• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGAWASAN HAKIM KONSTITUSI DALAM SISTEM PENGAWASAN HAKIM MENURUT UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA RI 1945

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "PENGAWASAN HAKIM KONSTITUSI DALAM SISTEM PENGAWASAN HAKIM MENURUT UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA RI 1945"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

Tit ik Triwulan Tut ik

Fakult as Syari’ ah IAIN Sunan Ampel Surabaya E-mail: t t _t it ik@yahoo. com

Abst r act

Thi s r esear ch i s nor mat ive legal r esear ch. The obj ect i ve of t hi s r esear ch i s f ir st l y t o cl ar if y whet her t he essence of const i t ut i onal cour t ’ s j udges i s not i ncl uded i n t he t er m of j udge i n t he 1945 const i t ut i on and Law number 24 2003 on j udi ci al commi ssi on. Secondl y, t o know how model desi gns of cont r ol l i ng j udges of const it ut ional cour t ar e af t er t he i ssuance of Const i t ut ional cour t ’ s deci sion Number 005/ PUU-IV/ 2006. The concl usi on of r esear ch ar e t he j udges of const it ut i onal cour t ar e r egul ar j udges bound t o al l j udge r egul at ions i n Indonesi a, because Indonesi an const i t ut i on does not r ecognize di f f er ent t ypol ogies of j udges, t he not e of PAH I BP MPR t hat f or mul at ed amendment of t he 1945 const i t ut ion t he di scussi on sur r ounding t he t ypologies of j udges never t ook pl ace; and t he l egal schol ar s, gener al l y t end t o gener al i ze j udges t o i ncl ude j udges of const it ut ional cour t s. The cont r ol of const i t ut i onal cour t necessar y t o adopt i nt egr at ed cont r ol syst em, t hat i s int er nal cont r ol i s done by Const it ut ional Cour t and ext er nal super vi sion mechani sm conduct ed by ext er nal i ndependent depar t ment , i t i s Judi ci al Commi ssi on. Based on t hose f i ndi ngs, i n i mpl ement i ng an i nt egr at ed super vi sion mechani sm of Const i t ut ional Cour t ’ s Judges an amendment t o t he 1945 Const i t ut ion i s r ecommended and r evi sing t he Law number 22 of 2004 on Judi ci al Commi ssi on and l aw number 24 of 2003 on Const i t ut i onal Cour t i s ur gent l y needed.

Key wor ds: cont r ol on j ust i ce of Const it ut ional Cour t , t he syst em of j udge cont r ol , an i nt egr at ed super vi sion mechani sm

Abst rak

Penelit ian ini adalah penelit ian hukum normat if . Tuj uan dari penelit ian adalah unt uk menget ahui mengapa Hakim mahkamah konst it usi t idak t ermasuk dalam pengert ian hakim menurut UUD 1945 dan UU No. 24 Tahun 2003 t ent ang Komisi Yudisial dan unt uk menget ahui desains model pengawasan hakim mahkamah konst it usi pasca put usan Mahkamah Konst it usi Nomor 005/ PUU-IV/ 2006. Hasil penelit ian menyimpulkan bahwa hakim mahkamah konst it usi t ermasuk dalam kat egori hakim yang didasarkan pada argument bahwa UUD 1945 t idak mengenal kat egorisasi hakim dan hasil pembahasan rapat PAH I BP MPR t ent ang amandemen UUD 1945 t idak pernah membedakan makna hakim, sert a para ahli hukum umumnya berpendapat bahwa makna hakim adalah semua hakim t ermasuk di dalamnya adalah hakim mahkamah konst it usi. Pengawasan t erhadap hakim mahkamah konst it usi perlu mengadopsi sist em pengawasan t erpadu, dimana pengawasan int ernal dilakukan oleh mahkamah konst it usi dan pengawasan ekst ernal dilakukan oleh lembaga independen yait u Komisi Yudisial. Dalam rangka mewuj udkan sist em pengawasan t erpadu t erhadap hakim mahkamah konst it usi, perlu dilakukan amandemen UUD 1945 dan segera mungkin melakukan revisi t erhadap UU No. 22 Tahun 2004 t ent ang Komisi Yudisial dan UU No. 24 Tahun 2003

Kat a kunci: pengawasan hakim mahkamah konst it usi, sist em pengawasan hakim, sist em pengawasan t erpadu.

Pendahuluan

Hakim memiliki posisi pent ing dengan gala kewenangan yang dimilikinya, misalnya se-orang hakim dapat mengalihkan hak kepemilik-an seseorkepemilik-ang, mencabut kebebaskepemilik-an warga ne-gara, menyat akan t idak sah t indakan

sewe-nang-wenang pemerint ah t erhadap masyarakat , bahkan memerint ahkan penghilangan hak hidup seseorang.1 Wewenang dan t ugas hakim yang

1 Dudu Dusw ara Machmudi n, “Per anan Keyaki nan Haki m

(2)

besar demikian oleh karenanya harus dilaksana-kan dalam rangka menegakdilaksana-kan hukum, kebe-naran, dan keadilan sesuai kode et ik t anpa pan-dang bulu dengan t idak membeda-bedakan orang sepert i diat ur dalam laf al sumpah se-orang hakim, di mana set iap se-orang sama kedu-dukannya di depan hukum (equal i t y bef or e t he l aw) dan hakim.2 Kewenangan hakim yang sa-ngat besar t ersebut di sat u sisi menunt ut t ang-gungj awab yang t inggi, sehingga put usan pe-ngadilan yang diucapkan dengan i r ah-i r ah “ De-mi Keadilan berdasarkan Ket uhanan Yang Maha Esa” mengandung art i bahwa kewaj iban mene-gakkan kebenaran dan keadilan it u waj ib diper-t anggungj awabkan secara horizondiper-t al kepada manusia, dan secara vert ikal dipert anggung-j awabkan kepada Tuhan Yang Maha Esa.3

Hakim unt uk dapat melaksanakan semua f ungsinya secara ef ekt if , membut uhkan keper-cayaan dari masyarakat dan pencari keadilan, karena dengan adanya kepercayaan it ulah pe-ngadilan dapat menyelesaikan perkara melalui j alur hukum dengan baik.4 Kepercayaan t erha-dap lembaga peradilan t idaklah muncul dengan sendirinya, t et api harus melalui berbagai pem-bukt ian bahwa badan peradilan dan hakim sungguh-sungguh menj unj ung t inggi hukum ser-t a menegakkan kebenaran dan keadilan secara benar dan konsist en.5 Oleh karenanya, dalam rangka menegakkan hukum dan keadilan it u ha-kim sebagai pelaksana ut ama dari f ungsi peng-adilan, harus mempunyai komit men, t ekad, dan semangat dalam membersihkan badan peradil-an dari segala bent uk penyalahgunaperadil-an wewe-nang dan dalam rangka memulihkan kewibawa-an badkewibawa-an peradilkewibawa-an sert a upaya memulihkkewibawa-an

2 JWM Engel s, “ Negara Hukum dan Hukum Negara: Les

Quat r es Sai sons” , Terj emahan Tr ist am P. Mul yono, Jur -nal Pr oJust i t i a Vol . XVIII No. 1 Januar i 2002, Fakul t as Hukum Uni versit as Parahyangan, hl m. 7-20. Lihat Juga Mart ha Pigome“ Impl ement asi Prinsi p Demokrasi dan Nomokrasi dal am St rukt ur Ket at anegaraan RI Pasca Amandemen 1945” , Jurnal Di namika Hukum, Vol . 11 No. Me1 2001, hl m 323-335

3

Ket ua Mahkamah Agung RI, “ Pedoman Peril aku Haki m” , Var i a Per adi l an, No. 252 Okt ober 2006, hl m. 5-31

4 Charl es Simabur a, “ Membangun Sinergi s dal am

Peng-awasan Hakim” , Jur nal Konst i t usi, Vol . VII No. 2 Jul i 2009, hl m. 43-62

5 Muchl is, “ Hubungan Komisi Yudisial dengan Mahkamah

Agung dal am Pengaw asan Haki m” , Jur nal Sul oh, Vol . VI No. 2 Agust us 2008, hl m. 130

percayaan masyarakat kepada hakim. Salah sat u hal pent ing yang disorot masyarakat unt uk mempercayai hakim adalah perilaku hakim yang bersangkut an, baik dalam menj alankan t ugas yudisialnya maupun dalam kesehariannya.6

Prakt ik penyalahgunaan wewenang di lembaga peradilan, disebabkan oleh banyak f akt or ant ara lain dan t erut ama adalah t idak ef ekt if nya pengawasan int ernal (f ungsional) pe-rilaku hakim pada badan peradilan.7 Menurut Mas Achmad Sant osa, lemahnya pengawasan in-t ernal in-t ersebuin-t disebabkan oleh beberapa f ak-t or, anak-t ara lain: kualiak-t as dan inak-t egriak-t as peng-awas yang t idak memadai; proses pemeriksaan disiplin yang t idak t ransparan; belum adanya kemudahan bagi masyarakat yang dirugikan unt uk menyampaikan pengaduan, memant au proses sert a hasilnya (ket iadaan akses).8

Selain ket iga hal t ersebut , menurut Ah-mad Ashar, bahwa t idak ef ekt if nya pengawas-an int ernal disebabkpengawas-an oleh dua f akt or. Per t a-ma, semangat membela sesama korps (espr i t de cor ps) yang mengakibat kan penj at uhan hu-kuman t idak seimbang dengan perbuat an. Se-t iap upaya unSe-t uk memperbaiki suaSe-t u kondisi yang buruk past i akan mendapat reaksi dari pihak yang selama ini mendapat kan keunt ungan dari kondisi yang buruk it u. Kedua, t idak t er-dapat kehendak yang kuat dari pimpinan

6

Lihat Berchah Pet oew as, “ Kewenangan Komisi Yudi si al dal am Rangka Pengawasan Haki m Guna Mel aksanakan Amanat UUD 1945” , Jur nal Hukum Adi l , Vol . I No. 3 Desember 2010, hl m. 219-229.

