• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL PEMBAHASAN. Jumlah Sisa Ayam Hidup Pada Hari Ke-

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "HASIL PEMBAHASAN. Jumlah Sisa Ayam Hidup Pada Hari Ke-"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

HASIL PEMBAHASAN

Uji Tantang Ayam Broiler Terhadap Virus Avian Influenza

Seluruh kelompok perlakuan terhadap ayam dan juga kontrol baik kontrol tervaksin maupun kontrol tanpa perlakuan diuji tantang dengan menggunakan virus Avian Influenza. strain Nagrak 0,1 ml 105 EID50 melalui rute perinhalasi

dalam fasilitas kandang Biosafety Level 3. Penggunaan fasilitas kandang Biosafety Level 3 dimaksudkan agar tidak mencemari lingkungan dan meminimalisasi faktor luar yang dapat menyebabkan kematian ayam selain infeksi dari virus Avian Influenza.

Parameter yang digunakan pada penelitian ini adalah persen proteksi, yaitu persentase ayam yang hidup setelah uji tantang dibandingkan dengan jumlah ayam total. Selain itu, gradasi kematian ayam setiap harinya dianalisis secara deskriptif dan dibandingkan dengan literatur dan pustaka yang telah ada. Uji tantang dilakukan selama 10 hari untuk mendapatkan data yang optimal karena kematian ayam akibat infeksi virus Avian Influenza terjadi pada 3-4 hari sesudah terjadinya infeksi. Hasil penelitian dari uji tantang ayam broiler terhadap virus Avian Influenza didapatkan jumlah sisa ayam hidup yang berbeda-beda setiap harinya seperti yang ditunjukkan pada Tabel 2.

Kelompok Perlakuan

Jumlah Sisa Ayam Hidup Pada Hari Ke- Mortalitas (∑mati / total) %Proteksi 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Non Vaksin AI + F1 10 10 10 6 2 1 1 1 1 1 1 9/10 10 Non Vaksin AI + F2 10 10 10 5 3 2 0 0 0 0 0 10/10 0 Non Vaksin AI + F3 10 10 9 6 3 2 2 2 2 1 1 9/10 10 Non Vaksin AI + F4 10 10 10 5 2 1 1 0 0 0 0 10/10 0 Kontrol Tervaksin 10 10 10 6 6 4 3 2 2 1 0 10/10 0 SPF (non vaksin) 10 9 8 2 1 1 0 0 0 0 0 10/10 0

Tabel 2 Jumlah sisa ayam hidup setiap harinya selama 10 hari masa uji tantang ayam broiler terhadap virus Avian Influenza

Berdasarkan data hasil penelitian di atas dapat diamati bahwa ayam broiler yang dapat bertahan sampai hari terakhir adalah ayam pada kelompok perlakuan formula 3 (F3) dan formula 1 (F1) dimana masing-masing kelompok terdapat sisa

(2)

1 ekor ayam. Formula 3 (F3) adalah kelompok ayam broiler tanpa pemberian vaksin tetapi dicekok dengan formula kombinasi antara temulawak dan temuireng. Pada hari ke-2 terjadi kematian 1 ekor ayam, 3 ekor ayam pada hari ke-3, 3 ekor ayam pada hari ke-4, 1 ekor pada hari ke-5, dan kematian 1 ekor pada hari ke-9 sehingga tersisa 1 ekor pada hari terakhir.

Kelompok formula 1 (F1) adalah kelompok ayam broiler tanpa vaksin tetapi dicekok dengan formula kombinasi antara temulawak, meniran, sambiloto, dan temuireng. Kelompok formula 1 (F1) juga menyisakan 1 ekor ayam pada hari ke-10, terjadi gradasi kematian ayam yang tinggi pada kelompok perlakuan 1 (F1). Pada hari ke-3, terjadi kematian 4 ekor ayam, 4 ekor ayam pada hari ke-4, dan 1 ekor pada hari ke-5. Jadi sejak hari ke-5 pada kelompok perlakuan 1 (F1) sudah tersisa 1 ekor ayam yang bertahan sampai hari terakhir.

