TESIS
TINDAK PIDANA TERKAIT SODOMI TERHADAP ANAK DALAM
PERSPEKTIF PERLINDUNGAN ANAK
OLEH
RATNA WIDIYATI, S.H.
NIM 031224153022
PROGRAM STUDI MAGISTER HUKUM
MINAT STUDI ILMU HUKUM
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS AIRLANGGA
TINDAK PIDANA TERKAIT SODOMI TERHADAP ANAK DALAM
PERSPEKTIF PERLINDUNGAN ANAK
T E S I S
Diajukan Untuk Memperoleh Gelar Magister Hukum Pada Program Studi Magister Hukum
Minat Studi Ilmu Hukum Pada Fakultas Hukum
Universitas Airlangga
OLEH :
RATNA WIDIYATI, S.H.
NIM 031224153022
PROGRAM STUDI MAGISTER HUKUM
MINAT STUDI ILMU HUKUM
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS AIRLANGGA
LEMBAR PERSETUJUAN
Tesis ini telah diseujui Tanggal 17 Juni 2015
Oleh :
Dosen Pembimbing,
Dr. Sarwirini, S.H. M.S. NIM. 196009291985022001
Mengetahui,
Ketua Minat Studi Ilmu Hukum Program Studi Magister Hukum
Minat Studi Ilmu Hukum
Fakultas Hukum Universitas Airlangga
ABSTRAKSI
Hasil Penelitian menunjukkan bahwa diprrosesnya Pasal – Pasal 387 dan 292 KUHP serta Pasal – Pasal 81 dan 82 Undang – Undang No. 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak pada pelaku sodomi terhadap anak, jika pelakunya adalah salah satu dalam lingkup rumah tangga , maka dapat di kenakan pasal Undang – Undang No.23 tahun 2004 tentang perbuatan kekerasan dalam rumah tangga.
Menggingat perbuatan pelaku termasuk tindak pidana yang berat , maka seharusnya pelaku dijerat pasal yang berat , namun demikian pelaku maupun korban perlu mendapatkan tindak medis semacam rehabilitasi sehingga korban tidak mengalami trauma dan pelaku tidak mengulangi perbuatannya lagi.
ABSTRACT
Research shows that diprrosesnya Article - Article 387 and 292 of the Criminal Code and Article - Article 81 and 82 of the Law - No. 23 of 2002 on the protection of children on the perpetrators of sodomy against children, if the perpetrator is the one in the domestic sphere, it can put the article - Law No.23 of 2004 on acts of domestic violence.
Recalling the act of actors including heavy crime, the perpetrator should have a heavy sentence, but the perpetrators and victims should get some kind of medical follow-up rehabilitation of traumatized victims and perpetrators not to repeat his actions again.
KATA PENGANTAR
Dengan memanjatkan puji syukur kehadirat Allah S.W.T. atas berkat rakhmat dan
hidayahnya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan tesis ini dengan baik dan
tepat pada waktunya, yang berjudul “Tindak Pidana Terkait Sodomi Terhadap Anak Dalam Perspektif Perlindungan Anak.”
Tujuan tesis ini adalah dalam rangka memenuhi persyaratan Program Magister Ilmu
Hukum Universitas Airlangga Surabaya.
Pada Kesempatan ini penulis tidak lupa mengucapkan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada banyak pihak yang telah memberikan bantuan dan dorongan kepada penulis
dalam proses penyusunan tesis ini. Ucapan terima kasih disampaikan kepada :
1. Rektor Universitas Airlangga Surabaya;
2. Bapak Dr. Muchammad Zaidun, S.H. M.Si, Dekan Fakultas Hukum Universitas
Airlangga Surabaya;
3. Bapak Prof. Dr. Agus Yudha Hernoko, S.H., M.H., selaku Ketua Minat Studi Ilmu
Hukum;
4. Ibu Astutik, S.H., M.H., selaku Ketua Tim Penguji Tesis;
5. Ibu Dr. Sarwirini, SH. MS. dan selaku Dosen Pembimbing dan Tim Penguji Tesis, yang
banyak membantu mengarahkan dalam penyusunan tesis dengan penuh kesabaran dan
memberikan petunjuk-petunjuk serta saran-saran sehingga penulis dapat menyelesaikan
tesis ini.
6. Bapak, Sapta Aprilianto, S,H., M.H., LL.M., Bapak Riza Alifiantio, K.S.H.,
MTCP.,selaku anggota tim penguji tesis.
7. Para Bapak dan Ibu dosen pengajar dan para staf karyawan pada program Magister
8. Suami tercinta yang senantiasi menemani penulis dan putra putri tersayang yang selalu
mendukung penulis dalam menyelesaikan penyusunan tesis ini.
9. Rekan-rekan yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah memberikan
dukungan dan semangat kepada penulis dalam penyusunan tesis ini.
Penulis menyadari bahwa penyusunan tesis ini masih jauh dari sempurna, untuk itu segala
kritikan dan saran yang berguna bagi penyusunan tesis ini sangat penulis harapkan, semoga
tesis ini bermanfaat bagi pihak-pihak yang tertarik dalam bidang hukum pidana khususnya
tindak kekerasan atau pelecehan seksual (sodomi) terhadap anak-anak, baik lingkungan
Fakultas Hukum, Hukum pemerintahan maupun masyarakat umum lainnya. Amin.
Surabaya, Februari 2015
DAFTAR PERUNDANG-UNDANGAN
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Jo. Undang-Undang Nomor 73 Tahun 1958 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (Wetboek van Strafrecht, Staatsblad 1915 No 73) (KUHP).
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia (HAM).
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.
DAFTAR PUTUSAN PENGADILAN
Putusan MARI No. 24 PK/Pid/2003 atas nama SISWANTO alias ROBOT
Putusan MARI No. 1109 K/Pid.Sus/2010 atas nama MUHAMMAD YUSUF RANGKUTI
DAFTAR ISI
BAB II PENGATURAN TINDAK PIDANA TERKAIT SODOMI TERHADAP ANAK 1. Pengertian Tindak Pidana ... 21
2. Pengertian Sodomi - Pedofilia ... 23
DAFTAR BACAAN
4. Sodomi Menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun
2002 Tentang Perlindungan Anak (UUPA) ... 31
5. Sodomi Menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun
2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah
Tangga (KDRT) ... 35
BAB III PERTANGGUNGJAWABAN HUKUM PELAKU TINDAK PIDANASODOMI TERHADAP ANAK
1. Unsur Pertanggungjawaban ... 40
2. Pengertian Pertanggungjawaban ... 55
3. Analisis dan Pembahasan Studi Kasus-Kasus ... 62
3.1Analisa Putusan Perkara No. 24 PK/Pid/2003 atas
nama SISWANTO alias ROBOT ... 62
3.2Analisa Putusan Perkara No. 1109 K/Pid.Sus/2010
atas nama MUHAMMAD YUSUF RANGKUTI ... 71
3.3Analisa Putusan Perkara No. 493 K/PID/2011 atas
nama BAEKUNI als. BUNGKIH als. BABE ... 81
BAB IV PENUTUP
1. Kesimpulan ... 88
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
1.1.Anak merupakan amanah dan anugerah dari Tuhan Yang Maha Esa yang dalam dirinya
melekat harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya.1 Maraknya kekerasan seksual
dan atau pelecehan seksual terhadap anak telah mendapatkan perhatian publik dalam
beberapa dekade terakhir dan telah menjadi salah satu profil kejahatan yang paling tinggi.
Kekerasan seksual terhadap anak-anak dan penganiayaan anak telah semakin diakui
sebagai sesuatu yang sangat merusak bagi anak-anak dan dengan demikian tidak dapat
diterima bagi masyarakat secara keseluruhan. Sementara penggunaan seksual terhadap
anak oleh orang dewasa telah hadir sepanjang sejarah dan telah menjadi objek perhatian
publik signifikan pada masa sekarang.
1.2.Permasalahan pelecehan seksual terhadap anak telah menjadi fokus perhatian resmi para
professional. Pada pelecehan seksual terhadap anak menjadi terserap ke dalam bidang
yang lebih besar dari kajian trauma interpersonal, pelecehan seksual anak dipelajari dan
strategi intervensi telah menjadi degender dan sebagian besar tidak menyadari asal usul
politik mereka dalam feminisme modern dan gerakan politik lainnya yang dinamis, rang
mungkin berharap bahwa tidak seperti pada masa lalu.
