BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Persoalan gizi dalam pembangunan kependudukan masih merupakan
persoalan yang dianggap menjadi masalah utama dalam tatanan kependudukan
dunia. Oleh karena itu, persoalan ini menjadi salah satu butir penting yang
menjadi kesepakatan global dalam Milleneum Development Goals (MDGs).
Setiap negara secara bertahap harus mampu menguranggi jumlah balita yang
bergizi buruk atau gizi kurang sehingga mencapai 15% pada tahun 2015.
Di Indonesia, persoalan gizi ini juga merupakan salah satu persoalan
utama dalam pembangunan manusia. Sebagai salah satu negara dengan
kompleksitas kependudukan yang sangat beraneka ragam, Indonesia dihadapi
oleh dinamika persoalan gizi buruk. Walaupun proses pembangunan di
Indonesia telah mampu mengatasi persoalan ini, tetapi dilihat dari
kecenderungan data statistik, masih banyak persoalan yang perlu diselesaikan
terutama yang menyangkut persoalan balita gizi kurang.
Secara bertahap, sebenarnya Indonesia telah mampu menurunkan
prevalensi balita gizi kurang. Selama dua dasawarsa terakhir, Indonesia
berhasil menurunkan prevalensi balita gizi kurang dari 31% pada tahun 1989
menjadi 18,4% pada tahun 2007. Ini menunjukkan bahwa proses pencapaian
terdapat beberapa persoalan penting yang menjadi kendala dalam pengurangan
prevalensi balita gizi kurang di Indonesia.
Pertama, terdapat disparitas prevalensi balita gizi kurang antar
provinsi. Ini menunjukkan bahwa secara nasional masih terdapat
persoalan-persoalan balita gizi kurang di Indonesia. Jika dibandingkan prevalensi balita
gizi kurang di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta mencapai 10,9%
sedangkan di Provinsi Nusa Tenggara Timur masih sekitar 33,6%. Ini
menunjukkan perbedaan yang sangat jauh.
Berdasarkan profil kesehatan Provisi Jawa Tengah tahun 2012,
presentase balita dengan gizi kurang (BB/U) di Jawa Tengah sebesar 4,88%.
Presentase balita dengan gizi kurang tertinggal di kota Tegal (13,83%) dan
terendah di Kabupaten Pekalongan (0,06%). Sedangkan kasus balita gizi
buruk tahun 2012 berjumlah 1.131 (0,06%) menurun apabila dibandingkan
tahun 2011 sejumlah 3.187 (0,10%).
Kedua, terdapat juga kesenjangan antar daerah perkotaan dengan
perdesaan. Angka balita gizi kurang di perkotaan mencapai 15,9% lebih
rendah dibanding di daerah perdesaan yang mencapai 20,4%. Kabupaten
Banyumas pada tahun 2010 tercatat dari 92.793 balita yang di timbang 151
mengalami gizi buruk, 10.602 berstatus kurus. Tercatat anak mengalami gizi
buruk mencapai angka 1.045 anak, yang di sebabkan oleh infeksi dan kelainan
bawaan antara lain bayi yang lahir BBLR 45% dan 55% lainya di sebabkan
oleh kurangnya asupan gizi (Dinas kesehatan kabupaten Banyumas, 2010).
anak balita atau sebesar 10,43% per 1000 kelahiran hidup, 3 diantaranya
dengan status balita buruk dengan penyakit penyerta down syndrome dan
kelainan jantung. Serta Angka Kematian Bayi (AKB) sebesar 9,31% per 1000
kelahiran hidup. Dengan adanya tingkat permasalahan kesehatan pada balita,
maka perlu upaya pemantauan pertumbuhan dan perkembangan balita.
