BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Indonesia adalah negara hukum sebagaimana yang tercantum dalam
Pasal 1 ayat (3) Undang-undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 yang
menyatakan bahwa Negara Indonesia adalah Negara hukum. Negara Republik
Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum (rechtstaat), tidak berdasarkan kekuasaan belaka (machtstaat).
Pemenuhan kebutuhan masyarakat hanya dapat dipenuhi oleh Negara
khususnya Pemerintah sebagaimana disebutkan dalam alinea ke empat
Pembukaan Undang-undang Dasar Republik Indonesia 1945 yang menyatakan :
Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan kehidupan dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Berdasarkan Undang-undang No. 13 tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan bahwa pembangunan nasional dilaksanakan dalam rangka
pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan masyarakat
Indonesia seluruhnya untuk mewujudkan masyarakat yang sejahtera, adil,
makmur, yang merata, baik materiil maupun spiritual berdasarkan Pancasila dan
Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Bahwa
perlindungan terhadap tenaga kerja dimaksudkan untuk menjamin hak-hak
dan keluarganya dengan tetap memperhatikan perkembangan kemajuan dunia
usaha.
Menurut Pasal 90 ayat (1) UU No. 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan (“UU Ketenagakerjaan”) pengusaha dilarang membayar upah
lebih rendah dari upah minimum, baik upah minimum (UM) berdasarkan
wilayah propinsi atau kabupaten kota (yang sering disebut Upah Minimum
Regional/UMR) maupun upah minimum berdasarkan sektor pada wilayah
propinsi atau kabupaten/kota (Upah Minimum Sektoral, UMS).
Prinsipnya besaran upah minimum yang ditetapkan oleh Gubernur
(UMR/UMS) untuk suatu periode tertentu bukanlah merupakan dasar
pembayaran upah untuk seluruh pekerja/buruh di perusahaan yang
bersangkutan, akan tetapi hanyalah merupakan standar upah untuk
pekerja/buruh tertentu, yakni:
a. Pada level jabatan atau pekerjaan (job) terendah (vide Pasal 92 ayat [1] UU
Ketenagakerjaan jo Pasal 1 angka 2 Kepmenaker No. Kep-49/Men/IV/2003
mengenai adanya struktur dan skala upah yang berjenjang);
b. Masa kerja 0 tahun atau masa kerja tahun pertama (vide Pasal 14 ayat [2]
Permenaker Nomor Per-01/Men/1999); dan/atau
c. Masih lajang (vide Pasal 1 angka 1 Permenakertrans Nomor 13 Tahun 2012).
Dengan demikian, bagi pekerja/buruh yang level jabatannya lebih tinggi
(di atas job yang terendah), masa kerjanya lebih dari 1 (satu) tahun, dan/atau
telah mempunyai tanggungan (secara resmi), maka besaran upahnya tentu
struktur dan skala upah (vide Pasal 1 angka 2 dan 3 Kepmenaker No.
Kep-49/Men/IV/2003).
Dewasa ini masih banyak sekali masalah yang berkaitan dengan
ketenagakerjaan, sebagian masalah-masalah tersebut yaitu tentang pelanggaran
terhadap peraturan ketenagakerjaan, yang menjadi permasalahan yaitu dari
sistem pengupahan dan imbalan kerja yang tidak layak, seperti penetapan upah
masih di bawah standar kebutuhan hidup minimum. Pembangunan
ketenagakerjaan merupakan salah satu dari serangkaian upaya pembangunan
sumber daya manusia yang diarahkan kepada peningkatan martabat, harkat, dan
kemampuan serta kepercayaan pada diri sendiri. Pembangunan ketenagakerjaan
merupakan suatu upaya yang bersifat menyeluruh di semua sektor dan daerah
yang ditujukan dengan adanya perluasan lapangan kerja dan pemerataan
kesempatan kerja, peningkatan mutu dan kemampuan, serta memberi
perlindungan terhadap tenaga kerja.
