• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Ikterus fisiologis adalah peningkatan konsentrasi bilirubin tak. terkonjugasi serum selama minggu pertama kehidupan yang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Ikterus fisiologis adalah peningkatan konsentrasi bilirubin tak. terkonjugasi serum selama minggu pertama kehidupan yang"

Copied!
48
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Medis 1. Definisi

Ikterus fisiologis adalah peningkatan konsentrasi bilirubin tak terkonjugasi serum selama minggu pertama kehidupan yang menghilang sendiri (Haws, 2008; h. 202).

Ikterus fisiologis pada neonatus adalah keadaan normal yang mempengaruhi hingga 50% bayi aterm yang mengalami peningkatan progresif pada kadar bilirubin tak terkonjugasi dan ikterus pada hari ketiga (Frasen and Cooper, 2010; h. 840).

Ikterus patologis adalah menguningnya sklera, kulit, atau jaringan lain akibat penimbunan bilirubin dalam tubuh. Keadaan ini merupakan tanda penting penyakit hati atau kelainan fungsi hati, saluran empedu dan penyakit dalam darah. Ikterus terjadi karena peningkatan kadar bilirubin indirect(uncojugated) dan atau kadar bilirubin direct (conjugated) (FKUI, 2007; h. 519).

Ikterus adalah keadaan klinis pada bayi yang ditandai oleh pewarnaan ikterus pada kulit dan sklera akibat akumulasi bilirubin tak terkonjugasi yang berlebih (IDAI, 2010; h. 147).

Dari beberapa definisi diatas dapat disimpulkan bahwa ikterus fisiologis adalah keadaan normal yang mempengaruhi hingga 50% bayi aterm yang mengalami peningkatan progresif pada kadar bilirubin tak terkonjugasi dan selama minggu pertama kehidupan akan menghilang

(2)

sendiri. Sedangkan ikterus patologis keadaan klinis pada bayi akibat dari terakumulasinya atau tertimbunnya bilirubin berlebih dalam tubuh sehingga menimbulkan warna kuning pada bagian tubuh tertentu antara lain pada kulit, sklera, dan selaput mukosa.

2. Etiologi

a. Ikterus fisiologis

Ikterus fisiologis tidak disebabkan oleh faktor tunggal tapi kombinasi dari berbagai faktor yang berhubungan dengan maturitas fisiologis bayi baru lahir. Peningkatan kadar bilirubin tidak terkonjugasi pada bayi baru lahir disebabkan oleh kombinasi peningkatan ketersediaan bilirubin dan penurunan clearance bilirubin. Peningkatan ketersediaan bilirubin merupakan hasil dari produksi bilirubin dan early bilirubin yang lebih besar serta penurunan usia sel darah merah. Sirkulasi aktif bilirubin di enterohepatik, yang meningkatkan kadar serum bilirubin tak terkonjugasi disebabkan oleh penurunan frolar normal, aktifitas

β-glukoronidase yang tinggi, dan penurunan motilitas usus. Pada bayi yang diberi minum lebih awal atau diberi minum lebih sering dan bayi dengan aspirasi mekonium atau pengeluaran mekonium lebih awal cenderung mempunyai insiden terjadinya ikterus fisiologis (IDAI, 2010; h. 152-153).

Ikterus fisiologis disebabkan karena adanya kesenjangan antara pemecahan sel darah merah dan kemampuan bayi untuk mantranspor, mengkonjugasi, dan mengekskresi bilirubin tak terkonjugasi sehingga mengakibatkan :

(3)

1) Peningkatan pemecahan sel darah merah

Produksi bilirubin bayi baru lahir lebih dari dua kali produksi orang dewasa normal per kilo gram berat badan. Di lingkungan uterus yang hipoksik, janin bergantung pada hemoglobin F (hemoglobin janin), yang memiliki afinitas oksigen lebih besar daripada hemoglobin A (hemoglobin dewasa). Saat lahir, ketika sistem pulmonar menjadi fungsional, massa sel darah merah besar yang dibuang melalui hemolisis mengakibatkan timbunan bilirubin, yang berpotensi membebani sistem secara berlebihan (Frasen and Cooper, 2010; h. 840 – 841).

2) Penurunan kemampuan mengikat – albumin

Transpor bilirubin ke hati untuk konjugasi menurun karena konsentrasi albumin yang rendah pada bayi prematur, penurunan kemampuan mengikat bilirubin – albumin (yang dapat terjadi jika bayi mengalami asidosis), dan kemungkinan persaingan untuk mendapatkan tempat menikat albumin dengan beberapa obat. Jika tempat ikatan albumin yang tersedia digunakan, kadar bilirubin yang tidak berikatan, tidak terkonjugasi, dan larut – lemak dalam darah akan meningkat, serta mencari jaringan dengan afisitas lemak, seperti kulit dan otak(Frasen and Cooper, 2010; h. 841).

3) Defisiensi enzim

Kadar aktivitas enzim UDP – GT yang rendah selama 24 jam pertama setelah kelahiran akan mengurangi konjugasi bilirubin. Meskipun kadar meningkat selama 24 jam pertama, hal

(4)

tersebut tidak akan mencapai kadar dewasa selama 6 – 14 hari (Frasen and Cooper, 2010; h. 841).

4) Peningkatan reabsorbsi enterohepatik

Proses ini meningkat dalam usus bayi baru lahir karena kurangnya jumlah bakteri enterik normal yang memecahkan bilirubin menjadi urobilinogen, bakteri ini juga meningkatkan aktivitas enzim beta – glukoronidase, yang menghidrolisis bilirubin terkonjugasi kembali ke kondisi tak – terkonjugasi (jika bilirubin ini diabsorbsi kembali ke dalam sistem). Jika pemberian susu ditunda, motilitas usus juga menurun, selanjutnya mengganggu akskresi bilirubin tak – terkonjugasi. Bayi asia memiliki sirkulasi enterohepatik bilirubin yang lebih tinggi, puncak konsentrasi bilirubin lebih tinggi, dan ikterus yang lebih lama (Frasen and Cooper, 2010; h. 842).

5) Ikterus ASI

Dua persen dari seluruh air ASI mengandung pregnanediol, yang menghambat diklukuronid (bentuk bilirubin terkonjugasi) dan juga meningkatkan asam lemak yang menghambat peningkatan albumin (mempertahankan bilirubin di dalam plasma). Selain itu ASI pada beberapa ibu mengandung zat yang menghambat aktivitas konjugasi transferase glukoronil dan pada beberapa ibu lain, ASI mengandung glukoronidase yang justru dapat menyebabkan ikterus. Faktor genetik, pemberian makan dini yang tidak adekuat, pemberian suplemen berupa air manis , dan peningkatan resorpsi bilirubin

(5)

di dalam usus halus yang disebabkan oleh keterlambatan pengeluaran mekonium dapat turut menyebabkan pembentukan ikterus (Sinclair, 2010; h. 361).

b. Ikterus patologis

Metabolisme bilirubin bayi baru lahir berada dalam transisi dari stadium janin yang selama waktu tersebut plasenta merupakan tempat utama eliminasi billirubin yang larut – lemak, ke stadium dewasa yang selama waktu tersebut bentuk bilirubin terkonjugasi yang larut – air diekskresikan dari sel hati ke dalam sistem biliaris dan kemudian ke dalam saluran pencernaan.

Hiperbilirubinemia tak terkonjugasi dapat disebabkan atau diperberat oleh setiap faktor yang meliputi :

1) Menambah beban bilirubin untuk dimetabolisme oleh hati (anemia hemolitik, waktu hidup sel darah merah lebih pendek akibat imaturitas atau akibat sel yang ditransfusikan, penambahan sirkulasi enterohepatik, infeksi)

2) Dapat mencederai atau mengurangi aktivitas enzim transverase (hipoksia, infeksi, kemungkinan hipotermia, dan defisiensi tiroid) 3) Dapat berkompetisi dengan atau memblokade enzim

transverase (obat – obat dan bahan lain yang memerlukan konjugasi asam glukuronat untuk ekskresi) ; atau

4) Menyebabkan tidak adanya atau berkurangnya jumlah enzim yang diambil atau menyebabkan pengurangan reduksi bilirubin

oleh sel hepar (cacat genetik, prematuritas) (Nelson, 2000; h. 610).

(6)

Resiko pengaruh toksik dari meningkatnya kadar bilirubin tak terkonjugasi dalam serum menjadi bertambah dengan adanya faktor – faktor yang mengurangi retensi bilirubin dalam sirkulasi (hipoproteinemia, perpindahan bilirubin dan tempat ikatnya pada albumin karena ikatan kompetitif obat – obatan seperti

sulfisoksazol dan moksalaktam, asidosis, kenaikan sekunder kadar asam lemak bebas akibat hipokglikemi, kelaparan, atau hipotermia), atau oleh faktor – faktor yang meningkatkan permeabilitas sawar darah otak atau membran sel saraf

terhadap bilirubin atau kerentaan sel otak terhadap

toksisitasnya seperti asfiksia, prematuritas, hiperosmolalitas, dan infeksi (Nelson, 2000; h. 610).

