• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAHAN AJAR ANTROPOLOGI SENI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAHAN AJAR ANTROPOLOGI SENI"

Copied!
49
0
0

Teks penuh

(1)

1

BAHAN AJAR

ANTROPOLOGI SENI

OLEH:

Dr. Komang Indra Wirawan, S.Sn., M.Fil.H

INSTITUT KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

(IKIP) PGRI BALI

DENPASAR

2019

(2)

ii

KATA PENGANTAR

Om Swastyastu

Puja dan puji saya panjatkan kehadapan Ida Sanghyang Widdhi Wasa/Tuhan Yang Maha Esa atas karunia dan berkahnya buku ajar Antropologi Seni dapat diselesaikan dengan baik dan tepat pada waktunya. Evaluasi adalah penilaian dan pengajaran lebih kepada tugas guru atau pendidik mentransfer pengetahuan, dan dalam hal ini adalah berkaitan dengan seni tari. Jadi, evaluasi pengajaran seni tari adalah tata cara penilian terhadap guru atau pendidik dalam pengajaran seni tari.

Filsafat seni sangat penting dilakukan untuk menilai dan mengukur kemampuan siswa dalam mengetahui seni dalam hal ini seni tari. Oleh karena itu, evaluasi pengajaran ini sangat penting untuk diketahui pendidik untuk mengetahui dan mengukur kemampuan siwa. Dalam melakukan proses evaluasi tentunya ada beberapa hal yang harus diperhatikan, dan ada beberapa hal yang penting dalam buku ini dijadikan panduan yang komperensif agar tujuan pengajaran dapat tercapai.

Buku ajar ini sekiranya sangat jauh dari kesempurnaan, dan atas dasar hal tersebut dimohon sumbangan pemikiran pemerhati pendidikan memperbaiki bahan ajar ini. Akhir kata semoga buku ajar ini dapat dijadikan panduan bagi pendidik dan peserta didik untuk lebih memahami evaluasi pengajaran seni tari. Akhir kata saya ucapkan terimakasih kepada semua pihak yang membantu diterbitkannya bahan ajar ini.

Om Santih, Santih, Santih Om

Denpasar,

Penyusun,

(3)

iii DAFTAR ISI

KATA PEGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... iii

SAP DAN SILABUS ANTROPOLIGI SENI ... 1

BAB I ANTROPOLOGI DAN PENGERTIANNYA ... 16

BAB II KEBUDAYAAN ... 22

BAB III SENI DALAM ANTROPOLOGI SENI ... 33

BAB IV PENGERTIAN SENI ... .. 41 SIMPULAN ... 47

DAFTAR PUSTAKA ... 48

(4)

1

KEMENTRIAN RISET,TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI

FAKULTAS PENDIDIKAN BAHASA DAN SENI

IKIP PGRI BALI

Alamat : Jalan Seroja, Tonja, Denpasar Utara

Logo Penjamin

Mutu

FORMULIR

RENCANA PEMBELAJARAN SEMESTER (RPS)

No. Dokumen :

No. Revisi :

Halaman :

Tanggal Terbit :

Mata Kuliah : Antropologi Seni

Semester : II

Sks : 2

Kode MK : 19240122

Program Studi : Pendidikan Seni, Drama, Tari dan Musik

Dosen Pengampu/Penanggung jawab :

Dr. Komang Indra Wirawan, S.Sn., M.Fil.H

Capaian Pembelajaran Lulusan

(CPL)

Sikap

1. Dapat berperan sebagai calon pendidik seni dan budaya yang memiliki kemampuan yang baik terhadap pemahaman hubungan seni dan kebudayaan dalam suatu daerah 2. Menunjukkan sikap bertanggungjawab atas pekerjaan di bidang keahliannya secara

mandiri

Keterampilan Umum :

3. 4

.

Mampu menerapkan pemikiran kritis, sistematis, dan inovatif dalam konteks

pengembangan atau implementasi ilmu pengetahuan dan seni yang memperhatikan dan dapat menerapkan ilmu antropologi seni tersebut yang sesuai dengan bidang

keahliannya;

Mampu menunjukkan kinerja mandiri, bermutu, dan berkarakter;

(5)

2

5. 6. 7.

Mampu meningkatkan kecerdasan prilaku sebagai manusia yang memiliki cinta terhadap seni dan kebudayaan lokal daerah;

Mampu meningkatkan kecerdasan mental dan intelektual, sehingga memiliki kemampuan yang sesuai standar pendidikan nasional;

Memiliki keterampilan yang dapat dimanfaatkan oleh dirinya sendiri dan lembaga yang membutuhkan;

CP Pengetahuan :

8. 9.

Menguasai konsep pendidikan, teori belajar dan teori pembelajaran yang dapat diterapkan dalam pembelajaran di sekolah nantinya

Menguasai konsep-konsep antropologi seni

Capaian Pembelajaran Mata Kuliah

(CPMK)

1. Mampu menjelaskan konsep-konsep Antropologi Seni,

2. Dapat menganalisis makna Antropologi Seni,

3 serta mampu memahami dan menerapkan dengan tepat, baik secara lisan maupun tertulis

Deskripsi Mata Kuliah

Mata kuliah ini dalam Prodi Pendidikan Seni, Drama, Tari dan Musik merupakan dasar dalam penguasaan mata kuliah selanjutnya, seperti mata kuliah Estetika Seni, Filsafat Seni dan lain-lain. Dengan demikian keberadaannya sangat diperlukan untuk kelancaran proses belajar mengajar (PBM) pada mata kuliah semester selanjutnya. Mata kuliah ini membahas tentang konsep dan makna Antropologi Seni.

(6)

3

Minggu

Ke-

Kemampuan

yang

diharapkan

(Sub-CPMK)

Bahan Kajian/

Materi

Pembelajaran

Bentuk,

Metode

Pembelajaran

dan

Pengalaman

Belajar

Waktu

(menit)

Penilaian

Teknik

Indikator

Bobot

(%)

1 Mahasiswa mampu memahami antropologi Mahasiswa mampu menjelaskan definisi antropologi Ceramah Tanya jawab Diskusi TM 2x50 Tugas mandiri dan terstruktur 2 x 120 Teknik penilaian observasi, Partisipasi, dan lisan didasarkan atas : 1) Kelengkapan substansi

yang dijelaskan 2)Kesesuaian jawaban

dengan penjelasan yang diberikan

1) Mendefinisikan antropologi

5%

2 Mahasiswa mampu

memahami konsep dasar kebudayaan Mahasiswa mampu menjelaskan: 1) Arti budaya 2) Pengertian kebudayaan Ceramah Tanya jawab Diskusi TM 2x50 Tugas mandiri dan terstruktur 2 x 120 Teknik penilaian observasi, Partisipasi, dan lisan didasarkan atas :

1. Kelengkapan substansi yang dijelaskan 2. Kesesuaian jawaban dengan penjelasan yang diberikan 1) Menjelaskan arti budaya 2) Menjelaskan pengertian kebudayaan 5% 3-4 Mahasiswa mampu

memahami fungsi budaya

Mahasiswa mampu menjelaskan fungsi budaya Ceramah Diskusi Tanya jawab TM 2x2x50 Tugas mandiri dan terstruktur 2x2 x 120 Teknik penilaian I. Observasi, Partisipasi,

dan lisan didasarkan atas; 1. Kelengkapan substansi yang dijelaskan 2. Kesesuaian jawaban dengan penjelasan yang diberikan 1) Menjelaskan fungsi budaya 5%

(7)

4 5-6 Mahasiswa memahami unsur-unsur budaya Mahasiswa mampu menjelaskan unsur-unsur budaya Penugasan Diskusi Tanya jawab TM 2x2x50 Tugas mandiri dan terstruktur 2x2x 120 Teknik penilaian I. Observasi, Partisipasi,

dan lisan didasarkan atas : 1.Kelengkapan substansi yang dijelaskan 2.Kesesuaian jawaban dengan penjelasan yang diberikan 1) Menjelaskan unsur-unsur budaya 5% 7 Mahasiswa memahami pentingnya unsur-unsur budaya Mahasiswa mampu menjelaskan pentingnya unsur-unsur budaya Penugasan Diskusi Tanya jawab TM 2x2x50 Tugas mandiri dan terstruktur 2x2 x 120 Teknik penilaian II.Observasi, Partisipasi,

dan lisan didasarkan atas : 1. Kelengkapan substansi yang dijelaskan 2. Kesesuaian jawaban dengan penjelasan yang diberikan 1) Menjelaskan pentingnya unsur-unsur budaya 5%

8 Ujian Tengah Semester 15%

9 Mahasiswa memahami

ruang lingkup budaya

Mahasiswa mampu menjelaskan ruang lingkup budaya Penugasan Diskusi Tanya jawab TM 2x50 Tugas mandiri dan terstruktur 2 x 120 Teknik penilaian Observasi, Partisipasi, dan lisan didasarkan atas : 1. Kelengkapan substansi yang dijelaskan 2. Kesesuaian jawaban dengan penjelasan yang diberikan 1) Menjelaskan pengertian seni ruang lingkup budaya 5% 10 Mahasiswa memahami

budaya dan masyarakat

Mahasiswa mampu menjelaskan budaya dan masyarakat Penugasan Diskusi Tanya jawab TM 2x50 Tugas mandiri dan terstruktur 2 x 120 Teknik penilaian Observasi, Partisipasi, dan lisan didasarkan atas : 1. Kelengkapan substansi yang dijelaskan 1) Menjelaskan budaya dan masyarakat 5%

(8)