7

Ada 2 (dua) aspek yang t erkait dengan per masal ahan keberadaan l embaga per adil an i ni: Per t ama, l embaga peradil an t el ah menj adi l embaga yang diyakini sangat korup (j udi ci al cor r upt i on) dan penuh dengan prakt ik-prakt ik yang sangat menceder ai nil ai-nil ai keadil an seper t i perdagangan perkar a (maf i a per adil an). Lihat A. Ahsin Thohar i, “ Desains Konst it ut sional Komisi Yudi si al dal am Sist em Ket at anegar aan Indonesi a” , Jur nal Le-gi sl asi Indonesi a, Vol . VII No. 1 Maret 2010, hl m. 60-80. Kedua, Pengaw asan kepada para hakim t er masuk haki m agung yang dil akukan ol eh Mahkamah Agung (MA) t el ah memuncul kan berbagai per masal ahan pada dir i hakim, t ermasuk Hakim Agung. Permasal ahan ini berkenaan dengan i nt egrit as dan kepr ibadian par a haki m pada umumnya. Mahkamah Agung RI, 2003, Cet ak Bi r u Pem-bar uan Mahkamah Agung RI, Jakart a: Ker j asama Mahka-mah Agung RI dengan LeIP, The Asia Foundat ion, USAID & Kemit r aan, hl m. 93.

8 Mas Achmad Sant osa dal am Mal ik, ” Perspekt if Fungsi

(3)

baga penegak hukum unt uk menindaklanj ut i ha-sil pengawasan int ernal t erhadap hakim, se-hingga membuka peluang bagi hakim yang t er-bukt i melakukan pelanggaran hukum dan kode et ik unt uk mendapat ’ pengampunan’ dari pim-pinan badan peradilan yang bersangkut an (t idak dikenakan sanksi sebagaimana mest inya).9

Kegagalan sist em pengawasan int ernal hingga saat ini belum dapat diat asi oleh ling-kungan lembaga peradilan, walaupun pada wakt u yang bersamaan j uga dilaksanakan kon-sep peradilan sat u at ap (one r oof syst em) khu-susnya pada lingkungan Mahkamah Agung (MA). Kondisi demikian j ust ru menimbulkan kekha-wat iran t erj adinya monopoli kekuasaan,10 se-hingga mendorong lahirnya gagasan ke arah pembent ukan lembaga independen yang berada di luar MA, yang dapat mengimbangi agar t idak t erj adi monopoli kekuasaan pada lembaga t er-sebut . Dalam rangka merealisasikan gagasan t ersebut dibent uklah Komisi Yudisial (selanj ut -nya disebut KY) yang diharapkan menj adi ex-t er nal audi ex-t or, yang dapat mengimbangi pelak-sana kekuasaan kehakiman.11

Kedudukan yuridis lembaga KY dit ent u-kan dalam Pasal 24B ayat (1) UUD 1945 set elah perubahan:12

9 Ahmad Ashar, ” Kewenangan Komisi Yudisial dal am

Pe-ngangkat an Haki m Agung Berdasarkan pada UU Nomor 22 Tahun 2004 t ent ang Komisi Yudi si al ” , Jur nal DAHA, Vol . I No. 42 Januari 2009, hl m. 1-13

10

Dian Rosit a, “ Mengkaj i Ul ang Konsep Rul e of Law dal am Pembaharuan Per adil an d Indonesi a” , Jurnal Konst it usi Vol . I No. 1 November 2008, Mahkaham Konst it usi RI, hl m. 6-20. Li hat j uga Ayudya Wi daw at i , “ Sel eksi Haki m Agung 2008, Mencar i Haki m Agung yang Prof esional , Berkual it as, Berint egrit as, Akunt abel dan Transparan dal am Rangka Menegakkan Prinsi p Check and Bal ances Kekuasaan Kehakiman di Indonesi a” , Jurnal Hukum Vol . VII No. 1 Juni 2008, Fakul t as Hukum UI, hl m. 27-36

11 Lihat Ast ri yani, “ Mewuj udkan Komi si Yudisial yang Ideal

ut uk Menj aga dan Menegakkan Kehor mat an sert a Kel uhuran Mart abat Hakim” , Jur nal Hukum Vol . III No. 8 Mei 2004, Fakul t as Hukum UI Teropong, hl m. 30-42. Se-ment ara ini pengaw asan peril aku haki m yang dil akukan Ket ua Muda Urusan Pengawasan dan Pembi naan (TUADA WASBIN) di pandang bel um berhasil . Lihat j uga Nurul Chot idj ah, “ Dinamika Impl ement asi Kewenangan Mah-kamah Agung dan Komi si Yudisial set el ah Amandemen Undang-Undang Dasar 1945” , Jurnal Il mu Hukum Lit igasi Vol . IX No. 3 2008, Fakul t as Hukum Uni versit as Pasun-dan, hl m. 299-313

12 Lihat mengenai kedudukan Komis Yudisial i ni yang

cukup unik dal am A. Ahsi n Thohar i, “ Kedudukan Komi si -Komi si Negar a dal am St rukt ur Ket at anegar aan Indonesi a” , Jurnal Hukum Jent er a, Vol . III No. 12 Apr il -Juni 2006, hl m. 38. Lihat j uga, Zainal Ari f in Mocht ar

bahwa Komi si Yudi si al ber si f at mandir i , mempunyai kewenangan pokok mengusul -kan pengangkat an Hakim Agung, j uga memi l i ki wewenang l ai n dal am r angka menj aga dan menegakkan kehor mat an, kel uhur an mar t abat , ser t a per i l aku ha-ki m. Dengan f rasa ”dal am r angka men-j aga dan menegakkan kehor mat an, kel u-hur an mar t abat , ser t a per i l aku hakim

Menurut Mahkamah Konst it usi (MK), da-lam bat as-bat as t ert ent u dapat diart ikan seba-gai pengawasan, yait u pengawasan t erhadap in-dividu f ungsionaris hakim lembaga peradilan.13 Operasionalisasi ket ent uan Pasal 24B ayat (1) UUD 1945 ini dij abarkan dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 t ent ang Kekuasaan Keha-kiman (UUKK 2004) dan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 t ent ang Komisi Yudisial (UUKY 2004).

Permasalahan muncul ket ika aspek pe-ngawasan KY sebagaimana t elah disebut kan di at as dalam perspekt if MA, dianggap t elah me-masuki wilayah pengawasan MA. Menurut MA, pengawasan KY selama ini yang memanggil be-berapa Hakim Agung, dalam hubungan dengan perkara yang t elah diadilinya t elah mengakibat -kan t erganggunya hak konst it usional Hakim Agung yang dij amin kemerdekaannya oleh UUD 1945, selain it u j uga menghancurkan indepen-densi Hakim Agung dan hilangnya kebebasan hakim dalam mengadili.14 Berdasarkan alasan t ersebut KY dianggap t elah memasuki wilayah pengawasan MA yang meliput i t eknis yudisial peradilan, puncaknya 31 hakim agung pada 10 Maret 2006 mengaj ukan permohonan t erhadap peninj auan at as UUKY 2004 dan UUKK 2004 t erhadap UUD 1945) ke MK dengan regist rasi Nomor 005/ PUU-IV/ 2006.

dan Iwan Sat ri awan, “ Ef ekt ivi t as Sist em Penyel esaian Pej abat Komisi Negar a di Indonesia” , Jurnal Konst it usi , Vol . VI No. 3 Sept ember 2009, hl m. 145

13

Put usan Mahkamah Konst it usi Nomor 005/ PUU-IV/ 2006 t ent ang Uj i Mat eri il Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 t ent ang Komisi Yudisial dan Undang-Undang No. 4 t ahun 2004 t ent ang Kekuasaan Kehakiman t erhadap UUD 1945 dal am Yanis Mal adi , “ Bent uran Asas Nemo Judex Indoneus In Propr ia Causa dan Asas Ius Curi t a No-vit : Tel aah Yur idis Put usan Mahkamah Konst i t usi Nomor 005/ PUU-IV/ 2006” , Jurnal Konst i t usi, Vol . VII No. 2 2010, hl m. 10.

14 Permohonan Perkara Nomor 005/ PUU-IV/ 2006 Per

(4)

Mahkamah Konst it usi melalui Amar Pu-t usan Nomor 005/ PUU/ IV-2006, menyaPu-t akan beberapa hal. Per t ama, permohonan para Pe-mohon menyangkut perluasan pengert ian hakim menurut Pasal 24B ayat (1) UUD 1945 yang me-liput i hakim konst it usi bert ent angan dengan UUD 1945. Dengan demikian, hakim konst it usi t idak t ermasuk dalam pengert ian hakim yang perilaku et iknya diawasi oleh KY. Pengawasan KY t erhadap hakim Mahkamah Konst it usi akan mengganggu dan memandulkan MK sebagai lembaga pemut us sengket a kewenangan konst i-t usional lembaga negara. Kedua, permohonan para Pemohon menyangkut pengert ian hakim menurut Pasal 24B ayat (1) UUDNRI 1945 t idak cukup beralasan. Oleh karena it u, permohonan para pemohon sepanj ang menyangkut hakim agung t idak t erdapat cukup alasan unt uk me-ngabulkannya. MK t idak menemukan dasar konst it usionalit as dihapuskannya pengawasan KY t erhadap hakim agung. Ket i ga, menyangkut f ungsi pengawasan, MK berpendapat bahwa segala ket ent uan dalam UUKYyang menyangkut pengawasan dinyat akan bert ent angan dengan UUDNRI 1945 dan t idak mempunyai kekuat an hukum mengikat karena t erbukt i menimbulkan ket idakpast ian hukum (r echt sonzeker hei d).

