• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 4 ANALISIS SOSIAL, EKONOMI, DAN LINGKUNGAN - DOCRPIJM 15031145794. Bab 4 Analisis Kab Wakatobi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB 4 ANALISIS SOSIAL, EKONOMI, DAN LINGKUNGAN - DOCRPIJM 15031145794. Bab 4 Analisis Kab Wakatobi"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

1

BAB 4

ANALISIS SOSIAL, EKONOMI, DAN LINGKUNGAN

4.1. Analisis Sosial

Aspek sosial budaya masyarakat di suatu wilayah sangat berpengaruh terhadap tingkat dan pola

perkembangan wilayah tersebut. Sering kali sosial budaya masyarakat menjadi pendorong

sekaligus penghambat berkembangnya suatu wilayah ataupun Kota. Kabupaten Wakatobi yang

terdiri dari 4(empat) pulau utama yaitu Pulau Wangi Wangi, Kaledupa, Tomia, dan Binongko

dengan adat istiadat dan sosial budaya yang berbeda, tidak berarti bahwa dengan keberagaman

suku danadat budaya di Wakatobi akan berpengaruh terhadap beragamnya persepsi atau

perbedaan masyarakat dalam pembangunan, menjadi alat pemersatu dalam membangun

Wakatobi dengan mengutamakan kepentingan bersama di atas kepentingan pribadi ataupun

golongan. Dari data. menunjukkan bahwa di Kabupaten Wakatobi terdapat beberapa suku bangsa

yang mendiami wilayah tersebut diantaranya adalah; Suku Buton, Wakatobi, Bugis, Makassar,

Bajo, Muna, Jawa, Bali dan suku lainnya. Adapun suku yang dominan terdapat di Kabupaten

Wakatobi yaitu Suku Wakatobi 91,33%, dan Bajo 7,92% serta suku lainnya relatif sedikit yang

merupakan masyarakat pendatang.

Laut adalah bagian dari kehidupan yang tidak dapat dipisahkan “ pinde kulitang kadare, bone pinde same kadare”yang artinya memindahkan orang bajo (hidup) didarat sama hanya memindahkan penyu (hidup) didarat. Ungakapan tersebut untuk menggambarkan suatu hal yang

tidak mungkin terjadi karena sudah kehendak takdir alam dan akulturasi budaya yang dianut

secara turun temurun. Namun demikiman mereka tetap mendarat untuk mengambil air tawar, kayu

bakar dan keperluan lainnya sebagai bekal.

Permukiman di atas air di Kabupaten Wakatobi didiami oleh penduduk suku bajo yang merupakan

sala satu suku yang ada di Kabupaten Wakatobi, menurut sejarahnya dan sejumlah antropolog

mencatat, suku Bajo lari ke laut karena mereka menghindari perang dan kericuhan di darat. Sejak

itu, bermunculan manusia-manusia perahu yang sepenuhnya hidup di atas air. Nama suku Bajo

diberikan oleh warga suku lain di Pulau Sulawesi sendiri atau di luar Pulau Sulawesi. Sedangkan

warga suku Bajo menyebut dirinya sebagai suku Same. Dan, mereka menyebut warga di luar

sukunya sebagai suku Bagai.

Di mana ada laut, maka di sanalah suku Same itu mencari nafkah. Dengan bernelayan, tentu saja.

Bila prediksi dampak perubahan iklim benar-benar terjadi antara 2050-2100, suku Bajo boleh

dibilang masyarakat paling siap menghadapinya. Pasalnya, sejak lahir, keturunan suku Bajo

sudah dikenalkan dengan kehidupan di atas permukaan air. Di tengah kesibukan para ilmuwan

mencari solusi dari perubahan iklim, ternyata sebagian jawabannya ada pada kearifan suku Bajo.

(2)

2 atau Bajau merupakan sekumpulan orang yang menggantungkan hidupnya di laut. “Boleh dibilang

hidup dan mati mereka bergantung dengan laut.

Suku Bajo lahir dan hidup di laut. Mereka memiliki ketangguhan untuk mengarungi lautan sebagai

bagian dari sejarah dan jati dirinya. Meski saat ini banyak yang tinggal di darat tetapi

ketergantungan suku ini terhadap laut belumlah hilang. Anak-anak mereka berteman dan bermain

dengan laut, mereka hidup dan dihidupi dengan lingkungan laut. Meresap dan melekat dalam

keseharian mereka tentang adat-tradisi serta kearifan lokal untuk mengelola ekosistem laut di

bagian manapun di Nusantara ini, bahkan hingga negeri tetangga.