Pemberian makan yang awal menurunkan kadar bilirubin

serum, sedangkan ASI dan dehidrasi menaikkan kadar bilirubin

serum. Mekonium mengandung 1 mg bilirubin/dl dan dapat turut menyebabkan ikterus melalui sirkulasi enterohepatik pasca – dekonjugasi oleh glukuronidase usus. Obat – obat seperti oksitosin dan bahan kimia yang diberikan dalam ruang perawatan seperti detergen fenol dapat juga menimbulkan

hiperbilirubinemia tak terkonjugasi (Nelson, 2000; h. 610). Penyebab ikterus patologis pada bayi baru lahir dapat berdiri sendiri ataupun dapat disebabkan oleh berbagai faktor. Secara garis besar etiologi ikterus patologis dapat dibagi:

(7)

1) Produksi yang berlebihan

Hal ini melebihi kemampuan bayi untuk

mengeluarkannya, misalnya pada hemolisis yang

meningkat pada imkompatibilitas darah Rh, ABO, golongan darah lain, devisiensi enzim G-6-PD, piruvat kinase, perdarahan tertutup dan sepsis.

2) Gangguan dalam proses ‘uptake’ dan konjugasi hepar Gangguan ini dapat disebabkan oleh imaturitas hepar, kurangnya substrat untuk konjugasi bilirubin, gangguan fungsi hepar, akibat asi dosis, hipoksia, dan infeksi atau tidak terdapatnya enzim glukoronil transferase (sindrom Criggler-Najjar). Penyebab lain ialah defisiensi protein Y dalam heapr yang berperan penting dalam ‘uptake’ bilirubin

ke sel hepar.

3) Gangguan transportasi

Bilirubin dalam darah terikat pada albumin kemudian diangkut ke hepar. Ikatan bilirubin dengan albumin ini dapat dipengaruhi dengan obat misalnya salisilat, sulfafurozole. Defisiensi albumin menyebabkan lebih banyak terdapat

bilirubin indirect yang bebas dalam darah yang mudah melekat ke otak.

4) Gangguan ekskresi

Gangguan ini dapat terjadi akibat obstruksi dalam hepar atau diluar hepar. Kelainan di luar hepar biasanya disebabkan oleh kelainan bawaan. Obstruksi dalam hepar

(8)

biasanya akibat infeksi atau kerusakan hepar oleh penyebab lain.

(FKUI, 2007; h. 1105 – 1106) 3. Patofisiologi

a. Ikterus fisiologis

1) Perburukan ikterus fisiologis pada bayi menyusui

Bukti yang ada sekarang ini menunjukkan bahwa terdapat dua proses berbeda yang menyebabkan ikterus pada bayi yang mendapat ASI, meskipun mekanisme yang pasti belum diketahui :

a) Menyusu atau awitan ikterus awal

Diperkirakan bahwa asupan cairan dan kalori yang rendah selama produksi kolostrum menyebabkan waktu transit di usus lebih lama, yang meningkatkan pajanan terhadap beta – glukoronidase, yang semakin menambah bilirubin tak terkonjugasi ke dalam sistem.

b) ASI atau awitan ikterus akhir

Penelitian menganai lipase lipoprotein, beta –

glukoronidase, dan asam lemakbebas dilakukan untuk memperoleh kejelasan mengenai bentuk ikterus yang lebih lama ini (Frasen and Cooper, 2010; h. 842 – 843).

2) Perburukan ikterus fisiologis pada bayi prematur

Hal ini ditandai dengan kadar bilirubin 165 µmol/L (10 mg/dl) atau lebih tinggi pada hari ke-3 atau ke-4, dengan konsentrasi puncak pada hari ke-5 hingga ke-7 yang kembali normal setelah beberapa minggu. Bayi prematur lebih beresiko mengalami cern

(9)

– icterus sehingga penatalaksanaannya sangat penting. Faktor yang berperan meliputi :

a) Keterlambatan pengeluaran enzim UDP – GT b) Pemendekan usia sel darah merah

c) Komplikasi, seperti hipoksia, asidosis, dan hipotermi, yang dapat mengganggu kemampuan mengikat – albumin

(Frasen and Cooper, 2010; h. 842 – 843) b. Ikterus patologis

Metabolisme bilirubin yang dihasilkan oleh neonatus 75-85 % berasal dari heme yang merupakan hasil pemecahan hemoglobin. Metabolisme bilirubin berawal dari sistem retikuloendotial hati dan limfa pada saat sel darah merah yang sudah tua atau abnormal hendak dimusnahkan dari sirkulasi. Enzim yang berperan untuk menghasilkan bilirubin dan carbon monoksidida adalah enzim

mikrosomal heme oxigenase dan biliverdin reduktase. Bilirubin yang dihasilkan adalah dalam bentuk belum terkonjugasi atau disebut juga bilirubin indirect. Bilirubin ini kemudian dikeluarkan kedalam plasma (FKUI, 2007; h. 520).

Pada derajat keasaaman yang normal, bilirubin ini sukar sekali larut dalam air sehingga harus berikatan dengan albumin sebagai protein pengangkut. Bilirubin yang berikatan dengan albumin selanjutnya akan dibawa kehati dan masuk ke hati secara difusi. Dalam sel hati, bilirubin berikatan dengan protein Y dan Z. Konjugasi terjadi di reticulum endoplasma sel hati dibantu oleh enzim glukoronil transferase dan asam glukoronat. Pada tahap ini

(10)

bilirubin berubah menjadi bilirubin yang terkonjugasi atau disebut juga bilirubin direct. Bilirubin ini kemudian diekskresi ke saluran empedu untukselanjtnya dikeluarkan ke usus halus (FKUI, 2007; h. 520).

Bilirubin terkonjugasi tidak direabsorbsi di usus halus. Namun diusus besar sebelumnya bilirubin ini diubah kembali menjadi

bilirubin tidak terkonjugasi dan asam glukonaronat dengan bantuan enzim beta glukoronidase. Keadaan ini disebut sebagai sirkulasi enterohepatik (FKUI, 2007; h. 520).

Keadaan-keadaan tertentu dapat mempengaruhi proses metabolisme diatas. Jika proses tersebut terganggu, maka terjadilah

hiperbilirubinemia. Secara garis besar keadaan tersebut adalah kondisi-kondisi yang dapat menyebabkan produksi bilirubin

berlebihan (inkompatibilitas rhesus, anemia hemolitik), defisiensi enzim, obstruksi saluran empedu, infeksi dan lain-lain. Bilirubin

yang tinggi ini kemudian menempati ruang-ruang didalam tubuh, misalnya kulit (FKUI, 2007; h. 520).

Hiperbilirubinemia dapat terjadi melalui tiga cara yaitu : melalui hemolisis sel darah merah, penyakit hati yang mempengaruhi metabolisme dan pengeluaran empedu, dan kondisi yang menyebabkan penyempitan saluran empedu (FKUI, 2007; h. 520). 4. Faktor Predisposisi

Faktor predisposisi dari ikterus patologis antara lain adalah : a. Ikterus prahepatik

(11)

Ikterus ini terjadi akibat produksi bilirubin yang meningkat, yang terjadi pada hemolisis sel darah merah (ikterus hemolotik). Kapasitas sel hati untuk mengadakan konjugasi terbatas apalagi bila desertai oleh adanya disfungsi sel hati. Akibatnya bilirubin indirek akan meningkat. Dalam batas

tertentu bilirubin direk juga meningkat akan segera

diekskresikan ke dalam saluran pencernaan, sehingga akan didapatkan peninggian kadar urobilinogen di dalam tinja. Peningkatan pembentukan bilirubin dapat disebabkan oleh : a) Kelainan pada sel darah merah

b) Infeksi seperti malaria, sepsis, dan lain – lain

c) Toksin yang berasal dari luar tubuh seperti obat – obatan, maupun yang berasal dari dalam tubuh seperti yang terjadi pada reaksi transfusi dan eritroblastosis fetalis (FKUI, 2007; h. 521-522).

b. Ikterus pascahepatik (obstruktif)

Bendungan dalam saluran empedu akan menyebabkan peninggian bilirubin konjugasi yang larut dalam air. Sebagai akibat bendungan, bilirubun ini akan mengalami regurgitasi kembali ke dalam sel hati dan terus memasuki peredaran darah. Selanjutnya akan masuk ke ginjal dan diekskresikan oleh ginjal sehingga kita akan menemukan bilirubin dalam urin. Sebaliknya karena ada bendungan, maka pengeluara

bilirubin ke dalam saluran pencernaan berkurang, sehingga akibatnya tinja akan berwarna dempu karena tinja

(12)

mengandung sterkobilin. Urobilinogen dalam tinja dan dalam air kemih akan menurun. Akibat penimbunan bilirubin direk, maka kulit akan terasa gatal. Penyumbatan empedu (kolestasis) dibagi 2, yaitu intrahepatik ekstrahepatik bila penyumbatan terjadi di dalam duktus koledukus (FKUI, 2007; h. 521-522).

c. Ikterus hepatoseluler (hepatik)

Kerusakan hati akan menyebabkan konjugasi bilirubin

terganggu, sehingga bilirubin direk akan meningkat.

