• Tidak ada hasil yang ditemukan

TESIS TINDAK PIDANA TERKAIT SODOMI TERHADAP ANAK DALAM PERSPEKTIF PERLINDUNGAN ANAK

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "TESIS TINDAK PIDANA TERKAIT SODOMI TERHADAP ANAK DALAM PERSPEKTIF PERLINDUNGAN ANAK"

Copied!
95
0
0

Teks penuh

(1)

TESIS

TINDAK PIDANA TERKAIT SODOMI TERHADAP ANAK DALAM

PERSPEKTIF PERLINDUNGAN ANAK

OLEH

RATNA WIDIYATI, S.H.

NIM 031224153022

PROGRAM STUDI MAGISTER HUKUM

MINAT STUDI ILMU HUKUM

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS AIRLANGGA

(2)

TINDAK PIDANA TERKAIT SODOMI TERHADAP ANAK DALAM

PERSPEKTIF PERLINDUNGAN ANAK

T E S I S

Diajukan Untuk Memperoleh Gelar Magister Hukum Pada Program Studi Magister Hukum

Minat Studi Ilmu Hukum Pada Fakultas Hukum

Universitas Airlangga

OLEH :

RATNA WIDIYATI, S.H.

NIM 031224153022

PROGRAM STUDI MAGISTER HUKUM

MINAT STUDI ILMU HUKUM

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS AIRLANGGA

(3)

LEMBAR PERSETUJUAN

Tesis ini telah diseujui Tanggal 17 Juni 2015

Oleh :

Dosen Pembimbing,

Dr. Sarwirini, S.H. M.S. NIM. 196009291985022001

Mengetahui,

Ketua Minat Studi Ilmu Hukum Program Studi Magister Hukum

Minat Studi Ilmu Hukum

Fakultas Hukum Universitas Airlangga

(4)

ABSTRAKSI

Hasil Penelitian menunjukkan bahwa diprrosesnya Pasal – Pasal 387 dan 292 KUHP serta Pasal – Pasal 81 dan 82 Undang – Undang No. 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak pada pelaku sodomi terhadap anak, jika pelakunya adalah salah satu dalam lingkup rumah tangga , maka dapat di kenakan pasal Undang – Undang No.23 tahun 2004 tentang perbuatan kekerasan dalam rumah tangga.

Menggingat perbuatan pelaku termasuk tindak pidana yang berat , maka seharusnya pelaku dijerat pasal yang berat , namun demikian pelaku maupun korban perlu mendapatkan tindak medis semacam rehabilitasi sehingga korban tidak mengalami trauma dan pelaku tidak mengulangi perbuatannya lagi.

(5)

ABSTRACT

Research shows that diprrosesnya Article - Article 387 and 292 of the Criminal Code and Article - Article 81 and 82 of the Law - No. 23 of 2002 on the protection of children on the perpetrators of sodomy against children, if the perpetrator is the one in the domestic sphere, it can put the article - Law No.23 of 2004 on acts of domestic violence.

Recalling the act of actors including heavy crime, the perpetrator should have a heavy sentence, but the perpetrators and victims should get some kind of medical follow-up rehabilitation of traumatized victims and perpetrators not to repeat his actions again.

(6)

KATA PENGANTAR

Dengan memanjatkan puji syukur kehadirat Allah S.W.T. atas berkat rakhmat dan

hidayahnya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan tesis ini dengan baik dan

tepat pada waktunya, yang berjudul “Tindak Pidana Terkait Sodomi Terhadap Anak Dalam Perspektif Perlindungan Anak.

Tujuan tesis ini adalah dalam rangka memenuhi persyaratan Program Magister Ilmu

Hukum Universitas Airlangga Surabaya.

Pada Kesempatan ini penulis tidak lupa mengucapkan terima kasih yang

sebesar-besarnya kepada banyak pihak yang telah memberikan bantuan dan dorongan kepada penulis

dalam proses penyusunan tesis ini. Ucapan terima kasih disampaikan kepada :

1. Rektor Universitas Airlangga Surabaya;

2. Bapak Dr. Muchammad Zaidun, S.H. M.Si, Dekan Fakultas Hukum Universitas

Airlangga Surabaya;

3. Bapak Prof. Dr. Agus Yudha Hernoko, S.H., M.H., selaku Ketua Minat Studi Ilmu

Hukum;

4. Ibu Astutik, S.H., M.H., selaku Ketua Tim Penguji Tesis;

5. Ibu Dr. Sarwirini, SH. MS. dan selaku Dosen Pembimbing dan Tim Penguji Tesis, yang

banyak membantu mengarahkan dalam penyusunan tesis dengan penuh kesabaran dan

memberikan petunjuk-petunjuk serta saran-saran sehingga penulis dapat menyelesaikan

tesis ini.

6. Bapak, Sapta Aprilianto, S,H., M.H., LL.M., Bapak Riza Alifiantio, K.S.H.,

MTCP.,selaku anggota tim penguji tesis.

7. Para Bapak dan Ibu dosen pengajar dan para staf karyawan pada program Magister

(7)

8. Suami tercinta yang senantiasi menemani penulis dan putra putri tersayang yang selalu

mendukung penulis dalam menyelesaikan penyusunan tesis ini.

9. Rekan-rekan yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah memberikan

dukungan dan semangat kepada penulis dalam penyusunan tesis ini.

Penulis menyadari bahwa penyusunan tesis ini masih jauh dari sempurna, untuk itu segala

kritikan dan saran yang berguna bagi penyusunan tesis ini sangat penulis harapkan, semoga

tesis ini bermanfaat bagi pihak-pihak yang tertarik dalam bidang hukum pidana khususnya

tindak kekerasan atau pelecehan seksual (sodomi) terhadap anak-anak, baik lingkungan

Fakultas Hukum, Hukum pemerintahan maupun masyarakat umum lainnya. Amin.

Surabaya, Februari 2015

(8)

DAFTAR PERUNDANG-UNDANGAN

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Jo. Undang-Undang Nomor 73 Tahun 1958 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (Wetboek van Strafrecht, Staatsblad 1915 No 73) (KUHP).

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia (HAM).

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.

(9)

DAFTAR PUTUSAN PENGADILAN

Putusan MARI No. 24 PK/Pid/2003 atas nama SISWANTO alias ROBOT

Putusan MARI No. 1109 K/Pid.Sus/2010 atas nama MUHAMMAD YUSUF RANGKUTI

(10)

DAFTAR ISI

BAB II PENGATURAN TINDAK PIDANA TERKAIT SODOMI TERHADAP ANAK 1. Pengertian Tindak Pidana ... 21

2. Pengertian Sodomi - Pedofilia ... 23

(11)

DAFTAR BACAAN

4. Sodomi Menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun

2002 Tentang Perlindungan Anak (UUPA) ... 31

5. Sodomi Menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun

2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah

Tangga (KDRT) ... 35

BAB III PERTANGGUNGJAWABAN HUKUM PELAKU TINDAK PIDANASODOMI TERHADAP ANAK

1. Unsur Pertanggungjawaban ... 40

2. Pengertian Pertanggungjawaban ... 55

3. Analisis dan Pembahasan Studi Kasus-Kasus ... 62

3.1Analisa Putusan Perkara No. 24 PK/Pid/2003 atas

nama SISWANTO alias ROBOT ... 62

3.2Analisa Putusan Perkara No. 1109 K/Pid.Sus/2010

atas nama MUHAMMAD YUSUF RANGKUTI ... 71

3.3Analisa Putusan Perkara No. 493 K/PID/2011 atas

nama BAEKUNI als. BUNGKIH als. BABE ... 81

BAB IV PENUTUP

1. Kesimpulan ... 88

(12)

BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

1.1.Anak merupakan amanah dan anugerah dari Tuhan Yang Maha Esa yang dalam dirinya

melekat harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya.1 Maraknya kekerasan seksual

dan atau pelecehan seksual terhadap anak telah mendapatkan perhatian publik dalam

beberapa dekade terakhir dan telah menjadi salah satu profil kejahatan yang paling tinggi.

Kekerasan seksual terhadap anak-anak dan penganiayaan anak telah semakin diakui

sebagai sesuatu yang sangat merusak bagi anak-anak dan dengan demikian tidak dapat

diterima bagi masyarakat secara keseluruhan. Sementara penggunaan seksual terhadap

anak oleh orang dewasa telah hadir sepanjang sejarah dan telah menjadi objek perhatian

publik signifikan pada masa sekarang.

1.2.Permasalahan pelecehan seksual terhadap anak telah menjadi fokus perhatian resmi para

professional. Pada pelecehan seksual terhadap anak menjadi terserap ke dalam bidang

yang lebih besar dari kajian trauma interpersonal, pelecehan seksual anak dipelajari dan

strategi intervensi telah menjadi degender dan sebagian besar tidak menyadari asal usul

politik mereka dalam feminisme modern dan gerakan politik lainnya yang dinamis, rang

mungkin berharap bahwa tidak seperti pada masa lalu.

