BIRO
ANALISA
ANGGARAN
DAN
PELAKSANAAN
APBN
– SETJEN
DPR
RI
21 MENGGALI PAJAK SEKTOR PERTAMBANGANMIGAS DAN NON MIGAS I. Latar Belakang
Pembayaran pajak oleh perusahaan pertambangan disinyalir masih belum benar. Jumlah produksi tambang dan harga jual yang dilaporkan ke negara belum sesuai
keadaan sebenarnya. KPK menyatakan penyelamatan uang negara dari
pertambangan, khususnya migas, mencapai Rp.156 triliun. (Kontan, 27 Februari 2012).
Dalam hal pertambangan non migas, IUP (Ijin Usaha Pertambangan) yang dikeluarkan oleh bupati dan walikota untuk penambangan mineral, cenderung tidak terkontrol oleh Pemerintah Pusat dan Provinsi. Akibatnya, eksploitasi tambang dilakukan secara besar-besaran tanpa menghiraukan lingkungan, apalagi melaporkan pembayaran pajak
II. Kontribusi Penerimaan Pajak Migas dalam APBN
Sektor pertambangan baik migas maupun non migas memiliki andil yang besar dalam menyumbang penerimaan baik melaui pajak maupun non pajak.
Penerimaan pajak yang berasal dari sektor pertambangan bersumber dari Pajak Penghasilan maupun Pajak Pertambahan Nilai (PPN) baik PPN Dalam Negeri maupun PPN Impor. Namun kontribusi penerimaan pajak sektor ini mengalami penurunan baik secara persentase maupun absolut. Hal ini tentunya sangat disayangkan mengingat begitu besarnya potensi sumber daya tambang di Indonesia. Saat ini Indonesia ditetapkan oleh USGS menduduki peringkat ke-6 sebagai Negara yang kaya akan sumberdaya tambang. Selain itu dari potensi bahan galiannya untuk batu bara Indonesia menduduki peringkat ke-3 untuk ekspor batubara, peringkat ke-2 untuk produksi timah, peringkat ke-2 untuk produksi tembaga, peringkat ke-6 untuk
produksi emas 1.
Dalam kurun waktu 2006 – 2011 Pajak Penghasilan Migas (PPh Migas) menyumbang 9.9 % terhadap penerimaan pajak dalam negeri. Dari total penerimaan PPh migas sebagian besar berasal dari PPh gas alam yang kontribusinya mencapai 63%, sementara PPh Minyak bumi kontribusinya berada pada kisaran 37%.
1
BIRO
ANALISA
ANGGARAN
DAN
PELAKSANAAN
APBN
– SETJEN
DPR
RI
22 Dalam hal Pajak Pertambahan Nilai , PPN Dalam Negeri sector pertambangan migas mapun non migas sepanjang kurun waktu 2006-2011 kontribusinya mengalami penurunan dari sekitar Rp 18,1 Triliun atau 23,6% pada tahun 2006 berangsur-angsur turun menjadi hanya Rp 10,1 Triliun atau 6,1 % dari total penerimaan PPN dalam negeri pada tahun 2011. Hal ini tentunya menjadi catatan tersendiri bagi pemerintah mengapa penerimaan PPN dalam Negeri Sektor Pertambangan (migas dan non migas) mengalami penurunan yangsangat drastis baik secara persentase maupun absolut.Demikian juga halnya dengan penerimaan PPN Impor Sektor Pertambangan yang turun baik secara persentase maupun absolute. Pada tahun 2006 kontribusi penerimaan ini mencapai Rp 10 Triliun atau sekitar 23,6 % dari penerimaan total PPN Impor, namun pada tahun 2011 turun menjadi hanya 6,1 Triliun atau 4,6 %.
BIRO
ANALISA
ANGGARAN
DAN
PELAKSANAAN
APBN
– SETJEN
DPR
RI
23 III. Kendala Optimalisasi Pajak Pertambangan : Eksternal dan internalKendala dalam optimalisasi pajak pertambagan berasal dari faktor eksternal maupun internal Direktorat Jenderal pajak. Faktor eksternal berupa modus-modus kecurangan yang dilakukan oleh perusahaan pertambangan untuk menghindari pajak.
Beberapa modus penghindaran pajak tambang, antara lain dengan penambangan
di luar rencana tahunan, transfer pricing, pengeluaran biaya perusahaan satu
grup, kontrak derivative, pembayaran bunga pinjaman, non deductable cost, dan
depresiasi 2.
2
BIRO
ANALISA
ANGGARAN
DAN
PELAKSANAAN
APBN
– SETJEN
DPR
RI
24• Jumlah produksi tahunan mungkin disetujui ESDM, tetapi adanya rencana
percepatan pelunasan bunga dan hutang, menuntut perusahaan menambah produksi di luar rencana produksi tahunan. Modus ini mirip yang terjadi pada perusahaan HPH, yang melakukan penebangan kayu di luar jumlah tebang di RKT (Rencana Kerja Tahunan).
