, dan Bulukumba Hanafi (1990), Kabupaten Pinrang (Mustafa & Ratnawati, 2007), di Kabupaten Bulukumba dan di Kabupaten Lampung Selatan oleh Ratnawati et al. (2009), dan di Kabupaten Berau (Provinsi Kalimantan Timur) oleh Ratnawati et al. (2010). Khusus tambak di Provinsi Jawa Timur termasuk di Kabupaten Lamongan belum pernah dilaporkan hasil penelitian mengenai pengelolaan yang dilakukan oleh pembudidaya tambak. Dengan mengetahui faktor pengelolaan yang berpengaruh terhadap produktivitas tambak diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan

(2)

dalam upaya peningkatan produktivitas tambak. Pengelolaan tambak merupakan faktor penting setelah penentuan kesesuaian lahan budidaya tambak dalam rangka pengembangan ilmu pengetahuan dan budidaya tambak berkelanjutan (Karthik et al., 2005). Identifikasi dari peubah faktor pengelolaan tambak yang tidak mempengaruhi produktivitas tambak perlu diketahui supaya dapat diikuti oleh pembudidaya untuk mengefektifkan biaya produksi tanpa mempengaruhi produktivitas tambak. Oleh karena itu, dilakukan penelitian yang bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor dominan pengelolaan tambak yang berpengaruh terhadap produktivitas tambak Kabupaten Lamongan untuk dijadikan dasar dalam upaya peningkatan produktivitas tambak.

BAHAN DAN METODE

Penelitian dilaksanakan di kawasan pertambakan Kabupaten Lamongan Provinsi Jawa Timur (Gambar 1) yaitu di Kecamatan Paciran, Brondong, Deket, Lamongan, Glagah, Karangbinangun, Kalitengah, Karanggeneng, Turi, Sukodadi, dan Babat. Untuk mendapatkan informasi awal mengenai kegiatan budidaya tambak di Kabupaten Lamongan, maka dilakukan pertemuan dengan staf Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Lamongan. Pembudidaya tambak dari tambak terpilih menjadi responden dalam penelitian ini. Titik-titik pengamatan ditentukan posisinya dengan Global Positioning

System (GPS). Peta yang menunjukkan titik-titik pengamatan dibuat dengan bantuan teknologi

Penginderaan Jauh (Inderaja) dan Sistem Informasi Geografis (SIG).

Metode penelitian yang diaplikasikan adalah metode survai, termasuk untuk mendapatkan data primer dari produksi dan pengelolaan tambak yang dilakukan melalui pengajuan kuisioner kepada responden secara terstruktur (Wirartha, 2006). Sebagai peubah tergantung atau peubah tidak bebas atau peubah respons dalam penelitian ini adalah produksi total tambak. Produksi total tambak merupakan total produksi udang windu dan ikan bandeng (Hanafi, 1990), sebab tambak yang terpilih sebagian melakukan budidaya secara polikultur antara udang vaname dan ikan bandeng. Peubah bebas atau peubah prediktor adalah pengelolaan tambak yang terdiri atas 18 peubah. Sebagai peubah boneka dalam penelitian ini adalah: perlakuan remediasi terhadap tanah dasar tambak, kapur tembok awal, TSP/SP 36 awal, padat penebaran ikan bandeng, volume pergantian air, pergantian air, dan urea susulan.

Gambar 1. Lokasi penelitian di Kabupaten Lamongan Provinsi Jawa Timur

(3)

Statistik deskriptif digunakan untuk mengetahui gambaran umum (minimum, maksimum, rata-rata, standar deviasi) dari data yang ada. Matriks korelasi digunakan untuk mengetahui adanya gejala multikolinearitas. Grafik plot PP (Probabilitas harapan dan Probabilitas pengamatan) digunakan untuk menguji kenormalan distribusi data. Scatterplot regresi digunakan untuk mengetahui adanya gejala heteroskedastisitas. Uji DW (Durbin-Watson) digunakan untuk mendeteksi adanya gejala autokorelairasi. Dalam memilih persamaan regresi ganda ‘terbaik’ maka digunakan metode langkah mundur (backward) (Draper & Smith, 1981).

Uji R2 yang disesuaikan (adjusted R2) digunakan untuk mengetahui besarnya peubah bebas

menjelaskan peubah tidak bebas. Uji F atau analisis ragam digunakan untuk menguji signifikansi model regresi. Model persamaan regresi berganda yang diuji adalah (Sokal & Rohlf, 1981; Tabachnick & Fidell, 1996):

Y = a + b1X1 + b2X2 + … + bnXn (Persamaan 1)

di mana:

Y = produksi total tambak a = koefisien konstanta b1,b2…bn = koefisien regresi

X1,X2,…Xn = peubah bebas yaitu pengelolaan tambak

Seluruh data dianalisis dengan bantuan Program Statistical Product and Service Solution (SPSS) versi 15,0 (SPSS, 2006; Coakes et al., 2008).