1.3.Pelecehan seksual terhadap anak adalah suatu bentuk penyiksaan anak di mana orang

dewasa atau remaja yang lebih tua menggunakan anak untuk rangsangan seksual.2 Bentuk

pelecehan seksual anak termasuk meminta atau menekan seorang anak untuk melakukan

1

Rika Saraswati, Hukum Perlindungan Anak Di Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2009, h.1.

2

(13)

aktivitas seksual (terlepas dari hasilnya), memberikan paparan yang tidak senonoh dari

alat kelamin untuk anak, menampilkan pornografi untuk anak, melakukan hubungan

seksual terhadap anak-anak, kontak fisik dengan alat kelamin anak (kecuali dalam

konteks non-seksual tertentu seperti pemeriksaan medis), melihat alat kelamin anak tanpa

kontak fisik (kecuali dalam konteks non-seksual seperti pemeriksaan medis), atau

menggunakan anak untuk memproduksi pornografi anak.3 Lebih dari 4000 anak

Indonesia diajukan ke Pengadilan setiap tahunnya atas kejahatan ringan, seperti

pencurian.4

1.4.Kasus pelecehan seksual terhadap anak yang kini kembali mencuat dan menjadi kasus

yang paling banyak dibahas di Televisi, pelecehan seksual yang kini terjadi korbannya

dari kalangan anak-anak dibawah umur dan sebagian besar pelakunya adalah orang yang

terdekat, yang seharusnya menjadi pelindung anak-anak. Para korban anak-anak yang

masih dibawah umur ini belum mengerti dan mengetahui apa yang pelaku lakukan saat

pelecehan seksual pada korban-korbannya. Sebagian besar pelaku pelecehan seksual

adalah orang yang dikenal oleh korban mereka, keluarga dari si anak, paling sering adalah

saudara laki-laki, ayah, paman, atau sepupu, kenalan lainnya seperti “teman” dari

keluarga, pengasuh, atau tetangga, orang asing adalah pelanggar, dalam kasus

penyalahgunaan seksual anak.

1.5.Kebanyakan pelecehan seksual anak dilakukan oleh laki-laki; studi menunjukkan bahwa

perempuan melakukan pelanggaran yang dilaporkan terhadap anak laki-laki. Sebagian

besar pelanggar yang pelecehan seksual terhadap anak-anak sebelum masa puber adalah

pedofil, meskipun beberapa pelaku tidak memenuhi standar diagnosa klinis untuk

pedofilia.

3

Ibid. 4

(14)

1.6.Anak sebagai generasi penerus bangsa dan sumber daya negara perlu mendapat

perlindungan dari tindakan kekerasan, pelecehan seksual maupun eksploitasi yang

berlebihan. Pelecehan seksual dan atau percabulan anak, baik laki-laki maupun

perempuan adalah bentuk penyalahgunaan anak yang perlu mendapat perhatian dan

penanganan serius.

1.7.Kekerasan seksual itu merupakan istilah yang menunjukan pada prilaku seksual

derivative atau hubungan seksual yang menyimpang, merugikan pihak korban dan

merusak kedamaian di tengah masyarakat. Adanya kekerasan seksual yang terjadi, maka

penderitaan bagi korbannya telah menjadi akibat serius yang membutuhkan perhatian,5 Di

antara kejahatan kekerasan seksual, terdapat kejahatan seksual terhadap anak-anak, di

bawah ini diuraikan beberapa pendapat diantaranya :

2. Menurut M.Irsyad Thamrin dan M.Farid mengatakan, kekerasan seksual adalah kontak

seksual yang tidak dikendaki oleh salah satu pihak. Inti dari kekerasan seksual terletak

“ancaman” (verbal) dan “pemaksaan” (tindakan).6

3. Menurut J.H. Fitch mengadakan studi terhadap 147 pria yang terbukti melakukan

kejahatan terhadap anak-anak pada tahun 1956, diklasifikasikan menjadi lima kategori

berdasarkan psikologis : kategori tersebut adalah :7

4. Immature, melakukan kejahatan itu disebabkan ketidakmampuan mengidentifikasi diri

mereka dengan peran seksual seorang dewasa.

5

Abdul Wahid dan Muhammad Irfan, Perlindungan Terhadap Korban Kekerasan Seksual (Advokasi atas Hak Asasi Perempuan), Cet.2, Refika Aditama, Bandung, 2011, h. 32.

6

Dwi Ismantoro Yuwono, Penerapan Hukum Dalam Kasus Kekerasan Seksual Terhadap Anak, Cet.1, Pustaka Yustisia, Yogyakarta, 2015,h.1

7

(15)

5. Frustrated, melakukan kejahatannya sebagai reaksi melwan frustasi seksual yang sifatnya

emosional terhadap orang dewasa, sering terjadi mereka beralih kepada anak-anak

mereka sendiri (inces) ketika merasa tidak seimbang dengan istrinya.

6. Sociopathic, melakukan perbuatannya dengan orang asing sama sekali, suatu tindakan

yang keluar dari kecenderungan aggressive yang kadang muncul.

7. Pathological, tidak mampu mengontrol dorongan seksual sebagai hasil dari psikosis,

lemah mental, kelemahan organ tubuh atau kemerosotan sebelum waktunya ( premature

senile deterioration)

8. Miscellaneous, yang tidak termasuk semua kategori di atas.

8.1.Pelecehan seksual terhadap anak mencakup berbagai pelanggaran seksual, termasuk:

9. Pelecehan Seksual. Istilah ini didefinisikan sebagai suatu tindak pidana di mana seseorang

yang telah dewasa menyentuh anak di bawah umur untuk tujuan kepuasan seksual,

misalnya perkosaan (termasuk sodomi), dan penetrasi seksual dengan objek. Termasuk sebagian besar negara bagian Amerika Serikat dalam definisi mereka tentang kekerasan

seksual, ada kontak penetratif tubuh di bawah umur, bagaimanapun sedikit, jika kontak

dilakukan untuk tujuan kepuasan seksual.

10.Ekploitasi seksual. Istilah ini didefinisikan sebagai suatu tindak pidana di mana orang

dewasa melakukan kekerasan terhadap anak di bawah umur untuk promosi, kepuasan

seksual, atau keuntungan, misalnya melacurkan anak, dan menciptakan atau melakukan

(16)

11.Perawatan Anak. Menentukan perilaku sosial dari pelaku seks anak yang potensial yang

berusaha untuk membuat mereka menerima rayuan yang lebih sedikit, misalnya di ruang

bincang-bincang.

11.1. Berdasarkan terminologi dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, “pelecehan”, asal

kata peleceh8 artinya pembujuk/suka memuji-muji, “seksual”9 yang berkenaan dengan

kelamin (laki-laki perempuan) yang berkenaan dengan perkara campuran antara laki-laki

dan perempuan, “anak”10 turunan yang kedua; manusia yang masih kecil, pelecehan

seksual anak merupakan istilah umum yang menggambarkan tindak kriminal dan sipil di

mana orang dewasa terlibat dalam aktivitas seksual dengan anak di bawah umur atau

eksploitasi anak di bawah umur untuk tujuan kepuasan seksual.

11.2. Efek kekerasan seksual terhadap anak antara lain depresi, gangguan stres

pascatrauma, kegelisahan, kecenderungan untuk menjadi korban lebih lanjut pada masa

dewasa, dan dan cedera fisik untuk anak di antara masalah lainnya. Pelecehan seksual

oleh anggota keluarga adalah bentuk inses, dan dapat menghasilkan dampak yang lebih

serius dan trauma psikologis jangka panjang, terutama dalam kasus inses orangtua.

Perkembangan ilmu pengetahuan sangat mempengaruhi pola pikir pakar hukum untuk

membedakan pengertian perbuatan pidana/tindak pidana pelecehan seksual.

11.3. Mengenai istilah “tindak pidana” dari para sarjana hukum tidak ada keseragaman

pendapat, tetapi semuanya merupakan terjemahan dari istilah Belanda “starbaar feit”11.