1.3.Pelecehan seksual terhadap anak adalah suatu bentuk penyiksaan anak di mana orang
dewasa atau remaja yang lebih tua menggunakan anak untuk rangsangan seksual.2 Bentuk
pelecehan seksual anak termasuk meminta atau menekan seorang anak untuk melakukan
1
Rika Saraswati, Hukum Perlindungan Anak Di Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2009, h.1.
2
aktivitas seksual (terlepas dari hasilnya), memberikan paparan yang tidak senonoh dari
alat kelamin untuk anak, menampilkan pornografi untuk anak, melakukan hubungan
seksual terhadap anak-anak, kontak fisik dengan alat kelamin anak (kecuali dalam
konteks non-seksual tertentu seperti pemeriksaan medis), melihat alat kelamin anak tanpa
kontak fisik (kecuali dalam konteks non-seksual seperti pemeriksaan medis), atau
menggunakan anak untuk memproduksi pornografi anak.3 Lebih dari 4000 anak
Indonesia diajukan ke Pengadilan setiap tahunnya atas kejahatan ringan, seperti
pencurian.4
1.4.Kasus pelecehan seksual terhadap anak yang kini kembali mencuat dan menjadi kasus
yang paling banyak dibahas di Televisi, pelecehan seksual yang kini terjadi korbannya
dari kalangan anak-anak dibawah umur dan sebagian besar pelakunya adalah orang yang
terdekat, yang seharusnya menjadi pelindung anak-anak. Para korban anak-anak yang
masih dibawah umur ini belum mengerti dan mengetahui apa yang pelaku lakukan saat
pelecehan seksual pada korban-korbannya. Sebagian besar pelaku pelecehan seksual
adalah orang yang dikenal oleh korban mereka, keluarga dari si anak, paling sering adalah
saudara laki-laki, ayah, paman, atau sepupu, kenalan lainnya seperti “teman” dari
keluarga, pengasuh, atau tetangga, orang asing adalah pelanggar, dalam kasus
penyalahgunaan seksual anak.
1.5.Kebanyakan pelecehan seksual anak dilakukan oleh laki-laki; studi menunjukkan bahwa
perempuan melakukan pelanggaran yang dilaporkan terhadap anak laki-laki. Sebagian
besar pelanggar yang pelecehan seksual terhadap anak-anak sebelum masa puber adalah
pedofil, meskipun beberapa pelaku tidak memenuhi standar diagnosa klinis untuk
pedofilia.
3
Ibid. 4
1.6.Anak sebagai generasi penerus bangsa dan sumber daya negara perlu mendapat
perlindungan dari tindakan kekerasan, pelecehan seksual maupun eksploitasi yang
berlebihan. Pelecehan seksual dan atau percabulan anak, baik laki-laki maupun
perempuan adalah bentuk penyalahgunaan anak yang perlu mendapat perhatian dan
penanganan serius.
1.7.Kekerasan seksual itu merupakan istilah yang menunjukan pada prilaku seksual
derivative atau hubungan seksual yang menyimpang, merugikan pihak korban dan
merusak kedamaian di tengah masyarakat. Adanya kekerasan seksual yang terjadi, maka
penderitaan bagi korbannya telah menjadi akibat serius yang membutuhkan perhatian,5 Di
antara kejahatan kekerasan seksual, terdapat kejahatan seksual terhadap anak-anak, di
bawah ini diuraikan beberapa pendapat diantaranya :
2. Menurut M.Irsyad Thamrin dan M.Farid mengatakan, kekerasan seksual adalah kontak
seksual yang tidak dikendaki oleh salah satu pihak. Inti dari kekerasan seksual terletak
“ancaman” (verbal) dan “pemaksaan” (tindakan).6
3. Menurut J.H. Fitch mengadakan studi terhadap 147 pria yang terbukti melakukan
kejahatan terhadap anak-anak pada tahun 1956, diklasifikasikan menjadi lima kategori
berdasarkan psikologis : kategori tersebut adalah :7
4. Immature, melakukan kejahatan itu disebabkan ketidakmampuan mengidentifikasi diri
mereka dengan peran seksual seorang dewasa.
5
Abdul Wahid dan Muhammad Irfan, Perlindungan Terhadap Korban Kekerasan Seksual (Advokasi atas Hak Asasi Perempuan), Cet.2, Refika Aditama, Bandung, 2011, h. 32.
6
Dwi Ismantoro Yuwono, Penerapan Hukum Dalam Kasus Kekerasan Seksual Terhadap Anak, Cet.1, Pustaka Yustisia, Yogyakarta, 2015,h.1
7
5. Frustrated, melakukan kejahatannya sebagai reaksi melwan frustasi seksual yang sifatnya
emosional terhadap orang dewasa, sering terjadi mereka beralih kepada anak-anak
mereka sendiri (inces) ketika merasa tidak seimbang dengan istrinya.
6. Sociopathic, melakukan perbuatannya dengan orang asing sama sekali, suatu tindakan
yang keluar dari kecenderungan aggressive yang kadang muncul.
7. Pathological, tidak mampu mengontrol dorongan seksual sebagai hasil dari psikosis,
lemah mental, kelemahan organ tubuh atau kemerosotan sebelum waktunya ( premature
senile deterioration)
8. Miscellaneous, yang tidak termasuk semua kategori di atas.
8.1.Pelecehan seksual terhadap anak mencakup berbagai pelanggaran seksual, termasuk:
9. Pelecehan Seksual. Istilah ini didefinisikan sebagai suatu tindak pidana di mana seseorang
yang telah dewasa menyentuh anak di bawah umur untuk tujuan kepuasan seksual,
misalnya perkosaan (termasuk sodomi), dan penetrasi seksual dengan objek. Termasuk sebagian besar negara bagian Amerika Serikat dalam definisi mereka tentang kekerasan
seksual, ada kontak penetratif tubuh di bawah umur, bagaimanapun sedikit, jika kontak
dilakukan untuk tujuan kepuasan seksual.
10.Ekploitasi seksual. Istilah ini didefinisikan sebagai suatu tindak pidana di mana orang
dewasa melakukan kekerasan terhadap anak di bawah umur untuk promosi, kepuasan
seksual, atau keuntungan, misalnya melacurkan anak, dan menciptakan atau melakukan
11.Perawatan Anak. Menentukan perilaku sosial dari pelaku seks anak yang potensial yang
berusaha untuk membuat mereka menerima rayuan yang lebih sedikit, misalnya di ruang
bincang-bincang.
11.1. Berdasarkan terminologi dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, “pelecehan”, asal
kata peleceh8 artinya pembujuk/suka memuji-muji, “seksual”9 yang berkenaan dengan
kelamin (laki-laki perempuan) yang berkenaan dengan perkara campuran antara laki-laki
dan perempuan, “anak”10 turunan yang kedua; manusia yang masih kecil, pelecehan
seksual anak merupakan istilah umum yang menggambarkan tindak kriminal dan sipil di
mana orang dewasa terlibat dalam aktivitas seksual dengan anak di bawah umur atau
eksploitasi anak di bawah umur untuk tujuan kepuasan seksual.
11.2. Efek kekerasan seksual terhadap anak antara lain depresi, gangguan stres
pascatrauma, kegelisahan, kecenderungan untuk menjadi korban lebih lanjut pada masa
dewasa, dan dan cedera fisik untuk anak di antara masalah lainnya. Pelecehan seksual
oleh anggota keluarga adalah bentuk inses, dan dapat menghasilkan dampak yang lebih
serius dan trauma psikologis jangka panjang, terutama dalam kasus inses orangtua.
Perkembangan ilmu pengetahuan sangat mempengaruhi pola pikir pakar hukum untuk
membedakan pengertian perbuatan pidana/tindak pidana pelecehan seksual.
11.3. Mengenai istilah “tindak pidana” dari para sarjana hukum tidak ada keseragaman
pendapat, tetapi semuanya merupakan terjemahan dari istilah Belanda “starbaar feit”11.
