BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Landasan Teori
1. Reduced Audit Quality Behaviour (perilaku pengurangan kualitas audit)
adalah tindakan yang diambil auditor untuk mengurangi efektivitas
pengumpulan bukti (Sososutikno, 2005; Herbach, 2005; Heningsih, 2002 ;
Weningtyas dkk, 2006). Efektivitas audit ini terpengaruh karena auditor
memilih untuk tidak melakukan langkah-langkah yang disyaratkan dalam
program audit sama sekali dan atau melakukan langkah-langkah program
audit dengan tidak lengkap.
Beberapa penelitian sebelumnya mengidentifikasi bahwa bentuk
perilaku pengurangan kualitas audit dibedakan berdasar tingkat
kejadiannya. Peneliti Willet dan Page (1996) dalam Wahyudi, dkk (2011)
menemukan bahwa perilaku pengurangan kualitas audit terbagi menjadi 3
bentuk, yaitu saat dimana auditor cenderung mengabaikan bagian yang
terlihat janggal dalam sampel, tidak menguji semua sampel yang telah
ditetapkan, dan menerima bukti audit yang sifatnya penuh dengan
keraguan.
Terdapat dua aspek dampak yang disebabkan oleh adanya tindakan
pengurangan kualitas audit. Aspek yang pertama adalah adanya dampak
terhadap pemakai laporan keuangan, sedangkan aspek yang kedua adalah
laporan keuangan adalah opini audit yang tidak benar sehingga dengan
demikian akan menghasilkan kemungkinan adanya penyampaian kinerja
audit yang tidak benar. Dampak terhadap auditor itu sendiri adalah adanya
perhatian atau keinginan auditor untuk melakukan perilaku pengurangan
kualitas audit (Coram, et.al , 2008 dalam Wahyudi, dkk; 2011).
2. Prosedur Audit
Prosedur audit meliputi langkah-langkah yang harus dilakukan
oleh auditor dalam melakukan audit. Kualitas kerja dari seorang auditor
dapat diketahui dari seberapa jauh auditor menjalankan prosedur-prosedur
audit yang tercantum dalam prosedur audit (Wahyudi, dkk; 2011).
Untuk menyatakan opini atau pendapat atas laporan keuangan yang
diauditnya, seorang auditor harus melakukan prosedur audit. Prosedur
audit dapat diklasifikasikan menurut tujuan audit, meliputi (Indarto, 2011):
1. Prosedur untuk memperoleh pemahaman bisnis dan industri
klien
2. Pengujian pengendalian
3. Pengujian substantif
4. Pengurangan kualitas audit
Pengurangan mutu kualitas audit menurut Weningtyas (2006)
adalah dalam bentuk mengurangi jumlah sampel dalam audit, melakukan
ketika terdapat item yang dipertanyakan dan pemberian opini saat semua
prosedur audit yang disyaratkan belum dilakukan lengkap.
Adapun prosedur-prosedur audit tersebut adalah (Liantih, 2011) :
1. Pemahaman bisnis industri klien
Auditor harus paham tentang bisnis dan industri yang
dilakukan klien. Pemahaman tersebut dilakukan untuk mengurangi
risiko terjadinya salah interpretasi kebutuhan atau harapan pihak lain,
baik di pihak auditor maupun klien. Pemahaman dengan klien tentang
jasa yang akan dilaksanakan untuk setiap perikatan harus mencakup
tujuan perikatan, tanggung jawab manajemen, tanggungjawab auditor,
dan batasan perikatan. Auditor harus mendokumentasikan pemahaman
tersebut dalam kertas kerjanya atau dalam bentuk komunikasi tertulis
dengan klien (PSA No.05 SA Seksi 310,2010).
2. Pertimbangan pengendalian internal
Pengendalian intern adalah suatu proses yang dijalankan oleh
dewan komisaris, manajemen, dan personal lain entitas yang didesain
untuk memberi keyakinan memadai atas keandalan laporan keuangan,
efektivitas dan efisiensi operasi, dan kepatuhan terhadap hukum dan
ketentuan yang berlaku. Pemahaman memadai atas pengendalian
intern harus diperoleh auditor untuk merencanakan audit dengan
relevan dengan audit atas laporan keuangan, dan apakah pengendalian
intern tersebut dioperasikan (PSA No.69 SA Seksi 319,2001).
3. Pertimbangan auditor atas fungsi auditor intern klien
Tanggung jawab penting fungsi audit intern adalah memantau
kinerja pengendalian entitas. Pada saat auditor berusaha memahami
pengendalian intern, auditor harus berusaha memahami fungsi audit
intern yang cukup untuk mengidentifikasi aktivitas audit intern yang
relevan dengan perencanaan audit (PSA No.33 SA Seksi 322,2001).
4. Informasi asersi manajemen
Asersi adalah pernyataan manjemen yang terkandung di dalam
komponen laporan keuangan. Asersi tersebut dapat diklasifikasikan
menjadi 4, yaitu keberadaan atau keterjadian, kelengkapan, hak dan
kewajiban, penilaian atau alokasi, serta penyajian dan pengungkapan.