Binacipta, Jakarta, 1983. Diterjemahkan Saleh Adiwinata, A. Teloeki, dan H. Boerhanoeddin, St. Batoeah. h.544, Yang artinya delik, peristiwa pidana : “peristiwa yang diancam hukuman, yang dapat mengakibatkan tuntutan hukuman, khusus dalam hukum pidana umum, berdasarkan ancaman UU

yang ditetapkan sebelumnya.”(N.W.v.Str. art.1 lid 1; KUHP ps 1 ayat 1) peristiwa pidana dalam

(17)

12.Menurut Moeljatno bahwa “perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu

aturan hukum larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi

barang siapa yang melanggar larangan tersebut.”12

13.R. Tresna juga mengatakan bahwa “tindak pidana” adalah perbuatan atau serangkaian

perbuatan manusia yang bertentangan dengan undang-undang atau peraturan

perundang-undangan lainnya terhadap perbuatan mana diadakan tindakan penghukuman. Dan dalam

tindak pidana tersebut terdapat syarat-syarat yang telah ditentukan seperti : harus adanya

suatu perbuatan manusia, perbuatan itu haruslah sesuai dengan apa yang dilukiskan di

dalam ketentuan hukum, dan atas perbuatan itu harus terbukti adanya kesalahan pada

orang yang berbuat dan dapat dipertanggungjawabkan, perbuatan yang dimaksudkan

harus berlawanan dengan hukum serta atas perbuatan itu harus tersedia ancaman

hukumannya dalam undang-undang.13

13.1. Adapun bentuk-bentuk pelecehan seksual itu, dapat dikategorikan ke dalam dua

kategori yaitu:

14.Bentuk pelecehan seksual yang tergolong ringan, yang bagi pelaku tidak dikenai sanksi

(seductive behavior) ataupun perbuatan tersebut dianggap sebagai perbuatan yang tidak

menyenangkan. Perbuatan - perbuatan tersebut dapat berupa:

15.Tingkah laku dan komentar yang berkenaan dengan peran jenis kelamin.

16.Tekanan langsung atau halus untuk tindakan seksual seperti : berciuman, berpegangan

tangan, menepuk bagian tertentu.

17.Sentuhan atau kedekatan fisik yang tidak diundang seperti: mendorong alat kelamin

(penis atau dada) pada korbannya.

18.Perhatian seksual yang tidak diundang dan tidak disukai serta tidak pada tempatnya.

12

Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 2008, h.59 13

(18)

19.Bentuk pelecehan seksual yang tergolong berat dan bagi si pelaku dikenakan sanksi

atau ancaman hukuman (sexual coercion). Perbuatan itu berupa pemaksaan untuk melakukan hubungan seksual dan kejahatan seksual atau pelanggaran hukum yang

dilakukan secara terang-terangan (sexsualassault).

19.1. Penyimpangan tingkah laku atau perbuatan melanggar hukum yang dilakukan oleh

anak, disebabkan oleh berbagai faktor, antara lain adanya dampak negatif dari

perkembangan pembangunan yang cepat, arus globalisasi di bidang komunikasi dan

informasi, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Perlakuan dan pembinaan yang

tepat akan dapat menjadi salah satu dasar yang kuat untuk mengembalikan dan mengantar

anak menuju masa depan yang baik untuk mengembangkan dirinya sebagai warga yang

bertanggung jawab bagi kehidupan keluarga, bangsa dan negara. Untuk lebih

memantapkan upaya pembinaan dan pemberian bimbingan bagi anak nakal, maka dalam

rangka mewujudkan peradilan yang memperhatikan perlindungan dan kepentingan anak,

maka Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak,

memberikan ketentuan-ketentuan mengenai penyelenggaraan pengadilan yang khusus

bagi anak dalam lingkungan peradilan umum. Dalam menghadapi dan menanggulangi

berbagai perbuatan dan tingkah laku anak nakal, perlu diperhatikan dan dipertimbangkan

kedudukan anak dengan segala ciri dan sifatnya yang khas. Walaupun anak telah dapat

menentukan sendiri langkah perbuatannya berdasarkan pikiran, perasaan, dan

kehendaknya, tetapi keadaan sekitarnya dapat mempengaruhi perilakunya. Oleh karena

itu dalam menghadapi masalah anak nakal, orang tua dan masyarakat sekelilingnya

seharusnya lebih bertanggung jawab terhadap pembinaan, pendidikan, dan pengembangan

perilaku anak.

19.2. Di samping pertimbangan tersebut di atas, demi pertumbuhan dan perkembangan

(19)

pidananya, perbedaan perlakuan dan ancaman yang diatur dalam undang-undang tersebut

dimaksudkan untuk lebih melindungi dan mengayomi anak agar dapat menyongsong

masa depannya yang masih panjang.

20.Mengingat anak-anak adalah generasi muda yang merupakan aset penerus bangsa, dengan

memperhatikan fenomena tersebut. Seringkali kasus-kasus tersebut tidak sampai ke

pengadilan atau kalau sampai di pengadilanpun si pelaku di hukum sangat ringan atau

bisa jadi malah bebas.

20.1. Bahwa Negara Republik Indonesia adalah Negara Hukum yang berdasarkan Pancasila

dan Undang - Undang Dasar 1945 yang menjunjung tinggi hak azasi manusia. Dalam

perspekif kenegaraan, komitmen Negara untuk melindungi warga negaranya termasuk

dalam anak, dapat ditemukan dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945.14

20.2. Pembangunan dan pembinaan hukum diarahkan agar dapat menciptakan kondisi yang

dinamis, sehingga setiap warga negara dapat menikmati iklim ketertiban dan kepastian

hukum yang berintikan keadilan, serta meningkatkan dan menyempurnakan pembinaan

hukum nasional dalam rangka pembaharuan hukum. Dengan diadakannya kodifikasi dan

unifikasi hukum akan memudahkan para penegak hukum dalam melakukan tugas

masing-masing, memantapkan sikap dan perilaku penegak hukum sesuai dengan fungsi

penegakan hukum dalam rangka meningkatkan citra dan wibawa aparat penegak hukum

serta meningkatkan pelayanan hukum kepada warga negara yang memerlukan.

21.Rumusan Masalah

22.Berdasarkan uraian di atas, maka rumusan masalah dari tesis ini adalah :

14

(20)

22.1. Bagaimana pengaturan perbuatan sodomi terhadap anak ditinjau dari Kitab

Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Undang-Undang-Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang

Perlindungan Anak (UUPA) dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang

Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT)?

22.2. Bagaimana pertanggungjawaban pidana pelaku sodomi tindak pidana kekerasan

seksual terhadap anak tersebut?

23.Tujuan Penelitian

24.Sesuai dengan rumusan masalah di atas, maka penulisan ini bertujuan antara lain :

24.1. Untuk menganalisa pengaturan perbuatan sodomi terhadap anak ditinjau dari Kitab

Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002

Tentang Perlindungan Anak (UUPA) dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004

Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT).

24.2. Untuk menganalisa pertanggungjawaban pidana pelaku sodomi tindak pidana

kekerasan seksual terhadap anak tersebut.

25.Manfaat Penelitian

26.Adapun manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut :

27.Manfaat akademis penelitian ini adalah memberi kontribusi teoritis dalam bidang (ilmu)

hukum pidana, khususnya terkait pengaturan tindak pidana perbuatan sodomi terhadap

anak dan pertanggungjawaban hukum tindak pidana pelaku sodomi kekerasan seksual

terhadap anak.

27.1. Manfaat praktis penelitian ini adalah untuk menyumbang wawasan aparat penegak

(21)

sodomi terhadap anak.

28.Tinjauan Pustaka

28.1. Tindak Pidana

28.2. Dalam perundang-undangan negara Indonesia istilah Tindak Pidana tersebut

disebutkan sebagai peristiwa pidana, perbuatan pidana atau delik. Melihat apa yang

dimaksud diatas, maka pembentuk undang-undang sekarang sudah konsisten dalam

pemakaian istilah tindak pidana.

28.3. Kekerasan Seksual

28.4. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tidak dikenal istilah pelecehan

seksual. KUHP menurutnya, hanya mengenal istilah perbuatan cabul, yakni diatur

dalam Pasal 285, Pasal 289 sampai dengan Pasal 292 KUHP.15 Bahwa istilah perbuatan

cabul dijelaskan sebagai perbuatan yang melanggar rasa kesusilaan, atau perbuatan lain

yang keji, dan semuanya dalam lingkungan nafsu berahi kelamin. Misalnya cium-ciuman,

meraba-raba anggota kemaluan, meraba-raba buah dada dan sebagainya. 16

28.5. Unsur-unsur yang terdapat dalam kekerasan seksual adalah :

29.Mengancam,

30.Memaksa dan

31.Memperkosa.17

31.1. Bentuk-bentuk kekerasan seksual terhadap anak adalah :18

15

R. Soesilo, KUHP Serta Komentar-komentarnya 16

Ibid. 17

(22)

32.Perkosaan;

33.Sodomi;

34.Oral seks;

35.Sexual Gesture;

36.Sexual Remark;

37.Pelecehan Seksual;

38.Pelacuran anak dan Sunat Klitoris pada anak Perempuan.

38.1. Pengertian itu berarti, segala perbuatan apabila itu telah dianggap melanggar

kesopanan/kesusilaan, dapat dimasukkan sebagai perbuatan cabul. Sementara itu, istilah

pelecehan seksual mengacu pada sexual harassment (Pelecehan seksual) yang diartikan sebagai unwelcome attention (Perhatian yang tidak diinginkan) atau secara hukum

didefinisikan sebagai "imposition of unwelcome sexual demands or creation of sexually offensive environments". (Pengenaan dari tuntutan seksual yang tidak diinginkan atau penciptaan dari lingkungan seksual yang menyakitkan hati).