Kerusakan sel hati juga akan menyebabkan bendungan di dalam hati sehingga bilirubin darah akan mengadakan regurgitasi ke dalam sel hati yang kemudian menyebabkan peniggian kadar bilirubin konjugasi dalam darah. Bilirubin

direk ini larut dalam air sehingga mudah di ekskresikan oleh ginjal ke dalam air kemih. Adanya sumbatan intrahepatik akan menyebabkan penurunan ekskresi bilirubin dalam saluran pencernaan yang kemudian akan menyebabkan tinja berwarna pucat, karena sterkobilinogen menurun.

Kerusakan sel hati terjadi pada keadaan : 1) Hepatitis oleh virus, bakteri, parasit 2) Sirosis hepatitis

3) Tumor

4) Bahan kimia seperti fosfor, arsen

5) Penyakit lain seperti hemokromatosis, hipertiroidi, dan penyakit nieman pick.

(13)

(FKUI, 2007; h. 521-522)

Asal etnik juga mempengaruhi terjadinya ikterus mereka yang berasal dari Korea, Cina, serta Jepang dan Indian Amerika memiliki kadar bilirubin yang lebih tinggi (Sinclair, 2010; h. 360).

Faktor predisposisi lain dari ikterus antara lain : a. Faktor ibu

1) Hipertensi

Pre eklampsia dan eklampsia memberi pengaruh buruk pada kesehatan janin yang disebabkan oleh menurunnya perfusi utero plasenta, hipovolemia, vasospasme, dan kerusakan sel endotel pembuluh darah plasenta. Sehingga menimbulkan dampak pada janin intrauterine growth restriction (IUGR) dan oligohidramnion, kenaikan morbiditas dan mortalitas janin secara tidak langsung

akibat intrauterine growth restriction, prematuritas,

oligohidramnion, solusio plasenta, perdarahan intraventrikular, dan sepsis. Dampak tersebut dapat memicu terjadinya ikterus pada bayi (Saifuddin, 2009; h. 541 – 550).

2) Diabetes maternal

Kadar glukosa yang tinggi pada ibu hamil sering menimbulkan dampak yang kurang baik terhadap janin. Bayi baru lahir dari ibu dengan DM biasanya lebih besar, dan bisa juga terjadi pembesaran dari organ – organnya (hepar, kelenjar adrenal, dan jantung). Gangguan hepar tersebut dapat emicu terjadinya ikterus pada bayi (Saifuddin, 2007; h. 852).

(14)

b. Faktor bayi 1) Prematuritas

Prematuritas merupkan faktor pemicu ikterus karena fungsi hati yang belum matang (Saifuddin, 2007; h. 377).

2) Memar atau sefalhematoma

Sefalhematoma adalah perdarahan subperiosteal akibat kerusakan jaringan periosteum karena tarikan atau tekanan pada jalan lahir, dan tidak pernah melampaui batas sutura garis tengah. Pada gangguan yang luas dapat menyebabkan anemia dan hiperbilirubinemia. Perlu pemantauan hemoglobin, hematokrit, dan bilirubin (Saifuddin, 2007; h. 400).

5. Tanda dan Gejala

Ikterus fisiologis memiliki tanda – tanda sebagai berikut : a. Timbul pada hari kedua dan ketiga setelah bayi lahir

b. Kecepatan peningkatan kadar bilirubin tidak lebih dari 5 mg% per hari (Sinclair, 2010; h. 359).

c. Kadar bilirubin indirect tidak lebih dari 12,5 mg% pada neonatus cukup bulan dan 10 mg% pada neonatus kurang bulan

d. Kadar bilirubindirect tidak lebih dari 1 mg%

e. Tidak terbukti mempunyai hubungan dengan keadaan patologis (FKUI, 2007; h. 1101-1102).

f. Ikterus menghilang pada 10 hari pertama

g. Bayi prematur biasanya kadar puncak 8 – 12 mg/dL tidak dicapai sebelum hari ke-5 sampai ke-7, dan ikterus jarang diamati sesudah hari ke-10 (Nelson, 2000; h. 611).

(15)

h. Secara keseluruhan, 6 – 7 % bayi cukup bulan mempunyai kadar

bilirubin lebih besar dari 12,9 mg/dL dan kurang dari 3 % mempunyai kadar lebih besar dari 15 mg/dL (Nelson, 2000; h. 611).

Ikterus patologis mempunyai tanda dan gejala sebagai berikut: a. Ikterus terjadi dalam 24 jam pertama

b. Kadar bilirubin melebihi 10 mg% pada neonatus kurang bulan atau melebihi 12,5 mg% pada neonatus cukup bulan ( Saifuddin, 2007; h. 383).

c. Peningkatan bilirubin melebihi 5 mg% per hari d. Mempunyai hubungan dengan proses hemolitik e. Kadar bilirubindirect lebih dari 1 mg%

f. Ikterus menetap sesudah 2 minggu pertama (FKUI, 2007; h. 1107). g. ikterus patologis memiliki bilirubin total > 200µmol/L (12,9 mg/dL),

bilirubin terkonjugasi (reaksi – langsung) > 25 – 35 µmol/L (1,5 – 2 mg/dL) (fraseen and cooper, 2010; h. 844).

h. Adanya tanda – tanda penyakit yang mendasari pada setiap bayi ( muntah, letargis, malas menetek, penurunan BB yang cepat, apnea, takipnea atau suhu yang tidak stabil) (IDAI, 2010; h.148).

Ikterus baru dapat dikatakan fisiologis apabila tidak menunjukan dasar patologis dan tidak mempunyai potensi berkembang menjadi kern-icterus. Karena bilirubin tidak terkonjugasi daat dilepaskan ke luar dari otak, maka jarang terjadi kerusakan otak akibat kadar bilirubin tidak terkonjugasi yang sangat tinggi, disebut kern-icterus (Corwin, 2009; h. 661). Kern-icterus

adalah tertimbunnya bilirubin dalam jaringan otak sehingga dapat mengganggu fungsi otak dan menimbulkan gejala klinis sesuai timbunan

(16)

tempat timbunan itu. Ada beberapa cara untuk menentukan derajat ikterus yang merupakan resiko terjadinya kern-icterus misalnya kadar

bilirubin bebas; kadar bilirubin 1 dan 2, atau secara klinis (Kramer, dapat dilihat pada Gambar 2.1) dilakukan di bawah sinar biasa (day-light).

Gambar 2.1 Daerah kulit bayi yang berwarna kuning untuk penerapan rumus Kramer

Selain dengan dilakukan pengamatan juga dapat menggunakan rumus kramer seperti yang tertera dalam tabel 2.1

Tabel 2.1 Rumus Kramer Daerah (Lihat

Gambar) LUAS IKTERUS

KADAR BILIRUBIN (mg%)

1 Kepala dan leher 5

2

Daerah 1 (+)

Badan bagian atas

9

3

Daerah 1, 2 (+)

Badan bagian bawah dan tungkai

11

4

Daerah 1, 2, 3 (+)

Lengan dan kaki di bawah dengkul

12

5

Daerah 1, 2, 3, 4 (+) Tangan dan kaki

16

Pada kern-icterus, gejala klinik pada permulaan tidak jelas, antara lain dapat disebutkan yaitu bayi tidak mau menghisap, letargi, mata berputar,

(17)

gerakan tidak menentu (involuntary movement), kejang, tonus otot meninggi, leher kaku, dan akhirnya opistotonus (Saifuddin, 2008; h. 383).

Faktor resiko terjadinya kernikterus antara lain: berat lahir kurang 2000 gram, neonatus kurang bulan, asfiksia, hipoksia, infeksi, trauma lahir, hipoglikemi, hyperkarbia dan hiperviskositas darah (FKUI, 2007; h. 1102). 6. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan penunjang pada ikterus neonatorum terdiri dari :

a. Kadar bilirubin serum (total) untuk menentukan kadar dan apakah bilirubin tidak terkonjugasi atau terkonjugasi

b. Darah tepi lengkap untuk melihat adanya sel abnormal

c. Penentuan golongan darah dan Rh dari ibu dan bayi untuk kemungkinan adanya inkompatibilitas

d. Pemeriksaan kadar enzim G-6-PD untuk mengetahui adanya defisiensi G-6-PD

e. Uji Coombs direct (untuk mendeteksi adanya antibodi maternal pada SDM bayi) dan uji coombs indirect (untuk mendeteksi adanya hemolisis pada saat SDM baru diproduksi).

(FKUI, 2007; h. 1106)

f. Taksiran hemoglobin/hematokrit untuk mengkaji anemia g. Hitung sel darah putih untuk mendeteksi infeksi

h. Zat dalam urine, misalnya galaktosa (Frasen and Cooper, 2010; h. 852).

Pemeriksaan serum bilirubin total harus diulang setiap 4-24 jam tergantung usia bayi dan tingginya kadar bilirubin. Kadar serum albumin juga

(18)

perlu diukur untuk menentukan pilihan terapi sinar ataukah tranfusi tukar (Hidayat, 2008; h. 95).