5 2. Kesesuaian jawaban dengan penjelasan yang diberikan 11 Mahasiswa mampu memahami sejarah perkembangan seni Mahasiswa mampu menjelaskan sejarah perkembangan seni Penugasan Diskusi Tanya jawab TM 2x50 Tugas mandiri dan terstruktur 2 x 120 Teknik penilaian Observasi, Partisipasi, dan lisan didasarkan atas : 1.Kelengkapan substansi yang dijelaskan 2.Kesesuaian jawaban dengan penjelasan yang diberikan 1) Menjelaskan sejarah perkembangan seni 5% 12 Mahasiswa mampu

menjelaskan hakikat seni

Mahasiswa mampu menjelaskan hakikat seni

Penugasan Diskusi Tanya jawab TM 2x50 Tugas mandiri dan terstruktur 2 x 120 Teknik penilaian Observasi, Partisipasi, dan lisan didasarkan atas : 1. Kelengkapan substansi yang dijelaskan 2. Kesesuaian jawaban dengan penjelasan yang diberikan 1) Menjelaskan hakikat seni 5% 13 Mahasiswa mampu memahami antropologi seni Mahasiswa mampu menjelaskan Antropologi seni Penugasan Diskusi Tanya jawab TM 2x50 Tugas mandiri dan terstruktur 2 x 120 Teknik penilaian Observasi, Partisipasi, dan lisan didasarkan atas : 1. Kelengkapan substansi yang dijelaskan 2. Kesesuaian jawaban dengan penjelasan yang diberikan paparan 1) Menjelaskan antropologi seni 14 Mahasiswa mampu memahami teater antropologi seni Mahasiswa mampu menjelaskan bentuk teater antropologi seni Penugasan Diskusi Tanya jawab TM 2x50 Tugas mandiri dan terstruktur 2 x 120 Teknik penilaian Observasi, Partisipasi, dan lisan didasarkan atas : 1. Kelengkapan substansi yang dijelaskan 1) Menjelaskan bentuk teater antropologi seni 5%

(9)

6 2. Kesesuaian jawaban dengan penjelasan yang diberikan paparan 15 Mahasiswa mampu memahami rangkuman antropologi seni Mahasiswa mampu menjelaskan rangkuman antropologi seni Penugasan Diskusi Tanya jawab TM 2x50 Tugas mandiri dan terstruktur 2 x 120 Teknik penilaian Observasi, Partisipasi, dan lisan didasarkan atas : 1. Kelengkapan substansi yang dijelaskan 2. Kesesuaian jawaban dengan penjelasan yang diberikan paparan 1) Menjelaskan rangkuman antropologi seni 5%

16 Ujian Akhir Semester 25%

DAFTAR REFERENSI :

1. Judoseputro, Wiyoso. Tahun terbit tak diketahui. Sedjarah Kesenian, Jilid I. Bandung: Dep.P.D.&K. 2. Koetjaraningrat, 1974. Kebudayaan, Mentalitet dan Pembangunan. Jakarta: Penerbit Gramedia.

3. Kottak, C. P., 1991. Anthropologi: The Exploration of Human Diversity, 5th Edition. New York: Mc Graw-Hill Inc. 4. Riawanti, Selly. 2004. Antropologi Seni (Handouts Kuliah). Bandung FSRD-ITB.

5. Sumardjo, Jakob. 2004, Sosiologi Seni (Handouts Kuliah), Bandung: FSRD-ITB.

Menyetujui, Denpasar,

Ketua Program Studi Dosen Pengampu,

I Wayan Sugama, S.Sn., M.Sn. Dr. Komang Indra Wirawan, S.Sn., M.Fil.H.

(10)

7

TUGAS MAHASISWA DAN PENILAIAN

1.

Tugas

Minggu

ke-

Bahan

Kajian/Materi

Pembelajaran

Tugas

Waktu

(menit)

Penilaian

Indikator

Bobot

(%)

1 Mahasiswa mampu menjelaskan definisi antropologi

Mandiri Mempelajari Buku Ajar Antropologi Seni

120 -

Terstruktur Menjawab soal 120 Kesesuaian jawaban dengan penjelasan yang diberikan 5% 2. Mahasiswa mampu menjelaskan: 1) Arti budaya 2) Pengertian kebudayaan

Mandiri Mempelajari Buku Ajar Antropologi Seni

120 Terstruktur Latihan menganalisis arti

budaya dan pengertian kebudayaan

120 Ketepatan analisis arti budaya dan pengertian kebudayaan 5% 3-4 Mahasiswa mampu menjelaskan fungsi budaya

Mandiri Mempelajari Buku Ajar Antropologi Seni

240 Terstruktur Menyiapkan presentasi

untuk bahan diskusi dalam bentuk power point yang benar, jelas dan kreatif

240 Penyusunan makalah, slide,

dan presentasi

1. penyusunan makalah : Tata tulis ilmiah & kepatuhan

(11)

8

dengan materi yang

ditugaskan secara kelompok

terhadap format yang ditentukan, 2.Penyusunan Slide Presentasi : Jelas dan konsisten, Sedehana & inovatif 3.Presentasi : Bahasa komunikatif, penguasaan materi, penguasaan audiensi, kejelasan & ketajaman paparan. 5-6 Mahasiswa mampu menjelaskan unsur-unsur budaya

Mandiri Mempelajari Buku Ajar Antropologi Seni

240 Terstruktur Menyiapkan presentasi

untuk bahan diskusi dalam bentuk power point yang benar, jelas dan kreatif dengan materi yang

ditugaskan secara kelompok

240 Penyusunan makalah, Slide , dan presentasi

1. penyusunan makalah : Tata tulis ilmiah & kepatuhan terhadap format yang ditentukan, 2.Penyusunan Slide Presentasi : Jelas dan 10%

(12)

9 konsisten, Sedehana & inovatif 3.Presentasi : Bahasa komunikatif, penguasaan materi, penguasaan audiensi, kejelasan & ketajaman paparan. 7 Mahasiswa mampu menjelaskan pentingnya unsur-unsur budaya

Mandiri Mempelajari Buku Ajar Antropologi Seni

120 Terstruktur Menyiapkan presentasi

untuk bahan diskusi dalam bentuk power point yang benar, jelas dan kreatif dengan materi yang

ditugaskan secara kelompok

120 Penyusunan makalah, Slide , dan presentasi

1. penyusunan makalah : Tata tulis ilmiah & kepatuhan terhadap format yang ditentukan, 2.Penyusunan Slide Presentasi : Jelas dan konsisten, Sedehana & inovatif 3.Presentasi : Bahasa 10%

(13)

10 komunikatif, penguasaan materi, penguasaan audiensi, kejelasan & ketajaman paparan. 9. Mahasiswa mampu menjelaskan ruang lingkup budaya

Mandiri Mempelajari Buku Ajar Antropologi Seni

120 Terstruktur Menyiapkan presentasi

untuk bahan diskusi dalam bentuk power point yang benar, jelas dan kreatif dengan materi yang

ditugaskan secara kelompok

120 Penyusunan makalah, Slide ,

dan presentasi

1. penyusunan makalah : Tata tulis ilmiah & kepatuhan terhadap format yang ditentukan, 2.Penyusunan Slide Presentasi : Jelas dan konsisten, Sedehana & inovatif 3.Presentasi : Bahasa komunikatif, penguasaan materi, 10%

(14)

11 penguasaan audiensi, kejelasan & ketajaman paparan. 10. Mahasiswa mampu menjelaskan budaya dan masyarakat

Mandiri Mempelajari Buku Ajar Antropologi Seni

120 Terstruktur Menyiapkan presentasi

untuk bahan diskusi dalam bentuk power point yang benar, jelas dan kreatif dengan materi yang

ditugaskan secara kelompok

120 Penyusunan makalah, Slide ,

dan presentasi

1. penyusunan makalah : Tata tulis ilmiah & kepatuhan terhadap format yang ditentukan, 2.Penyusunan Slide Presentasi : Jelas dan konsisten, Sedehana & inovatif 3.Presentasi : Bahasa komunikatif, penguasaan materi, penguasaan audiensi, kejelasan & ketajaman paparan 10%

(15)

12

11. Mahasiswa mampu menjelaskan sejarah perkembangan seni

Mandiri Mempelajari Buku Ajar Antropologi Seni

120 Terstruktur Menyiapkan presentasi

untuk bahan diskusi dalam bentuk power point yang benar, jelas dan kreatif dengan materi yang

ditugaskan secara kelompok

120

Penyusunan makalah, Slide ,

dan presentasi

1. penyusunan makalah : Tata tulis ilmiah & kepatuhan terhadap format yang ditentukan, 2.Penyusunan Slide Presentasi : Jelas dan konsisten, Sedehana & inovatif 3.Presentasi : Bahasa komunikatif, penguasaan materi, penguasaan audiensi, kejelasan & ketajaman paparan.

10%

12.

Mahasiswa mampu menjelaskan hakikat seni

Mandiri Mempelajari Buku Ajar Antropologi Seni

(16)

13

Terstruktur Menyiapkan presentasi untuk bahan diskusi dalam bentuk power point yang benar, jelas dan kreatif dengan materi yang

ditugaskan secara kelompok

120

Penyusunan makalah, Slide ,

dan presentasi

1. penyusunan makalah : Tata tulis ilmiah & kepatuhan terhadap format yang ditentukan, 2.Penyusunan Slide Presentasi : Jelas dan konsisten, Sedehana & inovatif 3.Presentasi : Bahasa komunikatif, penguasaan materi, penguasaan audiensi, kejelasan & ketajaman paparan.