• Transfer pricing bisa menjadi modus lain. Dengan membuat anak perusahaan “papan nama” di luar negeri, batubara kalori tinggi dijual dengan harga untuk batubara kalori rendah. Nantinya dari perusahaan afiliasi ini, batubara dijual ke
end user dengan harga normal.
• Modus paling banyak, dengan memperbesar biaya produksi kepada perusahaan
afiliasi, mengabaikan prinsip arm length transaction. Perlu dicermati biaya
penggalian tambang karena umumnya dialihdayakan (outsourcing) serta biaya
transportasi (pengapalan) hasil tambang kepada perusahaan pelayaran. Beberapa perusahaan tambang memiliki anak usaha pelayaran dan kereta api, sehingga dari sini perlu diteliti kewajaran pembebanan biaya.
• Untuk meminimalkan kerugian kurs, perusahaan membuat kontrak derivatif
untuk mengamankan selisih kurs karena emisi surat utang, pembelian bahan baku, pembelian mesin tambang dan kurs penjualan tambang. Suatu hal yang tidak lazim jika perusahaan tambang dengan pendapatan dalam dollar atau
valuta asing lainnya, banyak membuat kontrak derivatif seperti hedging dan
swap. Jika mengacu pada prinsip akuntansi perusahaan mungkin mengalami
kerugian kurs jika rupiah menguat, tetapi secara cashflow, perusahaan tidak
mengalami kerugian apapun.
• Modus lainnya adalah penerbitan surat utang atau pengajuan kredit
menggunakan SPV (special purpose vehicle) atau perusahaan papan nama di
negara yang membebaskan pajak (tax haven country). Atas penerbitan surat
utang ini, perusahaan membayar fee kepada SPV tersebut. Padahal SPV tersebut masih ada afiliasi kepemilikan dengan pemegang saham perusahaan tambang. Pembayaran fee ini masih lebih menguntungkan daripada membayar PPh Badan sebesar 25 persen. Pembayaran fee bisa juga sebagai dividen terselubung.
• Perbedaan penyusutan aset antara akuntansi dan pajak, menjadi modus
pengecilan pajak. Perusahaan yang sedang produktif bisa jadi akan membeli aktiva yang memiliki penyusutan cukup besar seperti alat berat penambangan dan truk pengangkut. Dalam penghitungan pajak, aktiva tersebut dapat disusutkan dalam waktu lebih cepat sehingga biaya menjadi besar dan pajak
BIRO
ANALISA
ANGGARAN
DAN
PELAKSANAAN
APBN
– SETJEN
DPR
RI
25 penghasilan mengecil. Namun dalam perhitungan akuntansi dengan penyusutan lebih lambat, maka laba perusahaan tetap lebih besar daripada pendapatan kena pajak. Bisa juga pembelian alat tambang itu hanya di atas kertas, tidak secara riil, semata-mata memperbesar depresiasi fiskal.• Perlu disadari, bahwa tidak semua biaya operasional penambangan ada bukti
pengeluarannya. Jika saja ada pengeluaran-pengeluaran tak resmi perusahaan
tambang, maka pengeluaran ini tidak bisa dibiayakan oleh perusahaan (non
deductable cost) sebagai pengurang penghasilan kena pajak. Kenyataanya, uang
tetap keluar, sehingga atas pengeluaran tak resmi tersebut kemudian di-posting
pada neraca perusahaan dengan pos biaya yang berbeda, yang penting bisa menjadi pengurang penghasilan kena pajak.
Selain faktor eksternal tersebut di atas, permasalahan – permasalahan yang dihadapi Direktorat Jenderal Pajak juga menjadi kendala dalam mengoptimalkan penerimaan pajak pertambangan.
Tiga permasalahan utama yang dihadapi Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dalam
mengoptimalkan penerimanan pajak dari sektor migas dan pertambangan, yaitu:3
• Pertama, Penggalian potensi perpajakan tidak maksimal :
Penggalian potensi tidak optimal karena Wajib Pajak perusahaan migas dan pertambangan tersebar di banyak KPP, dimana petugas pada KPP-KPP tersebut tidak memiliki pemahaman yang sama terhadap isi Kontrak Kerjasama Migas
dan terhadap isi Kontrak Karya ataupun isi Perjanjian Karya Pengusahaan
Pertambangan Batubara (PKP2B) bagi perusahaan-perusahaan tambang. Selain itu tingkat pemahaman para petugas pada masing-masing KPP itu terhadap Kegiatan Bisnis Migas dan Pertambangan tidak sama dan tidak menyeluruh.
