1
BAB 4
ANALISIS SOSIAL, EKONOMI, DAN LINGKUNGAN
4.1. Analisis Sosial
Aspek sosial budaya masyarakat di suatu wilayah sangat berpengaruh terhadap tingkat dan pola
perkembangan wilayah tersebut. Sering kali sosial budaya masyarakat menjadi pendorong
sekaligus penghambat berkembangnya suatu wilayah ataupun Kota. Kabupaten Wakatobi yang
terdiri dari 4(empat) pulau utama yaitu Pulau Wangi Wangi, Kaledupa, Tomia, dan Binongko
dengan adat istiadat dan sosial budaya yang berbeda, tidak berarti bahwa dengan keberagaman
suku danadat budaya di Wakatobi akan berpengaruh terhadap beragamnya persepsi atau
perbedaan masyarakat dalam pembangunan, menjadi alat pemersatu dalam membangun
Wakatobi dengan mengutamakan kepentingan bersama di atas kepentingan pribadi ataupun
golongan. Dari data. menunjukkan bahwa di Kabupaten Wakatobi terdapat beberapa suku bangsa
yang mendiami wilayah tersebut diantaranya adalah; Suku Buton, Wakatobi, Bugis, Makassar,
Bajo, Muna, Jawa, Bali dan suku lainnya. Adapun suku yang dominan terdapat di Kabupaten
Wakatobi yaitu Suku Wakatobi 91,33%, dan Bajo 7,92% serta suku lainnya relatif sedikit yang
merupakan masyarakat pendatang.
Laut adalah bagian dari kehidupan yang tidak dapat dipisahkan “ pinde kulitang kadare, bone pinde same kadare”yang artinya memindahkan orang bajo (hidup) didarat sama hanya memindahkan penyu (hidup) didarat. Ungakapan tersebut untuk menggambarkan suatu hal yang
tidak mungkin terjadi karena sudah kehendak takdir alam dan akulturasi budaya yang dianut
secara turun temurun. Namun demikiman mereka tetap mendarat untuk mengambil air tawar, kayu
bakar dan keperluan lainnya sebagai bekal.
Permukiman di atas air di Kabupaten Wakatobi didiami oleh penduduk suku bajo yang merupakan
sala satu suku yang ada di Kabupaten Wakatobi, menurut sejarahnya dan sejumlah antropolog
mencatat, suku Bajo lari ke laut karena mereka menghindari perang dan kericuhan di darat. Sejak
itu, bermunculan manusia-manusia perahu yang sepenuhnya hidup di atas air. Nama suku Bajo
diberikan oleh warga suku lain di Pulau Sulawesi sendiri atau di luar Pulau Sulawesi. Sedangkan
warga suku Bajo menyebut dirinya sebagai suku Same. Dan, mereka menyebut warga di luar
sukunya sebagai suku Bagai.
Di mana ada laut, maka di sanalah suku Same itu mencari nafkah. Dengan bernelayan, tentu saja.
Bila prediksi dampak perubahan iklim benar-benar terjadi antara 2050-2100, suku Bajo boleh
dibilang masyarakat paling siap menghadapinya. Pasalnya, sejak lahir, keturunan suku Bajo
sudah dikenalkan dengan kehidupan di atas permukaan air. Di tengah kesibukan para ilmuwan
mencari solusi dari perubahan iklim, ternyata sebagian jawabannya ada pada kearifan suku Bajo.
2 atau Bajau merupakan sekumpulan orang yang menggantungkan hidupnya di laut. “Boleh dibilang
hidup dan mati mereka bergantung dengan laut.
Suku Bajo lahir dan hidup di laut. Mereka memiliki ketangguhan untuk mengarungi lautan sebagai
bagian dari sejarah dan jati dirinya. Meski saat ini banyak yang tinggal di darat tetapi
ketergantungan suku ini terhadap laut belumlah hilang. Anak-anak mereka berteman dan bermain
dengan laut, mereka hidup dan dihidupi dengan lingkungan laut. Meresap dan melekat dalam
keseharian mereka tentang adat-tradisi serta kearifan lokal untuk mengelola ekosistem laut di
bagian manapun di Nusantara ini, bahkan hingga negeri tetangga.
Berdasarkan historikal bahwa suku bajo Di Sulawesi Tenggara, berdiam di pesisir Konawe dan
Kolaka. Bahkan suku Bajo di Desa Bangko, Kecamatan Maginti Pulau Muna, sudah ada sejak
abad ke-16. Tersebar juga hunian suku Bajo di Pulau Kabaena, Pulau Wolio, Pulau Buton,
KepulauanWakatobi(Pulau Kaledupa, Pulau Wangi Wangi dan Pulau Tomia).