Binacipta, Jakarta, 1983. Diterjemahkan Saleh Adiwinata, A. Teloeki, dan H. Boerhanoeddin, St. Batoeah. h.544, Yang artinya delik, peristiwa pidana : “peristiwa yang diancam hukuman, yang dapat mengakibatkan tuntutan hukuman, khusus dalam hukum pidana umum, berdasarkan ancaman UU
yang ditetapkan sebelumnya.”(N.W.v.Str. art.1 lid 1; KUHP ps 1 ayat 1) peristiwa pidana dalam
12.Menurut Moeljatno bahwa “perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu
aturan hukum larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi
barang siapa yang melanggar larangan tersebut.”12
13.R. Tresna juga mengatakan bahwa “tindak pidana” adalah perbuatan atau serangkaian
perbuatan manusia yang bertentangan dengan undang-undang atau peraturan
perundang-undangan lainnya terhadap perbuatan mana diadakan tindakan penghukuman. Dan dalam
tindak pidana tersebut terdapat syarat-syarat yang telah ditentukan seperti : harus adanya
suatu perbuatan manusia, perbuatan itu haruslah sesuai dengan apa yang dilukiskan di
dalam ketentuan hukum, dan atas perbuatan itu harus terbukti adanya kesalahan pada
orang yang berbuat dan dapat dipertanggungjawabkan, perbuatan yang dimaksudkan
harus berlawanan dengan hukum serta atas perbuatan itu harus tersedia ancaman
hukumannya dalam undang-undang.13
13.1. Adapun bentuk-bentuk pelecehan seksual itu, dapat dikategorikan ke dalam dua
kategori yaitu:
14.Bentuk pelecehan seksual yang tergolong ringan, yang bagi pelaku tidak dikenai sanksi
(seductive behavior) ataupun perbuatan tersebut dianggap sebagai perbuatan yang tidak
menyenangkan. Perbuatan - perbuatan tersebut dapat berupa:
15.Tingkah laku dan komentar yang berkenaan dengan peran jenis kelamin.
16.Tekanan langsung atau halus untuk tindakan seksual seperti : berciuman, berpegangan
tangan, menepuk bagian tertentu.
17.Sentuhan atau kedekatan fisik yang tidak diundang seperti: mendorong alat kelamin
(penis atau dada) pada korbannya.
18.Perhatian seksual yang tidak diundang dan tidak disukai serta tidak pada tempatnya.
12
Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 2008, h.59 13
19.Bentuk pelecehan seksual yang tergolong berat dan bagi si pelaku dikenakan sanksi
atau ancaman hukuman (sexual coercion). Perbuatan itu berupa pemaksaan untuk melakukan hubungan seksual dan kejahatan seksual atau pelanggaran hukum yang
dilakukan secara terang-terangan (sexsualassault).
19.1. Penyimpangan tingkah laku atau perbuatan melanggar hukum yang dilakukan oleh
anak, disebabkan oleh berbagai faktor, antara lain adanya dampak negatif dari
perkembangan pembangunan yang cepat, arus globalisasi di bidang komunikasi dan
informasi, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Perlakuan dan pembinaan yang
tepat akan dapat menjadi salah satu dasar yang kuat untuk mengembalikan dan mengantar
anak menuju masa depan yang baik untuk mengembangkan dirinya sebagai warga yang
bertanggung jawab bagi kehidupan keluarga, bangsa dan negara. Untuk lebih
memantapkan upaya pembinaan dan pemberian bimbingan bagi anak nakal, maka dalam
rangka mewujudkan peradilan yang memperhatikan perlindungan dan kepentingan anak,
maka Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak,
memberikan ketentuan-ketentuan mengenai penyelenggaraan pengadilan yang khusus
bagi anak dalam lingkungan peradilan umum. Dalam menghadapi dan menanggulangi
berbagai perbuatan dan tingkah laku anak nakal, perlu diperhatikan dan dipertimbangkan
kedudukan anak dengan segala ciri dan sifatnya yang khas. Walaupun anak telah dapat
menentukan sendiri langkah perbuatannya berdasarkan pikiran, perasaan, dan
kehendaknya, tetapi keadaan sekitarnya dapat mempengaruhi perilakunya. Oleh karena
itu dalam menghadapi masalah anak nakal, orang tua dan masyarakat sekelilingnya
seharusnya lebih bertanggung jawab terhadap pembinaan, pendidikan, dan pengembangan
perilaku anak.
19.2. Di samping pertimbangan tersebut di atas, demi pertumbuhan dan perkembangan
pidananya, perbedaan perlakuan dan ancaman yang diatur dalam undang-undang tersebut
dimaksudkan untuk lebih melindungi dan mengayomi anak agar dapat menyongsong
masa depannya yang masih panjang.
20.Mengingat anak-anak adalah generasi muda yang merupakan aset penerus bangsa, dengan
memperhatikan fenomena tersebut. Seringkali kasus-kasus tersebut tidak sampai ke
pengadilan atau kalau sampai di pengadilanpun si pelaku di hukum sangat ringan atau
bisa jadi malah bebas.
20.1. Bahwa Negara Republik Indonesia adalah Negara Hukum yang berdasarkan Pancasila
dan Undang - Undang Dasar 1945 yang menjunjung tinggi hak azasi manusia. Dalam
perspekif kenegaraan, komitmen Negara untuk melindungi warga negaranya termasuk
dalam anak, dapat ditemukan dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945.14
20.2. Pembangunan dan pembinaan hukum diarahkan agar dapat menciptakan kondisi yang
dinamis, sehingga setiap warga negara dapat menikmati iklim ketertiban dan kepastian
hukum yang berintikan keadilan, serta meningkatkan dan menyempurnakan pembinaan
hukum nasional dalam rangka pembaharuan hukum. Dengan diadakannya kodifikasi dan
unifikasi hukum akan memudahkan para penegak hukum dalam melakukan tugas
masing-masing, memantapkan sikap dan perilaku penegak hukum sesuai dengan fungsi
penegakan hukum dalam rangka meningkatkan citra dan wibawa aparat penegak hukum
serta meningkatkan pelayanan hukum kepada warga negara yang memerlukan.
21.Rumusan Masalah
22.Berdasarkan uraian di atas, maka rumusan masalah dari tesis ini adalah :
14
22.1. Bagaimana pengaturan perbuatan sodomi terhadap anak ditinjau dari Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Undang-Undang-Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang
Perlindungan Anak (UUPA) dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang
Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT)?
22.2. Bagaimana pertanggungjawaban pidana pelaku sodomi tindak pidana kekerasan
seksual terhadap anak tersebut?
23.Tujuan Penelitian
24.Sesuai dengan rumusan masalah di atas, maka penulisan ini bertujuan antara lain :
24.1. Untuk menganalisa pengaturan perbuatan sodomi terhadap anak ditinjau dari Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002
Tentang Perlindungan Anak (UUPA) dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004
Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT).
24.2. Untuk menganalisa pertanggungjawaban pidana pelaku sodomi tindak pidana
kekerasan seksual terhadap anak tersebut.
25.Manfaat Penelitian
26.Adapun manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut :
27.Manfaat akademis penelitian ini adalah memberi kontribusi teoritis dalam bidang (ilmu)
hukum pidana, khususnya terkait pengaturan tindak pidana perbuatan sodomi terhadap
anak dan pertanggungjawaban hukum tindak pidana pelaku sodomi kekerasan seksual
terhadap anak.
27.1. Manfaat praktis penelitian ini adalah untuk menyumbang wawasan aparat penegak
sodomi terhadap anak.
28.Tinjauan Pustaka
28.1. Tindak Pidana
28.2. Dalam perundang-undangan negara Indonesia istilah Tindak Pidana tersebut
disebutkan sebagai peristiwa pidana, perbuatan pidana atau delik. Melihat apa yang
dimaksud diatas, maka pembentuk undang-undang sekarang sudah konsisten dalam
pemakaian istilah tindak pidana.
28.3. Kekerasan Seksual
28.4. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tidak dikenal istilah pelecehan
seksual. KUHP menurutnya, hanya mengenal istilah perbuatan cabul, yakni diatur
dalam Pasal 285, Pasal 289 sampai dengan Pasal 292 KUHP.15 Bahwa istilah perbuatan
cabul dijelaskan sebagai perbuatan yang melanggar rasa kesusilaan, atau perbuatan lain
yang keji, dan semuanya dalam lingkungan nafsu berahi kelamin. Misalnya cium-ciuman,
meraba-raba anggota kemaluan, meraba-raba buah dada dan sebagainya. 16
28.5. Unsur-unsur yang terdapat dalam kekerasan seksual adalah :
29.Mengancam,
30.Memaksa dan
31.Memperkosa.17
31.1. Bentuk-bentuk kekerasan seksual terhadap anak adalah :18
15
R. Soesilo, KUHP Serta Komentar-komentarnya 16
Ibid. 17
32.Perkosaan;
33.Sodomi;
34.Oral seks;
35.Sexual Gesture;
36.Sexual Remark;
37.Pelecehan Seksual;
38.Pelacuran anak dan Sunat Klitoris pada anak Perempuan.