Berdasarkan historikal bahwa suku bajo Di Sulawesi Tenggara, berdiam di pesisir Konawe dan

Kolaka. Bahkan suku Bajo di Desa Bangko, Kecamatan Maginti Pulau Muna, sudah ada sejak

abad ke-16. Tersebar juga hunian suku Bajo di Pulau Kabaena, Pulau Wolio, Pulau Buton,

KepulauanWakatobi(Pulau Kaledupa, Pulau Wangi Wangi dan Pulau Tomia).

Di sisi lain, para peneliti kesulitan mendapatkan data akurat tentang asal-usul nenek moyang suku

Bajo. Menurut Laporan, ada berbagai macam versi sejarah diwayat leluhur mereka. Versi cerita

rakyat menyebutkan suku Bajo berasal dari Johor, Malaysia. Ada pula yang mengatakan berasal

dari Filipina atau Bone (Sulawesi Selatan). Namun, menurut Dr. Munsi Lampe, antropolog dari

Universitas Hasanuddin Makassar, jumlah suku Bajo yang menggantungkan hidupnya di atas

perahu diperkirakan semakin sedikit karena hidup menepi di pesisir pantai dan mendirikan rumah

panggung. Digambarkan dalam buku Menyiasati Perubahan Iklim di Wilayah Pesisir dan

Pulau-pulau Kecil, rumah panggung suku Bajo dibangun menggunakan bahan yang terbilang ramah

lingkungan. Dindingnya terbuat kombinasi kayu dan anyaman bambu. Sedangkan bagian atap dari

daun rumbia.

Gambar 4.1.Permukiman Suku Bajo

Awal terbentuknya perkampungan Bajo mulanya berawal di Keledupa. Salah satu perkampungan

Suku Bajo Horou sekarang Mantigola, dan Kampung Mola adalah merupakan warga pindahan dari

Kampung Horou, mereka pindah karena adanya gangguan dari DI/TII. Sebelum menetap di

kampung Mola Sekarang. Mereka sempat tinggal di atas perahu untuk beberapa saat, setelah

mendapat izin dari ketua adat Desa Liya, akhirnya mereka bisa membangun rumah diatas air.

Sesuai dengan perjalanan waktu, kini permukiman mereka sudah bersatu dengan daratan.

(3)

3 Kaledupa karena keterbatasan areal bermukim dan ingin mencari tempat yang mereka anggap

sesuai maka sebagian warga yang ada menetap di Pulau Kaledupa. Sekarang Sampela dan

Lamanggau di Tomia Adapun Bajo Lohoa di Kecamatan Kaledupa Selatan merupakan kawasan

permukiman suku Bajo yang baru muncul.

Meskipun kini, komunitas Bajo, khususnya di Sulawesi Tenggara, umumnya hidup menetap di

rumah panggung. namun mereka tak melupakan laut. Hunian mereka didirikan di sepanjang pesisir

atau menjorok ke laut dangkal. Desa Sama Bahari (Bajo Sampela) merupakan salah satu

perkampungan ”terapung” Bajo yang terpisah 800 meter dari daratan, Setiap rumah terhubung

dengan jembatan kayu sebagai lalu lintas pejalan kaki. Sampan warga hilir mudik di sela-sela

permukiman melalui kanal. Setiap rumah dilengkapi 2-3 sampan atau perahu. Aktivitas melaut 24

jam nonstop.

Gambar 4.2.Transformasi Suku Bajo yang sudah membangun rumah di daratan

Masyarakat senantiasa berubah di semua tingkat kompleksitas internalnya. Di tingkat makro terjadi

perubahan ekonomi, politik, dan kultur. Di tingkat meso terjadi perubahan kelompok, komunitas, dan

organisasi. Di tingkat mikro terjadi perubahan interaksi dan perilaku individual. Dalam masyarakat

kini terkandung pengaruh, bekas, dan jiplakan masa lalu serta bibit potensi untuk masa depan. Sifat

berprosesnya masyarakat secara tersirat berarti bahwa fase sebelumnya berhubungan sebab akibat

dengan fase kini dan fase kini merupakan prasyarat sebab akibat yang menetukan fase berikutnya

(Sztompka, 2005).

Transformasi ekonomi pedesaan tidak terkecuali juga dialami oleh komunitas nelayan suku Bajo.

Fenomena sosial ini sekaligus membuktikan bahwa masyarakat lokal mampu melakukan mobilitas

sosial melalui ekspansi usaha ke arah cara produksi pasar. Dahulu suku Bajo masih hidup dengan

sistem ekonomi subsisten yang dilakukan dengan cara berburu, dan berpindah-pindah,

penangkapan ikan hanya untuk memenuhi kebutuhan pangan diri dan keluarganya (Zacot, 2002).