10%

13. Mahasiswa mampu menjelaskan Antropologi seni

Mandiri Mempelajari Buku Ajar Antropologi Seni

120 Terstruktur Menyiapkan presentasi

untuk bahan diskusi dalam bentuk power point yang

(17)

14

benar, jelas dan kreatif dengan materi yang

ditugaskan secara kelompok 14. Mahasiswa mampu

menjelaskan bentuk teater antropologi seni

Mandiri Mempelajari Buku Ajar Antropologi Seni

120 Terstruktur Menyiapkan presentasi

untuk bahan diskusi dalam bentuk power point yang benar, jelas dan kreatif dengan materi yang

ditugaskan secara kelompok

120 Penyusunan makalah, Slide ,

dan presentasi

1. penyusunan makalah : Tata tulis ilmiah & kepatuhan terhadap format yang ditentukan, 2.Penyusunan Slide Presentasi : Jelas dan konsisten, Sedehana & inovativ 3.Presentasi : Bahasa komunikatif, penguasaan materi, penguasaan audiensi, kejelasan & ketajaman paparan. 10%

(18)

15

15. Mahasiswa mampu menjelaskan

rangkuman antropologi seni

Mandiri Mempelajari Buku Ajar Antropologi Seni

120 Terstruktur Menyiapkan presentasi

untuk bahan diskusi dalam bentuk power point yang benar, jelas dan kreatif dengan materi yang

ditugaskan secara kelompok

120 Penyusunan makalah, Slide , dan presentasi

1. penyusunan makalah : Tata tulis ilmiah & kepatuhan terhadap format yang ditentukan, 2.Penyusunan Slide Presentasi : Jelas dan konsisten, Sedehana & inovativ 3.Presentasi : Bahasa komunikatif, penguasaan materi, penguasaan audiensi, kejelasan & ketajaman paparan. 10%

(19)

16

2.

Penilaian

Aspek Penilaian :

1)

Sikap

:

Cara menyampaiakan pendapat dalam diskusi, tanggung jawab dalam menyelesaikan

tugas, peduli keamanan lingkungan kampus

2)

Pengetahuan

:

Penguasaan materi yang ditunjukkan dalam diskusi, presentasi, ujian tengah semester,

dan ujian akhir semester

3)

Keterampilan

:

Kreativitas membuat tugas presentasi, menggunakan bahasa dan media presentasi

3.

Bobot Penilaian

Bobot Nilai Harian (NH) nilai tugas terstruktur

=

2

Bobot Nilai Ujian engah Semester (UTS)

=

3

Bobot Nilai Ujian Akhir Semester

=

5

Nilai Akhir = 2 NH + 3 UTS + 5 UAS

10

Menyetujui, Denpasar,

Ketua Program Studi Dosen Pengampu,

I Wayan Sugama, S.Sn., M.Sn. Dr. Komang Indra Wirawan, S.Sn., M.Fil.H.

(20)

19

BAB I

ANTROPOLOGI DAN PENGERTIANNYA

1. Pengertian dan konsep-konsep Atropologi

Pengertian Antropologi secara etimologi kata berasal dari bahasa Yunani, yaitu :Antropos berarti manusia dan logos berarti mengkaji, mempelajari dan ilmu. Dengan demikian Antropologi secara etimologi kata yaitu ilmu yang mempelajari tentang manusia. Menurut Ralf Lington “The study of man”. Kemudian konsep dari Antropologi tidak dapat dipisahkan dari keeksistensian dari manusia itu sendiri. Yang mana manusia sebagai mahluk biologi (organik) karena bisa berkembangbiak, dan manusia sebagai mahluk sosial akan tetapi dari segi ilmu Antropologi manusia dipandang sebagai mahluk “Biososiobudaya”.

2. Asas dan ruang lingkup Antropologi 2.1 Asas Atropologi:

Berbicara tentang asas dan ruang lingkup dari Antropologi,maka penjelasan akan mengarah pada fase-fase perkembangan Antropologi, Atropologi masa kini, cabang ilmu-ilmu antropologi, hubungan-hubungan dari antropologi budaya, dan hubungan antropologi dengan berbagai ilmu dan yang lainya. Mengenai fase-fase

Antropologi terbagi menjadi beberapa fase antara lain fasepertama (sebelum 1800), diawali dengan kedatangan orang eropa dibenua Afrika, Asia, dan Amerika. Sehingga suku-suku mendapat pengaruh Barat dan bersamaan dengan itu terbitlah tulisan-tulisan dari para musafir, pelaut dan yang lainya. dari tulisan-tulisan tersebut dapatlah diketahui tentang banyak bahan pengetahuan berupa diskripsi (etnografi) tentang adat-istiadat, susunan masyarakat dan yang lainya. Kemudian fase kedua (pertengahan abad ke-19) integrasi benar-benar terjadi, hingga terbitnya buku-buku yang bahanya tersusun berdasarkan cara berpikir evolusi masyarakat, yaitu : masyarakat dan kebudayaan. Akan tetapai evolusi tersebut berjalan lambat. Bentuk dari masyarakat dan kebudayaan manusia merujuk pada kebudayaan dari Barat, sedangkan masyarakat dan kebudayaan lainya masih dianggap primitive.

Berikutnya adalah fase ketiga (awal abad ke-20), semakin besarnya kekuasan bangsa-bangsa eropa (barat) atas tanah jajahanya, maka sebagai disiplin ilmu

(21)

20

ke-3 ini pula ilmu Antropologi kian penting dan menjadi ilmu yang praktis yang tujuanya adalah untuk mempelajari masyarakat. Fase yang terkhir adalah fase keempat

(sesudah 1930), yang mana fase ini ilmu Antropologi sudah menjadi gaya baru dalam perkembanganya. Dan, memiliki tujuan yaitu tujuan akademis dan tujuan praktis.

Bertitik tolak dari hal tersebut dapatlah didapatkan bahwa asas dari ilmu Antropologi adalah ilmu yang mempelajari tentang kebudayaan dan masyarakat dan memiliki tujuan akademis dan praktis. Tujuan akademis dimaksudkan adalah untuk mencapai pengertian tentang mahluk manusia pada umumnya dengan mempelajari berbagai bentuk fisiknya, masyarakatnya, maupun kebudayaanya. Sedangkan tujuan praktisnya

adalah mempelajari manusia dalam beragam masyarakat, suku bangsa, guna membangun masyarakat.

2.2 Ruang lingkup Antropologi

Ruang lingkup dari ilmu Antropologi sangat erat kaitanya dengan fase-fase yang sudah dijelaskan diatas. Dan, berbicara tentang ruang lingkup dari Antropologi

sangat sulit karena ilmu ini tergolong muda, sehingga muncul berbagai pandangan-andangan yang berbeda dan pada akhirnya muncul berbagai aliran. Masing-masing negara baik di Eropa dan Indonesia memiliki perbedaan istilah tetapi esensialnya adalah memiliki unsur kesamaan, yaitu mempelajari tentang manusia dalam

hubunganya bermasyarakat dan berbudaya. Dengan kata lain perbedaan-perbedaan istilah tersebut dapatlah dikatakan sebagai ruang lingkup dari ilmu

Antropologi. Perbedaan istilah tersebut adalah sebagai beirkut : (1) Ethnografi, yang diartikan sebagai “pelukisan (deskrepsi) tentang bangsa-bangsa”. Secara umumnya istilah ini digunakan di Eropa Barat tentag masyarakat dan kebudayaan suku-suku bangsa yang bukan-Eropa. Dan istilah ini sampai sekarang masih digunakan untuk menyebut bagian dari Antropologi. (2) Ethnology, yang berarti “ilmu bangsa-bangsa”.

Istilah tersebut masih dipakai untuk menyebut suatu bagain dari Antropologi yang secara khusus mempelajari tentang sejarah perkembangan kebudayaan manusia. (3)

Anthropology, yaitu “ilmu tentang manusia”. (4) Cultural Anthropology, yaitu khusus mempelajari tubuh manusia. (5) Social Anthropology, yaitu ilmu yang mempelajari manusia dalam hubunganya sebagai mahluk sosial.

3. Cabang-cabang Ilmu Antropologi

Cabang-cabang Antropologi meliputi beberapa cabang ilmu bagian dari Antropologi antara lain : (1) Paleantropologi adalah bagian yang meneliti asal-usul

(22)

21

terjadinya evolusi manusia, yang menggunakan sisa-sisa tubuh yang telah membatu (fosil). (2) Antropologi Fisik, dalam arti khusus adalah bagian dari antropologi yang mencoba memahami sejarah terjadinya beragam mahluk manusia berdasarkan pada perbedaan-perbedaan ciri-ciri tubuhnya. (3) Etnolinguistik, adalah suatu ilmu yang pada awalnya erat berkaitan dengan antropologi. Dan, ilmu ini berkaitan dengan daftar kata-kata. (4) Etnologi adalah bagian ilmu yang mempelajari asas-asas manusia, dengan cara meneliti sejumlah kebudayaan suku bangsa yang tersebar di seluruh dunia.

4. Fungsi Antropologi.

Antrofologi sebagai ilmu memiliki beberapa fungsi sebagai berikut :

1. Sebagai ilmu pengetahuan yang murni yang difungsikan sebagai obyek akademis, tidak hanya diajarkan di perguruan tinggi tetapi diajarkan pada jenjang Sekolah Menengah Atas.

2. Sebagai ilmu pengetahuan terapan yang memiliki fungsi untuk membantu menanggulangi masalah-masalah pembangunan.

(23)

22 BAB II KEBUDAYAAN

2. Pengertian Kebudayaan.

Mengenai definisi (terminologi) dari kebudayaan, banyak akan ditemukan pengertian atau definisi mengenai kebudayaan tersebut. Karena kebudayaan tersebut cakupanya sangat luas. Seperti apa yang dikemukakan oleh para ahli sosial yang mendefinisikan bahwa kebudayaan dalam artian yang sangat luas yaitu seluruh total dari pikiran, karya, dan hasil karya manusia yang tidak berakar kepada nalurinya, dan yang dicetuskan oleh manusia sesudah melalui proses belajar. Kemudian secara

etimologi kata “kebudayaan” berasal dari bahasa Sansekerta, yaitu buddhayah ialah bentuk jamak dari budhi yang berarti budi atau akal. Dengan demikian “kebudayaan”

secara harfiah dapat diartikan hal-hal yang bersangkutan dengan budi dan akal. Pendirian lain juga mengatakan bahwa asal kata kebudayaan tersebut berasal dari kata majemuk budi-daya, artinya daya dari budi, kekuatan dari akal. Kemudian, menurut

Koentjaraningrat kebudayaan adalah keseluruhan gagasan dan karya manusia, yang harus dibiasakanya dengan belajar, beserta keseluruhan dari hasil budi dan karyanya itu. Definisi dari kebudayaan tersebut hanya beberapa dari definisi yang jumlahnya ada 179 defenisi tentang kebudayaan tersebut.