38.1. Pengertian itu berarti, segala perbuatan apabila itu telah dianggap melanggar
kesopanan/kesusilaan, dapat dimasukkan sebagai perbuatan cabul. Sementara itu, istilah
pelecehan seksual mengacu pada sexual harassment (Pelecehan seksual) yang diartikan sebagai unwelcome attention (Perhatian yang tidak diinginkan) atau secara hukum
didefinisikan sebagai "imposition of unwelcome sexual demands or creation of sexually offensive environments". (Pengenaan dari tuntutan seksual yang tidak diinginkan atau penciptaan dari lingkungan seksual yang menyakitkan hati).
38.2. Pelecehan Seksual
38.3. Unsur penting dari pelecehan seksual adalah adanya ketidakinginan atau penolakan
pada apapun bentuk-bentuk perhatian yang bersifat seksual. Sehingga bisa jadi perbuatan
seperti siulan, kata-kata, komentar yang menurut budaya atau sopan santun (rasa susila)
setempat adalah wajar. Namun, bila itu tidak dikehendaki oleh si penerima perbuatan
tersebut maka perbuatan itu bisa dikategorikan sebagai pelecehan seksual.
38.4. Jadi, pelecehan seksual dapat dijerat dengan Pasal percabulan (Pasal 289 sampai
dengan Pasal 296 KUHP). Dalam hal terdapat bukti-bukti yang dirasa cukup, Jaksa
Penuntut Umum yang akan mengajukan dakwaannya terhadap pelaku pelecehan seksual
di hadapan pengadilan.
18
39.Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) perkataan pelecehan seksual tidak
ada penjelasan khusus mengenai pengertian pelecehan seksual. Akan tetapi secara tidak
langsung di dalam pasal-pasal tersebut telah termaktub tentang perbuatan yang
digolongkan kepada pelecehan seksual. Khususnya pelecehan seksual terhadap anak di
bawah umur, seperti halnya perbuatan persetubuhan (Pasal 287 KUHP). Walaupun di
dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tidak ada penjelasan khusus
tentang pelecehan seksual, tetapi di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia terdapat
pengertian yang cukup jelas tentang pelecehan seksual. Untuk mengetahui lebih jelas
makna dari pelecehan seksual terlebih dahuluperlu melihat masing- masing kata yang ada
di dalamnya yaitu: “pelecehan” dan “seksual”.
39.1. Pelecehan (harrasment) merupakan pembendaan dari kata kerja “melecehkan” yang
berarti: menghina, memandang rendah, atau tindakan menurunkan martabat. Sedangkan
seksual (sexual) memiliki arti: hal-hal yang berkenaan dengan seks atau jenis kelamin, hal yang berkenaan dengan perkara persetubuhan antara pria dan wanita.
39.2. Maka dapat penulis menyimpulkan bahwa pelecehan seksual (sexual harrasment) itu adalah : suatu bentuk perbuatan penghinaan atau memandang rendah seseorang karena
hal-hal yang berkenaan dengan seks (jenis kelamin) atau aktivitas seksual antara laki-laki
dan perempuan. Atau dengan kata lain pelecehan seksual (sexual harassment) itu
merupakan suatu perilaku atau tindakan yang mengganggu, menjengkelkan dan tidak
diundang yang dilakukan seseorang atau sekelompok orang terhadap pihak lain yang
berkaitan dengan jenis kelamin pihak yang diganggunya. Perilaku itu dapat berupa fisik
dan mental serta mengganggu aspek fisik, mental, emosional dan spritual korban.
40.Dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam
Rumah Tangga yang dimaksudkan “hubungan seksual”, apakah kualifikasinya sama
atau bahkan pengertiannya lebih luas dari bentuk kekerasan seksual yang dilakukan oleh
suami kepada isteri atau sebaliknya.
40.1. Pedophilia
40.2. Yang dimaksud dengan Pedophilia (Pedofilia) adalah ketertarikan seksual orang
dewasa terhadap anak-anak. Anak-anak yang menjadi sasaran dari pemuasan birahi
seksual orang-orang dewasa pengidap pedofilia ini adalah anak-anak pra-purbertas atau
anak-anak yang belum mengalami purbertas (belum mengalami menstruasi dan belum
dapat dibuahi bagi anak perempuan dan belum dapat menghasilkan sperma bagi laki-laki.
Sebab-sebab munculnya penyakit ketertarikan seksual ini bisa disebabkan sebagai berikut
:19
41. Pengalaman masa kecil yang tidak mendukung perkembangan kedewasaannya.
42. Trauma pernah mendapat kekerasan seksual dari orang dewasa.
42.1. Pedofilia adalah salah satu bentuk penyakit jiwa kelainan ketertarikan seksual. Dalam
melampiaskan nafsu birahinya seorang pedofil akan mencari anak-anak pra pubertas
dengan tujuan agar pedofil bisa menguasai dan memaksakan penisnya diprestasikan ke
dalam dubur, liang vagina atau oral seks sehingga korban akan merasakan sakit yang
amat sangat. Rasa sakit yang amat sangat ini yang diharapkan oleh pelaku dialami oleh
korban. Dengan erangan rasa sakit si pedofil akan terangsang dan akan semakin menggila
memenetrasikan penisnya kedalam dubur.
42.2. Sodomi
42.3. Sodomi adalah istilah hukum yang digunakan dalam untuk merujuk kepada tindakan
seks “tidak alami”, yang bergantung pada yuridiksinya dapat terdiri atas seks oral atau
seks anal atau semua bentuk pertemuan organ non-kelamin dengan alat kelamin, baik
dilakukan secara heteroseksual, homoseksual, atau antara manusia dan hewan.
19
42.4. Tindak pidana pelecehan seksual (sodomi) pada anak diatur dalam Pasal 292 KUHP.
Apabila terjadi pemberatan misalnya luka berat, dituntut sesuai Pasal 291 ayat 1 KUHP.
Bila terjadi penganiayaan sehingga korban meninggal dunia dituntut sesuai Pasal 339
KUHP. Psikiatri Forensik dalam hal ini dokter ahli jiwa berperan dalam membantu
menentukan apakah pelaku tindakan pidana (sodomi) mengalami gangguan jiwa atau
tidak dan seberapa jauh kemampuannya dalam mempertanggungjawabkan perbuatannya.
42.5. Perlindungan anak
42.6. Perlindungan Anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan
hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi, secara optimal
sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari
kekerasan dan diskriminasi.20
42.7. Perlindungan Anak bertujuan untuk menjamin terpengaruhnya hak-hak anak agar
dapat hidup, tumbuh,berkembang dan berpartisipasi secara optimal sesuai harkat dan
martabat kemanusian serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi demi
terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia dan sejahtera.21
42.8. Menurut Barda Nawawi Arief, perlindungan hukum bagi anak dapat diartikan sebagai
upaya perlindungan hukum terhadap berbagai kebebasan dan hak asasi anak (fundamental rights and freedoms of children) serta berbagai kepentingan yang berhubungan dengan
kesejahteraan anak. 22
42.9. Pertanggungjawaban hukum
42.10. Sistem pertanggungjawaban pidana dalam hukum pidana positif saat ini menganut
asas kesalahan sebagai salah satu asas disamping asas legalitas.
20
Pasal 1 Angka 2 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak 21
Rika Saraswati, Op. Cit., h. 30 (Pasal 3 UU Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak)
22
Sistem pertanggungjawaban pidana dalam hukum pidana nasional yang akan datang
menerapkan asas tiada pidana tanpa kesalahan yang merupakan salah satu asas
fundamental yang perlu ditegaskan secara eksplisit sebagai pasangan asas legalitas.
Kedua asas tersebut tidak dipandang syarat yang kaku dan bersifat absolute, memberi
kemungkinan dalam hal-hal tertentu untuk menerapkan asas strict liability, vicarious liability erfolgshaftung, kesesatan atau error, rechterlijk pardon culp in causa
dan pertanggungjawaban pidana yang berhubungan dengan masalah subjek tindak pidana.
42.11. Dilihat dari sudut perbandingan KUHP Negara lain, asas kesalahan atau asas culpabilitas pada umumnya diakui sebagai prinsip umum. Perumusan asas ini biasanya
terlihat dalam perumusan mengenai pertanggungjawaban pidana, khususnya yang
berhubungan dengan masalah kesengajaan dan kealpaan.
43.Metode Penelitian
44.Penelitian tesis ini menggunakan metode penelitian hukum normatif dengan pendekatan
undang-undang (statute approach), pendekatan konsep (conceptual approach), dan pendekatan kasus (case approach).
