• Tidak ada hasil yang ditemukan

KEBUDAYAAN

Dalam dokumen BAHAN AJAR ANTROPOLOGI SENI (Halaman 23-34)

2. Pengertian Kebudayaan.

Mengenai definisi (terminologi) dari kebudayaan, banyak akan ditemukan pengertian atau definisi mengenai kebudayaan tersebut. Karena kebudayaan tersebut cakupanya sangat luas. Seperti apa yang dikemukakan oleh para ahli sosial yang mendefinisikan bahwa kebudayaan dalam artian yang sangat luas yaitu seluruh total dari pikiran, karya, dan hasil karya manusia yang tidak berakar kepada nalurinya, dan yang dicetuskan oleh manusia sesudah melalui proses belajar. Kemudian secara

etimologi kata “kebudayaan” berasal dari bahasa Sansekerta, yaitu buddhayah ialah

bentuk jamak dari budhi yang berarti budi atau akal. Dengan demikian “kebudayaan” secara harfiah dapat diartikan hal-hal yang bersangkutan dengan budi dan akal. Pendirian lain juga mengatakan bahwa asal kata kebudayaan tersebut berasal dari kata majemuk budi-daya, artinya daya dari budi, kekuatan dari akal. Kemudian, menurut

Koentjaraningrat kebudayaan adalah keseluruhan gagasan dan karya manusia, yang

harus dibiasakanya dengan belajar, beserta keseluruhan dari hasil budi dan karyanya itu. Definisi dari kebudayaan tersebut hanya beberapa dari definisi yang jumlahnya ada 179 defenisi tentang kebudayaan tersebut.

2.1 Perbedaan Adat, Kebudayaan dan Peradaban

Menjelaskan perbedaan dari adat, kebudayaan dan peradaban yang paling mudah untuk dijelaskan atau dijawab adalah perbedaan antara kebudayaan dengan

peradaban, karena hanya mengenai istilah saja. kebudayaan seperti yang sudah

dijelaskan diatas adalah berasal dari bahasa Sansekerta, yaitu buddhayah ialah bentuk jamak dari budhi yang berarti budi atau akal. Dengan demikian “kebudayaan” secara

harfiah dapat diartikan hal-hal yang bersangkutan dengan budi dan akal. Pendirian lain

juga mengatakan bahwa asal kata kebudayaan tersebut berasal dari kata majemauk

budi-daya, artinya daya dari budi, kekuatan dari akal. Kemudian, menurut Koentjaraningrat kebudayaan adalah keseluruhan gagasan dan karya manusia, yang

harus dibiasakanya dengan belajar, beserta keseluruhan dari hasil budi. Sedangkan

peradaban dapatdi sejajarkan dengan kata asing civilization.Istilah tersebut

23

halus dan indah, seperti: kesenian, ilmu pengetahuan, serta sopan santun dan sistem

pergaulan yang komplek dalam suatu masyarakat dengan struktur yang komplek. Tetapi sering juga istilah peradaban dipakai untuk menyebut suatu kebudayaan yang mempunyai sistem teknologi, seni bangunan, seni rupa, sistem kenegaraan dan ilmu pengetahuan yang maju dan komplek. Sedangkan adat adalah wujud ideal dari

kebudayaan. Yang mana kebudayaan memiliki tiga wujud, yaitu wujud ideal, wujud

kelakuan, dan wujud fisik. Dengan kata lain secara lengkap dari wujud tersebut dapat

disebut adat tata-kelakuan, karena adat berfungsi sebagai pengatur kelakuan. Suatu contoh dari adat ialah dalam tradisi Hindu adalah: memberikan beras kepada keluarga orang yang meninggal dan yang lainya. Lebih jauh disebutkan adat dapat dibagi lebih khusus dalam empat tingkatan, yaitu : tingkat nilai-nilai budaya, tingkat norma-norma,

tingkat hukum dan tingkat aturan khusus.

2.2 Aneka Warna Kebudayaan Indonesia

Menjelaskan tentang aneka warna kebudayaan nasional Indonesia, akan ditemukan bermacam-macam kebudayaan yang memiliki karakteristik yang beraneka ragam. Tetapi sebelum menjelaskan tentang aneka warna Kebudayaan Indonesia, sebaiknya memahami terlebih dahulu tentang sifat Kebudayaan Nasional Indonesia.

