• Tidak ada hasil yang ditemukan

VIII. DESAIN PEMANTAPAN PENGENDALIAN KONVERSI LAHAN SAWAH YANG BERPIHAK KEPADA PETANI PADA KAWASAN ANDALAN DI PROVINSI JAWA TENGAH.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "VIII. DESAIN PEMANTAPAN PENGENDALIAN KONVERSI LAHAN SAWAH YANG BERPIHAK KEPADA PETANI PADA KAWASAN ANDALAN DI PROVINSI JAWA TENGAH."

Copied!
30
0
0

Teks penuh

(1)

VIII. DESAIN PEMANTAPAN PENGENDALIAN KONVERSI LAHAN SAWAH YANG BERPIHAK KEPADA PETANI PADA

KAWASAN ANDALAN DI PROVINSI JAWA TENGAH.

8.1. Tujuan Desain Pemantapan Pengendalian Konversi Lahan Sawah

Berdasarkan permasalahan dan pembahasan yang ada, maka dalam rangka mengendalikan laju konversi lahan sawah pada Kawasan Andalan di Provinsi Jawa Tengah, ditetapkan tujuannya adalah : ”Memantapkan pengendalian konversi lahan sawah yang berpihak kepada petani”.

8.2. Prinsip-Prinsip

Agar desain pemantapan pengendalian konversi lahan sawah dapat diwujudkan bersamaan dengan meningkatkan keberpihakan kepada petani, maka prinsip-prinsip yang perlu dianut adalah :

1) Keberpihakan Kepada Petani; Dalam setiap tahapan kegiatan, termasuk pemanfaatannya diutamakan kepada para petani.

2) Transparansi; Petani harus tahu, memahami dan mengerti adanya kegiatan yang berhubungan dengan konversi lahan sawah serta memiliki kebebasan dalam melakukan pengendalian secara mandiri.

3) Partisipasi; Petani berperan aktif mulai dari perencanaan, pelaksanaan, pengendalian, pengawasan dan pelestariannya.

4) Prioritas; Petani diberi ruang yang luas untuk menentukan prioritas dalam pengambilan keputusan yang dilakukan secara musyawarah berdasarkan kebutuhan nyata.

5) Desentralisasi; Petani diberikan kewenangan dan tanggung jawab yang luas untuk mengelola kegiatan secara mandiri dan partisipatif.

6) Akuntabilitas; Setiap pengelolaan kegiatan harus dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat dan pihak yang berkompeten.

7) Keberlanjutan; Dalam setiap pengambilan keputusan atau tindakan pembangunan harus selalu mempertimbangkan sistem pelestariannya.

8) Kesetaraan Gender; Petani perempuan harus dilibatkan secara aktif dalam setiap pengambilan keputusan.

(2)

8.3. Model

Setelah mengidentifikasi dan menganalisa berbagai dampak dan penyebab terjadinya konversi lahan sawah, serta setelah mendapatkan masukan kebijakan dari berbagai pakar maka diusulkan adanya suatu desain pengendalian konversi lahan sawah. Desain disusun dengan memperhatikan segala potensi yang ada pada pemerintah, pemerintah daerah, pemerintah provinsi, pemerintah desa, perguruan tinggi, swasta dan lembaga swadaya masyarakat. Adapun desain pengendalian konversi lahan sawah yang berpihak kepada petani pada Kawasan Joglosemar di Provinsi Jawa Tengah adalah berbentuk model.

Model adalah pola (contoh, acuan, ragam) dari sesuatu yang akan dibuat atau dihasilkan. Definisi lain dari model adalah abstraksi dari sistem sebenarnya, dalam gambaran yang lebih sederhana serta mempunyai tingkat prosentase yang bersifat menyeluruh, atau model adalah abstraksi dari realitas dengan hanya memusatkan perhatian pada beberapa sifat dari kehidupan sebenarnya.

Model desain pemantapan pengendalian konvertsi lahan sawah yang berpihak kepada petani pada Kawasan Andalan di Provinsi Jawa Tengah dibangun atas dasar model deskriptif normatif, artinya suatu model yang menggambarkan situasi sebuah system sebagai suatu jawaban terbaik terhadap satu persoalan. Model ini diharapkan memberi rekomendasi tindakan-tindakan yang perlu diambil. Untuk mengetahui lebih jelas tentang desain model pemantapan pengendalian konversi lahan yang berpihak kepada petani pada Kawasan Andalan di Provinsi Jawa Tengah, dapat dilihat pada gambar 33 berikut ini :

(3)

Gambar 34 Desain pemantapan pengendalian konversi lahan sawah yang berpihak kepada petani pada Kawasan Andalan Provinsi Jawa Tengah Konversi Lahan Sawah PDRB Sektor Pertanian Pertumbuhan Ekonomi Insentif Pajak Subsidi Petani Saprodi Murah+Mudah Pemb Irigasi Pelatihan Jaminan Pemasaran Asuransi Insentif Fiskal Pemerintah Pemprov Pemda Pemdes Swasta PT LSM Poktan

Petani

Bantek/ Penelitian Bebas

PBB Jaminan Ada Air

Advokasi

Tata Niaga Beras

Aksesbi -litas

Perilaku KonsolidasiManj.Lahan Penget&Ketrp NonSawah Divers Non Beras Pertumbuhan Penduduk Hemat Air Manaj . Air

(4)

8.4. Strategi

8.4.1. Strategi Umum

Dalam rangka menjaga kemandirian dan ketahanan pangan kawasan, maka upaya pengendalian konversi lahan sawah harus dilaksanakan dengan penetapan batas minimal luas lahan sawah. Seiring dengan itu perlu adanya upaya-upaya menciptakan pertumbuhan ekonomi yang tinggi, kontribusi PDRB Sektor Pertanian yang semakin tinggi dan pengendalian laju pertumbuhan penduduk. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi tidak boleh hanya dinikmati oleh kelompok tertentu saja, seperti: investor, industri manufaktur dan pedagang/jasa. Petani kecil di perdesaan, yang jumlahnya terbesar di Indonesia perlu mendapatkan distribusi atas pendapatan negara atau daerah yang tinggi tersebut.

Pertumbuhan ekonomi yang tinggi harus ditindaklanjuti dengan kebijakan redistribusi asset, khususnya kepada petani di perdesaan, yang dilihat dari tingkat kesejahteraannya masih rendah. Redistribusi asset dapat dilakukan dengan memberikan isentif fiskal. Insentif fiskal yang dimaksudkan adalah pemberian subsidi dan pembebasan atau keringanan pajak. Pemberian subsidi kepada petani perlu dilakukan untuk menjamin tersedianya sarana produksi pertanian yang murah dan mudah, seperti bibit, pupuk, dan insektisida. Pemberian subsidi input kepada petani diberikan kepada petani-petani yang miskin dengan kepemilikan lahan yang sangat rendah di bawah 0,5 Ha per keluarga. Untuk menjamin agar subsidi input tersebut berdaya guna dan berhasil guna, maka tata niaga saprodi harus melibatkan petani atau kelompok tani yang ada.

Upaya pemberdayaan petani tidak bisa dilakukan oleh pemerintah saja. Keterlibatan berbagai pemangku kepentingan dalam upaya mengendalikan konversi lahan sawah yang berpihak kepada petani adalah suatu keniscayaan. Pemangku kepentingan yang perlu terlibat secara aktif adalah: pemerintah, pemerintah daerah, pemerintah desa, kelompok tani, perguruan tinggi, swasta, LSM dan petani itu sendiri.

8.4.2. Strategi khusus

Strategi khusus adalah dimaksudkan untuk memastikan 8 (delapan) kebutuhan langsung petani dapat terpenuhi. Kedelapan kebutuhan langsung

(5)

tersebut adalah: 1) Jaminan adanya air bagi usahatani padi sawah, 2) Jaminan pemasaran beras, 3) Saprodi murah dan mudah, 4) Pembebasan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) untuk lahan sawah, 5) Konsolidasi manajemen lahan sawah, 6) Perubahan perilaku petani lahan sawah, 7) Peningkatan usaha non sawah, dan 8) Diversifikasi makanan non beras.