38.2. Pelecehan Seksual

38.3. Unsur penting dari pelecehan seksual adalah adanya ketidakinginan atau penolakan

pada apapun bentuk-bentuk perhatian yang bersifat seksual. Sehingga bisa jadi perbuatan

seperti siulan, kata-kata, komentar yang menurut budaya atau sopan santun (rasa susila)

setempat adalah wajar. Namun, bila itu tidak dikehendaki oleh si penerima perbuatan

tersebut maka perbuatan itu bisa dikategorikan sebagai pelecehan seksual.

38.4. Jadi, pelecehan seksual dapat dijerat dengan Pasal percabulan (Pasal 289 sampai

dengan Pasal 296 KUHP). Dalam hal terdapat bukti-bukti yang dirasa cukup, Jaksa

Penuntut Umum yang akan mengajukan dakwaannya terhadap pelaku pelecehan seksual

di hadapan pengadilan.

18

(23)

39.Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) perkataan pelecehan seksual tidak

ada penjelasan khusus mengenai pengertian pelecehan seksual. Akan tetapi secara tidak

langsung di dalam pasal-pasal tersebut telah termaktub tentang perbuatan yang

digolongkan kepada pelecehan seksual. Khususnya pelecehan seksual terhadap anak di

bawah umur, seperti halnya perbuatan persetubuhan (Pasal 287 KUHP). Walaupun di

dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tidak ada penjelasan khusus

tentang pelecehan seksual, tetapi di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia terdapat

pengertian yang cukup jelas tentang pelecehan seksual. Untuk mengetahui lebih jelas

makna dari pelecehan seksual terlebih dahuluperlu melihat masing- masing kata yang ada

di dalamnya yaitu: “pelecehan” dan “seksual”.

39.1. Pelecehan (harrasment) merupakan pembendaan dari kata kerja “melecehkan” yang

berarti: menghina, memandang rendah, atau tindakan menurunkan martabat. Sedangkan

seksual (sexual) memiliki arti: hal-hal yang berkenaan dengan seks atau jenis kelamin, hal yang berkenaan dengan perkara persetubuhan antara pria dan wanita.

39.2. Maka dapat penulis menyimpulkan bahwa pelecehan seksual (sexual harrasment) itu adalah : suatu bentuk perbuatan penghinaan atau memandang rendah seseorang karena

hal-hal yang berkenaan dengan seks (jenis kelamin) atau aktivitas seksual antara laki-laki

dan perempuan. Atau dengan kata lain pelecehan seksual (sexual harassment) itu

merupakan suatu perilaku atau tindakan yang mengganggu, menjengkelkan dan tidak

diundang yang dilakukan seseorang atau sekelompok orang terhadap pihak lain yang

berkaitan dengan jenis kelamin pihak yang diganggunya. Perilaku itu dapat berupa fisik

dan mental serta mengganggu aspek fisik, mental, emosional dan spritual korban.

40.Dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam

Rumah Tangga yang dimaksudkan “hubungan seksual”, apakah kualifikasinya sama

(24)

atau bahkan pengertiannya lebih luas dari bentuk kekerasan seksual yang dilakukan oleh

suami kepada isteri atau sebaliknya.

40.1. Pedophilia

40.2. Yang dimaksud dengan Pedophilia (Pedofilia) adalah ketertarikan seksual orang

dewasa terhadap anak-anak. Anak-anak yang menjadi sasaran dari pemuasan birahi

seksual orang-orang dewasa pengidap pedofilia ini adalah anak-anak pra-purbertas atau

anak-anak yang belum mengalami purbertas (belum mengalami menstruasi dan belum

dapat dibuahi bagi anak perempuan dan belum dapat menghasilkan sperma bagi laki-laki.

Sebab-sebab munculnya penyakit ketertarikan seksual ini bisa disebabkan sebagai berikut

:19

41. Pengalaman masa kecil yang tidak mendukung perkembangan kedewasaannya.

42. Trauma pernah mendapat kekerasan seksual dari orang dewasa.

42.1. Pedofilia adalah salah satu bentuk penyakit jiwa kelainan ketertarikan seksual. Dalam

melampiaskan nafsu birahinya seorang pedofil akan mencari anak-anak pra pubertas

dengan tujuan agar pedofil bisa menguasai dan memaksakan penisnya diprestasikan ke

dalam dubur, liang vagina atau oral seks sehingga korban akan merasakan sakit yang

amat sangat. Rasa sakit yang amat sangat ini yang diharapkan oleh pelaku dialami oleh

korban. Dengan erangan rasa sakit si pedofil akan terangsang dan akan semakin menggila

memenetrasikan penisnya kedalam dubur.

42.2. Sodomi

42.3. Sodomi adalah istilah hukum yang digunakan dalam untuk merujuk kepada tindakan

seks “tidak alami”, yang bergantung pada yuridiksinya dapat terdiri atas seks oral atau

seks anal atau semua bentuk pertemuan organ non-kelamin dengan alat kelamin, baik

dilakukan secara heteroseksual, homoseksual, atau antara manusia dan hewan.

19

(25)

42.4. Tindak pidana pelecehan seksual (sodomi) pada anak diatur dalam Pasal 292 KUHP.

Apabila terjadi pemberatan misalnya luka berat, dituntut sesuai Pasal 291 ayat 1 KUHP.

Bila terjadi penganiayaan sehingga korban meninggal dunia dituntut sesuai Pasal 339

KUHP. Psikiatri Forensik dalam hal ini dokter ahli jiwa berperan dalam membantu

menentukan apakah pelaku tindakan pidana (sodomi) mengalami gangguan jiwa atau

tidak dan seberapa jauh kemampuannya dalam mempertanggungjawabkan perbuatannya.

42.5. Perlindungan anak

42.6. Perlindungan Anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan

hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi, secara optimal

sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari

kekerasan dan diskriminasi.20

42.7. Perlindungan Anak bertujuan untuk menjamin terpengaruhnya hak-hak anak agar

dapat hidup, tumbuh,berkembang dan berpartisipasi secara optimal sesuai harkat dan

martabat kemanusian serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi demi

terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia dan sejahtera.21

42.8. Menurut Barda Nawawi Arief, perlindungan hukum bagi anak dapat diartikan sebagai

upaya perlindungan hukum terhadap berbagai kebebasan dan hak asasi anak (fundamental rights and freedoms of children) serta berbagai kepentingan yang berhubungan dengan

kesejahteraan anak. 22

42.9. Pertanggungjawaban hukum

42.10. Sistem pertanggungjawaban pidana dalam hukum pidana positif saat ini menganut

asas kesalahan sebagai salah satu asas disamping asas legalitas.

20

Pasal 1 Angka 2 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak 21

Rika Saraswati, Op. Cit., h. 30 (Pasal 3 UU Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak)

22

(26)

Sistem pertanggungjawaban pidana dalam hukum pidana nasional yang akan datang

menerapkan asas tiada pidana tanpa kesalahan yang merupakan salah satu asas

fundamental yang perlu ditegaskan secara eksplisit sebagai pasangan asas legalitas.

Kedua asas tersebut tidak dipandang syarat yang kaku dan bersifat absolute, memberi

kemungkinan dalam hal-hal tertentu untuk menerapkan asas strict liability, vicarious liability erfolgshaftung, kesesatan atau error, rechterlijk pardon culp in causa

dan pertanggungjawaban pidana yang berhubungan dengan masalah subjek tindak pidana.

42.11. Dilihat dari sudut perbandingan KUHP Negara lain, asas kesalahan atau asas culpabilitas pada umumnya diakui sebagai prinsip umum. Perumusan asas ini biasanya

terlihat dalam perumusan mengenai pertanggungjawaban pidana, khususnya yang

berhubungan dengan masalah kesengajaan dan kealpaan.

43.Metode Penelitian

44.Penelitian tesis ini menggunakan metode penelitian hukum normatif dengan pendekatan

undang-undang (statute approach), pendekatan konsep (conceptual approach), dan pendekatan kasus (case approach).

45.Adapun penelitian hukum pendekatan tersebut adalah: 23

45.1. Pendekatan undang-undang (statute approach)

45.2. Pendekatan dilakukan dengan menelaah semua undang-undang dan regulasinya yang

bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang ditangani.

45.3. Pendekatan konseptual (conceptual approach)

45.4. Pendekatan konseptual beranjak dari pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin yang

berkembang di dalam ilmu hukum.

23

(27)

45.5. Pendekatan kasus (case approach)

45.6. Pendekatan dilakukan dengan cara melakukan telaah terhadap kasus-kasus yang

berkaitan dengan isu yang dihadapi yang telah menjadi putusan pengadilan yang telah

mempunyai kekuatan hukum tetap.

