• Tidak ada hasil yang ditemukan

RINGKASAN KEBIJAKAN PENATAAN RUANG DAN LINGKUNGAN HIDUP DALAM MERESPON PERUBAHAN IKLIM

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "RINGKASAN KEBIJAKAN PENATAAN RUANG DAN LINGKUNGAN HIDUP DALAM MERESPON PERUBAHAN IKLIM"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

RINGKASAN

KEBIJAKAN PENATAAN

RUANG DAN

LINGKUNGAN HIDUP

DALAM MERESPON

PERUBAHAN IKLIM

(2)

Hal 1 dari 18

I.

Latar Belakang

1. Dalam melaksanakan pembangunan, terdapat 2 (dua) acuan yaitu Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) serta rencana pembangunan, baik jangka panjang (RPJP) maupun jangka menengah (RPJM). Kedua rencana tersebut harus sejalan dan terintegrasi, agar dapat dijadikan acuan seluruh sektor dalam melaksanakan pembangunan. Dokumen Rencana Tata Ruang (RTR) memberikan arahan pembangunan yang bersifat spasial dan berimplikasi pada keruangan yang menjadi acuan implementasi dan investasi di daerah, sedangkan RPJP dan RPJM, merupakan arahan konseptual bagi pembangunan secara a-spasial.

2. Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) Tahun 2005 – 2025,

selanjutnya disebut RPJP Nasional, adalah dokumen perencanaan pembangunan nasional periode 20 (dua puluh) tahun terhitung sejak tahun 2005 sampai dengan tahun 2025, ditetapkan dengan maksud memberikan arah sekaligus menjadi acuan bagi seluruh komponen bangsa (pemerintah, masyarakat, dan dunia usaha) di dalam mewujudkan cita-cita dan tujuan nasional sesuai dengan visi, misi, dan arah pembangunan yang disepakati bersama sehingga seluruh upaya yang dilakukan oleh pelaku pembangunan bersifat sinergis, koordinatif, dan saling melengkapi satu dengan lainnya di dalam satu pola sikap dan pola tindak.

3. Berdasarkan RPJPN 2005-2025; sumber daya alam dan lingkungan hidup memiliki peran ganda, yaitu sebagai modal pembangunan dan, sekaligus, sebagai penopang sistem kehidupan. Deforestasi, pencemaran air, udara, dan tanah juga masih belum tertangani secara tepat karena semakin pesatnya aktivitas pembangunan yang kurang memerhatikan aspek kelestarian fungsi lingkungan. Disisi lain sumber daya kelautan belum dimanfaatkan secara optimal. Sumber daya alam dan lingkungan hidup merupakan bagian penting Misi Pembangunan Jangka Panjang 2005-2025 yaitu terwujudnya “Indonesia yang asri dan lestari”.

4. Dengan menelaah kondisi sumber daya alam dan lingkungan hidup saat ini, apabila tidak diantisipasi dengan kebijakan dan tindakan yang tepat akan dihadapkan pada tiga ancaman; yaitu krisis pangan, krisis air, dan krisis energi. Ketiga krisis itu menjadi tantangan nasional jangka panjang yang perlu diwaspadai agar tidak menimbulkan dampak buruk bagi kehidupan masyarakat dan bangsa, yaitu terancamnya persatuan bangsa, meningkatnya semangat separatisme, dan menurunnya kesehatan masyarakat. 5. Perspektif pembangunan berkelanjutan telah diarusutamakan dalam RPJMN 2010 –

2014, dengan sasaran: a) pengintegrasian isu pembangunan berkelanjutan ke dalam perencanaan dan pelaksanaan pembangunan dalam semua sektor dan daerah; b) perbaikan kualitas lingkungan dengan target indikator peningkatan kualitas lingkungan dalam 5 tahun ke depan; dan c) mengembangkan, menyepakati dan menggunakan Indeks Kualitas Lingkungan sebagai salah satu instrumen mengukur keberhasilan pembangunan. Indikator yang digunakan adalah capaian program dan kegiatan yang mendukung upaya kelestarian lingkungan baik air, udara maupun lahan.

(3)

Hal 2 dari 18 Hidup dan Pengelolaan Bencana); keempat, Pembangunan Kreativitas (Prioritas 11 Kebudayaan, Kreativitas, dan Inovasi Teknologi).