HASIL DAN BAHASAN

Secara umum, tambak di Kabupaten Lamongan memiliki, luas dari 0,20 sampai 3,50 dengan rata-rata 1,10 ha/petak. Sebagai perbandingan dengan tambak di Sulawesi Selatan seperti di Kabupaten Pangkep dengan rata-rata luas petakan 2,44 ha (Mustafa et al., 2010), Kabupaten Maros 2,53 ha (Ratnawati et al., 2010b); Kabupaten Pinrang 1,80 ha (Mustafa & Ratnawati, 2007); Luwu Utara 1,94 ha (Mustafa et al., 2009); dan Kabupaten Bone 3,67 ha (Ratnawati et al., 2010a) yang menunjukkan luas petakan tambak di Kabupaten Lamongan lebih kecil daripada tambak di Sulawesi Selatan.

Produktivitas total tambak berkisar antara 250,00 dan 7.000,00 kg/ha/musim dengan produktivitas rata-rata 1.793,20 kg/ha/musim (Tabel 1). Produktivitas tambak ini lebih tinggi daripada produktivitas tambak di Sulawesi Selatan. Produktivitas tambak di Kabupaten Pangkep, Maros, Pinrang, dan Bone berturut-turut: 622, 632, 499, dan 292 kg/ha/musim (Mustafa & Ratnawati, 2007; Mustafa et al., 2010; Ratnawati et al., 2010a,b). Salah satu penyebab rendahnya produktivitas tambak diduga sebagai akibat luas petakan tambak yang lebih sempit dan teknologi budidaya yang diterapkan relatif tinggi. Udang dan ikan bandeng adalah komoditas yang dapat dipolikulturkan di tambak (Ranoemihardjo et

al., 1979; Eldani & Primavera, 1981). Kedua komoditas tersebut secara umum menuntut kondisi

lingkungan yang relatif sama, tetapi menempati relung ekologi yang berbeda dalam tambak. Perbedaan habitat makanan dari kedua komoditas tersebut yang menyebabkan tidak terjadi kompetisi di antaranya (Eldani & Primavera, 1981). Konsep dasar dari polikultur adalah jika dua atau lebih spesies ikan yang cocok dipelihara secara bersama-sama akan meningkatkan produksi (Reich, 1975 dalam Eldani & Primavera, 1981; Shang, 1986).

Pengelolaan tambak yang dilakukan oleh pembudidaya tambak Kabupaten Lamongan relatif beragam. Ada 18 peubah pengelolaan tambak yang dilakukan pembudidaya tambak telah diidentifikasi. Setelah dilakukan analisis matriks korelasi, ternyata banyak peubah pengelolaan budidaya tambak yang memiliki gejala multikolinearitas, sehingga hanya ada 10 peubah pengelolaan tambak yang dipilih untuk analisis lebih lanjut. Peubah pengelolaan budidaya tambak yang dipilih adalah peubah yang lebih mudah diukur. Hasil analisis juga menunjukkan bahwa data berdistribusi normal (Gambar 2) di mana titik-titik mengikuti garis linier dan tidak ada gejala heteroskedastisitas (Gambar 3) di mana titik-titik tersebar tidak beraturan di sekitar 0 dari sumbu y.

Pada Tabel 2 terlihat bahwa R2 yang disesuaikan (adjusted R2) tertinggi (0,839) dan standar galat

estimasi (standard error of estimate) terendah (650,31213) didapatkan pada Model 9. Dalam hal ini Model 9 lebih baik dalam menjelaskan peubah bebas memprediksi peubah tidak bebas. Selain itu,

(4)

karena standar galat estimasi lebih kecil dari standar deviasi produksi total tambak yang besarnya 1.619,3705 kg/ha/musim (Tabel 1), maka model regresi lebih baik dalam bertindak sebagai prediktor produksi total tambak daripada rata-rata produksi tambak itu sendiri. Selanjutnya dari hasil analisis