7. Penatalaksanaan

Tujuan utama adalah untuk mengendalikan agar kadar bilirubin serum tidak mencapai nilai yang dapat menimbulkan kernikterus/ensefalopati biliaris, serta mengobati penyebab langsung ikterus. Konjugasi bilirubin

dapat lebih cepat berlangsung ini dapat dilakukan dengan merangsang terbentuknya glukuronil transferase dengan pemberian obat seperti luminal atau agar. Pemberian substrat yang dapat menghambat metabolisme

bilirubin (plasma atau albumin), mengurangi sirkulasi enterohepatik (pemberian kolesteramin), terapi sinar atau transfusi hikan, merupakan tindakan yang juga dapat mengendalikan kenaikan kadar bilirubin (Corwin, 2009; h. 661).

Penghentian atau peninjauan kembali penyinaran juga dilakukan apabila ditemukan efek samping terapi sinar, antara lain: enteritis, hipertermia, dehidrasi, kelainan kulit (ruam gigitan kutu), gangguan minum, letargi dan iritabilitas. Efek samping bersifat sementara dan kadang-kadang penyinaran dapat diteruskan sementara keadaan yang menyertainya diperbaiki.

a. Ikterus fisiologis

Penatalaksanaan asuhan kebidana pada bayi dengan ikterus fisiologis sebagai berikut :

1. Lakukan perawatan bayi sehari-hari

2. Pemberian nutrisi secara adekuat terutama ASI

3. Bagi sebagian besar bayi dengan kenaikan bilirubin ringan, fototerapi adalah penatalaksanaannya

(19)

4. Ikterus akibat pemberian ASI tidak perlu terapi (Corwin, 2009; h. 661). b. Ikterus patologis

Penatalaksanaan asuhan kebidanan pada ikterus patologis :

1) Lakukan observasi dengan derajat ikterus, keadaan umum, dan TTV. 2) Lakukan pencegahan hipotermi

3) Lakukan rujukan bila terjadi ikterus patologi. 4) Pemberian nutrisi adekuat terutama ASI (Saifuddin, 2007; h. 385).

Penatalaksanaan ikterus patologis di rumah sakit : 1) Lakukan pemeriksaan laboratorium

2) Lakukan fototerapi pada saat kadar bilirubin 10 – 20 mg/dL

3) Lakukan transfusi tukar jika fototerapi gagal untuk mencegah kerusakan syaraf

(Sinclair, 2010; h. 360 – 361).

Penatalaksanaan di RSUD KRT Setjonegoro wonosobo : Prosedur fototerapi :

a. Ada perintah dari dokter yang merawat untuk melaksanakan fototerapi

b. Memberitahukan pada keluarga pasien (memberitahu manfaat dan resiko dari tindakan tersebut)

c. Bila pasien setuju siapkan blangko inform concent untuk ditandatangani

d. Merapikan tempat tidur, perlak, dan seprei e. Melepas semua baju pasien

(20)

f. Menutup kedua mata bayi dengan kain hitam yang tidak tembus cahaya

g. Menutup perut bagian bawah sampai alat genitalia dengan kain hitam yang tidak tembus cahaya

h. Menghubungkan steker dengan arus listrik i. Menekan tombol ON pada alat fototerapi j. Mengatur jarak lampu dengan bayi ± 45 Cm

k. Melakukan penyinaran selama 24 jam dengan cara 1 x 24 jam

l. Mengontrol setiap jam selama penyinaran agar tidak terjadi komplikasi yang tidak diharapkan

m. Melakukan pemeriksaan kadar bilirubin seletah 2 paket fototerapi selesai.

Efek samping dari fototerapi adalah : a. Dehidrasi

b. Iritsi kulit dan diaperrash c. Infertilitas gonadotropin

(Protap RSUD KRT Setjonegoro Wonosobo) 8. Komplikasi

Komplikasi dari ikterus adalah terjadinya cern-icterus. Cern-icterus adalah ensefalopati bilirubin yang biasanya ditemukan pada neonatus cukup bulan dengan ikterus berat (bilirubin indirect lebih dari 20 mg%) dan disertai penyakit hemolotik berat dan pada autopsi ditemukan bercak bilirubin di otak. Cern-icterus secara klinis berbentuk kelainan syaraf spastis yang terjadi secara kronik

(21)

B. Tinjauan Asuhan Kebidanan

Manajemen kebidanan adalah pendekatan yang digunakan oleh bidan dalam menerapkan metode pemecahan masalah secara sistematis mulai dari pengkajian analisa data, diagnosa kebidanan, perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi (PP IBI, 2006; h. 126).

Asuhan kebidanan adalah penerapan fungsi dan tanggung jawab dalam memberikan pelayanan kepada klien yang mempunyai kebutuhan/masalah dalam kesehatan ibu masa hamil, masa persalinan, nifas, bayi setelah lahir serta keluarga berencana (PP IBI, 2006; h. 126).

Dalam penulisan karya tulis ilmiah ini penulis menggunakan metode 7 langkah varney yang meliputi :

Langkah I : Pengumpulan Data Dasar

Pengumpulan data dasar adalah mengumpulkan data dasar yang menyeluruh untuk mengevaluasi ibu dan bayi baru lahir. Data dasar ini meliputi pengkajian riwayat, pemeriksaan fisik dan pelvik sesuai indikasi, meninjau kembali proses perkembangan keperawatan saat ini atau catatan rumah sakit terdahulu, dan meninjau kembali data laboratorium dan laporan penelitian terkait secara singkat. Data dasar yang diperlukan adalah semua data yang berasal dari sumber informasi yang berkaitan dengan kondisi ibu dan bayi baru lahir. Bidan mengumpulkan data dasar awal lengkap, bahkan jika ibu dan bayi baru lahir mengalami komplikai yang mengharuskan mereka mendapat konsultasi dokter sebagai bagian dari penatalaksanaan kolaborasi.

(22)

Langkah II : Interpretasi data

Menginterpretasi data untuk kemudian diproses menjadi masalah atau diagnosis serta kebutuhan asuhan yang diidentifikasi khusus. Data dasar yang sudah dikumpulkan diinterpretasikan sehingga dapat merumuskan diagnosa dan masalah yang spesifik. Diagnosa kebidanan adalah diagnosa yang ditegakkan bidan dalam lingkup praktek kebidanan dan memenuhi standar nomenklatur diagnosa kebidanan. Standar nomenklatur kebidanan yaitu :

1. Diakui dan disahkan oleh profesi

2. Berhubungan langsung dengan praktek kebidanan 3. Memiliki ciri khas kebidanan

4. Didukung oleh klinikal judgment dalam lingkup praktek kebidanan 5. Dapat diselesaikan dengan pendekatan manajemen kebidanan. Langkah III : Mengidentifikasi diagnosa atau masalah potensial dan

mengantisipasi penanganannya

Langkah ini mengidentifikasi masalah atau diagnosispotensial berdasarkan masalah dan diagnosa saat ini berkenaan dengan tindakan antisipasi, pencegahan jika memungkinkan, menunggu denan waspada penuh, dan persiapan terhadap semua keadaan yang mungkin muncul. Langkah IV : Menetapkan kebutuhan akan tindakan segera untuk melakukan

kolaborasi/konsultasi

Langkah ini mencerminkan sifat kesinambungan proses penatalaksanaan, yang tidak hanya dilakukan selama perawatan primer atau kunjungan pranatal periodik, tetapi juga saa bidan melakukan perawatan lanjutan pada wanita tersebut.

(23)

Langkah V : Menyusun rencana asuhan yang menyeluruh

Langkah ini ditentukan dengan mengacu pada hasil langkah sebelumnya. Langkah ini merupakan pengembangan masalah atau diagnosis yang diidentifikasi baik saat ini maupun yang dapat diantisipasi serta perawatan kesehatan yang dibutuhkan. Langkah ini dilakukan dengan mengumpulkan setiap informasi tambahan yang hilang atau diperlukan untuk melengkapi data dasar. Kemudian diambil keputusan untuk mengembangkan rencana perawatan yang menyeluruh harus mencerminkan rasional yang valid, yang didasarkan pada pengetahuan teoritis terkait yang terkini dan tepat juga pada asumsi tidak valid tentang apa yang ibu atau orang tua akan atau tidak dilakukan.

Langkah VI : Penatalaksanaan langsung asuhan yang efisien dan aman Langkah ini dapat dilakukan secara keseluruhan oleh bidan atau dilakukan sebagian oleh ibu atau orang tua, bidan atau anggota tim kesehatan lain. Apabila tidak dapat melakukannya sendiri, bidan bertanggung jawab untuk memastikan bahwa implementasi benar – benar dilakukan.

Langkah VII : Evaluasi

Evaluasi merupakan tindakan untuk memeriksa apakah rencana perawatan yang dilakukan benar – benar telah mencapai tujun, yaitu memenuhi kebutuhan ibu.

(24)

Metode pendokumentasian secara SOAP meliputi:

S (Subjektif) : Apa yang dikatakan ibu klien tersebut

O (Objektif) : Apa yang dilihat dan dirasakan bidan sewaktu

melakukan pemeriksaan (hasil laboratorium)

A (Assasment) : Kesimpulan apa yang dibuat dari data – data

subyektif atau obyektif tersebut

P (Planning) : Rencana dari tindakan yang akan dilakukan

(Priharjo, 2006; h. 14) Penerapan Asuhan Kebidanan

I. Pengkajian

Merupakan suatu cara untuk mendapatkan informasi dengan menggunakan metode wawancara dan pemeriksaan fisik.

