• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERTANGGUNGJAWABAN HUKUM PELAKU TINDAK PIDANA SODOMI TERHADAP ANAK

2. Pengertian Pertanggungjawaban

Pertanggungjawaban pidana dalam istilah asing tersebut juga dengan teorekenbaardheid atau criminal responsibility yang menjurus kepada pemidanaan petindak

dengan maksud untuk menentukan apakah seseorang terdakwa atau tersangka dipertanggung jawabkan atas suatu tindakan pidana yang terjadi atau tidak.63

Secara subjektif kepada pembuat yang memenuhi syarat-syarat dalam undang-undang (pidana) untuk dapat dikenai pidana karena perbuatannya itu. Sedangkan, syarat untuk adanya pertanggungjawaban pidana atau dikenakannya suatu pidana, maka harus ada unsur kesalahan berupa kesengajaan atau kealpaan.

Dalam Pasal 34 KUHP memberikan definisi pertanggungjawaban pidana sebagai berikut: Pertanggungjawaban pidana ialah diteruskannya celaan yang objektif yang ada pada tindak pidana dan secara subjektif kepada seseorang yang memenuhi syarat untuk dapat dijatuhi pidana karena perbuatanya itu.

Di dalam penjelasannya dikemukakan Tindak pidana tidak berdiri sendiri itu baru bermakna manakala terdapat pertanggungjawaban pidana. Ini berarti setiap orang yang melakukan tindak pidana tidak dengan sendirinya harus dipidana. Untuk dapat dipidana harus ada pertanggungjawaban pidana. Pertanggungjawaban pidana lahir dengan diteruskannya celaan (vewijbaarheid) yang objektif terhadap perbuatan yang dinyatakan sebagai tindak pidana yang berlaku, dan secara subjektif kepada pembuat tindak pidana yang memenuhi persyaratan untuk dapat dikenai pidana karena perbuatannya.

Dalam bahasa Belanda, istilah pertanggungjawaban pidana menurut Pompe terdapat padanan katanya, yaitu aansprakelijk, verantwoordelijk, dan toerekenbaar.64 Orangnya yang aansprakelij atau verantwoordelijk, sedangkan toerekenbaar bukanlah orangnya, tetapi perbuatan yang dipertanggungjawaban kepada orang. Biasa pengarang lain memakai

63

http://saifudiendjsh.blogspot.com/2009/08/pertanggungjawaban-pidana.html/ diakses tanggal 25 Januari 2015.

64

istilah toerekeningsvatbaar. Pompee keberatan atas pemakaian istilah yang terakhir, karena bukan orangnya tetapi perbuatan yang toerekeningsvatbaar.65

Kebijakan menetapkan suatu sistem pertanggungjawaban pidana sebagai salah satu kebijakan kriminal merupakan persoalan pemilihan dari berbagai alternatif. Dengan demikian pemilihan dan penetapan sistem pertanggungjawaban pidana tidak dapat dilepaskan dari berbagai pertimbangan yang rasional dan bijaksana sesuai dengan keadaan dan perkembangan masyarakat. Sehubungan dengan masalah tersebut di atas maka Romli Atmasasmita menyatakan sebagai berikut : “Berbicara tentang konsep liability atau “pertanggungjawaban” dilihat dari segi falsafat hukum, seorang filosof besar dalam bidang hukum pada abad ke 20, RoscouPound, dalam An Introduction to the Philosophy of Law, telah mengemukakan pendapatnya “I …. Use thesimple word“liability” for the situation whereby one exac legally and otheris legally subjected to the exaction”66

Bertitik tolak pada rumusan tentang “pertanggungjawaban” atau liability tersebut diatas, Pound membahasnya dari sudut pandang filosofis dan sistem hukum secara timbal balik. Secara sistematis, Pound lebih jauh menguraikan perkembangan konsepsi liability.

Teori pertama, menurut Pound, bahwa liability diartikan sebagai suatu kewajiban untuk membayar pembalasan yang akan diterima pelaku dari seseorang yang telah “dirugikan”. Sejalan dengan semakin efektifnya perlindungan undang undang terhadap kepentingan masyarakat akan suatu kedamaian dan ketertiban, dan adanya keyakinan bahwa “pembalasan” sebagai suatu alat penangkal, maka pembayaran “ganti rugi” bergeser kedudukannya, semula sebagai suatu “hak istimewa” kemudian menjadi suatu “kewajiban”.