Tabel 1. Statistik deskriptif semua peubah yang diamati dalam penentuan peubah pengelolaan tambak yang berpengaruh terhadap produktivitas tambak di Kabupaten Lamongan Provinsi Jawa Timur (n = 26)

a) 0 = Tidak; 1 = Ya b) 0 = Tidak; 1 = Ya

Peubah Minimum Maksimum Kisaran Rataan Simpangan baku

Produksi total (kg/ha/panen) 250.000 7.000.000 6.750.000 1.793.205 16.193.705

Luas (ha) 0,200 3.500 3.300 1.104 0,8829

Remediasia) 0,0 1,0 1,0 0,9 0,27

Pengeringan (hari) 7,0 60,0 53,0 21,8 18,12

Kapur kaptan awal (kg/ha) 0,000 500.000 500.000 114.872 162,0538 Kapur dolomit awal (kg/ha) 0,000 133.333.330 133.333.330 5.245.513 26.125,7948 Kapur tembok awal (kg/ha) 0,000 750.000 750.000 93.269 177,1380 TSP/SP 36 awal (kg/ha) 0,000 500.000 500.000 132.590 120,7024

Urea awal (kg/ha) 0,000 250.000 250.000 45.897 88,0773

Padat penebaran udang (ekor/ha) 0,0 1.000.000 1.000.000 199.871,8 237.473,70 Padat penebaran ikan bandeng (ekor/ha) 0,0 20.000 20.000 5.025,7 5.168,22

Ukuran udang (PL) 0,0 30,0 30,0 11,6 5,13

Ukuran ikan bandeng (hr) 0,0 90,0 90,0 34,8 25,74

Volume pergantian air (%) 20,0 30,0 10,0 20,6 2,16

Pergantian air (kali/bulan) 1,0 15,0 14,0 4,1 3,24

Urea susulan (kg/ha) 0,000 600.000 600.000 199.359 177,4186

TSP/SP 36 susulan (kg/ha) 0,000 400.000 400.000 85.577 117,9350 Pakan pelet (kg/ha) 0,000 8.000.000 8.000.000 695.193 1.543,0372

Terjadi serangan penyakitb) 0,0 1,0 1,0 0,7 0,49

Gambar 2. Grafik PP (probabilitas harapan dan probabilitas pengamatan) normal dari standar regresi sisa untuk menguji kenormalan distribusi data

(5)

ragam (Tabel 3) menunjukkan Model 9 dapat digunakan untuk memprediksi produksi tambak di Kabupaten Lamongan (P = 0,000).

Telah disebutkan sebelumnya bahwa R2 yang disesuaikan tertinggi adalah 0,839. Hal ini berarti

bahwa 83,9% produksi total tambak dapat dijelaskan oleh peubah pengelolaan tambak yang meliputi: lama pengeringan, dosis kapur kaptan awal, dosis kapur dolomit awal, dosis pupuk urea awal, padat penebaran udang, ukuran udang, ukuran ikan bandeng, dosis pupuk TSP/SP 36 susulan, pakan pelet, dan terjadinya serangan penyakit, sedangkan sisanya (16,1%) dijelaskan oleh faktor lain yang tidak diamati dalam penelitian ini.

Gambar 3. Grafik pencar regresi untuk mengetahui adanya gejala heteroskedastisitas

Tabel 2. Ringkasan model dalam penentuan faktor pengelolaan yang mempengaruhi produktivitas tambak di Kabupaten Lamongan Provinsi Jawa Timur

i. Predictors: (Constant), terjadi serangan penyakit, ukuran ikan bandeng (hari), kapur kaptan awal (kg/ha), kapur dolomit awal (kg/ha), TSP/SP 36 susulan (kg/ha), ukuran udang (PL), padat penebaran udang (ekor/ha), pengeringan (hari), urea awal (kg/ha), pakan pelet (kg/ha)

Model

R

R

2

R

2

yang

disesuaikan

standar galat

estimasi

Durbin-Watson

1

0,957

a

0,916

0,701

885,39720

2

0,957

b

0,916

0,737

829,71011

3

0,957

c

0,915

0,764

786,05773

4

0,956

d

0,914

0,785

751,12948

5

0,956

e

0,913

0,802

719,67698

6

0,954

f

0,910

0,813

699,93450

7

0,953

g

0,909

0,825

677,11527

8

0,952

h

0,906

0,832

663,73479

9

0,950

i

0,903

0,839

650,31213

10

0,946

j

0,895

0,836

656,73149

2,904

(6)

Hasil analisis lebih lanjut didapatkan nilai koefisien konstanta dan koefisien regresi dari persamaan regresi (Tabel 2) yang terpilih dan selanjutnya digunakan untuk memprediksi produksi total tambak di Kabupaten Lamongan. Peubah pengelolaan tambak yang berperan dalam menentukan produktivitas tambak digambarkan dalam persamaan regresi sebagai berikut:

Y = 1.936,461 + 0,007X1 – 101,749X2 - 1.349,411X3 – 33,211X4 – 2,493X5 + 4,275 X6 – 3,047X7 – 1,032X8 + 0,054X9 + 7,631X10 (Persamaan 2)

di mana:

Y = produksi total tambak (kg/ha/musim) X1 = padat penebaran udang (ekor/ha) (P = 0,000) X2 = ukuran udang (PL) (P = 0,005)

X3 = terjadi serangan penyakit (P = 0,007) X4 = pengeringan (hari) (P = 0,013)

X5 = dosis kapur kaptan awal (kg/ha) (P = 0,042) X6 = dosis urea awal (kg/ha) (P = 0,045) X7 = dosis TSP/SP 36 susulan (kg/ha) (P = 0,047) X8 = pakan pelet (kg/ha) (P = 0,071)

X9 = dosis kapur Dolomit awal (kg/ha) (P = 0,084) X10= ukuran ikan bandeng (hari) (P = 0,269)

Dari 18 peubah faktor pengelolaan tambak yang dikaji dalam penelitian ini ternyata hanya 10 peubah yaitu: padat penebaran udang, ukuran udang, terjadinya serangan penyakit, lama pengeringan, dosis kaptan awal, dosis urea awal, dosis TSP/SP 36 susulan, pakan pelet, dosis kapur dolomit awal, dan ukuran ikan bandeng (Persamaan 2) yang merupakan peubah pengelolaan budidaya yang berpengaruh secara nyata dalam menentukan produktivitas total tambak di Kabupaten Lamongan. Delapan peubah pengelolaan tambak lainnya yaitu: remediasi, dosis kapur tembok awal, TSP/SP 36 awal, padat penebaran ikan bandeng, volume pergantian air, dan urea susulan.

Dari Persamaan 2 terlihat bahwa koefisien konstanta sebesar 1.934,461 yang berarti produktivitas total tambak dapat diprediksi mencapai 1.934,461 kg/ha/musim kalau tidak ada kontribusi dari peubah pengelolaan tambak. Hal ini menunjukkan bahwa peubah pengelolaan tambak yang meliputi: padat penebaran udang, ukuran udang, terjadinya serangan penyakit, lama pengeringan, dosis kaptan awal, dosis urea awal,dosis TSP/SP 36 susulan, pakan pelet, dosis kapur dolomit awal, dan ukuran ikan bandeng berpengaruh besar terhadap produktivitas total tambak Kabupaten Lamongan.

Pengeringan tambak yang dilakukan pembudidaya sangat bervariasi, dari 7 hari sampai 60 hari dengan rata-rata 21,8 hari. Dari Persamaan 2 dan Tabel 4 terlihat bahwa koefisien regresi dari lama pengeringan dasar tambak adalah sebesar -3,211 yang menunjukkan bahwa setiap penambahan 1 hari lama pengeringan dasar tambak akan menurunkan produktivitas total tambak sebesar 33,211 kg/ha/musim. Dalam hal ini, pengeringan tanah dasar tambak yang baik dapat menyebabkan terjadinya proses oksidasi tanah, mempercepat proses dekomposisi bahan organik dan mengurangi senyawa toksik seperti H2S dan CH4, sehingga kondisi tanah dasar tambak menjadi lebih baik. Pengeringan tanah dasar tambak dapat meningkatkan proses oksidasi tanah sehingga dapat mempercepat proses penguraian bahan organik yang berdampak pada kondisi tanah yang lebih baik. Namun demikian,

Tabel 3. Analisis ragam dalam penentuan faktor pengelolaan yang mempengaruhi produktivitas tambak di Kabupaten Lamongan Provinsi Jawa Timur

i. Predictors: (Constant), terjadi serangan penyakit, ukuran ikan bandeng (hari), kapur kaptan awal (kg/ ha), kapur dolomit awal (kg/ha), TSP/SP 36 susulan (kg/ha), ukuran udang (PL), padat penebaran udang (ekor/ha), pengeringan (hari), urea awal (kg/ha), pakan pelet (kg/ha)

Sum of squares

df

Mean square

F

Sig.

Regression

5,922E7

10

5921543,111

14,002

0,000

i

Residual

6343588,089

15

422905,873

Total

6,556E7

25

Model

(7)

pengeringan dasar tambak yang terlalu lama dalam kondisi cuaca cerah dapat berdampak pada perubahan struktur tanah yang menjadi berdebu. Seperti dikatakan oleh (Stevenson, 1982 dalam Meagaung et al., 2000) bahwa pengeringan tanah dalam waktu lama akan mempercepat rusaknya struktur tanah, sehingga mikroorganisme tanah tidak dapat melakukan proses dekomposisi bahan organik secara optimum. Sebagai akibatnya, klekap yang tumbuh pada saat budidaya banyak yang terlepas dan membusuk yang dapat menurunkan kualitas air.