Seiring dengan dimulainya relokasi masyarakat Bajo ke daratan, rupanya membawa implikasi

terhadap kehidupan sosial, ekonomi, maupun budaya. Awalnya ketika masyarakat Bajo masih hidup

(4)

4 tempat lain. Perdagangan hanya dilakukan dengan sistem barter. Untuk persediaan sehari-hari

mereka, kelompok pengembara ini berbuat sebagai berikut : sebuah kelompok kecil pergi ke pantai

pada hari-hari pasar, apakah itu pasar terapung atau pasar di darat. Mereka menukar ikan-ikan

tangkapan mereka dengan kebutuhan lain atau peralatan yang mereka butuhkan. Namun, setelah

proses relokasi, sendi-sendi kehidupan masyarakat Bajo mulai berubah sejalan dengan menetapnya

masyarakat Bajo di pinggir pantai dengan membuat rumah-rumah terapung. Masyarakat Bajo mulai

mengenal ekonomi uang (artinya mulai mengenal kemiskinan) dan pasar, generasi muda Bajo mulai

diperkenalkan dengan sekolah formal, serta mau tidak mau harus mengakui dan takluk terhadap

legitimasi pemerintah sebagai suatu supra sistem kehidupan mereka.

Gambar 4.3.T r a n s f o r m a s i E k o n

Gambar 4.3 Transformasi Suku Bajo dari sistem barter ke retail

Transformasi yang dialami masyarakat Bajo saat ini juga merujuk pada perubahan masyarakat

pedesaan berbasis pada pertumbuhan dan mekanisme pasar. Transformasi yang terjadi di dalam

proses produksi diarahkan untuk menghasilkan surplus.

Mola adalah gambaran unik komunitas nelayan Bajo yang telah mengalami transformasi sosial

dalam bentuk modernisasi (Harian Kompas, Senin 28 Juni 2010). Komunitas Bajo Mola menggeliat,

perkembangan ekonomi berkembang dengan pesat, ini ditandai dengan skala usaha yang condong

kearah pemasaran barang dan jasa. Penggunaan alat tangkap yang modern, terjadi akumulasi

modal untuk ekspansi usaha, menggunakan sistem upah tenaga kerja, yang dahulu hanya

mengandalkan tenaga kerja keluarga. Kenyataan ini jauh berbeda dengan kampung-kampung Bajo

lainnya di Kabupaten Wakatobi, antara lain kampung Bajo Lamanggau, Lo Hoa, Sama Bahari

maupun Mantigola. Para nelayan Bajo Mola telah banyak menjadi pengumpul besar, dan

menguasai jalur perdagangan ekspor kerapu hidup ke Hongkong melalui Bali. Kemajuan-kemajuan

yang dicapai di atas memang mengesankan, namun kemajuan yang dicapai juga menimbulkan

konsekuensi tersendiri yakni ketidakmerataan ekonomi, antara lain pola distribusi keuntungan yang

(5)

5 Selanjutnya, saat ini nelayan Bajo khususnya Mola tidak menjadikan laut sebagai satu-satunya

sumberdaya yang digunakan untuk mencari nafkah. Nelayan Mola tidak lagi berorientasi pada

upaya untuk bertahan hidup (survival) melainkan juga untuk memperbaiki status kehidupan mereka

(consolidating strategy). Nafkah tidak lagi hanya diarahkan sebagai sesuatu yang harus dilakukan

(necessity) melainkan juga sebagai suatu pilihan-pilihan rasional (rational choices). Strategi nafkah

yang dilakukan nelayan Bajo Mola antara lain dengan melakukan diversifikasi nafkah di luar

kegiatan menangkap ikan, dan melakukan migrasi ke pulau-pulau lainnya, hingga ke luar negeri.

Kegiatan menangkap ikan tidak hanya dilakukan disekitar perairan Wakatobi saja melainkan juga

melakukan penangkapan di laut Arafura, dan menangkap hiu di Pepela NTT.

Gambar 4.4.Transformasi Permukiman Suku Bajo di Mola sebagai ODTW

4.1.1. Pengarasutamaan Gender

Perhitungan Sex Ratio menggunakan asumsi jumlah penduduk perempuan per 100 penduduk laki –

laki, dengan jumlah penduduk perempuan berbanding dengan jumlah penduduk laki-laki. Hal ini

dikarenakan dalam perhitungan mengasumsikan jumlah laki-laki sebagai pembanding yang

berdasarkan pada ketentuan islam yaitu laki-laki sebagai imam, sehingga diasumsikan setiap 100

jiwa laki-laki terdapat beberapa jiwa perempuan.