8.4.2.1. Jaminan Adanya Air bagi Usahatani Padi Sawah

Salah satu persoalan utama yang dihadapi oleh seluruh petani pada Pengembangan Kawasan Andalan Provinsi Jawa Tengah adalah pasokan air untuk usahatani sawah. Seperti diketahui, usahatani padi sawah memerlukan pasokan air yang sangat tinggi, khususnya pada saat pengolahan tanah dan tanam. Dari kenyataan di lapangan pasokan air di beberapa daerah terganggu, karena berbagai sebab, antara lain: 1) perubahan musim, 2) berebut dengan pengguna lain, 3) terputus/terisolasi karena pembangunan prasarana jalan, 4) kualitas air yang semakin menurun.

Persoalan air telah berdampak pada berkurangnya periode tanam padi sawah. Pada lokasi-lokasi tertentu penanaman padi sawah telah berkurang dari 3 kali tanam per tahun menjadi 2 kali tanam, dari 2 kali tanam menjadi 1 kali.

Karena persoalan air sangat krusial bagi usahatani sawah, maka perlu diambil langkah-langkah pembenahan terhadap system irigasi yang ada saat ini. Pembangunan irigasi baru perlu dilakukan seiring dengan rehabilitasi dan revitalisasi terhadap sistem irigasi yang telah ada. Pembangunan dan rehabilitasi irigasi tidak bisa dilakukan oleh satu kementerian atau lembaga saja, perlu ada kerja sama yang erat antar pemangku kepentingan.

Banyaknya industri yang memanfaatkan air dan membuang limbah pabriknya ke sungai telah berdampak pada kualitas pasokan air bagi usaha tani sawah. Dalam menjaga kuantitas dan kualitas air perlu adanya penegakkan hukum bagi yang melakukan pelanggaran. Air adalah sumber kehidupan, oleh karena itu perlu dijaga kelestariannya. Karena jumlah air yang terbatas dan penggunanya banyak dan cenderung terus meningkat, maka perlu adanya manajemen pengelolaan air daerah. Pada daerah aliran sungai yang melintasi beberapa daerah

(6)

perlu dibentuk Badan Kerjasama Antar Daearah Dalam Rangka Pengelolaan Daerah Aliran Sungai.

Penggunaan air dalam usahatani padi sawah tidaklah sama dalam setiap tahapannya. Tahapan yang paling banyak membutuhkan air adalah persemaian, pengolahan tanah dan penggenangan. Untuk itu perlu dikembangkan teknologi pengairan yang memungkinkan jumlah air yang terbatas tersebut dapat dimanfaatkan secara optimal. Model tanaman bergilir dapat dijadikan alternatif untuk memecahkan persoalan air.

8.4.2.2. Jaminan Pemasaran Beras

Persoalan pemasaran hasil usahatani padi sawah adalah persoalan klasik yang tidak kunjung ada jalan keluarnya. Petani sering diperhadapkan dengan kebijakan nasional, yaitu: kedaulatan pangan, Ketahanan pangan dan kemandirian pangan. Atas alasan ketiga hal tersebut petani diperhadapkan pada posisi tawar yang rendah bila menyangkut penetapan harga output. Di saat panen raya petani tidak bisa menjual produk usaha taninya dengan harga yang tinggi. Petani dibiarkan untuk masuk ke dalam pasar bebas. Pada kondisi ini berlaku hukum pasar, semakin tinggi jumlah barang yang ditawarkan, dengan asumsi jumlah permintaan tetap, maka harga akan turun.

Pada saat terjadi gagal panen, dimana jumlah produksi padi menurun, seharusnya petani memperoleh harga yang lebih tinggi. Hal itu tidak pernah terjadi, karena dengan sigap pemerintah akan mengijinkan adanya impor. Impor berarti memasukkan produk usaha tani sawah dari negara lain, yang tentunya berpengaruh terhadap meningkatnya jumlah penawaran. Dengan asumsi permintaan sama, maka petani tidak jadi mendapatkan harga output yang lebih tinggi.

Kondisi semacam itu harus segera diatasi. Petani perlu mendapatkan jaminan harga yang baik atas produksi padi sawah yang dihasilkannya. Upaya yang dapat dilakukan untuk menjamin pemasaran hasil produksi petani padi sawah, maka perlu dilakukan bersama-sama antara pemerintah dengan swasta. Pemerintah dapat intervensi terhadap tata niaga beras dengan tetap berpihak kepada petani dan memberikan asuransi terhadap petani. Sedangkan swasta,

(7)

khususnya para pedagang tidak boleh memanfaatkan kelemahan petani untuk keuntungan mereka secara sepihak.

Tata niaga beras di Indonesia selama ini dilakukan oleh Badan Usaha Logistik (Bulog), petani belum dilibatkan secara optimal. Bulog diharapkan bisa lebih berperan sebagai mitra petani, dimana ada hubungan yang kuat antara Bulog dengan petani. Hubungan yang erat ini dimungkinkan adanya suatu system deteksi dini terhadap pasokan beras dan harga beras. Pada saat panen raya Bulog perlu membeli seluruh beras miliki petani dengan harga yang disepakati. Di sisi lain, bila terjadi gagal panen Bulog membeli beras petani dengan harga yang disepakati. Dalam kata lain pendapatan petani saat panen raya dan gagal panen diharapkan sama. Hal tersebut dimungkinkan apabila dilakukan pengaturan tata niaga beras yang lebih berpihak kepada petani. Jangan membiarkan petani masuk pasar bebas tanpa pengawalan.

Usahatani padi sawah sangat tergantung pada musim. Dalam kondisi musim yang sering berubah secara ekstrim seperti sekarang ini, maka perlu adanya suatu jaminan dari pemerintah agar petani tetap bisa hidup dengan layak. Hidup dengan layak adalah hidup dengan kemampuan untuk membiayai kebutuhan dasar keluarganya seperti: sandang, papan, pangan, pendidikan dan kesehatan.

Indonesia belum punya pengalaman memberikan asuransi kepeda petani. Oleh karena itu perlu adanya kajian yang lebih mendalam untuk hal ini. Belajar dari negara lain, seperti Iran, akan sangat membantu dalam menyusun grand

design kebijakan asuransi petani. Pemberian asuransi kepada petani adalah suatu

keputusan politik yang berani. Bila hal itu dilakukan maka petani tidak lagi terjebak dalam ketidak pastian usahataninya. Asuransi petani hendaknya diarahkan kepada jaminan terhadap pemasaran hasil usahatani sawah.

Dalam rangka menjamin pemasaran hasil usahatani sawah, maka keterlibatan swasta harus diperhatikan. Dalam tata niaga beras, pedagang adalah pihak yang paling diuntungkan. Pedagang yang memiliki akses langsung kepada petani dan konsumen akhir, memiliki posisi tawar yang tinggi dalam menentukan harga beras di tingkat petani, maupun di tingkat konsumen akhir. Petani yang hidupnya miskin posisi tawarnya menjadi sangat rendah, apalagi bila karena

(8)

kebutuhan mendesak, pembelian padi oleh pedagang kepada petani dilakukan dengan sistem “ijon”.

Seperti telah diketahui, bahwa pedagang memiliki keuntungan yang lebih tinggi dari pada petani. Keuntungan pedagang terlihat pada selisih harga di tingkat petani dengan harga di tingkat konsumen akhir. Semakin banyak pedagang menguasai beras dengan jumlah yang semakin besar, maka semakin besar pula keuntungan pedagang tersebut. Dari kenyataan ini, maka pedagang yang bermodal besar akan lebih banyak keuntungannya. Oleh karena itu harus diatur pembatasan atas selisih harga di tingkat petani dengan harga di tingkat konsumen akhir.

Pemasaran hasil usahatani padi sawah juga dipengaruhi oleh aksesibilitas dari sawah terhadap pasar. Aksesibilitas petani jauh lebih rendah dibandingkan dengan aksesibilitas pedagang. Pembukaan jalan-jalan poros desa seringkali justru menguntungkan pedagang dari pada petani. Akses jalan yang dibangun tidak serta merta menaikkan harga beras di tingkat petani. Pembangunan jalan poros desa justru dengan cepat berpengaruh terhadap menurunnya biaya di tingkat pedagang. Dengan kata lain pembangunan sarana dan prasarana jalan lebih menguntungkan pedagang dari pada petani. Peningkatan aksesibilitas harus dibaca sebagai peningkatan aksesibilitas petani. Peningkatan adalah rangkaian dari suatu sistem pemasaran hasil usahatani, oleh karena itu petani harus terlibat secara intens pada persoalan ini. Bila perlu petani memiliki kendaraan kolektif untuk menjamin agar aksesibilitas mereka terhadap pasar menjadi lebih mudah. Aksesibilitas adalah upaya mendekatkan petani pada konsumen dengan harapan petani mendapat keuntungan langsung yang lebih besar terhadap hasil usaha taninya. Dalam hal ini peran pemerintah menjadi sangat besar.