Kapur kaptan awal yang digunakan oleh pembudidaya tambak di Kabupaten Lamongan mulai yang tidak menggunakan hingga 500 kg/ha dengan rata-rata 114,872 kg/ha. Diduga dosis kaptan ini tergolong tinggi sehingga justru menurunkan produktivitas tambak. Dari Persamaan 2 terlihat bahwa koefisien regresi dari penggunaan kaptan awal adalah -2,493 yang menunjukkan bahwa setiap penambahan 1 kg kaptan akan menurunkan produktivitas sebesar 2,493 kg/ha/musim. Sama halnya dengan penggunaan kapur dolomit awal setiap penambahan 1 kg kapur dolomit awal akan meningkatkan produktivitas total tambak sebesar 0,054 kg/ha/musim atau 54 g/ha/musim maka secara ekonomis tidak menguntungkan. Dari hasil analisis tanah menunjukkan bahwa tanah tambak di Kabupaten Lamongan tergolong tanah aluvial non sulfat masam yang memiliki pH tanah yang relatif tinggi, sehingga kapur bukan menjadi bahan yang sangat penting.

Dari Persamaan 2 dan Tabel 4 terlihat bahwa banyak sarana produksi tambak yang terkait dengan tanah dan air tambak seperti pupuk dan kapur memberikan pengaruh terhadap produktivitas tambak. Hal ini sangat terkait dengan tanah tambak di Kabupaten Lamongan. Oleh karena itu, penambahan dosis pupuk urea dapat meningkatkan produktivitas tambak. Apalagi pembudidaya tambak di Kabupaten Lamongan hanya mengaplikasikan pupuk urea rata-rata 45,897 kg/ha; suatu dosis yang tergolong rendah untuk budidaya tambak dengan teknologi sederhana pada tanah bermasalah. Dari Persamaan 2 terlihat bahwa penambahan 1 kg pupuk urea akan meningkatkan produktivitas total tambak sebesar 4,275 kg/ha/musim.

Unsur P juga merupakan penyusun ikatan pirofosfat dari ATP (adenosine trifosfat) yang kaya energi dan merupakan bahan bakar untuk semua kegiatan biokimia di dalam sel hidup serta merupakan penyusun sel yang penting (Noggle & Fritz, 1986). Oleh karena itu, penambahan dosis pupuk TSP/SP 36 dapat meningkatkan produktivitas tambak. Namun aplikasi oleh pembudidaya untuk TSP/SP 36 susulan diduga dosisnya agak tinggi sehingga justru menurunkan produktivitas tambak. Dalam hal ini peningkatan 1 kg pupuk TSP/SP 36 dapat menurunkan produktivitas tambak sebesar 3,047 kg/ha

Tabel 4. Koefisien konstanta dan keofisien regresi peubah bebas dalam penentuan faktor pengelolaan yang mempengaruhi produktivitas tambak di Kabupaten Lamongan Provinsi Jawa Timur

B Std.

error

(Konstan) 1.934,461 598,081 3,234 0,006

Pengeringan (hari) -33,211 11,794 -2,816 0,013

Kapur kaptan awal (kg/ha) -2,493 1,121 -2,223 0,042

Kapur dolomit awal (kg/ha) 0,054 0,029 1,850 0,084

Urea awal (kg/ha) 4,275 1,952 2,190 0,045

Padat penebaran udang (ekor/ha) 0,007 0,001 6,924 0,000

Ukuran udang (PL) -101,749 30,806 -3,303 0,005

Ukuran ikan bandeng (hari) 7,631 6,649 1,148 0,269

TSP/SP 36 susulan (kg/ha) -3,047 1,404 -2,169 0,047

Pakan pelet (kg/ha) -1,032 0,530 -1,947 0,071

Terjadi serangan penyakit -1349,411 428,307 -3,151 0,007

9

Model Peubah t Sig.

Koefisien yang tidak terstandarisasi

(8)

(Tabel 4, Persamaan 2). Hal ini didukung dengan kondisi tanah tambak yang tergolong non sulfat masam, di mana kondisi tanahnya memungkinkan ketersediaan fosfat dapat maksimal.