Di sisi lain, para peneliti kesulitan mendapatkan data akurat tentang asal-usul nenek moyang suku
Bajo. Menurut Laporan, ada berbagai macam versi sejarah diwayat leluhur mereka. Versi cerita
rakyat menyebutkan suku Bajo berasal dari Johor, Malaysia. Ada pula yang mengatakan berasal
dari Filipina atau Bone (Sulawesi Selatan). Namun, menurut Dr. Munsi Lampe, antropolog dari
Universitas Hasanuddin Makassar, jumlah suku Bajo yang menggantungkan hidupnya di atas
perahu diperkirakan semakin sedikit karena hidup menepi di pesisir pantai dan mendirikan rumah
panggung. Digambarkan dalam buku Menyiasati Perubahan Iklim di Wilayah Pesisir dan
Pulau-pulau Kecil, rumah panggung suku Bajo dibangun menggunakan bahan yang terbilang ramah
lingkungan. Dindingnya terbuat kombinasi kayu dan anyaman bambu. Sedangkan bagian atap dari
daun rumbia.
Gambar 4.1.Permukiman Suku Bajo
Awal terbentuknya perkampungan Bajo mulanya berawal di Keledupa. Salah satu perkampungan
Suku Bajo Horou sekarang Mantigola, dan Kampung Mola adalah merupakan warga pindahan dari
Kampung Horou, mereka pindah karena adanya gangguan dari DI/TII. Sebelum menetap di
kampung Mola Sekarang. Mereka sempat tinggal di atas perahu untuk beberapa saat, setelah
mendapat izin dari ketua adat Desa Liya, akhirnya mereka bisa membangun rumah diatas air.
Sesuai dengan perjalanan waktu, kini permukiman mereka sudah bersatu dengan daratan.
3 Kaledupa karena keterbatasan areal bermukim dan ingin mencari tempat yang mereka anggap
sesuai maka sebagian warga yang ada menetap di Pulau Kaledupa. Sekarang Sampela dan
Lamanggau di Tomia Adapun Bajo Lohoa di Kecamatan Kaledupa Selatan merupakan kawasan
permukiman suku Bajo yang baru muncul.
Meskipun kini, komunitas Bajo, khususnya di Sulawesi Tenggara, umumnya hidup menetap di
rumah panggung. namun mereka tak melupakan laut. Hunian mereka didirikan di sepanjang pesisir
atau menjorok ke laut dangkal. Desa Sama Bahari (Bajo Sampela) merupakan salah satu
perkampungan ”terapung” Bajo yang terpisah 800 meter dari daratan, Setiap rumah terhubung
dengan jembatan kayu sebagai lalu lintas pejalan kaki. Sampan warga hilir mudik di sela-sela
permukiman melalui kanal. Setiap rumah dilengkapi 2-3 sampan atau perahu. Aktivitas melaut 24
jam nonstop.
Gambar 4.2.Transformasi Suku Bajo yang sudah membangun rumah di daratan
Masyarakat senantiasa berubah di semua tingkat kompleksitas internalnya. Di tingkat makro terjadi
perubahan ekonomi, politik, dan kultur. Di tingkat meso terjadi perubahan kelompok, komunitas, dan
organisasi. Di tingkat mikro terjadi perubahan interaksi dan perilaku individual. Dalam masyarakat
kini terkandung pengaruh, bekas, dan jiplakan masa lalu serta bibit potensi untuk masa depan. Sifat
berprosesnya masyarakat secara tersirat berarti bahwa fase sebelumnya berhubungan sebab akibat
dengan fase kini dan fase kini merupakan prasyarat sebab akibat yang menetukan fase berikutnya
(Sztompka, 2005).
Transformasi ekonomi pedesaan tidak terkecuali juga dialami oleh komunitas nelayan suku Bajo.
Fenomena sosial ini sekaligus membuktikan bahwa masyarakat lokal mampu melakukan mobilitas
sosial melalui ekspansi usaha ke arah cara produksi pasar. Dahulu suku Bajo masih hidup dengan
sistem ekonomi subsisten yang dilakukan dengan cara berburu, dan berpindah-pindah,
penangkapan ikan hanya untuk memenuhi kebutuhan pangan diri dan keluarganya (Zacot, 2002).