2.1 Perbedaan Adat, Kebudayaan dan Peradaban

Menjelaskan perbedaan dari adat, kebudayaan dan peradaban yang paling mudah untuk dijelaskan atau dijawab adalah perbedaan antara kebudayaan dengan

peradaban, karena hanya mengenai istilah saja. kebudayaan seperti yang sudah dijelaskan diatas adalah berasal dari bahasa Sansekerta, yaitu buddhayah ialah bentuk jamak dari budhi yang berarti budi atau akal. Dengan demikian “kebudayaan” secara harfiah dapat diartikan hal-hal yang bersangkutan dengan budi dan akal. Pendirian lain juga mengatakan bahwa asal kata kebudayaan tersebut berasal dari kata majemauk

budi-daya, artinya daya dari budi, kekuatan dari akal. Kemudian, menurut

Koentjaraningrat kebudayaan adalah keseluruhan gagasan dan karya manusia, yang harus dibiasakanya dengan belajar, beserta keseluruhan dari hasil budi. Sedangkan peradaban dapatdi sejajarkan dengan kata asing civilization.Istilah tersebut biasanya dipakai untuk bagian-bagian dan unsur-unsur dari kebudayaan yang

(24)

23

halus dan indah, seperti: kesenian, ilmu pengetahuan, serta sopan santun dan sistem pergaulan yang komplek dalam suatu masyarakat dengan struktur yang komplek. Tetapi sering juga istilah peradaban dipakai untuk menyebut suatu kebudayaan yang mempunyai sistem teknologi, seni bangunan, seni rupa, sistem kenegaraan dan ilmu pengetahuan yang maju dan komplek. Sedangkan adat adalah wujud ideal dari kebudayaan. Yang mana kebudayaan memiliki tiga wujud, yaitu wujud ideal, wujud kelakuan, dan wujud fisik. Dengan kata lain secara lengkap dari wujud tersebut dapat disebut adat tata-kelakuan, karena adat berfungsi sebagai pengatur kelakuan. Suatu contoh dari adat ialah dalam tradisi Hindu adalah: memberikan beras kepada keluarga orang yang meninggal dan yang lainya. Lebih jauh disebutkan adat dapat dibagi lebih khusus dalam empat tingkatan, yaitu : tingkat nilai-nilai budaya, tingkat norma-norma, tingkat hukum dan tingkat aturan khusus.

2.2 Aneka Warna Kebudayaan Indonesia

Menjelaskan tentang aneka warna kebudayaan nasional Indonesia, akan ditemukan bermacam-macam kebudayaan yang memiliki karakteristik yang beraneka ragam. Tetapi sebelum menjelaskan tentang aneka warna Kebudayaan Indonesia, sebaiknya memahami terlebih dahulu tentang sifat Kebudayaan Nasional Indonesia.

Menurut Koentjaraningrat kebudayaan nasional adalah suatu kebudayaan yang bersifat khas dan harus dapat dibanggakan oleh warga Negara yang mendukungnya. Hal itu dipandang perlu karena suatu kebudayaan nasional harus dapat memberi identitas kepada warga negaranya. Selain memahami sifat kebudayaan nasional tersebut, tidak kalah penting sebelum menjelaskan aneka kebudayaan nasional Indonesia, sebaiknya memperhatikan pengelompokan aneka kebudayaan Indonesia yang merujuk pada buku dengan judul Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan oleh

Koentjaraningrat, sebagai berikut :

• Seni Rupa : a. Seni bangunan b. Seni patung c. Seni releif d. Seni lukis e. Seni rias f. Seni kerajinan g. Seni oleh raga

• Seni Suara : a. Seni vocal b. Seni instrument

(25)

24

c. Seni sastra : (puisi dan prosa)

• Seni Tari : (Seni bangunan, seni patung, seni releif, seni lukis, seni rias, seni kerajinan, seni oleh raga, seni vocal, seni instrument)

• Seni Drama/pedalangan : (Seni bangunan, seni patung, seni releief, seni lukis, seni rias, seni kerajinan, seni oleh raga, seni vocal, seni instrument, seni sastra)

Demikianlah pengelompokan aneka Kebudayaan Nasional Indonesia yang tidak dapat dipisahkan dari unsur seni yang berwujud pada nilai estetika yang membawa Kebudayaan Nasional Indonesia sejajar dengan kebudayaan dunia (negara) lainya. bedasarkan pada pengelompokan tersebut diatas, maka dapat dijelaskan aneka kebudayaan nasional Indonesia sebagai berikut :

1. Seni Bangunan adalah suatu bidang kesenian yang cocok dapat

mempertinggi rasa kebanggaan dan identitas suatu bangsa. Seni bangunan termasuk kedalam seni rupa, yang berwujud fisik, sifat khasnya mudah ditonjolkan, mutunya mudah diobservasi. Seni bangunan khas Indonesaia dapat dilihat dari berbagai bangunan-bangunan (rumah-rumah) adat yang memiliki arsitektur yang khas dan memiliki kerumitan yang berbeda-beda. Berbicara tentang arsitektur seni bangunan Indonesia dari zaman dahulu sudah memliki mutu dan nilai kerumitan yang mewujudkan pada suatu nilai keindahan yang tinggi, contohnya candi Borobudur, Prambanan dan candi lainya.

2. Seni Patung, relief, lukisan dan gambar merupakan bidang-bidang kesenian yang fleksibel dan mudah dipakai di dalam mengembangkan sifat kepribadian kita berdasarkan sifat-sifat khas dan mutu yang tinggi. Sifat khas tersebut tidak hanya dapat dikaitkan dengan wujud lahiriah dibidang kesenian tersebut, tetapi juga dengan isinya dan intelektualitasnya. Sehingga dari zaman dahulu Indonesia telah melahirkan seni relief, patung, lukis dan gambar yang membawa decak kagum dunia. Dan, apalagi didukung dengan keindahan alam dan uniknya tradisi yang beraneka ragam.

3. Seni Rias Indonesia, terutama seni pakaian adat masing-masing daerah sudah memiliki sifat-sifat yang khas yang dapat kita banggakan keindahan dan kecantikanya. Maka sewajarnyalah kita menjaga kekhasan tersebut

(26)

25

supaya tidak terkena arus zaman selama mungkin, sebagai salah satu unsur kebudayaan nasional kita yang paling menonjol.

4. Seni Kerajinan erat keitanya dengan seni berpakian diatas. Terutama seni kerajinan tenun ikat, seni batik dan seni texstil Indonesia. Cabang seni tersebut sudah mengakar dalam Kebudayaan Indonesia sejak lama, tinggi mutu keindahanya, bisa menonjolkan sifat khas bangsa Indonesia dan dapat memberikan rasa kebanggaan kepada kita. Dengan demikian sepatutnyalah dijaga kelestarianya dan dipertahankan dari berbagai pengakuan oleh Negara lain. kerena kebudayaan tersebut adalah budaya asli Indonesia. 5. Seni Tari dihubungkan pula dengan Seni Olahraga sebagai salah satu seni

yang sering dipakai dalam usaha mengembangkan Kebudayaan Nasional Indonesia. Mengenai Seni Tari di Indonesia yang dikembangkan baik di dalam lingkungan istana (puri) atau di wilayah pedesaan terutama di Bali, memang memiliki kekhasan dan kualitas seni yang tinggi tentunya tidak dapat diragukan lagi. Masing-masing Seni Tari diberbagai daerah sudah memiliki kekhasan yang bebeda, tersendiri, sehingga susah untuk dicampur. 6. Seni Musik Indonesia, berkembang erat sejajar dengan perkembangan seni

tari di Indonesi. Di Indonesia ada dua ranah perkembangan musik, yaitu musik tradisional (klasik) dan musik modern. Seni musik tradisional Indonesia sudah adak sejak zaman dahulu yang terus mengalami perkembangan sesuai dengan arus zaman. Musik tradisional di berbagai daerah di Indonesai memilki ciri khas tersendiri dan mengenai mutu atau kualitas tidak pula dapat diragukan lagi. hal tersebut dpat dilihat banyak musik tradisional Indonesia dapat pentas di dunia Internasional.

7. Seni Sastra Indonesia yang bersifat daerah ada banyak macamnya, menurut bahasa daerah yang menjadi pengembanganya. Diantara kesusasteraan-kesusateraan daerah itu ada yang mempunyai sejarah tertulis yang panjang, misalnya kesusasteraan Bali dan Jawa, Bugis dan yang lainya. Dan, bidang kesusastraan ini sanagt cocok dan paling kuat untuk bisa mengembangkan Kebudayaan Nasional. Kita telah dapat melihat bagaimana pentingnya peranan Kesusasteraan Nasional dalam perkembanganya terhadap Bahasa Nasional untuk mewujudkan persatuan dan kesatuan bangsa.

8. Seni Drama, merupakan bidang perluasan dari seni kesusastraan, dan mencakup segala bidang kesenian yang lain. Masalahnya sejajar sama

(27)

26

dengan Seni Kesusastraan Indonesia, yaitu seni drama banyak terdapat di berbagai daerah di Indonesia. Seni drama ini erat berkaitan dengan suku-suku dimasing-masing daerah yang bersangkutan.