Menurut Koentjaraningrat kebudayaan nasional adalah suatu kebudayaan yang bersifat khas dan harus dapat dibanggakan oleh warga Negara yang mendukungnya. Hal itu dipandang perlu karena suatu kebudayaan nasional harus

dapat memberi identitas kepada warga negaranya. Selain memahami sifat kebudayaan nasional tersebut, tidak kalah penting sebelum menjelaskan aneka kebudayaan nasional Indonesia, sebaiknya memperhatikan pengelompokan aneka kebudayaan Indonesia yang merujuk pada buku dengan judul Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan oleh

Koentjaraningrat, sebagai berikut :

• Seni Rupa : a. Seni bangunan b. Seni patung c. Seni releif d. Seni lukis e. Seni rias f. Seni kerajinan g. Seni oleh raga

• Seni Suara : a. Seni vocal b. Seni instrument

24

c. Seni sastra : (puisi dan prosa)

• Seni Tari : (Seni bangunan, seni patung, seni releif, seni lukis, seni rias, seni kerajinan, seni oleh raga, seni vocal, seni instrument)

• Seni Drama/pedalangan : (Seni bangunan, seni patung, seni releief, seni lukis, seni rias, seni kerajinan, seni oleh raga, seni vocal, seni instrument, seni sastra)

Demikianlah pengelompokan aneka Kebudayaan Nasional Indonesia yang tidak dapat dipisahkan dari unsur seni yang berwujud pada nilai estetika yang membawa Kebudayaan Nasional Indonesia sejajar dengan kebudayaan dunia (negara) lainya. bedasarkan pada pengelompokan tersebut diatas, maka dapat dijelaskan aneka kebudayaan nasional Indonesia sebagai berikut :

1. Seni Bangunan adalah suatu bidang kesenian yang cocok dapat mempertinggi rasa kebanggaan dan identitas suatu bangsa. Seni bangunan termasuk kedalam seni rupa, yang berwujud fisik, sifat khasnya mudah ditonjolkan, mutunya mudah diobservasi. Seni bangunan khas Indonesaia dapat dilihat dari berbagai bangunan-bangunan (rumah-rumah) adat yang memiliki arsitektur yang khas dan memiliki kerumitan yang berbeda-beda. Berbicara tentang arsitektur seni bangunan Indonesia dari zaman dahulu sudah memliki mutu dan nilai kerumitan yang mewujudkan pada suatu nilai keindahan yang tinggi, contohnya candi Borobudur, Prambanan dan candi lainya.

2. Seni Patung, relief, lukisan dan gambar merupakan bidang-bidang kesenian yang fleksibel dan mudah dipakai di dalam mengembangkan sifat kepribadian kita berdasarkan sifat-sifat khas dan mutu yang tinggi. Sifat khas tersebut tidak hanya dapat dikaitkan dengan wujud lahiriah dibidang kesenian tersebut, tetapi juga dengan isinya dan intelektualitasnya. Sehingga dari zaman dahulu Indonesia telah melahirkan seni relief, patung, lukis dan gambar yang membawa decak kagum dunia. Dan, apalagi didukung dengan keindahan alam dan uniknya tradisi yang beraneka ragam.

3. Seni Rias Indonesia, terutama seni pakaian adat masing-masing daerah sudah memiliki sifat-sifat yang khas yang dapat kita banggakan keindahan dan kecantikanya. Maka sewajarnyalah kita menjaga kekhasan tersebut

25

supaya tidak terkena arus zaman selama mungkin, sebagai salah satu unsur kebudayaan nasional kita yang paling menonjol.

4. Seni Kerajinan erat keitanya dengan seni berpakian diatas. Terutama seni kerajinan tenun ikat, seni batik dan seni texstil Indonesia. Cabang seni tersebut sudah mengakar dalam Kebudayaan Indonesia sejak lama, tinggi mutu keindahanya, bisa menonjolkan sifat khas bangsa Indonesia dan dapat memberikan rasa kebanggaan kepada kita. Dengan demikian sepatutnyalah dijaga kelestarianya dan dipertahankan dari berbagai pengakuan oleh Negara lain. kerena kebudayaan tersebut adalah budaya asli Indonesia. 5. Seni Tari dihubungkan pula dengan Seni Olahraga sebagai salah satu seni

