• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hukum Media Massa 10 January dalam Jurnalisme Oleh yayan-s-fisip HUKUM MEDIA PENYIARAN PERLANGGANAN HMM

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Hukum Media Massa 10 January dalam Jurnalisme Oleh yayan-s-fisip HUKUM MEDIA PENYIARAN PERLANGGANAN HMM"

Copied!
5
0
0

Teks penuh

(1)

Hukum Media Massa

10 January 2013 - dalam Jurnalisme Oleh yayan-s-fisip HUKUM MEDIA PENYIARAN PERLANGGANAN

HMM

Pasal 25 Undang-undang No 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran mendefinisikan Lembaga Penyiaran Berlangganan (LPB) lembaga penyiaran berbentuk badan hukum Indonesia, yang bidang usahanya hanya menyelenggarakan jasa penyiaran berlangganan dan wajib terlebih dahulu memperoleh izin penyelenggaraan penyiaran berlangganan. Secara lebih khusus, dalam PP No 52 Tahun 2005 pasal (2), Lembaga Penyiaran Berlangganan adalah

penyelenggara penyiaran yang bersifat komersial berbentuk badan hukum Indonesia, yang bidang usahanya hanya menyelenggarakan jasa penyiaran berlangganan.

Indovision mengklaim dirinya sebagai perusahaan televisi berlangganan pertama dengan menggunakan satelit Palapa C-2 sejak pertama berdiri pada bulan Agustus 1988. Sembilan tahun kemudian, yakni pada tahun 1997, Indovision meluncurkan satelit barunya yakni IndoStar 1 atau yang lebih dikenal dengan satelit Cakrawarta1 yang digunakan sampai sekarang.

Kini jumlah lembaga penyiaran berlangganan semakin bertambah. Bahkan, sampai sekarang telah ada delapan institusi yang sedang mengajukan ijin siaran: 1. PT. Indonesia Media Televisi (IM TV); 2. PT. Central TV Digital (Central Tivi); 3. PT. Mega Media Indonesia (Mega Vision); 4. PT. I Television (I-TV); 5. PT. Biznet Multimedia (Biznet); 6. PT. Mediatama Anugrah Citra (NexMedia); 7. PT. Triutama Kominakom (Visicom); 8. PT. Mentari Multi Media (M2V). Karena sifatnya yang komersial, ekslusif dan didukung dengan partisipasi asing, lembaga penyiaran berlangganan kerap berhadapan dengan persoalan hukum. Persoalan ekonomi politik media penyiaran juga tidak lepas dari lembaga penyiaran berlangganan.

Kasus monopoli siaran Liga Premier Inggris oleh ASTRO, misalnya, menjadi salah satu saja dari deret kasus, sehingga melibatkan KPPU. AORA TV juga mengalami kendala hukum lantaran pengalihan status kepemilikan yang tidak jelas. Belum lagi kesulitan mekanisme hukum dalam membatasi siaran luar negeri berbau pornografi yang kerap ditayangkan oleh stasiun berlangganan.

(2)

Banyaknya kasus hukum dari lembaga penyiaran berlangganan ini bermuara pada

meningkatnya respons pasar Indonesia dari tahun ke tahun yang sangat adaptif bagi pendirian stasiun penyiaran berlangganan. Perkembangan televisi berbayar atau berlangganan ini tergolong cukup signifikan di Indonesia. Menurut data yang diungkap Direktur Utama Indovision, Rudy Tanoesoedibjo, pasar potensial televisi berbayar di Indonesia pada dua tahun lalu (2006) berada di kisaran 12 juta orang atau sekitar 22% dari keseluruhan 57 juta pemilik TV rumahan. Dan bukan mustahil angka ini akan meningkat tajam. Konsumsi televisi berbayar ini selain melibatkan faktor ekonomi, faktor sosial pun menjadi

pertimbangan. Monotomi siaran atau tayangan televisi terrestrial yang ada saat ini, sedikit banyak berpengaruh pada costumer sovereignity dalam memilih tayangan yang berkualitas. Alternatif inilah yang ditawarkan oleh televisi berbayar.

Homogenitas siaran komersial swasta dalam negeri pada akhirnya memiliki andil dalam menciptakan celah bagi LPB untuk mendirikan jejaring usahanya di Indonesia. Pasar yang potensial menjadi pelatuk bagi pertumbuhan industri yang wajar.