8.4.2.3. Saprodi Murah dan Mudah

Sistem produksi pupuk, bibit dan obat-obatan dikuasai oleh pabrik-pabrik besar. Ada banyak kasus ketika petani mencoba mengembangkannya, justru dihukum karena dianggap melanggar hak kekayaan intelektual. Sulit bagi petani untuk menjadi mandiri dalam hal pupuk, bibit dan obat-obatan. Di sisi pemasaran saprodi dikuasai oleh pabrik dan pedagang. Kenyataan di lapangan ketika petani sangat membutuhkan, barang-barang tersebut hilang dari pasar. Kalau pun ada

(9)

harus diperoleh dengan harga yang sangat tinggi. Hal ini tidak sebanding dengan pendapatan yang diperoleh petani ketika masa panen datang.

Petani melalui Badan Usaha Milik Desa (BUMDES) perlu dilibatkan dalam tata niaga saprodi, sehingga jaminan ketersediaan saprodi secara mudah bisa diperoleh. Harga saprodi yang ditentukan secara sepihak oleh produsen, dalam pasar oligopoli, sangat tidak berpihak kepada petani. Oleh karena itu sudah sewajarnya bila petani mendapatkan subsisdi saprodi. Pemberian subsisdi saprodi harus dilakukan secara hati-hati, karena kalau tidak maka jatuh ke tangan ”petani kaya”. Petani kaya yang tinggal di kota dan menyerahkan penggarapan sawahnya kepada buruh tani tidak layak untuk mendapatkan subsidi saprodi. Subsidi saprodi hanya diberikan kepada petani miskin dengan kepemilikan luas lahan yang sempit, tinggal di kawasan hamparan sampah atau di perdesaan yang bersangkutan dan menggarap sendiri lahan sawahnya.

Pengelolaan usahatani secara organik bisa menjadi alternatif dalam meningkatkan kemandirian petani dalam penggunaan saprodi. Dengan usahatani organik petani dapat didorong untuk mampu memproduksi bibit, pupuk dan obat-obatan untuk kepentingan usahataninya. Bahkan bila mungkin produksi tersebut dapat dipasarkan secara umum. Dengan demikian petani bukan hanya memperoleh manfaat dari pengusahaan lahan sawahnya, tetapi juga dari faktor-faktor lain di luar lahan sawah.

8.4.2.4. Pembebasan Pajak Bumi dan Bangunan untuk Lahan Sawah

Isentif fiskal berupa pengurangan atau pembebasan pajak dilakukan dengan membebaskan petani sawah untuk tidak membayar Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) atas lahan sawah yang dimilikinya. Hal ini penting untuk dilakukan, karena keuntungn usaha tani padi sawah sangat rendah. Di sisi lain, karena peraturan pemerintah, petani tidak bisa mengkonversi lahan sawahnya untuk kepentingan di lainnya. Bila kondisi semacam ini dibiarkan, sebenarnya petani ditempatkan sebagai “terhukum”, karena ditempatkan pada suatu kondisi usahatani dengan tingkat keuntungan yang rendah atau rugi.

Insentif fiskal adalah suatu keniscayaan bagi petani. Petani adalah kelompok terbesar dalam masyarakat, khususnya di perdesaan. Walau demikian,

(10)

persoalan-persoalan yang dihadapi petani dalam hubungannya dengan pengelolaan sarana produksi cukup besar, dan mereka tidak mungkin keluar dari permasalahan tersebut. Persoalan-persoalan, khususnya menyangkut sarana produksi harus diatasi, dan seperti yang dijelaskan sebelumnya, insentif fiskal menjadi salah satu jalan keluarnya.

Tidak memberikan insentif fiskal kepada petani adalah bentuk pengingkaran terhadap upaya peningkatan kesejahteraan umum bagi seluruh rakyat Indonesia, sebagaimana diamanatkan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Pembebasan PBB harus diberikan secara hati-hati sebagaimana halnya dengan pemberian subsisdi saprodi, karena kalau tidak maka jatuh ke tangan ”petani kaya”. Petani kaya yang tinggal di kota dan menyerahkan penggarapan sawahnya kepada buruh tani tidak layak untuk mendapatkan subsidi saprodi. Subsidi saprodi hanya diberikan kepada petani miskin dengan kepemilikan luas lahan yang sempit, tinggal di kawasan hamparan sampah atau di perdesaan yang bersangkutan dan menggarap sendiri lahan sawahnya.

8.4.2.5. Konsolidasi Manajemen Lahan Sawah

Dalam sistem warisan di Jawa Tengah dikenal istilah ”sepikul

segendongan”, yang artinya bahwa dalam pembagian warisan anak laki-laki

menerima 2 (dua) bagian sedangkan anak perempuan menerima 1 (satu) bagian. Cara pembagian seperti ini juga berlaku dalam membagi tanah warisan, termasuk lahan sawah. Pembagian lahan sawah dilakukan secara fisik, dimana lahan sawah langsung diberi batas galengan. Maka tidaklah heran bila luasan lahan sawah di Kawasan Andalan rata-rata kurang dari 0,5 ha/keluarga.

Dengan luasan seperti itu tidak memungkinkan petani melakukan usahatani secara optimal, karena luasan paling optimal diperkirakan sekitar 2 ha. Dibutuhkan suatu upaya yang memungkinkan petani melaksanakan usahatani dengan luas lahan 2 ha. Salah satu cara yang dianjurkan adalah konsolidasi manajemen lahan. Pola konsolidasi manajemen lahan adalah usahatani dilakukan secara berkelompok sehingga mencapai luasan 2 ha, tanpa harus membongkar

(11)

panen dibagi secara proporsional menurut kontribusi luasan lahan sawah yang diberikan dan kontribusi tenaga kerjanya.

Pola konsolidasi lahan seperti itu memungkinkan terjadi efisiensi penggunaan tenaga kerja. Tenaga kerja yang sisa bisa dialokasikan untuk mengelola usaha hulu dan hilir dari usaha tani sawah. Usaha hulu meliputi: produksi pupuk, produksi bibit, produksi alat pertanian, dan lainnya. Sedangkan usaha hilir meliputi: penggilingan padi, pengolahan makanan berbahan baku beras, pemasaran beras, dan lainnya.

Konsolidasi manajemen lahan sawah berbeda dengan konsep ”corporate

farming”. Pada corporate farming penggabungan lahan sawah dilakukan dengan

membuka galengan. Konsep konsolidasi lahan sawah dengan membuka galengan sulit diterapkan di Kawasan Andalan, karena petani trauma terhadap sistem land

reform yang pernah diterapkan di Indonesia pada awal tahun 1960-an yang

ternyata gagal, dan sampai saat ini tidak pernah dilakukan lagi.

Konsolidasi manajemen lahan membutuhkan persiapan yang matang. Kelompok tani, sebagai komunitas petani harus dilibatkan secara penuh, baik dalam perencanaan, pelaksanaan dan pengendaliannya. Kelompok tani yang dapat disertakan dalam konsolidasi lahan adalah kelompok tani yang aktif, artinya punya pengurus, punya anggota, ada pertemuan rutin, ada kegiatan yang dilakukan secara bersama-sama dengan penuh kesadaran. Tidak disarankan untuk melibatkan kelompok tani yang ada karena semata-mata ingin menerima bantuan dari pemerintah atau pemerintah daerah. Disamping secara organisasi aktif, kelompok tani tersebut anggotanya memiliki lahan sawah yang terletak pada satu hamparan dan berbatasan langsung satu dengan lainnya.

8.4.2.6. Perubahan Perilaku Petani Lahan Sawah

Petani di perdesaan bukanlah makhluk individualis, mereka hidup dalam suatu komunitas tertentu. Komunitas tersebut diatur dalam suatu norma, etika dan nilai yang sama. Oleh karena itu, hidup berkelompok adalah penting bagi petani. Petani bukan hanya sebagai suatu mata pencaharian, petani adalah cara hidupnya. Untuk memberdayakan petani kita perlu melakukannya dengan pendekatan

(12)

kelompok. Berkelompok memungkinkan dengan lebih cepat posisi tawar petani meningkat.