A. Data subjektif 1. Identitas klien

Nama : Identitas dimulai dengan nama pasien, yang

harus jelas dan lengkap : nama depan, nama tengah (bila ada), nama keluarga, dan nama panggilan akrab supaya tidak ada kesalahan dalam pemberian asuhan kebidanan (Matondang, Wahidayat, dan Sastroasmoro, 2009; h. 5)

Umur : Umur harus jelas dan dilengkapi tanggal lahir,

usia anak juga diperlukan untuk menginterprestasi apakah data pemeriksaan klinis anak tersebut normal sesuai dengan

(25)

umurnya (Matondang, Wahidayat, dan Sastroasmoro, 2009; h. 5), karena pada ikterus fisiologis timbul pada bayi yang berumur dua sampai tiga hari (3 – 5 hari pada bayi yang disusui ) akan menghilang pada umur 7 – 10 hari (Sinclair, 2010; h. 359). Sedangkan ikterus patologis timbul pada umur 24 jam pertama. Pada bayi aterm menetap sampai umur 7 – 10 hari sedangkan pada bayi prematur menetap sampai umur 2 minggu (Frasen dan Cooper, 2009; h. 844).

Identitas penanggung jawab :

Nama : Nama ayah, ibu, atau wali pasien harus

dituliskan dengan jelas agar tidak keliru dengan orang lain, mengingat banyak nama yang sama (Matondang, Wahidayat, dan Sastroasmoro, 2009; h. 6).

Umur : Umur ibu harus jelas (Matondang, Wahidayat,

dan Sastroasmoro, 2009; h. 6). Dalam hal ini umur ibu tidak ada hubungannya dengan salah satu penyebab terjadinya ikterus.

Suku bangsa : Data tentang suku bangsa juga memantapkan identitas, disamping itu perilaku seseorang tentang kesehatan dan penyakit sering berhubungan dengan suku bangsa (Matondang,

(26)

Wahidayat, dan Sastroasmoro, 2009; h. 6). Suku bangsa harus jelas karena pada beberapa etnik/suku (seperti Korea, Cina, Jepang, dan Indian Amerika) merupakan salah satu faktor resiko terjadinya ikterus (Haws, 2008; h. 202).

Agama : Data tentang agama juga memantapkan

identitas, disamping itu perilaku seseorang tentang kesehatan dan penyakit sering berhubungan dengan agama (Matondang, Wahidayat, dan Sastroasmoro, 2009; h. 6). Agama penting ditanyakan untuk mengetahui keyakinan pasien tersebut untuk membimbing atau mengarahkan pasien dalam berdoa.

Pendidikan : Informasi tentang pendidikan baik ibu maupun ayah dapat menggambarkan keakuratan data yang akan diperoleh serta dapat ditentukan pola pendekatan anamnesis (Matondang, Wahidayat, dan Sastroasmoro, 2009; h. 6).

Pekerjaan : Menanyakan pekerjaan baik ibu maupun ayah

dapat menggambarkan keakuratan data yang akan diperoleh serta dapat ditentukan pola pendekatan anamnesis, pekerjaan orang tua untuk mengetahui dan mengukur tingkat sosial ekonominya, karena ini juga mempengaruhi dalam gizi pasien (Matondang, Wahidayat, dan

(27)

Sastroasmoro, 2009; h. 6). Apabila gizi ibu selama kehamilan kurang dapat menyebabkan bayinya lahir dengan BBLR. Dimana BBLR mempunyai resiko terjadinya ikterus (Frasen and Cooper, 2010; h. 843).

Alamat : Alamat ditanyakan dengan jelas meliputi nama

desa, jalan, RT/RW, kecamatan, kabupaten serta bila ada nomer telponnya ditanyakan untuk melakukan kunjungan rumah jika diperlukan selain itu juga apabila pasien gawat dapat dihubungi (Matondang, Wahidayat, dan Sastroasmoro, 2009; h. 6).

2. Alasan datang : Menanyakan dengan jelas alasan datang

kepada pasien untuk mengetahui alasan datang ke Rumah Sakit (Matondang, Wahidayat, dan Sastroasmoro, 2009; h. 6). Pada pasien ikterus fisiologis dan patologis terlihat warna kuning di bagian tubuh tertentu hanya yang membedakan biasanya pada ikterus patologis ditandai dengan muntah, letargis, malas menetek, penurunan BB yang cepat (IDAI, 2010; h.148)

3. Keluhan utama : Menanyakan keluhan utama dengan jelas dan lengkap yaitu keluhan yang menyebabkan pasien dibawa ke rumah sakit (Matondang, Wahidayat, dan Sastroasmoro, 2009; h. 6).

(28)

Untuk mengetahui tanda gejala terjadinya ikterus misalnya warna kuning pada tubuh bayi bagian tertentu (IDAI, 2010; h. 147).

4. Riwayat kesehatan :

a. Riwayat kesehatan sekarang (bayi)

Menanyakan riwayat perjalanan penyakit ini disusun cerita yang kronologis, terinci, dan jelas mengenai keadaan pasien sejak sebelum mendapat keluhan sampai ia dibawa berobat meliputi: demam, kejang, muntah, ikterus, sesak nafas, sianosis, edema, perdarahan (Matondang, Wahidayat, dan Sastroasmoro. 2009; h. 7-12), Karena pada bayi ikterus fisiologis dan patologis terlihat kuning pada bagian tubuh tertentu, ditandai dengan pewarnaan ikterus pada kulit dan sklera serta pada ikterus patologis disertai dengan demam dan muntah karena adanya perubahan produksi atau aktivitas

uridine diphosphoglucoronil transferase (IDAI, 2010; h. 154). Ikterus patologis disertai dengan adanya penyakit yang mendasari pada bayi (muntah, letargis, malas menetek, penurunan BB yang cepat, apnea, takipnea, atau demam) (IDAI, 2010; h. 148)

b. Riwayat kesehatan dahulu (ibu)

Menanyakan riwayat penyakit yang pernah diderita ibu seperti : hipertensi dan DM (Matondang, Wahidayat, dan Sastroasmoro, 2009; h. 12). Terutama riwayat gangguan hemolisis (Inkompatibilitas atau ketidaksesuaian Rh atau

(29)

darah ABO, gangguan hemolisis ini terjadi pada ibu dengan golongan darah O oleh antigen A dan B janin akan memproduksi anti-A dan Anti-B erupa IgG, yang dapat

menembus plasenta, masuk ke sirkulasi janin dan

menimbulkan hemolisis, sedangkan ibu dengan golongan darah A atau B memiliki anti-A atau anti-B berupa IgM, yang tidak dapat menembus plasenta) dan sepsis (IDAI, 2010; h. 203). Hal ini yang dapat menimbulkan terjadinya ikterus karena merupakan faktor predisposisi dan penyebab terjadinya ikterus patologis (Sinclair, 2010; h. 359).

c. Riwayat kesehatan keluarga

Menanyakan penyakit yang pernah diderita keluarga seperti jika ada saudara kandung yang mempunyai ikterus maka hal ini dapat menimbulkan terjadinya ikterus (Nelson, 2000; h. 611). Terutama pada kasus ikterus dengan penyabab inkompatibilitas Rh dan ABO karena apabila pada ibu yang sebelumnya mengandung anak pertama pernah mengalami transfusi darah yang inkompatibel atau ibu pernah mengalami keguguran dengan janin rhesus positif, pengaruh inkompatibilitas ini akan terlihat pada bayi yang dilahirkan kemudian (FKUI, 2007; h. 1096-1097).

5. Riwayat obstetri (Riwayat kehamilan, persalinan, dan nifas yang lalu)

Hal pertama yang ditanyakan adalah keadaan ibu saat hamil, bersalin, dan nifas dalam keadaan sehat (Matondang, Wahidayat,

(30)

dan Sastroasmoro, 2009; h. 12-13). Riwayat persalinan ibu meliputi tanggal persalinan, jenis persalinan dan keadaan bayi segera setelah lahir. Jenis persalinan seperti vakum dapat menyebabkan trauma lahir dan keadaan bayi bila terjadi asfiksia, lahir prematur, serta adanya infeksi neonatal. Hal ini dapat menyebabkan terjadinya ikterus pada bayi (FKUI, 2007; h. 1102). 6. Riwayat imunisasi

Riwayat imunisasi pasien baik imunisasi dasar maupun imusisasi ulangan (booster) harus secara rutin ditanyakan (Matondang, Wahidayat, dan Sastroasmoro, 2009; h. 14). Dalam hal ini imunisasi tidak ada hubungannya dengan kejadian ikterus. 7. Pola kebutuhan sehari – hari

a. Pola intake nutrisi

Mengetahui tentang makanan yang dikonsumsi baik jangka pendek (beberapa waktu sebelum pasien sakit), maupun jangka panjang (sejak lahir) (Matondang, Wahidayat, dan Sastroasmoro, 2009; h. 13). Mengetahui nutrisi yang didapatkan oleh bayi. Pemberian ASI yang adekuat akan mengurangi terjadinya ikterus fisiologis. Pada bayi yang diberi susu formula cenderung mengeluarkan bilirubin yang lebih banyak dibandingkan dengan yang diberi ASI (IDAI, 2010; h. 153).