Seiring dengan dimulainya relokasi masyarakat Bajo ke daratan, rupanya membawa implikasi
terhadap kehidupan sosial, ekonomi, maupun budaya. Awalnya ketika masyarakat Bajo masih hidup
4 tempat lain. Perdagangan hanya dilakukan dengan sistem barter. Untuk persediaan sehari-hari
mereka, kelompok pengembara ini berbuat sebagai berikut : sebuah kelompok kecil pergi ke pantai
pada hari-hari pasar, apakah itu pasar terapung atau pasar di darat. Mereka menukar ikan-ikan
tangkapan mereka dengan kebutuhan lain atau peralatan yang mereka butuhkan. Namun, setelah
proses relokasi, sendi-sendi kehidupan masyarakat Bajo mulai berubah sejalan dengan menetapnya
masyarakat Bajo di pinggir pantai dengan membuat rumah-rumah terapung. Masyarakat Bajo mulai
mengenal ekonomi uang (artinya mulai mengenal kemiskinan) dan pasar, generasi muda Bajo mulai
diperkenalkan dengan sekolah formal, serta mau tidak mau harus mengakui dan takluk terhadap
legitimasi pemerintah sebagai suatu supra sistem kehidupan mereka.
Gambar 4.3.T r a n s f o r m a s i E k o n
Gambar 4.3 Transformasi Suku Bajo dari sistem barter ke retail
Transformasi yang dialami masyarakat Bajo saat ini juga merujuk pada perubahan masyarakat
pedesaan berbasis pada pertumbuhan dan mekanisme pasar. Transformasi yang terjadi di dalam
proses produksi diarahkan untuk menghasilkan surplus.
Mola adalah gambaran unik komunitas nelayan Bajo yang telah mengalami transformasi sosial
dalam bentuk modernisasi (Harian Kompas, Senin 28 Juni 2010). Komunitas Bajo Mola menggeliat,
perkembangan ekonomi berkembang dengan pesat, ini ditandai dengan skala usaha yang condong
kearah pemasaran barang dan jasa. Penggunaan alat tangkap yang modern, terjadi akumulasi
modal untuk ekspansi usaha, menggunakan sistem upah tenaga kerja, yang dahulu hanya
mengandalkan tenaga kerja keluarga. Kenyataan ini jauh berbeda dengan kampung-kampung Bajo
lainnya di Kabupaten Wakatobi, antara lain kampung Bajo Lamanggau, Lo Hoa, Sama Bahari
maupun Mantigola. Para nelayan Bajo Mola telah banyak menjadi pengumpul besar, dan
menguasai jalur perdagangan ekspor kerapu hidup ke Hongkong melalui Bali. Kemajuan-kemajuan
yang dicapai di atas memang mengesankan, namun kemajuan yang dicapai juga menimbulkan
konsekuensi tersendiri yakni ketidakmerataan ekonomi, antara lain pola distribusi keuntungan yang
5 Selanjutnya, saat ini nelayan Bajo khususnya Mola tidak menjadikan laut sebagai satu-satunya
sumberdaya yang digunakan untuk mencari nafkah. Nelayan Mola tidak lagi berorientasi pada
upaya untuk bertahan hidup (survival) melainkan juga untuk memperbaiki status kehidupan mereka
(consolidating strategy). Nafkah tidak lagi hanya diarahkan sebagai sesuatu yang harus dilakukan
(necessity) melainkan juga sebagai suatu pilihan-pilihan rasional (rational choices). Strategi nafkah
yang dilakukan nelayan Bajo Mola antara lain dengan melakukan diversifikasi nafkah di luar
kegiatan menangkap ikan, dan melakukan migrasi ke pulau-pulau lainnya, hingga ke luar negeri.
Kegiatan menangkap ikan tidak hanya dilakukan disekitar perairan Wakatobi saja melainkan juga
melakukan penangkapan di laut Arafura, dan menangkap hiu di Pepela NTT.
Gambar 4.4.Transformasi Permukiman Suku Bajo di Mola sebagai ODTW
4.1.1. Pengarasutamaan Gender
Perhitungan Sex Ratio menggunakan asumsi jumlah penduduk perempuan per 100 penduduk laki –
laki, dengan jumlah penduduk perempuan berbanding dengan jumlah penduduk laki-laki. Hal ini
dikarenakan dalam perhitungan mengasumsikan jumlah laki-laki sebagai pembanding yang
berdasarkan pada ketentuan islam yaitu laki-laki sebagai imam, sehingga diasumsikan setiap 100
jiwa laki-laki terdapat beberapa jiwa perempuan.