Pelatihan kepada petani perlu dilakukan secara intensif oleh berbagai pemangku kepentingan yang ada secara terpadu. Pemerintah, LSM, swasta dan perguruan tinggi secara bersama-sama dapat melakukan rekayasa sosial dalam rangka mempercepat perubahan yang ada di diri petani maupun kelompok tani. Petani di perdesaan lebih bersifat “unity”, oleh karena itu berbagai bentuk pelatihan perlu didesain dengan tidak meninggalkan ciri dasar ini.

Upaya merubah perilaku petani dalam melakukan konversi lahan sawah disamping diatasi dengan pendekatan ekonomi, juga harus diatasi dengan pendekatan sosial budaya. Pelatihan yang didesain secara baik memungkinkan adanya perubahan motivasi dan sikap. Khusus untuk perubahan sikap, memungkinkan terjadi bila dilakukan dengan berbagai upaya merubah persepsi masyarakat tentang konversi lahan yang selama ini dianggap hal biasa, mengidentifikasi dan memodifikasi terhadap nilai-nilai budaya yang dianggap mendorong terjadinya konversi lahan sawah, dan peningkatan kemampuan petani. Terjadinya konversi lahan sawah juga disebabkan oleh karena masih rendahnya tingkat informasi tentang konversi lahan sawah yang diterima oleh masyarakat, khususnya petani.

Beberapa nilai budaya yang mendorong terjadinya konversi lahan sawah adalah budaya waris yang menstimulus adanya pembagian lahan secara fisik, Dengan luasan lahan yang sempit menghambat terjadinya tingkat keuntungan usaha tani sawah yang lebih baik. Karena keuntungan rendah dan cenderung merugi, maka mendorong petani untuk melakukan konversi lahan secara nyata maupun semu. Secara nyata dilakukan dengan merubah peruntukannya secara permanen. Sedangkan secara semu adalah merubah peruntukan sawah untuk sementara.

Pelatihan kepada petani diupayakan secara sistematis mampu menjadikan mereka yang tidak tahu menjadi tahu (pengetahuan), yang tidak mau menjadi mau (sikap) dan yang tidak bisa menjadi bisa (terampil). Pola pendekatan pelatihan orang dewasa (andragogi) menjadi pilihan yang tepat untuk digunakan dalam berbagai pelatihan kepada petani, karena mereka pada dasarnya bukan orang yang

(13)

berangkat dari “titik nol”. Petani pada dasarnya memiliki pengetahuan dan pengalaman usaha tani yang cukup panjang, dari generasi ke generasi.

Pelatihan kepada petani hendaknya menghindari bentuk-bentuk pelatihan formal di kelas. Model-model pelatihan “on job tranning” dan in “service tranning”. Melatih di tempat mereka biasa berada (field base tranning) akan menjadikan mereka lebih nyaman menerima berbagai pendekatan baru. Pelatihan bagi petani harus melibatkan komunitasnya (kelompok tani). Dengan melibatkan kelompok taninya, maka akan mencairkan suasa pelatihan yang dibangun, yang pada akhirnya tujuan pembelajaran dapat dicapai. Di lain pihak, pelatihan berbasis komunitas akan mempermudah didalam pengendalian pasca pelatihan.

Kelompok tani bukan hanya bermanfaat dalam pelatihan-pelatihan bagi petani, tetapi juga di dalam merubah perilaku dan menata usaha tani, termasuk konsolidasi lahan. Seperti diketahui bahwa kepemilikan lahan sawah oleh petani pada Kawasan Andalan Provinsi Jawa Tengah rata-rata kurang dari 0,5 ha per keluarga. Luasan ini tentu tidak efisien. Upaya konsolidasi lahan sawah menjadi penting dilakukan. Dengan luasan yang lebih lebar memungkinkan terjadinya usahatani yang lebih efisien. Upaya konsolodasi lahan oleh petani perlu melibatkan kelompok tani, untuk menghindari konflik sosial yang mungkin timbul.

LSM sebagai potensi sosial yang hadir secara mandiri karena kepeduliannya, khususnya kepada petani, perlu melakukan berbagai bentuk advokasi agar petani lebih berdaya. Keberdayaan petani dapat dilihat pada semakin sejahteranya masyarakat dan disertai dengan kedaran akan hak dan kewajibannya. Upaya advokasi oleh LSM perlu dilakukan secara sinergis dengan berbagai pemangku kepentingan yang lain.

Selain LSM, Perguruan tinggi juga memiliki peran yang sangat strategis. Masalah petani, bukan semata-mata masalah fakultas pertanian. Masalah petani adalah masalah multi disiplin ilmu. Perguruan tinggi yang memiliki latar belakang ilmu yang bervariasi dan pada saat yang sama memiliki hubungan dengan berbagai pemangku kepentingan, tentunya memiliki kesempatan yang lebih luas dalam menolong petani. Ditambah lagi perguruan tinggi adalah lembaga independen non partisan, posisi ini menjadikan perguruan tinggi jauh dari

(14)

kecurigaan petani bila sedang melakukan upaya-upaya pemberdayaan dengan memanfaatkan kemampuan penelitian dan bantuan teknisnya.

8.4.2.7. Peningkatan Usaha Non Sawah

Jumlah tenaga kerja petani sangatlah berlimpah, disisi lain dalam mengelola sawah tidak semua tenaga kerja tersebut digunakan ”fullday”. Pada tahapan tertentu tenaga kerja dibutuhkan sangat banyak, terutama pada saat mengolah lahan, menanam dan panen. Namun pada tahapan lain tenaga kerja yang dibutuhkan sangat sedikit. Maka bila dilihat dari curahan tenaga kerjanya banyak yang menganggur (idle labor).

Banyaknya waktu luang yang dimiliki petani perlu dimanfaatkan secara efisien dan efektif untuk mengelola usaha tanai non sawah atau usaha non pertanian. Mengelola usaha tani non sawah tidaklah sulit bagi petani, dengan pembekalan yang baik mereka akan bisa memanfaatkan halaman rumahnya, waktu luangnya dan berbagai potensi lainnya untuk dapat memberikan pendapatan tambahan bagi keluarganya. Pada kenyataannya diversifikasi usahatani sudah biasa dilakukan oleh petani.

Namun untuk usaha non pertanian tidak mudah dilaksanakan. Kebanyakan petani adalah kelompok masyarakat subsisten, mereka melaksanakan usahatani hanya untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya. Belum banyak diantara petani-petani kecil yang memiliki cara berfikir ekonomis dan berorientasi jangka panjang. Kebanyakan mereka bertindak dengan memperhitungkan kepentingan jangka pendek dan jangka menengah. Dalam usaha jangka menengah pun kebanyakan mereka bukan sebagai ”trendsetter”, tetapi sebagai ”follower” terhadap apa yang telah dilakukan pihak-pihak lain. Sebagai follower mereka sering terjebak pada situasi ”over supply”, dimana mereka melihat suatu usaha sepertinya menguntungkan. Namun bila mereka ikut masuk ke dalam pasar secara bersama-sama dalam jumlah pelaku yang banyak, maka terjadi over suplly yang mendorong harga menjadi turun, pada akhirnya menjadikan petani merugi.

(15)

Mengacu pada pengalaman tersebut, maka petani perlu dilatih secara sistematis. Dengan demikian mereka bisa membaca peluang pasar dengan baik dan mempertimbangkan secara masak berbagai potensi dan peluang dibandingkan dengan tantangan dan kelemahan yang mereka miliki. Terjun ke dunia non pertanian adalah hal baru bagi kebanyakan petani. Ada resiko bagi petani akan gagal. Namun demikian mereka harus dipersiapkan secara baik untuk mengelola usahatani non sawah, bahkan usaha non pertanian.

Melatih usahatani non sawah hendaknya tidak dilakukan oleh pemerintah saja. Pengalaman yang dimiliki oleh LSM, swasta dan perguruan tinggi hendaknya juga dimanfaatkan secara optimal. LSM memeiliki pengalaman dalam memberikan advokasi kepada petani, terutama dalam pemberdayaan petani dan peningkatan pendapatan keluarga petani. Swasta memiliki berbagai pengalaman tentang bagaimana membaca peluang usaha, yang didasarkan atas pasar. Sedangkan Perguruan Tinggi memiliki hasil-hasil penelitian yang sahih yang dapat dimanfaatkan untuk mendorong peningkatan kesejahteraan petani.

