Policy Brief
Pengawasan Bantuan Operasional Sekolah
Berbasis Masyarakat
Kebijakan bantuan sosial dalam locus dunia pendidikan kita telah mengenal Bantuan Operasional Sekolah (BOS) yang sudah berjalan dalam kurun waktu 8 tahun ini yang dahulunya merupakan program Jaring Pengaman Sosial (JPS). BOS merupakan inovasi dari pemerintah Indonesia dalam rangka menopang penyediaan pendanaan biaya non-‐‑personalia satuan pendidikan dasar, tujuan strategisnya untuk mencapai wajib belajar di Indonesia. Problem pelik di tanah air kita berada di permasalahan tingginya biaya operasional sekolah kita sehingga partisipasi pendidikan anak didik bangsa terus terjadi peningkatan Angka Putus Sekolah (APS). BOS menjadi bukti komitmen dari pemerintah, yang telah diamanatkan dalam Undang-‐‑Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 hasil amandemen bahwa dalam pasal 31 ayat 4 negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-‐‑kurangnya 20% dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional. Komitmen dari pemerintah ini semestinya dapat berbanding lurus dengan adanya sebuah partisipasi masyarakat dalam pengawasan program dan pendanaan bantuan sosial sekolah tersebut.
Selama ini dalam lingkungan dunia pendidikan peran serta masyarakat masih terasa minim. Anggapan bahwa pelayanan pendidikan menjadi urusan pemerintah dan kewajiban negara merupakan persoalan yang patut kita cermati. Ruang-‐‑ruang partisipasi masyarakat khususnya para orang tua siswa dalam pelayanan pendidikan
pelenggara pelayanan pendidikan dan masyarakat. Peran dalam dunia pendidikan masih terbatas pada pemangku kebijakan dan penyelenggaran pelayanan pendidikan. Partisipasi, akses dan kontrol masyarakat umum terhadap pelayanan pendidikan dirasa masih minim perannya. Keberhasilan sebuah penyelenggaraan pendidikan menjadi tanggung jawab bersama antara pemerintah dan masyarakat khususnya orang tua siswa, akan tetapi kebanyakan keluarga berasumsi bahwa keluarga hanya bertanggungjawab untuk mendidik moralitas/agama anak-‐‑anaknya, menyekolahkan anaknya, serta membiayai keperluan pendidikan anaknya. Undang-‐‑Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menyebutkan dalam bab 15 Pasal 54 point 1 bahwa peran serta masyarakat dalam pendidikan meliputi peran serta perseorangan, kelompok, keluarga, organisasi profesi, pengusaha, dan organisasi kemasyarakatan dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu layanan pendidikan. Point 2 dari pasal tersebut juga mengamanatkan masyarakat dapat berperan serta sebagai sumber pelaksanaan dan pengguna hasil pendidikan.
Peran serta warga sekolah dalam pengelolaan BOS
Kondisi di lapangan memang menunjukkan bahwa peran serta masyarakat paling banyak berada di tataran pelaksanaan proses pendidikan. Peran serta dalam proses pelaksanaan secara kuantitatif dapat kita lihat banyaknya masyarakat yang memanfaatkan pelayanan pendidikan lewat data Angka Partisipasi Kasar (APK) dan Angka Partisipasi Murni (APM). Data terbaru dari Badan Pusat Statistik 2011, APM jenjang pendidikan Sekolah Dasar (SD) sebesar 90,95 dan jenjang Sekolah Menengah Pertama (SMP) sebesar 67,98. Besar APK pada jenjang SD di Indonesia sebesar 102,44 sedangkan pada tingkat SMP sebesar 80,09.