Dari Persamaan 2 dan Tabel 4 terlihat juga bahwa padat penebaran udang mempengaruhi produktivitas tambak. Koefisien regresi dari padat penebaran udang adalah ± 0,007 yang menunjukkan bahwa penambahan 1 ekor udang dapat meningkatkan produktivitas total tambak sebesar 0,007 kg/ ha/musim. Dari Tabel 1 terlihat bahwa rata-rata pembudidaya tambak di Kabupaten Lamongan menebar udang antara tidak menebar <1.000.000 dengan rata-rata padat tebar 199.871,8 ekor yang dipolikultur dengan ikan bandeng dengan padat penebaran antara 0–20.000 dengan rata-rata 5.025,7 ekor/ha/musim. Diduga padat penebaran udang cukup tinggi jauh lebih tinggi dibandingkan dengan penebaran yang diaplikasikan oleh pembudidaya tambak di beberapa kabupaten di Provinsi Sulawesi Selatan. Telah dilaporkan oleh Mustafa et al. (2010) bahwa di Kabupaten Mamuju (Provinsi Sulawesi Barat), ikan bandeng sebanyak 2.889 ekor/ha/musim dipolikultur dengan udang windu dengan padat penebaran 10.073 ekor/ha/musim. Di Kabupaten Lampung Selatan Provinsi Lampung pembudidaya hanya menebar 9.910 ekor udang windu dipolikultur dengan bandeng 1.409 ekor/ha/ musim (Ratnawati et al., 2009).

Kebutuhan benur oleh pembudidaya pada musim kekurangan benur memaksa pengusaha hatcheri untuk melepaskan pasca larva yang masih kecil (pasca larva 8-12). Pengusaha hatcheri pun pada saat benur melimpah biasanya melepaskan pasca larva 12-18 yang juga dianggap masih kecil. Pasca larva 8-18 masih dianggap terlalu kecil untuk ditebar di tambak, karena sulit dalam penghitungannya secara tepat dan cepat. Sintasan yang rendah sering dialami oleh petambak ketika menggunakan benur berukuran pasca larva 8-18. Perubahan kondisi lingkungan, tampaknya menimbulkan stres yang menyebabkan kematian tinggi pada pasca larva berukuran kecil itu. Dari data yang ada menunjukkan bahwa petambak yang menebar benur berukuran pasca larva 8-18 ke petak pembesaran maka kematian dapat mencapai 70%. Oleh karena itu, peningkatan ukuran benur yang ditebar berdampak pada peningkatan nilai produksi tambak. Dengan menebar ukuran benur yang lebih besar, memungkinkan benur dapat lebih tahan terhadap perubahan lingkungan dan dapat menghindar dari pemangsaan. Selain dari benur ukuran nener juga sangat berpengaruh terhadap peningkatan produktivitas total tambak. Penebaran nener yang berukuran gelondongan akan lebih mudah dan cepat beradaptasi pada perubahan kondisi lingkungan. Pada Persamaan 2 dan Tabel 4 terlihat bahwa koefisien regresi dari ukuran tebar nener adalah +7,631 hal ini menunjukkan bahwa setiap penambahan 1 hari umur tebar nener dapat meningkatkan 7,631 kg/ha/musim produktivitas total tambak di Kabupaten Lamongan. Pembudidaya melakukan penebar nener antara umur 0-90 dengan rata-rata umur nener 34,8 hari.

Serangan penyakit di tambak Kabupaten Lamongan secara nyata dapat menurunkan produksi bahkan tanpa produksi. Tiga jenis penyakit yang menyerang udang di tambak adalah penyakit yang disebabkan oleh WSSV, insang merah, dan bintik merah. Infeksi WSSV pada udang merupakan masalah besar dalam industri udang global, terutama di Asia Tenggara (Rajendran et al., 1999) dan merupakan penyakit yang umum mempengaruhi produksi udang windu (Flegel et al., 1996).

KESIMPULAN DAN SARAN

Rata-rata produksi total tambak Kabupaten Lamongan Provinsi Jawa Timur sebesar 1.793,205 kg/ ha/musim yang merupakan produksi total dari udang windu yang dipolikulturkan dengan ikan bandeng. Ada 10 peubah pengelolaan tambak yaitu: padat penebaran udang, ukuran udang, terjadinya serangan penyakit, pengeringan, kapur kaptan awal, dosis pupuk urea awal, pupuk SP 36 susulan, pakan pelet, dosis kapur dolomit awal, dan ukuran ikan bandeng yang mempengaruhi produktivitas tambak di Kabupaten Lamongan. Hal ini menunjukkan bahwa produksi total tambak di Kabupaten Lamongan masih dapat ditingkatkan melalui pengelolaan tambak dengan mengurangi lama pengeringan dasar tambak, dosis kapur kaptan awal, dosis TSP/SP 36 susulan, meningkatkan dosis pupuk urea awal, dan umur nener yang ditebar.

DAFTAR ACUAN

(9)

Kabupaten Lamongan, 15 hlm.

Coakes, S.J., Steed, L., & Price, J. 2008. SPSS: Analysis without Anguish: Version 15.0 for Windows. John Wiley & Sons Australia, Ltd., Milton, Qld., 270 pp.

Draper, N.R. & Smith, H. 1981. Applied Regression Analysis. Second Edition. John Wiley & Sons, New York, 709 pp.