Amar put usan Mahkamah Konst it usi No. 005/ PUU-IV/ 2006 secara subt ansial membat al-kan beberapa pasal ant ara lain Pasal 1 angka 5, Pasal 20, Pasal 21, Pasal 22 ayat (1) huruf e dan ayat (5), Pasal 23 ayat (2), ayat (3), dan ayat (5), Pasal 24 ayat (1), dan Pasal 25 ayat (3) dan ayat (4) Undang-Undang Republik Indonesia No. 22 Tahun 2004 t ent ang Komisi Yudisial (Lem-baran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 89, Tambahan Lembaran Negara Repu-blik Indonesia Nomor 4415), sert a Pasal 34 ayat (3) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2004 t ent ang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 8, Tambahan Lembaran Negara Re-publik Indonesia Nomor 4358), karena bert en-t angan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan t idak mem-punyai kekuat an hukum mengikat ; Pembat alan t erhadap pasal-pasal dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2004 t

en-t ang Komisi Yudisial dan Undang-Undang Repu-blik Indonesia Nomor 4 Tahun 2004 t ent ang Ke-kuasaan Kehakiman ini, mengakibat kan t erj adi-nya kekosongan hukum (r echt svacum) yang ber-f ungsi sebagai dasar pij akan lembaga pengawas hakim konst it usi unt uk melaksanakan penga-wasan, sehingga diperlukan secepat nya pembent ukan t erhadap at uran hukum yang berkait -an deng-an f ungsi pengawas-an t erhadap hakim konst it usi.

Permasalahan

Berdasarkan paparan lat ar belakang di at as isu sent ral dalam penelit ian ini adalah mnengenai alasan-alasan Hakim Konst it usi t idak t ermasuk dalam Lingkup Pengawasan Komisi Yudisial. Dari isu sent ral t ersebut melahirkan dua isu hukum sebagai berikut . Per t ama, Apa-kah pengert ian Hakim Mahkamah Konst it usi t i-dak t ermasuk dalam pengert ian hakim menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indone-sia Tahun 1945 dan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 t ent ang Komisi Yudisial; dan kedua,

Lembaga manakah yang berwenang melakukan pengawasan t erhadap Hakim Konst it usi dalam kont eks pengawasan hakim Pascaput usan Mah-kamah Konst it usi Nomor 005/ PUU-IV/ 2006?

Met ode Penelitian

Jenis penelit ian ini adalah penelit ian hu-kum normat if (dogmat i c),15 yang dit uj ukan un-t uk menemukan dan merumuskan argumenun-t asi hukum, melalui analisis t erhadap pokok per-masalahan. Pendekat an (appr oach) yang digu-nakan dalam penelit ian ini ada empat j enis yai-t u: pendekayai-t an hisyai-t oris (hi st or i cal appr oach), pendekat an perundang-undangan (st at ut e ap-pr oach); pendekat an perbandingan (compar a-t i ve appr oach), pendekat an konsep (concept ual appr oach), dan pendekat an kasus (case appr

15

(5)

ach).16 Dipergunakan lebih dari sat u pendekat -an dalam penelit i-an ini adalah unt uk saling me-lengkapi ant ara sat u pendekat an dengan pen-dekat an lainnya.

Langkah-langkah penelit ian yang dilaku-kan adalah menghimpun bahan-bahan hukum baik bahan hukum primer maupun bahan hukum sekunder yang berkait an dengan t opik penelit i-an. Terhadap bahan hukum sekunder semuanya dicat at dengan menggunakan sist em kart u (car d syst em). Kart u-kart u disusun berdasarkan pokok permasalahan penelit ian dan sist emat ika penu-lisan yang t elah dirumuskan. Semua hasil pene-lit ian yang diperoleh dari bahan-bahan hukum t ersebut di at as dicari hubungannya ant ar sat u dengan lainnya dengan menggunakan penalaran dedukt if dan indukt if unt uk menghasilkan pro-posisi dan konsep baik berupa def inisi, deskripsi maupun klasif ikasi sebagai hasil penelit ian.

Pembahasan

Kerangka Konsept ual

Kebebasan hakim pada lembaga peradil-an hakikat nya merupakperadil-an bent eng (saf eguar d) dari r ul e of l aw.17 Prinsip t ersebut j uga dianut secara universal sebagaimana t ercermin dalam

Basi c Pr inci pl es on t heIndependence of t he Ju-di ci ar y yang diadopsi oleh t he Sevent h Unit ed Nat ions Congr ess on t he Pr event ion of Cr ime and t he Tr eat ment of Of f ender s, di Milan dari 26 Agust us sampai dengan 6 Sept ember 1985, dan disahkan dengan Resolusi Maj elis Umum PBB Nomor 40/ 32 t anggal 29 November 1985 dan Nomor 40/ 146 t anggal 13 Desember 1985.

Independensi hakim pada lembaga pera-dilan hakekat nya merupakan prasyarat yang

16 Terry Hut chinson, Resear chi ng and Wr i t i ng i n Law,

Lawbook. Co. , Pyr mont -NSW-Sydney, 2002, hl m. 29. Lihat j uga Pet er Mahmud Marzukki, “ Jur isprudence As Sui Gener is Disci pl i ne” , Jur nal Hukum Yur i di ka Vol . XVII No. 4 Jul i 2002, FH Universit as Airl angga Surabaya, hl m. 309-310

17

Tent ang Konsep Negar a Hukum i ni dapat di baca secar a l engkap dal am Sr i Soemant ri , “ Sist em Pemer int ahan Republ ik Indonesia” , Jurnal Mimbar Hukum Vol . X No. 3 Nopember 2002, hl m. 190; Yance Arizona, “ Konst it usi dal am Int aian Neol i beral isme” , Jur nal Konst i t usi Vol . I No. 1 November 2008, Mahkamah Konst it usi RI, hl m. 27; R. M. Ananda B. Kusuma, “ Teor i Konst it usi dan UUD 1945” , Jur nal Konst i t usi, Vol . III No. 2 Mei 2006, hl m. 152; dan Abdul Lat if , “ Pil pr es dal am Per spekt if Koal isi Mul t i par t ai” , Jurnal Konst it usi, Vol . VI No. 3 Sept ember 2009, hl m. 25-26

kok bagi t erwuj udnya cit a negara hukum dan merupakan j aminan bagi t egaknya hukum dan keadilan.18 Prinsip ini melekat sangat dalam dan harus t ercermin dalam proses, pemeriksa-an dpemeriksa-an pengambilpemeriksa-an keput uspemeriksa-an at as set iap per-kara dan t erkait erat dengan independensi pe-ngadilan sebagai inst it usi peradilan yang ber-wibawa, bermart abat , dan t erpercaya.19

Menurut Mahkamah Konst it usi, Indepen-densi hakim dan pengadilan t erwuj ud dalam ke-merdekaan hakim, baik sendiri-sendiri maupun sebagai inst it usi, dari pelbagai pengaruh yang berasal dari luar diri hakim berupa int ervensi yang bersif at mempengaruhi secara langsung berupa buj uk rayu, t ekanan, paksaan, ancam-an, at au t indakan balasan karena kepent ingan polit ik at au ekonomi t ert ent u dari pemerint ah at au kekuat an polit ik yang berkuasa, kelompok at au golongan t ert ent u, dengan imbalan at au j anj i imbalan berupa keunt ungan j abat an, ke-unt ungan ekonomi, at au bent uk lainnya.

Kemerdekaan hakim sangat berkait an erat dengan sikap t idak berpihak at au sikap im-parsial hakim, baik dalam pemeriksaan mau-pun dalam pengambilan keput usan. Hakim yang t idak independen t idak dapat diharapkan ber-sikap net ral at au imparsial dalam menj alankan t ugasnya.20 Demikian pula lembaga peradilan yang t ergant ung pada organ lain dalam bidang t ert ent u dan t idak mampu mengat ur dirinya secara mandiri j uga akan menyebabkan sikap yang t idak net ral dalam menj alankan t ugasnya. Kemerdekaan t ersebut j uga memiliki aspek yang berbeda. Kemerdekaan f ungsional,

18 A. V. Dicey menent ukan t iga t ol ok ukur dar i keber adaan

negara hukum (r ul e of l aw) yai t u: (1) supremasi hukum (supr emacy of l aw); (2) persamaan dihadapan hukum (equal i t y bef or e t he l aw); dan (3) konst it usi yang ber -dasarkan pada hak-hak perorangan (t he const i t ut i on based on i ndi vi dual r i ght s). Lihat Denny Indr ayana, “ Negar a Hukum Indonesi a Pasca Soehart o: Tr ansisi Me-nuj u Demokrasi vs Korupsi ” , Jur nal Konst i t usi Vol . 1 No. 1 Jul i 2004, Mahkamah Konst i t usi RI, hl m. 101. Li hat j u-ga Bambang Heryant o, “ Ref l eksi Pol it ik Hukum Pel ang-garan Hak Asasi Manusia di Indonesia” , Jur nal Il mu Hukum Yur i di ka Vol . 17 No. 4 Jul i Agust us 2002, Fakul -t as Hukum Uni versi-t as Airl angga, hl m. 334

19 A. Ahsin Thohari , “ Jal an Ter j al Konst it usional i sme

Indonesi a” , Jur nal Konst i t usi Vol . 1 No. 1 Jul i 2004, Mahkamah Konst it usi RI, hl m. 161

20 P. Wignj osumart o, “ Per an Hakim Agung dal am

(6)

ngandung larangan bagi cabang kekuasaan yang lain unt uk mengadakan int ervensi t erhadap ha-kim dalam melaksanakan t ugas j ust isialnya. Na-mun demikian kemerdekaan t ersebut t idak per-nah diart ikan mengandung sif at yang mut lak, karena dibat asi oleh hukum dan keadilan.21