Sex ratio merupakan analisis dari jumlah penduduk menurut jenis kelamin memiliki peran penting

dalam pembangunan suatu wilayah karena analisis ini berhubungan dengan demografi dan sosial

ekonomi suatu masyarakat. Sex Ratio di Kabupaten wakatobi dari tahun 2010 – 2014 tidak

mengalami peningkatan yang signifikan, rata – rata memiliki perbandingan 100 : 108, yang dimana

setiap 100 jiwa laki – laki terdapat 108 jiwa perempuan. Untuk lebih jelas dapat dilihat padatabel

(6)

6

Tabel 4.1. Jumlah Penduduk Kabupaten Wakatobi Menurut Jenis Kelamin Tahun 2010 - 2014

No Kecamatan

Tahun 2010

Ratio 100 :

2011

Ratio 100 :

2012

Ratio 100 :

2013

Ratio 100 :

2014

Ratio 100 :

Laki

-Laki Perempuan

Laki

-Laki Perempuan

Laki –

Laki Perempuan

Laki

-Laki Perempuan

Laki

-Laki Perempuan

1 Binongko 4.027 4.337 108 4.006 4.326 108 3.987 4.308 108 3.968 4.300 108 3.946 4.230 107

2 Togo Binongko 2.257 2.437 108 2.241 2.430 108 2.226 2.371 107 2.211 2.368 107 2.194 2.356 107

3 Tomia 3.319 3.606 109 3.336 3.597 108 3.353 3.630 108 3.370 3.624 108 3.384 3.654 108

4 Tomia Timur 4.057 4.386 108 3.975 4.326 109 3.896 4.211 108 3.818 4.155 109 3.739 4.038 108

5 Kaledupa 4.809 5.215 108 4.868 5.298 109 4.930 5.372 109 4.903 5.412 110 5.051 5.480 108

6 Kaledupa Selatan 3.187 3.187 100 3.193 3.193 100 3.198 3.969 124 3.205 3.962 124 3.208 3.942 123

7 Wangi - Wangi 11.247 11.842 105 11.482 12.102 105 11.726 12.342 105 11.976 12.563 105 12.220 12.836 105

8 Wangi - Wangi Selatan 55.747 59.916 107 33.677 36.143 107 22.804 24.511 107 11.376 12.186 107 11.771 12.740 108

Jumlah 88.650 94.926 854 66.778 71.415 855 56.120 60.714 877 44.827 48.570 878 45.513 49.276 875

(7)

4.1.2. Identifikasi Kebutuhan Penanganan Sosial Pasca Pembangunan Infrastruktur Bidang Cipta

Karya

Pembangunan Kabupaten Wakatobi melalui Rencana Program Investasi Jangka Menengah

(RPIJM) Bidang Cipta Karya diharapkan mampu mewujudkan keterpaduan, integrasi

perencanaan, sinkronisasi program dan penentuan prioritas dalam pembangunan pelaksanaan

daerah. Maka dari itu agar tujuan dari pembangunan bidang Cipta Karya tercapai, diperlukan

penanganan sosial pasca pembangunan infrastruktur bidang Cipta Karya, antara lain :

1. Prioritas pengembangan difokuskan pada sempadan wilayah pesisir, wilayah kumuh

perdesaan diperbukitan pulau Kabupaten Wakatobi sekaligus kawasan penyangga air

sehingga sebagian upaya untuk mengamankan sistim tata air dan kawasan lindung.

2. Melakukan peremajaan/redevelopment perumahan dan permukiman kawasan permukiman kumuh, perlu mendapat perhatian sebagai salah satu upaya pemanfaatan ruang yang serasi.

Upaya ini dapat merupakan eksperimen percontohan pengembangan lingkungan, misalnya

dengan program perbaikan kampung dan rumah susun (RUSUN).

3. Melakukan Pengembangan rencana sistem transportasi, perencanaan dalam sistem

pergerakan meliputi pengaturan sistem dan pengembangan jaringan jalan, rute dan sarana

angkutan umum serta perparkiran.

4. Melakukan pengembangan air bersih, Upaya pelayanan air bersih dapat dilakukan dengan:

pengaturan distribusi air setiap dua hari sekali, pembangunan jaringan primer air bersih baru,

dan pengembangan jaringan air bersih ke lokasi rencana industri, perbaikan pipa jaringan yang

tidak efektif lagi, dan penggunaan teknologi semacambooster pumpuntuk melayani daerah di

daerah dataran tinggi.