Adapun wawancara yang dilakukan oleh penulis pada hari Kamis, 24
Mei 2016 dengan Pengawas Tenaga Kerja dan Penyidik Pegawai Negeri Sipil
Dinas Sosial Tenaga Kerja da Transmigrasi, Angkat Lujeng mengatakan bahwa
dari tahun ke tahun, masih banyak perusahaan di Purbalingga yang menggaji
karyawannya tidak sesuai ketentuan. Setiap tahun masih terdapat 30% dari 64
perusahaan yang diawasi Dinas Sosial Tenaga Kerja dan Transmigrasi yang
tidak menaati Upah Minimum Kabupaten (UMK). Angkat Lujeng menjelaskan,
sebenarnya secara jumlah total sudah sesuai dengan UMK, bahkan lebih. Secara
karyawan seringkali mengartikan UMK adalah gaji pokok saja, sedangkan
perusahaan juga sering salah dengan menganggap UMK adalah take home pay. Padahal Upah Minimum Kabupaten (UMK) adalah gaji pokok ditambah
tunjangan-tunjangan tetap. Sebenarnya, UMK hanya meliputi dua item saja,
yakni gaji pokok dan tunjangan tetap, artinya kedua item itu ketika dijumlahkan
harus sesuai dengan Upah Minimum Kabupaten (UMK). Namun, banyak
perusahaan yang memasukkan banyak item untuk mencapai nominal UMK.
Berdasarkan survei pasar yang dilakukan oleh BPS, SPSI, APINDO dan
Dinsosnakertrans Kabupaten Purbalingga yang bertujuan untuk mengetahui
kebutuhan pokok pekerja/buruh, lembaga-lembaga tersebut akan mencari
jumlah nominal kebutuhan pokok dan kemudian akan direkomendasikan kepada
Gubernur oleh Bupati mengenai nominal UMK. Gubernur akan menetapkan
surat keputusan, misal pada tahun 2016 ditetapkan sebesar Rp 1.377.500,
sehingga bisa disimpulkan dari 415 perusahaan di Purbalingga siap membayar
Upah Minimum Kabupaten (UMK) sesuai ketetapan.
Perusahaan yang belum menetapkan UMK diperingatkan dengan Nota
Peringatan yang isinya bahwa perusahaan tersebut tidak membayar sebagian
karyawannya sesuai ketentuan yang berlaku, kemudian diberikan tenggang
waktu selama 14 hari apabila tidak melaksanakan akan dikenakan sanksi pidana
sesuai dengan UU No. 13 tahun 2003 berupa pidana penjara paling singkat 1
(satu) tahun dan paling lama selama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling
sedikit Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp
UU ketenagakerjaan tahun 2003 telah menjamin hak-hak yang
selayaknya diterima oleh buruh, tetapi dengan adanya Pasal 64 yaitu
“Perusahaan dapat menyerahkan sebagaian pelaksanaan pekerjaan kepada
perusahaan lainnya melalui perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyediaan
jasa pekerja/buruh yang dibuat secara tertulis”di dalam UU
Ketenagakerjaan yang melegalkan perekrutan buruh dengan sistemoutsourcing, perusahaan memanfaatkan sistem ini untuk mendapatkan biaya tanaga
kerja/buruh yang murah. Sistem outsourcing sangat merugikan para buruh kontrak dan melanggar hak asasi mereka. Pelanggaran ini diantaranya, terdapat
diskriminasi atau perlakuan yang berbeda antara buruh tetap dengan buruh
kontrak buruh tetap mendapatkan tunjangan, pesangon dan cuti, sementara
buruh kontrak tidak bisa mendapatkannya. buruh kontrak tidak bisa mengikuti
serikat pekerja, karena status mereka yang hanya pekerja tambahan dari luar.
para buruh terpaksa bekerja dengan status buruh kontrak walau dengan upah
yang sedikit, karena daya tawar mereka yang lemah tanpa adanya serikat
pekerja.
(http://www.kompasiana.com/andinasrullah/pelanggaran-ham-terhadap-buruh-dengan-adanya-sistem-outsourching_54fffc99a33311946f50f84a).
