• Tidak ada hasil yang ditemukan

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Karakteristik Limbah Cair Industri Tahu

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Karakteristik Limbah Cair Industri Tahu"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Karakteristik Limbah Cair Industri Tahu

Limbah merupakan zat sisa atau bahan yang dihasilkan dari proses pembuatan produk dari suatu industri yang kurang memiliki nilai guna (Pareira 2009). Jumlah aliran air limbah yang berasal dari industri sangat bervariasi tergantung dari jenis dan besar kecilnya industri, pengawasan pada proses industri, derajat penggunaan air dan metoda pengolahan air limbah yang digunakan. Jumlah air limbah yang dihasilkan oleh industri yang tidak menggunakan proses basah diperkirakan sekitar 50 m3/ha/hari. Sebagai patokan dapat dipergunakan pertimbangan bahwa 85 – 95 % dari jumlah air yang dipergunakan tersebut akan menjadi air limbah, sedangkan apabila industri tersebut memanfaatkan kembali air limbahnya maka jumlah air limbah akan lebih sedikit (Sugiharto 1987).

Sesuai dengan sumber asalnya, maka air limbah mempunyai komposisi, kualitas dan kuantitas yang sangat bervariasi dari setiap tempat dan setiap saat, tetapi secara garis besar dapat dilakukan pengelompokkan berdasarkan zat-zat yang terkandung di dalam air limbah sebagaimana dijelaskan oleh skema berikut.

Gambar 2. Skema pengelompokan bahan yang terkandung di dalam air limbah (Sugiharto 1987)

Air Limbah

Air

(99,9%)

Bahan Padat

(0,1%)

Organik

Anorganik

(2)

Limbah industri tahu adalah limbah yang dihasilkan dalam proses pembuatan tahu maupun pada saat pencucian kedelai. Sumber limbah pabrik tahu berasal dari proses perendaman kedelai serta proses pemisahan jonjot-jonjot tahu. Limbah yang dihasilkan berupa limbah padat dan cair. Limbah cair yang dihasilkan mengandung padatan tersuspensi maupun terlarut, akan mengalami perubahan fisika, kimia, dan biologi yang akan menghasilkan zat beracun atau menciptakan media untuk tumbuhnya mikroorganisme. Adapun limbah padat yang biasa disebut ampas tahu dapat diolah kembali menjadi oncom atau dapat dimanfaatkan sebagai makanan ternak, seperti ayam, bebek, sapi, kambing , dan sebagainya (Pareira 2009).

Industri tahu merupakan industri yang banyak menggunakan air dalam proses produksinya, baik sebagai bahan pencuci, pendingin dan bahan baku produksi. Air yang digunakan dalam proses produksi tahu sekitar 25 L per 1 kg bahan baku kedelai. Kedelai sebagai bahan baku tahu, mengandung protein (34,9%), karbohidrat (34,8%), lemak (18,1%) dan bahan-bahan nutrisi lainnya. Akibatnya, limbah cair yang dihasilkan dapat mengandung bahan organik yang tinggi. Bahan organik dalam limbah cair merupakan media yang baik untuk pertumbuhan mikroba. Oleh karena itu, limbah cair industri tahu merupakan salah satu sumber pencemar biologis, sehingga dibutuhkan pengolahan limbah yang memadai (Sudaryati et.al. 2008).

Limbah cair industri tahu mengandung bahan organik yang tinggi sehingga bila terurai akan menimbulkan bau yang tidak sedap. Limbah cair dari proses produksi tahu kuning berwarna kuning keruh dan berbau rebusan kedelai jika masih segar, sedangkan limbah cair dari proses produksi tahu putih berwarna putih keruh dengan bau kedelai jika masih segar (Departemen Pertanian 2009).

Adapun karakterisik limbah cair industri tahu putih dan kuning dapat dilihat pada Tabel 1.