Masa balita merupakan masa kritis atau critical period, karena dapat
menimbulkan dampak yang sangat serius, terutama pada periode dua tahun
pertama kehidupan. Kekurangan gizi akan sangat mempengaruhi
pertumbuhanya, dan apabila pertumbuhnya terganggu maka masa
perkembanganya juga akan terganggu. Salah satu alat ukur perkembangan
anak menggunakan Kuesioner Pra Skrining Perkembangan (KPSP). Skrining/
pemeriksaan perkembangan anak yang di lakukan untuk mengetahui
perkembangan anak normal atau ada penyimpangan. Alat ukur tersebut
diberikan sesuai dengan umur perkembangan anak. Dengan demikian,
meminimalkan keterlambatan pada perkembangan anak serta tercapai tumbuh
kembang anak yang optimal.
Tumbuh kembang yang optimal menjadi perhatian bagi pemerintah,
tenaga kesehatan dan masyarakat khususnya balita yang berumur dibawah 5
tahun atau 12-59 bulan. Tidak hanya bayi yang harus mendapatkan perhatian
kesehatannya tetapi balita juga perlu mendapatkan perhatian baik gizi maupun
kesehatannya, karena balita adalah generasi penerus bangsa yang harus sehat,
kesehatan yang optimal maka perlu peran serta keluarga. (Dinkes Jateng,
2012).
Keluarga Sadar Gizi (KADARZI) merupakan gambaran keluarga yang
berperilaku gizi seimbang, mampu mengenali dan memecahkan masalah gizi
anggota keluarganya. Ibu memiliki peranan dan pengaruh besar terhadap
keadaan gizi balita.
Perilaku ibu dalam pemberian makanan sangat berperan dalam
membentuk pola konsumsi pangan dalam keluarga. Pola konsumsi pangan
ditentukan oleh faktor sosial ekonomi rumah tangga, seperti pendidikan ibu,
pekerjaan ibu, pengetahuan pangan dan gizi, proses penyiapan dan penyajian
pangan. Hasil penelitian Rahardjo dkk (2007) menunjukkan adanya hubungan
antara pola asuh ibu dengan status gizi balita di Kabupaten Banyumas.
Penelitian Rahardjo (2009) menunjukkan 42% ibu mempunyai pola asuh
makanan yang kurang baik, sebanyak 77% ibu mempunyai keterpaparan
informasi yang kurang baik. Pola asuh makanan dan paparan informasi yang
kurang menyebabkan konsumsi makanan kurang bervariasi.
Berdasarkan survey pendahuluan yang dilakukan peneliti, di Desa
Rawalo, Kecamatan Rawalo, Kabupaten Banyumas pada bulan September
tahun 2013 terdapat 12 Posyandu dengan jumlah balita 571 dan terdapat 6
balita mengalami gizi kurang. Serta berdasarkan hasil pemetaan Keluarga
Sadar Gizi di Desa Rawalo pada bulan Februari-Agustus tahun 2013 dari 15
Untuk menanggulangi masalah tersebut, pemerintah Kabupaten
Banyumas pada tahun 2012 melaksanakan pendistribusian vitamin A untuk
anak umur 6-12 bulan, 1-5 tahun. Adanya monitoring dan evaluasi di 39
puskesmas. Pemantauan penggunaan garam beryodium di 23 pasar.
Sinkronisasi program gizi, dengan terlaksananya 2 kali pertemuan lintas
sektor, 3 kali pertemuan petugas gizi dan 3 kali pertemuan akselerasi ASI
eksklusif dan tercapainya pengadaan 58.703 formulir dan pendataan 58.703
masyarakat mengenai Pemantauan Status Gizi (PSG), KADARZI dan
Pemantauan Konsumsi Gizi (PKG). Upaya tersebut diharapkan untuk
terciptanya Keluarga Sadar Gizi (Kadarzi) serta pertumbuhan dan
perkembangan anak yang optimal (Dinkes Banyumas, 2012).