yang sering dipakai dalam usaha mengembangkan Kebudayaan Nasional Indonesia. Mengenai Seni Tari di Indonesia yang dikembangkan baik di dalam lingkungan istana (puri) atau di wilayah pedesaan terutama di Bali, memang memiliki kekhasan dan kualitas seni yang tinggi tentunya tidak dapat diragukan lagi. Masing-masing Seni Tari diberbagai daerah sudah memiliki kekhasan yang bebeda, tersendiri, sehingga susah untuk dicampur. 6. Seni Musik Indonesia, berkembang erat sejajar dengan perkembangan seni

tari di Indonesi. Di Indonesia ada dua ranah perkembangan musik, yaitu musik tradisional (klasik) dan musik modern. Seni musik tradisional Indonesia sudah adak sejak zaman dahulu yang terus mengalami perkembangan sesuai dengan arus zaman. Musik tradisional di berbagai daerah di Indonesai memilki ciri khas tersendiri dan mengenai mutu atau kualitas tidak pula dapat diragukan lagi. hal tersebut dpat dilihat banyak musik tradisional Indonesia dapat pentas di dunia Internasional.

7. Seni Sastra Indonesia yang bersifat daerah ada banyak macamnya, menurut bahasa daerah yang menjadi pengembanganya. Diantara kesusasteraan-kesusateraan daerah itu ada yang mempunyai sejarah tertulis yang panjang, misalnya kesusasteraan Bali dan Jawa, Bugis dan yang lainya. Dan, bidang kesusastraan ini sanagt cocok dan paling kuat untuk bisa mengembangkan Kebudayaan Nasional. Kita telah dapat melihat bagaimana pentingnya peranan Kesusasteraan Nasional dalam perkembanganya terhadap Bahasa Nasional untuk mewujudkan persatuan dan kesatuan bangsa.

8. Seni Drama, merupakan bidang perluasan dari seni kesusastraan, dan mencakup segala bidang kesenian yang lain. Masalahnya sejajar sama

26

dengan Seni Kesusastraan Indonesia, yaitu seni drama banyak terdapat di berbagai daerah di Indonesia. Seni drama ini erat berkaitan dengan suku-suku dimasing-masing daerah yang bersangkutan.

2.3 Antropologi Kebudayaan

Dalam sebuah buku yang ditulisnya lama kemudian, yaitu Tod und

Unsterblichkeit im Glauben Der Naturvolker (1933), Preusz melanjutkan konsepsinya

mengenai arti ritus dan upacara dengan anggapan bahwa rangkain ritus yang paling penting dalam banyak religi di dunia adalah ritus kematian. Dalam ritus-ritus seperti itu tema pokoknya seringkali melambangkan proses pemisahan antara yang hidup dan yang meninggal. Dalam hubungan itu Preusz kemudian menguraikan dengan sangat baik bahwa konsep manusia mengenai hidup dan maut iti sebenaranya merupakan orientasi pusat dari banyak religi di dunia, dan bahwa gambaran manusia tentang hidup dan maut sebenarnya diciptakan dan dikembangkan sendiri oleh manusia dengan ritus kematian sebagai sumbernya. Dengan demikian Preusz masih tetap konsekuen menganut pendiriannya yang semula, yaitu bahwa perkembangan sistem keyakinan serta ajaran religi itu lebih banyak dipengaruhi oleh sistem upacara dan tingkah laku manusia dalam kehidupannya sehari-hari dari pada sebaliknya.

Pendiriannya mengenai pentingnya ritus dan upacara dalam kehidupan manusia sangat diperdalamnya dalam buku yang sebenarnya merupakan bukunya yang terpenting, yaitu Glauben und Mystik im scantten des hochsten wesenz (1926)seperti yang tampak dari tahun terbitnya, buku itu ditulisnya hampir tujuh tahun sebelum ia menulis bukunya tentang upacara kematian. Di dalamnya pendirian Preusz mengenai azas religi sebenarnya sudah mencapai sifat yang dalam dan mantap. Menurut Preusz ritus atau upacara religi akan bersifat kosong tak-bermakna,apabila tingkah laku manusia didalamnya didasarkan pada akal rasionol dan logika; tetapi secara naluri manusia memiliki suatu emosi mistikal yang mendorongnya untuk berbakti pada kekuatan tinggi yang olehnya tampak konkret di sekitarnya, dalam keteraturan dari alam, serta proses pergantian musim, dan kedahsyatan alam dalam hubungannya dengan maslah hidup dan maut. Dalam gagasan Preusz ini tampak suatu persamaan dengan gagasan Otto, yaitu mengenai sikap penuh emosi dari manusia bila menghadap hal yang gaib dan keramat. Bedanya hanyalah bahwa Otto menerangkan sikap penuh emosi itu dari sikap takut-terpesona, sedangkan Preusz menyebutnya suatu ciri naluri.