Tabel 1
Peran Serta Masyarakat dalam Angka Partisipasi Kasar (APK) dan Angka Partisipasi Murni (APM) di Indonesia Tahun Ajaran 2011
No Jenjang Sekolah APM APK
(1) (2) (3) (4)
1 SD 90,95 102,44 2 SMP 67,98 80,09 Sumber: Pusat Statistik Pendidikan, Kementerain Pendidikan Nasional Tahun 2009/2010
Selain pemanfaatan pelayanan pendidikan, peran masyarakat dalam tataran pelaksanaan juga terimplementasikan lewat dukungan finansial. Inilah yang kemudian menjadikan masyarakat apatis terhadap pengelolaan penyelenggaraan pendidikan di Indonesia, masyarakat berasumsi bahwa memasukan anak mereka dalam sekolah dan kemudian menyelesaikan urusan administratif dan finansial pendidikan anaknya adalah satu-‐‑satunya peran mereka dalam dunia pendidikan. Sebetulnya masyarakat masih dapat mengambil peran dalam dua hal yang lain, yaitu pengambilan keputusan dan pengawasan.
Peran pengambilan keputusan masyarakat dalam dunia pendidikan seringnya masih terbatas dalam wadah Komite Sekolah, akan tetapi rata-‐‑rata masyarakat masih berperan pasif dalam pengambilan keputusan penyelenggaraan pendidikan di sekolah, mereka menerima apa adanya yang telah menjadi keputusan sekolah bersama Komite Sekolah, jika pun ada pelayanan pendidikan yang tidak sesuai dengan standar pelayanan. Kesadaran masyarakat untuk ikut melakukan reformulasi kebijakan belum terbangun dalam pola kehidupan kita. Pada peran pengawasan hasil penelitian survey
yang dilakukan selama 6 bulan terhitung sejak Agustus 2011 sampai dengan Januari 2012 di Kabupaten Tulungaagung oleh Muhammad Nashir (2012) mengambil sampel penelitian yang terdiri dari Komite Sekolah, guru, peserta didik dan wali murid memberikan bukti bahwa wujud peran serta masyarakat yang paling berdampak bagi peningkatan mutu pendidikan adalah adanya pengawasan.
Kembali lagi melihat peran masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan, komitmen pemerintah dalam memberikan ruang masyarakat ikut berperan telah diamanatkan dalam Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 044/U/2002 tanggal 2 April 2002 tentang Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah. Keputusan Menteri Pendidikan tersebut mengartikan bahwa Dewan Pendidikan merupakan badan yang mewadahi peranserta masyarakat dalam rangka meningkatkan mutu, pemerataan, dan efisiensi pengelolaan pendidikan di kabupaten/kota, sedangkan untuk Komite Sekolah ialah badan mandiri yang mewadahi peranserta masyarakat dalam rangka meningkatkan mutu, pemerataan, dan etisiensi pengelolaan pendidikan di satuan pendidikan, baik pada pendidikan pra sekolah, jalur pendidikan sekolah maupun jalur pendidikan luar sekolah. Keanggotaan dari dewan pendidikan dan komite sekolah merupakan representative dari perwakilan masyarakat luas, terdapat perwakilan tokoh masyrakat, orang tua siswa, wakil alumni dan dewan guru dalam susunan Komite Sekolah, sedangkan pada Dewan Pendidikan bedanya teradapat perwakilan dari Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan ada kenggotaan dari Komite Sekolah yang masuk di dalamnya.
Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 044/U/2002 disebutkan bahwa peran yang harus diemban Dewan Pendidikan dan Komite sekolah secara garis besar terdapat peran (1) sebagai advisory agency (pemberi pertimbangan), (2) supporting agency (pendukung kegiatan layanan pendidikan), (3) controlling agency (pengontrol
kegiatan layanan pendidikan), dan (4) mediator atau penghubung atau pengait tali komunikasi antara masyarakat dengan pemerintah. Untuk dapat memberdayakan dan meningkatkan peran masyarakat, sekolah harus dapat membina kerjasama dengan orangtua dan masyarakat, menciptakan suasa kondusif dan menyenangkan bagi peserta didik dan warga sekolah.