Persoalannya kemudian, sebagaimana penyiaran swasta-komersial yang mengandalkan logika pasar, hampir bisa dipastikan terjadi pula pelanggaran di wilayah hukum. Kasus ASTRO misalnya, melibatkan ragam kepentingan dan dugaan monopoli siaran. Komisi IV DPR (membidangi perdagangan) saat Rapat Dengar Pendapat Umum dengan sejumlah pengelola antara lain Indovision, Telkom Vision, Indosat dan Kabelvision, meminta KPPU

menindaklanjuti dugaan praktek persaingan tak sehat pada industri televisi berlangganan di Indonesia.

Kasus tersebut bermula 14 September 2007, tiga operator televisi berlangganan yaitu

Indovision, Telkomvision dan IM2 melaporkan PT Direct Vision, operator TV berlangganan Astro kepada KPPU karena diduga melakukan monopoli siaran Liga Inggris di Indonesia. Kasus ini memang lebih bertekanan pada hukum UU Anti Monopoli, yang sifatnya sedikit banyak melibatkan para pesaing usaha. Sekalipun kasus ASTRO juga memiliki beberapa persoalan menyangkut hak public, akan tetapi ranah hokum LPB seolah terbatasi “hanya” dalam lingkup horizontal antar pelaku usaha, bukan vertikal dengan masyarakat.

Konsekuensi penekanan hukum semacam ini sesungguhnya wajar saja, sebab LPB secara terang menempatkan audience sebagai konsumen. Oleh sebab itu, disamping ihwal persaingan usaha, konteks hukum seringkali juga diarahkan pada bagaimana konsumen tersebut mendapatkan haknya menggunakan perundang-undangan perlindungan konsumen.

(3)

UU KIP

Pada 3 April 2008, Indonesia memiliki Undang-Undang (UU) tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP) setelah disahkan lewat Rapat Paripurna DPR. Undang-undang No 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik memberi angin segar bagi publik atas hak-haknya dalam mengakses informasi, terutama dari lembaga-lembaga negara yang berurusan langsung dengan wilayah kemasyarakatan. Lihat pasal 2 ayat (1) hingga (3) yang

menyatakan: (1) Setiap Informasi Publik bersifat terbuka dan dapat diakses oleh setiap Pengguna Informasi Publik. (2) Informasi Publik yang dikecualikan bersifat ketat dan terbatas. (3) Setiap Informasi Publik harus dapat diperoleh setiap Pemohon Informasi Publik dengan cepat dan tepat waktu,biaya ringan, dan cara sederhana.

Secara universal hak publik atas informasi sesungguhnya telah sejak lama dikawal dalam pasal 19 Deklarasi Universal HAM PBB yang diterbitkan pada 1948 yang menyebutkan setiap orang memiliki hak asasi manusia untuk mencari, menerima, dan menyebarkan informasi dan gagasan-gagasan melalui segala media dan tanpa memandang batas-batas wilayah.

UU KIP bersifat strategis, terutama jika diletakkan dalam perangkat nilai demokratisasi dan kontrol atas kekuasaan. Melalui UU ini, masyarakat memperoleh kesempatan supervisi yang bersifat langsung dan frontal terhadap penyelenggara acara atau urusan publik. Bersifat langsung, karena UU ini memberi peluang yang sama bagi setiap orang (sebagaimana dalam disebutkan dalam pasal 4 tentang Hak Pemohon Informasi Publik) untuk berhak memperoleh informasi, bukan lagi diwakili oleh institusi-institusi.

Disamping fungsi kontrol dan oposisional tersebut, warga negara juga dipandang sebagai partner kerja pemerintah yang bisa setiap saat memberikan masukan atau input bagi langkah-langkah kebijakan yang dijalankan.

UU KIP vs UU Rahasia Negara

Isi RUU Rahasia Negara pun cenderung bertentangan dengan RUU KMIP, terutama terkait dengan kategori rahasia negara, Dewan Rahasia Negara, juga telah menunjukkan

keengganan, kekhawatiran, dan tarik ulur pemerintah dalam mengegolkan RUU KMIP. Otoritas pemerintah dan segenap instansinya yang diajukan dalam RUU Rahasia Negara telah menjadi penghambat proses pembahasan RUU KMIP.