Kemerdekaan hakim dimaksud j uga diar-t ikan bahwa hakim bebas memudiar-t us sesuai de-ngan nilai yang diyakininya melalui penaf siran hukum,22 walaupun put usan yang didasarkan pada penaf siran dan keyakinan demikian mung-kin berlawanan dengan mereka yang mempu-nyai kekuasaan polit ik dan administ rasi (asas

r esj udi cat a f acit j us).23 Jika put usannya t idak sesuai dengan keinginan pihak yang berkuasa, hal it u t idak dapat dij adikan alasan unt uk me-lakukan t indakan pembalasan t erhadap hakim baik secara pribadi maupun t erhadap kewena-ngan lembaga peradilan (". . . when a deci si on adver se t o t he bel i ef s or desi r es of t hose wi t h pol i t i cal power , can not af f ect r et r i bu-t i on on bu-t he j udges per sonal l y or on bu-t he po-wer of t he cour t ").24

Kemerdekaan hakim harus dimaknai t e-t ap dalam bae-t as-bae-t as yang die-t ene-t ukan oleh hu-kum dan dalam rangka menerapkan huhu-kum se-cara adil (f ai r). Dalam pandangan John Fere-j ohn, independensi peradilan adalah sebuah konsep yang relat if , bukan absolut . Selengkap-nya, Ferej ohn menyat akan:

21

Lihat M. Lai ca Marzuki, “ Kesadar an Berkonst it usi dal am Kait an Konst it usional i sme” , Jurnal Konst it usi , Vol . VI No. 3 Sept ember 2009, hl m. 31. Lihat j uga Didik Wi di t rismi hart o, “ Pengut an Fungsi Pengaw asan Komi si Yudi -si al Berada di Per-simpangan Jal an: Sebuah Kaj ian t en-t ang Ref or masi Per adil an” , Jur nal Yusen-t i ka, Vol . X No. 2 Desember 2007, hl m. 309-321. Juga l ihat dal am M. Laica Marzuki , “ Par adigma Kedaul at an Rakyat dal am Perubahan Undang-Undang dasar 1945” , Jur nal Legi sl asi Indonesi a, Vol . VII No. 1 Mar et 2010, hl m. 139

22 Tent ang i nt erpr et asi hukum ol eh haki m i ni dapat dibaca

dal am Soewot o, “ Met ode Int er pret asi Hukum Terhadap Konst i t usi” , Jur nal Hukum Yur i di ka Vol . V No. 1 Janua-ri-Februari 1990, FH Uni versit as Airl angga, hl m. 31-32; Wij ayant o Set iaw an, “ Per an Haki m Agung dal am Pene-muan Hukum (Recht svinding) dan pencipt aan Hukum (Recht sschepping) pada Era Ref ormasi dan Transf or ma-si” , Jur nal Per spekt i f Hukum Vol . VII No. 2 November 2007, FH Univ. Hang Tuah Sur abaya, hl m. 88-89

23 Manf red Si mon, “ The Rol e of Judges in a Rapidl y

Changing Societ y” , dal am Si mon Shet r eet , and J. Deschenes (eds), 1985, Judi ci al Independence: The Cont empor ar y Debat e, Dordrecht : Mar t inus Nij hof f Publ isher, hl m. 554

24 Theodore L. Becker dal am Herman Schw art z (2003)

sebagai mana dikut i p dal am Ibi d.

” One def i ni t ional pr oblem i s t hat j udi ci al i ndependence i s a r el at i ve, not an abso-l ut e, concept . The f oabso-l abso-l owi ng def ini t i on of ‘ dependency’ hi ghl i ght s t he r el at ive nat ur e of j udi ci al i ndependence: i n [ A] per -son or inst it ut ion [ i s] … dependent … [ i f ] unabl e t o do it s j ob wi t hout r el yi ng on some ot her i nst it ut ion or gr oup. ”

(Sat u def inisi bahwa independensi per-adilan adalah relat if , t idak absolut , kon-sept ual. Berdasarkan def inisi t ersebut , maka independensi bersif t relat ive di mana seseorang at au inst it usi dikat at akan dependen j ika dalam bekerj a t idak ber-gant ung dari inst it usi at au kelompok lain).25

Berdasarkan pendapat t ersebut , independensi peradilan adalah keadaan di mana peradilan dapat at au sanggup menj alankan t ugasnya t an-pa memiliki ket ergant ungan an-pada pihak lain. Relat ivit as konsep independensi peradilan ini akhirnya memang selalu memicu perdebat an yang pada akhirnya dit erj emahkan secara ber-beda-beda di set iap negara.

Independensi peradilan dalam perkemba-ngannya harus bersanding dengan konsep lain yang harus berdampingan secara harmonis, yakni akunt abilit as publik (publ i c account abi l i -t y). Int ernat ional Bar Associat ion Code of Mini-mum St andards of Judicial Independence dalam angka 33 menent ukan

It shoul d be r ecogni sed t hat j udi ci al i n-dependence does not r ender t he j udges f r ee f r om publ i c account t abi l it y, howe-ver , t he pr ess and ot her inst i t ut i ons shoul d be awar e of t he pot ent i al conf l i ct bet ween j udi ci al i ndependence and ex-cessive pr essur e on j udges

(harus diakui bahwa independensi per-adilan t idak dengan sendirinya membe-baskan hakim dari akunt abilit as publik, meski demikian, t ekanan dan int ervensi lembaga lain berpot ensi melahirkan

25

(7)

f lik ant ara independensi peradilan dan t ekanan t erhadap hakim).26

Berdasarkan ket ent uan di at as, maka indepen-densi kekuasaan kehakiman at au peradilan it u memang t idak boleh diart ikan secara absolut . Salah sat u rumusan pent ing konf erensi Int erna-t ional Commission of Juriserna-t menggarisbawahi bahwa "Independence does not mean t hat t he j udge i s ent i t l ed t o act i n an ar bit r ar y manner ”

(independensi t idak berart i bahwa hakim t anpa dasar unt uk bert indak). Oleh karena it u, sej ak awal munculnya gagasan mengubah UUD 1945 t elah muncul kesadaran bahwa sebagai pengim-bang inde-pendensi dan unt uk menj aga kewiba-waan kekuasaan kehakiman, perlu diadakan pe-ngawasan ekst ernal yang ef ekt if di bidang et ika kehakiman sepert i beberapa negara, yait u de-ngan dibent uknya Komisi Yudisial.27

Menurut Paulus E. Lot ulung, bat asan at au rambu-rambu yang harus diingat dan diperhat i-kan dalam implement asi kebebasan it u adalah t erut ama at uran-at uran hukum it u sendiri.28 Ket ent uan-ket ent uan hukum, baik segi prose-dural maupun subst ansial at au mat eriil merupa-kan bat asan bagi kekuasaan kehakiman agar da-lam melakukan independensinya t idak melang-gar hukum, dan bert indak sewenang-wenang. Hakim adalah subor di nat ed pada hukum dan t i-dak dapat bert ini-dak cont r a l egem. Selanj ut -nya, harus disadari bahwa kebebasan dan in-dependensi t ersebut diikat pula dengan per-t anggungj awaban aper-t au akunper-t abiliper-t as, di mana keduanya pada dasarnya merupakan dua sisi koin mat a uang yang sama. Tidak ada

26 Int ernat ional Bar Associ at ion, 22nd Oct ober 1982,

Int er nat i onal Bar Associ at i on Code of Mi ni mum St andar ds of Judi ci al Independence, The Jer ussal em Approved St andards of t he 19t h IBA Biennial Conf erence

hel d on Fr iday dal am A. Ahsi n Thohari , 2010, l oc. ci t.

27

Jiml y Asshi ddiqie, “ Pemil i han Langsung Presiden dan wakil Presi den” , Jur nal Hukum Vol . XXVII No. 51 2004, Fakul t as Hukum UII Yogyakar t a, hl m. 12. Lihat j uga Sal di Isr a, “ Put usan Mahkamah Konst i t usi Nomor 005/ PUU-IV/ 2006: Isi, Impl ikasi dan Masa Depan Komisi Yudi si al ” , Jur nal Il mi ah Hukum Legal i t y Vol . XV No. 1 2007, Fakul t as Hukum Uni versit as Muhammadyah Mal ang, hl m. 40

28 Paul us E. Lot ul ung, Kebebasan Haki m dal am Si st em

Penegakan Hukum, Makal ah disampaikan dal am Seminar Pembangunan Hukum Nasional VIII, disel enggarakar n ol eh Badan Pembinaan Hukum Nasional Depart emen Kehaki man dan Hak Asasi Manusia RI), Denpasar, 14 -18 j ul i 2003, hl m. 7

an mut lak t anpa t anggung j awab. Dengan per-kat aan lain dapat dipahami bahwa dalam kon-t eks kebebasan hakim haruslah diimbangi de-ngan pasade-ngannya yait u akunt abilit as peradil-an (j udi ci al account abi l it y).29