Perlakuan yang diberikan pada kelompok formula 3 yaitu ayam dicekok dengan kombinasi formula temulawak dan temuireng tetapi tidak mendapat vaksinasi Avian Influenza. Pada hasil penelitian pada kelompok formula 3 terlihat bahwa pemberian formula kombinasi antara temulawak dan temuireng dapat memberikan daya tahan hidup yang lebih lama dengan adanya 1 ekor ayam yang masih hidup pada hari terakhir perlakuan walaupun tanpa pemberian vaksinasi. Tingkat kematian ayam yang berbeda-beda pada tiap kelompok perlakuan menandakan adanya aktifitas yang terjadi akibat pemberian formula yang berasal dari temulawak dan temuireng. Avian Influenza merupakan penyakit pada unggas yang memiliki morbiditas dan mortalitasnya sangat tinggi. Persentase kematian pada unggas dapat mencapai angka 100%. Pada gejala awal ditemukan adanya penurunan nafsu makan, lemah, penurunan produksi telur, gangguan pernapasan berupa batuk, bersin, menjulurkan leher, hiperlakrimasi (leleran mata berlebih), dan bulu kusam. Terlihat pembengkakan (edema) pada muka dan kaki, ptechiae subkutan pada kaki sehingga kaki terlihat kemerahan, seperti bekas kerokan. Gejala diare sering juga ditemukan. Penampakan khas adalah sianosis pada pial dan jenggernya, eksudat cair dari rongga hidung dan kematian mendadak secara beruntun dalam jumlah yang besar. (Damayanti et al. 2004).

Temulawak dan temuireng merupakan tanaman obat yang berasal dari keluarga Zingiberaceae. Rimpang dari kedua tanaman ini sama-sama

(3)

memproduksi senyawa fenolik kurkuminoid sebagai hasil metabolit sekunder. Kandungan utama dari kurkuminoid tersebut adalah kurkumin berwarna kuning yang telah lama dimanfaatkan dalam industri farmasi, parfum, dan lain-lain. Literatur dan data penelitian selama ini menyebutkan bahwa kurkumin memiliki aktifitas farmakologi yaitu efek antiinflamasi, antiimunodefisiensi, antivirus (virus flu burung), antibakteri, antijamur, antioksidan, antikarsinogenik dan antiinfeksi (Araujo dan Leon 2001). Selain mengandung zat kuning kurkumin, rimpang temulawak juga mengandung minyak atsiri, pati, protein, lemak, selulosa, dan mineral (Ketaren 1988). Rimpang kering temulawak dengan kadar air 10% memiliki komposisi yang terdiri dari pati, lemak, kurkumin, serat kasar, protein, mineral, dan minyak atsiri.

Kurkumin (C2H20O6) atau diferu-loyl methane pertama kali diisolasi pada

tahun 1815. Kemudian tahun 1910, kurkumin didapatkan berbentuk kristal dan diketahui dapat dilarutkan dalam aseton dan etanol pada tahun 1913. Kurkumin merupakan struktur kimia yang tidak dapat larut dalam air. (Araujo dan Leon 2001).

Menurut Nidom (2005), kurkumin yang terdapat pada temulawak dan temuireng dapat berfungsi sebagai antisitokin. Seperti diketahui, bila terjadi infeksi virus Avian Influenza maka kadar sitokin dalam tubuh akan naik. Kenaikan sitokin dalam tubuh ini berbahaya karena dapat menyebabkan perubahan oksigen (O2) menjadi peroksida (H2O2) yang meracuni sel-sel paru-paru. Peningkatan

sitokin pada paru-paru dalam jumlah besar menyebabkan terjadinya reaksi badai atau banjir sitokin (cytokine storm) yang mengakibatkan kerusakan sel yang parah pada sel paru-paru sehingga menyebabkan pneumoni yang akut. Pneumoni akut inilah yang sering menyebabkan kematian pada unggas atau manusia yang terinfeksi Avian Influenza karena terjadinya kegagalan fungsi pernapasan.

Replikasi virus Avian Influenza memicu produksi besar–besaran sitokin proinflamasi (badai sitokin) seperti interleukin 1 (IL-1), interleukin 6 (IL-6) dan tumor necrosis factor (TNF-α). Sitokin inilah yang masuk ke sirkulasi sistemik dan paru–paru sehingga menyebabkan pneumonia. Berdasarkan penelitian Liza (2010), kurkumin diketahui dapat menghambat perlekatan pada replikasi virus sehingga produksi sitokin akibat terjadinya replikasi dapat dicegah.

(4)

Pemanfaatan temulawak dan temuireng untuk mengatasi infeksi Avian Influenza telah banyak diaplikasikan oleh masyarakat, khususnya masyarakat Indonesia. Penggunaan kurkumin dalam temu-temuan sebagai jamu untuk unggas telah lama dilakukan oleh masyarakat yang tinggal di daerah sekitar Gunung Kidul - Jawa Tengah. Masyarakat memberikan ramuan jamu yang terdiri dari temulawak, kunyit putih, temuireng, laos, jahe, daun sereh, secang, daun salam, cengkeh, arang batok kelapa dan ginseng pada unggas dan ayam yang disekitarnya telah terserang flu burung (Nidom 2005).