Pelibatan berbagai pemangku kepentingan dalam upaya mendorong usahatani non sawah tidaklah semudah membalik telapak tangan. LSM biasanya menggunakan bahasa ”perjuangan”. Swasta menggunakan bahasa ”keuntungan”, Perguruan Tinggi menggunakan bahasa ”ilmiah”. Pemerintah sering menggunakan bahasa-bahasa ”pembangunan”. Sedangkan petani lebih banyak menggunakan bahasa yang sederhana, yaitu bahasa ”kebutuhan”. Mendekatkan berbagai kepentingan tersebut dalam suatu konsep perlu suatu sistem dialogis agar tercipta saling memahami dan saling menerima. Asal semuanya berfikir untuk memberdayakan dan meningkatkan kesejahteraan petani, maka semua kepentingan tersebut dapat diintegrasikan secara terpadu.

8.4.2.8. Diversifikasi Makanan non Beras

Nasi/beras adalah makanan pokok bagi sebagian besar masyarakat pada Kawasan Andalan. Makan beras sudah menjadi kebiasaan lama yang sulit tergantikan. Mengajak masyarakat, khususnya petani untuk merubah pola makannya dari beras ke non beras tidaklah mudah. Kesulitan utamanya terletak pada budaya makan. Bagi kebanyakan orang Jawa, belum dikatakan makan bila

(16)

belum makan nasi. Meskipun mungkin yang bersangkutan sudah makan mie, jagung, ubi atau makanan yang mengandung karbohidrat lainnya.

Usaha melaksanakan diversifikasi makanan non beras perlu dilakukan dengan penyuluhan dan kampanye yang intensif. Perlu dilakukan sosialisasi bahwa yang kita butuhkan bukanlah beras, tetapi kalori yang ada di dalam beras. Kalori sejumlah 1800-2800 sebagai modal kita untuk beraktivitas sehari-hari dapat diperoleh dari makanan-makanan lain di luar beras, karena kalori akan diubah oleh tubuh kita menjadi energi. Penyuluhan dan kampanye diversifikasi makanan non beras bukan hanya dilakukan secara intensif, tetapi juga memerlukan kreatifitas tertentu. Keberhasilan dalam melakukan diversifikasi makanan non beras secara agregat akan menurunkan kebutuhan akan beras. Dengan demikian ketercukupan beras kawasan juga lebih terjamin.

8.5. Perencanaan dan Penganggaran Terpadu

Sistem perencanaan pembangunan di Indonesia diatur melalui Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional. Dalam penjelasan Undang-undang tersebut diakui adanya 5 (lima) pendekatan perencanaan pembangunan yaitu: 1) politik, 2) teknokratik, 3) partisipatif, 4) atas-bawah (top-down), dan bawah-atas (bottom-up). Pendekatan politik memandang bahwa pemilihan Presiden/Kepala Daerah adalah proses penyusunan rencana, karena rakyat perlu menentukan pilihannya berdasarkan program-program pembangunan yang ditawarkan masing-masing calon Presiden/Kepala Daerah. Oleh karena itu, rencana pembangunan adalah penjabaran dari agenda-agenda pembangunan yang ditawarkan Presiden/Kepala Daerah pada saat kampanye ke dalam rencana pembangunan jangka menengah.

Perencanaan dengan pendekatan teknokratik dilaksanakan dengan menggunakan metode dan kerangka berpikir ilmiah oleh lembaga atau satuan kerja yang secara fungsional bertugas untuk itu. Perencanaan dengan pendekatan partisipatif dilaksanakan dengan melibatkan semua pihak yang berkepentingan

(stakeholders) terhadap pembangunan. Pelibatan mereka adalah untuk

mendapatkan aspirasi dan menciptakan rasa memiliki. Sedangkan pendekatan atas-bawah dan bawah-atas dalam perencanaan dilaksanakan menurut jenjang

(17)

pemerintahan. Rencana hasil proses atas-bawah dan bawah-atas diselaraskan melalui musyawarah yang dilaksanakan baik di tingkat Nasional, Provinsi, Kabupaten/Kota, Kecamatan, dan Desa.

Perencanaan politik mensyaratkan adanya politikus yang visioner. Politikus yang visioner tidak hanya mengejar kepentingan-kepentingan pragmatis yang sesaat. Mereka harus mampu melihat kedepan, baik jangka pendek, jangka menengah maupun jangka panjang. Politikus yang visioner bukanlah politikus yang oportunis.

Perencanaan teknokratis mensyaratkan adanya birokrasi yang “good and

clean”. Good artinya birokrasi yang kompeten di bidangnya. Birokrat harus

mempunyai pengetahuan, sikap dan ketrampilan yang baik di bidangnya. Birokrat harus ditempatkan dengan prinsip “The right man on the right place”. Bukan birokrat yang ditetapkan hanya karena semata-mata yang bersangkutan menjadi anggota Tim Sukses Presiden/Gubernur/Bupati/Walikota saat pemilihan umum dilaksanakan.

Perencanaan partisipatif menyarakat adanya metode partisipatif yang diterapkan secara baik dan memperhatikan aspek keterwakilan seluruh komponen masyarakat yang ada. Bukan suatu proses perencanaan yang direkayasa sedemikian rupa yang seolah-olah partisipatif. Rakyat termasuk didalamnya petani hanya digunakan sebagai alat legitimasi dalam pengambilan keputusan dalam proses perencanaan pembangunan.

Bottom up dan top down planning dirancang untuk menyelaraskan

kepentingan pemerintah di satu sisi dan kepentingan masyarakat di sisi lain. Pada kenyataannya pendulum proses perencanaan di Indonesia lebih condong ke arah

top down planning. Perencanaan dari masyarakat sering dianggap hanya sebagai

daftar keinginan dan bukan daftar kebutuhan, sehingga pemerintah merasa tidak wajib untuk memenuhinya. Tidaklah heran bila orang Jawa sering memelesetkannya bottom up menjadi “mboten up” (tidak pernah naik).

Dalam rangka mamantapkan pengendalian konversi lahan sawah yang berpihak kepada petani pada Kawasan Andalan di Provinsi Jawa Tengah, maka keterpaduan antar pendekatan perencanaan pembangunan perlu ditingkatkan. Diperlukan adanya sinergisitas/keterpaduan antara perencanaan politis,

(18)

perencanaan teknokratis dan perencanaan dalam mengambil keputusan terhadap program-program dan kegiatan-kegiatan yang akan diprioritaskan pendanaannya. Model integrasi kepentingan perencanaan dimaksud dapat dilihat pada gambar berikut ini.

Gambar 35 Bagan integrasi perencanaan politis, teknokratis dan partisipatif Dari gambar di atas diketahui bahwa integrasi perencanaan bukan dalam rangka saling meniadakan satu dengan yang lain. Masing-masing pendepatan perencanaan pembangunan memiliki ruang lingkup yang berbeda. Namun demikian ada sisi-sisi yang bisa diintegrasikan, terutama bila dikaitkan dengan upaya meningkatkan kesejahteraan petani. Model integrasi sistem perencanaan memungkinkan ditemukannya kondisi ” pareto optimum”, dimana pembangunan tetap dapat dilaksanakan dan tidak ada pihak yang merasa dirugikan kepentingannya.

(19)

Perencanaan dan penganggaran bagaikan dua keping mata uang, dimana yang satu dengan yang lainnya saling melengkapi. Pada gambar 36 berikut ini dijelaskan tentang integrasi pendekatan perencanaan politis, teknokratis, partisipatif, top down planning dan bottom up planning, serta hubungannya dengan sistem penganggaran.