Sex ratio merupakan analisis dari jumlah penduduk menurut jenis kelamin memiliki peran penting
dalam pembangunan suatu wilayah karena analisis ini berhubungan dengan demografi dan sosial
ekonomi suatu masyarakat. Sex Ratio di Kabupaten wakatobi dari tahun 2010 – 2014 tidak
mengalami peningkatan yang signifikan, rata – rata memiliki perbandingan 100 : 108, yang dimana
setiap 100 jiwa laki – laki terdapat 108 jiwa perempuan. Untuk lebih jelas dapat dilihat padatabel
6
Tabel 4.1. Jumlah Penduduk Kabupaten Wakatobi Menurut Jenis Kelamin Tahun 2010 - 2014
No Kecamatan
Tahun 2010
Ratio 100 :
2011
Ratio 100 :
2012
Ratio 100 :
2013
Ratio 100 :
2014
Ratio 100 :
Laki
-Laki Perempuan
Laki
-Laki Perempuan
Laki –
Laki Perempuan
Laki
-Laki Perempuan
Laki
-Laki Perempuan
1 Binongko 4.027 4.337 108 4.006 4.326 108 3.987 4.308 108 3.968 4.300 108 3.946 4.230 107
2 Togo Binongko 2.257 2.437 108 2.241 2.430 108 2.226 2.371 107 2.211 2.368 107 2.194 2.356 107
3 Tomia 3.319 3.606 109 3.336 3.597 108 3.353 3.630 108 3.370 3.624 108 3.384 3.654 108
4 Tomia Timur 4.057 4.386 108 3.975 4.326 109 3.896 4.211 108 3.818 4.155 109 3.739 4.038 108
5 Kaledupa 4.809 5.215 108 4.868 5.298 109 4.930 5.372 109 4.903 5.412 110 5.051 5.480 108
6 Kaledupa Selatan 3.187 3.187 100 3.193 3.193 100 3.198 3.969 124 3.205 3.962 124 3.208 3.942 123
7 Wangi - Wangi 11.247 11.842 105 11.482 12.102 105 11.726 12.342 105 11.976 12.563 105 12.220 12.836 105
8 Wangi - Wangi Selatan 55.747 59.916 107 33.677 36.143 107 22.804 24.511 107 11.376 12.186 107 11.771 12.740 108
Jumlah 88.650 94.926 854 66.778 71.415 855 56.120 60.714 877 44.827 48.570 878 45.513 49.276 875
4.1.2. Identifikasi Kebutuhan Penanganan Sosial Pasca Pembangunan Infrastruktur Bidang Cipta
Karya
Pembangunan Kabupaten Wakatobi melalui Rencana Program Investasi Jangka Menengah
(RPIJM) Bidang Cipta Karya diharapkan mampu mewujudkan keterpaduan, integrasi
perencanaan, sinkronisasi program dan penentuan prioritas dalam pembangunan pelaksanaan
daerah. Maka dari itu agar tujuan dari pembangunan bidang Cipta Karya tercapai, diperlukan
penanganan sosial pasca pembangunan infrastruktur bidang Cipta Karya, antara lain :
1. Prioritas pengembangan difokuskan pada sempadan wilayah pesisir, wilayah kumuh
perdesaan diperbukitan pulau Kabupaten Wakatobi sekaligus kawasan penyangga air
sehingga sebagian upaya untuk mengamankan sistim tata air dan kawasan lindung.
2. Melakukan peremajaan/redevelopment perumahan dan permukiman kawasan permukiman kumuh, perlu mendapat perhatian sebagai salah satu upaya pemanfaatan ruang yang serasi.
Upaya ini dapat merupakan eksperimen percontohan pengembangan lingkungan, misalnya
dengan program perbaikan kampung dan rumah susun (RUSUN).
3. Melakukan Pengembangan rencana sistem transportasi, perencanaan dalam sistem
pergerakan meliputi pengaturan sistem dan pengembangan jaringan jalan, rute dan sarana
angkutan umum serta perparkiran.
4. Melakukan pengembangan air bersih, Upaya pelayanan air bersih dapat dilakukan dengan:
pengaturan distribusi air setiap dua hari sekali, pembangunan jaringan primer air bersih baru,
dan pengembangan jaringan air bersih ke lokasi rencana industri, perbaikan pipa jaringan yang
tidak efektif lagi, dan penggunaan teknologi semacambooster pumpuntuk melayani daerah di
daerah dataran tinggi.