Pengupahan sendiri pada tahun 2015 telah diatur secara khusus dalam PP
No.78 Tahun 2015 tentang Pengupahan. PP Pengupahan tersebut berpotensi
merugikan buruh karena mendukung praktik upah murah. Di dalam PP
No.78/2015, Kebutuhan Hidup Layak (KHL) yang seharusnya menjadi
itu Dewan Pengupahan yang terdiri dari berbagai elemen keterwakilan dan
menjadi wadah survey pasar sebelum penetapan upah minimum tahunan
otomatis juga menjadi tidak optimal. Akibatnya jelas, istilah upah minimum
lebih dikenal dibandingkan dengan upah layak. Upah murah semakin
dilanggengkan demi keuntungan maksimal
(http://www.rumahdiahpitaloka.org/catatan-hari-buruh-2016-mea-dan-permasalahan-ketenagakerjaan/).
PP No 78 tahun 2015 tentang Pengupahan ini bertentangan dengan UU
No 13 Tahun 2003. Misalnya dalam PP pengupahan disebutkan bagi pengusaha
yang tak membayar upah sesuai dengan ketentuan yang berlaku, pemerintah
hanya memberikan sanksi adiministratif. bertentangan dengan UU No 13 tahun
2003 tentang Ketenagakerjaan dimana dalam UU itu disebutkan sangsi bagi
perusahaan yang tidak membayar upah buruh akan dipidana.
Pekerja/buruh berhak memperoleh penghasilan yang memenuhi
penghidupan yang layak bagi kemanusiaan, yaitu jumlah penerimaan atau
pendapatan pekerja/buruh dari hasil pekerjaannya sehingga memenuhi
kebutuhan hidup pekerja/buruh dan keluarganya secara wajar meliputi makanan
dan minuman, sandang, pangan, pendidikan, kesehatan, rekreasi, dan jaminan
hari tua. Oleh karena itu pengusaha dilarang membayar upah lebih rendah dari
upah minimum. Bagi pengusaha yang tidak membayar upah minimum dapat
dilakukan penangguhan. Penangguhan pelaksanaan upah minimum bagi
perusahaan yang tidak mampu dimaksudkan untuk membebaskan perusahaan
waktu tertentu. Apabila penangguhan berakhir, perusahaan wajib melaksanakan
upah minimum yang berlaku pada saat itu, tetapi tidak wajib membayar
pemenuhan ketentuan upah minimum yang berlaku pada waktu diberikan
penagguhan (Djumialdi, 2008: 29).
Ironisnya dalam pasar bebas, negara maju menekan
negara-negara berkembang, untuk memperhatikan hak-hak buruh, melalui pengkaitan
standar perburuhan dengan perdagangan intemasional, yang dikenal dengan
istilah Social Clause.4 Menurut negara-negara maju, penggunaan upah murah dan pelaksanaan hukum perburuhan yang lunak sebagai unggulan komparatif
merupakan social dumping, yang dikhawatirkan dapat merusak atau menghambat perdagangan bebas yang adil, Hal ini terbukti dan upaya
negara-negara maju, untuk mengagendakan pembahasan social clause dalam sidang-sidang WTO (Aloysius Uwiyono, 2011: 103).
Rendahnya upah bagi pekerja bawah sangat dirasakan oleh pekerja, tetapi
sulit dideteksi oleh pengawas ketenagakerjaan dalam rangka penerapan upah
minimum. Bagi pekerja formal mungkin lebil mudah dideteksi, akan tetapi bagi
pekerja informal akan sulit bila tidak ada laporan dari masyarakat atau pekerja.
Kesenjangan antara upah terendah pekerja dengan upah tertinggi pimpinan
perusahaan telah terjadi di tingkat regional maupun nasional yang dapat memicu
kecemburuan sosial. Selain itu, pemberian upah dalam bentuk
komponen-komponen pengupahan masih banyak yang membingungkan pekerja bila
dikaitkan dengan kebijakan pemberian upah minimum (Aloysius Uwiyono,
Data Dinas sosial Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten
Purbalingga tentang ketentuan Upah Minimum Kabupaten (UMK) dan jumlah
perusahaan-perusahaan yang melanggar Upah Minimum Kabupaten (UMK) di
tahun 2014-2016. Data tersebut dapat dilihat pada tabel 1 dan tabel 2 dibawah
ini.