Pada penelitian ini, selain digunakan temulawak dan temuireng sebagai variabel, juga digunakan tanaman meniran dan sambiloto. Pada data hasil penelitian terlihat bahwa pemberian meniran dan sambiloto tidak begitu mempengaruhi ketahanan hidup ayam yang terinfeksi virus Avian Influenza. Dapat dilihat dengan membandingkan data perlakuan kelompok F1 dan F3, walaupun sama-sama terdapat 1 ekor ayam pada hari terakhir, tetapi pada hari ke-4 telah terjadi lebih banyak jumlah kematian sebanyak ke-4 ekor pada kelompok perlakuan F1.

Berdasarkan data kematian diketahui bahwa bahan aktif dalam ekstrak meniran dan sambiloto tidak mampu menginaktifkan virus AI, tetapi hanya mampu menghambat virus untuk menginfeksi sel. Zat aktif kemungkinan bekerja dalam meningkatkan kekebalan tubuh sehingga virus dapat dikendalikan dan tidak menyebar ke sel lain (Madav et al. 1995). Terlihat pada kelompok perlakuan F2 (temulawak, meniran, dan temuireng) dan F4 (meniran dan sambiloto), terdapat 100% kematian pada hari ke-6 untuk kelompok F2 dan hari ke-7 untuk kelompok perlakuan F4.

Perlakuan pada kelompok F2 (temulawak, meniran, dan temuireng) bila dibandingkan dengan perlakuan F3 (temulawak, temuireng) dimana terdapat penambahan meniran malah menghasilkan kematian 100% pada hari ke 6. Hal ini terkait dengan potensi toksisitas kombinasi temulawak dan meniran. Berdasarkan penelitian Hutabarat (2010), kombinasi ekstrak temulawak dan meniran memiliki nilai LC50 (nilai toksisitas) sebesar 246,0993 ppm lebih besar daripada nilai

toksisitas temulawak yaitu 17,9456 ppm. Disebutkan bahwa penggunaan ekstrak kombinasi temulawak dan meniran berpotensi toksik. Selain itu penggunaan

(5)

meniran dalam kombinasi kurang begitu efektif dalam memperkuat daya hidup ayam dikarenakan meniran hanya berpotensi sebagai imunomodulator. Senyawa turunan flavonoid dalam tanaman meniran dilaporkan memiliki potensi untuk meningkatkan sistem kekebalan tubuh, dan mampu menangkal serangan virus, bakteri, atau mikroba lainnya, namun tidak bersifat menginaktivasi virus tersebut (Suhirman dan Winarti 2010).

Selain itu menurut Tjandrawinata (2005), uji praklinis pada mencit dan tikus didapatkan hasil bahwa pemberian ekstrak meniran malah akan merangsang sekresi sitokin spesifik (interferon-gamma, tumor necrosis factor, dan interleukin) dimana sudah diketahui bahwa penyebab kematian utama pada kasus infeksi Avian Influenza pada ayam adalah badai sitokin.

Aktifitas pada sambiloto berbeda dengan meniran. Menurut Puri et al. (1993), sambiloto diduga memiliki fungsi ganda baik sebagai imunostimulan maupun sebagai imunomodulator. Sambiloto dapat merangsang sistem imun tubuh (imunostimulan), baik berupa respon imun spesifik yang akan memproduksi limfosit, maupun respon imun non spesifik yang kemudian akan menghasilkan sel fagosit. Respon imun spesifik terutama akan menghasilkan limfosit B. Limfosit B akan menghasilkan antibodi yang merupakan plasma glikoprotein dan akan mengikat antigen, serta merangsang proses fagositosis (Decker 2000).

Mardisiswojo dan Harsono (1975) menyatakan bahwa zat aktif pada sambiloto yang berfungsi sebagai obat adalah andrografolid dan neoandragrafolid yang rasanya sangat pahit. Andrografolide yang terkandung di dalam sambiloto diantaranya laktone, flavonoid, alkane, keton, dan aldehide. Aktivitas kerja andrografolide terletak pada kelenjar adrenal. Hal ini dikarenakan, sambiloto dapat merangsang pelepasan hormon adrenokortikotropik (ACTH) dari kelenjar pitutiari anterior, yang berada di dalam otak. Selanjutnya, kelenjar adrenal bagian korteks akan terangsang untuk memproduksi kortisol. Kortisol yang dihasilkan inilah yang kemudian akan bertindak sebagai imunosupresan. Efek imunosupresan akan mengakibatkan timbulnya penurunan respon imun sebagai mekanisme umpan balik dari adanya respon imun yang tinggi terhadap suatu antigen.