Informasi asersi manajemen digunakan oleh auditor untuk memperoleh
bukti audit yang mendukung asersi dalam laporan keuangan (PSA
No.7 SA Seksi 326,2001).
5. Prosedur analitik
Prosedur analitik merupakan bagian penting dalam proses audit
dan terdiri dari evaluasi terhadap informasi keuangan yang dibuat
dengan mempelajari hubungan yang masuk akal antara data keuangan
yang satu dengan data keuangan yang lainnya, atau antara data
analitik adalah membantu auditor dalam merencanakan sifat, saat dan
lingkup prosedur audit lainnya, sebagai pengujian substantif untuk
memperoleh bukti tentang asersi tertentu yang berhubungan dengan
saldo akun atau jenis transaksi, serta sebagai review menyeluruh
informasi keuangan pada tahap review akhir audit (PSA No.22 SA
Seksi 329,2001).
6. Konfirmasi
Konfirmasi dalah proses pemerolehan dan penilaian suatu
komunikasi langsung dari pihak ketiga sebagai jawaban atas suatu
permintaan informasi tentang unsur tertentu yang berdampak terhadap
asersi laporan keuangan. Proses konfirmasi mencakup pemilihan unsur
yang dimintakan konfirmasi, pendesainan permintaan konfirmasi,
pengkomunikasian informasi kepada pihak ketiga, serta penilaian
terhadap informasi atau tidak adanya informasi yang disediakan oleh
pihak ketiga mengenai tujuan audit termasuk keandalan informasi
tersebut (PSA No.7 SA Seksi 330,2001).
7. Representasi manajemen
Representasi manajemen merupakan bagian dari bukti audit
yang diperoleh auditor tetapi tidak merupakan pengganti bagi
penerapan prosedur audit yang diperlukan untuk memperoleh dasar
memadai bagi pendapat auditor atas laporan keuangan. Representasi
tertulis bagi manajemen biasanya menegaskan representasi lisan yang
mendokumentasikan lebih lanjut ketepatan representasi tersebut, serta
mengurangi kemungkinan salah paham mengenai yang dipresentasikan
(PSA No.17 SA Seksi 333, 2001).
8. Pengujian pengendalian Teknik berbantuan komputer (TABK)
Penggunaan TABK harus dikendalikan oleh auditor untuk
memberikan keyakinan memadai bahwa tujuan audit dan spesifikasi
rinci TABK telah terpenuhi, serta bahwa TABK tidak dimanipulasi
semestinya oleh staf entitas (PSA No.59 SA Seksi 327, 2001).
9. Sampling audit
Sampling audit adalah penerapan terhadap prosedur audit terhadap
kurang dari seratus persen unsur dalam suatu saldo akun atau
kelompok transaksi dengan tujuan untuk menilai beberapa
karakteristik saldo akun atau kelompok tersebut. Sampling audit
diperlukan oleh auditor untuk mengetahui saldo-saldo akun dan
transaksi yang mungkin sekali mengandung salah saji. Auditor harus
menggunakan pertimbangan profesionalnya dalam perencanaan,
pelaksanaan, dan penilaian sampel, serta dalam menghubungkan bukti
audit yang dihasilkan dari sampel dengan bukti audit lain dalam
penarikan kesimpulan atas saldo akun atau kelompok transaksi yang
berkaitan (PSA No.26 SA Seksi 350, 2001).
10.Perhitungan fisik
Perhitungan fisik berkaitan dengan pemeriksaan auditor melalui
efektivitas metode perhitungan fisik persediaan atau kas dan mengukur
keandalan atas kuantitas dan kondisi fisik persediaan atau kas klien
(PSA No.7 SA Seksi 331, 2001).
Berdasar penelitian Aldeman dan Deitrick (1982) dalam Wahyudi, dkk
(2011), prosedur audit yang paling sering dihentikan secara prematur
adalah prosedur pada tahap review dan uji sistem pengendalian internal
klien. Weningtyas, dkk (2006) menemukan bahwa pemahaman terhadap
bisnis klien merupakan prosedur yang paling banyak ditinggalkan.
Sedangkan penelitian Wahyudi, dkk (2011) menemukan bahwa uji
kepatuhan terhadap system komputer paling sering ditinggalkan.
Penelitian yang dilakukan Lestari (2010) sesuai dengan penelitian
Weningtyas, dkk (2006) yang membuktikan bahwa prosedur pemahaman
bisnis klien paling sering ditinggalkan.
3. Penghentian Prematur Atas Prosedur Audit
Menurut Raghunathan (1981) dalam Liantih (2010), penghentian
premature atas prosedut audit adalah dihentikannya langkah-langkah
dalam audit program sehingga satu atau lebih dari prosedur audit tidak
dilengkapi. Perilaku penghentian prematur atas prosedur audit ini secara
langsung mempengaruhi kualitas audit dan melanggar standar
professional. Shapero et al (2003) dalam Lestari (2010) menyimpulkan
audit yang penting daripada prosedur audit tidak dilakukan secara
memadai.
Ketika melakukan pengabaian, auditor akan memiliki
kecenderungan untuk memilih prosedur yang paling tidak beresiko
diantara sepuluh prosedur audit seperti yang telah dijabarkan sebelumnya.