46.Sistematika Penulisan

46.1. Dalam penulisan tesis perlu adanya suatu uraian mengenai susunan dari penulisan

yang dibuat agar pembahasan teratur dan terarah pada masalah yang sedang dibahas

untuk itu tesis ini akan dibagi ke dalam 4 (empat) bab yaitu :

46.2. Pada Bab I (Bab Pendahuluan) ini akan diuraikan hal-hal latar belakang, rumusan

masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian, tinjauan pustaka, dan

sistematika penulisan, yang merupakan landasan penulisan tesis ini.

46.3. Dalam bab II dibahas terkait rumusan masalah yang berjudul pengaturan tindak

pidana terkait sodomi terhadap anak, yang akan dibahas dalam tiga sub bab yaitu Menurut

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002

Tentang Perlindungan Anak dan Menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004

Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.

46.4. Selanjutnya dalam Bab III dibahas topik rumusan masalah kedua yang berjudul

pertanggungjawaban hukum pelaku tindak pidana sodomi terhadap anak tersebut. Yang

dibahas dalam 2 sub judul yaitu terkait penanggungjawaban dan analisa / pembahasan

(28)

46.5. Sebagai bab penutup (Bab IV) akan diuraikan kesimpulan terkait pembahasan dalam

bab-bab terdahulu, juga akan disertakan saran yang diharapkan dapat bermanfaat bagi

(29)

BAB II

PENGATURAN TINDAK PIDANA TERKAIT SODOMI TERHADAP ANAK

1. Pengertian Tindak Pidana

Dalam hukum pidana di Indonesia mengenal beberapa rumusan pengertian tindak

pidana atau istilah tindak pidana sebagai pengganti istilah "Strafbaar feit". Sedangkan dalam

perundang-undangan negara Indonesia istilah tersebut disebutkan sebagai peristiwa pidana,

perbuatan pidana atau delik. Melihat apa yang dimaksud diatas, maka pembentuk

undang-undang sekarang sudah konsisten dalam pemakaian istilah tindak pidana. Akan tetapi para

sarjana hukum pidana mempertahankan istilah yang dipilihnya sendiri.

Adapun pendapat itu diketemukan antara lain : Moeljatno, Simons, Van Hamel, Pompe,

JE. Jonker, VOS dan R.Tresna, yang dalam uraiannya adalah sebagai berikut:

a. Moelyatno, menggunakan istilah Perbuatan Pidana adalah “perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut”.24 Unsur

tindak pidana adalah : 1) Perbuatan; 2) Yang dilarang (oleh aturan hukum); dan 3)

Ancaman pidana (bagi yang melanggar hukum).

b. Simons. Strafbaar feit adalah kelakuan (Hendeling) yang diancam dengan pidana yang bersifat melawan hukum, yang berhubungan dengan kesalahan dan yang

dilakukan oleh orang yang mampu bertanggungjawab.25 Unsur-unsur tindak pidana :

24

Adam Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana (Bagian Pertama), Cet. 1, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2008), h. 71.

25

(30)

1) Unsur Obyektif : Perbuatan orang, akibat yang kelihatan dari perbuatan itu

mungkin ada keadaan tertentu yang menyertai perbuatan itu

2) Unsur Subyektif : Orang yang mampu bertanggungjawab, adanya kesalahan

(Dolus atau Culpa). Kesalahan ini dapat berhubungan dengan akibat dari

perbuatan atau keadaan mana perbuatan itu dilakukan.

c. Van Hamel. Strafbaar feit adalah kelakuan orang (menselijke gedraging) yang

dirumuskan dalam wet, yang bersifat melawan hukum, yang patut dipidana (stafwaardig) dan dilakukan dengan kesalahan.26

Unsur-unsur tindak pidana: 1) Perbuatan Manusia; 2) Yang dirumuskan dalam

Undang-Undang; 3) Dilakukan dengan kesalahan; dan 4) Patut dipidana.

d. Pompe, menurutnya pengertian Strafbaar feit itu sebenarnya adalah tidak lain dari

suatu “tindakan yang menurut sesuatu rumusan undang-undang telah dinyatakan sebagai tindakan yang dapat dihukum.”27

e. J.E. Jonkers

Peristiwa pidana ialah “perbuatan yang melawan hukum (wederrechttelijk) yang berhubungan dengan kesengajaan atau kesalahan yang dilakukan oleh orang yang

dapat dipertanggungjawabkan”.28

Unsur-unsur tindak pidana: 1) Perbuatan (yang); 2) Melawan hukun (yang

berhubungan dengan); 3) Kesalahan (yang dilakukan oleh orang yang dapat); dan 4)

Dipertanggungjawabkan.

26

Ibid. 27

Adam Chazawi, Op. Cit., h. 72 28

(31)

f. VOS. Strafbaar feit adalah suatu kelakukan manusia yang diancam pidana oleh

peraturan Undang-Undang.29 Unsur-unsur tindak pidana: 1) Kelakuan manusia; 2)

Diancam dengan pidana; dan 3) Dalam peraturan perundang-undangan.

g. R.Tresna menyatakan “peristiwa pidana itu adalah suatu perbuatan yang atau rangkaian perbuatan manusia, yang bertentangan dengan undang-undang atau

peraturan perundang-undangan lainnya, terhadap perbuatan mana diadakan tindakan penghukuman”.30 Unsur-unsur tindak pidana:

1) Perbuatan/rangkaian perbuatan (manusia);

2) Yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan;

3) Diadakan tindakan penghukuman.

2. Pengertian Sodomi – Pedofilia

Menurut terminologi Sodomy dalam Black’s Law adalah 1. Oral or anal copulation between humans, esp. those of the same sex. 2. Oral or anal copulation between a human

and an animal; bestiality. also termed buggery; crime against nature; abominable crime against nature, unnatural offense; unspeakable crime; (archaically) sodomity; (in latin) crimen innominatum.31 (1.Oral atau anal kopulasi antara manusia , esp . Orang-orang dari

jenis kelamin yang sama; 2. Oral atau anal kopulasi antara manusia dan hewan; birahi hewan

disebut juga buggery; kejahatan terhadap alam; keji kejahatan terhadap alam, Pelanggaran tidak wajar; tak terkatakan kejahatan; (archaically) sodomity; (dalam bahasa latin) crimen innominatum).

29

Ibid, h. 72. 30

Adam Chazawi, Op. Cit., h. 73. 31

(32)

Liwath (homoseksual/sodomi) diriwayatkan dari Ibnu Abbas dari nabi beliau bersabda

: “apabila kalian mendapati orang yang melakukan perbuatan kaum Luth (homoseksual/sodomi) maka bunuhlah pelaku dan objeknya”.32

Sodomi/anal sex/semburit berasal dari kata Sodom/Shadum, istilah ini berasal

dari Bahasa Lain : peccatum Sodomiticum, atau “Dosa kaum Sodom.” salah satu kota yang warganya menjadi umat dakwah nabi Luth as, saat ini letaknya di sekitar Laut Mati, sebuah

tempat yang menjadi saksi kemurkaan Tuhan dan ditandai dengan letaknya terendah di muka

bumi ini dan tidak dapat didiami oleh mahluk hidup.

Sodomi artinya perbuatan penduduk kota Sodom, yaitu salah satu jenis hubungan

seksual penetratif, dimana puncak kepuasan seksual dilakukan dengan cara memasukkan

penis ke dalam anus. Biasanya dilakukan oleh sesama laki-laki, meski bisa saja laki-laki

menyodomi wanita.

Sodomi adalah istilah hukum yang digunakan dalam untuk merujuk kepada tindakan

seks “tidak alami”, yang bergantung pada yuridiksinya dapat terdiri atas seks oral atau seks

anal atau semua bentuk pertemuan organ non-kelamin dengan alat kelamin, baik dilakukan

secara heteroseksual, homoseksual, atau antara manusia dan hewan.

Yang dimaksud dengan Pedofilia adalah ketertarikan seksual orang dewasa terhadap

anak-anak. Anak-anak yang menjadi sasaran dari pemuasan birahi seksual orang-orang

dewasa pengidap pedofilia ini adalah anak-anak pra-purbertas atau anak-anak yang belum

mengalami purbertas (belum mengalami menstruasi dan belum dapat dibuahi bagi anak

perempuan dan belum dapat menghasilkan sperma bagi laki-laki.

32

(33)

Menurut terminologi Pedophilia dalam Black’s Law . An adult who engages in

Pedophilia. Menerangkan Pedophilia “ 1. An adult’s sexual disorder consisting in the desire for sexual gratification by molesting children esp. prepubescent children. (kelainan seksual orang dewasa terdiri dalam keinginan untuk kepuasan seksual terhadap menganiaya

anak-anak) 2. An adult’s act of children molestation. Phedophilia can but does not necessarily involve intercourse.33 (undang-undang orang dewasa terhadap penganiayaan anak-anak.