Wuj ud akunt abilit as publik dalam penga-wasan, bahwa walaupun hakim sebagai peme-gang kekuasaan kehakiman haruslah indepen-den, t et api independensi t ersebut t idak boleh menj adikan hakim sebagai pelaku yang t idak t erkont rol. Menurut Lint ong O. Siahaan, pada prinsipnya peran hakim dalam memut uskan perkara dapat diuj i melalui t iga hal, yait u

soci al change, despui t e dan st at ement. Berda-sarkan paramet er t ersebut , dalam menj alankan kewenangannya hakim t ermasuk j uga hakim konst it usi memiliki kebebasan yudisial dalam memut us sengket a, meski demikian ia bukanlah corong undang-undang (l a bouche de l a l oi) yang hanya sekedar menuangkan dari apa yang ada dalam at uran hukum,30 t et api ia memiliki kompet ensi perilaku, yang meliput i perilaku secara individu (personal) maupun perilaku yu-disial. Kompe-t ensi hakim t ersebut merupakan

t he aut hor i t y of j udges j udi ci al behavi our (ke-mandirian perilaku hakim dalam kekuasaan yu-disial). Dengan kedudukan ini hakim menikmat i ot onomi yang t inggi dan t anpa bat as, meski demikian hakim sebagai pelaku kekuasaan ke-hakiman, t idak bisa dibiarkan begit u saj a men-j alankan f ungsi kekuasaan yudisial t anpa pe-ngont rol dan pengimbang dari lembaga ekst er-nal. Alasannya, hal ini dapat melahirkan ke-kuasaan yudisial yang absolut (t irani yudisial), yait u suat u f ormat ket at anegaraan (pranat a sosial) yang sama buruknya dengan t irani ek-sekut if dan t irani legislat if dimana kekuasaan yudisial dengan ot orit asnya dapat mencipt akan sah t erhadap hal yang t idak sah (necessit as f a-ci t l i t i cum qoad at au non est l it i cum), meski demikian mereka t idak dapat t ersent uh oleh cara apapun dan lembaga manapun, t ermasuk

29

Lihat Nurhasan, “ Sist em Pol i t ik Per adil an Indonesia, Ha-kim dan Komi si Yudisial dal am Mewuj udkan Penegakkan Hukum yang Ef ekt if dan Ef i sien, Jur nal Il mu HUkum Li t i gasi Vol . IX No. 3 2008, Fakul t as Hukum Univer si t as pasundan, hl m. 251

30 Lint ong O. Siahaan, “ Peran Hakim dal am Pembaharuan

(8)

oleh lembaga yang berwenang dalam melaksa-nakan pengawasan.31 Menurut Oemar Seno Adj i, kebebasan hakim t idak berart i bahwa ia bebas di dalam menent ukan kerangka umum dan prin-sip-prinsip dasar daripada kegiat an peradilan dan organisasinya, t et api suat u kebebasan ha-rus berdampingan dengan dua perkara, yait u

f act uel e vi r j hei d, dan per soonl i j ke vr i j hei d.32 Paulus E. Lot ulung berpendapat , unt uk mewuj udkan independensi hakim, maka set iap independensi perlu diimbangi dengan t anggung-j awab dalam bent uk akunt abilit as dan t ranspa-ransi. Oleh sebab it u hakim akan memperoleh kepercayaan publik j ika mampu menj alankan independensinya yang dibarengi dengan 2 dua langkah yang saling t erkait erat , yait u pengelo-laan administ rasi; dan pengawasan (cont r ol).33

Berdasarkan pendapat t ersebut , dapat disimpulkan, bahwa kemerdekaan hakim di sat u sisi, haruslah diimbangi dengan akunt abilit as di sisi lain. Keduanya, kemerdekaan dan akunt abi-lit as bagaikan dua sisi mat a uang. Kedua unsur t ersebut hadir bersamaan, t idak berdiri sendiri, karena it u harus dikat akan bahwa t idak ada ke-bebasan t anpa akunt abilit as. Paulus E. Lot ulung selanj ut nya mengat akan:

Perlunya independensi t idak berart i bah-wa hakim t idak dapat dikrit ik at au di-awasi. Sebagai keseimbangan dari inde-pendensi, selalu harus ada t erdapat akun-t abiliakun-t as dan akun-t anggungj awab unakun-t uk men-cegah ket idakadilan. Mekanisme penga-wasan it u harus dikembangkan oleh lem-baga peradilan it u sendiri dan masyarakat dalam pengert ian unt uk menj amin akun-t abiliakun-t as seorang hakim.34

Berdasarkan kenyat aan t ersebut , maka kebera-daan lembaga pengawas hakim yang mandiri, dan bebas dari campur t angan lembaga lain

31

Hugo Bl ack (Hakim Agung Amerika Ser ikat ), pernah mengat akan, ”Ther e can be no equal j ust i ce wher e t he ki nd of t r i al a man get s depends on t he amount of money he has” .Lihat Saharuddin Daming, “ Wabah The Dar k Juct i ce dan Ti r ani Per adi l an” , Koran Tempo, Se-l asa 26 Apr iSe-l 2011. Lihat j uga NuruSe-l Chot i dj ah, “ Eksis-t ensi Komisi Yudisial dal am Mewuj udkan Kekuasaan Kehaki man yang Merdeka” , Jur nal Il mu Hukum Syi ar Madani Vol . XII No. 2 Jul i 2010, hl m. 170

32 Oemar Seno Adj i , 1985, Per adi l an Bebas Negar a Hukum.

Jakart a: Erl angga, hl m. 109

33 Paul us E. Lot ul ung, Op. Ci t. , hl m. 18 34 Ibi d.

mut lak diperlukan dalam rangka menegakkan kehormat an, menj aga keluhuran mart abat ser-t a perilaku hakim dalam rangka mewuj udkan pemerint ahan yang baik dan bersih (good gover nance).35

Berbagai Konsep Hakim Konst it usi Menurut At uran Hukum

Konsep Hakim Konst it usi Menurut UUD 1945

Pasal 24 B ayat (1) UUD 1945 menent ukan Komisi Yudisial bersif at mandiri yang ber-wenang mengusulkan pengangkat an ha-kim agung dan mempunyai wewenang lain

35 James W. McEl haney, ” Judges and Magi st r at es, Li t

iga-t ion, Aiga-t iga-t orneys, Tri al Prepar aiga-t ion” , ABA Jour nal Chi ca-go, No. 94 January 2007, hl m. 22

INDEPENDENSI HAKIM

(Grand Theory)

KONTROL PERILAKU (Mi ddl e-r ange

LEMBAGA KONTROL PERILAKU

(Appl i ed Theor y)

Independensi Imparsial Akunt abil it as

Di dal am peradil an

Di l uar peradil an

PENGAWASAN HAKIM KONSTITUSI DALAM SISTEM PENGAWASAN HAKIM MEURUT UUD 1945 Int ernal Ekst ernal

Ol eh l embaga di dal am st rukt ur

Organi sasi

Ol eh l embaga di l uar st rukt ur

Organi sasi

Hakim di LP & Hakim

Agung

Haki m Konst i t us

i

KY MKMK?

MA

Haki m di LP & Hakim

Agung

Haki m Konst i t us

i

MK?

(9)

dalam rangka menj aga dan menegakkan kehormat an, keluhuran mart abat , sert a perilaku hakim.

Tidak ada t af siran pada t ingkat konst it usi ber-kait an dengan makna hakim dalam kalimat “ da-lam rangka menj aga dan menegakkan kehor-mat an, keluhuran mart abat , sert a perilaku “ ha-kim” , art inya UUDNRI 1945 t idak menj elaskan hakim mana yang dimaksud dengan “ hakim“ dalam ket ent uan Pasal 24B ayat (1) UUD 1945 t ersebut , t et api MK menerj emahkan “ hakim“ dalam ket ent uan t ersebut excl udi ng Hakim Konst it usi. Put usan MK Nomor 005/ PUU-IV/ 2006, t anggal 23 Agust us 2006, t idak memasuk-kan Hakim Konst it usi dalam lingkup pengawa-san Komisi Yudisial (selanj ut nya disebut KY), karena menurut MK pengert ian hakim menurut Pasal 24B ayat (1) UUDNRI 1945 t idak t ermasuk Hakim Konst it usi, hal ini dengan beberapa per-t imbangan. Per t ama, secara sist emat is perumu-san ket ent uan mengenai KY t idak berkait an de-ngan ket ent uan mengenai MK (pasal t ent ang KY dit empat kan lebih dahulu daripada pasal t en-t ang MK); kedua, f ungsi pengawasan t erhadap perilaku Hakim Konst it usi dilakukan oleh Maj e-lis Kehormat an; ket i ga, makna hakim Konst it usi berbeda dengan Hakim biasa, karena hakim konst it usi pada dasarnya bukan hakim sebagai prof esi t et ap, t et api hakim karena j abat annya;

keempat , dalam keseluruhan mekanisme pemi-lihan dan pengangkat an para Hakim Konst it usi yang diat ur dalam UUD 1945 t idak t erdapat ke-t erlibake-t an peran KY sama sekali; dan kel i ma,

secara subt ant if , j ika perilaku hakim Konst it usi menj adi obyek pengawasan KY, maka kewena-ngan MK sebagai pemut us kewenakewena-ngan konst it u-sional lembaga negara menj adi t erganggu dan t erj ebak ke dalam pihak yang t idak dapat bersi-kap imparsial.36

MK memiliki pendapat berbeda t ent ang Hakim Agung. Menurut MK, bahwa dari perspek-t if spir it of t he const i t ut i on hakim agung t er-masuk dalam makna hakim, sehingga

36 Lihat Put usan Mahkamah Konst it usi Nomor 005/

PUU-IV/ 2006 t ent ang Penguj i an Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 t ent ang Komisi Yudi si al dan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 t ent ang Kekuasaan Kehaki man t erhadap Undang-Undang Dasar Republ ik Indonesi a Tahun 1945. l oc. ci t .

wasannya menj adi aspek pengawasan KY, hal ini dengan beberapa pert imbangan. Per t ama,

dari kont eks sosial yang lebih luas, pengert ian umum dan prinsip konst it usi hakim agung t er-masuk dalam kat egori hakim; kedua, mekanis-me pengangkat an hakim agung mekanis-melibat kan ke-beradaan KY, sehingga KY memiliki peran unt uk t et ap menj aga int egrit as dan kualit as perilaku-nya; ket i ga, secara f akt ual Hakim Agung meru-pakan anggot a Ikat an Hakim Indonesia (IKAHI) dan bahwa hakim agung adalah hakim, t idak pernah dipersoalkan.37

Jika dit elaah pendapat MK t ersebut t er-dapat ket idakkonsist ensian dan mengandung kelemahan, karena konst it usi secara t egas me-ngat akan, bahwa kekuasaan kehakiman dilaku-kan oleh MA dan MK. Dengan demikian sebagai konsekuensi kekuasaan kehakiman, hakim kons-t ikons-t usi kons-t idak dapakons-t dikeluarkan dari def inisi ha-kim menurut Pasal 24B ayat (1) UUD 1945. Oleh karena kekuasaan kehakiman dilaksanakan oleh hakim dalam semua lingkungan peradilan, maka konsekuensinya hakim konst it usi t ermasuk da-lam pengert ian hakim. Selain it u dada-lam risalah perubahan UUD 1945, t idak pernah disebut kan bahwa hakim konst it usi t idak t ermasuk dalam pengert ian hakim, dan ket ent uan perundang-undangan t idak memisahkan pengert ian hakim berdasarkan ruang lingkup, sehingga semua ha-kim dalam ranah kekuasaan kehaha-kiman t erma-suk hakim konst it usi harus dimaksudkan seba-gai hakim.