Masalah pengelolaan dana BOS
Selama ini pengelolaan BOS masih saja ditemukan permasalahan di dalamnya. Hasil penelitian pelaksanaan BOS di Kota Semarang mengungkapkan masih adanya kelemahan dalam proses penyaluran dana BOS yang belum dapat berjalan sesuai dengan jadwal waktu yang telah ditetapkan bahkan dalam prakteknya terjadi keterlambatan pencairan dana (Karding, 2007). Koran Wawasan edisi 15 Dsember 2007, yang mewartakan penggunaan dana BOS oleh sekolah tidak pernah melakukan musyawarah dengan orang tua/wali termasuk dalam hal ini penyusunan RAPBS. Penelitian Bank Dunia turut menegaskan, program dana BOS belum transparan karena tidak diketahui sebagian besar orangtua siswa. Pengetahuan orangtua yang minim disebabkan transparansi dan akuntabilitas sekolah dalam mengelola BOS masih rendah.
Penyaluran dana BOS triwulan pertama tahun 2011, tidak jauh berbeda dengan hasil kajian yang disebutkan di atas. Publik kembali ramai membicarakan terlambatnya pencairan dana BOS yang sedianya batas akhir penyaluran ditetapkan pada tanggal 15 Maret 2011. Namun, sampai dengan 2 Mei 2011 masih ada 21 Kota/Kabupaten yang belum mencairkan Bos (Kompas, 2 Mei 2011). Penyaluran BOS yang terlambat disinyalir mampu melahirkan peluang-‐‑peluang korupsi di dalamnya.
Di satu sisi, akuntabilitas BOS di sekolah juga tak luput dari masalah. Sekolah mengalami kesulitan dalam menyusun laporan pertanggungjawaban dan penggunaan dana BOS, seperti ditunjukkan besaran dana BOS dipakai untuk membayar guru tidak tetap yang seharusnya menggunankan anggaran Pemerintah Daerah atau alokasi dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (Karding, 2007). Senada dengan hasil kajian tesebut, temuan dari LSM BPK, ICW, FITRA dan Pattiro Surakarta menunjukkan bahwa pembayaran dana BOS ada yang tidak sesuai petunjuk teknis. Sisi pembelanjaan menjadi peluang untuk penyelewengan BOS, antara lain dalam hal; belanja buku yang di beli dari dana BOS yang kenyataannya tidak sesuai dengan ketentuan, belanja buku panduan BOS akan tetapi tidak dapat di manfaatkan, dana BOS di gunakan untuk membiayai kegiatan yang tidak menjadi prioritas sekolah dan memerlukan biaya besar, membayar bonus dan transportasi rutin guru atau pihak luar sekolah, membayar amplop pada wartawan, membeli seragam guru atau siswa, rehabilitasi sekolah, membangun gedung/ruangan kelas baru, dan membeli alat yang tidak mendukung proses belajar.
Kajian yang dilakukan Pattiro Surakarta terhadap pengelolaan BOS 2011 di Kota Surakarta juga telah menemukan kelemahan sekolah dalam mengelola dana BOS antara lain; pertama pihak sekolah terlambat menyampaikan RKAS/APBS yang menjadi syarat pencairan dana BOS. Kelambanan ini disebabkan sebagian besar sekolah belum memiliki RKAS/APBS sesuai dengan standar perencanaan penyelenggaraan pendidikan. Kedua, ada pihak sekolah swasta yang belum atau salah dalam menyusun dokumen Naskah Perjanjian Hibah Daerah (NPHD). Padahal dokumen tersebut merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi oleh sekolah swasta sebelum pencairan. Ketiga, sekolah belum dapat menyusun laporan/surat pertanggungjawaban (SPJ) penggunaan dana BOS secara efektif dan tepat waktu. Bahkan masih banyak
yang melakukan kesalahan dalam penyusunannya. Kendala ini memperlambat penyampaian SPJ yang ditunggu oleh Pemda untuk dikompilasi dan dilaporan setiap akhir triwulan kepada Pemerintah.