Eldani, A. & Primavera, J.H. 1981. Effect of different stocking combination of growth, production and survival rate of milkfish (Chanos chanos Forskal) and prawn (Penaeus monodon Fabricius) in polyculture in brackishwater ponds. Aquaculture, 23: 59-72.

Flegel, T.W. 1996. A turning point for sustainable aquaculture: the white spot virus crisis in Asia shrimp culture. Aquaculture Asia, 1: 29-34.

Hanafi, A. 1990. Socio-economic and managerial profiles of brackishwater aquaculture in South Sulawesi. J. Perik. Budidaya Pantai, 6(2): 97-114.

Islam, M.S., Milstein, A., Wahab, M.A., Kamal, A.H.M., & Dewan, S. 2005. Production and economic return of shrimp aquaculture in coastal ponds of different management regimes. Aquaculture

International, 13: 489-500.

Karthik, M., Suri, J., Saharan, N., & Biradar, R.S. 2005. Brackish water aquaculture site selection in Palghar Taluk, Thane district of Maharashtra, India, using the techniques of remote sensing and geographical information system. Aquacultural Engineering, 32: 285-302.

Meagaung, W.M., Nessa, M.N., Hanafi, A., & Jalaluddin, M.N. 2000. Faktor-faktor dominan yang berpengaruh terhadap akumulasi bahan organik pada tambak udang intensif. Lingkungan &

Pembangunan, 20(1): 43-51.

Milstein, A., Islam, M.S., Wahab, M.A., Kamal, A.H.M., & Dewan, S. 2005. Characterization of water quality in shrimp ponds of different size and with different management regimes using multivariate statistical analysis. Aquaculture International, 13: 501-518.

Mustafa, A. & Ratnawati, E. 2005. Faktor pengelolaan yang berpengaruh terhadap produksi rumput laut (Gracilaria verrucosa) di tambak tanah sulfat masam (Studi kasus di Kabupaten Luwu, Provinsi Sulawesi Selatan). J. Pen. Perik. Indonesia, II(7): 67-77.

Mustafa, A. & Ratnawati, E. 2007. Faktor-faktor dominan yang mempengaruhi produktivitas tambak di Kabupaten Pinrang, Sulawesi Selatan. J. Ris. Akuakultur, 2(1): 117-133.

Mustafa, A., Sapo, I., & Paena, M. 2010. Studi penggunaan produk kimia dan biologi pada budidaya udang vaname (Litopenaeus vannamei) di tambak Kabupaten Pesawaran Provinsi Lampung. J. Ris.

Akuakultur, 5(1): 115-133.

Mustafa, A., Ratnawati, E., & Sapo, I. 2010. Faktor pengelolaan yang mempengaruhi produktivitas tambak Kabupaten Mamuju Provinsi Sulawesi Barat. Laporan Penelitian. Balai Riset Perikanan Budidaya Air Payau, Maros, 16 hlm.

Mustafa, A., Sapo, I., & Ratnawati, E. 2009. Survai penggunaan produk kimia pada berbagai sistem budidaya di tambak Provinsi Sulawesi Selatan. Dalam Prosiding Seminar Nasional Perikanan 2009 Teknologi Pengelolaan Sumberdaya Perairan. Pusat Penelitian dan Pengabdian Masyarakat, Sekolah Tinggi Perikanan, Jakarta, hlm. 54-65.

Nessa, M.N. 1985. Pengaruh Faktor Pengelolaan dan Lingkungan terhadap Daya Hasil Tambak (Kasus Kabupaten Pangkep, Sulawesi Selatan). Disertasi S3. Fakultas Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Bogor, 213 hlm.

Noggle, G.R. & Fritz, G.J. 1986. Introduction to Plant Physiology. Second edition. Prentice-Hall of India, Private Ltd., New Delhi.

Primavera, J.H. 1993. A critical review of shrimp pond culture in the Philippines. Rev. Fish. Sci., 1: 151-201.

Ranoemihardjo, B.S., Kahar, A., & Lopez, J.V. 1979. Results of polyculture of milkfish and shrimp at the Karanganyar provincial demonstration ponds. Bulletin of Brackishwater Aquaculture Development

Center, 5(1&2): 334-350.

Ratnawati, E., Mustafa, A., & Rachmansyah. 2008. Faktor status pembudidaya, kondisi dan pengelolaan tambak yang berpengaruh terhadap produksi rumput laut (Gracilaria verrucosa) di tambak tanah

(10)

sulfat masam Kabupaten Luwu Utara Provinsi Sulawesi Selatan. J. Ris. Akuakultur, 3(2): 275-287. Ratnawati, E., Mustafa, A., & Utojo. 2009. Faktor pengelolaan yang mempengaruhi produksi udang

windu di tambak Kabupaten Bulukumba Provinsi Sulawesi Selatan. Prosiding Seminar Nasional

Perikanan 2009: Teknologi Penangkapan Ikan, Permesinan Perikanan, Teknologi Pengolahan Hasil Perikanan, Sosial Ekonomi Perikanan. Pusat Penelitian dan Pengabdian Masyarakat, Sekolah Tinggi

Perikanan. Jakarta, hlm. 617-626.