27

Analisa Hertz Tentang Upacara Kematian. Pedekatan lain terhadap masalah azas religi yang berorientasi kepada upacara dan khususnya upacara kematian, berasal dari ahli antropologi perancis, R. Hertz. Ia adalah anggota suatu kelompok studi ilmu sosial di Perancis yang menganut pendirian bahwa sebagian besar dari tingkah-laku manusia dalam masyarakat sangat banyak dipengaruhi dan ditentukan oleh gagasan orang banyak, atau “gagasan kolektif” yang hidup dalam masyarkat itu. Kelompok studi itu dipimpin oleh tokoh sosiologi Prancis yang sangat terkenal bernama E. Durkheim, dan mengenai hal ini akan diuraikan secara lebih mendalam dalam Bab IV di bawah nanti.

Sebagai salah seorang penganut Durkheim, Hertz menganggap bahwa upacara kematian selalu di lakukan manusia dalam rangka adat-istiadat dan struktur sosial dari masyarkatnya, yang berwujud sebagai gagasan kolektif. Dengan demikian analisa terhadap upacara kamatian harus lepas dari segala persaan pribadi para pelaku upacara terhadap orang yang meninggal, dan harus dipandang dari sudut gagasan kolektif dalam masyarakat tadi. Di sini Hertz melihat bahwa gagasan kolektif mengenai gejala kematian yang terdapat pada suku-bangsa di dunia adalah gagasan bahwa mati itu berarti suatu proses peralihan dari suatu kedudukan sosial tertentu ke kedudukan sosial yang lain, ialah kedudukan sosial dalam dunia ini ke suatu kedudukan sosial dalam dunia makhluk halus. Dengan demikian upacara kematian tidak lain daripada upacara inisiasi (Hertz 1907: 126). Dengan konsep ini Hertz menunjukkan bagaimana dalam rangka upacara kematian dari banyak suku-bangsa di dunia ini ada lima anggapan yang juga ada di belakang upacara inisiasi pada umumnya. Adapun kelima anggapan tersebut diantaranya:

1. Anggapan bahwa peralihan dan satu kedudukan sosial ke kedudukan sosial yang lain adalah suatu masa krisis, suatu masa penuh bahaya gaib, tidak hanya bagi individu bersangkutan, tetapi juga bagi seluruh masyarakat;

2. Anggapan bahwa jenazah dan juga semua orang yang ada hubungan dekat dengan orang yang meninggal itu, dianggap mempunyai sifat keramat (sacre); 3. Anggapan bahwa peralihan dari satu kedudukan sosial ke suatu kedudukan

sosial lain, itu tak dapat berlangsung sekaligus, tetapi setingkat demi setingkat, melalui serangkaian masa antara yang lama;

4. Anggapan bahwa upacara inisiasi harus mempunyai tiga tahap, yaitu tahap yang melepaskan si obyek dari hubungan dengan masyarakatnya yang lama, tingkat

28

yang memepersiapkannya bagi kedudukannya yang baru, dan tingkat yang mengangkatnya ke dalam kedudukan yang baru;

5. Anggapan bahwa dalam tingkat persiapan dari masa inisiasi, si obyek merupakan seorang makhluk yang lemah sehingga harus dikuatkan dengan berbagai upacara ilmu gaib.

Tidak hanya bagi orang yang meninggal suatu upacara kematian itu merupakan suatu inisiasi, juga bagi kaum kerabatnya yang dekat.Ini disebabkan karena mereka berhubungan dekat dengan suatu hal yang keramat (secre); dan karena itu mereka juga menjadi sacre. Dengan demikian upacara kematian itu mengandung berbagai unsur yang bagi para kerabat itu berarti suatu inisiasi peralihan dari anggota dunia biasa menjadi anggota dunia keramat. Nanti apabila syarat-syarat bagi orang yang meninggal itu sudah dipenuhi seluruhnya, maka ada upacara-upacara bagi kaum kerabat yang meninggal, yang berupa suatu inisiasi peralihan dari alam sacre kembali ke alam dunia biasa.