Oleh karena itu, peneliti tertarik melakukan penelitian ini untuk
mengetahui hubungan antara Keluarga Sadar Gizi (Kadarzi) dengan tumbuh
kembang balita.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan survey pendahuluan yang dilakukan peneliti, di Desa
Rawalo, Kecamatan Rawalo, Kabupaten Banyumas pada bulan September
tahun 2013 terdapat 12 Posyandu dengan jumlah balita 571 dan terdapat 6
balita mengalami gizi kurang. Serta berdasarkan hasil pemetaan Keluarga
Sadar Gizi di Desa Rawalo pada bulan Agustus tahun 2013 dari 15 KK
sampel, hanya 5 KK yang termasuk Kadarzi. Berdasarkan data tersebut maka
hubungan antara Keluarga Sadar Gizi (Kadarzi) dengan Tumbuh Kembang
Balita di Posyandu Balita Desa Rawalo Kecamatan Rawalo Kabupaten
Banyumas?”.
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum :
Tujuan umum penelitian ini adalah untuk menganalisis hubungan antara
keluarga sadar gizi (kadarzi) dengan tumbuh kembang balita.
2. Tujuan Khusus :
Tujuan khusus penelitian ini untuk mengetahui :
a. Karakteristik keluarga sadar gizi berdasarkan umur ibu, umur balita
pekerjaan, pendidikan terakhir, dan perilaku kadarzi.
b. Karakteristik Tumbuh kembang.
c. Hubungan Keluarga sadar gizi (Kadarzi) dengan tumbuh kembang
D. Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian untuk dapat dirasakan oleh semua pihak yang dapat
memakainya.
1. Bagi Posyandu dan pemerintah
Pemerintah dapat memberikan akses terhadap informasi pelayanan
kesehatan dan gizi, serta dapat mempertimbangkan dalam merumuskan
kebijakan serta menyediakan sumber daya untuk perbaikan kesehatan dan
gizi masyarakat.
2. Bagi Peneliti
Menambah wawasan serta harapan perilaku gizi seimbang, mampu
mengenali dan memecahkan masalah gizi anggota keluarganya.
3. Bagi Peneliti lain
Dapat dijadikan bahan pertimbangan untuk mengembangkan penelitian
E. Keaslian Penelitian
Penelitian tentang hubungan Keluarga sadar gizi (Kadarzi) terhadap tumbuh
kembang balita sebelumnya adalah :
1. Penelitian dari Nuksin Nurul Hidayat, (2013) tentang “Hubungan ASI
eksklusif dan simulasi ibu dengan perkembangan anak di Wilayah kerja
Puskesmas Kemranjen Kabupaten Banyumas” dengan hasil adanya
hubungan yang signifikan antara ASI eksklusif dan stimulasi ibu dengan
perkembangan anak. Persamaannya, yaitu menggunakan variabel
perkembangan anak sebagai variabel dependen. Perbedaannya metode
yang digunakan yaitu survey analitik sedangkan peneliti menggunakan
metode studi korelasi.
2. Penelitian dari Dinda Rudzikzani, (2012) tentang “Pengaruh pola makan
terhadap perkembangan gizi anak” dengan hasil terdapat hubungan
signifikan antara pola makan anak dan pola makan ibu saat hamil dengan
pertumbuhan gizi anak. Persamaan dengan penelitian ini adalah pada
faktor perkembangan yang diteliti. Perbedaannya, penelitian ini
menggunakan pola makan sebagai variabel independen dan hanya anak
yang diteliti.
3. Penelitian dari Hariyadi dan Ekayanti, (2011) dengan judul “Analisis
perilaku keluarga sadar gizi terhadap stunting di Propinsi Kalimantan
Barat”, menunjukan bahwa rumah tangga dengan perilaku kadarzi yang
anak balita 1,22 kali lebih besar daripada rumah tangga dengan perilaku
kadarzi yang baik. Persamaan yaitu menganalisis perilaku kadarzi,
sedangkan perbedaannya yaitu pada uji yang digunakan, peneliti
menggunakan chi-square.
4. Penelitian dari Hasyuti, (2011) dengan judul “Faktor-faktor yang
berhubungan dengan status perkembangan motorik kasar baduta usia 6-18
bulan di Kabupaten Jeneponto” hasilnya ada hubungan antara penyakit
diare dengan status perkembangan motorik kasar baduta dengan p 0,020.