Phedophilia tidak dapat serta merta melibatkan hubungan). Phedophilia termasuk

penyimpangan seksual/parafilia, dimana si penyandang memiliki selera seksual terhadap

anak-anak yang diketahuinya atau diduganya secara kuat masih belum masuk usia puber

(belum menarche atau mimpi basah) sedangkan dirinya sendiri minimal 5 (lima) tahun lebih tua dari si anak. Bandingkan dengan phedophilia, dimana si penyandang berselera terhadap

anak yang menjelang atau baru masuk usia puber.

Sebab-sebab munculnya penyakit ketertarikan seksual ini bisa disebabkan sebagai

berikut :34

a. Pengalaman masa kecil yang tidak mendukung perkembangan kedewasaannya.

b. Trauma pernah mendapat kekerasan seksual dari orang dewasa.

Pedofilia adalah salah satu bentuk penyakit jiwa kelainan ketertarikan seksual. Dalam

melampiaskan nafsu birahinya seorang pedofil akan mencari anak-anak pra pubertas dengan

tujuan agar pedofil bisa menguasai dan memaksakan penisnya diprestasikan ke dalam dubur,

liang vagina atau oral seks sehingga korban akan merasakan sakit yang amat sangat. Rasa

sakit yang amat sangat ini yang diharapkan oleh pelaku dialami oleh korban. Dengan erangan

rasa sakit si pedofil akan terangsang dan akan semakin menggila memenetrasikan penisnya

kedalam dubur.

33

Bryan A.Garner, Op. Cit., h.1167. 34

(34)

Adapun Erich Fromm, M. Irsyad Thamrin dan M. Farid dan Bagong Suyanto

berpendapat sodomi – pedofilia adalah:

a. Menurut Erich Fromm mengidentifikasikan pedofilia adalah penyakit menyimpang

seksual yang masuk dalam kategori sadism. Fromm mengatakan dengan berperilaku

sadis pada saat itulah pelaku merasa berkuasa terhadap korbannya dan semakin

korban merasa sakit ketika disodomi atau disetubuhi maka semakin berkuasalah

sipelaku.

Bahwa pedofilia kemunculannya disebabkan dua hal antara lain adalah : 35

1) Pada masa pertumbuhannya atau pada masa kecilnya seorang pedofil telah

terperangkap dalam berbagai kondisi yang membuatnya merasa kesepian dan

tidak berdaya. Bersamaan dengan ini anak pada masa kecilnya selalu

mendapatkan kekerasan dari orang dewasa dan tindakan-tindakan orang dewasa

yang membuat anak ketakutan.

2) Anak pada masa kecilnya merasa mengalami kehampaan jiwa, tidak ada simulasi,

tidak ada yang akan dapat membangkitkan kecakapannya dan potensinya,

tahun-tahun berkepanjangan yang menjemukan. Dari keadaan seperti inilah kemudian

anak akan mengembangkan kepribadian yang dingin hingga dia menginjak

dewasanya.

b. Menurut M. Irsyad Thamrin dan M. Farid menyatakan bahwa dampak negatif dari

korban pedofil ditandai munculnya 36

1) Trauma fisik pada diri si anak;

2) Trauma psikis pada diri si anak;

3) Disorentasi moral pada diri si anak.

35

Ibid., h.45 36

(35)

c. Menurut Bagong Suyanto mengatakan bahwa anak yang menjadi korban kekerasan

(kejahatan pedofil), ketika dia tumbuh menjadi dewasa akan menjadi pelaku

kekerasan – pelaku pedofilia.37

Unsur-unsur yang terdapat dalam kekerasan seksual adalah :

a. Mengancam. Ancaman adalah tindakan menakut-nakuti. Tujuannya dari indakan

ini adalah agar pihak lain bertindak sesuai dengan keinginan pihak yang

menakut-nakuti.

b. Memaksa adalah perintah dari satu pihak lain mengerjakan sesuatu yang

diinginkannya. Walaupun pihak lain tidak mau mengerjakannya, namun pihak

yang memberikan perintah mengharuskan pihak lain untuk mengerjakannya.

Pemaksaan ini bisa dalam bentuk verbal (memaksakan pendapat dan pikiran) dan

bisa juga dalam bentuk tindakan (menyentuh organ tubuh sensitif anak tanpa

persetujuan anak).

c. Memperkosa adalah memasukan secara paksa penis ke dalam vagina atau dubur.

Bentuk-bentuk kekerasan seksual terhadap anak antara lain adalah :

a. Perkosaan.

b. Sodomi.

c. Oral seks.

d. Sexual Gesture (serangan seksual secara verbal termasuk eksibisionisme).

e. Sexual Remark (serangan seksual secara verbal).

f. Pelecehan Seksual.

g. Pelacuran anak dan Sunat Klitoris pada anak Perempuan.

37

(36)

3. Sodomi Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)

Di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) telah dijelaskan bahwa

tindak pidana pelecehan seksual terhadap anak di bawah umur merupakan sebuah kejahatan

kesusilaan yang bagi pelakunya harus diberikan hukuman yang setimpal. Maksudnya dengan

dijatuhkan hukuman kepada si pelaku sehingga dapat kiranya tindakan pelecehan seksual

terhadap anak di bawah umur dapat dicegah sehingga perbuatan tersebut tidak terjadi lagi.

Pasal 50 ayat 1 KUHP menyatakan bahwa ada empat tujuan penjatuhan hukuman yaitu:

1. Untuk mencegah terjadinya tindak pidana dengan menegakkan norma-norma hukum

demi pengayoman masyarakat.

2. Untuk memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga menjadi

orang yang lebih baik dan berguna.

3. Untuk menyelesaikan komplik yang ditimbulkan oleh tindak pidana (memulihkan

keseimbangan dan mendatangkan rasa damai).

4. Untuk membebaskan rasa bersalah pada terpidana.38

5. Adapun dalam KUHP, pasal-pasal yang mengatur tentang hukuman bagi pelaku

kekerasan seksual terhadap anak di bawah umur terdapat dalam Pasal 285, 289 dan

292 KUHP:

6. Dalam Pasal 285 ditentukan bahwa barang siapa dengan kekerasan atau ancaman

kekerasan memaksa perempuan yang bukan isterinya berhubungan seksual

(berhubungan dengan pen) dengan dia, dihukum karena memperkosa, dengan

hukuman penjara selama-lamanya 12 tahun. Sedangkan Pasal 289 disebutkan barang

siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seseorang melakukan atau

38

(37)

membiarkan melakukan pada dirinya perbuatan cabul, dihukum karena merusakan

kesopanan dengan hukuman penjara selama-lamanya Sembilan tahun. 39

2. Pasal 292 KUHP berbunyi: “Orang dewasa yang melakukan perbuatan cabul dengan

orang lain sesama kelamin, yang diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya belum

dewasa, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun.”40

Dari paparan pasal-pasal tentang hukuman bagi pelaku pelecehan seksual terhadap

anak di bawah umur tersebut di atas, maka dapat disimpulkan bahwa hukuman bagi si

pelaku bervariasi, bergantung kepada perbuatannya yaitu apabila perbuatan tersebut menimbulkan luka berat seperti tidak berfungsinya alat reproduksi atau menimbulkan

kematian maka hukuman bagi si pelaku akan lebih berat yaitu 15 tahun penjara.

Tetapi apabila tidak menimbulkan luka berat maka hukuman yang dikenakan bagi si

pelaku adalah hukuman ringan.

Tindak pidana pelecehan seksual yang dilakukan oleh seseorang terhadap orang lain

yang bukan isterinya merupakan delik aduan yang maksudnya adalah bahwa hanya

korbanlah yang bisa merasakannya dan lebih berhak melakukan pengaduan kepada

yang berwenang untuk menangani kasus tersebut.

Adapun mengenai delik aduan dapat dibedakan atas dua jenis, yaitu: delik aduan absolut

dan delik aduan relatif.

a. Delik aduan absolut adalah delik (peristiwa pidana) yang hanya dapat dituntut apabila

ada pengaduan. Dan dalam pengaduan tersebut yang perlu dituntut adalah

peristiwanya sehingga permintaan dalam pengaduan ini harus berbunyi: “saya

meminta agar tindakan atau perbuatan ini dituntut”. Delik aduan absolut ini tidak

39

, Dwi Ismantoro Yuwono, Op. Ci., h.1. 40

(38)

dapat dibelah maksudnya adalah kesemua orang/ pihak yang terlibat atau yang

bersangkut paut dengan peristiwa ini harus dituntut. Karena yang dituntut di dalam

delik aduan ini adalah peristiwa pidananya.

b. Delik aduan relatif adalah delik (peristiwa pidana) yang dituntut apabila ada

pengaduan. Dan delik aduan relatif ini dapat dibelah karena pengaduan.

ini diperlukan bukan untuk menuntut peristiwanya, tetapi yang dituntut di sini adalah

orang-orang yang bersalah dalam peristiwa ini.