65

W.P.J. Pompe, Op., Cit., h. 190

66

Romli Atmasasmita, Asas-asas Perbandingan Hukum Pidana, Cetakan Pertama, Yayasan LBH, Jakarta, 1989, h.79

Ukuran “ganti rugi” tersebut tidak lagi dari nilai suatu pembalasan yang harus “dibeli”, melainkan dari sudut kerugian atau penderitaan yang ditimbulkan oleh perbuatan pelaku yang bersangkutan.67

a. Sistem Pertanggungjawaban Pidana Dalam Hukum Pidana Positif

Pembicaraan mengenai pertanggungjawaban pidana tidak dapat dilepaskan dari pembicaraan mengenai perbuatan pidana. Orang tidak mungkin dipertanggungjawabkan untuk dipidana, apabila ia tidak melakukan tindak pidana. Bila digambarkan bahwa dalam menjatuhkan pidana unsur “tindak pidana” dan “pertanggungjawaban pidana” harus dipenuhi.

Unsur tindak pidana dan kesalahan (kesengajaan) adalah unsur yang sentral dalam hukum pidana. Unsur perbuatan pidana terletak dalam lapangan objektif yang diikuti oleh unsur sifat melawan hukum, sedangkan unsur pertanggungjawaban pidana merupakan unsur subjektif yang terdiri dari kemampuan bertanggung jawab dan adanya kesalahan (kesengajaan dan kealpaan).

1) Sistem Pertanggungjawaban Pidana dalam KUHP

KUHP tidak menyebutkan secara eksplisit sistem pertanggung jawaban pidana yang dianut. Beberapa pasal KUHP sering menyebutkan kesalahan berupa kesengajaan atau kealpaan. Namun sayang, kedua istilah tersebut tidak dijelaskan lebih lanjut oleh undang-undang tentang maknanya. Jadi baik kesengajaan maupun kealpaan tidak ada keterangan lebih lanjut dalam KUHP. Dari rumusan yang tidak jelas itu, timbul pertanyaan, apakah pasal-pasal tersebut sengaja dibuat begitu, dengan maksud ke arah pertanggungjawaban terbatas

67

(strict liability). Kalau benar, tanpa disadari sebenarnya KUHP juga menganut pengecualian terhadap asas kesalahan, terutama terhadap pasal-pasal pelanggaran. 2) Sistem Pertanggungjawaban Pidana di Luar KUHP

Untuk mengetahui kebijakan legislatif dalam menetapkan sistem pertanggungjawaban pidana di luar KUHP, Seperti contoh dalam perundang-undangan dibawah ini :

(a) UU No. 7 Drt. Tahun 1955 tentang Tindak Pidana Ekonomi; (b) UU No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika;

(c) UU No. 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika.

(d) UU No.23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Undang-undang tersebut sengaja dipilih khusus yang menyimpang dari ketentuan KUHP dan KUHAP yang bersifat umum, terutama mengenai subjek delik dan pertanggungjawaban pidana, serta proses beracara di pengadilan. Dari masing-masing undang-undang tersebut dapat dianalisis kecenderungan legislatif dalam menetapkan sistem pertanggungjawaban pidana sesuai dengan perkembangan sosial ekonomi. Masyarakat yang berdampak pada perkembangan kejahatan. Baik negara-negara civil law maupun common law, umumnya pertanggungjawaban pidana dirumuskan secara negatif. Hal ini berarti dalam hukum pidana Indonesia, sebagaimana civil law sistem lainnya, undang-undang justru merumuskan keadaan-keadaan yang dapat menyebabkan pembuat tidak dipertanggungjawabkan.68

Perumusan pertanggungjawaban pidana secara negatif dapat terlihat dari ketentuan Pasal 44, 48, 49, 50, dan 51 KUHP. Kesemuanya merumuskan hal-hal yang dapat mengecualikan pembuat dari pengenaan pidana.