45.Adapun penelitian hukum pendekatan tersebut adalah: 23
45.1. Pendekatan undang-undang (statute approach)
45.2. Pendekatan dilakukan dengan menelaah semua undang-undang dan regulasinya yang
bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang ditangani.
45.3. Pendekatan konseptual (conceptual approach)
45.4. Pendekatan konseptual beranjak dari pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin yang
berkembang di dalam ilmu hukum.
23
45.5. Pendekatan kasus (case approach)
45.6. Pendekatan dilakukan dengan cara melakukan telaah terhadap kasus-kasus yang
berkaitan dengan isu yang dihadapi yang telah menjadi putusan pengadilan yang telah
mempunyai kekuatan hukum tetap.
46.Sistematika Penulisan
46.1. Dalam penulisan tesis perlu adanya suatu uraian mengenai susunan dari penulisan
yang dibuat agar pembahasan teratur dan terarah pada masalah yang sedang dibahas
untuk itu tesis ini akan dibagi ke dalam 4 (empat) bab yaitu :
46.2. Pada Bab I (Bab Pendahuluan) ini akan diuraikan hal-hal latar belakang, rumusan
masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian, tinjauan pustaka, dan
sistematika penulisan, yang merupakan landasan penulisan tesis ini.
46.3. Dalam bab II dibahas terkait rumusan masalah yang berjudul pengaturan tindak
pidana terkait sodomi terhadap anak, yang akan dibahas dalam tiga sub bab yaitu Menurut
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002
Tentang Perlindungan Anak dan Menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004
Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.
46.4. Selanjutnya dalam Bab III dibahas topik rumusan masalah kedua yang berjudul
pertanggungjawaban hukum pelaku tindak pidana sodomi terhadap anak tersebut. Yang
dibahas dalam 2 sub judul yaitu terkait penanggungjawaban dan analisa / pembahasan
46.5. Sebagai bab penutup (Bab IV) akan diuraikan kesimpulan terkait pembahasan dalam
bab-bab terdahulu, juga akan disertakan saran yang diharapkan dapat bermanfaat bagi
BAB II
PENGATURAN TINDAK PIDANA TERKAIT SODOMI TERHADAP ANAK
1. Pengertian Tindak Pidana
Dalam hukum pidana di Indonesia mengenal beberapa rumusan pengertian tindak
pidana atau istilah tindak pidana sebagai pengganti istilah "Strafbaar feit". Sedangkan dalam
perundang-undangan negara Indonesia istilah tersebut disebutkan sebagai peristiwa pidana,
perbuatan pidana atau delik. Melihat apa yang dimaksud diatas, maka pembentuk
undang-undang sekarang sudah konsisten dalam pemakaian istilah tindak pidana. Akan tetapi para
sarjana hukum pidana mempertahankan istilah yang dipilihnya sendiri.
Adapun pendapat itu diketemukan antara lain : Moeljatno, Simons, Van Hamel, Pompe,
JE. Jonker, VOS dan R.Tresna, yang dalam uraiannya adalah sebagai berikut:
a. Moelyatno, menggunakan istilah Perbuatan Pidana adalah “perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut”.24 Unsur
tindak pidana adalah : 1) Perbuatan; 2) Yang dilarang (oleh aturan hukum); dan 3)
Ancaman pidana (bagi yang melanggar hukum).
b. Simons. Strafbaar feit adalah kelakuan (Hendeling) yang diancam dengan pidana yang bersifat melawan hukum, yang berhubungan dengan kesalahan dan yang
dilakukan oleh orang yang mampu bertanggungjawab.25 Unsur-unsur tindak pidana :
24
Adam Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana (Bagian Pertama), Cet. 1, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2008), h. 71.
25
1) Unsur Obyektif : Perbuatan orang, akibat yang kelihatan dari perbuatan itu
mungkin ada keadaan tertentu yang menyertai perbuatan itu
2) Unsur Subyektif : Orang yang mampu bertanggungjawab, adanya kesalahan
(Dolus atau Culpa). Kesalahan ini dapat berhubungan dengan akibat dari
perbuatan atau keadaan mana perbuatan itu dilakukan.
c. Van Hamel. Strafbaar feit adalah kelakuan orang (menselijke gedraging) yang
dirumuskan dalam wet, yang bersifat melawan hukum, yang patut dipidana (stafwaardig) dan dilakukan dengan kesalahan.26
Unsur-unsur tindak pidana: 1) Perbuatan Manusia; 2) Yang dirumuskan dalam
Undang-Undang; 3) Dilakukan dengan kesalahan; dan 4) Patut dipidana.
d. Pompe, menurutnya pengertian Strafbaar feit itu sebenarnya adalah tidak lain dari
suatu “tindakan yang menurut sesuatu rumusan undang-undang telah dinyatakan sebagai tindakan yang dapat dihukum.”27
e. J.E. Jonkers
Peristiwa pidana ialah “perbuatan yang melawan hukum (wederrechttelijk) yang berhubungan dengan kesengajaan atau kesalahan yang dilakukan oleh orang yang
dapat dipertanggungjawabkan”.28
Unsur-unsur tindak pidana: 1) Perbuatan (yang); 2) Melawan hukun (yang
berhubungan dengan); 3) Kesalahan (yang dilakukan oleh orang yang dapat); dan 4)
Dipertanggungjawabkan.
26
Ibid. 27
Adam Chazawi, Op. Cit., h. 72 28
f. VOS. Strafbaar feit adalah suatu kelakukan manusia yang diancam pidana oleh
peraturan Undang-Undang.29 Unsur-unsur tindak pidana: 1) Kelakuan manusia; 2)
Diancam dengan pidana; dan 3) Dalam peraturan perundang-undangan.
g. R.Tresna menyatakan “peristiwa pidana itu adalah suatu perbuatan yang atau rangkaian perbuatan manusia, yang bertentangan dengan undang-undang atau
peraturan perundang-undangan lainnya, terhadap perbuatan mana diadakan tindakan penghukuman”.30 Unsur-unsur tindak pidana:
1) Perbuatan/rangkaian perbuatan (manusia);
2) Yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan;
3) Diadakan tindakan penghukuman.
2. Pengertian Sodomi – Pedofilia
Menurut terminologi Sodomy dalam Black’s Law adalah 1. Oral or anal copulation between humans, esp. those of the same sex. 2. Oral or anal copulation between a human
and an animal; bestiality. also termed buggery; crime against nature; abominable crime against nature, unnatural offense; unspeakable crime; (archaically) sodomity; (in latin) crimen innominatum.31 (1.Oral atau anal kopulasi antara manusia , esp . Orang-orang dari
jenis kelamin yang sama; 2. Oral atau anal kopulasi antara manusia dan hewan; birahi hewan
disebut juga buggery; kejahatan terhadap alam; keji kejahatan terhadap alam, Pelanggaran tidak wajar; tak terkatakan kejahatan; (archaically) sodomity; (dalam bahasa latin) crimen innominatum).
29
Ibid, h. 72. 30
Adam Chazawi, Op. Cit., h. 73. 31
Liwath (homoseksual/sodomi) diriwayatkan dari Ibnu Abbas dari nabi beliau bersabda
: “apabila kalian mendapati orang yang melakukan perbuatan kaum Luth (homoseksual/sodomi) maka bunuhlah pelaku dan objeknya”.32
Sodomi/anal sex/semburit berasal dari kata Sodom/Shadum, istilah ini berasal
dari Bahasa Lain : peccatum Sodomiticum, atau “Dosa kaum Sodom.” salah satu kota yang warganya menjadi umat dakwah nabi Luth as, saat ini letaknya di sekitar Laut Mati, sebuah
tempat yang menjadi saksi kemurkaan Tuhan dan ditandai dengan letaknya terendah di muka
bumi ini dan tidak dapat didiami oleh mahluk hidup.
Sodomi artinya perbuatan penduduk kota Sodom, yaitu salah satu jenis hubungan
seksual penetratif, dimana puncak kepuasan seksual dilakukan dengan cara memasukkan
penis ke dalam anus. Biasanya dilakukan oleh sesama laki-laki, meski bisa saja laki-laki
menyodomi wanita.
Sodomi adalah istilah hukum yang digunakan dalam untuk merujuk kepada tindakan
seks “tidak alami”, yang bergantung pada yuridiksinya dapat terdiri atas seks oral atau seks
anal atau semua bentuk pertemuan organ non-kelamin dengan alat kelamin, baik dilakukan
secara heteroseksual, homoseksual, atau antara manusia dan hewan.