b. Pola eliminasi

Untuk mengetahui pola BAK dan BAB meliputi frekuensi, konsistensi, dan keluhan. Pada bayi dengan ikterus warna

(31)

fesesnya pucat dan warna urine kuning atau jingga (Fraser dan Cooper, 2009; h. 843). Hal tersebut disebabkan adanya sumbatan intrahepatik yang menyebabkan penurunan ekskresi bilirubin dalam saluran pencernaan yang kemudian akan menyebabkan tinja berwarna pucat dan urine kuning atau jingga, karena adanya sterkobilinogen dan urobilinogen

menurun (FKUI, 2007; h. 521-522). c. Pola aktivitas

Untuk mengetahui aktivitas yang dilakukan bayi saat bayi terjaga. Karena pada bayi ikterus patologis bayi terlihat rewel dan menangis dengan nada tinggi (Frasen and Cooper, 2010; h. 851). Keadaan tersebut disebabkan karena dehidrasi dan kelaparan (Frasen and Cooper, 2010; h. 843).

d. Pola istirahat

Menggambarkan beberapa lama bayi bisa beristirahat. Pada bayi ikterus pola istirahatnya normal sedangkan pada bayi dengan ikterus patologis istirahatnya terganggu karena adanya dehidrasi (Frasen and Cooper, 2010; h.851).

B. Data Objektif 1. Keadaan umum

Untuk mengetahui keadaan pasien, apakah dalam keadaan distres akut yang memerlukan penanganan segera atau dalam keadaan relatif stabil (Matondang, Wahidayat, dan Sastroasmoro, 2009; h. 22). Pada bayi yang mengalami mengalami ikterus

(32)

fisiologis keadaan umumnya baik. Tetapi pada ikterus patologis keadaan umumnya cukup (IDAI, 2010; h. 147 – 148)

2. Tingkat kesadaran

Untuk mengetahui tingkat kesadaran pasien (Matondang, Wahidayat, dan Sastroasmoro, 2009; h. 23). Pada bayi yang mengalami ikterus fisiologis tingkat kesadaran bayi composmentis yaitu bayi mengalami kesadaran yang penuh dengan memberikan respon yang cukup terhadap stimulus yang diberikan dan somnolen yaitu bayi memiliki tingkat kesadaran yang lebih rendah dengan ditandai bayi tampak mengantuk, tidak responsif dengan stimulus yang diberikan biasanya terjadi pada ikterus patologis (Fraser dan Cooper, 2009; h. 843).

3. Tanda vital a. Bunyi jantung

Pemeriksaan bunyi jantung untuk menilai keadaan bayi. Pemeriksaan denyut jantung dikatakan normal apabila frekuensinya antara 120 – 160 kali per menit. Pada bayi ikterus umumnya bunyi jantung normal apabila tidak disertai kelainan tertentu pada jantung (Hidayat, 2008; h. 66).

b. Suhu

Mengetahui suhu tubuh bayi diukur menggunakan termometer yang diselipkan di aksila, oral, atau rektal bayi. Normalnya suhu tubuh bayi adalah 36,5 – 37,5 °C ( Hidayat, 2008; h. 67). Pada ikterus fisiologis suhunya normal, tetapi pada ikterus patologis mengalami ketidakstabilan suhu karena

(33)

adanya perubahan produksi atau aktivitas uridine diphosphoglucoronil transferase (IDAI, 2010; h. 147).

c. Respirasi

Pemeriksaan frekuensi nafas ini dilakukan dengan menghitung rata – rata pernafasan dalam satu menit. Pemeriksaan ini dikatakan normal apabila frekuensinya antara 30 – 60 kali per menit, tanpa ada retraksi dinding dada, dan suara merintih saat ekspirasi (Hidayat, 2008; h. 66). Pada ikterus fisiologis pernafasannya normal tetapi pada ikterus patologis ditandai dengan adanya apnea atau takipnea (IDAI, 2010; h. 147).

4. Antropometri a. Berat badan

Berat badan diukur untuk menentukan status gizi bayi baik, cukup, atau gizi kurang. Normalnya berat badan bayi adalah 2500 – 4000 Gram. Pada bayi prematur, status gizi kurang, atau BBLR dapat menyebabkan terjadinya ikterus (Frasen dan Cooper, 2009; h. 843). pada ikterus patologis terjadi penurunan berat badan yang cepat (IDAI, 2010; h. 148)

b. LILA

Untuk menentukan status gizi bayi baik, cukup, atau kurang

gizi, normalnya 11 (Matondang, Wahidayat, dan

Sastroasmoro, 2009; h. 33). Pada bayi prematur, status gizi kurang, atau BBLR dapat menyebabkan terjadinya ikterus (Frasen dan Cooper, 2009; h. 843).

(34)

5. Pemeriksaan fisik a. Kepala

Untuk menilai lingkar kepala bayi apakah normal atau tidak, status gizi, benjolan, luka, sutura (Matondang, Wahidayat, dan Sastroasmoro, 2009; h. 34). Warna kulit kepala bayi yang ikterus kuning dan terdapat benjolan atau luka akibat trauma lahir (Saifuddin, 2007; h. 385).

b. Muka

Pemeriksaan ini dilakukan untuk menilai apakah ada kelainan atau tidak seperti asimetri wajah (Matondang, Wahidayat, dan Sastroasmoro, 2009; h. 50). Apabila pada bayi ikterus warna kulit kuning (Saifuddin, 2007; h. 385)

c. Mata

Pemeriksaan mata dilakukan untuk melihat adanya kesimetrisan dan warna pada sklera (Hidayat, 2008; h. 68). Pada bayi yang terkena ikterus terlihat warna sklera kuning (IDAI, 2010; h. 147).

d. Telinga

Pemeriksaan telinga dilakukan untuk menilai adanya gangguan pendengaran dan melihat kesimetrisan telinga (Hidayat, 2008; h.68). Pada bayi dengan ikterus terlihat warna kuning pada telinga (Saifuddin, 2007; h. 385).

e. Mulut

Pemeriksaan mulut dilakukan untuk menilai ada kelainan pada mulut, warna lidah, dan kemampuan refleks menghisap

(35)

(Hidayat, 2008; h. 68). Pada ikterus fisiologis tidak ada kelainan tetapi untuk ikterus patologis didapati refleks menghisap kurang (Frasen dan Cooper, 2009; h. 843).

f. Hidung

Untuk menilai bentuk hidung, sekret, dan gerakan cuping hidung (Matondang, Wahidayat, dan Sastroasmoro, 2009; h. 56). Pada bayi dengan ikterus kurang bulan didapati adanya cuping hidung (IKA, 2007; h. 1053)

g. Leher

Menilai adanya pembesaran kelenjar limfe, kelenjar thiroid, dan bendungan vena jugularis, kaku kuduk, dan kelainan (Matondang, Wahidayat, dan Sastroasmoro, 2009; h. 64). Pada bayi dengan ikterus akan didapati warna kuning pada leher yang menandakan batas kramer 1 (Saifuddin, 2007; h. 285).

h. Dada

Mengetahui adanya retraksi dinding dada dan kesimetrisan (Matondang, Wahidayat, dan Sastroasmoro, 2009; h. 68). Warna pada bayi ikterus warna kulit dada kuning dan terdapat retraksi dinding dada pada bayi kurang bulan (IKA , 2007; h. 1102)

i. Abdomen

Menilai bentuk abdomen, dinding perut, gerakan dinding perut, auskultasi, dan perkusi (Matondang, Wahidayat, dan Sastroasmoro, 2009; h. 96-99). Pada ikterus fisiologis bentuk

(36)

abdomen normal sedangkan pada ikterus patologis dijumpai bentuk perut buncit karena adanya pembesaran hati selain itu juga menilai keadaan tali pusat, dan peristaltik usus (Hidayat, 2008; h. 69). Warna abdomen pada bayi ikterus berwarna kuning sebagai batas kramer 2 (Saifuddin, 2007; h. 385). j. Punggung

Pemeriksaan ini dilakukan untuk menilai ada tidaknya kelainan bentuk tulang belakang (Matondang, Wahidayat, dan Sastroasmoro, 2009; h. 101). Warna punggung bayi dengan ikterus adalah kuning (Saifuddin, 2007; h. 385).

k. Ekstremitas

Menilai ekstremitas atas dan bawah meliputi keutuhan jumlah jari, gerakan, warna kuku (Matondang, Wahidayat, dan Sastroasmoro, 2009; h. 121). Warna kuku dan kulit ada bayi dengan ikterus adalah kuning (Saifuddin, 2007; h. 385). Pada ikterus patologis gerakan lemah (IKA, 2007; h. 1102).

l. Genitalia

Pemeriksaan genitalia melihat jenis kelamin, apabila perempuan : mengetahui keadaan labia minora tertutup labia mayora, lubang urethra dan vagina harusnya terpisah sedangkan pada bayi laki – laki: adanya testis dalam scrotum,lubang urethra berada di ujung penis (Hidayat, 2008; h. 69). Warna genitalia pada bayi ikterus adalah kuning (Saifuddin, 2007; h. 385).