Tabel.1
Data Peningkatan UMK Kab. Purbalingga Tahun 2013-2016
Tahun Dasar Ketentuan UMK Besaran UMK
2014 SK Gubernur Nomor 560/60 Tahun 2013 Rp. 1.023.000
2015 SK Gubernur bernomor 560/85 Tahun 2014 Rp 1.101.600
2016 SK Gubernur Nomor 560/66 Tahun 2015 Rp1.377.500
Sumber : Dinsosnakertrans Kab. Purbalingga Tahun 2013-2016
Tabel.2
Data Jumlah Perusahaan yang Melanggar Peraturan Tentang Pengupahan Tahun 2014-2016
No Tahun Jumlah
1 2014 20
2 2015 22
3 2016 19
Sumber : Dinsosnakertrans Kabupaten Purbalingga, 2016
Berdasarkan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah,
yaitu terjadi perubahan signifikan dalam pelaksanaan pengawasan
ketenagakerjaan, yakni penyelenggaraan yang tadinya sentralisasi menjadi
desentralisasi, sehingga memberi kewenangan besar kepada pemerintah
Kabupaten/Kota untuk mengelola pengawasan ketenagakerjaan. Aspek
Kabupaten/Kota, seringkali tidak berjalan optimal karena sering dipengaruhi
oleh kepentingan praktis, menarik investasi dan kepentingan memperoleh
pendapatan asli daerah.
Sehubungan dengan hal tersebut Dinas Sosial Tenaga Kerja dan
Transmigrasi mempunyai tugas mengawasi penerapan pengupahan buruh.
Berdasarkan latar belakang diatas, maka peneliti tertarik untuk melakukan
penelitian mengenai “Pengawasan Dinas Sosial Tenaga Kerja dan
Transmigrasi dalam Pelaksanaan Pemberian Upah Minimum Kabupaten di Kabupaten Purbalingga”
B. Rumusan Masalah
Adapun perumasan masalah yang dapat menjadi pokok pembahasan di
dalam penulisan ini dapat dirumuskan sebagai berikut:
1. Bagaimana pelaksanaan pengawasan yang dilakukan Dinas Sosial Tenaga
Kerja dan Transmigrasi terhadap pemberian Upah Minimum Kabupaten
(UMK) di Kabupaten Purbalingga?
2. Faktor apa saja yang menghambat pelaksanaan pengawasan terhadap
pemberian Upah Minimum Kabupaten (UMK) di Kabupaten Purbalingga?
C. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui pengawasan yang dilakukan Dinas Sosial Tenaga Kerja
dan Transmigrasi terhadap pemberian Upah Minimum Kabupaten (UMK) di
2. Untuk menganalisis faktor apa saja yang menghambat pelaksanaan
pengawasan terhadap pemberian Upah Minimum Kabupaten (UMK) di
Kabupaten Purbalingga
D. Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini adalah memberikan konstribusi dari 2 (dua)
aspek, yaitu:
1. Manfaat Teoritis
a. Hasil penelitian ini diharapkan akan dapat memberikan informasi bagi
mahasiswa pada khususnya dan masyarakat luas pada umumnya mengenai
tugas pokok, fungi, serta wewenang dan peran dinas sosial tenaga kerja
dan transmigrasi dalam melakukan fungsi pengawasan pelaksanaan upah
minimum di Kabupaten Purbalingga.
b. Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai acuan untuk
penelitian-penelitian sejenis dan dapat menambah pengetahuan penulis dan pembaca
lainnya tentang Hukum Ketenagakerjaan.
2. Manfaat Praktis
a. Untuk memenuhi tugas akhir sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan
gelar sarjana S1.
b. Memberikan kontribusi dan pemahaman bagi masyarakat atau pembaca
tentang pengawasan upah minimum kabupaten
c. Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberika informasi serta
bagi penelitian seputar dinas sosial tenaga kerja dan transmigrasi dalam
upaya pelaksanaan upah minimum.
d. Hasil penelitian ini diharapkan dapat membantu memberi masukan
kepada semua pihak, bagi perusahaan untuk lebih memahami secara jelas
apa yang menjadi kewajibannya dalam pemberian upah kepada para
pekerja.
e. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi masukan kepada instansi