7. Fenomena telah terjadinya perubahan iklim berdampak besar bagi negara-negara kepulauan seperti Indonesia, akibat meningkatnya ketinggian air laut dan munculnya cuaca ekstrim. Berdasarkan hasil kajian ilmah dari Panel Antar Pemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC) terdapat perkiraan bahwa dalam kurun tidak lebih dari 50 tahun ke depan, bongkahan-bongkahan es yang berada di Kutub Utara akan hilang, sehingga kemungkinan akan terjadi kenaikan suhu antara 1,8 - 4°C dan kenaikan permukaan air laut antara 28 hingga 34 cm, serta terjadinya peningkatan gelombang udara panas dan badai tropis.

8. UU nomor 17 Tahun 2004 telah mengesahkan Protokol Kyoto Atas Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim. Manfaat pengesahan Protokol Kyoto adalah mempertegas komitmen Pemerintah terhadap Konvensi Perubahan Iklim berdasarkan prinsip tanggung jawab bersama yang dibedakan (common but differentiated responsibilities principle). Sebagai negara kepulauan yang berciri nusantara dan mempunyai garis pantai terpanjang kedua di dunia, dengan jumlah penduduk yang besar dan kemampuan ekonomi yang terbatas, Indonesia berada pada posisi yang sangat rentan terhadap dampak perubahan iklim bagi lingkungan dan kehidupan bangsa Indonesia. Dampak tersebut meliputi turunnya produksi pangan, terganggunya ketersediaan air, tersebarnya hama dan penyakit tanaman serta manusia, naiknya permukaan laut, tenggelamnya pulau-pulau kecil, dan punahnya keanekaragaman hayati.

9. Dalam menghadapi perubahan iklim terdapat 2 (dua) kebijakan besar yang dilakukan Pemerintah yaitu mitigasi yang bertujuan mengurangi peningkatan emisi Gas Rumah Kaca dan adaptasi yang bertujuan menyesuaikan kegiatan ekonomi pada sektor-sektor yang dinilai rentan untuk menghadapi dan mengantisipasi dampak perubahan iklim. Peraturan Presiden nomor 61 tahun 2011 tentang Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RAN GRK) merupakan pedoman Kementerian/lembaga untuk melakukan perencanaan, pelaksanaan, serta monitoring dan evaluasi rencana aksi penurunan emisi GRK dan bagi pemerintah daerah dalam penyusunan RAD-GRK. Kegiatan RAN-GRK meliputi bidang-bidang: a) Pertanian; b) Kehutanan dan lahan gambut; c) Energi dan transportasi; d) Industri; e) Pengelolaan limbah; dan f) Kegiatan pendukung lainnya.

10. Adaptasi Perubahan Iklim yang diarusutamakan dalam perencanaan pembangunan nasional sedang dipersiapkan untuk RPJMN 2015-2019. Hal-hal yang akan diperhatikan antara lain keterkaitan/sinergitas antara upaya mitigasi dan adaptasi, kemudian perlunya integrasi penataan ruang, infrastruktur dan permukiman (perkotaan dan perdesaan) ke dalam perencanaan pembangunan nasional, dengan mempertimbangkan keunikan geografi, tipologi iklim serta kawasan-kawasan yang sangat rentan (fragile) dan mudah terkena (vurnerable) dan berisiko tinggi (high risk) seperti pada pulau-pulau kecil dan pesisir.

11. Berdasarkan hasil konsultasi High-Level Panel of Eminent Persons on the Post-2015 Development Agenda di Bali, 27 Maret 2013; terdapat 4 (empat) isyu yang digaris-bawahi dalam pen yusunan Agenda Global Pembangunan Pasca 2015 yaitu: i) Reshaped and revitalized global governance and partnerships; ii) Protection of the global environment; iii) Sustainable Production and Consumption ; iv) Strengthened means of implementation. Pencapaian Millenium Development Goals (MDGs) tetap menjadi pertimbangan dalam penyusunan Agenda Pembangunan Pasca-2105 dan akan dikaitkan dengan isu pembangunan berkelanjutan dan berkeadilan.

(4)

Hal 3 dari 18 Agenda Pembangunan Pasca Sasaran Pembangunan Milenium Tahun 2015 (Post-2015 Development Agenda). Untuk melaksanakan amanat tersebut, telah diterbitkan Keputusan Presiden nomor 29 tahun 2012 tentang (pembentukan) Komite Nasional Perumusan Visi Dan Agenda Pembangunan Pasca Sasaran Pembangunan Milenium tahun 2015 (Post-2015 Development Agenda).