Ratnawati, E., Mustafa, A., & Utojo. 2009. Faktor status pembudidaya, kondisi dan pengelolaan tambak yang berpengaruh terhadap nilai produksi total tambak di Kabupaten Lampung Selatan Provinsi Lampung. Prosiding Seminar Nasional Perikanan 2009: Teknologi Penangkapan Ikan, Permesinan

Perikanan, Teknologi Pengolahan Hasil Perikanan, Sosial Ekonomi Perikanan. Pusat Penelitian dan

Pengabdian Masyarakat, Sekolah Tinggi Perikanan. Jakarta, hlm. 627-634.

Ratnawati, E., Mustafa, A., & Sapo, I. 2010. Upaya Peningkatan Produksi Berdasar pada Faktor Pengelolaan tambak yang Mempengaruhi Produktivitas tambak di Kabupaten Maros Provinsi Sulawesi Selatan. Prosiding Seminar Nasional Perikanan 2010: “Melindungi Nelayan dan Sumber daya

Ikan”. Pusat Penelitian dan Pengabdian Masyarakat, Sekolah Tinggi Perikanan. Jakarta, hlm.

122-129.

Rajendran, K.V., Vijayan, K.K., Santiago, T.C., & Krol, R.M. 1999. Experiental host range and Histopathology of white spot syndrome virus (WSSV) infection in shrimp, prawns, crabs and lobsters from India. Journal of Fish Diseases, 22: 183-191.

Shang, Y.C. 1986. Pond production systems: stocking practices in pond fish culture. In Lannan, J.E., Smitherman, R.O., & Tchobanoglous, G. (Eds.) Principles and Practices of Pond Aquaculture. Oregon State University Press, Corvallis, Oregon, p. 85-96.

Sokal, R.R. & Rohlf, F.J. 1981. Biometry: The Principles and Practice of Statistics in Biological Research. Second edition: W.H. Freeman and Co., New York, 859 pp.

Statistical Product and Service Solution (SPSS). 2006. SPSS 15.0 Brief Guide. SPSS Inc., Chicago, 217 pp.

Tabachnick, B.G. & Fidell, L.S. 1996. Using Multivariate Statistics. Third edition. Harper Collins College Publishers, New York, 880 pp.

(11)

DISKUSI

1. Nyoman R.

Pertanyaan:

Peubah terjadi serangan penyakit dilihat dari nilai S19nya merupakan peubah paling dominan?

Tanggapan:

Parameter yang berpengaruh ada 10 parameter dari lamongan. Parameter paling dominan adalah serangan penyakit.

(12)

Gambar

Gambar  1. Lokasi  penelitian  di  Kabupaten  Lamongan  Provinsi Jawa  Timur
Tabel 1. Statistik  deskriptif  semua  peubah  yang  diamati  dalam  penentuan  peubah  pengelolaan tambak yang berpengaruh terhadap produktivitas tambak di Kabupaten Lamongan Provinsi Jawa Timur (n = 26)
Gambar  3. Grafik  pencar  regresi  untuk  mengetahui  adanya  gejala  heteroskedastisitas

Referensi

Dokumen terkait

Dengan demikian, yang pertama kali terlintas dibenak calon karyawan adalah bahwa bekerja pada perusahaan yang ada dihadapannya merupakan pilihan yang menitikberatkan

Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi dengan judul:“ PEMBUATAN POLA UNTUK PENGECORAN TUTUP POMPA ROTARY SENTRIFUGAL BESI COR KELABU (FC) DENGAN MEDIA

Laporan ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai capaian pelaksanaan kegiatan Sekretariat Kemenko Bidang Kemaritiman dan Investasi sekaligus menjadi bahan

Mekanisme masuknya virus HIV kedalam SSP adalah dengan cara Mekanisme masuknya virus HIV kedalam SSP adalah dengan cara.. menumpang pada monosit yang terinfeksi virus menumpang

Dalam pelaksanaan Konseling Pastoral atau Pendampingan oleh GKP Jemaat Cimahi pada waktu tanpa Pendeta Jemaat, terkadang menghadapi kesulitan berkaitan dengan

Cat yang digunakan dalam air mungkin atau tidak mempunyai lapisan primer  seperti seng organik, tetapi lapisan yang kontak langsung dengan air harus mempunyai daya absorpsi