5. Melakukan pengembangan jaringan listrik dan jaringan telepon, upaya peningkatan pelayanan
terhadap kebutuhan listrik dan komunikasi pada Kabupaten Wakatobi
4.2. Analisis Ekonomi
4.2.1. Analisis Tingkat Kemiskinan
Analisisekonomi pada perencanaan pembangunan bidang Cipta Karya diharapkan mampu
melengkapi kajian perencanaan teknis sektoral. Salah satu aspek yang perlu ditindak- lanjuti
adalah isu kemiskinan. Kajian analisisekonomilebih menekankan pada manusianya sehingga yang
disasar adalah kajian mengenai penduduk miskin, mencakup data eksisting, persebaran,
karakteristik, sehingga kebutuhan penanganannya. Berikut adalah perkembangan garis
Tabel 4.2. Perkembangan Garis Kemiskinan di Kabupaten WakatobiTahun 2006 - 2014
2006 121.310 24,53 24,99 3,84 0,87
2007 125.420 24,38 24,51 3,67 0,89
2008 151.202 24,86 22,53 5,50 1,73
2009 179.390 23,05 20,42 3,76 1,14
2010 191.496 18,49 18,52 3,21 0,96
2011 198.229 17,10 16,36 2,49 0,61
2012 202.103 15,06 15,99 1,68 0,25
2013 206.570 16,46 17,40 2,11 0,37
2014 - 15,63 16,36 -
-Sumber: Wakatobi Dalam Angka Tahun 2015
Gambar 4.5.Persentase Kemiskinan Kabupaten Wakatobi 2006 – 2014
Tabel 4.2 diatas menyajikan data tingkat kemiskinan di Kabupaten Wakatobi. Jumlah penduduk
miskin semakin tahun semakin berkurang. Penurunan setiap tahun cukup signifikan seperti terlihat
pada grafik persentase kemiskinan di atas. Tahun 2006, persentase jumlah penduduk di Wakatobi
sekitar 25% dan pada tahun 2014 persentase jumlah penduduk miskin hanya sekitar 16,36%.
Pendapatan per kapita dari penduduk miskin setiap tahun nya terjadi peningkatan. Tahun 2006,
pendapatan per kapita penduduk miskin setiap bulan hanya mencapai Rp 121.210. Tahun 2013
meningkat menjadi Rp 206.579 per bulan.
Penurunan angka kemiskinan di Wakatobi tercermin pula dari nilai Angka Harapan Hidup (AHH) yang
semakin membaik. Tahun 2012 nilai AHH Kabupaten Wakatobi yaitu 68,30 tahun. Tahun 2014
meningkat menjadi 69,49. Begitu pula dengan tingkat konsumsi masyarakat. Tahun 2012, tingkat 24.99% 24.51%
pengeluaran masyarakat Wakatobi yaitu Rp 7.850 per kapita menjadi Rp 8.306 per kapita. Hal ini
menunjukan bahwa tingkat daya beli masyarakat semakin meningkat.
Angka harapan hidup dan tingkat konsumsi merupakan dua dari empat indikator pembentukan nilai
Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Tahun 2012, IPM Wakatobi yaitu 68,78. Tahun 2013
meningkat menjadi 69,77. Tetapi pada tahun 2014 IPM Wakatobi menurun menjadi 66,95. Walaupun
terjadi penurunan, tetapi secara rangking di Sulawesi Tenggara terjadi peningkatan. Tahun 2012 dan
2013, nilai IPM Wakatobi menempati rangking 10 dari 17 kota/kabupaten di Sulawesi Tenggara.
Tahun 2014, rangking IPM Wakatobi naik menjadi peringkat 5. Nilai IPM Wakatobi pada tahun 2014
lebih rendah dibandingkan dengan nilai IPM Sulawesi Tenggara (68,07) dan nasional (68,9).
4.2.2. Analisis Dampak Pembangunan Infrastruktur Bidang Cipta Karya Terhadap Ekonomi Lokal
Masyarakat
Meningkatnya kegiatan pembangunan di Kabupaten Wakatobi dan dalam upaya memenuhi
tuntutan pertumbuhan investasi, Pemerintah Kabupaten Wakatobi terus melakukan penyediaan
dan pengembangan infrastruktur pada segala bidang, penyediaan infrastruktur juga berperan
sebagai pendukung kelancaran kegiatan sektor pertanian, kelautan dan perikanan serta kegiatan
budaya dan pariwisata sebagai leading sektor pembangunan ekonomi di Kabupaten Wakatobi.