CSR Penggalian Gagasan Musrenbang Desa (RPJMDes &RKPDes) Musrenbang Kecamatan Musrenbang Kabupaten Profil Desa/ Podes Pelaksanaan Pertanggungjawaban APBD Kab MDST Pokok  Pikiran  DPRD RPJMD RKPD Forum  SKPD MAD MKP CSR APBD Prov MD Sosialisasi MAD Sosialisasi J A R I N G A S M A R A CSR APBN RPJM RKP Keterangan : Alur Perencanaan Alur Penganggaran

Gambar 36 Sistem perencanaan dan penganggaran terpadu pemantapan pengendalian konversi lahan sawah yang berpihak kepada petani pada Kawasan Andalan

Perencanaan pengendalian konversi lahan sawah yang berpihak kepada petani harus dimulai dari bawah, yaitu dari petani itu sendiri. Adapun tahapan

(20)

perencanaan dari bawah ke atas dalam rangka pengendalian lahan sawah yang berpihak kepada petani meliputi :

1) Perencanaan Desa

Berdasarkan Undang-Undang 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dinyatakan, bahwa Desa atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal-asul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dari definisi tersebut di atas maka diketahui bahwa desa merupakan domain masyarakat bukan pemerintah. Dengan demikian perencanaan di tingkat desa sama dengan perencanaan di tingkat masyarakat.

Perencanaan di Desa dimulai dari penggalian gagasan di tingkat kelompok, termasuk di dalamnya kelompok tani. Di tingkat kelompok inilah masalah-masalah berkenaan dengan konversi lahan sawah dan usahatani padi sawah dibedah. Alat analisa yang dipergunakan bisa bervariasi diantaranya: PRA (participatory rural appraisal), RRA (Rapid Rural Appraisal), kalender musim, bagan kelembagaan. Dari analisa ini ditemukan masalah dan penyebab masalahnya.

Untuk memastikan bahwa seluruh komponen yang ada di dalam masyarakat terlibat di dalam perencanaan di tingkat Desa, maka perlu adanya forum perencanaan khusus perempuan. Pada forum ini petani perempuan yang dalam banyak hal suaranya kurang didengar, dapat menyampaikannya dalam forum ini. Hasil dari musyawarah khusus perempuan perlu dipertimbangkan sebagai usulan prioritas Desa

Dengan mempertimbangkan potensi yang dimiliki oleh petani, maka masalah-masalah yang bisa mereka atasi akan mereka atasi sendiri. Namun untuk masalah-masalah yang tidak bisa mereka atasi sendiri, diusulkan ke tingkat Desa. Desa selanjutnya memasukkan usulan kelompok tersebut sebagai daftar usulan desa bersama dengan usulan kelompok-kelompok lainnya. Dengan mempertimbangkan RPJMDES (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa) dan RKP Desa (Rencana Kerja Pembangunan Desa),

(21)

maka disusunlah rencana tersebut dalam suatu skala prioritas. Dengan memperhitungkan potensi yang dimiliki Desa, maka perencanaan yang dianggap prioritas dan sanggup ditangani sendiri oleh Desa, akan langsung ditangani Desa. Sedangkan yang tidak mampu ditangani di usulkan untuk menjadi usulan Kecamatan. Forum untuk memutuskan status dari perencanaan desa tersebut disebut Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) Desa.

2) Perencanaan Kecamatan

Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2008 tentang Kecamatan dinyatakan, bahwa Kecamatan atau sebutan lain adalah wilayah kerja Camat sebagai Perangkat daerah kabupaten/kota. Jadi berbeda dengan peraturan sebelumnya, kecamatan bukan lagi satu kesatuan wilayah, tetapi wilayah kerja Camat. Dari pengertian ini Kecamatan bukan lagi pemerintahan di atas Desa. Pemerintahan di atas desa adalah Kabupaten/Kota.

Perencanaan Desa yang diajukan oleh Desa ke kecamatan, selanjutnya oleh musyawarah antar desa yang dihadiri oleh unsur BKAD (Badan Kerjasama Antar Desa) dianalisa bersama-sama. Untuk usulan yang dianggap prioritas maka akan ditangani oleh Kecamatan dalam hal ini BKAD dengan memanfaatkan sumber-sumber dana yang dialokasikan di Kecamatan. Sedangkan untuk yang tidak mampu ditangani oleh Kecamatan, selanjutnya diusulkan ke tingkat Kabupaten/Kota. Forum musyawarah di tingkat Kecamatan disebut Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) Kecamatan.

3) Perencanaan Kabupaten/Kota

Berdasarkan Undang-Undang 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dinyatakan, bahwa Pemerintahan daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan DPRD menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pemerintah

(22)

daerah adalah Gubernur, Bupati, atau Walikota, dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah.

Dalam konteks perencanaan pembangunan daerah, Kabupaten/Kota memiliki posisi yang strategis. Pada tingkatan ini secara nyata bertemunya pendekatan perencanaan politis, teknokratis dan partisipatif. Para birokrat menyusunan perencanaan teknokratis mengacu pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) yang selanjutnya diturunkan menjadi Rencana Kerja Pemerintah (RKP) dan Rencana Kerja (Renja) tahunan. Sementara petani melalui perencanaan partisipatif, yang merupakan cerminan dari kebutuhan riil petani. Ketiga pendekatan perencanaan tersebut bertemu dalam forum Musyawarah Kerja Pembangunan (Musrenbang) Kabupaten/Kota.

Pada Musrenbang Kabupaten/Kota diputuskan perencanaan yang menjadi prioritas dan perencanaan yang ditolak. Bagi perencanaan yang menjadi prioritas akan disyahkan dan akan dibiayai melalui RAPBD Kabupaten/Kota. Sedangkan yang tidak mampu ditampung dalam RAPBD Kabupaten/Kota diusulkan untuk dibiayai melalui RAPBD Provinsi.

4) Perencanaan Provinsi

Berdasarkan Undang-Undang 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dinyatakan, bahwa Provinsi adalah penyelenggara asas Dekonsentrasi yaitu pelimpahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepada Gubernur sebagai wakil pemerintah dan/atau kepada instansi vertikal di wilayah tertentu.

Meskipun sebagai wakil pemerintahan di Daerah, dalam konteks perencanaan pembangunan daerah, Provinsi memiliki posisi yang strategis sebagaimana halnya dengan Kabupaten dan Kota. Pada tingkatan ini secara nyata juga bertemu pendekatan perencanaan politis, teknokratis dan partisipatif. Para birokrat menyusunan perencanaan teknokratis mengacu pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) yang selanjutnya diturunkan menjadi Rencana Kerja Pemerintah (RKP) dan Rencana Kerja (Renja) tahunan. Sementara petani melalui perencanaan partisipatif, yang merupakan cerminan

(23)

dari kebutuhan riil petani. Ketiga pendekatan perencanaan tersebut bertemu dalam forum Musyawarah Kerja Pembangunan (Musrenbang) Provinsi.

Pada Musrenbang Provinsi diputuskan perencanaan yang menjadi prioritas dan perencanaan yang ditolak. Bagi perencanaan yang menjadi prioritas akan disyahkan dan akan dibiayai melalui RAPBD Provinsi. Sedangkan yang tidak mampu ditampung dalam RAPBD Provinsi diusulkan untuk dibiayai melalui RAPBN.

5) Perencanaan Nasional/Pusat

Dalam konteks Negara Kesatuan Republik Indonesia, posisi Pemerintah Pusat sangatlah kuat. Kekuatan Pemerintah Pusat pada negara kesatuan jauh melebihi kekuatan Pemerintah Federal pada negara federal. Keputusan perencanaan pembangunan di Indonesia banyak ditentukan oleh Pemerintah Pusat. Melihat kenyataan itu, maka tidaklah mengherankan, bila pembangunan di Indonesia ditentukan oleh para Birokrat pemerintah pusat yang berfikir secara teknokratis. Dalam cara berfikir teknokratis perencanaan partisipatif dari bawah hanya dipandang sebagai ”saran”.

Ruang untuk menerima usulan Daerah dalam forum Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) Nasional sering hanya menjadi acara seremonial belaka. Untuk memastikan pengendalian konversi lahan sawah yang berpihak kepada petani menjadi prioritas nasional, perlu adanya lobby-lobby politik tingkat tinggi. Dalam kondisi ini peran DPRRI menjadi sangat penting.

Usahatani padi sawah memiliki ciri tersendiri. Usahatani padi sawah sangat tergantung dengan musim. Bila menanam padi sawah tidak tepat pada waktunya, maka bisa dipastikan bahwa usahatani tersebut akan gagal. Hal ini penting untuk dipertimbangkan terutama bila dikaitkan dengan sistem penganggaran di Indonesia. Pada umumnya penganggaran di Indonesia direncanakan setahun sebelum turunnya anggaran. Bila pola semacam itu diterapkan dalam pembiayaan usaha tani maka tidak akan banyak bermanfaat.