5. Melakukan pengembangan jaringan listrik dan jaringan telepon, upaya peningkatan pelayanan

terhadap kebutuhan listrik dan komunikasi pada Kabupaten Wakatobi

4.2. Analisis Ekonomi

4.2.1. Analisis Tingkat Kemiskinan

Analisisekonomi pada perencanaan pembangunan bidang Cipta Karya diharapkan mampu

melengkapi kajian perencanaan teknis sektoral. Salah satu aspek yang perlu ditindak- lanjuti

adalah isu kemiskinan. Kajian analisisekonomilebih menekankan pada manusianya sehingga yang

disasar adalah kajian mengenai penduduk miskin, mencakup data eksisting, persebaran,

karakteristik, sehingga kebutuhan penanganannya. Berikut adalah perkembangan garis

(8)

Tabel 4.2. Perkembangan Garis Kemiskinan di Kabupaten WakatobiTahun 2006 - 2014

2006 121.310 24,53 24,99 3,84 0,87

2007 125.420 24,38 24,51 3,67 0,89

2008 151.202 24,86 22,53 5,50 1,73

2009 179.390 23,05 20,42 3,76 1,14

2010 191.496 18,49 18,52 3,21 0,96

2011 198.229 17,10 16,36 2,49 0,61

2012 202.103 15,06 15,99 1,68 0,25

2013 206.570 16,46 17,40 2,11 0,37

2014 - 15,63 16,36 -

-Sumber: Wakatobi Dalam Angka Tahun 2015

Gambar 4.5.Persentase Kemiskinan Kabupaten Wakatobi 2006 – 2014

Tabel 4.2 diatas menyajikan data tingkat kemiskinan di Kabupaten Wakatobi. Jumlah penduduk

miskin semakin tahun semakin berkurang. Penurunan setiap tahun cukup signifikan seperti terlihat

pada grafik persentase kemiskinan di atas. Tahun 2006, persentase jumlah penduduk di Wakatobi

sekitar 25% dan pada tahun 2014 persentase jumlah penduduk miskin hanya sekitar 16,36%.

Pendapatan per kapita dari penduduk miskin setiap tahun nya terjadi peningkatan. Tahun 2006,

pendapatan per kapita penduduk miskin setiap bulan hanya mencapai Rp 121.210. Tahun 2013

meningkat menjadi Rp 206.579 per bulan.

Penurunan angka kemiskinan di Wakatobi tercermin pula dari nilai Angka Harapan Hidup (AHH) yang

semakin membaik. Tahun 2012 nilai AHH Kabupaten Wakatobi yaitu 68,30 tahun. Tahun 2014

meningkat menjadi 69,49. Begitu pula dengan tingkat konsumsi masyarakat. Tahun 2012, tingkat 24.99% 24.51%

(9)

pengeluaran masyarakat Wakatobi yaitu Rp 7.850 per kapita menjadi Rp 8.306 per kapita. Hal ini

menunjukan bahwa tingkat daya beli masyarakat semakin meningkat.

Angka harapan hidup dan tingkat konsumsi merupakan dua dari empat indikator pembentukan nilai

Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Tahun 2012, IPM Wakatobi yaitu 68,78. Tahun 2013

meningkat menjadi 69,77. Tetapi pada tahun 2014 IPM Wakatobi menurun menjadi 66,95. Walaupun

terjadi penurunan, tetapi secara rangking di Sulawesi Tenggara terjadi peningkatan. Tahun 2012 dan

2013, nilai IPM Wakatobi menempati rangking 10 dari 17 kota/kabupaten di Sulawesi Tenggara.

Tahun 2014, rangking IPM Wakatobi naik menjadi peringkat 5. Nilai IPM Wakatobi pada tahun 2014

lebih rendah dibandingkan dengan nilai IPM Sulawesi Tenggara (68,07) dan nasional (68,9).

4.2.2. Analisis Dampak Pembangunan Infrastruktur Bidang Cipta Karya Terhadap Ekonomi Lokal

Masyarakat

Meningkatnya kegiatan pembangunan di Kabupaten Wakatobi dan dalam upaya memenuhi

tuntutan pertumbuhan investasi, Pemerintah Kabupaten Wakatobi terus melakukan penyediaan

dan pengembangan infrastruktur pada segala bidang, penyediaan infrastruktur juga berperan

sebagai pendukung kelancaran kegiatan sektor pertanian, kelautan dan perikanan serta kegiatan

budaya dan pariwisata sebagai leading sektor pembangunan ekonomi di Kabupaten Wakatobi.

Perwujudan pembangunan infrastruktur tersebut dapat terlihat melalui pembangunan maupun

rehabilitasi jalan dan jembatan, pembangunan jalan di Kabupaten Wakatobi sampai saat ini telah

mencapai panjang 383,29 kilometer, baik yang bertipe aspal hotmik, Ready Mixer Asphal (RMA),

jalan rabat semen, maupun timbunan tanah, dari total panjang jalan tersebut 52,04 persen berada

dalam kondisi baik, sehingga dapat memerankan fungsinya sebagai urat nadi perekonomian di

seluruh wilayah Kabupaten Wakatobi.