(3)

Tabel 1. Karakteristik Limbah cair industri tahu Putih dan Tahu Kuning

Parameter Satuan Tahu Putih Tahu Kuning

< 100

kg/hari > 100 kg/hari < 100 kg/hari > 100 kg/hari Jumlah Limbah Cair liter 150 - 430 > 1000 L 460 - 780 > 2000 DO mg/L 1,5 – 2,2 1,93 1,3 – 1,5 1,2 BOD mg/L 2800 - 4300 4100 3500 - 4600 5800 pH - 3,4 – 3,8 3,56 3,8 – 3,9 3,66 TSS mg/L 615 - 629 > 640 716 - 760 > 800 Sumber : Departemen Pertanian 2009

Untuk limbah cair industri tahu ada dua hal yang perlu diperhatikan yakni karakteristik fisik dan kimia. Karakteristik fisik meliputi padatan total tersuspensi, suhu, warna, dan bau. Karakteristik kimia meliputi bahan organik, bahan anorganik dan gas (Departemen Pertanian 2009). Proses pembuatan tahu dan jenis limbah yang dihasilkan dapat dilihat pada Lampiran 2.

Suhu limbah cair buangan industri tahu berasal dari proses pemasakan kedelai. Suhu limbah cair industri tahu pada umumnya lebih tinggi dari air bakunya, yaitu 40ºC sampai 46ºC. Tingginya suhu buangan tersebut akan mempengaruhi lingkungan perairan yang selanjutnya akan berpengaruh terhadap kehidupan biologis, kelarutan oksigen dan gas lain, kerapatan air, viskositas, dan tegangan permukaan (Departemen Pertanian 2009).

Bahan-bahan organik yang terkandung di dalam air buangan industri tahu pada umumnya sangat tinggi. Senyawa-senyawa organik di dalam air buangan tersebut berisikan antara lain protein, karbohidrat, lemak dan minyak. Tingginya bahan organik dalam limbah cair ini akan menyulitkan pengelolaan limbah, karena beberapa zat sulit diuraikan oleh mikroorganisme (Rossiana 2006). Adapun persentase kandungan zat-zat tersebut dapat dilihat pada Tabel 2

(4)

Tabel 2. Persentase kandungan zat setiap 100 gram kedelai Komponen Kadar (%) Protein 35-45 Lemak 18-32 Karbohidrat 12-30 Air 7 Sumber : Rossiana 2006

Menurut Welch (1952), dekomposisi bahan organik (secara aerobik) oleh mikroorganisme di air merupakan salah satu hal yang dapat menurunkan kelarutan oksigen selain adanya respirasi oleh tanaman air. Persediaan oksigen terlarut yang mencukupi merupakan salah satu syarat utama untuk hidup bagi organisme akuatik. Oleh karena itu, proses pemakaian oksigen memerlukan pertimbangan yang hati-hati. Sumber oksigen terlarut di air berasal dari difusi atmosfer ke dalam air dan melalui fotosintesis oleh tanaman. Difusi oksigen dari atmosfer ke dalam air , selain diakibatkan oleh adanya perbedaan suhu air dan udara, juga terjadi ketika air mengalami kontak dengan udara melalui gelombang, riak, maupun air terjun.

Menurut Jeffries dan Mills (1996) in Effendi (2003), pada siang hari, pelepasan oksigen oleh proses fotosintesis yang berlangsung intensif pada lapisan eufotik lebih besar daripada oksigen yang dikonsumsi oleh proses respirasi. Pada malam hari, fotosintesis berhenti tetapi respirasi terus berlangsung. Kadar oksigen maksimum terjadi pada sore hari, sedangkan kadar minimum terjadi pada malam/dini hari. Fluktuasi harian oksigen dapat mempengaruhi parameter yang lain. Selain akibat proses respirasi tumbuhan dan hewan, hilangnya oksigen di perairan juga terjadi karena oksigen dimanfaatkan oleh mikroba untuk mengoksidasi bahan organik (Boyd 1988 in Effendi 2003). Miller (1998) in Khiatuddin (2003) menyatakan bahwa kadar oksigen terlarut lebih rendah dari 4,5 mg/L tergolong tercemar berat.