Pembiaya konversi lahan sawah yang berpihak kepada petani dapat dibagi menjadi 2 (dua), yaitu: 1) pembiayaan yang langsung untuk usahatani padi sawah, dan 2) pembiayan yang tidak langsung untuk membiayai usahatani padi sawah,

(24)

contohnya adalah untuk pembangunan jalan. Untuk penganggaran yang digunakan untuk kegiatan usahatani padi sawah, selayaknya dibuat semudah mungkin dan sedekat mungkin dengan petani. Model block grant seperti yang dilakukan oleh Program Nasional Pemberadayaan Masyarakat Mandiri Perdesaan (PNPM-MP) yang memberikan block grant sebesar 1 – 3 milyar per kecamatan per tahun, bisa digunakan sebagai model pilihan. Apalagi pilihan kegiatan pada PNPM-MP adalah open menu, sangat tergantung dari pilihan masyarakat (open menu). Block

Grant semacam ini bisa dialokasikan di tingkat Desa, dan dikelola sendiri oleh

masyarakat.

Bila kita lihat kembali pada gambar tentang sistem perencanaan dan penganggaran terpadu sebelumnya, maka kita akan melihat bahwa sumber pembiayaan untuk pengendalian konversi lahan sawah yang berpihak kepada petani sangatlah banyak. Sumber pembiayaan bukan hanya yang berasal dari Instansi Pertanian, tetapi juga dari instansi-instansi terkait lainnya. Sumber-sumber penganggaran meliputi :

1) Tingkat Desa, bersumber dari sawadaya masyarakat, LSM, APBDesa, dan sumber lain yang tidak mengikat.

2) Tingkat Kecamatan, bersumber dari PNPM, LSM, CSR, dan sumber lain yang tidak mengikat.

3) Tingkat Kabupaten bersumber dari APBD Kabupaten/Kota, LSM, CSR, dan sumber lain yang tidak mengikat.

4) Tingkat Provinsi bersumber dari APBD Provinsi, LSM, CSR, dan sumber lain yang tidak mengikat.

5) Tingkat Pusat bersumber dari APBN, LSM, CSR, dan sumber lain yang tidak mengikat.

Dari bentuknya penganggaran bisa berbentuk :

1) Dana Sektor, Suatu dana yang diperuntukkan kepada masyarakat, tetapi dikelola oleh sektor sesuai dengan mandat sektor masing-masing.

2) Spesifik Block Grant, adalah suatu block grant yang diberikan oleh sektor atau pihak lainnya kepada masyarakat, tetapi penggunaannya terbatas sesuai dengan mandat yang diberikan oleh sektor masing-masing atau pihak pemberi dana.

(25)

3) Block Grant (Open Menu), adalah block grant yang diberikan kepada masyarakat, dan masyarakat bebas mengelolanya sesuai dengan kebutuhan masyarakat itu sendiri.

4) Sawadaya Murni, adalah dana milik petani yang dikelola oleh petani sendiri. Untuk memantapkan pengendalian konversi lahan sawah yang berpihak kepada petani pada Kawasan Andalan di Provinsi Jawa Tengah perlu memobilisasi berbagai anggaran yang bersumber dari berbagai pemangku kepentingan. Agar tidak terjadi overlaping, maka keterpaduan harus dilaksanakan sejak tahap perencanaan, pelaksanaan, pengendalian, pengawasan dan pelestarian.

8.6. Pengorganisasian

Mengingat luasnya ruang lingkup pengendalian konversi lahan sawah, maka didalam pengorganisasiannya pun perlu medlibatkan berbagai pemangku kepentingan, terutama Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Pembagian peran yang baik akan mempermudah masing-masing instansi untuk menganggarkan sesuai dengan alokasi anggaran pada masing-masing instansi. Pada tabel berikut digambarkan tentang peran masing-masing isntansi sesuai dengan program dan kegiatannya.

Tabel 38 Pembagian program dan kegiatan pemantapan pengendalian konversi lahan sawah berdasarkan sektor utamanya.

TINGKAT PROGRAM KEGIATAN SEKTOR

UTAMA

PUSAT Program Jaminan

Pemasaran Beras

1. Penyelenggaraan asuransi petani

2. Peningkatan aksesbilitas petani

3. Revitalisasi peran swasta dalam pemasaran beras 4. Tata niaga beras

Asuransi

Pekerjaan Umum Perdagangan Bulog Program Pengelolaan

Air Bagi Usaha Tani Sawah

1. Pembangunan/rehabilitasi irigasi teknis

2. Pembangunan/rehabilitasi irigasi setengah teknis 3. Pembangunan/rehabilitasi irigasi sederhana 4. Pembangunan/rehabilitasi irigasi desa Pekerjaan Umum Pekerjaan Umum Pekerjaan Umum Pekerjaan Umum

(26)

5. Peningkatan manajemen pengelolaan air

6. Peningkatan teknologi penghematan air bagi usaha tani sawah

Dalam Negeri Pertanian Program Pengadaan

Saprodi Murah dan Mudah

1. Revitalisasi sistem produksi pupuk

2. Revitalisasi sistem produksi bibit

3. Revitalisasi sistem produksi obat-obatan pertanian 4. Revitalisasi sistem

pemasaran saprodi 5. Penyelenggaraan subsidi

saprodi bagi usaha tani sawah 6. Identifikasi poksar Industri Industri Industri Perdagangan Pertanian Dalam Negeri Program Pembebasan PBB Bagi Lahan Sawah 1. Pengelolaan sistem pembebasan PBB bagi lahan sawah 2. Identifikasi poksar Keuangan Dalam Negeri Program Konsolidasi Manajemen Lahan Sawah 1. Konsolidasi manajemen lahan sawah 2. Identifikasi poksar Dalam Negeri Dalam Negeri Program Pemberdayaan Masyarakat dalam Pengendalian Konversi Lahan Sawah 1. Pemberdayaan masyarakat dalam pengendalian konversi lahan sawah 2. Identifikasi poksar 3. Pemberian cash transfer

bagi kelompok tani (open menu) 4. Pendampingan Dalam Negeri Dalam Negeri Keuangan Dalam Negeri Program Peningkatan Pengetahuan dan Ketrampilan Usaha Non Sawah bagi Petani 1. Identifikasi kebutuhan pelatihan 2. Penyusunan dan pengembangan modul pelatihan 3. Pelaksanaan pelatihan 4. Monitoring dan evalusi

pasca trainning 5. Pelatihan penyegaran Tenaga Kerja Tenaga Kerja Tenaga Kerja Tenaga Kerja Tenaga Kerja 6. Program Diversifikasi Pangan Non Beras

1. Penyuluhan diversifikasi pangan non beras 2. Kegiatan inovatif

diversifikasi pangan non beras Pertanian Pertanian Program Peningkatan Kapasitas Pemda Dalam Pengendalian Konversi Lahan Sawah 1. Sosialisasi 2. Pembentukan tim koordinasi

3. Monitoring dan evaluasi 4. Pemantapan perencanaan

Dalam Negeri Dalam Negeri Dalam Negeri Dalam Negeri

(27)

partisipatif 5. Pemantapan perencnaan teknokratis 6. Pemantapan perencanaan politis 7. Pemantapan pengawasan Bappenas DPRRI BPKP Program Peningkatan Peran Perguruan Tinggi dalam Pengendalian Konversi Lahan Sawah

1. Peningkatan bantuan teknis 2. Peningkatan penelitian Pendidikan Nasional Pendidikan Nasional Program Peningkatan Peran LSM dalam Advokasi Pengendalian Konversi Lahan Sawah 1. Peningkatan Kemitraan Pemerintah dan LSM 2. Advokasi Pengendalian