Selanjutnya untuk meningkatkan pelayanan yang maksimal kepada masyarakat Pemerintah

Kabupaten Wakatobi juga terus berupaya meningkatkan sarana prasana infrastruktur yang tak

kalah pentingnya juga adalah infrastruktur penataan kawasan permukiman yang dapat dilihat dari

sector pelayanan air bersih atau air minum, upaya peningkatan sarana prasarana melalui

penyediaan perpipaan dan sambungan rumah untuk air minum, khususnya untuk masyarakat

berpenghasilan rendah terus mengalami peningkatan secara signifikan.

Optimalisasi dan akses pelayanan air bersih yang distimulir oleh pemerintah daerah Kabupaten

Wakatobi bersama seluruh komponen masyarakat menunjukan kinerja yang sangat baik, data

menunjukan bahwa akses rumah tangga pengguna air bersih telah mencapai angka 90 persen,

melampaui patokan Indicator Millenium Development Goal’s (MDGS) dan atau Standar

Pelayanan Minimal (SPM) bidang air minum yang ditetapkan pemerintah yakni 52,3 persen pada

tahun 2012.

Dalam perjalanan pembangunan selama 10 (sepuluh) tahun, Pemerintah Kabupaten Wakatobi

(10)

masyarakat dalam pengelolaan dan pelestarian sumber daya alam yang didukung dengan

keunikan dan keluhuran budaya serta adat istiadat yang terus dipegang teguh Masayarakat

Wakatobi, mendorong lembaga PBB Unesco untuk memberikan penghargaan pada masyarakat

dan Pemerintah Wakatobi dengan menetapkan kawasan Wakatobi sebagai kawasan cagar biosfer

bumi.

Seluruh rangkaian kegiatan pembangunan yang dilakukan pemerintah Kabupaten Wakatobi

selama 10 (sepuluh) tahun bergulirnya roda pemerintahan, dan 8 (delapan) tahun geliat

pembangunan beranggaran, mendapat sambutan positif dari masyarakat, sebagian besar

masyarakat menyatakan puas atas pelayanan pembangunan dan ekonomi di Wakatobi, dimana

dinamika kehidupan ekonomi sebagai dampak dari kegiatan pembangunan yang dilakukan

membuat semua produk lokal bernilai ekonomi.

4.3 Analisis Lingkungan

Mengacu pada Pasal 15 Undang – Undang No 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan

Pengelolaan Lingkungan Hidup dinyatakan bahwa KLHS adalah rangkaian analisis yang

sistematis, menyeluruh dan partisipatif untuk memastikan bahwa prinsip pembangunan

keberlanjutan telah menjadi dasar dan terintegrasi dalam pembangunan suatu wilayah dan/atau

kebijakan, rencana dan/atau program. KLHS juga memiliki relevansi yang tinggi di dalam

kontekspembangunan daerah, karena KLHS menawarkan dua manfaat utama, yaitu, mengatasi

kelemahan dan keterbatasan AMDAL, dan mempromosikan prinsip-prinsip

pembangunanberkelanjutan dan ramah lingkunganPrinsip dari pengembangan wilayah.

Dampak suatu kegiatan tergolong pentingapabila:

1. Dampak lingkungan berlangsung berulang kali dan terus menerus sehingga pada kurun

waktu tertentu tidak dapat diasimilasi oleh lingkungan alam atau lingkungan sosial yang

menerimanya

2. Berbagai dampak lingkungan bertumpuk pada suatu ruang tertentu sehingga tidak dapat

diasimilasi oleh lingkungan alam atau lingkungan sosial yang menerimanya,

3. Dampak lingkungan dari berbagai sumber kegiatan yang menimbulkan efek yang saling

memperkuat.

Dampak kumulatif lingkungan di Kabupaten Wakatobi padaumumnya akibat berlangsung berulang

kali dan terus menerus,sehingga pada kurun waktu tertentu tidak dapat diasimilasi olehlingkungan

alam atau lingkungan sosial yang menerimanya. Padasaat ini, dampak ini telah terjadi dan

diperkirakan akan terus terjadibila tidak diantisipasi oleh perwujudan struktur dan pola

ruangseperti yang diamanatkan dan RTRW. Dampak kumulatif tersebutadalah sebagai berikut :

1. Dampak positif meliputi :

a. Menurunnya luas lahan kritis.