Dalam menentukan besarnya kandungan bahan organik digunakan beberapa teknik pengujian seperti BOD (Biochemical Oxygen Demand), COD (Chemical Oxygen Demand) dan TOM (Total Organic Meter). Uji BOD merupakan parameter yang sering digunakan untuk mengetahui tingkat pencemaran bahan organik, baik dari industri ataupun dari rumah tangga (Welch 1992 in Rossiana

(5)

2006). Air dengan BOD tinggi menunjukkan kandungan bahan organik yang tinggi (untuk bahan organik yang dapat terurai secara biologis), sehingga dibutuhkan sejumlah oksigen yang cukup besar untuk mendekomposisi bahan organik tersebut. Apabila kadar bahan organik terlalu besar sementara kadar oksigen tidak memadai, maka akan terjadi defisiensi oksigen sehingga tidak mampu mendukung kehidupan organisme yang membutuhkan oksigen (Suyasa dan Dwijani 2007). Perairan yang memiliki nilai BOD lebih dari 10 mg/l dianggap telah mengalami pencemaran. Nilai BOD limbah industri dapat mencapai 25.000 mg. Nilai COD pada perairan yang tidak tercemar biasanya kurang dari 20 mg/l, sedangkan pada perairan yang tercemar dapat lebih dari 200 mg/l dan pada limbah industri dapat mencapai 60000 mg/l (UNESCO/WHO/UNEP 1992 in Effendi 2003). Perairan yang memiliki nilai COD tinggi tidak diinginkan bagi kepentingan perikanan dan pertanian.

Laju dekomposisi bahan organik turut dipengaruhi pH sebagaimana dipengaruhi pula oleh suhu, ketersediaan oksigen, dan sifat bahan organik. Preferensi pH berbeda-beda pada mikroorganisme yang berbeda, akan tetapi secara umum, bakteri pendekomposisi tumbuh dengan baik pada kondisi netral hingga agak sedikit basa. Bahan organik pun terdekomposisi lebih cepat pada kondisi netral atau basa dibandingkan dengan pada kondisi asam (Boyd 1982)

Adapun padatan tersuspensi total atau Total Suspended Solid (TSS) adalah bahan-bahan tersuspensi (diameter > 1 μm) yang tertahan pada saringan millipore dengan diameter pori 0,45 μm. TSS diantaranya dapat terdiri atas lumpur, pasir halus, partikel organik mati yang halus (debris) serta jasad-jasad renik akuatik lainnya. Nilai TSS yang berlebihan akan berpengaruh pada peningkatan kekeruhan yang selanjutnya akan menghambat penetrasi cahaya matahari ke kolom perairan dan akhirnya berpengaruh terhahadap proses fotosintesis perairan. (Effendi 2003). Alabaster dan Lloyd (1982) in Effendi (2003), menyatakan bahwa nilai TSS yang lebih kecil dari 25 mg/L tidak berpengaruh terhadap kepentingan perikanan, untuk nilai antara 25 – 80 mg/L sedikit berpengaruh, 81-400 kurang baik bagi kepentingan perikanan, dan TSS yang lebih besar dari 400 mg/L tidak baik bagi kepentingan perikanan.

(6)

2.2. Pengenceran Air Limbah Tahu Sebelum Diolah

Dhahiyat (1990) menyebutkan bahwa diperlukan suatu upaya untuk menanggulangi permasalahan limbah cair tahu agar kualitas perairan pun dapat terjaga. Pada penelitian yang dilakukan oleh Dhahiyat (1990), sebelum dibuang ke perairan terlebih dahulu limbah dimasukkan ke kolam yang ditanami eceng gondok yang memanfaatkan tingginya kandungan hara limbah tersebut. Limbah cair tahu yang menjadi media pun terlebih dahulu diencerkan sebanyak 8 kali, dengan maksud untuk menyesuaikan nilai pH agar eceng gondok dapat tumbuh baik.

Pengolahan limbah sendiri merupakan upaya terakhir dalam sistem penanganan limbah setelah sebelumnya dilakukan optimasi proses produksi dan pengurangan serta pemanfaatan limbah. Pengolahan limbah dimaksudkan untuk menurunkan tingkat cemaran yang terdapat dalam limbah sehingga aman untuk dibuang ke lingkungan (Departemen Pertanian 2009).