2.3 Antropologi Kebudayaan

Dalam sebuah buku yang ditulisnya lama kemudian, yaitu Tod und Unsterblichkeit im Glauben Der Naturvolker (1933), Preusz melanjutkan konsepsinya mengenai arti ritus dan upacara dengan anggapan bahwa rangkain ritus yang paling penting dalam banyak religi di dunia adalah ritus kematian. Dalam ritus-ritus seperti itu tema pokoknya seringkali melambangkan proses pemisahan antara yang hidup dan yang meninggal. Dalam hubungan itu Preusz kemudian menguraikan dengan sangat baik bahwa konsep manusia mengenai hidup dan maut iti sebenaranya merupakan orientasi pusat dari banyak religi di dunia, dan bahwa gambaran manusia tentang hidup dan maut sebenarnya diciptakan dan dikembangkan sendiri oleh manusia dengan ritus kematian sebagai sumbernya. Dengan demikian Preusz masih tetap konsekuen menganut pendiriannya yang semula, yaitu bahwa perkembangan sistem keyakinan serta ajaran religi itu lebih banyak dipengaruhi oleh sistem upacara dan tingkah laku manusia dalam kehidupannya sehari-hari dari pada sebaliknya.

Pendiriannya mengenai pentingnya ritus dan upacara dalam kehidupan manusia sangat diperdalamnya dalam buku yang sebenarnya merupakan bukunya yang terpenting, yaitu Glauben und Mystik im scantten des hochsten wesenz (1926)seperti yang tampak dari tahun terbitnya, buku itu ditulisnya hampir tujuh tahun sebelum ia menulis bukunya tentang upacara kematian. Di dalamnya pendirian Preusz mengenai azas religi sebenarnya sudah mencapai sifat yang dalam dan mantap. Menurut Preusz ritus atau upacara religi akan bersifat kosong tak-bermakna,apabila tingkah laku manusia didalamnya didasarkan pada akal rasionol dan logika; tetapi secara naluri manusia memiliki suatu emosi mistikal yang mendorongnya untuk berbakti pada kekuatan tinggi yang olehnya tampak konkret di sekitarnya, dalam keteraturan dari alam, serta proses pergantian musim, dan kedahsyatan alam dalam hubungannya dengan maslah hidup dan maut. Dalam gagasan Preusz ini tampak suatu persamaan dengan gagasan Otto, yaitu mengenai sikap penuh emosi dari manusia bila menghadap hal yang gaib dan keramat. Bedanya hanyalah bahwa Otto menerangkan sikap penuh emosi itu dari sikap takut-terpesona, sedangkan Preusz menyebutnya suatu ciri naluri.

(28)

27

Analisa Hertz Tentang Upacara Kematian. Pedekatan lain terhadap masalah azas religi yang berorientasi kepada upacara dan khususnya upacara kematian, berasal dari ahli antropologi perancis, R. Hertz. Ia adalah anggota suatu kelompok studi ilmu sosial di Perancis yang menganut pendirian bahwa sebagian besar dari tingkah-laku manusia dalam masyarakat sangat banyak dipengaruhi dan ditentukan oleh gagasan orang banyak, atau “gagasan kolektif” yang hidup dalam masyarkat itu. Kelompok studi

itu dipimpin oleh tokoh sosiologi Prancis yang sangat terkenal bernama E. Durkheim, dan mengenai hal ini akan diuraikan secara lebih mendalam dalam Bab IV di bawah nanti.

Sebagai salah seorang penganut Durkheim, Hertz menganggap bahwa upacara kematian selalu di lakukan manusia dalam rangka adat-istiadat dan struktur sosial dari masyarkatnya, yang berwujud sebagai gagasan kolektif. Dengan demikian analisa terhadap upacara kamatian harus lepas dari segala persaan pribadi para pelaku upacara terhadap orang yang meninggal, dan harus dipandang dari sudut gagasan kolektif dalam masyarakat tadi. Di sini Hertz melihat bahwa gagasan kolektif mengenai gejala kematian yang terdapat pada suku-bangsa di dunia adalah gagasan bahwa mati itu berarti suatu proses peralihan dari suatu kedudukan sosial tertentu ke kedudukan sosial yang lain, ialah kedudukan sosial dalam dunia ini ke suatu kedudukan sosial dalam dunia makhluk halus. Dengan demikian upacara kematian tidak lain daripada upacara inisiasi (Hertz 1907: 126). Dengan konsep ini Hertz menunjukkan bagaimana dalam rangka upacara kematian dari banyak suku-bangsa di dunia ini ada lima anggapan yang juga ada di belakang upacara inisiasi pada umumnya. Adapun kelima anggapan tersebut diantaranya:

1. Anggapan bahwa peralihan dan satu kedudukan sosial ke kedudukan sosial yang lain adalah suatu masa krisis, suatu masa penuh bahaya gaib, tidak hanya bagi individu bersangkutan, tetapi juga bagi seluruh masyarakat;

2. Anggapan bahwa jenazah dan juga semua orang yang ada hubungan dekat dengan orang yang meninggal itu, dianggap mempunyai sifat keramat (sacre); 3. Anggapan bahwa peralihan dari satu kedudukan sosial ke suatu kedudukan

sosial lain, itu tak dapat berlangsung sekaligus, tetapi setingkat demi setingkat, melalui serangkaian masa antara yang lama;

4. Anggapan bahwa upacara inisiasi harus mempunyai tiga tahap, yaitu tahap yang melepaskan si obyek dari hubungan dengan masyarakatnya yang lama, tingkat

(29)

28

yang memepersiapkannya bagi kedudukannya yang baru, dan tingkat yang mengangkatnya ke dalam kedudukan yang baru;

5. Anggapan bahwa dalam tingkat persiapan dari masa inisiasi, si obyek merupakan seorang makhluk yang lemah sehingga harus dikuatkan dengan berbagai upacara ilmu gaib.

Tidak hanya bagi orang yang meninggal suatu upacara kematian itu merupakan suatu inisiasi, juga bagi kaum kerabatnya yang dekat.Ini disebabkan karena mereka berhubungan dekat dengan suatu hal yang keramat (secre); dan karena itu mereka juga menjadi sacre. Dengan demikian upacara kematian itu mengandung berbagai unsur yang bagi para kerabat itu berarti suatu inisiasi peralihan dari anggota dunia biasa menjadi anggota dunia keramat. Nanti apabila syarat-syarat bagi orang yang meninggal itu sudah dipenuhi seluruhnya, maka ada upacara-upacara bagi kaum kerabat yang meninggal, yang berupa suatu inisiasi peralihan dari alam sacre kembali ke alam dunia biasa.

Teori Hertz yang diuraikan dalam karangan berjudul Contribution a une Etude sur la Representation Collective de la Mort (1907) adalah berdasarkan banyak bahan etnografi yang sebagaian besar diambil dari Indonesia, terutama dari upacara kematian pada suku-suku bangsa penduduk asli Kalimantan. Berhubung dengan hal itu Hertz menunjukkan bagaimana peristiwa kematian pada banyak suku bangsa di Indonesia itu bukan hanya peristiwa yang mengenai beberapa orang saja, dalam masyarakat, tetapi suatu peristiwa yang mempengaruhi tingkah laku sebagaian besar warga masyarakat, dan seringkali malahan seluruh masyarakat. kemudian Hertz menunjukkan bagaimana jenazah dan juga orang-orang yang berhubungan dengan jenazah itu, yaitu misalnya kaum kerabatnya yang dekat, merupakan hal-hal yang tak dapat didekati oleh sembarang orang; mereka merupakan obyek-obyek secre.

Hertz kemudian memberikan contoh bagaimana pada berbagai suku bangsa di Indonesia upacara kematian itu terdiri dari tiga tingkat, yaitu: (1) sepultureprovisoire, (2) periode intermediaire, (3) ceremonie finale. Mula-mula mayat diberi suatu sepulture

provisoire, yaitu pemakaman sementara. Kemudian ada suatu periode intermediaire, atau masa antara yang biasanya berlangsung tiga hingga lima tahun, dalam waktu mana para kerabat dekat orang yang meninggal itu hidup dalam keadaan sacre. Mereka harus mentaati beberapa pantangan dan dilarang berhubungan dengan manusia lain kecuali dengan syarat-syarat tertentu. Disamping itu mereka berkewajiban untuk memelihara

(30)

29

roh orang yang meninggal itu, yang dalam jangka waktu itu dianggap masih tetap berada disekitar tempat tinggal manusia. Jadi selama itu roh tersebut belum terlepas sama sekali dari kedudukan sosialnya yang lama di antara orang-orang di alam duia ini. Kecuali dengan sajian, para kerabatnya juga harus melakukan berbagai upacara yang maksudnya memperkuat kesaktian roh itu, dan mempersiapkannya untuk menempati kedudukannya yang baru nanti di dunia baka.

Kedudukan yang baru untuk roh yang meninggal itu dicapai pada ceremoniefinale, yaitu pada upacara di mana tulang-belulang dan sisa-sisa jasmani orang yang meninggal itu digali lagi (dan kadang-kadang setelah itu dibakar), lalu ditempatkan di pemakamannya yang tetap. Selain itu ada upacara yang maksudnya mengalihkan mereka itu dari keadaan mereka yang sacre ke keadaan yang biasa kembali di dalam kehidupan sosial sehari-hari.

Sesudah analisa yang dalam tentang berbagai unsur dalam upacara-upacara kematian pada berbagai suku bangsa di Indonesia, yang memberikan kesimpulan kepadanya bahwa upacara kematian itu tidak lain dari pada suatu upacara inisiasi, Hertz menunjukkan bahwa ada persamaan yang besar antara unsur-unsur upacara kematian manusia dengan unsur-unsur upacara kelahiran dan pernikahannya. Pada kelahiran, seseorang individu beralih dari alam gaib ke alam hidup; pada kematian ia beralih dari alam hidup ke alam gaib.