(11)

c. Terintegrasinya upaya-upaya pengendalian dan rehabilitasi lahan kritis.

d. Meningkatnya jumlah dan debit sumber-sumber mata air.

e. Terselenggaranya pembangunan di Kabupaten Wakatobi yang sesuai dengan Rencana

Tata Ruang Wilayah.

f. Optimalisasi pemanfaatan sumberdaya alam dengan tetap memperhatikan daya dukung

lingkungan.

g. Terpeliharanya ekosistem dan biota pesisir dan perairan laut.

h. Antisipasi dini terhadap dampak pemanasan global dan perubahan iklim.

i. Meningkatnya keaneragaman hayati sumberdaya hutan.

j. Menurunnya kasus-kasus perusakan lingkungan yang disebabkan oleh eksploitasi

sumberdaya alam dan lingkungan hidup yang kurang memperhatikan kelestarian

lingkungan hidup.

k. Meningkatnya partisipasi masyarakat dalam pelestarian sumberdaya hutan.

l. Tersedianya Ruang Terbuka Hijau (RTH) sebesar 30% atau lebih dari luas kawasan.

m. Dipertahankannya lahan-lahan pertanian dan perkebunan.

n. Tersedianya aparatur yang cukup dalam pengendalian dan pengawasan hutan.

o. Tersedianya peraturan daerah tentang pengelolaan hutan.

p. Terdapatnya batas yang jelas antara kawasan lindung dan budidaya.

q. Terlestarikannya keanekaragaman hayati ekosistem pesisir, laut dan terumbu karang.

r. Dipertahankannya kawasan peruntukan hutan bakau.

s. Menurunnya kerusakan lingkungan akibat pertambangan dan industri.

t. Tersedianya sarana dan prasarana pengelolaan sampah dan limbah permukiman.

u. Tersedianya regulasi tentang sistem penanganan bencana di Kabupaten Wakatobi.

2. Dampak Negatif meliputi :

a. Semakin berkurangnya kesempatan masyarakat yang terbiasa dengan perladangan liar,

pembalakan liar dan perambahan hutan.

b. Hilangnya kesempatan masyarakat penambang rakyat sebagai sumber mata

pencaharian.

c. Berkurangnya kesempatan masyarakat yang menjadikan laut sebagai sumber

penghidupan.

3. Peningkatan Kualitas Lingkungan Hidup

Tantangan yang dihadapi dalam pengelolaan sumberdaya alamdan lingkungan hidup adalah

tidak adanya keterpaduanantara kegiatan perlindungan fungsi lingkungan hidup

denganpemanfaatan sumberdaya alam sehingga terjadi konflikkepentingan antara ekonomi

sumberdaya alam(pertambangan, kehutanan) dengan lingkungan. Kebijakanekonomi selama

ini cenderung lebih berpihak terhadap kegiataneksploitasi sumberdaya alam sehingga

(12)

kualitas lingkungan juga terus menurunyang ditunjukkan dengan menurunnya persediaan air

dankualitas air, udara dan atmosfer. Umumnya pencemaran airdari kegiatan manusia

disebabkan oleh kegiatan industri,rumah tangga, pertambangan dan pembukaan lahan

pertanian.Di sisi lain pencemaran udara pada umumnya disebabkan olehindustri dan

kendaraan bermotor yang menggunakan bahanbakar minyak, kebakaran hutan dan lain-lain.

Dari pencemaranair dan udara yang ditimbulkan dapat mengakibatkan terjadinyaakumulasi

berbagai unsur dan senyawa yang membahayakanbagi kelangsungan kehidupan ekosistem.

Selain itu, penerapanprinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan ke dalam sistem,organisasi

maupun program kerja pemerintahan baik dipusat maupun daerah masih belum berjalan

dengan baik

4.4 Identifikasi Isu Pembangunan Berkelanjutan Bidang Cipta Karya

Dari hasil analisis social, ekonomi dan lingkungan yang telah dilakukan, dapat diketahui beberapa

hal yang berhubungan dengan isu pembangunan berkelanjutan di Kab/Kota. Berikut adalah

identifikasi isu pembangunan berkelanjutan bidang Cipta Karya.

Tabel 4.3. Identifikasi Isu Pembangunan Berkelanjutan Bidang Cipta Karya Kabupaten Wakatobi

No Pengelompokan Isu - Isu Pembangunan

Berkelanjutan Bidang Cipta Karya Penjelasan Singkat

4.1 Aspek Sosial

Nilai budaya dan sejarah berpotensi sebagai destinasi dan objek wisata di Kab. Wakatobi

c. Perilaku masyarakat yang memiliki kesadaran rendah akan berpengaruh terhadap kualitas lingkungan dan nilai estetika

Perilaku/kebiasaan masyarakat yang belum berubah terkait sanitasi dan kebersihan lingkungan akan mengakibatkan menurunya kualitas lingkungan. Lingkungan permukiman yang tidak bersih akan mengurangi nilai estetika, terutama dikaitkan wilayahnya lautan maka potensi perikanan dan kelautan sangat potensial, namun untuk saat ini berdasarkan kontribusi sub-sektor perikanan belum memberikan kontribusi yang besar

b. Kegiatan pariwisata merangsang sektor perekonomian wilayah

Berdasarkan hasil analisis sektor unggulan Kabupaten Wakatobi adalah 1) Perdagangan, hotel dan restoran dan 2) Jasa-jasa. Berkembangnya kedua sektor tersebut merupakan indikasi bahwa kegiatan pariwisata, terutama potensi wisata kelautan mempengaruhi perkembangan kedua sektor tersebut

c. Adanya destinasi wisata yang bernilai sejarah dapat menghasilkanmultiplier

(13)