Perwujudan pembangunan infrastruktur tersebut dapat terlihat melalui pembangunan maupun
rehabilitasi jalan dan jembatan, pembangunan jalan di Kabupaten Wakatobi sampai saat ini telah
mencapai panjang 383,29 kilometer, baik yang bertipe aspal hotmik, Ready Mixer Asphal (RMA),
jalan rabat semen, maupun timbunan tanah, dari total panjang jalan tersebut 52,04 persen berada
dalam kondisi baik, sehingga dapat memerankan fungsinya sebagai urat nadi perekonomian di
seluruh wilayah Kabupaten Wakatobi.
Selanjutnya untuk meningkatkan pelayanan yang maksimal kepada masyarakat Pemerintah
Kabupaten Wakatobi juga terus berupaya meningkatkan sarana prasana infrastruktur yang tak
kalah pentingnya juga adalah infrastruktur penataan kawasan permukiman yang dapat dilihat dari
sector pelayanan air bersih atau air minum, upaya peningkatan sarana prasarana melalui
penyediaan perpipaan dan sambungan rumah untuk air minum, khususnya untuk masyarakat
berpenghasilan rendah terus mengalami peningkatan secara signifikan.
Optimalisasi dan akses pelayanan air bersih yang distimulir oleh pemerintah daerah Kabupaten
Wakatobi bersama seluruh komponen masyarakat menunjukan kinerja yang sangat baik, data
menunjukan bahwa akses rumah tangga pengguna air bersih telah mencapai angka 90 persen,
melampaui patokan Indicator Millenium Development Goal’s (MDGS) dan atau Standar
Pelayanan Minimal (SPM) bidang air minum yang ditetapkan pemerintah yakni 52,3 persen pada
tahun 2012.
Dalam perjalanan pembangunan selama 10 (sepuluh) tahun, Pemerintah Kabupaten Wakatobi
masyarakat dalam pengelolaan dan pelestarian sumber daya alam yang didukung dengan
keunikan dan keluhuran budaya serta adat istiadat yang terus dipegang teguh Masayarakat
Wakatobi, mendorong lembaga PBB Unesco untuk memberikan penghargaan pada masyarakat
dan Pemerintah Wakatobi dengan menetapkan kawasan Wakatobi sebagai kawasan cagar biosfer
bumi.
Seluruh rangkaian kegiatan pembangunan yang dilakukan pemerintah Kabupaten Wakatobi
selama 10 (sepuluh) tahun bergulirnya roda pemerintahan, dan 8 (delapan) tahun geliat
pembangunan beranggaran, mendapat sambutan positif dari masyarakat, sebagian besar
masyarakat menyatakan puas atas pelayanan pembangunan dan ekonomi di Wakatobi, dimana
dinamika kehidupan ekonomi sebagai dampak dari kegiatan pembangunan yang dilakukan
membuat semua produk lokal bernilai ekonomi.
4.3 Analisis Lingkungan
Mengacu pada Pasal 15 Undang – Undang No 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup dinyatakan bahwa KLHS adalah rangkaian analisis yang
sistematis, menyeluruh dan partisipatif untuk memastikan bahwa prinsip pembangunan
keberlanjutan telah menjadi dasar dan terintegrasi dalam pembangunan suatu wilayah dan/atau
kebijakan, rencana dan/atau program. KLHS juga memiliki relevansi yang tinggi di dalam
kontekspembangunan daerah, karena KLHS menawarkan dua manfaat utama, yaitu, mengatasi
kelemahan dan keterbatasan AMDAL, dan mempromosikan prinsip-prinsip
pembangunanberkelanjutan dan ramah lingkunganPrinsip dari pengembangan wilayah.
Dampak suatu kegiatan tergolong pentingapabila:
1. Dampak lingkungan berlangsung berulang kali dan terus menerus sehingga pada kurun
waktu tertentu tidak dapat diasimilasi oleh lingkungan alam atau lingkungan sosial yang
menerimanya
2. Berbagai dampak lingkungan bertumpuk pada suatu ruang tertentu sehingga tidak dapat
diasimilasi oleh lingkungan alam atau lingkungan sosial yang menerimanya,
3. Dampak lingkungan dari berbagai sumber kegiatan yang menimbulkan efek yang saling
memperkuat.