Yang dimaksud dengan Pedofilia adalah ketertarikan seksual orang dewasa terhadap
anak-anak. Anak-anak yang menjadi sasaran dari pemuasan birahi seksual orang-orang
dewasa pengidap pedofilia ini adalah anak-anak pra-purbertas atau anak-anak yang belum
mengalami purbertas (belum mengalami menstruasi dan belum dapat dibuahi bagi anak
perempuan dan belum dapat menghasilkan sperma bagi laki-laki.
32
Menurut terminologi Pedophilia dalam Black’s Law . An adult who engages in
Pedophilia. Menerangkan Pedophilia “ 1. An adult’s sexual disorder consisting in the desire for sexual gratification by molesting children esp. prepubescent children. (kelainan seksual orang dewasa terdiri dalam keinginan untuk kepuasan seksual terhadap menganiaya
anak-anak) 2. An adult’s act of children molestation. Phedophilia can but does not necessarily involve intercourse.33 (undang-undang orang dewasa terhadap penganiayaan anak-anak.
Phedophilia tidak dapat serta merta melibatkan hubungan). Phedophilia termasuk
penyimpangan seksual/parafilia, dimana si penyandang memiliki selera seksual terhadap
anak-anak yang diketahuinya atau diduganya secara kuat masih belum masuk usia puber
(belum menarche atau mimpi basah) sedangkan dirinya sendiri minimal 5 (lima) tahun lebih tua dari si anak. Bandingkan dengan phedophilia, dimana si penyandang berselera terhadap
anak yang menjelang atau baru masuk usia puber.
Sebab-sebab munculnya penyakit ketertarikan seksual ini bisa disebabkan sebagai
berikut :34
a. Pengalaman masa kecil yang tidak mendukung perkembangan kedewasaannya.
b. Trauma pernah mendapat kekerasan seksual dari orang dewasa.
Pedofilia adalah salah satu bentuk penyakit jiwa kelainan ketertarikan seksual. Dalam
melampiaskan nafsu birahinya seorang pedofil akan mencari anak-anak pra pubertas dengan
tujuan agar pedofil bisa menguasai dan memaksakan penisnya diprestasikan ke dalam dubur,
liang vagina atau oral seks sehingga korban akan merasakan sakit yang amat sangat. Rasa
sakit yang amat sangat ini yang diharapkan oleh pelaku dialami oleh korban. Dengan erangan
rasa sakit si pedofil akan terangsang dan akan semakin menggila memenetrasikan penisnya
kedalam dubur.
33
Bryan A.Garner, Op. Cit., h.1167. 34
Adapun Erich Fromm, M. Irsyad Thamrin dan M. Farid dan Bagong Suyanto
berpendapat sodomi – pedofilia adalah:
a. Menurut Erich Fromm mengidentifikasikan pedofilia adalah penyakit menyimpang
seksual yang masuk dalam kategori sadism. Fromm mengatakan dengan berperilaku
sadis pada saat itulah pelaku merasa berkuasa terhadap korbannya dan semakin
korban merasa sakit ketika disodomi atau disetubuhi maka semakin berkuasalah
sipelaku.
Bahwa pedofilia kemunculannya disebabkan dua hal antara lain adalah : 35
1) Pada masa pertumbuhannya atau pada masa kecilnya seorang pedofil telah
terperangkap dalam berbagai kondisi yang membuatnya merasa kesepian dan
tidak berdaya. Bersamaan dengan ini anak pada masa kecilnya selalu
mendapatkan kekerasan dari orang dewasa dan tindakan-tindakan orang dewasa
yang membuat anak ketakutan.
2) Anak pada masa kecilnya merasa mengalami kehampaan jiwa, tidak ada simulasi,
tidak ada yang akan dapat membangkitkan kecakapannya dan potensinya,
tahun-tahun berkepanjangan yang menjemukan. Dari keadaan seperti inilah kemudian
anak akan mengembangkan kepribadian yang dingin hingga dia menginjak
dewasanya.
b. Menurut M. Irsyad Thamrin dan M. Farid menyatakan bahwa dampak negatif dari
korban pedofil ditandai munculnya 36
1) Trauma fisik pada diri si anak;
2) Trauma psikis pada diri si anak;
3) Disorentasi moral pada diri si anak.
35
Ibid., h.45 36
c. Menurut Bagong Suyanto mengatakan bahwa anak yang menjadi korban kekerasan
(kejahatan pedofil), ketika dia tumbuh menjadi dewasa akan menjadi pelaku
kekerasan – pelaku pedofilia.37
Unsur-unsur yang terdapat dalam kekerasan seksual adalah :
a. Mengancam. Ancaman adalah tindakan menakut-nakuti. Tujuannya dari indakan
ini adalah agar pihak lain bertindak sesuai dengan keinginan pihak yang
menakut-nakuti.
b. Memaksa adalah perintah dari satu pihak lain mengerjakan sesuatu yang
diinginkannya. Walaupun pihak lain tidak mau mengerjakannya, namun pihak
yang memberikan perintah mengharuskan pihak lain untuk mengerjakannya.
Pemaksaan ini bisa dalam bentuk verbal (memaksakan pendapat dan pikiran) dan
bisa juga dalam bentuk tindakan (menyentuh organ tubuh sensitif anak tanpa
persetujuan anak).
c. Memperkosa adalah memasukan secara paksa penis ke dalam vagina atau dubur.
Bentuk-bentuk kekerasan seksual terhadap anak antara lain adalah :
a. Perkosaan.
b. Sodomi.
c. Oral seks.
d. Sexual Gesture (serangan seksual secara verbal termasuk eksibisionisme).
e. Sexual Remark (serangan seksual secara verbal).
f. Pelecehan Seksual.
g. Pelacuran anak dan Sunat Klitoris pada anak Perempuan.
37
3. Sodomi Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
Di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) telah dijelaskan bahwa
tindak pidana pelecehan seksual terhadap anak di bawah umur merupakan sebuah kejahatan
kesusilaan yang bagi pelakunya harus diberikan hukuman yang setimpal. Maksudnya dengan
dijatuhkan hukuman kepada si pelaku sehingga dapat kiranya tindakan pelecehan seksual
terhadap anak di bawah umur dapat dicegah sehingga perbuatan tersebut tidak terjadi lagi.
Pasal 50 ayat 1 KUHP menyatakan bahwa ada empat tujuan penjatuhan hukuman yaitu:
1. Untuk mencegah terjadinya tindak pidana dengan menegakkan norma-norma hukum
demi pengayoman masyarakat.
2. Untuk memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga menjadi
orang yang lebih baik dan berguna.
3. Untuk menyelesaikan komplik yang ditimbulkan oleh tindak pidana (memulihkan
keseimbangan dan mendatangkan rasa damai).
4. Untuk membebaskan rasa bersalah pada terpidana.38
5. Adapun dalam KUHP, pasal-pasal yang mengatur tentang hukuman bagi pelaku
kekerasan seksual terhadap anak di bawah umur terdapat dalam Pasal 285, 289 dan
292 KUHP:
6. Dalam Pasal 285 ditentukan bahwa barang siapa dengan kekerasan atau ancaman
kekerasan memaksa perempuan yang bukan isterinya berhubungan seksual
(berhubungan dengan pen) dengan dia, dihukum karena memperkosa, dengan
hukuman penjara selama-lamanya 12 tahun. Sedangkan Pasal 289 disebutkan barang
siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seseorang melakukan atau
38
membiarkan melakukan pada dirinya perbuatan cabul, dihukum karena merusakan
kesopanan dengan hukuman penjara selama-lamanya Sembilan tahun. 39
2. Pasal 292 KUHP berbunyi: “Orang dewasa yang melakukan perbuatan cabul dengan
orang lain sesama kelamin, yang diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya belum
dewasa, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun.”40
Dari paparan pasal-pasal tentang hukuman bagi pelaku pelecehan seksual terhadap
anak di bawah umur tersebut di atas, maka dapat disimpulkan bahwa hukuman bagi si
pelaku bervariasi, bergantung kepada perbuatannya yaitu apabila perbuatan tersebut menimbulkan luka berat seperti tidak berfungsinya alat reproduksi atau menimbulkan
kematian maka hukuman bagi si pelaku akan lebih berat yaitu 15 tahun penjara.
Tetapi apabila tidak menimbulkan luka berat maka hukuman yang dikenakan bagi si
pelaku adalah hukuman ringan.
Tindak pidana pelecehan seksual yang dilakukan oleh seseorang terhadap orang lain
yang bukan isterinya merupakan delik aduan yang maksudnya adalah bahwa hanya
korbanlah yang bisa merasakannya dan lebih berhak melakukan pengaduan kepada
yang berwenang untuk menangani kasus tersebut.