Teori Hertz yang diuraikan dalam karangan berjudul Contribution a une Etude sur

la Representation Collective de la Mort (1907) adalah berdasarkan banyak bahan

etnografi yang sebagaian besar diambil dari Indonesia, terutama dari upacara kematian pada suku-suku bangsa penduduk asli Kalimantan. Berhubung dengan hal itu Hertz menunjukkan bagaimana peristiwa kematian pada banyak suku bangsa di Indonesia itu bukan hanya peristiwa yang mengenai beberapa orang saja, dalam masyarakat, tetapi suatu peristiwa yang mempengaruhi tingkah laku sebagaian besar warga masyarakat, dan seringkali malahan seluruh masyarakat. kemudian Hertz menunjukkan bagaimana jenazah dan juga orang-orang yang berhubungan dengan jenazah itu, yaitu misalnya kaum kerabatnya yang dekat, merupakan hal-hal yang tak dapat didekati oleh sembarang orang; mereka merupakan obyek-obyek secre.

Hertz kemudian memberikan contoh bagaimana pada berbagai suku bangsa di Indonesia upacara kematian itu terdiri dari tiga tingkat, yaitu: (1) sepultureprovisoire, (2) periode intermediaire, (3) ceremonie finale. Mula-mula mayat diberi suatu sepulture

provisoire, yaitu pemakaman sementara. Kemudian ada suatu periode intermediaire,

atau masa antara yang biasanya berlangsung tiga hingga lima tahun, dalam waktu mana para kerabat dekat orang yang meninggal itu hidup dalam keadaan sacre. Mereka harus mentaati beberapa pantangan dan dilarang berhubungan dengan manusia lain kecuali dengan syarat-syarat tertentu. Disamping itu mereka berkewajiban untuk memelihara

29

roh orang yang meninggal itu, yang dalam jangka waktu itu dianggap masih tetap berada disekitar tempat tinggal manusia. Jadi selama itu roh tersebut belum terlepas sama sekali dari kedudukan sosialnya yang lama di antara orang-orang di alam duia ini. Kecuali dengan sajian, para kerabatnya juga harus melakukan berbagai upacara yang maksudnya memperkuat kesaktian roh itu, dan mempersiapkannya untuk menempati kedudukannya yang baru nanti di dunia baka.

Kedudukan yang baru untuk roh yang meninggal itu dicapai pada ceremoniefinale, yaitu pada upacara di mana tulang-belulang dan sisa-sisa jasmani orang yang meninggal itu digali lagi (dan kadang-kadang setelah itu dibakar), lalu ditempatkan di pemakamannya yang tetap. Selain itu ada upacara yang maksudnya mengalihkan mereka itu dari keadaan mereka yang sacre ke keadaan yang biasa kembali di dalam kehidupan sosial sehari-hari.

Sesudah analisa yang dalam tentang berbagai unsur dalam upacara-upacara kematian pada berbagai suku bangsa di Indonesia, yang memberikan kesimpulan kepadanya bahwa upacara kematian itu tidak lain dari pada suatu upacara inisiasi, Hertz menunjukkan bahwa ada persamaan yang besar antara unsur-unsur upacara kematian manusia dengan unsur-unsur upacara kelahiran dan pernikahannya. Pada kelahiran, seseorang individu beralih dari alam gaib ke alam hidup; pada kematian ia beralih dari alam hidup ke alam gaib.

Analisa Van Gennep mengenai ritus peralihan dan upacara pengukuhan. Ada seorang ahli folklor Perancis lain, tetapi yang tidak termasuk kelompok studi Durkheim, yang juga mengembangkan konsep mengenai azas-azas ritus dan upacara yang serupa dengan konsep Hertz. Ahli folklor ini bernama A. Van Gennep (1873-1957), dan telah menulis buku tentang azas-azas ritus dan upacara yang berjudul Rites de Passage (1909) pada waktu yang hampir hampir bersamaan dengan Hertz. Ruang lingkup dari buku itu jauh lebih luas dari pada buku Hertz.Hertz hanya menganalisa upacara kematian di antara beberapa kebudayaan daerah di Indonesia, sedangkan Van Gennep menganalisa ritus dan upacara perelihan pada umumnya, berdasarkan data etnografi dari seluruh dunia.

Mengenai hal itu Van Gennep berpendirian bahwa ritus dan upacara religi secara universal pada azasnya berfungsi sebagai aktivitas untuk untuk menimbulkan kembali semangat kehidupan soaial antara warga masyarakat.ia menyatakan bahwa kehidupan sosial dalam tiap masyarakat di dunia secara berulang, dengan interval waktu tertentu, memerlukan apa yang disebutnya “regenerasi” semangat kehidupan sosial seperti itu.