13. Pada acara Global Consultation on Disaster Risk Reduction di Jakarta pada tanggal 19 Februari 2013, Presiden RI menyampaikan bahwa Agenda Pembangunan Pasca 2015 pada dasarnya tetap melanjutkan dan mempertajam sasaran MDGs dengan target zero global poverty rate pada pertengahan abad 21. Mengingat bahwa bencana alam dan konflik sosial dapat menghambat pencapaian pengurangan kemiskinan, maka ketahanan masyarakat dan pengurangan risiko tetap diarusutamakan pada setiap sektor dan bidang pembangunan.

II.

Respon terhadap Dampak Perubahan Iklim dalam Kebijakan Penataan Ruang

14. Tujuan penataan ruang diharapkan mengarah pada upaya untuk menciptakan penataan ruang yang aman terhadap berbagai jenis risiko perubahan iklim, nyaman sebagai tempat tinggal dengan segala fasilitas pendukungnya, serta berkelanjutan. Dengan demikian diperlukan kebijakan dan strategi penataan ruang dalam rangka adaptasi perubahan iklim melalui upaya mengidentifikasi isyu pengembangan wilayah terkait perubahan iklim dalam penataan ruang nasional.

15. Berdasarkan Rencana Aksi Nasional Adaptasi Perubahan Iklim Indonesia yang disusun Dewan Nasional Perubahan Iklim, terdapat sejumlah tantangan dan peluang adaptasi perubahan iklim pada sektor pertanian; pesisir, kelautan, perikanan dan pulau pulau kecil; kesehatan; pekerjaan umum termasuk tata ruang. Penataan ruang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari mitigasi dan adaptasi perubahan iklim. Penataan ruang dapat memberikan kontribusi nyata dalam reduksi emisi karbon, di antaranya melalui perlindungan luasan hutan tropis, perwujudan koridor hijau, serta penyediaan ruang terbuka hijau (RTH).

(5)

Hal 4 dari 18 17. Ruang lingkup pengaturan UU No.27/2007 adalah wilayah pesisir, yang meliputi daerah

peralihan antara ekosistem darat dan laut, ke arah darat mencakup wilayah administrasi kecamatan dan ke arah laut sejauh 12 mil laut diukur dari garis pantai. Berdasarkan Pasal 6 ayat (3) UU No.26/2007, wilayah pesisir merupakan bagian yang berada di dalam wilayah penataan ruang nasional yang cakupannya meliputi wilayah kedaulatan negara. Dengan demikian ada bagian dari ruang wilayah nasional diatur kedua Undang-undang tersebut, yaitu pada wilayah pesisir.

18. UU nomor 27/2007 mengamanatkan bahwa perencanaan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, terdiri atas: a) Rencana Strategis Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil ( RSWP-3-K) ; b) Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP-3-K) ; c) Rencana Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RPWP-3-K) ; dan d) d. Rencana Aksi Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RAPWP-3-K).

19. Instrumen penataan ruang memiliki peran strategis dalam rangka menjawab berbagai tantangan pembangunan untuk mencapai kesejahteraan masyarakat dengan sumber daya yang semakin terbatas. Meskipun demikian, sejumlah tantangan masih dihadapi penataan ruang antara lain: a) jumlah penduduk sebesar 240 juta jiwa dengan sebaran tidak merata serta arus urbanisasi yang tinggi sehingga membebani kota-kota besar; b) kemiskinan di perkotaan dan perdesaan; c) tingginya frekuensi bencana; dan d) krisis energi, pangan dan air dan e) dampak perubahan iklim.

20. Menurut analisis resiko global oleh Bank Dunia (2009), Indonesia merupakan salah satu dari 35 negara yang memiliki risiko kematian sekitar 40% populasi akibat kejadian bencana alam. BNPB telah mengidentifikasi 13 (tigabelas) ancaman bencana di Indonesia yaitu: Gempabumi, Tsunami, Banjir, Tanah Longsor, Letusan Gunung Api, Gelombang Ekstrim dan Abrasi, Cuaca Ekstrim, Kekeringan, Kebakaran Hutan dan Lahan, Epidemi dan Wabah Penyakit, Gagal Teknologi dan Konflik Sosial. Jenis bencana alam dan kaitannya dengan perubahan iklim dapat dicermati pada tabel berikut ini:

Jenis bencana alam Pengaruh perubahan iklim

Geo-hazards

21. Ruang lingkup PP nomor 64/2010 tentang Mitigasi Bencana Di Wilayah Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil telah mengatur ruang lingkup sebagai berikut: a) jenis, tingkat risiko, dan wilayah bencana; b) kegiatan mitigasi bencana; c) mitigasi bencana dalam perencanaan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil; d) mitigasi terhadap kegiatan yang berpotensi mengakibatkan kerusakan wilayah pesisir dan pulau pulau kecil; e) tanggung jawab Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat; f) monitoring dan evaluasi; dan g) pembiayaan.