Analisa Van Gennep mengenai ritus peralihan dan upacara pengukuhan. Ada seorang ahli folklor Perancis lain, tetapi yang tidak termasuk kelompok studi Durkheim, yang juga mengembangkan konsep mengenai azas-azas ritus dan upacara yang serupa dengan konsep Hertz. Ahli folklor ini bernama A. Van Gennep (1873-1957), dan telah menulis buku tentang azas-azas ritus dan upacara yang berjudul Rites de Passage

(1909) pada waktu yang hampir hampir bersamaan dengan Hertz. Ruang lingkup dari buku itu jauh lebih luas dari pada buku Hertz.Hertz hanya menganalisa upacara kematian di antara beberapa kebudayaan daerah di Indonesia, sedangkan Van Gennep menganalisa ritus dan upacara perelihan pada umumnya, berdasarkan data etnografi

dari seluruh dunia.

Mengenai hal itu Van Gennep berpendirian bahwa ritus dan upacara religi secara universal pada azasnya berfungsi sebagai aktivitas untuk untuk menimbulkan kembali semangat kehidupan soaial antara warga masyarakat.ia menyatakan bahwa kehidupan sosial dalam tiap masyarakat di dunia secara berulang, dengan interval waktu tertentu, memerlukan apa yang disebutnya “regenerasi” semangat kehidupan sosial seperti itu.

(31)

30

Hal itu disebabkan karena selalu ada saat-saat dimana semangat kehidupan sosial itu menurun, dan sebagai akibatnya akan timbul kelesuan dalam masyarakat.

Van Gennep juga menyatakan bahwa gejala turunnya semangat kehidupan sosial itu biasanya terjadi pada masa akhir musim alamiah, pada akhir musim berburu, menangkap ikan, atau pada akhir suatu tahap dalam produksi pertanian, sewaktu energi manusia seolah-olah sudah habis terpakai dalam aktivitas sosial selama musim yang hampir lalu itu. Untuk menghadapi tiap musim yang baru masyarakat selalu memerlukan “regenerasi” semangat kehidupan sosial dalam jiwa para warganya.

Selanjutnya Van Gennep menyatakan pula bahwa dalam taha-tahap pertumbuhan sebagai individu, yaitu sejak lahir, kemudian masa kanak-kanaknya, melalui proses menjadi dewasa dan menikah, menjadi orang tua, hingga saatnya ia meninggal, manusia mengalami perubahan-perubaha biologi serta perubahan dalam lingkungan sosial budayanya yang dapat mempengaruhi jiwanya dan menimbulkan krisis mental. Untuk menghadapi tahap pertumbuhannya yang baru, maka dalam lingkaran hidupnya manusia juga memerlukan “regenerasi” semangat kehidupan sosial tadi. Van Gennep malahan menganggap rangkai ritus dan upacara sepanjang tahap-tahap pertumbuhan, atau “lingkaran hidup” individu atau (lifecycle rites) itu, sebagai rangkaian ritus dan upacara yang paling penting dan mungkin paling tua dalam masyarakat dan kebudayaan manusia.

Bukunya Les rites de Passages di atas memang merupakan hasil penelitian komparatif mengenai ritus dan upacara sepanjang lingkaran hidup individu dalam puuluhan kebudayaan suku bangsa yang hidup tersebar diseluruh muka bumi, dan yang bahannya diambil dari kepustakaan etnografi. Secara lahiriah berpuluh-puluh ritus dan upacara tersebut memang mempunyai bentuk yang tampaknya sangat berbedaan satu dengan lain; tetapi Van Gennap berkata bahwa suatu analisa yang lebih mendalam akan menunjukkan adanya beberapa kesamaan azasi dalam bentuk yang sangat beraneka warna tadi.

Serupa dengan Hertz dalam kaitan dengan upacara kematian, Van Gennap menyatakan bahwa semua ritus dan upacara itu dapat dibagi menjadi tiga bagian, diantaranya ialah: (1) perpisahan, perpisahan atau sparation, (2) peralihan atau marga, dan (3) integrasi atau agregation.

Dalam bagian pertama dari ritus, yaitu bagian separation, manusia melepaskan kedudukannya yang semula. Acara ritus biasanya terdiri dari tindakan-tindakan yang melambangkan perpisahan itu. Sering ada ritu yang mengandung acara dimana individu

(32)

31

yang bersangkutan secara pralambang seakan-akan dibunuh atau dibuat seperti “tidak ada” lagi. Dengan demikian ia seolah-olah telah dipisahkan dari lingkungan sosialnya dalam tahap kehidupannya yang semula.

Dalam bagian ke dua dari ritus, yaitu bagian marga, manusia dianggap mati atau “tak ada” lagi, dan dalam keadaan seperti tak tergolong dalam lingkungan sosial mana pun, atau “Betwixt” dan “Between”. Namun mereka perlu dipersiapkan untuk menjadi

manusia baru dalam lingkungan sosialnya yang baru nanti, dan karena itu dalam banyak upacara inisiasi dalam masyarakat-masyarakat berbagai suku bangsa di dunia, dalam bagian marga ini, para anak muda yang sedang menjalani upacara itu dipersiapkan untuk kehidupan sosialnya sebagai orang dewasa dalam masyarakat. Dengan demikian oleh orang-orang tua yang menjadi inisiator mereka, mereka diberi pelajaran mengenai adat-istiadat keramat para nenek moyang; diceritakan cerita-cerita dan mitologi suci; dipelajari sopan santu bergaul sebagai orang dewasa; dipelajari pengetahuan mengenai seluk-beluk hubungan antara pria dan wanita dan sebagainya.

Dalam bagian ketiga dari upacara, yaitu bagian agregation mereka diresmikan ke dalam tahap kehidupannya serta lingkungan sosialnya yang baru.Juga dalam ketiga ini, seperti dalam banyak upacara lingkaran hidup, dalam upacara inisiasi sering ada acara dimana individu yang bersangkutan secara pralambang seakan-akan dilahirkan kembali, dan mengukuhkan integrasinya ke dalam lingkungan sosialanya yang baru.

Dalam bukunya Van Gennep menyatakan dengan khusus bahwa tidak semua bagian dari ritus atau upacara terurai diatas itu sama pentingnya dalam semua upacara yang merayakan pergantian musim, upacara pertanian, atau ritus sepanjang lingkungan hidup individu. Ritus perpisahannya sangat menjolok dalam upacara kematian dalam banyak kebudayaan di dunia, walaupun tidak jarang juga ada upacara-upacara kematian dimana sifat peralihan, bahkan sifat integrasi itu merupakan bagian yang penting.Dalam hal itu upacara kematian berdasarkan tema. Berfikir bahwa peristiwa kematian manusia hanya merupakan suatu saat proses peralihan saja ke suatu ke hidupan yang baru di alam baka, atau juga berdasarkan tema berfikir bahwa individu yang mati harus diintegrasikan kedalam kehidupannya yang baru diantara makhluk halus yang lain di alam baka.

Dalam banyak kebudayaan ritus peralihan sangat penting, misalnya dalam upacara hamil tua, upacara saat anak-anak tubuh (upacara memotong rambut yang pertama, upacara keluar gigi yang pertama, upacara penyentuhan si bayi dengan tanah untuk pertama kali dan sebagainya), dan dalam upacara inisiasi. Walaupun demikian, tidak

(33)

32

jarang juga ada kebudayaan-kebudayaan dimana macam ritus lain lebih menonjol dalam upacara-upacara seperti itu. Dalam banyak kebudayaan lain upacara integrasi dan pengukuhan menonjol dalam upacara pergantian musim, upacara pertanian, upacara kelahiran dan upacara pernikahan. Namun tidak jarang peristiwa-peristiwa tersebut dirayakan dengan upacara dimana ketiga macam bagian berperannan didalamnya. Data etnografi dalam buku Van Gennep menunjukkan bahwa ritus perpisahan itu sering berkaitan dengan ritus peralihan, sedangkan upacara integrasi dan upacara pengukuhan lebih sering dapat berdiri sendiri, lepas dari kedua macam ritus tersebut pertama. Berdasarkan fakta itu mungkin dapat saya usulkan untuk membedakan dengan seksama antara dua macam upacara religi, yaitu: (1) yang bersifat perpisahan menjadi satu dengan yang bersifat peralihan, dan (2) yang bersifat integrasi

dan pengukuhan. Mungkin baik juga untuk membedakan ke dua macam upacara relisgi

itu dengan dua istilah juga, yaitu “ritus” untuk yang pertama, dan “upacara” untuk yang ke dua.

(34)

33 BAB III

SENI DALAM ANTROPOLOGI SENI

3.1 Sekilas Tentang Antropologi

Pendahuluan Seni dan Kebudayaan Seni beserta segala aspek yang terkait padanya merupakan fenomena yang tak pernah henti dibahas dan tentu saja dipersoalkan. Baik dalam kegiatan-pembicaraan sehari-hari oleh para pengamen dan tukang beca di jalanan, hingga di forum dan seminar seni berskala internasioal oleh seniman atau profesor seni.Sebagai bagian dari kebudayaan, seni terus berlangsung dan berkembang seiring-sejalan perkembangan jaman, bukan hanya itu, seni pun tak pernah lepas dari persoalan-persoalan yang menyangkut kehidupan keseharian manusia. Perangkat atau aspek, kalau bukan kebutuhan, yang ada di sekitar kehidupan manusia sebagai unsur kebudayaannya seperti ilmu pengetahuan, teknologi, sistem kepercayaan, ekonomi termasuk juga seni tentunya, merupakan aspek-aspek yang saling berkaitan dan dapat saling mempengaruhi dalam tumbuh-kembang keadaannya masing-masing. Seni tak pernah lepas dari segala aspek yang melingkupi kehidupan manusia; seni dipengaruhi sekaligus mempengaruhi.

