• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PEKERJA PERHOTELAN DALAM HAL PENGUPAHAN YANG TIDAK SESUAI DENGAN PENERAPAN UPAH MINIMUM KABUPATEN DI KABUPATEN BANYUMAS - repository perpustakaan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PEKERJA PERHOTELAN DALAM HAL PENGUPAHAN YANG TIDAK SESUAI DENGAN PENERAPAN UPAH MINIMUM KABUPATEN DI KABUPATEN BANYUMAS - repository perpustakaan"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

A. Latar Belakang

Dalam pelaksanaan pembangunan, tenaga kerja mempunyai peranan dan arti

yang sangat penting sebagai suatu unsur penunjang untuk keberhasilan

pembangunan nasional (Sendjung H Manulang, 2001: 129). Di mana Setiap

pekerja atau buruh berhak memperoleh penghasilan yang memenuhi penghidupan

yang layak bagi kemanusiaan, yaitu jumlah penerimaan atau pendapatan pekerja

atau buruh dari hasil pekerjaannya sehingga memenuhi kebutuhan hidup pekerja

atau buruh dan keluarganya secara wajar yang meliputi makanan dan minuman,

sandang, pangan, pendidikan, kesehatan, rekreasi, dan jaminan hari tua

(F.X.Djumialdji, 2005: 29).

Bagi buruh/pekerja yang terpenting adalah upah riil (banyaknya barang yang dapat dibeli dengan jumlah uang itu), karena dengan upahnya itu harus mendapatkan cukup barang yang diperlukan untuk kehidupannya bersama dengan

keluarganya. Kenaikan upah nominal (jumlah yang berupa uang) tidak mempunyai arti baginya, jika kenaikan upah itu disertai dengan atau disusul oleh

kenaikan harga keperluan hidup dalam arti kata seluas-luasnya. Turunnya harga

barang keperluan hidup karena misalnya bertambahnya produksi barang itu, akan

merupakan kenaikan upah bagi buruh walaupun jumlah uang yang ia terima dari

(2)

keperluan hidup, selalu berarti turunnya upah bagi buruh (Iman Soepomo, 2003:

179).

Berdasarkan wawancara dengan Ibu Maya (Kepala Seksi Urusan Bagian

Hubungan dan Syarat Kerja Dinsosnakertrans Kab.Banyumas) menjadi suatu hal

yang ironis manakala hubungan antara pengusaha dan buruh/pekerja dipandang

dari dua sisi yang berbeda, di mana salah satu sisi dari pengusaha hanya mengejar

target keuntungan bagi perusahaanya atau usaha yang dijalankannya dan di sisi

lain, buruh/pekerja menempatkan dirinya dalam suatu kenyataan bahwa mereka

bekerja hanya untuk mendapatkan gaji demi kelangsungan hidupnya saja. Dengan

kata lain pengusaha tetap statis pada tujuannya dalam mendapatkan laba, dan

pekerja atau buruh berada pada posisi di mana mereka harus terus bekerja untuk

mendapat sesuatu yang mungkin tidak atau kurang setimpal dengan apa yang

mereka kerjakan.

Jika hubungan antara buruh/pekerja dengan majikan ini tetap diserahkan

sepenuhnya kepada para pihak (buruh/pekerja dan majikan), maka tujuan hukum

perburuhan untuk menciptakan keadilan sosial di bidang ketenagakerjaan akan

sangat sulit tercapai, karena pihak yang kuat akan selalu ingin menguasai pihak

yang lemah (homo homoni lupus). Majikan sebagai pihak yang kuat secara sosial ekonomi akan selalu menekan pihak buruh yang berada pada posisi yang

lemah/rendah. Atas dasar itulah, pemerintah secara berangsur-angsur turut serta

dalam menangani masalah perburuhan melalui berbagai peraturan

(3)

dimaksudkan untuk memberikan kepastian hukum terhadap hak dan kewajiban

pengusaha maupun buruh/pekerja (Lalu Husni, 2003: 11).

Selanjutnya hubungan hukum yang timbul antara pekerja dengan pengusaha

pada hakikatnya bersifat timpang. Hal ini disebabkan oleh karena hak

buruh/pekerja jika dibandingkan dengan hak pengusaha, maka hak pengusaha

lebih besar. Sebaliknya kewajiban buruh/pekerja lebih besar jika dibandingkan

kewajiban pengusaha. Dilihat dari peristiwa hukum yang terjadi dalam hubungan

kerja maka dapat dibedakan :

1. Peristiwa Hukum dalam arti Perilaku Hukum;

2. Peristiwa Hukum dalam arti Kejadian Hukum;

3. Peristiwa Hukum dalam arti Keadaan Hukum (Iman Sjahputra Tunggal,

2013: 16).