Pemilihan ini akan menimbulkan urutan / prioritas dari prosedur audit
yang dihentikan dimulai dari prosedur yang paling sering dihentikan
sampai dengan paling jarang / tidak pernah dihentikan (Weningtyas,
2006).
Penghentian prematur atas prosedur audit mengacu pada
penghentian suatu langkah (prosedur) audit yang penting dimana tidak
dapat digantikan oleh langkah lainnya, tanpa melengkapi pekerjaan atau
sama sekali menghilangkan langkah audit (Oatley dan Pierce, 1996;
McNamara dan Liyanarachchi, 2005; dalam Liantih, 2010). Jika
penghentian prematur atas prosedur audit ini dilakukan, sudah pasti akan
berpengaruh langsung terhadap kualitas audit, sebab apabila salah satu
langkah dalam prosedur audit dihilangkan, maka kemungkinan auditor
akan membuat judgement yang salah semakin tinggi.
4. Tekanan waktu
Tekanan waktu merupakan suatu keadaan dimana auditor
menyelesaikan audit pada waktu dan anggaran biaya yang telah ditentukan
sebelumnya (Wahyudi, dkk;2011).
Suatu perusahaan tentunya tidak ingin mengeluarkan biaya dan
waktu yang terlalu banyak untuk melakukan audit. Oleh sebab itu, auditor
dituntut untuk menggunakan biaya dan waktu dengan efektif dan efisien
dalam melaksanakan audit. Terkadang ada beberapa perusahaan yang
cenderung tidak ingin berlama-lama dalam pelaksanaan audit. Adapula
perusahaan yang memberikan beberapa batasan yang dianggap berlebihan
kepada auditor saat melaksanakan audit. Tentu saja dalam hal ini membuat
auditor merasa tidak nyaman dalam menjalankan tugasnya. Hal ini sesuai
dengan pendapat yang diungkapkan Sumekto (2001) yang
mengungkapkan bahwa batasan waktu memang ada atau telah terjadi dan
justru berdampak negatif terhadap kinerja auditor.
Herningsih (2001) menyatakan bahwa tekanan waktu (Time
pressure) memiliki 2 dimensi yaitu time budget pressure (keadaan dimana
auditor dituntut untuk melakukan efisiensi terhadap anggaran waktu yang
telah disusun, atau terdapat pembatasan waktu dalam anggaran yang
sangat ketat) dan time deadline pressure (kondisi dimana auditor dituntut
untuk menyelesaikan tugas audit tepat pada waktunya). Tekanan waktu
juga bias diberikan oleh Kantor Akuntan Publik kepada auditornya dengan
tujuan mengurangi biaya audit. Semakin cepat waktu pengerjaan audit,
2006). Hal ini tentunya akan mempengaruhi hasil audit dan pastinya akan
berbeda apabila auditor bekerja tanpa pengaruh tekanan waktu.
Tekanan waktu yang dihadapi oleh profesional dalam bidang
pengauditan dapat menimbulkan tingkat stres yang tinggi dan
mempengaruhi sikap, niat dan perilaku auditor, serta mengurangi perhatian
auditor terhadap aspek kualitatif dari indikasi saji yang menunjukkan
potensi kecurangan atas pelaporan keuangan (Sososutisno, 2005 dalam
Wahyudi, dkk;2011).
Penelitian terdahulu yang dilakukan Qurrahman, dkk (2012) dan
Wahyudi, dkk (2011) menyebutkan bahwa tekanan waktu tidak memiliki
pengaruh signifikan terhadap penghentian premature atas prosedur audit.
Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Lestari (2010) dan Indarto
(2011) menunjukkan bahwa variabel tekanan waktu berpengaruh
signifikan terhadap penghentian prematur atas prosedur audit.
5. Materialitas
Definisi materialitas menurut Standar Profesional Akuntan Publik
(SPAP) SA seksi 312 merupakan besarnya informasi akuntansi yang
apabila terjadi penghilangan atau salah saji, dilihat dari keadaan yang
melingkupinya, dapat mengubah atau mempengaruhi pertimbangan orang
yang meletakkan kepercayaan terhadap informasi tersebut.
Sedangkan FASB menjelaskan konsep materialitas sebagai
material jika dalam keadaan tertentu besarnya item tersebut mungkin
menyebabkan pertimbangan orang yang reasonable berdasar laporan
keuangan tersebut akan berubah atau terpengaruh oleh adanya
pencantuman atau peniadaan informasi akuntansi tersebut.
Definisi materialitas menurut Sukrisno (1996 : 100) dalam
Weningtyas, dkk (2006) adalah besarnya nilai yang dihilangkan atau salah
saji informasi akuntansi, dilihat dari keadaan yang melingkupinya, yang
mungkin dapat mengakibatkan perubahan pengaruh terhadap
pertimbangan orang yang meletakkan kepercayaan atas informasi tersebut
karena adanya penghilangan atau salah saji tersebut.