Pola Partisipasi Publik dalam Pengawasan BOS
Selama ini pola partisipasi masyarakat dan penyelenggara pelayanan pendidikan dalam pengelolaan BOS khususnya ikhwal monitoring berada di kegiatan pelaksanaan dan pelaporan. Komponen yang dimonitoring dalam petunjuk teknis BOS sejak tahun 2009 – 2012 tidak ada perubahan, yaitu memotret laporan (1) Alokasi dana sekolah penerima bantuan; (2) Penyaluran dan penggunaan dana; (3) Pelayanan dan penanganan pengaduan; (4) Administrasi keuangan; (5) Pelaporan. Pratisipasi dalam tahap perencanaan proses, hanya disaat ada kemungkinan sekolah menolak BOS pengambilan keputusan harus melibatkan persetujuan orang tua siswa, hal ini pun harus melalui komite sekolah. Peristiwa yang lain ikut andilnya masyarakat dalam pengambilan keputusan terkait BOS ada ketika sekolah negeri kategori RSBI dan SBI diperbolehkan memungut dana dari orang tua siswa yang mampu harus dengan persetujuan keputusan dari Komite Sekolah. Namun, sebaiknya pengambilan keputusan pengelolaan dana BOS dilakukan, dengan tujuan pelibatan orangtua siswa dalam memahami dan berpartisipasi memberikan usulan ataupun koreksi, hal ini yang masih sangat minim tumbuh kesadaran di masyarakat kita. Penyebab rendahnya kesadaran masyarakat untuk ikut serta berpatisipastif dalam penyelenggaraan pendidikan kita khususnya masalah BOS dapat disebabkan karena asumsi masyarakat bahwa ada tidaknya penyelenggaraan BOS tidak akan mengganggu survival hidup masyarakat. Salah satu teori psikologi mengenai kebutuhan manusia yang menjadi referensi sampai hari ini adalah teori kebutuhan Maslow. Teori ini banyak dijadikan acuan bagi mereka yang mencoba memahami tentang motivasi seseorang dalam melakukan perubahan. Memang
seorang individu tidak akan melakukan aktualisasi diri dalam partisipasi publik demi pemenuhan keadilan bagi diri mereka jika kebutuhan dasar (sandang, papan, pangan) belum terpenuhi. Masyarakat golongan menengah ke atas memilki exit strategy ketika berhadapan dengan biaya pendidikan yang mahal, dan masyarakat ekonomi lemah menghadapi no exit strategi sekaligus no voice ketika mereka terbentur dengan biaya pendidikan yang mahal.
Prinsip dalam partisipasi publik ada 3 hal yang terkandung di dalamnya yaitu; adanya kelompok yang terlibat, bentuk partisipasi dan hasil dari partisipasi. Alur penyusunan dan anggaran sekolah pada dasarnya membutuhkan partisipasi aktif dari semua warga sekolah. Akan tetapi hal tersebut belum mampu terpenuhi terkait kepesertaan dari semua warga sekolah dalam perencanaan, monitoring dan pelaporan. Idealnya dalam penyusunan kegiatan dan anggaran sekolah yang partisipatif terbagi dalam deskripsi di tabel 2 di bawah ini:
Tabel 2
Deskripsi Partisipasi dalam Penyusunan Kegiatan dan Anggaran Sekolah No Kelompok yang
terlibat Bentuk agenda Hasil
(1) (2) (3) (4)
1. Orang tua siswa Forum komunikasi orang
tua siswa 1. Rumusan kebutuhan dan optimalisasi pembelajaran 2. Rencana usulan kegiatan
ekstrakurikuler dan anggaran kegiatan akademik dan non-‐‑ akademik
2. Delegasi orang tua siswa, komite sekolah, guru dan staf
Pembentukan tim perumus
RKS/RKAS Menyusun tim perumus RKS/RKAS
3. Orang tua siswa,
masyarakat, tim perumus
RKS/RKAS
dan kritik dari draft
RKS/RKAS yang telah dibuat tim perumus RKS/RKAS 4. Orang tua siswa Sosialisasi kepada orang
tua siswa Sosialisasi RKTS/RKAS 5. Tim monitoring
sekolah Monitoring Pemeriksaan dan perbaikan pengelolaan dana sekolah 6. Guru, kepala
sekolah, wakil kepala sekolah, komite sekolah, OSIS
Evaluasi Pengawasan terhadap seluruh kinerja sekolah dan
penyerapan anggaran belanja sekolah 7, Guru, kepala sekolah, wakil kepala sekolah, komite sekolah, OSIS
Pelaporan Hasil kinerja sekolah dan pertanggungjawaban anggaran sekolah
Pola partisipasi yang demikian masih memiliki kecenderungan kelemahan, antara lain terlihat dalam penyusunan tim perumus RKS/RKAS dimana fakta lapangan menunjukkan adanya dominasi tim perumus dari pihak sekolah dan belum adanya transparansi proses rekrutmen dari pihak sekolah. Sosialisasi RTKS/RKAS terkadang hanya bersifat pemberitahuan kepada orang tua siswa, proses sosialisasi tanpa disertai pemberian dokumen yang sah berdasarkan ketetapan sekolah. Monitoring, evaluasi dan pelaporan hanya melibatkan kontrol internal dalam pelaksanaannya, unsur warga sekolah lainnya tidak ikut dilibatkan dalam 3 proses yang dapat bersifat partisipatif tersebut.