Konsep Hakim Konst it usi Menurut Undang-Undang

Konsep Hakim Konst it usi dalam kont eks Indonesia, secara yuridis diat ur dalam undang-undang yang t erkait dengan kekuasaan kehaki-man, yait u Undang-undang t ent ang Kekuasaan Kehakiman, dan Undang-undang t ent ang Mah-kamah Konst it usi sert a Undang-Undang t ent ang Komisi Yudisial.

Konsep Hakim Konst it usi Menurut Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman

(10)

Undang-Undang yang mengat ur mengenai Ke-kuasaan Kehakiman dalam Sist em Ket at a-negaraan Indonesia, secara hist oris kronologis meliput i Undang-Undang No. 19 Tahun 1948 t ent ang Susunan dan Kekuasaan Badan-Badan Kehakiman dan Kej aksaan, Undang-Undang No. 19 Tahun 1964 t ent ang Ket ent uan-Ket ent uan Pokok Kekuasaan Kehakiman, Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 t ent ang Ket ent uan–Ket ent u-an Pokok Kekuasau-an Kehakimu-an (UUKK 1970) yang t elah diubah dengan Undang-Undang No. 35 Tahun 1999 t ent ang Perubahan At as Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 t ent ang Ket ent uan– Ket ent uan Pokok Kekuasaan Kehakiman (UUKK 1999), Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 t en-t ang Kekuasana Kehakiman (UUKK 2004) dan Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 t ent ang Ke-kuasaan Kehakiman (UUKK 2009).

UUKK 2004 secara eksplisit t idak men-def inisikan apa it u Hakim Konst it usi. Pasal 12 yang mengat ur t ent ang MK hanya menyebut kan mengenai t ugas dan wewenang dari MK. Bagai-mana dengan ‘ Makna Hakim Konst it usi dalam Kont eks Makna Hakim’ ? Sebagaimana j uga da-lam UUKK 1970, dada-lam UUKK 2004 j uga t erda-pat Bab khusus yang mengat ur mengenai Hakim dan Kewaj ibannya, yait u dalam Bab IV Hakim dan Kewaj ibannya.

UUKK 2004 mengat ur mengenai kekuasa-an kehakimkekuasa-an sert a mencoba melet akkkekuasa-an prin-sip-prinsip dasar kekuasaan kehakiman. Kekua-saan Kehakiman pada dasarnya merupakan sua-t u cabang kekuasaan Negara yang dibedakan dengan cabang kekuasaan Negara lainnya, yait u eksekut if dan legislat if . Dalam kekuasaan ke-hakiman, Hakim merupakan komponen ut ama yang diperlukan unt uk dapat menj alankan ke-kuasaan ini. Ist ilah Hakim merupakan ist ilah yang khas dalam kekuasaan ini yang membeda-kan dengan lembaga penyelesaian sengket a lainnya, sepert i mediasi, arbit rase maupun yang lainnya. Meskipun hakim t erbagi dalam beberapa lingkungan peradilan maupun mah-kamah, namun dit inj au dari sudut f ungsi, hing-ga simbol-simbol, sepert i penggunaan t ohing-ga, pa-lu, posisi ruang sidang dan dan lain sebagainya pada prinsipnya t idak ada perbedaan yang mendasar ant ara hakim pada Mahkamah Agung

sert a peradilan di bawahnya dengan hakim pada Mahkamah Konst it usi.

Berdasarkan ket ent uan t ersebut , dit inj au dari undang-undang yang mengat ur mengenai Kekuasaan Kehakiman kecuali UUKK 2009, t erli-hat j elas bahwa dalam ket ent uan UU t ersebut t idak pernah membedakan pengert ian hakim sehingga yang dimaksud dengan hakim adalah seluruh hakim mulai dari hakim pada t ingkat pert ama hingga Hakim Agung sert a Hakim Kons-t iKons-t usi seKons-t elah unsur pranaKons-t a MK ini dibenKons-t uk.

Konsep Hakim Konstitusi dalam Undang-Undang Mahkamah Konstitusi

Konsep Hakim Konst it usi menurut Un-dang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 t ent ang Mahkamah Konst it usi (UUMK 2003) yang t elah diubah berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 t ent ang Perubahan At as Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 t ent ang Mahka-mah Konst it usi (UUMK 2011) hanya t erdapat da-lam sat u Pasal, yait u Pasal 5 yang menent ukan bahwa Hakim Konst it usi adalah pej abat Negara. UUMK 2003 maupun UUMK 2011 t idak menj elas-kan apa yang dimaksud dengan pej abat Negara it u? Ist ilah pej abat Negara dapat dit emukan da-lam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 t en-t ang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepot isme Bab I Ket ent uan Umum Pasal 1 ang-ka 1, bahwa Pe-nyelenggara Negara adalah pej abat Negara yang menj alankan f ungsi eksekut if , legislat if , at au yudisial …. ” .

(11)

menurut Pasal 24B UUD 1945. Hal ini sebagai-mana dikemukakan oleh Jimly Asshiddiqie:

“ . . . ket ika RUUMK sedang dibahas oleh DPR dan pemerint ah, t im ahli Pemerint ah menyarankan agar ha-kim konst it usi j uga dit ent ukan se-bagai hakim yang diawasi oleh Ko-misi Yudisial dengan menaf sirkan kat a ‘ hakim’ dalam Pasal 24B UUD 1945 secara luas. Akan t et api, semua anggot a Pansus UUMK yang sebagian besar adalah mant an anggot a Panit ia Ad Hoc BP MPR yang t erlibat dalam perumusan ket ent uan Pasal 24A, Pasal 24B, dan Pasal 24C UUD 1945, semua menolak karena alasan bah-wa hal it u bert ent angan dengan maksud UU 1945. ”38

Berdasarkan risalah t ersebut , j elaslah bahwa memang sej ak semula ada keinginan unt uk me-masukkan hakim konst it usi dalam makna ‘ ha-kim’ sebagaimana ket ent uan Pasal 24B UUDNRI 1945, meski hal ini kemudian t idak diakomo-dasi dalam ket ent uan pasal-pasal dalam UUMK 2003.

Konsep Hakim Konst it usi Menurut Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2003 t ent ang Komisi Yudisial

Konsep dan perumusan Hakim Konst it usi hanya i ncl ude dalam Kont eks Makna Hakim da-lam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2003 t en-t ang Komisi Yudisial diaen-t ur pada Pasal 1 angka 5 yang menent ukan bahwa Hakim adalah hakim Agung dan hakim pada badan peradilan di se-mua lingkungan peradilan yang berada di ba-wah Mahkamah Agung sert a hakim Mahkamah Konst it usi.

Perluasan makna hakim yang menyang-kut pengert ian Hakim Konst it usi dalam kont eks Pasal 1 angka 5 UUKY 2004 pada dasarnya me-rupakan t af sir t erhadap Pasal 24B ayat (1) UUD 1945 berdasarkan risalah-risalah sidang PAH BP MPR RI. Hal sebagaimana dikemukakan oleh Faj rul Falaakh:

Persoalan makna kat a ‘ hakim’ dalam ke-t enke-t uan konske-t ike-t usi ke-t ersebuke-t , ke-t idak ada pe-naf siran resmi pada t ingkat konst it usi, karena t idak t erdapat penj elasan dalam

38 Jiml y Asshi ddiqie, 2010, Per kembangan dan Konsol i dasi

Lembaga Negar a Pasca Ref or masi , Jakart a: Sinar Graf ika, hl m. 113

UUD 1945. Dua sumber ut ama yang dapat digunakan sebagai pembant u unt uk me-mahami adalah Risalah Sidang MPR dan bahan sosialisasi hasil-hasil amandemen konst it usi. Masalah ini t elah dipahami melalui t iga met ode penaf siran konst i-t usi: semani-t ik, hisi-t oris (or igi nal i nt ent), dan st rukt ural. Penaf siran semant ik me-mahami kat a hakim sebagai-mana dit ulis-kan, sehingga ket ent uan anak kalimat ke dua Pasal 24B ayat (1) UUD 1945 memang mencakup semua hakim. Ini digunakan dalam bahan sosialisasi hasil-hasil aman-demen oleh MPR. Pemahaman ini pula yang kemudian muncul dalam UU No. 4/ 2004 t ent ang Kekuasaan Kehakiman maupun dalam UUKY.39

Berdasarkan risalah-risalah sidang PAH BP MPR RI t erdapat keinginan agar kompet ensi KY mencakup semua hakim, t ermasuk promosi dan mut asi hakim, maupun merekomendasikan pe-ngangkat an hakim MK, namun t erdapat pula ke-inginan yang t erbat as. Usulan dengan caku-pan luas ini t idak direkomendasi. Jadi, ada yang menginginkan t erbat as (hakim agung saj a) dan ada yang menginginkan cakupan yang luas (se-mua hakim), t et api t idak t erdapat cat at an t en-t ang pihak yang en-t idak ingin mencakup hakim agung. Kesimpulannya, kat a ‘ hakim’ yang ber-sif at umum diset uj ui namun hanya mengenai ‘ wewenang lain dalam rangka menj aga dan me-negakkan kehormat an, keluhuran mart abat , sert a perilaku hakim. ” Ket ent uan ini selanj ut -nya yang dirumuskan dalam Pasal 1 angka 5 UUKY 2004, bahwa hakim adalah Hakim Agung dan Hakim pada badan peradilan di semua ling-kungan peradilan yang berada di bawah Mah-kamah Agung sert a Hakim Konst it usi” .