• Kedua, Pengawasan dan pelayanan kewajiban perpajakan tidak seragam; Pengawasan dan pelayanan kewajiban perpajakan tidak seragam karena masing-masing KPP tidak memahami ketentuan perpajakan yang seharusnya berlaku sesuai Kontrak Karya/PKP2B bagi WP perusahaan tambang dan sesuai Kontrak Kerjasama bagi WP KKKS Migas. Akibatnya, pelaporan dan pengawasan kewajiban perpajakan tidak sama antara satu KPP dengan KPP lainnya. Kini dengan beroperasinya KPP Migas dan KPP Pertambangan maka pengawasan
kewajiban formal dan material PP Cost Recovery bagi perusahaan migas dapat
3
BIRO
ANALISA
ANGGARAN
DAN
PELAKSANAAN
APBN
– SETJEN
DPR
RI
26 ditingkatkan, pelaksanaan pemeriksaan terhadap Wajib Pajak KKKS Migas dan Pertambangan dapat lebih diintensifikasikan, dan pelayanan untuk semua WP perusahaan migas seragam, demikian pula pelayanan perpajakan untuk semua WP perusahaan pertambangan pun sama. Tentu bukan hanya keseragaman, tapi juga mutu pelayanan bagi WP perusahaan migas dan perusahaan pertambangan akan terus ditingkatkan oleh KPP Migas dan KPP Pertambangan.• Ketiga, Pengawasan oleh dan antar instansi pemerintah (DJP, DJA, BPKP, BP Migas dan KESDM) kurang terkoordinir.
IV. Temuan BPK tentang Pajak Migas dalam LKPP 2011
1. Terdapat inkonsistensi penggunaan tariff pajak dalam perhitungan PPh Migas
dan perhitungan bagi hasil migas sehingga pemerintah kehilangan penerimaan negara minimal sebesar Rp2,35 Triliun.
2. Pengelolaan PPh Migas Tidak Optimal sehingga hak peemrintah ats PPh migas
dan sansi administrasi sebesar Rp747,08 Miliar belum dapat direalisasikan.
V. Upaya Penggalian Potensi Pajak Pertambangan Migas dan Non Migas
Paling tidak dalam longterm bisa dikaji beberapa hal.
Pertama, membuat disinsentif bagi ekspor tambang dalam bentuk mentah, sehingga mendorong investasi industri pengolahan tambang seperti gasifikasi batubara dan pengolahan bijih timah.
Kedua, perusahaan tambang besar agar diwajibkan untuk listing di bursa efek.
Saat ini, beberapa tambang batubara besar di Indonesia masih private company,
tertutup dari akses publik. Secara teori, akan mudah mengawasi perusahaam
tambang, apabila laporan keuangan tersebut dipublish ke publik.
Ketiga, administrasi khusus untuk perusahaan tambang melalui KPP wajib pajak pertambangan, sehingga lebih fokus karena tidak bercampur dengan sektor lain.
Catatan :
Mulai April 2012, Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Khusus Badan dan Orang Asing
(Badora) Dua di Kalibata telah bertransformasi menjadi KPP Khusus Migas.
Sedangkan KPP Wajib Pajak Besar Satu di Gambir telah bertransformasi menjadi KPP WP Besar Pertambangan. Semua media massa nasional dan sebagian media massa daerah telah memberitakan alasan, tujuan dan harapan mengapa KPP Migas dan KPP Pertambangan dibentuk, namun kurang menyeluruh. Oleh sebab
itu, mari nengok kembali lebih detil latar belakang bertransformasinya KPP Badora
Dua menjadi KPP Migas, dan KPP Wajib Pajak Besar Satu menjadi KPP
BIRO
ANALISA
ANGGARAN
DAN
PELAKSANAAN
APBN
– SETJEN
DPR
RI
27Keempat, DJP membuka kerjasama dengan otoritas pelabuhan seperti BUMN
PELINDO dan pelabuhan lainnya, untuk mengetahui data cargo manifest dan stok
pile hasil tambang.
Kelima, pemerintah membuat standar harga tambang baik batubara maupun mineral lainnya sehingga memudahkan pengukuran kepatuhan dal am pelaporan
pajak, seperti Indonesian Coal Index yang dimiliki oleh instansi pemerintah. Dari
indeks ini bisa ditentukan pajak penghasilan yang harus dibayar maupun royalti yang wajib diserahkan oleh perusahaan tambang.
Keenam, pembatasan kontrak derivative berlebihan, karena hal itu tidak logis bagi perusahaan tambang yang membayar biaya dalam rupiah dan menjual dalam valuta asing. Tentu pembatasan ini dengan disinsentif seperti pengenaan pajak
atas kontrak hedging dan swap, dengan demikian Negara tidak dirugikan. Perlu
aturan agar perusahaan tidak membiayakan seluruh kerugian kurs, karena
pembayaran kontrak derivative kepada lawan transaksi akan dikenai pajak. Sulit
memang, tapi langkah ini harus diambil untuk menyelamatkan APBN dan melindungi sumberdaya alam.
***