Dampak kumulatif lingkungan di Kabupaten Wakatobi padaumumnya akibat berlangsung berulang
kali dan terus menerus,sehingga pada kurun waktu tertentu tidak dapat diasimilasi olehlingkungan
alam atau lingkungan sosial yang menerimanya. Padasaat ini, dampak ini telah terjadi dan
diperkirakan akan terus terjadibila tidak diantisipasi oleh perwujudan struktur dan pola
ruangseperti yang diamanatkan dan RTRW. Dampak kumulatif tersebutadalah sebagai berikut :
1. Dampak positif meliputi :
a. Menurunnya luas lahan kritis.
c. Terintegrasinya upaya-upaya pengendalian dan rehabilitasi lahan kritis.
d. Meningkatnya jumlah dan debit sumber-sumber mata air.
e. Terselenggaranya pembangunan di Kabupaten Wakatobi yang sesuai dengan Rencana
Tata Ruang Wilayah.
f. Optimalisasi pemanfaatan sumberdaya alam dengan tetap memperhatikan daya dukung
lingkungan.
g. Terpeliharanya ekosistem dan biota pesisir dan perairan laut.
h. Antisipasi dini terhadap dampak pemanasan global dan perubahan iklim.
i. Meningkatnya keaneragaman hayati sumberdaya hutan.
j. Menurunnya kasus-kasus perusakan lingkungan yang disebabkan oleh eksploitasi
sumberdaya alam dan lingkungan hidup yang kurang memperhatikan kelestarian
lingkungan hidup.
k. Meningkatnya partisipasi masyarakat dalam pelestarian sumberdaya hutan.
l. Tersedianya Ruang Terbuka Hijau (RTH) sebesar 30% atau lebih dari luas kawasan.
m. Dipertahankannya lahan-lahan pertanian dan perkebunan.
n. Tersedianya aparatur yang cukup dalam pengendalian dan pengawasan hutan.
o. Tersedianya peraturan daerah tentang pengelolaan hutan.
p. Terdapatnya batas yang jelas antara kawasan lindung dan budidaya.
q. Terlestarikannya keanekaragaman hayati ekosistem pesisir, laut dan terumbu karang.
r. Dipertahankannya kawasan peruntukan hutan bakau.
s. Menurunnya kerusakan lingkungan akibat pertambangan dan industri.
t. Tersedianya sarana dan prasarana pengelolaan sampah dan limbah permukiman.
u. Tersedianya regulasi tentang sistem penanganan bencana di Kabupaten Wakatobi.
2. Dampak Negatif meliputi :
a. Semakin berkurangnya kesempatan masyarakat yang terbiasa dengan perladangan liar,
pembalakan liar dan perambahan hutan.
b. Hilangnya kesempatan masyarakat penambang rakyat sebagai sumber mata
pencaharian.
c. Berkurangnya kesempatan masyarakat yang menjadikan laut sebagai sumber
penghidupan.
3. Peningkatan Kualitas Lingkungan Hidup
Tantangan yang dihadapi dalam pengelolaan sumberdaya alamdan lingkungan hidup adalah
tidak adanya keterpaduanantara kegiatan perlindungan fungsi lingkungan hidup
denganpemanfaatan sumberdaya alam sehingga terjadi konflikkepentingan antara ekonomi
sumberdaya alam(pertambangan, kehutanan) dengan lingkungan. Kebijakanekonomi selama
ini cenderung lebih berpihak terhadap kegiataneksploitasi sumberdaya alam sehingga
kualitas lingkungan juga terus menurunyang ditunjukkan dengan menurunnya persediaan air
dankualitas air, udara dan atmosfer. Umumnya pencemaran airdari kegiatan manusia
disebabkan oleh kegiatan industri,rumah tangga, pertambangan dan pembukaan lahan
pertanian.Di sisi lain pencemaran udara pada umumnya disebabkan olehindustri dan
kendaraan bermotor yang menggunakan bahanbakar minyak, kebakaran hutan dan lain-lain.
Dari pencemaranair dan udara yang ditimbulkan dapat mengakibatkan terjadinyaakumulasi
berbagai unsur dan senyawa yang membahayakanbagi kelangsungan kehidupan ekosistem.