Lembaga Pengawas Hakim Konst it usi Menurut Putusan Mahkamah Konst it usi No. 005/ PUU-IV/ 2006

MK dalam amar Put usan Mahkamah Kons-t iKons-t usi Nomor 005/ PUU-IV/ 2006 Kons-t enKons-t ang Uj i Ma-t eriil Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 Tent ang Komisi Yudisial dan Undang-Undang

39 Mohammad Faj rul Fal akh, “ Beber apa Pemikir an unt uk

(12)

Nomor 4 Tahun 2004 t ent ang Kekuasaan Keha-kiman t erhadap UUDNRI 1945, menyat akan:

Pengert ian hakim menurut Pasal 24B ayat (1) UUD 1945 yang meliput i Hakim Kons-t iKons-t usi Kons-t erbukKons-t i berKons-t enKons-t angan dengan UUD 1945 … Dengan demikian Hakim Konst it usi t idak t ermasuk pengert ian hakim yang perilaku et iknya diawasi oleh Komisi Yu-disial. Pengawasan t erhadap pelaksana-an kode et ik Hakim Konst it usi dilakukpelaksana-an oleh Maj elis Kehormat an yang t ersendiri sesuai dengan ket en-t uan Pasal 23 UUMK sebagai pelak-sanaan Pasal 24C ayat (6) UUD 1945.

Jika mencermat i secara seksama ket en-t uan UUD 1945 secara en-t egas mengaen-t akan bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan oleh Mahkamah Agung dan Mahkamah Konst it usi.40 Dengan de-mikian sebagai pelaksana kekuasaan kehakim-an, Hakim Konst it usi t idak dapat dikeluarkan dari def inisi hakim menurut Pasal 24B ayat (1) UUD 1945. Pasal 24 ayat (2) menent ukan

Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh se-buah Mahkamah Agung dan badan per-adilan di bawahnya dalam lingkungan pe-radilan umum, lingkungan pepe-radilan aga-ma, dan lingkungan peradilan milit er, sert a lingkungan peradilan t at a usaha ne-gara dan oleh Mahkamah Konst i-t usi. ”

Ket ent uan ini dipert egas kembali dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 t ent ang Mahkamah Konst it usi, yang menent u-kan bahwa Mahkamah Konst it usi adalah salah sat u pelaku kekuasaan kehakiman sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan Penegasan kedudukan MK diat ur kembali dalam Pasal 2 Un-dang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 t ent ang Mahkamah Konst it usi yang menent ukan bahwa Mahkamah Konst it usi merupakan salah sat u

40

Model pemi sahan demiki an t idak dikenal di negar a-ne-gara yang menganut sist em Angl o Saxon sepert i di Ame-rika dan Aust r al ia. Di Aust ral i a t ugas dan wewenang MK i ncl ude dal am t ugas dan wewenang MA, sehingga MA di negara ini j uga berf ungsi sebagai Guar di an of Const i t u-t i onal . T. Wij ayant a, “ Ti nj auan Yur idis t ent ang Mahka-mah Agung dan High Court od Aust ral i a dal am Kait annya dengan Penegakkan Hukum (Rul e of Law)” , Jur nal Mi mbar Hukum Vol . X No. 3 Nopember 2002, Fakul t as Hukum Uni versit as Gadj ah Mada, hl m. 181. Lihat j uga Deni Br am, “ Tinj auan Teor i Hukum Kehadir an Mah-kamah Konst it usi di Indonesia” , Jur nal Themi s, Vol . II No. 1 Okt ober 2007, hl m. 88

lembaga negara yang melakukan kekuasaan ke-hakiman yang merdeka unt uk menyelenggara-kan peradilan guna menegakmenyelenggara-kan hukum dan keadilan.

Berdasarkan konst ruksi hukum demikian, menurut penulis karena kekuasaan kehakiman dilaksanakan oleh hakim dalam semua lingkung-an peradillingkung-an maka t idak t epat mengat aklingkung-an bahwa hakim konst it usi t idak t ermasuk dalam pengert ian hakim, bahkan dalam risalah pe-rubahan UUD 1945, t idak pernah disebut kan bahwa hakim konst it usi t idak t ermasuk dalam pengert ian hakim, dan ket ent uan perundang-undangan t idak memisahkan pengert ian hakim berdasarkan ruang lingkup, sehingga semua ha-kim dalam ranah kekuasaan negara t ermasuk hakim konst it usi haruslah dimaksudkan sebagai hakim. Makna inilah yang kemudian diadopsi dalam ket ent uan Undang-Undang Nomor 22 Ta-hun 2004 t ent ang Komisi Yudisial. Art inya, ba-hwa perluasan ‘ makna hakim’ yang menyang-kut pengert ian Hakim Konst it usi dalam kont eks Pasal 1 angka 5 UUKY pada dasarnya meru-pa-kan t af sir t erhadap Pasal 24B ayat (1) UUD 1945 berdasarkan risalah-risalah sidang PAH BP MPR RI. Berdasarkan risalah-risalah sidang PAH BP MPR RI t erdapat keinginan agar kompet ensi KY mencakup semua hakim, t ermasuk promosi dan mut asi hakim, maupun merekomendasikan pe-ngangkat an hakim MK, namun t erdapat pula ke-inginan yang t er-bat as. Dengan demikian hakim konst it usi j u-ga merupakan hakim yang meka-nisme penga-wasannya dilakukan oleh KY.

Permasalahan kedua menyangkut kedudu-kan hukum dari MKMK, bahwa MKMK merupakedudu-kan lembaga ad hoc, art inya apakah lembaga ad hoc layak melakukan pengawasan t erhadap lembaga yang bersif at permanen sebagaimana MK? Harj ono mengat akan, bahwa f ungsi men-j aga dan menegakkan kehormat an, keluhuran mart abat , sert a perilaku hakim t idak bisa di-lakukan oleh lembaga ad hoc. Ini adalah f ungsi yang bersif at permanen, sehingga dibut uhkan lembaga yang j uga permanen . . .41.

41 Harj ono, “ Lembaga Negar a dal am UUD 1945” , Jur nal

(13)

Berdasarkan pendapat t ersebut , menu-rut penulis unt uk membangun mekanisme peng-awasan t erhadap perilaku Hakim Konst it usi di-perlukan lembaga independen, mandiri dan bersif at permanen hal ini dikarenakan f ungsi t ersebut bersif at permanen. Selain it u unt uk menj aga int egrit as dan mempert ahankan per-f orma kelembagaan yang lebih baik diperlu-kan mekanisme pengawasan t erpadu yang melibat -kan lembaga di luar MK, sebagaimana me-kanis- mekanis-me pengawasan di lembaga MA.

Lembaga Pengawas Hakim Konst it usi dalam Sist em Pengawasan Hakim Menurut UUD 1945

Pengawasan t erhadap perilaku hakim konst it usi adalah mut lak adanya dan merupa-kan harga mat i yang t idak dapat dit awar lagi. Menaf ikan pengawasan t erhadap hakim konst i-t usi dan meniadakan peran lembaga eksi-t ernal sepert i Komisi Yudisial yang secara konst it usio-nal memiliki kewenangan at as hal t ersebut da-lam pengawasan hakim konst it usi merupakan langkah mundur dalam membangun puncak lembaga peradilan sebagai inst it usi dengan prinsip cl ean gover nment dan good gover nance. Mahkamah Konst it usi dalam Cet ak Biru Membangun Mahkamah Konst it usi Bab IV Mewu-j udkan Akunt abilit as dan Transparansi Mahka-mah Konst it usi bagian B Tuj uan St rat egis Mah-kamah Konst it usi menyat akan:

MK memiliki peran st rat egis dalam sist em ket at anegaraan, yang t ercermin pada ke-wenangan-kewenangan yang dimilikinya . . . unt uk it u menj adi pent ing bagi MK, memberikan pengawasan t erhadap int e-grit as dan perilaku hakim kepada pihak ekst ernal yang memiliki kewenangan un-t uk iun-t u. Komisi Yudisial, secara yuridis memiliki kewenangan unt uk mengawasi hakim baik di lingkungan peradilan umum maupun MK.42

Terkait dengan kedudukan Komisi Yudi-sial selaku pengawas ekst ernal Hakim Kons-t iKons-t usi Kons-t ersebuKons-t , Jimly Asshiddiqie menyat akan:

Dari ket ent uan mengenai Komisi Yudisial . . . dapat dipahami bahwa j abat an hakim

Hukum Ius Qui t a Iust um Vol . XVIII No. 4 Okt ober 2011, FH UII Yogyakar t a, hl m. 614

42 Mahkamah Konst i t usi RI, 2006, Cet ak Bur u Membangun

Mahkamah Konst i t usi , Jakart a: Mahkamah Konst it usi RI, hl m. 121

dalam konsepsi UUD 1945 dewasa ini ada-lah j abat an kehormat an yang perlu dij aga dan dit egakkan kehormat annya oleh sua-t u lembaga yang j uga bersif asua-t mandiri, yait u Komisi Yudisial yang merupakan pe-ngembangan lebih lanj ut ide pembent uk-an Maj elis Kehormat uk-an Hakim Agung yuk-ang dit arik ke luar . . . oleh karena it u, keber-adaan lembaga Komisi Yudisial ini diben-t uk diben-t ersendiri di luar Mahkamah Agung, sehingga subyek yang diawasinya dapat diperluas ke semua hakim, t ermasuk hakim konst it usi dan hakim di seluruh Indonesia.43

Selanj ut nya Jimly Asshiddiqie, j uga mengat a-kan:

“ . . . Berdasarkan penaf siran harf iah, ha-kim konst it usi pun pula dimasukkan ke dalam pengert ian hakim yang diawasi menurut ket ent uan Pasal 24B ayat (1) UUD 1945. Oleh karena it ulah UUKY me-nganut pengert ian yang t erakhir ini, yait u menaf sirkan kat a ‘ hakim’ dalam Pasal 24B ayat (1) UUD 1945 secara luas se-hingga mencakup seluruh hakim dalam lingku-ngan MA dan semua hakim pada MK . . . . Dengan demikian, KY berf ungsi sebagai lembaga pengawas MK, melalui kewenangannya unt uk menj aga dan me-negakkan kehormat an, keluhuran mart a-bat , sert a perilaku para hakim konst it usi sebagaimana mest inya”44.