Peradaban manusia berkembang, dan segala aspek budayanya berubah pula.Perkembangan tesebut kemudian mempengaruhi kebutuhan manusia yang menjadi semakin kompleks.Kebutuhan yang sangat kompleks ini membutuhkan penyelesaian dan pemenuhannya, sehingga manusia menjadikannya sebagai tantangan dalam hidupnya. Hasrat manusia untuk memenuhi kebutuhannya tersebut didasari modal pengetahuan yang dimilikinya; peradaban manusia yang terus berkembang kompleks merupakan bukti adanya akal-pikiran manusia yang berkembang tanpa batas. Dari keadaan ini lahirlah ilmu pengetahuan dengan tujuan untuk mempelajari, mengetahui dan ‘membongkar’ rahasia-rahasia alam-kehidupan kaitannya dengan pemenuhan kebutuhan manusia, pada awalnya, namun kemudian ternyata ilmu pengetahuan pun berkembang dengan tujuan yang bertambah pula, yaitu untuk kemudahan sekaligus kepuasan keberlangsungan kehidupan manusia. Seni sebagai bagian dari kebudayaan manusia yang berkembang juga tertuntut untuk melebarkan ‘sayap’ dalam kaitannya dengan persoalan itu: pencarian jawaban akan tantangan perkembangan peradaban manusia. Seni mulai dipelajari secara rasional di sekolahan

(35)

34

hingga sejumlah penelitian oleh ahlinya di perguruan tinggi seni pun kemudian dilakukan.Ilmu-ilmu seni ‘dilahirkan’, semakin kompleks dan spesifik. Bahkan ada pula disiplin (ilmu) lain yang digunakan untuk mengkaji seni: Sosiologi Seni, Psikologi Seni, Sejarah Seni atau Antropologi Seni misalnya. Ilmu-ilmu tersebut menjadi penting untuk menjabarkan fenomena seni guna pemahamannya dikemudian.

3.2 Permasalahan (Ilmu) Seni

Kebudayaan manusia termasuk seni di dalamnya yang berubah dan berkembang tersebut, selalu unik dan tentu saja berbeda sesuai konteks ruang-waktunya. Keadaannya di negara maju akan berbeda dengan di negara berkembang. Dari sudut pandang modern, negara berkembang seperti Indonesia ini, dalam banyak hal hanya melakukan ‘penyerapan’ saja, baik dalam ilmu pengetahuan, teknologi termasuk ilmu-ilmu seni yang umum dipelajari di perguruan tinggi seni. Seperti telah disinggung diatas, beberapa disiplin yang sering dikaitkan dengan keilmuan seni di Indonesia sebagian besar berasal dari ‘barat’, salah-satunya adalah Antropologi Seni. Permasalahannya kemudian adalah mengenai kesesuaian penggunaan teori-teori dan metode disiplin ilmu tersebut di ‘sini’, yaitu di dalam konteks yang berbeda dengan dimana disiplin tersebut ‘dilahirkan’. Jika dilihat dari jumlah disiplin ilmu tersebut yang dimanfaatkan atau setidaknya membantu dalam ‘melihat’ fenomena tumbuh kembangnya seni, lantas dalam batasan apakah cakupan Antropologi Seni sebagai pendekatandisiplin, khususnya di Indonesia? Tidakkah hal tersebut berkesan ironis?Berubah dan berkembangnya fenomena kebudayaan (termasuk seni) di seluruh dunia sedikitnya mempengaruhi bagaimana ilmu-ilmu seni, juga Antropologi Seni, dipelajari, diterapkan dan dipraktekkan. Maka aspek konteks seharusnya menjadi pertimbangan utama dalam penerapannya.Pembahasan Kerancuan Seni Tidak sedikit kerancuan yang terdapat dalam bidang seni di Indonesia dikaitkan dengan disiplin ilmu-nya, baik secara teoritis maupun praktis, bahkan dalam penggunaan istilahnya sekalipun.

Tentang “seni”, di Indonesia, sempat atau mungkin masih diperdebatkan hingga berlarut. Bahkan tentang ini di ‘Barat’ tidak pernah menunjukkan tanda-tanda selesai dipersoalkan meski buku-buku tentangnya muncul dengan ribuan judul. Hanya saja perbedaannya sangat jelas ketika disadari bahwa ‘Barat’ memiliki sejarah dan tradisi yang panjang akan seni sebab disanalah awalnya seni (art) dilahirkan. Jika dipadankan dengan istilah “Art”-nya ‘Barat’, maka Indonesia memang tidak memiliki

(36)

35

sejarahnya; Indonesia memiliki sejarah yang pendek dalam hal itu, dan tentu saja itupun merupakan hasil serapan dari ‘Barat’. Pendek kata ‘kita’ mungkin saja selamanya hanya akan menjadi ‘buntut’ jika dilihat dari sudut pandang demikian. Tidak ada “Art” di Indonesia, sekaligus parahnya, tidak ada pula kesadaran yang menyeluruh tentang pengetahuan dan pembelajaran untuk mengakui hal itu.

Antropologi dan Seni

Sebagai suatu disiplin, Antropologi dikenali sebagai ilmu yang mempelajari hal liyan (the others). Sebab yang menjadi kajian utamanya adalah perbedaaan yang terdapat pada manusia; keberagaman masyarakat, baik masyarakat pra-moderen (=kuno/primitif/tradisional) ataupun moderen, dari yang sederhana hingga yang kompleks. Apa yang ditawarkan Antropologi adalah cara pandang lintas budaya yang berbeda, khusus dan unik, serta melakukan perbandingan antarmasyarakat dalam aspek-aspek tertentu seperti: kebiasaan-kebiasaan, kehidupan sosial, bahasa, ciri/sifat fisik, kepercayaan, tingkah laku, aktivitas ekonomi-politik, seni bahkan agama. Masyarakat sekaligus kebudayaan-nya menjadi pokok bahasan utama dalam antropologi, dan menjadi kajian utama bagi para antropolog dalam penelitiannya. Masayarakat dan kebudayaan bagaikan dua sisi mata uang yang tak dapat dipisahkan. Mustahil ada kebudayaan tanpa ada masyarakat, sebab masyarakatlah yang melahirkan kebudayaan.

Adapun Seni, telah disinggung sebelumnya, adalah istilah yang masih cukup ‘cair’ batasannya, bisa saja mencakup ide-gagasan, keahlian, aktifitas, dan/atau termasuk produk hasil karya manusia. Pintu yang menjadi celah bagi antropologi untuk mengkaji seni adalah dalam kerangka bahwa seni dianggap sebagai produk sosial.Produk yang tercipta atas hubungannya dengan aspek-aspek sosial, ritual dan ekonomi dalam suatu masyarakat, bukan karena kebentukannya meski aspek bentuk (estetika) tetap pula dianggap penting. Karena kecenderungannya yang selalu mempelajari tradisi yang berubah, berkembang dan bergerak, maka antropologi memungkinkan adanya untuk menemukan hubungan antara seni dengan segi kehidupan sosial yang lain.

3.3 Atropologi Seni

Antropologi Seni Antropologi Seni merupakan bagian dari disiplin ilmu Antropologi pada umumnya. Sebagai “anak”, Antropologi Seni juga menggunakan informasi dari bidang lain: mitologi, bahasa, agama, kekerabatan, dsb. Meski

(37)

36

sejarahnya tidak lepas dari sejarah “induknya”, ia tetap menjadi bagian yang marjinal di dalam Antropologi sebab hanya dijadikan sebagai pendekatan-pelengkap bagi para Antropolog dalam suatu kegiatan penelitian. Hal ini terjadi di ‘Barat’ umumnya, apalagi di Indonesia.Antropologi Seni berkembang di dalam disiplin (ilmu) antropologi sebagai salah satu pendekatan yang digunakan dalam penelitian untuk mengkaji secara khusus fenomena seni suatu masyarakat. Maksudnya adalah mengkaji seni pada masyarakat liyan; masyarakat yang tentu saja berbeda dengan, dan berada di ‘luar’ si peneliti.Tak dapat dipungkiri bahwa pada awalnya para peneliti adalah orang-orang yang berasal dari negara-negara yang telah maju ilmu pengetahuan dan teknologinya; sebut saja negara eropa-amerika (negara ‘Barat’).Demikianlah diketahui kemudian bahwa yang liyan (the others) bagi mereka adalah masyarakat yang berada di negara yang rendah ilmu pengetahuan dan teknologinya, sebut saja Afrika, Oceania, Pasifik dan termasuk juga Asia tenggara (luar ‘Barat’) misalnya.

3.4 Masalah Antropologi Seni

Pada mulanya perhatian dunia Barat terhadap produk seni masyarakat liyan (seni pra-moderen) pun bukan hasil dari pemahaman antropologi, melainkan lebih berkat perhatian para senimannya yang membukakan ‘mata’ terhadap estetika seni pra-modern sebagai produk seni yang memiliki standar estetika sendiri.Ada anggapan di ‘Barat’ yang menyatakan bahwa penafsiran seniman lebih baik daripada para antropolog sendiri dalam melihat karya-karya seni pra-moderen tersebut. Hal tersebut di atas mungkin saja menjadi salah-satu persoalan dalam penelitian antropologi terhadap seni. Persoalan interpretasi merupakan masalah serius dalam penelitian antropologi seni. Standar yang digunakan oleh para ahli antropologi dalam melakukan penilaian terhadap karya-karya seni pra-moderen (di luar ‘barat’ umumnya) adalah standar yang dianggap universal: estetika ‘barat’. Sehingga tentu saja terjadi kesimpangsiuran dalam hasil yang diperoleh, padahal setiap karya seni lahir dari suatu masyarakat yang terdapat di dalam konteks ruang dan waktunya sendiri, yang karena itu memiliki konsep estetikanya sendiri.

Perkembangan mainstream kerap menjadi titik tolak antropologi, sehinggga kajian tentang seni dan keragaman pendekatannya sampai kini tak banyak menghasilkan pendekatan teoritik yang padu. Contoh hal yang menjadikan antropologi sebagai pendekatan yang tetap marjinal adalah karena lebih mementingkannya peran simbolik dan politik dari suatu seni kemudian mengabaikan aspek kebendaannya itu sendiri.