Peran pemerintah tertuang dengan adanya peraturan-peraturan yang

melindungi kepentingan kaum buruh/pekerja dan pengawasan ketenagakerjaan

khususnya mengenai pemberian upah. Produk-produk pemerintah yang

dikeluarkan dalam perlindungan tersebut antara lain :

1. Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28D ayat (2) : ”Setiap orang berhak

untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak

dalam hubungan kerja”;

2. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 tahun 2003 tentang

Ketenagakerjaan;

3. Peraturan Menteri Tenaga kerja Nomor Per-01/Men/1999 tentang Upah

(4)

Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor Kep-226/Men/2000

tentang Perubahan Pasal 1, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 8, Pasal 11, Pasal 20

dan Pasal 21 Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor Per-01/Men/1999

tentang Upah Minimum.

Menurut Pasal 6 angka (1) Peraturan Menteri Nomor 01 Tahun 1999 tentang

Upah Minimum, Penetapan suatu upah minimun itu sendiri didasarkan pada :

1. Kebutuhan Hidup Layak (KHL);

2. Indeks Harga Konsumen;

3. Kemampuan, Perkembangan dan Kelangsungan Perusahaan;

4. Upah pada umumnya yang berlaku di daerah tertentu dan antar daerah;

5. Kondisi Pasar Kerja;

6. Tingkat Perkembangan ekonomi dan pendapatan per kapita.

Salah satu bentuk Upah Minimum adalah Upah Minimum Kabupaten/Kota

(UMK). Pengertian Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) berdasarkan

Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor

Kep-226/Men/2000 tentang Perubahan Pasal 1, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 8, Pasal 11,

Pasal 20 dan Pasal 21 Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor Per-01/Men/1999

tentang Upah Minimum yaitu Upah Minimum yang berlaku di daerah atau kota.

Untuk provinsi Jawa Tengah, upah minimum diatur dalam Surat Keputusan

Gubernur Jawa Tengah Nomor 561.4./73/2011 tentang Upah Minimum Pada 35

(tiga puluh lima) Kabupaten/Kota di provinsi Jawa Tengah tahun 2012.

Berdasarkan Surat Keputusan tersebut, peringkat Upah Minimum Kabupaten/Kota

(5)

besarnya Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) untuk Kabupaten Banyumas

sendiri berada pada kisaran Rp. 795,000,00- (tujuh ratus sembilan puluh lima ribu

rupiah) dan Kabupaten Banyumas menempati peringkat Ke-24 dari 35 Kota di

Provinsi Jawa Tengah. Di sisi lain sesuai dengan data survey Kebutuhan Hidup

Layak (KHL) tanggal rekap 6 september 2012, yang diperoleh dari Dinas Sosial

Tenaga Kerja dan Transmigrasi, kebutuhan hidup layak bagi pekerja pria/wanita

lajang dalam satu bulan saja mencapai Rp. 958,717,36- (sembilan ratus lima puluh

delapan ribu tujuh ratus tujuh belas koma tiga puluh enam rupiah). Manakala

besar Upah Minimum Kabupaten saja tidak sesuai dengan Kebutuhan Hidup

Layak pekerja pria/wanita lajang di Kabupaten Banyumas, bagaimana kelayakan

hidup pekerja jika upah yang diberikan pengusaha terhadap pekerja tidak sesuai

dengan Upah Minimum Kabupaten (UMK) itu sendiri.

Ketentuan tentang pemberian upah minimum berdasarkan beberapa

peraturan perundang-undangan yang telah disebut di atas, sudah tentu berkaitan

dengan atau berlaku pula pada setiap sektor usaha yang menggunakan jasa pekerja

di Kabupaten Banyumas. Sektor usaha di Kabupaten Banyumas yang di dalamnya

menggunakan jasa pekerja di antaranya adalah sektor usaha perhotelan. Usaha

perhotelan di Kabupaten Banyumas sesuai dengan data Dinas Pemuda Olah Raga

Budaya dan Pariwisata Kabupaten Banyumas untuk tahun 2012 tercatat ada

sekitar 173 hotel di mana terdiri dari berbagai klasifikasi hotel yang diperoleh,

klasifikasi tersebut antara lain hotel kelas melati, melati 1, melati 2, melat i 3,

bintang *, bintang **, bintang ***,dan bintang ****. Perkembangan sektor usaha

(6)