Adapun mengenai delik aduan dapat dibedakan atas dua jenis, yaitu: delik aduan absolut
dan delik aduan relatif.
a. Delik aduan absolut adalah delik (peristiwa pidana) yang hanya dapat dituntut apabila
ada pengaduan. Dan dalam pengaduan tersebut yang perlu dituntut adalah
peristiwanya sehingga permintaan dalam pengaduan ini harus berbunyi: “saya
meminta agar tindakan atau perbuatan ini dituntut”. Delik aduan absolut ini tidak
39
, Dwi Ismantoro Yuwono, Op. Ci., h.1. 40
dapat dibelah maksudnya adalah kesemua orang/ pihak yang terlibat atau yang
bersangkut paut dengan peristiwa ini harus dituntut. Karena yang dituntut di dalam
delik aduan ini adalah peristiwa pidananya.
b. Delik aduan relatif adalah delik (peristiwa pidana) yang dituntut apabila ada
pengaduan. Dan delik aduan relatif ini dapat dibelah karena pengaduan.
ini diperlukan bukan untuk menuntut peristiwanya, tetapi yang dituntut di sini adalah
orang-orang yang bersalah dalam peristiwa ini.
Berdasarkan penjelasan tentang delik aduan di atas, maka penulis menggolongkan bahwa
tindak pidana pelecehan seksual terhadap anak di bawah umur merupakan delik aduan
relatif, karena yang dituntut di sini adalah orang yang telah bersalah dalam perbuatan
tersebut.
4. Sodomi Menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak (UUPA)
Dalam suatu perkara pidana, pemrosesan perkara digantungkan pada jenis deliknya.
Ada dua jenis delik sehubungan dengan pemrosesan perkara, yaitu delik aduan dan delik
biasa. Delik aduan artinya delik yang hanya bisa diproses apabila ada pengaduan atau
laporan dari orang yang menjadi korban tindak pidana. Menurut Utrecht dalam bukunya
Hukum Pidana II, dalam delik aduan penuntutan terhadap delik tersebut digantungkan pada
persetujuan dari yang dirugikan (korban). Pada delik aduan ini, korban tindak pidana dapat
mencabut laporannya kepada pihak yang berwenang apabila di antara mereka telah terjadi
suatu perdamaian. Berbeda dengan delik aduan, dalam delik biasa perkara tersebut dapat
mencabut laporannya kepada pihak yang berwenang, penyidik tetap berkewajiban untuk
memproses perkara tersebut.
Dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, ada dua
pasal yang mengatur tentang ancaman hukuman bagi pelaku pelecehan seksual terhadap anak
di bawah umur yaitu Pasal 81 dan Pasal 82.
Pasal 81 UU Perlindungan Anak berbunyi sebagai berikut:
“(1) Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).
(2) Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berlaku pula bagi setiap orang yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain.”
Pasal 82 UU Perlindungan Anak berbunyi sebagai berikut:
“Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).”41
Dari rumusan Pasal 82 di atas, terlihat bahwa tidak ada keharusan bagi delik ini untuk
dilaporkan oleh korbannya. Dengan demikian, delik pencabulan terhadap anak merupakan
delik biasa, bukan delik aduan. Oleh karena pencabulan tersebut merupakan delik biasa,
bukan delik aduan, maka seharusnya perkara pencabulan tersebut tetap diproses, walaupun
sudah ada pencabutan laporan dari keluarga korban.
Dasar hukum :
41
a. Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
Pengertian mengenai delik aduan, terdapat dua jenis delik dalam pemrosesan perkara,
yaitu delik aduan dan delik biasa. Dalam delik biasa, perkara dapat diproses tanpa
adanya persetujuan dari yang dirugikan (korban). Jadi, walaupun korban telah
mencabut laporan/pengaduannya kepada polisi, penyidik tetap berkewajiban untuk
melanjutkan proses perkara. Sedangkan, mengenai delik aduan berarti delik
yang hanya bisa diproses apabila ada pengaduan atau laporan dari orang yang menjadi
korban tindak pidana.
1) Menurut E Utrecht dalam bukunya Hukum Pidana II, dalam delik aduan
penuntutan terhadap delik tersebut digantungkan pada persetujuan dari yang
dirugikan (korban). Pada delik aduan ini, korban tindak pidana dapat mencabut
laporannya kepada pihak yang berwenang apabila di antara mereka telah terjadi
suatu perdamaian.
2) R. Soesilo dalam bukunya membagi delik aduan menjadi dua jenis yaitu:42
(a) Delik aduan absolut, ialah delik (peristiwa pidana) yang selalu hanya dapat
dituntut apabila ada pengaduan seperti tersebut dalam Pasal-pasal: 284, 287,
293, 310 dan berikutnya, 332, 322, dan 369.
(b) Delik aduan relatif, ialah delik-delik (peristiwa pidana) yang biasanya bukan
merupakan delik aduan, akan tetapi jika dilakukan oleh sanak keluarga yang
ditentukan dalam Pasal 367, lalu menjadi delik aduan. Delik-delik aduan
relatif ini tersebut dalam Pasal-pasal: 367, 370, 376, 394, 404, dan 411.
b. Ketentuan Undang-Undang No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (UUPA) yang berkaitan dengan tindak pidana kesusilaan yaitu antara lain Pasal 81 (perkosaan anak) dan Pasal 82 (pencabulan anak), terlihat bahwa tidak ada
42
keharusan bagi delik ini untuk dilaporkan oleh korbannya. Dengan demikian, delik
perkosaan dan pencabulan terhadap anak merupakan delik biasa, bukan delik aduan.
Delik biasa dapat diproses tanpa adanya persetujuan dari yang dirugikan (korban).
Dasar Hukum:
a. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (Wetboek van Strafrecht, Staatsblad 1915 No 73).
b. Undang-Undang No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
5. Sodomi Menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UUKDRT)
Mengenai pengenaan pidana bagi setiap orang yang melanggar larangan melakukan
Kekerasan dalam Rumah Tangga yang tersebut dalam BAB III Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga yang diatur dalam Pasal
5 yang menyatakan : “setiap orang dilarang melakukan Kekerasan Dalam Rumah Tangga
terhadap orang dalam lingkup rumah tangganya. Ketentuan tersebut pada pokoknya ada 4
(empat) jenis tindak pidana yang dikualifikasikan sebagai Tindak Pidana Kekerasan dalam
Rumah Tangga adalah 43
a. Kekerasan Fisik
Jenis Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga yang pertama adalah
melakukan kekerasan fisik yang diartikan sebagai perbuatan yang mengakibatkan rasa
sakit, jatuh sakit, atau luka berat (Vide Pasal 6 Undang-Undang Nomor 23 Tahun
2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga). Pengertian ini serupa
tapi tidak sama dengan pengertian “penganiayaan” yang tercantum dalam Pasal 351
43
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.44 Perbedaannya yang nyata karena “kekerasan
fisik” diberikan penafsiran otentik dalam Pasal 6 Undang-Undang Nomor 23 Tahun
2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, sedangkan dalam Pasal
351 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tidak dijelaskan pengertian dari
“penganiayaan” tetapi hanya disebut kualifikasi deliknya yaitu “penganiayaan”.
b. Kekerasan Psikis
Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga, yang kedua adalah kekerasan psikis, dimana menurut Pasal 5 huruf b Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang
Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga “dilarang setiap orang melakukan
kekerasan psikis yakni melakukan perbuatan yang mengakibatkan ketakutan,
hilangnya, rasa percaya diri, hilangnya, kemampuan untuk bertindak, rasa tidak
berdaya, dan/atau penderitaan psikis berat pada seseorang” (Vide Pasal 7 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah
Tangga). Jenis tindak pidana, “kekerasan psikis” adalah tindak pidana, yang
benar-benar baru karena, tidak ada padanannya, dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana, berbeda dengan tindak pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga dalam
bentuk lainnya yang ada padanannya dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana,
yaitu kekerasan fisik (penganiayaan), kekerasan seksual (kesusilaan) serta
penelantaran rumah tangga, (penelantaran orang yang perlu diberikan nafkah dan kehidupan).
b. Kekerasan Seksual
44
Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga yang ketiga adalah kekerasan
seksual, dimana menurut Pasal 5 huruf c Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004
Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga dilarang setiap orang
melakukan kekerasan seksual yakni meliputi:45
1) Pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga tersebut dan
2) Pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu (Vide Pasal 8).