M. Laica Marzuki j uga menyat akan:

“ Konst it usi memberikan kewenangan ke-pada Komisi Yudisial guna menj aga dan menegakkan kehormat an, keluhuran mar-t abamar-t sermar-t a perilaku hakim . . . Hal dimak-sud berkait an dengan kewenangan Komisi melaku-kan pengawasan t erhadap perila-ku hakim . . . Kewenangan pengawasan de-mikian j uga berlaku t erhadap peri-laku-perilaku Hakim Konst it usi . . . ”45

Berdasarkan ket ent uan Cet ak Biru MK dan pendapat para ahli hukum t ersebut , j elaslah bahwa pada dasarnya MK membuka diri t

43

Jiml y Asshi ddi qie, 2005, Kedudukan Mahkamah Kons-t i Kons-t usi dal am St rukt ur Ket at anegaraan Indonesia, dal am Mahkamah Konst i t usi, Bunga Rampai Mahkmah Kons-t i Kons-t usi RI, JakarKons-t a: SeKons-t j en dan KepaniKons-t eraan Mahkamah Konst i t usi RI, hl m. 35

44 Ibi d. , h. 38

45 M. Laica Marzuki, “ Komi si Yudi si al dan Rel evansi nya

(14)

dap mekanisme pengawasan ekst ernal t erhadap int egrit as dan perilaku hakim dan secara eks-plisit melegit imasi keberadaan KY sebagai lembaga pengawas Hakim selain Maj elis Kehormat -an MK d-an kont rol masyarakat . Dalam kont eks yang lebih luas, dalam hal ini memberi sinyal bahwa “ subyek yang diawasi KY dapat diperluas ke semua hakim, t ermasuk hakim konst it usi” , sehingga perilaku Hakim Konst it usi t ermasuk yang diawasi Komisi Yudisial46.

Membandingkan keberadaan lembaga pe-ngawasan hakim konst it usi di negara-negara yang konst it usinya mengadakan lembaga t erse-but khususnya di negara-negara Eropa. Ket en-t uan mengenai keberadaan lembaga pengawa-san Hakim Konst it usi berbeda-beda di set iap negara yang konst it usinya mengadakan lemba-ga t ersebut . Set idaknya t erdapat t ilemba-ga model ut ama yang berlaku di Eropa dalam hubungan ant ara Hakim Konst it usi sebagai unsur yang ada dalam lembaga peradilan, Komisi Yudisial at au lembaga serupa lainnya dan para pej abat yang berwenang. Per t ama, model Eropa Ut ara. Mo-del Eropa Ut ara memberikan wewenang yang luas kepada Komisi Yudisial, t ermasuk kewe-nangan dalam bidang penganggaran, logist ik, kont rol, pengawasan, pengangkat an, t indalan disipliner, perekrut an dan aspek lain yang ber-kait an dengan lembaga peradilan (sepert i peng-awasan t erhadap administ rasi peradilan, ke-uangan pengadilan, manaj emen perkara, bah-kan sampai dengan manaj emen pengadilan (se-pert i perumahan hakim, pendidikan hakim dan sebagainya). Model ini dianut oleh negara Swe-dia, Irlandia dan Denmark. Kedua, Model Eropa Selat an. Menurut model ini kewenangan Komisi Yudisial hanya unt uk memberikan nasehat da-lam pengangkat an hakim dan pegawai pengadil-an sert a kewenpengadil-angpengadil-an unt uk mengambil t inda-kan disipliner t erhadap hakim. Cont oh model ini adalah negara It alia, Perancis, Spanyol, Por-t ugal dan Swiss. Ket i ga, model t ak t erbagi ( un-di vi ded model). Model ini t idak ada lembaga

46

Lihat mengenai per bandingan keberadaan Komisi Yudi -si al dal am -si st em ket at anegar aan di beberapa negar a pada James Podger s, “ To Make Survive of Judical Com-mi ssion” , ABA Jour nal Chi cago, Vol . 82 Okt ober 2002, hl m. 112. Lihat Juga Ti t ik Tr iwul an Tut ik, “ Kedudukan dan Fungsi Komisi Yudisial sebagai Lembaga Negar a dal am Si st em Ket at anegar aan Republ ik Indonesi a” , Jur nal Il mu Hukum Yur i di ka Vol . 21 No. 4 Jul i -Agust us 2006, Fakul t as Hukum Uiversit as Airl angga, hl m. 367

perant ara sepert i Komisi Yudisial dalam hal pe-ngelolaan pengadilan, melainkan pepe-ngelolaan- pengelolaan-nya diserahkan kepada badan pemerint ah yang berwenang. Model t ak t erbagi dianut oleh Be-landa dan Jerman47.

Konst it usi Af rika Selat an melet akkan ke-dudukan Komisi Yudisial (Judi ci al Ser vi ce Com-mi sion) di Af rika Selat an di luar Bab t ent ang Kekuasaan Kehakiman48, dan secara f ungsi me-miliki kewenangan yang lebih luas dari KY di Indonesia. Komisi ini memiliki f ungsi membe-rikan advi s (rekomendasi) kepada Presiden da-lam pengangkat an dan pemberhent ian Ket ua dan Wakil Ket ua MK, Ket ua dan wakil Ket ua MA, dan hakim di semua lembaga peradilan.49

Penut up Simpulan

Ada dua simpulan yang dapat diut arakan berdasarkan pembahasan di at as. Per t ama, UUD 1945 secara rinci t idak memberikan penj e-lasan mengenai hakim mana saj a yang dimak-sud dalam makna hakim Pasal 24B ayat (1) UUD 1945 dalam kalimat ” dalam rangka menj aga dan menegakkan kehormat an, keluhuran mart a-bat , sert a perilaku hakim” , t et api berdasarkan Pasal 24 ayat (2) UUD 1945 bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di ba-wahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan pera-dilan milit er, lingkungan perapera-dilan t at a usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konst it usi, maka ist ilah hakim adalah keseluruhan hakim yang menj alankan f ungsi Kekuasaan Kehakim-an; pembedaan j enis-j enis hakim hanyalah di-maksudkan unt uk membedakan f ungsi dari ma-sing-masing j enis hakim t ersebut , unt uk Hakim Agung f ungsinya adalah unt uk menj alankan Ke-kuasaan Kehakiman di t ingkat Mahkamah Agung, Hakim Tinggi menj alankan Kekuasaan Kehakiman di t ingkat Pengadilan Tinggi (Ban-ding); Hakim Negeri menj alankan Kekuasaan

47

Wi m Voer mans, 2002, Raden voor de r acht spr aak i n l aden van de Eur opese Uni e. Terj . Adi Nugroho dan M. Zaki Hussein, Komi si Yudi si al di Beber apa Negar a Uni Er opa, Jakart a: LeIP, hl m. 7

48 M. Busyro Muqoddas, “ Komi si Yudi si al dal am Bingkai

Sist em Ket at anegaraan RI” , Jur nal Mej el i s, Vol . I (1) Agust us 2009, hl m. 118

49 Art i cl e 174 (3) dan (6); Art icl e 177 ayat (3); dan Art ikel

Referensi

Dokumen terkait

kamera live shoot merupakan sebuah teknik dimana cara menggunakan kamera dengan yang merekan apa yang terjadi saat itu, dan nantinya akan digabungkan dengan animasi

Penelitian ini juga memberikan manfaat bahwa usaha UMKM tidak hanya berpusat dalam permasalahan sektor ekonomi, melainkan juga lingkungan budaya yang menjadi prinsip

ノ Tokumaru,Yosihiko(2000)五'aspectmelodiquedelamusiquedesyamisen ,Selaf378,Paris:Editions Peeters..

Jenis penelitian ini adalah field research (penelitian lapangan) di BMT El Labana Ngaliyan Semarang. Metode pengumpulan data melalui wawancara dan dokumentasi untuk

Dengan mengucapkan puji dan syukur selalu dipanjatkan atas kehadirat Allah Swt dan tidak lupa junjungan kepada Nabi Besar Muhammad Saw beserta keluarga dan pengikutnya

Menurut Mardalis (2004:58) teknik purposive yaitu pengambilan sampel pada pertimbangan dan tujuan tertentu yang dilakukan dengan sengaja Adapun pihak yang diwawancara

[r]

Setelah penyidik menerima laporan tentang dugaan terjadinya tindak pidana kerusakan hutan yang disebabkan oleh pembalakan liar atau illegal logging baik