Persamaannya pada variabel dependen yang diteliti yaitu perkembangan
motorik kasar baduta. Sedangakan perbedaannya peneliti tidak ingin
mengetahui hubungan dengan penyakit diare.
5. Penelitian dari Sari, (2011) tentang “Hubungan pemberian ASI eksklusif
dengan tumbuh kembang pada anak usia 3 sampai 6 bulan di Puskesmas
Karanganyar”, dengan hasil terdapat hubungan yang signifikan antara
pemberian ASI eksklusif dengan tumbuh kembang anak. Persamaan
dengan penelitian ini adalah variabel indepen yang digunakan yaitu
hubungan pemberian ASI. Perbedaan dengan penelitian ini adalah sampel
yang digunakan adalah anak usia 3-6 bulan.
6. Penelitian dari Gladys Gunawan, Eddy Fadlyana, Kusnandi Rusmil,
(2010) tentang “Hubungan status gizi dan perkembangan anak usia 1-2
tahun”, dengan hasil : tidak terdapat hubungan antara gangguan
dengan kondisi ekonomi (p=2,500) dan perkembangan dengan status
ekonomi (p=0,336). Persamaannya pada variabel dependen yang diteliti
yaitu perkembangan anak usia 1-2 tahun. Perbedaannya penelitian ini pada
anak usia 1-2 tahun dan yang dijadikan variabel indepeden adalah status
gizi.
7. Penelitian dari Puji Lestari, (2009) tentang “Hubungan status gizi dengan
tumbuh kembang anak usia 3-5 tahun di YK Aisyiyah Bustanul Athfall
Rejosari, Lorog, Tawangsari, Sukohardjo, Jawa Tengah” menunjukan
bahwa 81,5% responden tumbuh kembangnya normal dan terdapat
hubungan status gizi dengan tumbuh kembang anak sebesar 0,770 atau
sebesar 59,2% status gizi mempengaruhi tumbuh kembang anak,
sedangkan 40,8% dipengaruhi oleh faktor lain. Persamaannya yaitu
meneliti tumbuh kembang sebagai variabel dependen, sedangkan
perbedaannya pada variabel independen yang diteliti.
8. Penelitian dari Angelica Gabriel, (2008) tentang “Perilaku kadarzi, hidup
bersih dan sehat ibu kaitannya dengan status gizi dan kesehatan balita di
desa Cikarawang Bogor”, dengan hasil perilaku PHBS tidak berkorelasi
dengan status gizi balita, korelasi yang positif dan nyata (p<0,05) terlihat
pada hubungan antara perilaku kadarzi responden dengan status gizi balita.
Persamaannya, sama-sama meneliti perilaku kadarzi sebagai variabel
independen. Perbedaannya, penelitian ini menggunakan variabel PHBS
9. Penelitian dari Leni Merdawati dan Dewi Eka Putri, (2008) tentang
“Perilaku ibu terhadap kartu menuju sehat (KMS) balita dan hubungannya
dengan status gizi balita”, dengan hasil tidak terdapat hubungan yang
bermakna antara pengetahuan ibu tentang grafik berat badan pada KMS,
dan pengetahuan ibu tentang pola pemberian makanan pada balita dengan
status gizi balita. Persamaanya dengan penelitian ini yaitu menggunakan
perilaku ibu sebagai variabel independen. Perbedaan penelitian ini pada
status gizi yang dijadikan variabel dependen dan variabel independen yang
digunakan adalah perilaku ibu.
10.Penelitian dari Sutrisno, (2003) tentang “Hubungan status gizi dengan
tingkat perkembangan motorik kasar anak usia 2-3 tahun pada keluarga
sejahtera di wilayah Purwodadi Kabupaten Grobogan Jawa Tengah”,
dengan hasil status gizi dalam indeks TB/ U dan tingkat kecukupan energi,
protein, dan zat besi berhubungan secara bermakna terhadap
perkembangan motorik kasar. Persamaannya pada variabel dependen yang
diteliti yaitu perkembangan motorik kasar anak. Perbedaannya, dalam
penelitian ini variabel independen yang digunakan adalah status gizi dan