No Pengelompokan Isu - Isu Pembangunan

Berkelanjutan Bidang Cipta Karya Penjelasan Singkat

effect bersejarah, kuburan tua, kesenian khas baik itu tarian, kain adat, maupun upacara adat dan sebagainya yang perlu dilestarikan yang tersebar di hampir semua pulau (dapat dilihat pada tabel Sebaran Potensi Objek Wisata di Kabupaten Wakatobi pada bagian sebelumnya).

4.3 Aspek Lingkungan

a. Kabupaten Wakatobi memiliki keterbatasan sumber daya lahan

Keterbatasan sumberdaya lahan, dimana selain besarnyawilayah lautan, wilayah daratan yang ada-pun sebagian besarrelatif tidak terlalu subur karena terdiri dari struktur batuandan karang

b. Keterbatasan sumber daya air bersih

Sumberdaya air sangat terbatas terutama air bersih/air tawar,dimana berdasarkan data bahwa kapasitas produksi sekitar130 liter/detik, angka ini hanya cukup untuk melayanikebutuhan sampai tahun 2025, karena pada tahun 2030kebutuhan air bersih Kabupaten Wakatobi akan lebihmeningkat lagi, sehingga sebelum tahun 2030 harusdiupayakan mencari sumber-sumber air baru untukmengantisipasi kebutuhan pada tahun tersebut dan tahuntahunyang akan datang yang terus meningkat sesuai lajupertumbuhan penduduk

c. Kabupaten Wakatobi rawan bencana alam

Sebagai wilayah kepulauan, potensi bencana yang ada perluditindaklanjuti dengan langkah-langkah mitigasi bencanadengan pengaturan pola dan struktur ruang yang terencana

d. Keankaragaman hayati yang sangat potensial

Sebagai pusat segitiga terumbu karang dunia keberadaan risetkelautan (marine research center) berperan penting dalampengembangan kawasan TNL Wakatobi.

Sumber: Hasil Analisis 2016

4.5 Analisis Studi Lanjutan Dampak Pembangunan di Kabupaten Wakatobi

Dalam kepariwisataan terdapat banyak pembangunan – pembangunan hotel atau resort sebagai

fasilitas pendukung kegiatan pariwisata. Untuk itu perlu dilakukan kajian lebih lanjut mengenai

dampak terhadap lingkungan, ekonomi maupun social dari pembangunan tersebut.

Tabel 4.4. Studi Lanjutan Dampak Pembangunan

No Kegiatan Studi Lanjutan Ket

1 Pembangunan Hotel Feasibility Study(Studi Kelayakan)

Referensi

Dokumen terkait

7.Berapa banyak perintah yang dapat dituliskan ke file history saat anda keluar dari sesi Shell sekarang. 8.Pastikan Shell bash anda nanti akan mampu mengingat 5000 perintah yang

Metode analisis yang digunakan pada penelitian ini adalah analisis kualitatif berupa deskripsi dari hasil survei primer yang dilakukan pada pihak bank dan nasabah yang digunakan

Hasil penelitian ini bertolak belakang dengan penelitian yang dilakukan oleh Ainur Rachman (2015) dalam penelitiannya yang berjudul pengaruh inflasi, nilai tukar rupiah,

Lokal Kitab Fathul Qorib dalam Meningkatkan Pemahaman Mata Pelajaran Fiqih (Studi Kasus di MTs NU Miftahul Falah Cendono Dawe Kudus) ”.

Berdasarkan persepsi responden, penelitian terdahulu yang relevan, maupun dari hasil temuan melalui uju regresi dalam penelitian ini maka dapat dinyatakan bahwa

salah satu dari sifat kepribadian yang dimiliki individu. Rasa percaya diri merupakan adanya kepercayaan mengenai. kemapuan diri sehingga sanggup menghadapi tugas dan

Tapi juga keperluan Junaedi, kadang sayajarang bisa memenuhi, masalahnya ya kebutuhan keluarga, Bapaknya kan waktu itu nggak ada, jadi saya buat makan sama adik-adiknya,

Mengacu pernyataan Tjokroaminoto bahwa etos kerja berbeda antarberbagai segmen masyarakat, maka perilaku ekonomi pedagang dalam bingkai ‘gusjigang’ ini juga akan difokuskan