Rekomendasi
Pola partisipasi dalam pengawasan BOS dapat dilakukan dengan berbasis komunitas. Hal yang paling dekat adalah lewat paguyuban orang tua siswa di sekolah
masyarakat adalah (Robino, 2010): pertama tahap pengorganisasian yaitu tahapan untuk membangun kesadaran masyarakat tentang adanya suatu kebijakan yang sedang dijalankan dan potensi permasalahan yang mungkin timbul dan merugikan masayarakat. Kedua, mulai dilakukan pengumpulan data yaitu proses bagaimana mendidik masyarakat untuk mengetahui data apa saja diperlukan untuk diketahui dan bagaimana cara mengumpulkan data tersebut. Ketiga, mengelompokkan dan mengkode data, yaitu proses mendidik masyarakat bagaimana mengelompokkan data yang sudah dikumpulkan itu sesuai kelompok informasinya. Keempat, dengan mengolah data yaitu proses mendidik masyarakat untuk mengolah data menjadi informasi bagi komunitasnya. Terakhir adalah validasi dan konsultasi dengan menyampaikan hasil informasi yang diolah dari data yang terkumpul dan meminta anggota masyarakat lain memvalidasi atau memeriksa kebenaraynnya.
Memperhatikan tahapan dalam implementasi BOS, masih minim partisipasi masyarakat. Sebagai pemenuhan atas aspek transparansi maupun partisipasi, pengelolan anggaran BOS di level sekolah perlu dibuka. Sekolah sebagai sebuah entitas, harus melibatkan orang-‐‑orang yang peran dan dukungan demi kemajuan pendidikan. Terutama Komite Sekolah yang notabene memang diakui sebagai salah satu elemen penting dan partner sekolah. Demikian pula dengan dukungan dari paguyuban orang tua murid sebagai representasi pihak pengguna anggaran BOS. Sekolah sendiri tak perlu takut melibatkan mereka karena support dari orang tua siswa menunjukkan kepercayaan yang tinggi. Tiga tahap penting dalam pengelolaan anggaran BOS adalah perencanaan, pelaksanaan dan pelaporan.
Pada tabel diatas terlihat jelas dalam siklus perencanaan hingga pelaporan memang sangat idel melibatkan selruh stakeholders sekolah. Yang perlu dipikirkan kemudian yakni budget bagi terselenggaranya mekanisme pelibatan masyarakat. Nah sekarang saatnya mendorong policy terbaru agar pelibatan masyarakat mampu dicover oleh anggaran BOS.
Surakarta, 31 November 2012
Disusun oleh
YAYASAN SATU KARSA KARYA
Singopuran RT 02/V Nomor 103, Kartasura, Surakarta, Jawa Tengah Telp 0271 – 7003159; Fax: 0271 – 781724
Email: office@yskk.org; homepage: www.yskk.org; facebook: Yayasan Satu Karsa Karya