68

Perumusan negatif tersebut berhubungan dengan fungsi represif hukum pidana. Dalam hal ini, dipertanggungjawabkannya seseorang dalam hukum pidana berarti dipidana. Dengan demikian, konsep pertanggungjawaban pidana merupakan syarat-syarat yang diperlukan untuk mengenakan pidana terhadap seorang pembuat tindak pidana.69

Pertanggungjawaban pidana dapat dihubungkan dengan fungsi preventif hukum pidana.70 Pada konsep tersebut harus terbuka kemungkinan untuk sedini mungkin pembuat menyadari sepenuhnya konsekuensi hukum perbuatannya. Dengan demikian, konsekuensi atas tindak pidana merupakan risiko yang sejak awal dipahami oleh pembuat.

Pertanggungjawaban pidana adalah pertanggungjawaban orang terhadap tindak pidana yang dilakukannya. Tegasnya, yang dipertanggungjawabkan orang itu adalah tindak pidana yang dilakukannya. Maka terjadinya pertanggungjawaban pidana karena telah ada tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang. Pertanggungjawaban pidana pada hakikatnya merupakan suatu mekanisme yang dibangun oleh hukum pidana untuk bereaksi terhadap pelanggaran atas “kesepakatan menolak” suatu perbuatan tertentu. Dapat dikatakan bahwa orang tidak mungkin dipertanggungjawabkan dan dijatuhi pidana jika ia tidak melakukan tindak pidana. Tetapi meskipun ia telah melakukan tindak pidana, tidak pula selalu ia akan dijatuhi pidana. Pembuat suatu tindak pidana akan hanya akan dipidana jika ia mempunyai kesalahan dalam melakukan tindak pidana tersebut. Kapankah orang dikatakan mempunyai kesalahan, adalah hal yang merupakan masalah pertanggungjawaban pidana.

69

Chaerul Huda. Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada Pertanggungjawaban Pidana tanpa Kesalahan, Kencana, Jakarta, 2006 h.62

70

b. Menurut Undang-Undang Perlindungan Anak

Kekerasan terhadap anak ternyata masih terus terjadi. Setiap hari ratusan ribu bahkan jutaan anak Indonesia mencari nafkah di terik matahari, di kedinginan malam, atau di tempat-tempat yang berbahaya, ada anak yang disiksa orang tuanya atau orang yang memeliharanya. Akan tetapi yang dimaksud dengan kekerasan terhadap anak, adalah sebagaimana diungkapkan beberapa ahli sebagai berikut :

1) Menurut James Vander Zanden dalam bukunya Human Development (1989) menyebutkan definisi abuse (kekerasan / penyiksaan) sebagai serangan fisik (bisa menyebabkan luka) dan dilakukan dengan sengaja oleh orang yang seharusnya jadi care taker.

2) Menurut David A Wolfe dalam bukunya Child Abuse, mengatakan bahwa maltreatment terhadap anak bisa berbentuk physical abuse, emotional abuse, sexual abuse dan neglect (pengabaian). Pengabaian dapat diartikan sebagai ketiadaan perhatian baik sosial, emosional dan fisik yang memadai, yang sudah selayaknya diterima oleh sang anak.

c. Menurut Undang-Undang Kekerasan Dalam Rumah Tangga meliputi : 1) Suami, isteri, dan anak.

2) Orang–orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan orang sebagaimana dimaksud pada huruf a karena hubungan darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan, dan perwalian, yang menetap dalam rumah tangga.

3) Orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga tersebut.71

71

Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Dalam rumah Tangga 2004, Sinar Grafika, Jakarta, 2005, h.3.

Menurut pendapat penulis secara umum, dapat diambil kesimpulan bahwa kekerasan terhadap anak dalam rumah tangga adalah kekerasan menyalahi hak individu lain dengan menyalahi hak individu lain dengan tanpa memperdulikan latar belakang ras, etnis, atau kelompok sosial dan ekonomi tertentu baik itu bersifat fisik, seksual, psikologis, ekonomi ataupun lainnya yang masih tercakup dalam makna kekerasan.