Tindak pidana yang sepadan dengan kekerasan seksual dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana adalah perkosaan. Istilah yang digunakan dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana adalah “kejahatan terhadap kesusilaan”, tidak menggunakah
istilah kejahatan seksual (sexual violence) yang diartikan sebagai perbuatan pidana berkaitan dengan seksualitas yang dapat dilakukan terhadap laki-laki ataupun
perempuan.
Istilah kesusilaan menyebabkan masyarakat terutama aparat hukum sering terjebak
dalam menempatkan pasal-pasal kesusilaan semata-mata sebagai persoalan
pelanggaran terhadap nilai-nilai budaya, norma agama, atau sopan santun yang
berkaitan dengan nafsu perkelaminan (birahi), bukan kejahatan terhadap tubuh dan
jiwa seseorang.
Sedangkan yang dinamakan “pencabulan” adalah segala perbuatan yang melanggar
kesusilaan (kesopanan) atau perbuatan yang keji, semuanya itu dalam lingkungan
45
nafsu berahi kelamin, misalnya : cium-ciuman, meraba-raba anggota kemaluan,
merabaraba buah dada dan sebagainya. 46
Yang dimaksudkan “hubungan seksual” dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun
2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga ini, apakah
kualifikasinya sama dengan “persetubuhan” atau kualifikasinya adalah “persetubuhan
dan juga pencabulan” atau bahkan pengertiannya lebih luas dari bentuk kekerasan
seksual yang dilakukan oleh suami kepada isteri atau sebaliknya. Maka perkara
tersebut sebaiknya menjadi perkara yang ringan dengan syarat tindak pidana
tersebut tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan
jabatan atau mata pencaharian atau kegiatan sehari-hari, dalam halnya jika kekerasan
seksual tersebut dilakukan kepada selain isteri atau suami maka disini tidak perlu ada
bentuk ringannya.
c. Penelantaran Rumah Tangga
Tindak Pidana Kekerasan dalam Rumah Tangga yang keempat adalah adalah
Penelantaran Orang dalam lingkup rumah tangga, dimana menurut Pasal 5 huruf d
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam
Rumah Tangga dilarang setiap orang melakukan penelantaran rumah tangga, yakni
sebagaimana yang diatur dalam Pasal 9 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004
Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, bahwa:47
1) Setiap orang dilarang menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya,
padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau
perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan kepada
orang tersebut.
46 Ibid. 47
2) Penelantaran sebagaimana dimaksud ayat (1) juga berlaku bagi setiap orang yang
mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi dan/atau
melarang untuk bekerja yang layak di dalam atau di luar rumah sehingga korban
berada di bawah kendali orang tersebut.
Selanjutnya larangan melakukan penelantaran dalam rumah tangga dalam Pasal 5
huruf d diancam dengan pidana dalam Pasal 49 Undang-Undang Nomor 23 Tahun
2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga sebagai berikut :48
Dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak
Rp. 15.000.000,00 (lima belas juta rupiah), setiap orang yang :
1) Menelantarkan orang lain dalam lingkup rumah tangganya sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 9 ayat (1).
2) Menelantarkan orang lain sebagaimana dimaksud Pasal 9 ayat (2).
48
BAB III
PERTANGGUNGJAWABAN HUKUM PELAKU TINDAK PIDANASODOMI TERHADAP ANAK
1. Unsur Pertanggungjawaban
1.1Pengertian Kesalahan
Kesalahan dalam arti luas: memiliki pengertian yang sama dengan
pertanggungjawaban dalam hukun pidana. Kesalahan dalam arti sempit: kesalahan berarti
ke-alpaan. Kesalahan dalam arti bentuk kesalahan : Kesalahan disengaja (dolus/opzet): Prinsip dari kesengajaan dalam Memori van Toeliching adalah mengetahui (weten) dan
menghendaki (willen) kesalahan karena ke alpaan: Kealpaan terjadi bila pelaku mengetahui tetapi secara tidak sempurna karena dalam kealpaan seseorang mengalami
sifat kekurangan (kurang hati-hati, kurang teliti dan sebagainya) 49
Beberapa pendapat dari pakar hukum pidana tentang kesalahan (schuld) yang pada hakikatnya adalah pertanggungjawaban pidana.
a. Menurut Metzger, Kesalahan adalah keseluruhan syarat yang memberi dasar
untuk adanya pencelaan pribadi terhadap pelaku hukum pidana.
b. Menurut Simons, Kesalahan adalah terdapatnya keadaan psikis tertentu pada
seseorang yang melakukan tindak pidana dan adanya hubungan antara keadaan
tersebut dengan perbuatan yang dilakukan, yang sedemikian rupa hingga orang itu
dapat dicela karena melakukan perbuatan tadi. Berdasarkan pendapat ini dapat
disimpulkan adanya dua hal di samping melakukan tindak pidana, yaitu:
1) Keadaan psikis tertentu
49
2) Hubungan tertentu antara keadaan psikis dengan perbuatan yang dilakukan
hingga menimbulkan celaan
c. Menurut Van Hamel, Kesalahan dalam suatu delik merupakan pengertian
psikologis, berhubungan antara keadaan jiwa pelaku dan terwujudnya unsur-unsur
delik karena perbuatannya. Kesalahan adalah pertanggungjawaban dalam hukum.
d. Menurut Pompe, Pada pelanggaran norma yang dilakukan karena kesalahan,
biasanya sifat melawan hukum itu merupakan segi luarnya. Yang bersifat
melawan hukum adalah perbuatannya, segi dalamnya, yang berhubungan dengan
kehendak pelaku adalah kesalahan. Kesalahan dapat dilihat dari dua sudut, yaitu:
(a) Dari akibatnya, kesalahan adalah hal yang dapat dicela.
(b) Dari hakikatnya, kesalahan adalah hal tidak dihindarinya perbuatan melawan
hukum.
e. Menurut Moeljatno, Orang dapat dikatakan mempunyai kesalahan, jika dia pada
waktu melakukan perbuatan pidana, dapat dilihat dari segi masyarakat dapat
dicela karenanya, yaitu mengapa melakukan perbuatan yang merugikan
masyarakat, padahal mampu untuk mengetahui makna (jelek) perbuatan
tersebut.50
1. Unsur-Unsur Dalam Hukum Pidana
Berkaitan dengan kesalahan yang bersifat psikologis dan kesalahan yang bersifat
normatif, unsur-unsur tindak pidana dan pendapat para pakar mengenai kesalahan,
dapat disimpulkan bahwa kesalahan memiliki beberapa unsur :
a. Adanya kemampuan bertanggung jawab pada si pelaku, dalam arti jiwa si pelaku
dalam keadaan sehat dan normal.
50
b. Adanya hubungan batin antara si pelaku dengan perbuataanya, baik yang
disengaja (dolus) maupun karna kealpaan (culpa)
c. Tidak adanya alasan pemaaf yang dapat menghapus kesalahan.51
2. Pertanggungjawaban
Masalah pertanggujawaban dan khususnya pertanggujawaban pidana mempunyai
kaitan yang erat dengan beberapa hal yang cukup luas. Dapat dipermasalahkan antara
lain:
a. Ada tidaknya kebebasan manusia untuk menentukan kehendak. Antara lain
ditentukan oleh indeterminisme dan determinisme. Sebenarnya manusia itu
mempunyai kebebasan untuk menentukan kehendaknya atau tidak. Kehendak
merupakan aktivitas batin manusia yang pada gilirannya berkaitan dengan
pertanggungjawaban manusia atas perbuatannya. Persoalan ini muncul sebagai
akibat pertentangan pendapat antara klasik (dan neo-klasik) dengan aliran modern.
Aliran klasik mengutamakan kebebasan individu dengan konsekuensi diterimanya
kehendak bebas dari individu. Pendirian mengenai kebebasan individu ini
diragukan oleh aliran modern yang membuktikan melalui psikologi dan psikiatri
bahwa tidak setiap perbuatan manusia itu dapat dipertanggungjawabkan
kepadanya, misalnya saja pada orang gila.
b. Aliran klasik menganut paham indeterminisme, yang mengatakan bahwa manusia itu dapat menentukan kehendaknya dengan bebas, meskipun sedikit banyak juga
ada faktor lain yang mempengaruhi penentuan kehendaknya, yaitu keadaan
pribadi dan lingkungannya, tetapi pada dasarnya manusia mempunyai kehendak
yang bebas. Sebaliknya aliran modern menganut paham determinisme, dan
mengatakan bahwa manusia sama sekali tidak dapat menentukan kehendaknya
51