(6)

Vaksin Avian Influenza yang ada di pasaran khususnya yang ada di Indonesia selama ini dipercaya dapat memberikan efek kekebalan dan proteksi terhadap unggas. Pada penelitian ini vaksinasi digunakan sebagai kontrol untuk mengamati aktivitas kerja vaksin terhadap daya tahan hidup ayam broiler. Berdasarkan grafik perbandingan hasil uji tantang terlihat bahwa mulai hari ke-3 sebenarnya tingkat mortalitas pada ayam kelompok kontrol tervaksin memiliki tingkat mortalitas yang lebih kecil dibandingkan dengan kelompok F3 dan F1. Akan tetapi pada hari terakhir kelompok tervaksin tetap mengalami mortalitas 100%. Tindakan vaksinasi seharusnya bertujuan untuk memberikan proteksi pada unggas yang diinduksi vaksin tersebut.Proteksi vaksin dapat dilakukan dengan uji tantang menggunakan virus yang memiliki tingkat virulensi tinggi. Vaksin yang baik harus memberikan proteksi lebih dari 95% terhadap hewan coba atau tidak lebih dari 5% hewan yang terinfeksi atau sakit (Kayne dan Jepson 2004).

Efektivitas vaksinasi dan tingkat kegagalannya tergantung banyak faktor, diantaranya kualitas vaksin, program penerapan di lapangan, cara penanganan vaksin, kondisi ayam, serta cara vaksinasinya. Vaksin Avian Influenza bukan barang bebas sehingga penggunaannya harus di bawah pengawasan dokter hewan (Fadilah et al. 2007). Penggunaan vaksin yang memiki strain berbeda juga menjadi penyebab tindakan vaksinasi pada penelitian ini menghasilkan mortalitas 100%, lebih tinggi daripada kelompok perlakuan F3 dan F1. Virus yang digunakan pada uji tantang ini adalah virus strain baru yaitu virus Avian Influenza H5N1 strain Nagrak 0,1 ml 105 EID50, sedangkan vaksin Avian Influenza yang

digunakan adalah vaksin komersil dengan strain lama. Di samping itu, pelaksanaan vaksinasi pada ayam pedaging atau ayam potong juga masih menjadi perdebatan, karena umur ayam potong (broiler) yang relatif singkat (28 hari), sedangkan vaksin baru merangsang titer yang protektif untuk kekebalan pada 3 minggu setelah vaksinasi dilakukan (BALIVET 2004).

Gambar

Tabel 2 Jumlah sisa ayam hidup setiap harinya selama 10 hari masa uji tantang ayam  broiler terhadap virus Avian Influenza

Referensi

Dokumen terkait

Menurut Aminah dan Nurhidajah (2009), nilai kadar protein dan vitamin C tertinggi terdapat pada formula MP-ASI dari campuran tepung kecambah kacang kedelai dan

Panjang tunas bibit tanaman buah naga pada umur 9 MST tertinggi diperoleh pada perlakuan bahan tanam setek B3 (batang ujung) dengan rataan 8.36. Sedangkan pada perlakuan

 Ketua pengusul adalah dosen senior berpendidikan doktor dengan jabatan akademik minimal Lektor Kepala dan memiliki h-index ≥ 3 untuk bidang sain dan teknologi, h-index ≥ 2

Seorang dosen pembimbing lapangan (DPL) PLT diambil dari dosen jurusan yaitu Nurkhamid, Ph.D.,.. gambaran pengetahuan dan pengalaman mengenai tugas-tugas seorang guru

Berdasarkan usia korban dan/atau pelaku kecelakaan lalu lintas tertinggi berada para usia produktif dengan rentang 16 s.d 30 tahun, (2) Karakteristik kecepatan kendaraan

Peningkatan besar arus akan sebanding dengan besar tegangan dikarenakan peran pelipatgandaan elektron saat timbul lucutan plasma dimana elektron akan bergerak

Demi melaksanakan fungsi birokrasi secara tepat, cepat, dan konsisten serta untuk mewujudkan birokrasi yang akuntabel dan baik, maka pemerintah telah merumuskan sebuah peraturan

Saya dapat menggunakan strategi yang menggabungkan (konten tertentu), teknologi dan pendekatan pengajaran yang saya pelajari dalam kursus di kelas saya maupun di luar kelas