Dari definisi di atas konsep materialitas dapat digunakan 3
tingkatan dalam mepertimbangkan jenis laporan yang harus dibuat antara
lain :
1. Jumlah yang tidak material, jika terdapat salah saji dalam
laporan keuangan tetapi cenderung tidak mempengaruhi
keputusan pemakai laporan.
2. Jumlahnya material, tetapi tidak mengganggu laporan
keuangan secara keseluruhan.
3. Jumlah sangat material atau pengaruhnya sangat meluas
sehingga kewajaran laporan keuangan secara keseluruhan
diragukan.
Kosep materialitas adalah faktor yang penting dalam
keadaan tertentu. Sebagai contoh, jika ada salah saji yang material dalam
laporan keuangan suatu entitas dan pengaruhnya terhadap periode
selanjutnya diperkirakan tidak terlalu berarti, maka dikeluarkanlah suatu
laporan wajar tanpa pengecualian (Lestari, 2010).
Dalam penetapan materialitas ada 5 langkah yang harus dilakukan
antara lain (Mulyadi, 2001) :
1. Menentukan pertimbangan awal mengenai materialitas
2. Alokasikan pertimbangan awal mengenai materialitas ke dalam
segmen
3. Estimasikan total salah saji ke dalam segmen
4. Estimasikan salah saji gabungan
5. Bandingkan estimasi gabungan dengan pertimbangan awal
mengenai materialitas
Materialitas merupakan dasar penerapan standar auditing, terutama
standar pekerjaan lapangan dan standar pelaporan. Oleh karena itu,
materialitas memiliki pengaruh terhadap semua aspek audit atas audit
laporan keuangan. Informasi dalam laporan keuangan bersifat pendapat,
estimasi, dan pertimbangan dalam penyusunannya, yang sering kali hal
tersebut tidak tepat atau akurat 100%. Oleh karena itu auditor tidak
memeriksa setiap transaksi yang terdapat dalam laporan keuangan
Pertimbangan materialitas mencakup pertimbangan kualitatif dan
pertimbangan kuantitatif (Wahyudi, dkk; 2011). Pertimbangan kualitatif
yaitu pertimbangan yang berkaitan dengan penyebab salah saji. Sedangkan
pertimbangan kuantitatif yaitu pertimbangan yang berkaitan dengan
hubungan salah saji dengan jumlah saldo tertentu. Disaat auditor
menetapkan bahwa materialitas yang melekat pada suatu prosedur audit
rendah, maka terdapat kecenderungan pada auditor untuk mengabaikan
prosedur audit tersebut. Hal ini dilakukan karena auditor beranggapan jika
ditemukan salah saji, bernilai tidak material sehingga cenderung diabaikan
auditor.
6. Prosedur Review
Prosedur review merupakan proses memeriksa / meninjau ulang hal
/ pekerjaan untuk mengatasi terjadinya indikasi ketika staf auditor telah
menyelesaikan tugasnya, padahal tugas yang disyaratkan tersebut gagal
dilakukan (Lestari, 2010). Prosedur ini berperan dalam memastikan bahwa
bukti pendukung telah lengkap dan juga melibakan pertimbangan ketika
terdapat sugesti bahwa penghentian prematur atas prosedur audit telah
terjadi (Indarto, 2011).
Berbeda dengan prosedur review yang berfokus pada pemberian
opini, kontrol kualitas lebih berfokus pada pelaksanaan prosedur audit
kontrol kualitas akan membantu sebuah KAP untuk memastikan bahwa
standar profesional telah dijalankan dengan semestinya dalam praktik.
Terdapat 5 elemen dari kontrol kualitas yaitu independensi, integritas dan
obyektivitas, manajemen personalia, penerimaan dan keberlanjutan serta
perjanjian dengan klien, performa yang menjanjikan serta monitoring
(Messier, 2000) dalam Lestari (2010).
Pelaksanaan prosedur review dan kontrol kualitas yang baik akan
meningkatkan kemungkinan terdeteksinya perilaku auditor yang
menyimpang, seperti praktik penghentian prematur atas prosedur audit.
Kemudahan pendeteksian ini akan membuat auditor berpikir dua kali
ketika akan melakukan tindakan semacam penghentian prematur atas
prosedur audit. Semakin tinggi kemungkinan terdeteksinya praktik
penghentian prematur atas prosedur audit melalui prosedur review dan
kontrol kualitas, maka semakin rendah kemungkinan auditor melakukan
praktik tersebut.
Untuk mengontrol penghentian dini prosedur auditing, KAP harus
menyediakan prosedur review yang mampu mendeteksi sukses dan
gagalnay auditor dalam melaksanakan seluruh tugas yang ditetapkan.
Prosedur review yang tersusun dengan baik dan kontrol kualitas yang terus
menerus akan meningkatkan kemungkinan terdeteksinya “kecurangan”
yang dilakukan auditor yaitu berupa perilaku pengurangan kualitas audit
Penelitian terdahulu yang pernah dilakukan Qurrahman, dkk
(2012) menunjukkan hasil positif yang menunjukkan bahwa prosedur
review berpengaruh terhadap praktik penghentian prematur atas prosedur
audit. Sedangkan penelitian Wahyudi, dkk (2011) menunjukkan hasil yang
negatif terhadap praktik penghentian prematur atas prosedur audit.