Kapasitas produksi, teknik pengolahan kedelai, dan penggunaan air akan mempengaruhi karakteristik limbah yang dihasilkan. Pengrajin yang kapasitas produksinya kecil akan menghasilkan limbah cair dengan konsentrasi yang lebih rendah dibandingkan dengan pengrajin tahu kapasitas besar (Departemen Pertanian 2009).

Adapun proses dalam mengolah air limbah adalah sebagai berikut yaitu: secara fisik, biologi dan kimia. Untuk suatu jenis air limbah tertentu, ketiga jenis proses dan alat pengolahan tersebut dapat diaplikasikan secara sendiri-sendiri atau dikombinasikan. Pilihan mengenai teknologi pengolahan dan alat yang digunakan seharusnya dapat mempertimbangkan aspek teknis, ekonomi dan pengelolaannya.

2.3. Kangkung (Ipomoea aquatica)

Kangkung (Ipomoea aquatica Forsk.), merupakan sejenis tumbuhan yang termasuk jenis sayur-sayuran dan ditanam sebagai makanan. Kangkung banyak terdapat di kawasan Asia dan merupakan tumbuhan yang dapat dijumpai hampir dimana-mana terutama di kawasan berair (Wikipedia 2009). Menurut Backer dan Backhuzen (1965) in Rini (1998), kangkung air (Ipomoea aquatica Forsk)

(7)

merupakan tanaman hijau yang termasuk famili Convolvulaceae, tanaman tahunan (perennial) yang tumbuhnya merambat atau membelit, batang panjang, berlubang dan berair, tangkai daun tebal dan berlubang, helaian daun berubah-ubah dalam bentuk dan ukuran serta bunganya berbentuk corong.

Gambar 3. Kangkung (Ipomoea aquatica) Sumber : Wikipedia (2009)

Berikut merupakan klasifikasi ilmiah untuk Kangkung (Ipomoea aquatica Forsk.), Kingdom : Plantae Divisi : Magnoliphyta Klas : Magnoliopsida Ordo : Solanales Famili : Convolvulaceae Genus : Ipomoea

Spesies : Ipomoea aquatica Forssk.

Tanaman kangkung tidak memerlukan persyaratan tumbuh yang sulit, tetapi membutuhkan sinar matahari yang cukup. Di tempat yang mengandung bahan organik tinggi, tanaman ini akan tumbuh subur dengan kisaran pH 5.5-6.5 (Ismanto 2005). Menurut Rini (1998), faktor terpenting dalam pertumbuhan kangkung adalah suhu. Di daerah tropika basah, kangkung dapat tumbuh dengan baik pada suhu 28 – 35 o C. Untuk daerah savanna, kangkung dapat tumbuh pada suhu 30-40 o C pada musim panas dan pada suhu 20-30o C pada

(8)

musim dingin, sedangkan untuk daerah pegunungan kangkung dapat tumbuh cukup baik pada suhu 15-30o C.

Faktor yang juga sangat penting dalam pertumbuhan kangkung adalah kekeruhan. Kekeruhan merupakan penggambaran sifat optik air yang ditentukan berdasarkan banyaknya cahaya yang diserap dan dipancarkan oleh bahan-bahan yang terdapat dalam air. Kekeruhan disebabkan oleh adanya bahan organik dan anorganik yang tersuspensi dan terlarut (misalnya lumpur dan pasir halus), maupun bahan anorganik dan organik yang berupa plankton dan mikroorganisme lain (APHA 1976; Davis dan Cornwell 1991 in Effendi 2003). Menurut Sugiharto (1987), kekeruhan akan menghambat penyerapan cahaya matahari di air sehingga akan mengurangi produksi oksigen yang dihasilkan tanaman. Air yang keruh akan menyebabkan batang kangkung membusuk dan akhinya mati. Hujan dengan intensitas 3-4 hari / minggu dapat merusak tanaman kangkung (Irwan 1994 in Rini 1998). Adapun perbanyakan tanaman kangkung dapat dilakukan dengan cara stek sebagaimana disebutkan oleh Samson (1972) in Rini (1998).