Berdasarkan penjelasan tentang delik aduan di atas, maka penulis menggolongkan bahwa

tindak pidana pelecehan seksual terhadap anak di bawah umur merupakan delik aduan

relatif, karena yang dituntut di sini adalah orang yang telah bersalah dalam perbuatan

tersebut.

4. Sodomi Menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak (UUPA)

Dalam suatu perkara pidana, pemrosesan perkara digantungkan pada jenis deliknya.

Ada dua jenis delik sehubungan dengan pemrosesan perkara, yaitu delik aduan dan delik

biasa. Delik aduan artinya delik yang hanya bisa diproses apabila ada pengaduan atau

laporan dari orang yang menjadi korban tindak pidana. Menurut Utrecht dalam bukunya

Hukum Pidana II, dalam delik aduan penuntutan terhadap delik tersebut digantungkan pada

persetujuan dari yang dirugikan (korban). Pada delik aduan ini, korban tindak pidana dapat

mencabut laporannya kepada pihak yang berwenang apabila di antara mereka telah terjadi

suatu perdamaian. Berbeda dengan delik aduan, dalam delik biasa perkara tersebut dapat

(39)

mencabut laporannya kepada pihak yang berwenang, penyidik tetap berkewajiban untuk

memproses perkara tersebut.

Dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, ada dua

pasal yang mengatur tentang ancaman hukuman bagi pelaku pelecehan seksual terhadap anak

di bawah umur yaitu Pasal 81 dan Pasal 82.

Pasal 81 UU Perlindungan Anak berbunyi sebagai berikut:

(1) Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).

(2) Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berlaku pula bagi setiap orang yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain.”

Pasal 82 UU Perlindungan Anak berbunyi sebagai berikut:

Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).”41

Dari rumusan Pasal 82 di atas, terlihat bahwa tidak ada keharusan bagi delik ini untuk

dilaporkan oleh korbannya. Dengan demikian, delik pencabulan terhadap anak merupakan

delik biasa, bukan delik aduan. Oleh karena pencabulan tersebut merupakan delik biasa,

bukan delik aduan, maka seharusnya perkara pencabulan tersebut tetap diproses, walaupun

sudah ada pencabutan laporan dari keluarga korban.

Dasar hukum :

41

(40)

a. Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak

Pengertian mengenai delik aduan, terdapat dua jenis delik dalam pemrosesan perkara,

yaitu delik aduan dan delik biasa. Dalam delik biasa, perkara dapat diproses tanpa

adanya persetujuan dari yang dirugikan (korban). Jadi, walaupun korban telah

mencabut laporan/pengaduannya kepada polisi, penyidik tetap berkewajiban untuk

melanjutkan proses perkara. Sedangkan, mengenai delik aduan berarti delik

yang hanya bisa diproses apabila ada pengaduan atau laporan dari orang yang menjadi

korban tindak pidana.

1) Menurut E Utrecht dalam bukunya Hukum Pidana II, dalam delik aduan

penuntutan terhadap delik tersebut digantungkan pada persetujuan dari yang

dirugikan (korban). Pada delik aduan ini, korban tindak pidana dapat mencabut

laporannya kepada pihak yang berwenang apabila di antara mereka telah terjadi

suatu perdamaian.

2) R. Soesilo dalam bukunya membagi delik aduan menjadi dua jenis yaitu:42

(a) Delik aduan absolut, ialah delik (peristiwa pidana) yang selalu hanya dapat

dituntut apabila ada pengaduan seperti tersebut dalam Pasal-pasal: 284, 287,

293, 310 dan berikutnya, 332, 322, dan 369.

(b) Delik aduan relatif, ialah delik-delik (peristiwa pidana) yang biasanya bukan

merupakan delik aduan, akan tetapi jika dilakukan oleh sanak keluarga yang

ditentukan dalam Pasal 367, lalu menjadi delik aduan. Delik-delik aduan

relatif ini tersebut dalam Pasal-pasal: 367, 370, 376, 394, 404, dan 411.

b. Ketentuan Undang-Undang No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (UUPA) yang berkaitan dengan tindak pidana kesusilaan yaitu antara lain Pasal 81 (perkosaan anak) dan Pasal 82 (pencabulan anak), terlihat bahwa tidak ada

42

(41)

keharusan bagi delik ini untuk dilaporkan oleh korbannya. Dengan demikian, delik

perkosaan dan pencabulan terhadap anak merupakan delik biasa, bukan delik aduan.

Delik biasa dapat diproses tanpa adanya persetujuan dari yang dirugikan (korban).

Dasar Hukum:

a. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (Wetboek van Strafrecht, Staatsblad 1915 No 73).

b. Undang-Undang No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak

5. Sodomi Menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UUKDRT)

Mengenai pengenaan pidana bagi setiap orang yang melanggar larangan melakukan

Kekerasan dalam Rumah Tangga yang tersebut dalam BAB III Undang-Undang Nomor 23

Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga yang diatur dalam Pasal

5 yang menyatakan : “setiap orang dilarang melakukan Kekerasan Dalam Rumah Tangga

terhadap orang dalam lingkup rumah tangganya. Ketentuan tersebut pada pokoknya ada 4

(empat) jenis tindak pidana yang dikualifikasikan sebagai Tindak Pidana Kekerasan dalam

Rumah Tangga adalah 43

a. Kekerasan Fisik

Jenis Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga yang pertama adalah

melakukan kekerasan fisik yang diartikan sebagai perbuatan yang mengakibatkan rasa

sakit, jatuh sakit, atau luka berat (Vide Pasal 6 Undang-Undang Nomor 23 Tahun

2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga). Pengertian ini serupa

tapi tidak sama dengan pengertian “penganiayaan” yang tercantum dalam Pasal 351

43

(42)

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.44 Perbedaannya yang nyata karena “kekerasan

fisik” diberikan penafsiran otentik dalam Pasal 6 Undang-Undang Nomor 23 Tahun

2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, sedangkan dalam Pasal

351 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tidak dijelaskan pengertian dari

“penganiayaan” tetapi hanya disebut kualifikasi deliknya yaitu “penganiayaan”.

b. Kekerasan Psikis

Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga, yang kedua adalah kekerasan psikis, dimana menurut Pasal 5 huruf b Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang

Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga “dilarang setiap orang melakukan

kekerasan psikis yakni melakukan perbuatan yang mengakibatkan ketakutan,

hilangnya, rasa percaya diri, hilangnya, kemampuan untuk bertindak, rasa tidak

berdaya, dan/atau penderitaan psikis berat pada seseorang” (Vide Pasal 7 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah

Tangga). Jenis tindak pidana, “kekerasan psikis” adalah tindak pidana, yang

benar-benar baru karena, tidak ada padanannya, dalam Kitab Undang-Undang Hukum

Pidana, berbeda dengan tindak pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga dalam

bentuk lainnya yang ada padanannya dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana,

yaitu kekerasan fisik (penganiayaan), kekerasan seksual (kesusilaan) serta

penelantaran rumah tangga, (penelantaran orang yang perlu diberikan nafkah dan kehidupan).

b. Kekerasan Seksual

44

(43)

Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga yang ketiga adalah kekerasan

seksual, dimana menurut Pasal 5 huruf c Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004

Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga dilarang setiap orang

melakukan kekerasan seksual yakni meliputi:45

1) Pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga tersebut dan

2) Pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu (Vide Pasal 8).

Tindak pidana yang sepadan dengan kekerasan seksual dalam Kitab Undang-Undang

Hukum Pidana adalah perkosaan. Istilah yang digunakan dalam Kitab

Undang-Undang Hukum Pidana adalah “kejahatan terhadap kesusilaan”, tidak menggunakah

istilah kejahatan seksual (sexual violence) yang diartikan sebagai perbuatan pidana berkaitan dengan seksualitas yang dapat dilakukan terhadap laki-laki ataupun

perempuan.

Istilah kesusilaan menyebabkan masyarakat terutama aparat hukum sering terjebak

dalam menempatkan pasal-pasal kesusilaan semata-mata sebagai persoalan

pelanggaran terhadap nilai-nilai budaya, norma agama, atau sopan santun yang

berkaitan dengan nafsu perkelaminan (birahi), bukan kejahatan terhadap tubuh dan

jiwa seseorang.