Selain itu, penerapanprinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan ke dalam sistem,organisasi
maupun program kerja pemerintahan baik dipusat maupun daerah masih belum berjalan
dengan baik
4.4 Identifikasi Isu Pembangunan Berkelanjutan Bidang Cipta Karya
Dari hasil analisis social, ekonomi dan lingkungan yang telah dilakukan, dapat diketahui beberapa
hal yang berhubungan dengan isu pembangunan berkelanjutan di Kab/Kota. Berikut adalah
identifikasi isu pembangunan berkelanjutan bidang Cipta Karya.
Tabel 4.3. Identifikasi Isu Pembangunan Berkelanjutan Bidang Cipta Karya Kabupaten Wakatobi
No Pengelompokan Isu - Isu Pembangunan
Berkelanjutan Bidang Cipta Karya Penjelasan Singkat
4.1 Aspek Sosial
Nilai budaya dan sejarah berpotensi sebagai destinasi dan objek wisata di Kab. Wakatobi
c. Perilaku masyarakat yang memiliki kesadaran rendah akan berpengaruh terhadap kualitas lingkungan dan nilai estetika
Perilaku/kebiasaan masyarakat yang belum berubah terkait sanitasi dan kebersihan lingkungan akan mengakibatkan menurunya kualitas lingkungan. Lingkungan permukiman yang tidak bersih akan mengurangi nilai estetika, terutama dikaitkan wilayahnya lautan maka potensi perikanan dan kelautan sangat potensial, namun untuk saat ini berdasarkan kontribusi sub-sektor perikanan belum memberikan kontribusi yang besar
b. Kegiatan pariwisata merangsang sektor perekonomian wilayah
Berdasarkan hasil analisis sektor unggulan Kabupaten Wakatobi adalah 1) Perdagangan, hotel dan restoran dan 2) Jasa-jasa. Berkembangnya kedua sektor tersebut merupakan indikasi bahwa kegiatan pariwisata, terutama potensi wisata kelautan mempengaruhi perkembangan kedua sektor tersebut
c. Adanya destinasi wisata yang bernilai sejarah dapat menghasilkanmultiplier
No Pengelompokan Isu - Isu Pembangunan
Berkelanjutan Bidang Cipta Karya Penjelasan Singkat
effect bersejarah, kuburan tua, kesenian khas baik itu tarian, kain adat, maupun upacara adat dan sebagainya yang perlu dilestarikan yang tersebar di hampir semua pulau (dapat dilihat pada tabel Sebaran Potensi Objek Wisata di Kabupaten Wakatobi pada bagian sebelumnya).
4.3 Aspek Lingkungan
a. Kabupaten Wakatobi memiliki keterbatasan sumber daya lahan
Keterbatasan sumberdaya lahan, dimana selain besarnyawilayah lautan, wilayah daratan yang ada-pun sebagian besarrelatif tidak terlalu subur karena terdiri dari struktur batuandan karang
b. Keterbatasan sumber daya air bersih
Sumberdaya air sangat terbatas terutama air bersih/air tawar,dimana berdasarkan data bahwa kapasitas produksi sekitar130 liter/detik, angka ini hanya cukup untuk melayanikebutuhan sampai tahun 2025, karena pada tahun 2030kebutuhan air bersih Kabupaten Wakatobi akan lebihmeningkat lagi, sehingga sebelum tahun 2030 harusdiupayakan mencari sumber-sumber air baru untukmengantisipasi kebutuhan pada tahun tersebut dan tahuntahunyang akan datang yang terus meningkat sesuai lajupertumbuhan penduduk
c. Kabupaten Wakatobi rawan bencana alam
Sebagai wilayah kepulauan, potensi bencana yang ada perluditindaklanjuti dengan langkah-langkah mitigasi bencanadengan pengaturan pola dan struktur ruang yang terencana
d. Keankaragaman hayati yang sangat potensial
Sebagai pusat segitiga terumbu karang dunia keberadaan risetkelautan (marine research center) berperan penting dalampengembangan kawasan TNL Wakatobi.
Sumber: Hasil Analisis 2016
4.5 Analisis Studi Lanjutan Dampak Pembangunan di Kabupaten Wakatobi
Dalam kepariwisataan terdapat banyak pembangunan – pembangunan hotel atau resort sebagai
fasilitas pendukung kegiatan pariwisata. Untuk itu perlu dilakukan kajian lebih lanjut mengenai
dampak terhadap lingkungan, ekonomi maupun social dari pembangunan tersebut.
Tabel 4.4. Studi Lanjutan Dampak Pembangunan
No Kegiatan Studi Lanjutan Ket
1 Pembangunan Hotel Feasibility Study(Studi Kelayakan)