2.4 . Pengolahan Limbah

2.4.1. Sequential Batch Reactor (SBR) dan pengolahan air limbah konvensional

Penelitian menggunakan metoda SBR dengan agen pengurai berupa lumpur aktif yang berasal dari hasil samping (by product) instalasi pengolahan air limbah textil PT UNITEX di Bogor.

Sequential Batch Ractor (SBR) merupakan metode pengolahan air limbah dalam satu wadah pengolahan, yaitu dengan menambahkan lumpur aktif (berisikan bakteri) kedalam air limbah lalu diaerasi dalam jangka waktu tertentu. Setelah periode/masa aerasi mencukupi, kemudian aerator dimatikan dan dilanjutkan dengan proses pengendapan lumpur aktif pada wadah yang sama. Air limbah olahan dari metode SBR akan dibuang ke alam setelah memenuhi baku mutu air olahan yang ditetapkan pemerintah. Air olahan dibuang dengan cara memisahkannya dari lumpur aktif yang telah mengendap. Secara skematis proses SBR dapat dilihat pada Gambar 4.

(9)

Gambar 4. Skema pengolahan air limbah dengan metode Sequential Batch Reactor (SBR)

Sumber : Al-Rekabi et al. (2007)

Pada instalasi pengolahan air limbah (IPAL) konvensional, dimana air limbah yang dihasilkan berlangsung secara kontinyu (24 jam sehari, 7 hari seminggu dan seterusnya.), proses aerasi dan pengendapan lumpur aktif dilakukan secara serentak dan berlangsung kontinyu pada wadah-wadah yang berbeda. Sebagian lumpur aktif pada bak pengendap (clarifier) harus dikembalikan ke dalam bak aerasi (sebagai RAS/Returned Activated Sludge) dan sebagian dibuang (sebagai WAS/Wasting Activated Sludge). Lihat Gambar 5 di bawah ini.

Gambar 5. Skema Pengolahan air limbah konvensional Sumber : (Metcalf and Eddy 1991)

(10)

2.4.2. Proses penguraian bahan organik oleh bakteri

Mekanisme penghilangan bahan organik dalam air limbah berlangsung melalui tiga proses, yaitu :

1. Transfer

Bakteri mengubah bahan organik karbon di air limbah menjadi karbondioksida, air, amonia, dan energi (proses katabolisme). Bahan organik terlarut (dari jenis biodegradable) akan langsung terserap ke dalam sel bakteri melalui dinding sel atau membran bakteri (proses absorbsi). Jika bahan organik di perairan dalam bentuk partikulat atau suspensi koloid maka pengambilan bahan organik oleh bakteri berlangsung secara adsorbsi, yaitu lewat proses penempelan bahan organik di permukaan dinding sel bakteri. Mekanisme / tahapan “transfer” dalam instalasi pengolahan air limbah secara biologis, akan berlangsung dalam bak aerasi dan untuk menciptakan kondisi aerobik, oksigen ditambahkan melalui aerator.

2. Konversi

Proses ini merupakan kelanjutan dari proses transfer. Pada proses ini terjadi perubahan dari ketersediaan makanan di air limbah menjadi sel-sel bakteri baru / berkembang biak, menggunakan energi yang diperoleh dari proses transfer (proses anabolisme).

3. Flokulasi

Proses ini menggambarkan bahwa jika bakteri telah kenyang dan aktivitasnya menurun, maka bakteri ini akan tenggelam (mengendap di dasar) pada kondisi air yang tenang. Dalam instalasi pengolahan air limbah secara biologis konvensional yang menggunakan lumpur aktif, peristiwa pengendapan bakteri (lumpur aktif) biasanya berlangsung dalam bak pengendap (clarifier). Supernatan dari bak pengendap ini (jika kualitasnya telah memenuhi baku mutu) kemudian dibuang ke perairan alami, sedangkan bakteri/lumpur aktif yang telah mengendap, sebagian akan dikembalikan (sebagai lumpur balik/return sludge) ke dalam bak aerasi (untuk meneruskan tugas-tugas „konversi‟ seperti telah dijelaskan di atas), sedangkan sebagian lagi akan dibuang sebagai limbah padat biologis (wasting sludge), lihat Gambar 4. Yang terakhir

(11)

disebutkan ini dapat digunakan sebagai pupuk organik tanaman hias atau tanaman lain yang dapat dikonsumsi manusia sejauh tidak mengandung bahan-bahan yang berbahaya.