3. Analisis dan Pembahasan Studi Kasus-Kasus 3.1Analisa P U T U S AN No. 24 PK/Pid/2003

Memeriksa perkara pidana dalam peninjauan kembali telah memutuskan sebagai berikut dalam perkara Terpidana :

Nama : SISWANTO alias ROBOT ;

Tempat lahir : Pekalongan Jawa Tengah ; Umur / tanggal lahir : 33 tahun/4 Juni 1963 Jenis kelamin : Laki-laki ;

Kebangsaan : Indonesia ;

Tempat tinggal : - Di Jakarta Tuna Wisma.

- Desa Ketandan, Kecamatan Batang, Kabupaten Pekalongan, Jawa Tengah ;

Agama : Islam ;

Pekerjaan : Tunakarya ;

Membaca surat dakwaan Jaksa/Penuntut Umum pada Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat sebagai berikut :

Primair : Bahwa ia terdakwa Siswanto alias Robot pada waktu-waktu yang tidak dapat diingat lagi di antara tahun 1995 sampai dengan bulan Mei 1996 atau setidak-tidaknya pada waktu-waktu lain dalam tahun 1995 sampai dengan tahun 1996, di bekas Bandara Kemayoran Jakarta Pusat atau setidak-tidaknya pada suatu tempat daerah hukum Pengadilan Negeri Jakarta Pusat atau Pengadilan Negeri Jakarta Pusat berwenang memeriksa dan mengadili perkara tersebut, telah melakukan beberapa perbuatan yang harus dipandang sebagai perbuatan yang berdiri sendiri-sendiri, sehingga merupakan beberapa kejahatan yang diancam dengan pidana pokok yang sejenis, dengan sengaja dan direncanakan lebih dahulu menghilangkan jiwa orang lain. Perbuatan mana diatur dan diancam pidana oleh Pasal 65 ayat (1) dari KUH Pidana Jo. Pasal 340 dari KUH Pidana ;

Subsidair : Bahwa ia terdakwa Siswanto alias Robot pada dan tempat sebagaimana diuraikan dalam dakwaan primair di atas, telah melakukan beberapa perbuatan yang harus dipandang sebagai perbuatan yang berdiri sendiri-sendiri, sehingga merupakan beberapa kejahatan yang diancam dengan pidana pokok yang sejenis, dengan sengaja menghilangkan jiwa orang lain.

Perbuatan mana diatur dan diancam pidana oleh Pasal 65 ayat (1) dari KUH Pidana Jo. Pasal 338 dari KUH Pidana ;

Kedua :

Bahwa ia terdakwa Siswanto alias Robot pada waktu-waktu yang tak dapat diingat lagi di antara tahun 1995 sampai dengan bulan Mei 1996 atau setidak-tidaknya pada waktu-waktu dalam tahun 1995 sampai dengan tahun 1996, di Pasar Senen Jakarta Pusat atau setidak-tidaknya pada suatu tempat di dalam

daerah hukum Pengadilan Negeri Jakarta Pusat atau Pengadilan Negeri Jakarta Pusat berwenang memeriksa dan mengadili perkara tersebut, telah melakukan beberapa perbuatan yang harus dipandang sebagai perbuatan yang berdiri sendiri-sendiri sehingga merupakan beberapa kejahatan yang diancam dengan pidana pokok yang sejenis, orang dewasa yang melakukan perbuatan cabul dengan orang yang belum dewasa dari jenis kelamin yang sama, sedang diketahuinya atau patut harus disangkanya belum dewasa. Perbuatan mana diatur dan diancam pidana oleh Pasal 65 ayat (1) dari KUH Pidana Jo. Pasal 292 dari KUH Pidana ;

Membaca tuntutan Jaksa/Penuntut Umum tanggal 6 Mei 1997 yang isinya adalah sebagai berikut :

1. Menyatakan Terdakwa Siswanto alias Robot bersalah melakukan tindak pidana :

- Pembunuhan berencana, Sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 65 ayat (1) dari KUHPidana Jo. Pasal 340 dari KUHPidana, dalam surat Dakwaan Pertama

Primair ;