(37)

m. Anus

Menilai adanya lubang anus, refleks anal, dan kelainan (Matondang, Wahidayat, dan Sastroasmoro, 2009; h. 112). Pada bayi dengan ikterus didapati anus berwarna kuning (Saifuddin, 2007; h. 385).

n. Kulit

Menilai warna kulit apabila pada bayi dengan ikterus berwarna kuning yaitu sebagai berikut:

Kramer 1 : Kepala dan leher

Kramer 2 : Kremer I dan badan bagian atas

Kramer 3 : Kramer 1, 2, dan badan bagian bawah

serta tungkai

Kramer 4 : Kramer 1, 2, 3, dan lengan serta kaki di bawah dengkul

Kramer 5 : Kramer 1, 2, 3, 4, dan tangan serta kaki adanya vernic ceseosa, elastisitas, tipis / transparant, dan tanda lahir (Saifuddin, 2007; h. 385).

o. Refleks

1) Morro : Bayi apabila diubah posisinya secar tiba

– tiba atau pukul meja atau tempat tidursecara langsung lengan ekstensi, dan tungkai sedikit fleksi (Hidayat, 2008; h. 70). Pada ikterus patologis refleks ini lamah/tidak ada sama sekali sedangkan

(38)

pada ikterus fisiologis refleks ini normal (IDAI, 2010; h. 147 – 148).

2) Rooting : Apabila gores sudut mulut bayi maka

maka bayi akan memutar ke arah pipi yang digores (Hidayat, 2008; h. 71).

3) Sucking : Refleks menghisap bayi. Pada bayi

dengan ikterus refleks menghisapnya lemah (Hidayat, 2008; h.71)

4) Walking : Bayi bila dipegang kakinya sedikit

menyentuh permukaan yang keras maka kaki bayi akan bergerak ke atas dan ke bawah bila sedikit disentuh (Hidayat, 2008; h. 70).

5) Tonic neck : Apabila diputar denagn cepat kesatu

arahmaka bayi melakukan perubahan lengan dan tungkai ekstensi kearah sisi putaran kepala dan fleksi pada sisi yang berlawanan (Hidayat, 2008; h. 71).

6) Babinski : Bila telapak kaki digores sepanjang tepi luar, dimulai dari tumit, maka jari kaki mengembang dan ibu jari dorsofleksi (Hidayat, 2008; h. 70).

(39)

p. Pemeriksaan penunjang

Pemeriksaan yang dilakukan untuk mengetahui kadar

bilirubin dalam darah, darah tepi, kadar enzim G-6-PD, uji coombs, dan mengetahui penyebab ikterus, inkompatabilitas darah ABO (Fraser and cooper, 2009; h. 852).

II. Interpretasi Data A. Diagnosa

Bayi Ny...umur...hari dengan ikterus patologis Data dasar :

a. Dasar subjektif

a. Pernyataan ibu mengenai alasan datang dan tanggal kelahiran.

b. Pernyataan ibu mengenai keluhan utama : bayi terlihat kuning pada bagian tertentu, malas menetek, berat badan menurun, letargi, dan muntah .

b. Dasar objektif

a. Keadaan umum cukup dan kesadaran bayi rendah dengan ditandai bayi tampak mengantuk, tidak responsif dengan stimulus yang diberikan.

b. Riwayat kelahiran : adanya trauma lahir, bayi dengan afiksia, lahir prematur, dan adanya infeksi neonatal

c. Pemeriksaan fisik ditemukan warna kulit kuning pada bagian tubuh bayi, selaput lendir, urin berwarna seperti teh, letargi, hipotonus, refleks menghisap kurang, tremor, dan kejang.

(40)

d. Pemeriksaan laoratorium yang dilakukan adalah pemariksaan darah (untuk mengetahui kadar bilirubin total, darah tepi untuk mengetahui adanya sel abnormal, penentuan golongan darah dan Rh untuk kemungkinan adanya inkompatibilitas, pemeriksaan kadar enzim G-6-PD, mendeteksi adaya antibody dalam sel darah merah bayi, hemolisis pasa sel darah merah yang baru diproduksi, taksran hemoglobin untuk mengkaji anemia, hitung sel darah putih untuk mendeteksi infeksi) dan urine (untuk mendeteksi misal galaktosa) ( FKUI, 2007; h. 1108). B. Masalah

Malas menetek, kebutuhannya beri ASI yang adekuat III. Diagnosa Potensial Dan Antisipasi

Potensial terjadi kern icterus.

Antisipasi kolaboasi dengan dokter spesialis anak

IV. Identifikasi Kebutuhan Akan Tindakan Segera Atau Kolaborasi Dan Konsultasi

Konsultasi dengan dokter spesialis anak untuk menentukan penanganan yang tepat sesuai berapa kadar bilirubin total (IDAI, 2010; h.158)

V. Perencanaan

A. Lakukan pemeriksaan laboratorium

B. Lakukan fototerapi pada saat kadar bilirubin 10 – 20 mg/dL

C. Lakukan transfusi tukar jika fototerapi gagal untuk mencegah kerusakan syaraf

(41)

VI. Pelaksanaan

A. Melakukan pemeriksaan laboratorium meliputi pemeriksaan : kadar bilirubin total, darah tepi, golongan darah dan Rh, uji Coombs, taksiran hemoglobin/hematokrit, sel darah putih, dan zat dalam urine (FKUI, 2007; h. 1106)

B. Melakukan fototerapi pada saat kadar bilirubin 10 – 20 mg/dL

Fototerapi dapat digunakan pada pra dan pasca transfusi tukar (FKUI, 2007; h. 1108).

Cara terapi dengan fototerapi :

1. Diusahakan agar bagian tubuh bayi yang kena sinar dapat seluas mungkin dengan membuka pakaian bayi

2. Kedua mata ditutup dengan penutup yang dapat memantulkan cahaya

3. Bayi diletakkan 8 inci dibawah sinar lampu. Jarak ini dianggap jarak yang terbaik untuk mendapatkan energi yang optimal

4. Posisi bayi sebaiknya diubah – ubah setiap 18 jam agar bagian tubuh yang terkena cahaya dapat menyeluruh

5. Suhu bayi diukur secara berkala 4 – 6 jam/kali

6. Kadar bilirubin diperiksa setiap 8 jam atau sekurang – kurangnya sekali dalam 24 jam

7. Hemoglobin juga harus diperiksa secara berkala terutama pada penderita dengan hemolisis

8. Perhatikan hidrasi bayi, bila perlu konsumsi cairan bayi dinaikkan 9. Lamanya terapi sinar dicatat

(42)

C. Melakukan transfusi tukar jika fototerapi gagal untuk mencegah kerusakan syaraf ( Sinclair, 2010; h. 360 – 361).

Pada umumnya transfusi tukar dilakukan dengan indikasi sebagai berikut :

1. Pada semua keadaan dengan kadar bilirubinindirek ≥ 20 mg%

2. Kenaikan kadar bilirubin yang cepat, yaitu 0,3 sampai 1 mg% per jam.

3. Anemia berat pada neonatus dengan gejala gagal jantung. 4. Bayi dengan kadar hemoglobin tali pusat < 14 mg% dan uji

Coombs direk positif (FKUI, 2007; h. 1108). Prosedur trasfusi tukar :

1. Persiapan darah sebelum penukaran : CBC, hitung retikulasit, apus darah tepi, bilirubin, Ca++, glukosa, protein total, Rh, golongan darah, dan coombs

2. Perlu kateter menetap vena umbilikalis (umbilical vena, UV) (lumen ganda) atau kateter UV dan kateter arteri umbilikalis (umbilical artery, UA) untuk mengambil dan memasukkan darah

3. Dengan kondisi steril sebagian kecil darah (<10% volume darah) diambil secra serial dan diganti dengan darah donor atau salin

4. Pemeriksaan darah pasca transfusi tukar : elektrolit, nitrogen urea darah (BUN), kreatin, Ca++, glukosa, CBC, trombosit, bilirubin, dan gologan darah (Haws, 2008; h. 206)

(43)

Kebutuhan cairan pada neonatus :

Tabel 2.2 Kebutuhan dasar cairan pada neonatus

Hari Kelahiran Cairan/kg/hari

Hari ke – 1 60 ml Hari ke – 2 70 ml Hari ke – 3 80 ml Hari ke – 4 90 ml Hari ke – 5 100 ml Hari ke – 6 110 ml Hari ke – 7 120 ml Hari ke > 10 150 – 200 ml (Saifuddin, 2007; h. 380)

Penatalaksanaan di RSUD KRT Setjonegoro wonosobo : Prosedur fototerapi :

a. Ada perintah dari dokter yang merawat untuk melaksanakan fototerapi

b. Memberitahukan pada keluarga pasien (memberitahu manfaat dan resiko dari tindakan tersebut)

c. Bila pasien setuju siapkan blangko inform concent untuk ditandatangani

d. Merapikan tempat tidur, perlak, dan seprei e. Melepas semua baju pasien

f. Menutup kedua mata bayi dengan kain hitam yang tidak tembus cahaya

g. Menutup perut bagian bawah sampai alat genitalia dengan kain hitam yang tidak tembus cahaya

h. Menghubungkan steker dengan arus listrik i. Menekan tombol ON pada alat fototerapi j. Mengatur jarak lampu dengan bayi ± 45 Cm

(44)

k. Melakukan penyinaran selama 24 jam dengan cara 1 x 24 jam

l. Mengontrol setiap jam selama penyinaran agar tidak terjadi komplikasi yang tidak diharapkan

m. Melakukan pemeriksaan kadar bilirubin seletah 2 paket fototerapi selesai.