Sedangkan yang dinamakan “pencabulan” adalah segala perbuatan yang melanggar

kesusilaan (kesopanan) atau perbuatan yang keji, semuanya itu dalam lingkungan

45

(44)

nafsu berahi kelamin, misalnya : cium-ciuman, meraba-raba anggota kemaluan,

merabaraba buah dada dan sebagainya. 46

Yang dimaksudkan “hubungan seksual” dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun

2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga ini, apakah

kualifikasinya sama dengan “persetubuhan” atau kualifikasinya adalah “persetubuhan

dan juga pencabulan” atau bahkan pengertiannya lebih luas dari bentuk kekerasan

seksual yang dilakukan oleh suami kepada isteri atau sebaliknya. Maka perkara

tersebut sebaiknya menjadi perkara yang ringan dengan syarat tindak pidana

tersebut tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan

jabatan atau mata pencaharian atau kegiatan sehari-hari, dalam halnya jika kekerasan

seksual tersebut dilakukan kepada selain isteri atau suami maka disini tidak perlu ada

bentuk ringannya.

c. Penelantaran Rumah Tangga

Tindak Pidana Kekerasan dalam Rumah Tangga yang keempat adalah adalah

Penelantaran Orang dalam lingkup rumah tangga, dimana menurut Pasal 5 huruf d

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam

Rumah Tangga dilarang setiap orang melakukan penelantaran rumah tangga, yakni

sebagaimana yang diatur dalam Pasal 9 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004

Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, bahwa:47

1) Setiap orang dilarang menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya,

padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau

perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan kepada

orang tersebut.

46 Ibid. 47

(45)

2) Penelantaran sebagaimana dimaksud ayat (1) juga berlaku bagi setiap orang yang

mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi dan/atau

melarang untuk bekerja yang layak di dalam atau di luar rumah sehingga korban

berada di bawah kendali orang tersebut.

Selanjutnya larangan melakukan penelantaran dalam rumah tangga dalam Pasal 5

huruf d diancam dengan pidana dalam Pasal 49 Undang-Undang Nomor 23 Tahun

2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga sebagai berikut :48

Dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak

Rp. 15.000.000,00 (lima belas juta rupiah), setiap orang yang :

1) Menelantarkan orang lain dalam lingkup rumah tangganya sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 9 ayat (1).

2) Menelantarkan orang lain sebagaimana dimaksud Pasal 9 ayat (2).

48

(46)

BAB III

PERTANGGUNGJAWABAN HUKUM PELAKU TINDAK PIDANASODOMI TERHADAP ANAK

1. Unsur Pertanggungjawaban

1.1Pengertian Kesalahan

Kesalahan dalam arti luas: memiliki pengertian yang sama dengan

pertanggungjawaban dalam hukun pidana. Kesalahan dalam arti sempit: kesalahan berarti

ke-alpaan. Kesalahan dalam arti bentuk kesalahan : Kesalahan disengaja (dolus/opzet): Prinsip dari kesengajaan dalam Memori van Toeliching adalah mengetahui (weten) dan

menghendaki (willen) kesalahan karena ke alpaan: Kealpaan terjadi bila pelaku mengetahui tetapi secara tidak sempurna karena dalam kealpaan seseorang mengalami

sifat kekurangan (kurang hati-hati, kurang teliti dan sebagainya) 49

Beberapa pendapat dari pakar hukum pidana tentang kesalahan (schuld) yang pada hakikatnya adalah pertanggungjawaban pidana.

a. Menurut Metzger, Kesalahan adalah keseluruhan syarat yang memberi dasar

untuk adanya pencelaan pribadi terhadap pelaku hukum pidana.

b. Menurut Simons, Kesalahan adalah terdapatnya keadaan psikis tertentu pada

seseorang yang melakukan tindak pidana dan adanya hubungan antara keadaan

tersebut dengan perbuatan yang dilakukan, yang sedemikian rupa hingga orang itu

dapat dicela karena melakukan perbuatan tadi. Berdasarkan pendapat ini dapat

disimpulkan adanya dua hal di samping melakukan tindak pidana, yaitu:

1) Keadaan psikis tertentu

49

(47)

2) Hubungan tertentu antara keadaan psikis dengan perbuatan yang dilakukan

hingga menimbulkan celaan

c. Menurut Van Hamel, Kesalahan dalam suatu delik merupakan pengertian

psikologis, berhubungan antara keadaan jiwa pelaku dan terwujudnya unsur-unsur

delik karena perbuatannya. Kesalahan adalah pertanggungjawaban dalam hukum.

d. Menurut Pompe, Pada pelanggaran norma yang dilakukan karena kesalahan,

biasanya sifat melawan hukum itu merupakan segi luarnya. Yang bersifat

melawan hukum adalah perbuatannya, segi dalamnya, yang berhubungan dengan

kehendak pelaku adalah kesalahan. Kesalahan dapat dilihat dari dua sudut, yaitu:

(a) Dari akibatnya, kesalahan adalah hal yang dapat dicela.

(b) Dari hakikatnya, kesalahan adalah hal tidak dihindarinya perbuatan melawan

hukum.

e. Menurut Moeljatno, Orang dapat dikatakan mempunyai kesalahan, jika dia pada

waktu melakukan perbuatan pidana, dapat dilihat dari segi masyarakat dapat

dicela karenanya, yaitu mengapa melakukan perbuatan yang merugikan

masyarakat, padahal mampu untuk mengetahui makna (jelek) perbuatan

tersebut.50

1. Unsur-Unsur Dalam Hukum Pidana

Berkaitan dengan kesalahan yang bersifat psikologis dan kesalahan yang bersifat

normatif, unsur-unsur tindak pidana dan pendapat para pakar mengenai kesalahan,

dapat disimpulkan bahwa kesalahan memiliki beberapa unsur :

a. Adanya kemampuan bertanggung jawab pada si pelaku, dalam arti jiwa si pelaku

dalam keadaan sehat dan normal.

50

(48)

b. Adanya hubungan batin antara si pelaku dengan perbuataanya, baik yang

disengaja (dolus) maupun karna kealpaan (culpa)

c. Tidak adanya alasan pemaaf yang dapat menghapus kesalahan.51

2. Pertanggungjawaban

Masalah pertanggujawaban dan khususnya pertanggujawaban pidana mempunyai

kaitan yang erat dengan beberapa hal yang cukup luas. Dapat dipermasalahkan antara

lain:

a. Ada tidaknya kebebasan manusia untuk menentukan kehendak. Antara lain

ditentukan oleh indeterminisme dan determinisme. Sebenarnya manusia itu

mempunyai kebebasan untuk menentukan kehendaknya atau tidak. Kehendak

merupakan aktivitas batin manusia yang pada gilirannya berkaitan dengan

pertanggungjawaban manusia atas perbuatannya. Persoalan ini muncul sebagai

akibat pertentangan pendapat antara klasik (dan neo-klasik) dengan aliran modern.

Aliran klasik mengutamakan kebebasan individu dengan konsekuensi diterimanya

kehendak bebas dari individu. Pendirian mengenai kebebasan individu ini

diragukan oleh aliran modern yang membuktikan melalui psikologi dan psikiatri

bahwa tidak setiap perbuatan manusia itu dapat dipertanggungjawabkan

kepadanya, misalnya saja pada orang gila.

b. Aliran klasik menganut paham indeterminisme, yang mengatakan bahwa manusia itu dapat menentukan kehendaknya dengan bebas, meskipun sedikit banyak juga

ada faktor lain yang mempengaruhi penentuan kehendaknya, yaitu keadaan

pribadi dan lingkungannya, tetapi pada dasarnya manusia mempunyai kehendak

yang bebas. Sebaliknya aliran modern menganut paham determinisme, dan

mengatakan bahwa manusia sama sekali tidak dapat menentukan kehendaknya

51

Referensi

Dokumen terkait

Di dalam al-Risalah , Imam Syafi‘i ketika membincangkan perkara-perkara al-‘am di dalam al-Quran yang dikhususkan oleh al-sunnah antaranya ialah tentang halal haram

Permasalahannya adalah apabila dalam penyalahgunaan wewenang yang dilakukan badan dan/atau pejabat pemerintah yang merugikan keuangan negara itu sudah diselesaikan oleh APIP

Berdasarkan pemaparan diatas, penulis tertarik untuk meneliti efek perbandingan dari teh hijau dan teh hitam terhadap efek hemostasis pada luka potong ekor mencit

Slogan-slogan tersebut tidak hanya berfungsi sebagai hiasan tetapi ajar- an yang harus diamalkan oleh para santri dan jamaah Pondok Pesantren Bi Ba’a Fadlrah. Berfungsi juga

Abstrak: Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji problematika guru geografi pada materi penginderaan jauh dan SIG. Metode yang digunakan adalah metode

No Kota-Drop Poin JNE Lokasi Pengambilan Kartu dan Hadiah No Telepon.. 1

4.1.1 Pada peringkat akhir pemerintahan Bani Umaiyah, golongan mawali (orang Islam bukan Arab seperti Parsi dan Barbar) merasa didiskriminasikan (tidak dapat jawatan dan

Tujuan audit operasional secara umum adalah untuk mengetahui apakah prestasi manajemen pada setiap rumah sakit telah sesuai dengan kebijakan ketentuan dan