2. dan orang dewasa yang melakukan perbuatan cabul dengan orang lain yang sejenis, yang diketahui atau patut diduga belum cukup umur ;

sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 65 ayat (1) dari KUHPidana Jo. Pasal 292 dari KUHPidana, dalam surat Dakwaan Kedua ; - Menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa Siswanto alias Robot dengan pidana

mati ;

- Sehelai baju kaos dikembalikan kepada ahli waris yang berhak ; - Sebilah pisau lipat dan pisau silet dirampas untuk dimusnahkan ; 4. Menetapkan biaya perkara ditanggung negara ;

Membaca putusan Mahkamah Agung RI No. 1467 K/Pid/1997 tanggal 23 Januari 1998 yang amar lengkapnya sebagai berikut :

Menyatakan tidak dapat diterima permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi/Terdakwa : SISWANTO ALIAS ROBOT tersebut ;

Membebani Pemohon Kasasi/Terdakwa tersebut untuk membayar biaya perkara dalam tingkat kasasi ini sebesar Rp 2.500,- (dua ribu lima ratus rupiah) ;

Membaca surat-surat yang bersangkutan ;

Menimbang, bahwa putusan Mahkamah Agung tersebut telah diberitahukan kepada Pemohon Peninjauan Kembali pada tanggal 18 Maret 1998 dengan demikian putusan tersebut telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap ;

Menimbang, bahwa alasan-alasan yang diajukan oleh Pemohon Peninjauan Kembali pada pokoknya adalah sebagai berikut :

1. Bahwa putusan judex facti, amatlah berat dan tidaklah lazim untuk dijatuhkan terhadap Pemohon Peninjauan Kembali/ Terdakwa. Karena selaku Penasihat Hukum Terpidana merasa berkewajiban untuk mengambil inisiatif mengajukan permohonan peninjauan kembali dengan harapan agar terhadap Pemohon Peninjauan Kembali/Terdakwa sebelum dijatuhi vonis terlebih dahulu diperiksa kondisi mental/kejiwaannya, hal mana permohonan tersebut telah diajukan sejak tingkat penyidikan hingga tingkat peradilan.

Kembali/ Terdakwa tidak pernah sama sekali diperiksa ke Psychiate oleh judex facti sebagaimana dimaksud Pasal 180 ayat (1) KUHAP jo. UU Kesehatan Jiwa No. 3/1996 jo. Peraturan Menteri Kesehatan RI Tahun 1970 ; 3. Bahwa alasan tersebut mengingat tindak pidana yang dilakukan Pemohon

Peninjauan Kembali/Terdakwa adalah suatu perbuatan yang sangat mustahil dilakukan oleh orang yang mempunyai akal yang sehat/normal, sehingga sangatlah salah apabila judex facti “secara sepihak”, sebagai pihak yang tidak berkompeten menyatakan bahwa Pemohon Peninjauan Kembali/Terdakwa tidak mempunyai kelainan jiwa/ mental, tanpa melalui proses pemeriksaan dari ahlinya Psychiater;

4. Bahwa alasan untuk mengkualifisir Pemohon Peninjaun Kembali/ Terdakwa adalah orang yang tidak sehat/akal jiwanya bukanlah suatu yang terlalu mengada-ada, karena apabila kita melihat dan memperhatikan serta mengenal Pemohon Peninjauan Kembali lebih jauh mengenai penampilan, pola pikir serta gaya dan isi bicaranya sangatlah aneh dan tidak wajar untuk seorang yang mempunyai akal sehat/normal. Contoh ketika Pemohon Peninjaun Kembali/Terdakwa diberitahu tentang putusan banding dan seketika itu pula menyatakan kasasi atas perkara a quo, tanpa mengerti dan mempergunakan hak dan kewajibannya dengan baik, termasuk dalam hal ini memberitahu dan melakukan konsultasi terlebih dahulu dengan penasehat hukumnya, hingga pada akhirnya Pemohon Peninjauan Kembali/Terdakwa maupun sebagai penasihat hukumnya tidak menyertakan memori kasasi sebagai syarat mutlak pemeriksaan dalam tingkat kasasi ; Oleh karenanya pemeriksaan Pemohon Peninjauan Kembali/Terdakwa melalui Psychiater sangatlah penting. Hal ini selain dapat dijadikan sebagai Novum sebagai syarat dalam mengajukan

permohonan peninjauan kembali, juga dapat dijadikan sebagai landasan yuridis apakah dalam perkara a quo dapat diberlakukan pasal 44 KUHP ataukah tidak ;