Efek samping dari fototerapi adalah : a. Dehidrasi

b. Iritsi kulit dan diaperrash c. Infertilitas gonadotropin

(Protap RSUD KRT Setjonegoro Wonosobo) VII. Evaluasi

Evaluasi yaitu umpan balik dari perencanaan dan pelaksanaan yang telah dilakukan.

1. Bila fototerapi tidak banyak perubahan dalam konsentrasi bilirubin, perlu perhatikan kemugkinan lampu yang tidak efektif atau adanya komplikasi seperti dehidrasi, hipoksia, infeksi, dan gangguan metabolisme dan lain – lain (IKA, 2007; h. 1113)

2. Setelah dilakukan transfusi tukar observasi adanya trombositopenia, trombosis vena porta, perforasi vena umbilikalis, aritma jantung, dan necrotizing enterocolitis (Haws, 2008; h.206). Data perkembangan I

Tanggal ... Jam ...

S : Ibu mengatakan bayi BAB berapa kali sehari dan warnanya, BAK berapa kali sehari dan warnyanya, bayi menghisapnya lemah atau kuat.

(45)

O : Pada pemeriksaan fisik, kulit bayi berwarna kuning pada bagian tertentu tubuh bayi dan hasil pemeriksaan laboratorium (pemeriksaan bilirubin ulang tergantung umur bayi, evolusi hiperbilirubinemia, dan jika derajat ikterus meragukan) (IDAI, 2010; h. 158).

A : Bayi Ny. ... umur ... hari ... dengan ikterus patologis. P : 1. Berikan suplemantasi ASI yang dipompa atau formula (pada bayi

menyusui yang mendapat fototerapi) cukup jika asupan bayi tidak adekuat, berat badan turun berlebihan, atau bayi tampak dehidrasi 2. Lanjutkan fototerapi dengan patokan kadar bilirubin total

3. Lakukan pengawasan terhadap resiko kemungkinan terjadinya hiperbilirubinemia berat

(IDAI, 2010; h. 158-164). C. Aspek Hukum

Bidan dalam melaksanakan pelayanan Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) sesuai dengan kewenangannya. Adapun kewenangan bidan dalam kasus ini yaitu :

1. Kepmenkes (1464/MENKES/PER/X/2010 pada pasal 9 huruf B dan pada pasal 11 ayat 2 huruf C )

Pasal 9

Bidan dalam menjalankan praktik berwenang untuk memberikan pelayanan yang meliputi :

a. Pelayanan kesehatan ibu; b. Pelayanan kesehatan anak; dan

c. Pelayanan kesehatan reproduksi perempuan dan keluarga berencana

(46)

Pasal 11 ayat 2

Bidan dalam memberikan pelayanan kesehatan anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berwenang untuk :

a. Melakukan asuhan bayi baru lahir normal termasuk resusitasi, pencegahan hipotermi, inisiasi menyusui dini, injeksi Vitamin K 1, perawatan bayi baru lahir pada masa neonatal (0 – 28 hari), dan perawatan tali pusat

b. Penanganan hipotermi pada bayi baru lahir dan segera merujuk c. Penanganan kegawat – daruratan dilanjutkan dengan perujukan d. Pemberian imunisasi rutin sesuai program pemerintah

e. Pemantauan tumbuh kembang bayi, anak balita, dan anak pra sekolah

f. Pemberian konseling dan penyuluhan g. Pemberian surat keterangan kelahiran, dan h. Pemberian surat keterangan kematian

2. Standar pelayanan kebidanan yang mengatur tugas pokok dan kompetensi bidan ( kompetensi ke-6 pada nomor 8 dan kompetensi ke-7 nomor 12 ) :

a. ASUHAN PADA BAYI BARU LAHIR

Kompetensi ke-6 : Bidan memberikan asuhan yang bermutu tinggi, komperhensif pada bayi baru lahir sehat sampai dengan 1 bulan. Pengetahuan Dasar :

1. Adaptasi bayi baru lahir terhadap kehidupan di luar uterus.

2. Kebutuhan dasar bayi baru lahir: kebersihan jalan napas, perawatan tali pusat, kehangatan, nutrisi, “bonding & attachment”.

(47)

3. Indikator pengkajian bayi baru lahir, misalnya dari APGAR. 4. Penampilan dan perilaku bayi baru lahir.

5. Tumbuh kembang yang normal pada bayi baru lahir selama 1 bulan.

6. Memberikan immunisasi pada bayi.

7. Masalah yang lazim terjadi pada bayi baru lahir normal seperti: caput, molding, mongolian spot, hemangioma.

8. Komplikasi yang lazim terjadi pada bayi baru lahir normal seperti: hypoglikemia, hypotermi, dehidrasi, diare dan infeksi, ikterus. 9. Promosi kesehatan dan pencegahan penyakit pada bayi baru lahir

sampai 1 bulan.

10. Keuntungan dan resiko immunisasi pada bayi. 11. Pertumbuhan dan perkembangan bayi premature.

12. Komplikasi tertentu pada bayi baru lahir, seperti trauma intra-cranial, fraktur clavicula, kematian mendadak, hematoma.

ASUHAN PADA BAYI DAN BALITA

Kompetensi ke-7 : Bidan memberikan asuhan yang bermutu tinggi, komperhensif pada bayi dan balita sehat (1 bulan – 5 tahun).

Pengetahuan Dasar :

1. Keadaan kesehatan bayi dan anak di Indonesia, meliputi: angka kesakitan, angka kematian, penyebab kesakitan dan kematian. 2. Peran dan tanggung jawab orang tua dalam pemeliharaan bayi

dan anak.

3. Pertumbuhan dan perkembangan bayi dan anak normal serta

(48)

4. Kebutuhan fisik dan psikososial anak.

5. Prinsip dan standar nutrisi pada bayi dan anak. Prinsip-prinsip komunikasi pada bayi dan anak.

6. Prinsip keselamatan untuk bayi dan anak.

7. Upaya pencegahan penyakit pada bayi dan anak misalnya pemberian immunisasi.

8. Masalah-masalah yang lazim terjadi pada bayi normal seperti: gumoh/regurgitasi, diaper rash dll serta penatalaksanaannya. 9. Penyakit-penyakit yang sering terjadi pada bayi dan anak.

10. Penyimpangan tumbuh kembang bayi dan anak serta penatalaksanaannya.

11. Bahaya-bahaya yang sering terjadi pada bayi dan anak di dalam dan luar rumah serta upaya pencegahannya.

12. Kegawat daruratan pada bayi dan anak serta penatalaksanaannya.

Gambar

Gambar 2.1 Daerah kulit bayi yang berwarna kuning untuk  penerapan  rumus Kramer
Tabel 2.2 Kebutuhan dasar cairan pada neonatus

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil simuasi dan pembahasan yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa, implementasi metode Hot-deck Imputation dan metode KNNI pada data Susenas Maret Tahun 2017

Puji dan syukur panjatkan kepada Tuhan yang Maha Esa, kelimpahan rahmat dan karunia Nya sehingga dapat menyelesaukan tesis tentang “ Pengaruh Kompensasi dan

Pada tabel 1 menunjukkan sampel bukan perokok A dan C memiliki vital capacity yang lebih tinggi dari sampel B dan D hal ini bisa disebabkan oleh beberapa hal, yaitu pada sampel B

(1) Sosialisasi peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf b, untuk pembinaan daerah tertinggal terentaskan dilakukan oleh Menteri kepada

c. Mahasiswa dan Lulusan: 1) Secara kuantitatif, jumlah mahasiswa baru yang diterima Prodi PAI relatif stabil dan di atas rata-rata dibandingkan dengan jumlah

Deklarasi tentang bebasnya komoditas dari organisme (biasanya bakteri) yang menimbulkan penyakit pada manusia biasanya diminta oleh pengimpor komoditas asal hewan/ikan dan

488 SITI PURWANTI SD MUHAMMADIYAH GIRIKERTO Turi SMPN 1 SLEMAN 489 RR RATNA DWI ASTUTI SD MUHAMMADIYAH GENDOL 1 Tempel SMPN 1 SLEMAN. 490 WIDARTI SD MUHAMMADIYAH NGABEAN 1 Tempel SMPN

Bila ditelusuri lebih jauh banyak lagi masalah yang dapat diidentifikasi, namun dalam penelitian ini tidak semua permasalahan yang dikemukakan di atas dapat diteliti, agar lebih