(6)

Hal 5 dari 18 mengurangi risiko bencana yang mencakup pemberlakuan peraturan tentang penataan ruang, standar keselamatan, dan penerapan sanksi terhadap pelanggar.

23. BNPB telah menyusun Kajian Risiko Bencana yang menghasilkan Dokumen Kajian Risiko dan Peta Risiko Bencana. Dari sisi kepentingan BNPB, kajian risiko diperlukan untuk penyusunan Rencana Penanggulangan Bencana (Nasional/Provinsi/Kabupaten), Rencana Aksi Nasional/Daerah Pengurangan Risiko Bencana, Rencana Kontijensi, Rencana Operasi Darurat, Rencana Pemulihan Pasca Bencana dan Rencana Kesiapsiagaan Masyarakat. 24. Secara umum, praktek mitigasi dapat dibagi menjadi dua, yaitu mitigasi struktural yang

berhubungan dengan usaha-usaha pembangunan konstruksi fisik; dan mitigasi non struktural meliputi perencanaan tata ruang dalam kerangka pengurangan risiko yang disesuaikan dengan kerentanan dan risiko, upaya kesiapsiagaan dan penegakan peraturan (law enforcement) pembangunan secara konsisten. Kajian risiko dapat menjadi referensi untuk penyusunan Rencana Tata Ruang berbasis mitigasi bencana.

25. Penataan ruang yang baik berada dalam satu sistem yang menjamin konsistensi antara perencanaan, pemanfaatan, dan pengendalian tata ruang. Penataan ruang yang baik diperlukan bagi: a) arahan lokasi kegiatan, b) batasan kemampuan lahan, termasuk di dalamnya adalah daya dukung lingkungan dan kerentanan terhadap bencana alam, c) efisiensi dan sinkronisasi pemanfaatan ruang dalam rangka penyelenggaraan berbagai kegiatan.

26. Hirarki rencana tata ruang berdasarkan UU nomor 26/2007 adalah sebagai berikut ini:

27. Khususnya tentang Kawasan Strategis Nasional, dalam PP nomor 26/2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN) ditetapkan 76 KSN yang memiliki kepentingan ekonomi, lingkungan hidup, sosial budaya, pendayagunaan sumber daya alam dan teknologi tinggi, serta pertahanan dan keamanan.

(7)

Hal 6 dari 18 dan kawasan budi daya. Peruntukan kawasan lindung dan kawasan budi daya meliputi peruntukan ruang untuk kegiatan pelestarian lingkungan, sosial, budaya, ekonomi, pertahanan, dan keamanan. Dalam UUPR telah tercantum pengenaan sanksi bagi penyimpangan/pelanggaran pelaksanaan rencana tata ruang.

29. Kawasan budi daya adalah kawasan peruntukan hutan produksi, kawasan peruntukan hutan rakyat, kawasan peruntukan pertanian, kawasan peruntukan perikanan, kawasan peruntukan pertambangan, kawasan peruntukan permukiman, kawasan peruntukan industri, kawasan peruntukan pariwisata, kawasan tempat beribadah, kawasan pendidikan, dan kawasan pertahanan keamanan.

30. Peranserta masyarakat dalam penataan ruang diatur melalui PP nomor 68/2010 tentang Bentuk Dan Tata Cara Peran Masyarakat Dalam Penataan Ruang, khususnya pada aspek perencanaan, pemanfaatan dan pengendalian tata ruang. Pemerintah dan pemerintah daerah berkewajiban untuk memberikan informasi yang akurat, melakukan sosialisasi rencana tata ruang, menyediakan ruang aduan dan merespon tanggapan masyarakat terhadap pelaksanaan rencana tata ruang. Dalam konteks pasca bencana, revisi RTR dengan partisipasi masyarakat merupakan kesempatan untuk menata kembali aspek keruangan suatu wilayah.

31. Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN) 2008 - 2027 yang ditetapkan melalui PP no. 26/2008 adalah arahan kebijakan dan strategi pemanfaatan ruang wilayah negara yang dijadikan acuan untuk perencanaan jangka panjang, dengan jangka waktu 20 tahun. Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional merupakan pedoman:

a. penyusunan rencana pembangunan jangka panjang nasional; b. penyusunan rencana pembangunan jangka menengah nasional;

c. pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang di wilayah nasional;

d. mewujudkan keterpaduan, keterkaitan, dan keseimbangan perkembangan antarwilayah provinsi, serta keserasian antarsektor;

e. penetapan lokasi dan fungsi ruang untuk investasi; f. penataan ruang kawasan strategis nasional;

g. penataan ruang wilayah provinsi dan kabupaten/kota.

32. RTRWN ditinjau kembali setiap lima tahun. Dalam kondisi lingkungan strategis tertentu yang berkaitan dengan bencana alam skala besar yang ditetapkan dengan peraturan perundang-undangan dan/atau perubahan batas teritorial negara yang ditetapkan dengan Undang-Undang, RTRWN dapat ditinjau kembali lebih dari 1 (satu) kali dalam 5 (lima) tahun.

(8)

Hal 7 dari 18 34. Materi muatan teknis rencana tata ruang meliputi: tujuan, kebijakan, dan strategi

penataan ruang; rencana struktur ruang; rencana pola ruang; penetapan kawasan strategis; arahan pemanfaatan ruang, dan arahan pengendalian pemanfaatan ruang seperti arahan peraturan zonasi, arahan perizinan, arahan insentif dan disinsentif serta arahan sanksi. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum nomor 11 /PRT/M/2009 memberikan pedoman untuk persetujuan substansi dalam penetapan rancangan peraturan daerah tentang rencana tata ruang wilayah provinsi dan rencana tata ruang wilayah kabupaten/kota sebelum ditetapkan menjadi peraturan daerah, beserta rencana rincinya serta tata cara evaluasi materi muatan teknis rancangan peraturan daerah tentang rencana tata ruang wilayah dan rencana rinci tata ruang provinsi dan kabupaten/kota. 35. Pedoman penyusunan Rencana Tata Ruang KSN, Provinsi, Kabupaten, Kota dan Rencana

Detil Tata Ruang (RDTR) dan Peraturan Zonasi telah ditetapkan melalui Peraturan Menteri Pekerjaan Umum. RDTR dan peraturan zonasi berfungsi sebagai:

a. kendali mutu pemanfaatan ruang wilayah kabupaten/kota berdasarkan RTRW;

b. acuan bagi kegiatan pemanfaatan ruang yang lebih rinci dari kegiatan pemanfaatan ruang yang diatur dalam RTRW;

c. acuan bagi kegiatan pengendalian pemanfaatan ruang; d. acuan bagi penerbitan izin pemanfaatan ruang; dan

e. acuan dalam penyusunan Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan

36. Dalam RDTR Kabupaten/Kota; peta rencana pola ruang (zoning map) digambarkan dengan ketentuan sebagai berikut:

a. Digambarkan dalam peta dengan skala atau tingkat ketelitian minimal 1:5.000 dan mengikuti ketentuan mengenai sistem informasi geografis

b. Cakupan rencana pola ruang meliputi ruang darat dan/atau ruang laut dengan batasan 4 (empat) mil laut yang diukur dari garis pantai wilayah kabupaten/kota atau sampai batas negara yang disepakati secara internasional apabila kabupaten/kota terkait berbatasan laut dengan negara lain;

c. Dapat digambarkan ke dalam beberapa lembar peta yang tersusun secara beraturan mengikuti ketentuan yang berlaku;

d. Peta rencana pola ruang juga berfungsi sebagai zoning map bagi peraturan zonasi; dan e. Peta rencana pola ruang harus sudah menunjukkan batasan persil untuk wilayah yang

sudah terbangun

37. Peraturan zonasi pada dasarnya mengatur tentang klasifikasi zona, pemanfaatan lahan, dan prosedur pelaksanaan pembangunan. Di beberapa negara lain peraturan zonasi diberlakukan dengan istilah yang berbeda-beda, antara lain zoning code, land development code, zoning ordinance, zoning resolution, zoning by law, dan sebagainya. Peraturan zonasi perlu disusun sebagai kelengkapan dari RTRW Kabupaten/Kota, terutama apabila RTRW Kabupaten/Kota belum operasional dan sulit dijadikan rujukan perijinan dalam kerangka pengendalian pemanfaatan ruang. Penjabaran RTRW Kabupaten/Kota dalam bentuk peta zonasi dan teks zonasi akan bermanfaat sebagai perangkat pengendalian pemanfaatan ruang yang sudah bersifat operasional. Ketentuan pemanfaatan ruang untuk setiap zona menunjukkan boleh tidaknya sebuah kegiatan dikembangkan dalam sebuah klasifikasi penggunaan lahan.