5. Bahwa alasan lain diajukan peninjauan kembali adalah pertimbangan judex facti yang menyatakan terdakwa telah melakukan “Pembunuhan Berencana”. Hal tersebut adalah suatu pertimbangan yang tidak terbukti secara sah dan meyakinkan. Hal ini dapat dibaca dalam pertimbangan judex facti yang pada intinya menyatakan bahwa antara timbulnya maksud dengan pelaksanaan perbuatan bagi si pembuat/si pelaku masih ada tempo untuk dapat berpikir dengan tenang dalam arti masih ada kesempatan untuk membatalkan niatnya untuk berbuat, tetapi tidak dipergunakannya;

6. Bahwa yang terbukti secara sah dan meyakinkan dalam persidangan adalah bahwa tidak ada 1 (satu) orang saksipun yang menyatakan bahwa ia mengetahui, melihat dan mendengar secara langsung tentang adanya tindak pidana pembunuhan dan/atau sodomi yang dilakukan oleh Pemohon Peninjauan Kembali/Terdakwa, terbukti mengenai adanya rencana dari tindak pidana tersebut, sehingga pertimbangan dan kesimpulan judex facti yang menyatakan bahwa “antara timbulnya maksud dengan pelaksanaan perbuatan bagi si pembuat/si pelaku masih ada tempo untuk dapat berpikir dengan tenang dalam arti masih ada kesempatan untuk membatalkan niatnya untuk berbuat, tetapi tidak dipergunakannya” sangatlah salah, berlebihan, tidak berdasar dan tidak terbukti secara sah dan meyakinkan, sehingga pertimbangan tersebut tidaklah dapat dibenarkan menurut hukum.

dan diputus berdasarkan satu-satunya alat bukti yaitu, keterangan Terdakwa ; 7. Bahwa berdasarkan Pasal 189 ayat (4) UU No. 8/1981 tersebut, alat bukti lain

yang ada dalam perkara a quo adalah alat bukti saksi dan surat, sebagaimana dijelaskan pada poin 6 tentang adanya tindak pidana pembunuhan dan/sodomi yang dilakukan oleh Pemohon Peninjauan Kembali/Terdakwa. Sehingga apabila judex facti meyakini bahwa Pemohon Peninjauan Kembali/Terdakwa telah melakukan tindak pidana pembunuhan quad non, dengan dasar apakah judex facti merumuskan bahwa Pemohon Peninjauan Kembali/Terdakwa melakukan tindak pidana tersebut dengan direncanakan terlebih dahulu; 8. Bahwa berdasarkan hal tersebut, dakwaan yang menyatakan bahwa Pemohon

Peninjauan Kembali/Terdakwa telah melakukan tindak pidana Pembunuhan dengan direncanakan terlebih dahulu, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 340 KUHP, tidak terbukti secara sah dan meyakinkan, sehingga dakwaan tersebut haruslah ditolak ;

9. Bahwa dalam bukti surat yang diajukan dalam perkara a quo adalah hasil visum et repertum terhadap mayat-mayat yang diduga sebagai hasil/akibat dari tindak pidana yang dilakukan oleh Pemohon Peninjauan Kembali/Terpidana pada intinya menyimpulkan bahwa terhadap mayat-mayat tersebut tidak dapat ditentukan karena kondisi mayat dalam keadaan membusuk lanjut dan telah dirusak oleh binatang. Karenanya putusan judex facti yang menyatakan bahwa Pemohon Peninjauan Kembali/Terdakwa telah melakukan tindak pidana sodomi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 292 KUHP tidak terbukti secara sah meyakinkan ;