7. Lokus Kendali (Locus of Control)
Definisi lokus kendali (locus of control) menurut Rotter (2006)
dalam Gustati (2012) adalah tingkatan diman seseorang menerima
tanggung jawab personal terhadap apa yang terjadi pada diri mereka.
Lokus kendali dibagi menjadi dua, yaitu lokus kendali internal dan lokus
kendali eksternal. Lokus kendali internal mengacu kepada persepsi bahwa
kejadian baik positif maupun negatif, terjadi sebagai konsekuensi dari
tindakan atau perbuatan diri sendiri dan di bawah pengendalian diri.
Sedangkan lokus kendali eksternal mengacu kepada keyakinan bahwa
suatu kejadian tidak mempunyai hubungan langsung dengan tindakan oleh
diri sendiri dan berada di luar control dirinya. Menurut Setiawan dan
Ghozali (2006 : 66) dalam Liantih (2010) lokus kendali menunjukkan pada
sejauh mana individu meyakini bahwa dia dapat mengendalikan
faktor-faktor yang mempengaruhi dirinya.
Situasi dimana individu-individu dengan lokus kendali eksternal
dibutuhkannya untuk bertahan dalam suatu organisasi, maka mereka akan
meliki potensi untuk mencoba memanipulasi rekan atau objek lainnya
sebagai kebutuhan pertahanan mereka (Solar dan Bruehl, 1971 dalam
Liantih, 2010). Dalam konteks auditing, manipulasi atau ketidakjujuran
pada akhirnya akan menimbulkan penyimpangan perilaku dalam audit.
Perilaku yang dimaksud salah satunya berbentuk pengentian prematur atas
prosedur audit.
Hasil dari perilaku ini adalah penurunan kualitas audit yang dapat
dilihat sebagai hal yang perlu dikorbankan oleh individu untuk bertahan
dalam lingkungan kerja audit. Hal ini menghasilkan dugaan bahwa
semakin tinggi lokus kendali eksternal individu, semakin mungkin mereka
menerima penyimpangan perilaku dalam audit (Liantih, 2010).
Penelitian terdahulu yang dilakukan Qurrahman, dkk (2012)
menyatakan bahwa lokus kendali tidak berpengaruh signifikan terhadap
penghentian prematur atas prosedur audit.
8. Komitmen Profesional
Komitmen professional adalah tingkat loyalitas individu pada
profesinya seperti yang dipersepsikan oleh individu tersebut
(Trisnaningsih, 2003; Wahyudi, dkk; 2011). Dalam suatu organisasi
profesi. Komitmen professional dapat diartikan sebagai intensitas
identifikasi dan keterlibatan individu dengan profesi tertentu. Komitmen
professional digambarkan sebagi suatu format fokus karir pada komitmen
pekerjaan yang menekankan pentingnya suatu profesi di masa hidup
seseorang.
Menurut Trisnaningsih (2003) dalam Wahyudi, dkk (2011)
mengungkapkan bahwa tidak ada hubungan antara pengalaman auditor
dengan komitmen profesionalisme, hubungan dengan sesama profesi,
keyakinan terhadap profesi dan pengabdian terhadap profesi. Hal ini
disebabkan bahwa semenjak awal tenaga profesional telah dididik untuk
menjalankan tugas-tugas yang kompleks secara independen dan
memecahkan permasalahan yang timbul dalam pelaksanaan tugas-tugas
dengan menggunakan keahlian dan dedikasi mereka secara professional.
9. Komitmen Organisasi
Komitmen organisasi menurut Meyer dan Allen (1990) dalam
Purnamasari (2008) adalah bagaimana seseorang memiliki dorongan
dalam dirinya untuk berbuat sesuatu agar menunjang keberhasilan
organisasi tempatnya bekerja sesuai dengan tujuan dan kepentingan
organisasi.Komitmen organisasi yang tinggi menjadikan seorang individu
merasa memiliki organisasi dan ingin selalu memajukan organisasi.
mencapai tujuan organisasi (Angel & Perry, 1981 dalam Alexandra, 2011).
Individu yang tidak memiliki komitmen organisasi cenderung bekerja apa
adanya atau minimalis tanpa upaya inovatif dan kreatif dalam mencapai
tujuan organisasi. Komitmen organisasi akan mendukung individu untuk
bekerja maksimal sehingga tercipta hasil yang baik demi kemajuan
organisasi dan dapat meminimalkan terjadinya penghentian prematur atas
prosedur audit yang dilakukan oleh auditornya.
10.Pengalaman audit
Menurut Gibbins (dalam Elfarini, 2007) pengalaman menciptakan
struktur pengetahuan, yang terdiri atas suatu sistem dari pengetahuan yang
sistematis dan abstrak.Pengetahuan ini tersimpan dalam memori jangka
panjang dan dibentuk dari lingkungan pengalaman langsung masa
lalu.Gibbins juga menjelaskan bahwa melalui pengalaman auditor dapat
memperoleh pengetahuan dan mengembangkan struktur pengetahuannya.