(4)

Apalagi ketika RUU Rahasia Negara yang awalnya (tahun 1994) hanya mengatur persandian negara diperluas cakupannya menjadi rahasia negara pada 1999 dengan alasan banyaknya dokumen negara yang bocor pada masa reformasi. Di sisi lain, RUU KMIP sebenarnya telah mengatur pengecualian informasi yang dapat diakses publik. Apalagi rahasia negara sendiri telah diatur, misalnya dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan UU Kearsipan.

Sayangnya, UU KIP memasukkan ketentuan tentang sanksi bagi penggunaan dan penyediaan informasi publik. Ketentuan itu disebutkan dalam Pasal 51 UU KIP yang menyebutkan, “Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan informasi publik secara melawan hukum dipidana dengan pidana penjara paling lama satu tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp5 juta.” Bahkan, sebelumnya pemerintah sempat mengajukan usul untuk hukuman yang lebih berat, yaitu dua tahun penjara dan denda paling banyak Rp 30 juta. Sementara itu, Pasal 52 mengatur sanksi serupa untuk badan publik yang dengan sengaja tidak menyediakan, tidak memberikan, dan/atau tidak menerbitkan informasi publik. Argumen yang muncul adalah alasan keadilan bagi pengguna maupun penyedia informasi publik.

Padahal ketentuan dalam pasal-pasal tersebut bisa diinterpretasikan secara beragam. Pasal-pasal karet tersebut pun juga rentan penyimpangan wewenang oleh pemerintah.

UU ITE

Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) telah disahkan oleh DPR pada tanggal 25 Maret 2008. Akan tetapi ada sejumlah pasal dalam UU ITE yang potensial

memberangus kebebasan pers dengan ancaman pidana lebih berat dibanding KUHP. Regulasi yang telah dirancang sejak 1999 itu mengatur banyak hal, mulai dari kegiatan hacking, transaksi via sistem elektronik, hingga soal hak kekayaan intelektual, berikut ketentuan tentang ancaman sanksi pidananya. Dewan Pers menyatakan keberatan dengan UU tersebut. Mereka merasa tidak dilibatkan sama sekali dalam proses legislasi. Padahal kemunculan UU ITE dengan sejumlah pasalnya, ternyata dinilai sebagai babak baru pemberangusan

kebebasan pers. Salah satunya adalah kemunculan hatzaai artikelen gaya baru. Dewan Pers cukup terganggu dengan keberadaan pasal 28 UU ITE. Pada ayat (2) disebutkan, “Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, ras, agama, dan antargolongan”.

Pidana bagi yang melanggar aturan informasi dan transaksi elektronik tidak tanggung-tanggung. Maksimum enam tahun mendekam bui dan/atau denda paling banyak Rp1miliar.

(5)

Please download full document at

www.DOCFOC.com

Referensi

Dokumen terkait

Dinas Pendapat Daerah Kabuapaten Malang dapat memberikan Kepastian Hukum Pengenaan NPOPTKP (Nilai Perolehan Obyek Pajak Tidak Kena Pajak) atas BPHTB (Bea Perolehan

Berdasarkan hasil pengolahan data diketahui bahwa pada musim Barat angin dominan bertiup dari arah Barat Daya menuju ke Timur Laut dengan kecepatan 5,7 – 8,8

Hasil penelitian ini adalah metode CTL sangat efisensi dan dengan konsep diri yang tinggi serta lebih baik dalam proses pembelajaran matematika, maka siswa

Prinsip Pertolongan Pertama pada korban gigitan ular adalah, meringankan sakit, menenangkan pasien dan berusaha agar bisa ular tidak terlalu cepat menyebar ke seluruh tubuh sebelum

judul “ PERBEDAAN PENGARUH LATIHAN AEROBIC INTERVAL TRAINING DAN HIGH INTENSITY CIRCUIT TRAINING (HICT) TERHADAP KAPASITAS VO2 MAX SISWA SSB HARIMAU BEKONANG KELOMPOK

Penggunaan analisis rasio profitabilitas yang merupakan alat pengukur akuntansi konvensional memiliki kelemahan yaitu tidak memperhatikan resiko yang dihadapi

Dengan adanya penanganan dan pengolahan tomat yang baik, menggugah kami untuk menuangkan ide menciptakan produk baru yaitu makanan tradisional yang banyak digemari olah

Berdasarkan tabel penilaian di atas dapat dilihat bahwa rata-rata guru peserta pelatihan telah mampu membuat karya seni kaca patri, dengan dikuasainya