Gambar 6. Mekanisme penghilangan bahan organik oleh bakteri (CRS Group Engineers 1978 in Ismanto 2005)

2.5. Lumpur Aktif dari PT. UNITEX.

Lumpur aktif yang dipergunakan dalam penelitian ini bersumber dari tangki aerasi. Menurut Suryani (2010), Proses pengolahan biologi air limbah berlangsung pada tangki aerasi 1 (tangki berbentuk oval), tangki aerasi 2 dan 3 (berbentuk empat persegi panjang). Dalam tangki aerasi, air limbah bercampur dengan massa mikroorganisme (lumpur aktif) dan terjadi penguraian bahan organik serta pembentukan sel-sel mikroorganisme baru. Pada proses penguraian bahan organik oleh lumpur aktif diperlukan suplai oksigen yang memadai.

Menurut Clark et al. (1977) in Suryani (2010), pengolahan biologi dengan lumpur aktif menunjukkan efisiensi terbaik (sekitar 91 %) dalam menghilangkan BOD. Proses lumpur aktif pada tangki aerasi IPAL PT.UNITEX dapat berjalan dengan baik berdasarkan parameter yang dapat digunakan untuk menggambarkan kondisi lumpur aktif dalam menentukan keberhasilan unit pengolahan air limbah biologi serta keberadaan jenis-jenis mikroorganisme. Bila dihubungkan dengan rantai makanan bakteri- ciliata, lumpur aktif PT. UNITEX menunjukkan bahwa bakteri telah memanfaatkan bahan organik yang terkandung dalam air limbah.

(12)

Menurut Suryani (2010), pengolahan air limbah PT. UNITEX menghasilkan produk sampingan berupa lumpur atau sludge. Lumpur yang dihasilkan dari sistem pengolahan air limbah PT. UNITEX, dibedakan menjadi dua, yaitu lumpur kimia dan lumpur biologi. Lumpur kimia berasal dari pemisahan hasil perlakuan proses kimia, sedangkan lumpur biologi berasal dari perlakuan proses biologi. Lumpur kimia yang dihasilkan sebanyak 20 ton/bulan kemudian mengalami proses pemadatan yang kemudian disimpan dalam tempat penampungan sementara untuk selanjutnya dibawa ke PPLI (Prasadha Pemusnah Limbah Industri) untuk dilakukan penanganan limbah B3.

Gambar

Gambar 5. Skema Pengolahan air limbah konvensional  Sumber : (Metcalf and Eddy 1991)
Gambar 6. Mekanisme penghilangan bahan organik oleh bakteri   (CRS Group Engineers 1978 in  Ismanto 2005)

Referensi

Dokumen terkait

Jenis penyakit kulit lain yang ditemukan pada saat penelitian baik secara langsung ataupun tidak langsung dapat disebabkan oleh bakteri, virus, parasit ataupun

Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang terutang atas penyerahan Barang Kena Pajak dan/ atau Jasa Kena Pajak kepada

Pada tahun 2016, jumlah Produk hukum yang diterbitkan sebanyak 421 produk, dimana Keputusan walikota adalah produk hukum yang terbanyak diterbitkan.. Semua produk

Sekarang kita akan menambahkan beberapa setting pada file .htaccess untuk memastikan bahwa direktori application dan direktori library tidak dapat diakses dari luar

Analisis kesesuaian asesmen buatan guru dengan tagihan asesmen pada Silabus dilakukan untuk mengetahui persentase asesmen buatan guru yang telah sesuai dengan tagihan

Uang balas budi (Tabadul Almal) dalam akad murabahah di koperasi UBM syariah yang saya teliti tidak sesuai dengan syariat Islam karena penambahan akad tersebut

untuk menetapkan suatu dasar sehingga dapat mengumpulkan bukti yang berupa data-data dalam menentukan keputusan apakah menolak atau menerima kebenaran dari pernyataan