Auditor yang berpengalaman akan memiliki lebih banyak pengetahuan dan
struktur memori lebih baik dibandingkan auditor yang belum
berpengalaman. Pengalaman kerja auditor dalam kurun waktu 4 tahun
telah berpengalaman untuk mengontrol kemungkinan terjadinya
penghentian prematur atas prosedur audit.Proporsi tentang pertimbangan
professional dalam akuntansi menunjukkan bahwa pengalaman
memunculkan suatu struktur pengetahuan yang skematik dan abstrak, yang
petunjuk bagi proses pertimbangan dan respon terhadap situasi yang
timbul dalam proses audit (Tsui dan Gul dalam Utami, Noegroho,
Indrawati, 2007).Semakin banyak pengalaman auditor maka auditor
semakin dapat menghasilkan berbagai macam dugaan dalam menjelaskan
temuan audit.
11.Kesadaran etis
Etis adalah berhubungan atau sesuai dengan etika dan sesuai
dengan asas perilaku yang disepakati umum (Veronica, 2010). Muawanah
(2000) menyatakan bahwa kesadaran etik adalah tanggapan atau
penerimaan seseorang terhadap suatu peristiwa moral tertentu melalui
suatu proses penentuan yang kompleks sehingga dia dapat memutuskan
apa yang harus dia lakukan pada situasi tertentu.
Motif kesadaran sangat penting dalam proses pengambilan
keputusan karena merupakan sumber dari proses berpikir. Terdapat dua
faktor dalam motif kesadaran, yaitu : 1) keinginan akan kestabilan atau
kepastian serta 2) kompleksitas dan keragaman (Ikhsan dan Ishak dalam
Utami, Noegroho, Indrawati, 2007). Keinginan akan kestabilan
menegaskan adanya kemampuan untuk memprediksikan. Keinginan akan
kestabilan ini mengaktifkan baik pikiran sadar maupun bawah sadar untuk
menghindari ketidakstabilan, ketidakjelasan, atau ketidakpastian
informasi. Motif kesadaran akan membantu auditor dalam memprediksi
keputusan yang terencana dengan baik, agar dapat menghadapi risiko dan
ketidakpastian dalam mengambil suatu tindakan (Utami, Noegroho,
Indrawati, 2007).
B. Penelitian terdahulu
Pada penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Wahyudi, dkk
(2011) yang berjudul “Praktik Penghentian Prematur Atas Prosedur Audit”
meneliti 100 KAP di DKI Jakarta menunjukkan hasil bahwa hanya faktor
materialitas yang mempengaruhi praktik penghentian prematur atas
prosedut audit. Sedangkan faktor lain tidak mempunyai pengaruh
signifikan terhadap penghentian prematur atas prosedur audit.
Qurrahman, dkk (2012) dalam penelitiannya yang berjudul
“Pengaruh Tekanan Waktu, Resiko Audit, Materialitas, Prosedur review
dan Kontrol Kualitas, Locus of Control, serta Komitmen Profesional
terhadap Penghentian Prematur Prosedur Audit” meneliti kantor akuntan
publik di Palembang menunjukkan hasil yaitu hanya variabel resiko audit
dan prosedur review yang memiliki pengaruh signifikan terhadap
penghentian prematur atas prosedur audit.
Lestari (2010) dalam penelitiannya yang berjudul “Faktor-Faktor
Yang Mempengaruhi Perilaku Auditor Dalam Penghentian Prematur
Prosedur Audit” yang melakukan penelitian pada KAP di Semarang
review sangat berpengaruh terhadap praktik penghentian prematur atas
prosedur audit.
Liantih (2010) dalam penelitiannya yang berjudul “Analisis
Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penghentian Prematur Atas Prosedur
Audit” yang melakukan penelitian pada 21 KAP di Jakarta menunjukkan
hasil bahwa faktor resiko audit, materialitas, prosedur review dan kontrol
kualitas, lokus kendali eksternal, serta keinginan untuk berhenti bekerja
berpengaruh signifikan. Sedangkan tekanan waktu tidak memiliki
pengaruh signifikan.
C. Pengembangan Hipotesis
1. Pengaruh tekanan waktu terhadap audit prematur
Tekanan waktu merupakan suatu keadaan dimana auditor
mendapat tekanan dari Kantor Akuntan Publik tempatnya bekerja,
untuk menyelesaikan audit pada waktu dan anggaran biaya yang
ditentukan sebelumnya. Tekanan waktu memiliki 2 dimensi yaitu Time
budget pressure dan Time deadline pressure. Tekanan anggaran waktu
(Time Budget Pressure) yaitu keadaan dimana auditor dituntut untuk
melakukan efisiensi terhadap anggaran waktu yang telah disusun, atau
terdapat pembatasan waktu dalam anggaran yang sangat ketat.
Sedangkan Time deadline pressure adalah kondisi dimana auditor
dituntut untuk menyelesaikan tugas audit tepat pada waktunya
Tekanan waktu yang diberikan oleh KAP kepada auditornya
bertujuan untuk mengurangi biaya audit. Semakin cepat waktu
pengerjaan audit, maka biaya pelaksanaan audit akan semakin kecil.