(38)

37

Jikalaupun membahas penjelasan tentang benda seni namun mereduksi pertanyaan mengapa dan bagaimana benda seni tersebut menjalankan perannya.

Kajian Antropologi Seni Antropologi seni hendaknya melihat seni sebagai produk karya yang merupakan hasil dari proses teknis yang dikuasai oleh seseorang dalam suatu masyarakat sebagai seniman. Perhatian Antropologi Seni terutama mengkaji kemampuan dan kemahiran seniman dalam menuangkan gagasannya melalui media menjadi suatu produk karya seni, yang baik indah ataupun tidak, adalah menjadi bagian dari satukesatuan kegiatan dalam masyarakatnya. Ada tiga unsur yang terdapat dalam seni secara umum: unsur karya, unsur seniman dan unsur publik seni. Ketiganya saling berkait dalam satu kesatuan di dalam konteks tertentu.

Unsur benda seni (karya) merupakan bagian kajian utama dari estetika: persoalan kebentukan, dan persoalan indah-tak indahnya karya tersebut. Meskipun demikian, unsur karya seni sebagai sebuah produk yang mewujud dalam bentuk tertentu juga menjadi penting adanya dalam antropologi seni, sebab ia menjadi penanda awal dimungkinkannya kelanjutan proses pengkajian dan analisa dalam suatu penelitian bagi para antropolog terhadap seniman sebagai pencipta karya tersebut. Unsur yang kedua adalah publik seni,yaitu sekumpulan orang yang, baik secara khusus ataupun tidak, ‘mengkonsumsi’ karya seni. Unsur ini merupakan bagian kajian utama dari sosiologi (seni). Tetapi bagaimanapun unsur publik juga secara tak langsung menjadi aspek lain yang diperhatikan para antropolog dalam penelitiannya. Publik seni, adalah unsur yang kemudian menerima, mengapresiasi bahkan memesan suatu karya yang diciptakan oleh seniman. Dengan demikian ia sedikit-banyak memberi pengaruh bagi seniman dalam mencipta karya, sehingga menjadi relevan pula dalam kajian antropologi seni.

Unsur yang ketiga adalah seniman.Ia adalah pencipta karya seni yang baik diterima ataupun tidak oleh masyarakatnya, karya ciptaannya tersebut merupakan bagian dari produk sosial juga, yang sedikit-banyak dipengaruhi lingkungan serta masyarakatnya. Unsur seniman merupakan kajian utama dalam antropologi seni, yang tentu saja kaitannya dengan karya seni yang diciptakannya. Ketiga unsur seni yang tersebut di atas merupakan unsur-unsur terpenting yang menjadi perhatian antropolog dalam penelitiannya. Hanya saja perbandingannya tentu berbeda-beda bergantung pada tujuan dan kepentingan si peneliti dalam penelitian. Hal lain yang juga penting diperhatikan dalam sebuah penelitian antropologi seni adalah unsur konteks, yaitu persoalan kapan dan dimana objek penelitian muncul dan berada, serta kapan dan dimana peneliti seharusnya melakukan kajian yang tepat. Kebanyakan kajian

(39)

38

antropologi seni adalah tentang seni pra-moderen, sebab seni tersebut dianggap konvensional dan sukar berubah. Dengan demikian maka diharapkan bahwa pola-pola yang tetap pada seni dalam suatu masyarakat dapat mudah dijabarkan. Diketahui bersama bahwa segala penelitian terhadap hal-hal yang ‘berbau’ tradisi/primitif, yang sifatnya tidak moderen, dan tentu saja sangat erat berkaitan dengan masa lalu adalah bertujuan untuk memperoleh gambaran tentang kemungkinan perkembangannya di masa datang, dengan kata lain guna menemukan suatu garis (pola) tertentu yang dapat digunakan kemudian untuk merumuskan hal-hal khususnya seni di masa yang akan datang. Layaknya penelitian terhadap suatu masyarakat, penelitian dalam antropologi seni pun dilakukan dengan cara ‘terjun’ langsung ke lapangan, sebab ia membutuhkan pengamatan terlibat dalam jangka waktu yang relatif panjang. Pendekatan familiarizing menjadi utama dan penting dalam proses penelitian. Oleh karena peneliti (antropolog) sering terlibat langsung dalam kegiatan keseharian masyarakat, terutama seniman pencipta karya yang ditelitinya, terkadang ia lupa untuk mengambil jarak sehingga tak jarang membuatnya kesulitan melakukan penilaian yang objektif.

3.5 Kesenian Pra-Modern dan Modern

Para antropolog lebih tertarik pada karya-karya masyarakat pramoderen ketimbang karya moderen, sebab dianggap memiliki pola yang tetap dan tak berubah. Setidaknya perubahan yang terdapat pada masyarakat termasuk karya pra-moderen tersebut berlangsung perlahan, berbeda dengan yang terjadi dalam karya produk dari masyarakat moderen yang selalu berubah dan berganti begitu cepatnya.

Kesenian memang tidak pernah berhenti untuk melahirkan bentuk baru, seni lahir, berkembang dan kadang berhenti saat mencapai ‘titik jenuh’-nya, namun kemudian muncul kembali dengan keadaan yang baru. ada kalanya ia kembali pada idiom-idiom yang semula. Kesenian adalah bagian dari kebudayaan, perkembangannya seiring dengan perkembangan kebudayaan, dan perkembangan kebudayaan dipengaruhi perubahan yang terjadi pada segala pola pikir dan aktifitas manusia pada satu tempat dan zaman tertentu. Karenanya tidak dapat dipastikan lebih dahulu ke arah mana dan menjadi apa kemudian.

Para antropolog yang pada awalnya merupakan orang-orang ‘barat’ sangat meyakini bahwa masyarakat yang dianggapnya pra-moderen yang ditelitinya adalah masyarakat yang tidak memiliki kesadaran akan perubahan menuju kebaruan dan perbaikan. Para antropolog tersebut menganggap bahwa pola-pola yang dijalankan dan

(40)

39

digunakan oleh masyarakat pra-moderen adalah pola yang tetap yang sulit berubah; yang selalu dipakai berulang-ulang, merupakan suatu perputaran yang akan kembali pada titik yang sama. Perkembangan sejarah masyarakat dan kebudayaan pra-moderen (atau sebut saja ‘timur’ pada umumnya) berlangsung circlis, selalu berulang dan berulang. Sementara ‘Barat’ meyakini perkembangan sejarah(nya) berlangsung linear; berjalan lurus-horisontal secara bertahap melewati periode demi periode zaman tanpa pengulangan keadaan-kejadian sejarah yang sama. Keyakinan inilah yang kemudian menjadikan ‘Barat’ selalu beranggapan bahwa dirinya adalah yang terdepan sebagai pionir pembaruan; meninggalkan dan tak percaya masa lalu; pencipta sejarah; atau secara umum lebih dikenal dengan sebutan-istilah Avant-Garde.

Telah dikemukakan di atas bahwa pola pikir manusia sering muncul kembali dengan bentuk-bentuk yang sama, meski tidak mudah diperkirakan sebelumnya. Tiap zaman membuka halaman baru dengan kehendak manusia yang baru pula, hal ini akan berlangsung dan berputar terus. Karenanya sulit sekali untuk memberi penilaian terhadap suatu kesenian dimana kita sendiri jauh (tidak berada) dari ‘dunia’ tempat munculnya kesenian tersebut. Karena itulah para antropolog yang hendak melakukan pengkajian, tentang karya (seni) rupa misalnya, umumnya ‘terjun’ dan terlibat langsung dengan masyarakat dimana seniman pencipta karya tersebut berada, kecuali penelitian terhadap karya yang diciptakan pada konteks zaman yang berbeda dengan si peneliti itu sendiri. Masayarakat pra-modern awalnya hidup tergantung atas alam, karya yang diciptakannya pun mengandung unsur realitas alam meski tak mirip. Ketergantungan pada alam pun perlahan hilang, dan ini mempengaruhi produk keseniannya yang mereduksi unsur alam; peniruan terhadap alam pun diabsrtaksikan. Unsur abstraksi pada karya seni ini sebenarnya sudah ada jauh sebelum seniman modern menciptakannya. Dengan demikian ada persamaan kehendak dalam menciptakan kesenian, terutama jika dilihat dari unsur abstraksi ini, hanya saja perwujudan kedua kesenian itu pra-moderen dan modern jauh berbeda dan tidak mudah memaparkan perbedaannya dengan singkat. Namun yang pasti ialah bahwa kesenian pra-modern menjadi sumber inspirasi bagi seniman-seniman modern yang merasa bebas dalam menciptakan karya.

Jika kesenian pra-modern menjadi inspirasi pertumbuhan kesenian tua.Tak sedikit seniman modern yang datang ke daerah-daerah dimana kehidupan masyarakatnya masih sangat asli. Para seniman modern tersebut menemukan kejujuran dan kebenaran seni.Ini memberi dorongan bagi mereka untuk menciptakan sesuatu yng

(41)

40

baru. Para seniman modern pun bahkan belajar dari kesenian pra-modern, bukan sekedar untuk meniru namun untuk mengembangkan apa yang diterima dari hasil pengamatannya. Berbeda dengan kegiatan para antropolog, yang juga sama-sama mendatangi daerah-daerah seperti tersebut, yang bertujuan untuk mengkaji dan menganalisa suatu karya kesenian yang dilihat sebagai produk sosial; yang dihasilkan oleh seorang seniman dalam suatu masyarakat tertentu dikaitkan dengan aktivitas-ritual-keseharian masyarakat tersebut dalam ekonomi-politik, kepercayaan dan agamanya.

Referensi

Garis besar

Dokumen terkait