mengalami peningkatan dimana banyak hotel berbintang yang masuk dan banyak

yang merenofasi bentuk dan fasilitas hotel berkelas modern. Hal itu

mengakibatkan kurangnya daya saing bagi hotel-hotel yang masih berkelas biasa

atau kelas (melati) dengan hal itu sudah tentu akan berdampak dari segi

pendapatan pengusaha hotel yang masih berkelas biasa (melati) dalam hal

pendapatan perusahaan dan berujung pada upah yang diberikan pada

buruh/pekerjanya. Oleh karena itu, pengusaha hotel sebagai pemberi kerja

tentunya dalam memberikan upah disesuaikan dengan peraturan-peraturan dan

keputusan yang telah ditetapkan dan kesepakatan diantara kedua belah pihak yaitu

pekerja dan pemilik perusahaan.

Pelaksanaan Upah Minimum Kabupaten terhadap pekerja pada sektor usaha

perhotelan di Kabupaten Banyumas sengaja dipilih sebagai fokus penelitian

karena berdasarkan pengamatan penulis, perlindungan hukum terhadap pekerja

dalam bidang pengupahan pada sektor ini jarang mendapat perhatian.

Berdasarkan hal tersebut di atas peneliti terfokus dan termotifasi untuk

meneliti dan menulis penelitian hukum yang berjudul:

“PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PEKERJA PERHOTELAN DALAM

(7)

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, peneliti memfokuskan arah

penelitian dengan rumusan permasalahan sebagai berikut :

1. Bagaimana penerapan Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) pada sektor

usaha perhotelan di Kabupaten Banyumas?

2. Bagaimana hubungan antara penerapan Upah Minimum Kabupaten/Kota

(UMK) pada sektor usaha perhotelan di Kabupaten Banyumas dengan

perlindungan hukum terhadap pekerja dalam hal pengupahan?

C.Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui penerapan Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) pada

sektor usaha perhotelan di Kabupaten Banyumas.

2. Untuk mengetahui hubungan antara penerapan Upah Minimum

Kabupaten/Kota (UMK) pada sektor usaha perhotelan di Kabupaten Banyumas

dengan perlindungan hukum terhadap pekerja dalam bidang pengupahan.

D.Manfaat Penelitian

Manfaat yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah untuk:

1. Manfaat Teoritis

Manfaat secara khusus yaitu merupakan suatu studi di bidang hukum

ketenagakerjaan dimana penulis berharap penulisan ini dapat memberikan

gambaran lebih jelas tentang bagaimana penerapan Upah Minimum Kabupaten

(8)

perhotelan, penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi peneliti berikutnya,

serta masyarakat pada khususnya yang berkecimpung di bidang perhotelan.

2. Manfaat Praktis

Menambah pengetahuan di bidang hukum, khususnya hukum perburuhan atau

ketenagakerjaan serta mengetahui secara langsung masalah-masalah yang

terjadi yang berkaitan dengan pengupahan pekerja dalam bidang

Referensi

Dokumen terkait

Dari hasil kuesioner ini, baik pekerja itu lajang, sudah menikah ataupun seluruh jumlah pekerja yang menerima upah sesuai Upah Minimum Kabupaten/Kota, dalam memenuhi kebutuhan

hukum terhadap upah minimum propinsi bagi pekerja (Bakpia Pathuk. Ayu Yogyakarta) sesuai peraturan perundang-undangan

Untuk mengetahui pengawasan yang dilakukan Dinas Sosial Tenaga Kerja. dan Transmigrasi terhadap pemberian Upah Minimum Kabupaten

Minimum Kabupaten (UMK) yang dilakukan oleh pemerintah Kabupaten Lamandau dan bagaimana peran pemerintah dalam Pelaksanaan Upah Minimum Kabupaten(UMK) Di Kabupaten

Dalam hal ini yang dimaksud adalah mengenai pengaturan tentang Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) tenaga kerja dan penegakan hukumnya apabila perusahaan membayar

Tidak hanya itu, penyimpangan-penyimpangan lain pun juga sering dilakukan oleh perusahaan, seperti upah pekerja outsourcing yang sering di bawah Upah Minimum

ANALISIS PENGARUH JUMLAH PERUSAHAAN INDUSTRI, UPAH MINIMUM KABUPATEN/KOTA (UMK), TINGKAT PENDIDIKAN, DAN JUMLAH PENDUDUK TERHADAP PENYERAPAN TENAGA KERJA DI KABUPATEN DAN

Dalam melakukan Pengawasan Upah Minimum Kabupaten,Pengawas harus lebih tegas kepada Perusahaan yang membayar upah di bawah UMK, Dinas Tenaga Kerja harus memberikan