Keberadaan tekanan waktu ini memaksa auditor untuk menyelesaikan
tugas secepatnya / sesuai dengan anggaran waktu yang telah
ditetapkan. Pelaksanaan prosedur audit seperti ini tentu saja tidak akan
sama dengan prosedur audit yang dilakukan tanpa adanya tekanan
waktu (Kurniawan, 2008).
Tekanan waktu yang dihadapi oleh professional dalam bidang
pengauditan dapat menimbulkan tingkat stres yang tinggi dan
mempengaruhi sikap, niat, dan perilaku auditor, serta mengurangi
perhatian mereka terhadap aspek kualitatif dari indikasi salah saji yang
menunjukkan potensial kecurangan atas pelaporan keuangan. Di
bawah tekanan waktu perhatian akan lebih berfokus pada tugas yang
dominan, seperti tugas pengumpulan bukti berkaitan dengan frekuensi
jumlah salah saji dan mengorbankan perhatian yang diberikan pada
tugas tambahan seperti tugas yang memperhatikan aspek kualitas atas
terjadinya salah saji yang menunjukkan potensi kecurangan dalam
pelaporan keuangan (Sososutikno (2005) dalam Wahyudi, dkk (2011)).
Heriningsih (2002) menyebutkan bahwa penghentian prematur atas
prosedur audit dipengaruhi oleh tekanan waktu dan risiko audit.
Auditor yang mengalami tekanan waktu yang tinggi dan resiko audit
prosedur audit. Hal ini didukung oleh penelitian dari Sobaroyoen dan
Chengabroyan (2005) menemukan adanya tekanan anggaran waktu
yang terdapat di Negara berkembang jauh lebih kecil jika
dibandingkan dengan Negara maju. Semakin tinggi tingkat pengetatan
anggaran, maka praktik penghentian prematur atas prosedur audit
semakin meningkat pula.
H1 = Tekanan waktu berpengaruh signifikan terhadap penghentian
audit prematur
2. Pengaruh materialitas terhadap audit prematur
Materialitas salah saji informasi akuntansi merupakan besarnya
salah saji informasi akuntansi, yang mana dalam kondisi tertentu akan
berpengaruh terhadap perubahan pengambilan keputusan yang diambil
atas informasi yang mengandung salah saji tersebut (Lestari, 2010).
Pertimbangan materialitas mencakup pertimbangan kuantitatif yaitu
pertimbangan yang berkaitan dengan hubungan salah saji dengan
jumlah saldo tertentu dan pertimbangan kualitatif yaitu pertimbangan
yang berkaitan dengan penyebab salah saji (Heriningsih, 2002 dalam
Wahyudi, dkk; 2011).
Pertimbangan auditor mengenai materialitas merupakan
pertimbangan professional dan dipengaruhi oleh persepsi dari auditor
sendiri. Saat auditor menetapkan bahwa materialitas yang melekat
auditor untuk mengabaikan prosedur audit tersebut. Pengabaian ini
dilakukan karena auditor beranggapan jika ditemukan salah saji dari
pelaksanaan suatu prosedur audit, nilainya tidak material sehingga
tidak berpengaruh apapun pada opini audit. Pengabaian seperti inilah
yang menimbulkan praktik penghentian prematur atas prosedur audit
(Weningtyas, dkk, 2006 dalam Wahyudi, dkk 2011).
Penelitian yang dilakukan Qurrahman, dkk (2012) menyatakan
bahwa materialitas tidak mempunyai pengaruh signifikan terhadap
penghentian prematur atas prosedur audit. Sedangkan penelitian yang
dilakukan oleh Liantih (2010) menyatakan bahwa materialitas
memiliki pengaruh signifikan terhadap penghentian prematur atas
prosedur audit.
H2 = Materialitas berpengaruh signifikan terhadap pengentian audit
prematur
3. Pengaruh prosedur review terhadap audit prematur
Prosedur review merupakan proses memeriksa / meninjau ulang hal
/ pekerjaan untuk mengatasi terjadinya indikasi ketika staf auditor
telah menyelesaikan tugasnya, padahal tugas yang disyaratkan tersebut
gagal dilakukan (Lestari, 2010). Fokus pada prosedur review ini
merupakan proses memeriksa atau meninjau ulang hal atau pekerjaan
menyelesaikan tugasnya, padahal tugas yang disyaratkan tersebut
gagal dilakukan (Liantih, 2010).
Untuk mengontrol penghentian dini pelaksanaan atas prosedur
audit, kantor akuntan publik harus menyediakan prosedur review yang
mampu mendeteksi sukses dan gagalnya auditor dalam melaksanakan
seluruh tugas yang ditetapkan. Prosedur review yang tersusun dengan
baik dan kontrol kualitas yang terus–menerus akan meningkatkan
kemungkinan terdeteksinya “kecurangan” yang dilakukan oleh auditor
yang dapat berupa perilaku pengurangan kualitas audit (Sumekto, 2001
dalam Wahyudi, dkk (2011)).
Pendeteksian ini akan membuat auditor berpikir dua kali ketika
akan melakukan tindakan penghentian prematur atas prosedur audit.