Konversi Lahan sawah

Dalam Negeri Dalam Negeri

DAERAH Program Jaminan

Pemasaran Beras

1. Penyelenggaraan asuransi petani

2. Peningkatan aksesbilitas petani

3. Revitalisasi peran swasta dalam pemasaran beras 4. Tata niaga Beras

Asuransi Dinas PU

Dinas Perdagangan Bulog

Program Pengelolaan Air Bagi Usaha Tani Sawah

1. Pembangunan/rehabilitasi irigasi teknis

2. Pembangunan/rehabilitasi irigasi setengah teknis 3. Pembangunan/rehabilitasi irigasi sederhana 4. Pembangunan/rehabilitasi irigasi desa 5. Peningkatan manajemen pengelolaan air 6. Peningkatan teknologi penghematan air bagi usaha tani sawah Dinas PU Dinas PU Dinas PU BPMD BPMD Dinas Pertanian Program Pengadaan

Saprodi Murah dan Mudah

1. Revitalisasi sistem produksi pupuk

2. Revitalisasi sistem produksi bibit

3. Revitalisasi sistem produksi obat-obatan pertanian 4. Revitalisasi sistem

pemasaran saprodi 5. Penyelenggaraan subsidi

saprodi bagi usaha tani sawah 6. Identifikasi poksar Dinas Industri Dinas Industri Dinas Industri Dinas Perdagangan Dinas Pertanian BPMD Program Pembebasan PBB Bagi Lahan 1. Pengelolaan sistem pembebasan PBB bagi Pajak

(28)

Sawah lahan sawah 2. Identifikasi poksar BPMD Program Konsolidasi Manajemen Lahan Sawah 1. Konsolidasi manajemen lahan sawah 2. Identifikasi poksar BPMD BPMD Program Pemberdayaan Masyarakat dalam Pengendalian Konversi Lahan Sawah 1. Pemberdayaan masyarakat dalam pengendalian konversi lahan sawah 2. Identifikasi Poksar 3. Pemberian cash transfer

bagi kelompok tani (open menu) 4. Pendampingan BPMD BPMD BPMD BPMD Program Peningkatan Pengetahuan dan Ketrampilan Usaha Non Sawah bagi Petani 1. Identifikasi kebutuhan pelatihan 2. Penyusunan dan pengembangan modul pelatihan 3. Pelaksanaan pelatihan 4. Monitoring dan evalusi

pasca trainning 5. Pelatihan penyegaran Din.Tenaga Kerja Din.Tenaga Kerja Din.Tenaga Kerja Din.Tenaga Kerja Din.Tenaga Kerja Program Diversifikasi

Pangan Non Beras

1. Penyuluhan diversifikasi pangan non beras 2. Kegiatan inovatif

diversifikasi pangan non beras Dinas Pertanian Dinas Pertanian Program Peningkatan Kapasitas Pemda Dalam Pengendalian Konversi Lahan Sawah 1. Sosialisasi 2. Pembentukan Tim Koordinasi

3. Monitoring dan evaluasi 4. Pemantapan Perencanaan Partisipatif 5. Pemantapan Perencnaan Teknokratis 6. Pemantapan Perencanaan politis 7. Pemantapan Pengawasan BPMD BPMD BPMD BPMD Bappeda DPRD Inspektorat Program Peningkatan Peran Perguruan Tinggi dalam Pengendalian Konversi Lahan Sawah

1. Peningkatan bantuan teknis 2. Peningkatan penelitian Perguruan Tinggi Perguruan Tinggi Program Peningkatan Peran LSM dalam Advokasi Pengendalian Konversi Lahan Sawah 1. Peningkatan Kemitraan Pemerintah dan LSM 2. Advokasi Pengendalian

Konversi Lahan sawah

BPMD BPMD

(29)

Karena melibatkan banyak instansi maka sebaiknya di setiap tingkatan pemerintahan dibentuk Tim Koordinasi. Tim Koordinasi dipimpin oleh Kementerian Dalam Negeri di tingkat Pusat. Mengapa Kementerian Dalam Negeri, karena berdasarkan pasal 222 ayat 1 Undang-Undang 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dikatakan :

”Pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan pemerintahan daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 217 dan Pasal 218 secara nasional dikoordinasikan oleh Menteri Dalam Negeri”.

Sementara itu koordinator pengendalian konversi lahan sawah di Daerah sebaiknya dilakukan oleh BPMD (Badan Pemberdayan Masyarakat dan Desa), karena fungsi dan kedudukannya diatur dalam PP 41 tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah, sebagai lembaga teknis daerah yang mendukung tugas Kepala Daerah. Memang bila dilihat substansinya konversi lahan sawah berkaitan dengan urusan wajib daerah sebagaimana diatur dalam PP 38 tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota (tata ruang serta pertanian dan ketahanan pangan). Namun karena di dalam pelaksanaannya melibatkan PU, Nakertrans, Bulog, dan lainnya, maka sebaiknya koordinasi dilakukan oleh suatu Badan yang memiliki tanggung jawab sebagai koordinator teknis pemberdayaan masyarakat dan desa.

8.7. Pengawasan dan Pengendalian

Pengawasan dan pengendalian terhadap pengendalian konversi lahan sawah dilakukan secara struktural dan fungsional. Secara struktural dilakukan oleh berbagai instansi pengawas, yaitu: Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Badan Pemeriksa Keuangan Pemerintah (BPK), Inspektorat Jenderal Kementerian, Inspektorat Provinsi dan Inspektorat Kabupaten. Sedangkan pengawasan fungsional dilakukan oleh pers, LSM, dan masyarakat.

Pengawasan dan pengendalian oleh publik relatif efektif dibandingkan pengawaan secara struktural. Di bawah ini gambar tentang mekanisme

(30)

pengawasan dan pengendalian terpadu antara publik dan pemerintah dalam bentuk penanganan pengaduan oleh masyarakat.

Masyarakat Media SMS Laporan Supervisi/  Monitoring Fasilitator/  Penyuluh Email A N A L I S A Penyelesaian secara  berjenjang (dari pelaku desa

hingga pusat) Kategorisasi Peyimpangan Prinsip Penyimpangan Dana Intervensi Negatif Force Majeure

Gambar 37 Mekanisme penanganan pengaduan masyarakat

Dari gambar tersebut di atas di ketahui, bila masyarakat dilibatkan secara luas, melalui berbagai media yang ada, maka pengendalian konversi lahan sawah yang berpihak kepada petani akan menjadi lebih efektif dan efisien.

Gambar

Gambar 34  Desain pemantapan pengendalian konversi lahan sawah yang  berpihak kepada petani pada Kawasan Andalan Provinsi Jawa  Tengah Konversi Lahan Sawah  PDRB Sektor Pertanian Pertumbuhan Ekonomi Insentif Pajak Subsidi Petani Saprodi  Murah+Mudah Pemb I
Gambar  35 Bagan integrasi perencanaan politis, teknokratis dan partisipatif
Gambar 36 Sistem perencanaan dan penganggaran terpadu pemantapan  pengendalian konversi lahan sawah yang berpihak kepada petani  pada Kawasan Andalan
Tabel 38   Pembagian program dan kegiatan pemantapan pengendalian konversi  lahan sawah berdasarkan sektor utamanya
+2

Referensi

Dokumen terkait

BAB IV, hasil penelitian dan analisis tentang peran Balai Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) dalam mengawasi peredaran produk kosmetik berbahaya di Kota Palangka

vittata terlihat pada ukuran panjang dan lebar dari tangkai daun, helaian daun, bagian terlebar helaian daun, jumlah anak daun, anak daun paling ujung, anak daun subur

Isolasi dan aktivitas antibakteri jamur endofit pada mangrove Sonneratia alba dari Tanjung Carat Kabupaten Banyuasin Sumatera Selatan.. Jurnal Penelitian Sains

Medan magnet yang sebelumnya adalah magnet permanen diganti menjadi elektromagnet, sehingga kuat medan magnet bisa diatur oleh besarnya arus penguatan medan magnet. Belitan

Target luaran yang akan dicapai adalah Meningkatkan kepedulian dan empati mahasiswa kepada permasalahan masyarakat yang berada di Desa Salemba, Kecamatan Ujung Loe,

Salmonella dapat diisolasi dari feses dengan angka prevalensi 1%, sedangkan dari feses ayam sekitar 36,15%.. 8

Dalam hasil penelitian yang dilakukan oleh Grant dan O'Donohoe (2007, dikutip dalam Tsang, Ho, dan Liang, 2004), ditemukan bahwa potensi berisiko yang terkait dengan menerima

jauh lebih besar dibandingkan dengan kandungan flavonoid pada sumber alami lainnya. Propolis sudah dikenal oleh masyarakat luas karena manfaatnya dalam kesehatan,