30

Hal itu disebabkan karena selalu ada saat-saat dimana semangat kehidupan sosial itu menurun, dan sebagai akibatnya akan timbul kelesuan dalam masyarakat.

Van Gennep juga menyatakan bahwa gejala turunnya semangat kehidupan sosial itu biasanya terjadi pada masa akhir musim alamiah, pada akhir musim berburu, menangkap ikan, atau pada akhir suatu tahap dalam produksi pertanian, sewaktu energi manusia seolah-olah sudah habis terpakai dalam aktivitas sosial selama musim yang hampir lalu itu. Untuk menghadapi tiap musim yang baru masyarakat selalu memerlukan “regenerasi” semangat kehidupan sosial dalam jiwa para warganya.

Selanjutnya Van Gennep menyatakan pula bahwa dalam taha-tahap pertumbuhan sebagai individu, yaitu sejak lahir, kemudian masa kanak-kanaknya, melalui proses menjadi dewasa dan menikah, menjadi orang tua, hingga saatnya ia meninggal, manusia mengalami perubahan-perubaha biologi serta perubahan dalam lingkungan sosial budayanya yang dapat mempengaruhi jiwanya dan menimbulkan krisis mental. Untuk menghadapi tahap pertumbuhannya yang baru, maka dalam lingkaran hidupnya manusia juga memerlukan “regenerasi” semangat kehidupan sosial tadi. Van Gennep malahan menganggap rangkai ritus dan upacara sepanjang tahap-tahap pertumbuhan, atau “lingkaran hidup” individu atau (lifecycle rites) itu, sebagai rangkaian ritus dan upacara yang paling penting dan mungkin paling tua dalam masyarakat dan kebudayaan manusia.

Bukunya Les rites de Passages di atas memang merupakan hasil penelitian komparatif mengenai ritus dan upacara sepanjang lingkaran hidup individu dalam puuluhan kebudayaan suku bangsa yang hidup tersebar diseluruh muka bumi, dan yang bahannya diambil dari kepustakaan etnografi. Secara lahiriah berpuluh-puluh ritus dan upacara tersebut memang mempunyai bentuk yang tampaknya sangat berbedaan satu dengan lain; tetapi Van Gennap berkata bahwa suatu analisa yang lebih mendalam akan menunjukkan adanya beberapa kesamaan azasi dalam bentuk yang sangat beraneka warna tadi.

Serupa dengan Hertz dalam kaitan dengan upacara kematian, Van Gennap menyatakan bahwa semua ritus dan upacara itu dapat dibagi menjadi tiga bagian, diantaranya ialah: (1) perpisahan, perpisahan atau sparation, (2) peralihan atau marga, dan (3) integrasi atau agregation.

Dalam bagian pertama dari ritus, yaitu bagian separation, manusia melepaskan kedudukannya yang semula. Acara ritus biasanya terdiri dari tindakan-tindakan yang melambangkan perpisahan itu. Sering ada ritu yang mengandung acara dimana individu

31

yang bersangkutan secara pralambang seakan-akan dibunuh atau dibuat seperti “tidak ada” lagi. Dengan demikian ia seolah-olah telah dipisahkan dari lingkungan sosialnya dalam tahap kehidupannya yang semula.

Dalam bagian ke dua dari ritus, yaitu bagian marga, manusia dianggap mati atau “tak ada” lagi, dan dalam keadaan seperti tak tergolong dalam lingkungan sosial mana pun, atau “Betwixt” dan “Between”. Namun mereka perlu dipersiapkan untuk menjadi manusia baru dalam lingkungan sosialnya yang baru nanti, dan karena itu dalam banyak upacara inisiasi dalam masyarakat-masyarakat berbagai suku bangsa di dunia, dalam bagian marga ini, para anak muda yang sedang menjalani upacara itu dipersiapkan untuk kehidupan sosialnya sebagai orang dewasa dalam masyarakat. Dengan demikian oleh orang-orang tua yang menjadi inisiator mereka, mereka diberi pelajaran mengenai adat-istiadat keramat para nenek moyang; diceritakan cerita-cerita dan mitologi suci; dipelajari sopan santu bergaul sebagai orang dewasa; dipelajari pengetahuan mengenai seluk-beluk hubungan antara pria dan wanita dan sebagainya.

Dalam dokumen BAHAN AJAR ANTROPOLOGI SENI (Halaman 23-34)

Dokumen terkait