Hal ini didukung oleh penelitian Wibowo (2010) dan Lestari (2010),
yang menyatakan bahwa semakin tinggi kemungkinan terdeteksinya
praktik penghentian prematur atas prosedur audit melalui prosedur
review dan kontrol kualitas, maka semakin rendah kemungkinan
auditor melakukan praktik tersebut.
H3 = Prosedur review berpengaruh positif terhadap penghentian
4. Pengaruh lokus kendali terhadap audit prematur
Definisi lokus kendali (Locus of control) menurut Rotter (2006)
dalam Gustati (2012) adalah tingkatan dimana seseorang menerima
tanggung jawab personal terhadap apa yang terjadi pada diri mereka.
Menurut Donnelly, et al (200) dalam Liantih (2012),
penyimpangan perilaku yang biasanya dilakukan oleh seorang auditor
antara lain melaporkan waktu audit dengan total waktu yang lebih
pendek daripada waktu yang sebenarnya (Underreporting of audit
time), merubah prosedur yang telah ditetapkan dalam pelaksanaan
audit di lapangan (replacing and altering original audit procedures)
dan penyelesaian langkah–langkah audit yang terlalu dini tanpa
melengkapi keseluruhan prosedur (premature signing-off of audit steps
without completion of the procesures). Penyebab auditor melakukan
penyimpangan tersebut adalah faktor internal dari karakteristik
personal auditor yang berupa lokus kendali yang dimiliki oleh para
auditor.
Individu dengan lokus kendali eksternal menganggap hasil yang
didapat bukan berasal dari usaha mereka, tetapi berasal dari factor
situasional seperti lingkungan dan keberuntungan. Individu dengan
karakter seperti ini perlu didorong lebih keras agar mau bekerja dengan
baik untuk memenuhi target yang telah ditentukan dan biasanya
bersifat reaktif. Sedangkan individu dengan lokus kendali internal
dan semua kejadian berada di bawah pengendalian mereka (Febrina,
2012).
Penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Liantih (2010)
menyatakan bahwa lokus kendali memiliki pengaruh signifikan
terhadap penghentian prematur atas prosedur audit. Sedangkan
penelitian yang dilakukan oleh Qurrahman, dkk (2012) menyatakan
bahwa tidak ada pengaruh signifikan terhadap penghentian prematur
atas prosedur audit.
H4 = Lokus kendali memiliki pengaruh signifikan terhadap
penghentian prematur atas prosedur audit.
5. Pengaruh komitmen professional terhadap audit prematur
Komitmen professional adalah tingkat loyalitas individu pada
profesinya seperti yang dipersepsikan oleh individu tersebut
(Trisnaningsih , 2002 ; Wahyudi, dkk; 2011). Dalam suatu organisasi
profesi, seorang anggota organisasi profesi dituntut untuk memiliki
komitmen profesi. Trisnaningsih (2002) mengungkapkan bahwa tidak
ada hubungan antara pengalaman auditor dengan komitmen
profesionalisme, lamanya bekerja hanya mempengaruhi pandangan
profesionalisme, hubungan dengan sesama profesi, keyakinan terhadap
profesi dan keyakinan terhadap profesi dan pengabdian pada profesi.
Hal ini disebabkan bahwa semenjak awal tenaga profesional telah
dididik untuk menjalakan tugas–tugas yang kompleks secara
pelaksanaan tugas–tugas dengan menggunakan keahlian dan dedikasi
mereka secara profesional.
Pada penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Wahyudi, dkk
(2011), komitmen professional pada diri auditor tidak mempunyai
pengaruh signifikan terhadap penghentian prematur atas prosedur
audit. Hal ini juga didukung oleh penelitian Qurrahman, dkk (2012).
H5 = Komitmen professional tidak memiliki pengaruh signifikan
terhadap penghentian prematur atas prosedur audit
D. Kerangka Pemikiran
Auditor dituntut bekerja secara professional dalam melaksanakan
tugasnya. Hal ini untuk memenuhi permintaan klien yang menginginkan
kualitas audit yang tinggi. Namun kualitas audit dapat berkurang karena
tindakan yang dilakukan oleh auditor. Salah satu bentuk perilaku
pengurangan kualitas audit adalah penghentian prematur atas prosedur
audit (Weningtyas, dkk (2006) dalam Lestari (2010)).
Weningtyas, dkk (2006) menyimpulkan bahwa proses penghentian
prematur atas prosedur audit tersebut dapat disebabkan oleh 2 faktor, yaitu
faktor karakteristik personal dari auditor yang berupa faktor internal dan
faktor situasional (faktor eksternal). Faktor internal disini diwakili oleh
lokus kendali dan komitmen profesional dari auditor. Sedangkan faktor
review. Dari uraian diatas maka dapat menerangkan hipotesis 1-5 (H1 –
H5), maka disusun kerangka pikiran sebagai berikut :
GAMBAR 2.1
KERANGKA PIKIR PENELITIAN
Sumber : Data yang diolah, 2017 Tekanan Waktu
(H1)
Materialitas (H2)
Prosedur review (H3)
Lokus kendali (H4)
Komitmen Profesional (H5)