10.Bahwa berdasarkan alasan-alasan tersebut di atas, terbukti bahwa putusan judex facti telah salah menerapkan hukum dalam perkara a quo, khususnya perihal tidak diperiksanya Pemohon Peninjauan Kembali/Terdakwa ke Psychiater, sebagaimana disyaratkan Pasal 180 ayat (1) KUHP jo. UU Kesehatan Jiwa No. 3/1966. jo. Peraturan Menteri Kesehatan RI Tahun 1970 ; Menimbang, bahwa atas alasan-alasan tersebut Mahkamah Agung berpendapat : mengenai alasan-alasan ke 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9 dan 10 :

Bahwa alasan-alasan tersebut tidak dapat dibenarkan oleh karena bukan merupakan alasan-alasan sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 263 ayat 2 UU No. 8 tahun 1981 ;

Menimbang, bahwa dengan demikian berdasarkan Pasal 266 ayat (2) a KUHAP permohonan peninjauan kembali harus ditolak dan putusan yang dimohonkan peninjauan kembali tersebut dinyatakan tetap berlaku ;

Menimbang, bahwa oleh karena permohonan peninjauan kembali ditolak, maka biaya perkara dalam pemeriksaan peninjauan kembali dibebankan kepada Pemohon Peninjauan Kembali ;

Memperhatikan Undang-Undang No. 4 tahun 2004, Undang-Undang No.8 tahun 1981 dan Undang - Undang No.14 tahun 1985 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 5 tahun 2004 dan peraturan perundang-undangan lain yang bersangkutan ;

M E N G A D I L I

tersebut ;

Menetapkan bahwa putusan yang dimohonkan peninjauan kembali tersebut tetap berlaku ;

Membebankan Pemohon Peninjauan Kembali untuk membayar biaya perkara dalam peninjauan kembali ini sebesar Rp 2.500,- (dua ribu lima ratus rupiah) ; Demikianlah diputuskan dalam rapat permusyawaratan pada hari Selasa tanggal 9 Januari 2007

Analisa Penulis :

- Bahwa pertimbangan judex factie (JF) sudah tepat, karena menurut penulis vonis yang dijatuhkan kepada terdakwa sudah sesuai berdasarkan Pasal 340 KUHP dengan vonis hukuman mati sebagai pelaku sodomi yang telah merusak generasi muda dan penerus bangsa.

- Bahwa akibat pelecehan seksual (sodomi) yang dilakukan pelaku, berdampak kepada korban anak-anak begitupun keluarga yang harus menanggung kerugian yang tidak dapat tergantikan oleh materi yaitu kehilangan nyawa anaknya sebagai korban.

3.2Analisa P U T U S A N No. 1109 K/Pid.Sus/2010

Memeriksa perkara pidana khusus dalam tingkat kasasi telah memutuskan sebagai berikut dalam perkara Terdakwa :

Nama : MUHAMMAD YUSUF RANGKUTI;

Umur / tanggal lahir : 16 tahun/30 September 1993; Jenis kelamin : Laki-laki;

Kebangsaan : Indonesia;

Tempat tinggal : Perum Graha Harapan Blok E 09, No.13,

Rt.13/018, Kelurahan Mustikajaya, Kecamatan Mustikajaya, Kota Bekasi;

Agama : Islam;

Pekerjaan : Pelajar SMP;

Terdakwa ditahan : PERTAMA :

Bahwa Terdakwa MUHAMMAD YUSUF RANGKUTI pada hari Jum’at, tanggal 11 Desember 2009, sekitar jam 13.30 Wib atau setidak-tidaknya pada suatu waktu dalam tahun 2009, bertempat tinggal di Kios Pasar Pondok Timur Indah II, RT. 003/005, Kelurahan Mustikasari, Kecamatan Mustikajaya, Kota Bekasi atau setidak-tidaknya di suatu tempat lain yang masih termasuk dalam daerah hukum Pengadilan Negeri Bekasi, dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan atau membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul. Sebagaimana diatur dan diacam pidana dalam Pasal 290 ke-3 KUHP.

Membaca tuntutan pidana Jaksa Penuntut Umum pada Kejaksaan Negeri Bekasi tanggal 08 Pebruari 2010 sebagai berikut :

1. Menyatakan Terdakwa MUHAMMAD YUSUF RANGKUTI telah terbukti

Dokumen terkait