(9)

Hal 8 dari 18 ruang untuk mewujudkan keseimbangan kepentingan, terutama bagi masyarakat berpenghasilan rendah dengan memperhatikan kelestarian fungsi lingkungan, baik di kawasan perkotaan maupun kawasan perdesaan.

39. Beberapa permasalahan yang sering timbul di dalam pembangun perumahan dan pemukiman adalah proses penyediaan tanah, pembebasan tanah, perolehan hak atas tanah dan perijinan terkait penggunaan tanah, karena belum semua Kabupaten/Kota memiliki Rencana Tata Ruang yang dapat menjadi pedoman perijinan. Jenis perijinan yang terkait dengan pemanfaatan ruang adalah Ijin Lokasi, Ijin Pemanfaatan Tanah, Ijin Perubahan Penggunaan Tanah, Ijin Konsolidasi Tanah, dan Izin Penetapan Lokasi Pembangunan untuk Kepentingan Umum.

40. Penerbitan izin lokasi, penetapan lokasi, dan izin perubahan penggunaan tanah selanjutnya diatur dalam Peraturan Kepala BPN nomor 2 tahun 2011, yang memberikan Pedoman Pertimbangan Teknis Pertanahan dalam Penerbitan Izin Lokasi, Penetapan Lokasi, dan Izin Perubahan Penggunaan Tanah dengan memperhatikan azas keadilan, sesuai dengan arahan peruntukan Rencana Tata Ruang Wilayah serta memenuhi ketentuan peraturan perundangan dan kekhususan karakteristik dan kondisi wilayah masing-masing. Persyaratan permohonan dan jangka waktu penerbitan Pertimbangan Teknis Pertanahan dalam Penerbitan Izin Lokasi, Penetapan Lokasi dan Izin Perubahan Penggunaan Tanah dilaksanakan sesuai dengan Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2010 tentang Standar Pelayanan dan Pengaturan Pertanahan.

41. Berdasarkan UU nomor 2 tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan

Untuk Kepentingan Umum; perencanaan pengadaan tanah untuk kepentingan umum

didasarkan atas Rencana Tata Ruang Wilayah dan prioritas pembangunan yang tercantum dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah, Rencana Strategis, Rencana Kerja Instansi yang bersangkutan. Dokumen perencanaan pengadaan tanah disusun berdasarkan studi kelayakan yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang kemudian diserahkan kepada pemerintah provinsi. Pengadaan tanah untuk kepentingan umum karena keadaan mendesak akibat bencana alam, perang, konflik sosial yang meluas, dan wabah penyakit dapat langsung dilaksanakan pembangunannya setelah dilakukan penetapan lokasi pembangunan untuk kepentingan umum.

42. Peraturan Presiden nomor 71 tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum, Badan Pertanahan Nasional (BPN) adalah Lembaga Pertanahan sebagaimana dimaksudkan UU nomor 12/2012. Kepala Kantor BPN di Provinsi bertanggung jawab langsung kepada Kepala BPN, dan Kepala Kantor Pertanahan di Kabupaten/Kota bertanggung jawab kepada Kepala BPN melalui Kepala Kantor Wilayah BPN.

43. Pembinaan dan monitoring terhadap pelaksanaan Izin Lokasi, Penetapan Lokasi dan Izin Perubahan Penggunaan Tanah diselenggarakan oleh Lembaga Pertanahan sebagaimana telah diatur melalui Peraturan Presiden nomor 71 tahun 2012. Hasil pembinaan dan monitoring dapat menjadi bahan pertimbangan dalam Pembatalan Izin Lokasi, yang dilaksanakan oleh dilaksanakan oleh Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia atas usulan Pemerintah Provinsi dengan pertimbangan Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional; dan Pemerintah Kabupaten/Kota dengan pertimbangan Kepala Kantor Pertanahan.

(10)

Hal 9 dari 18 Gubernur/Bupati/Walikota perlu menyampaikan kepada BKPRN dengan tembusan kepada Menteri Kehutanan yaitu: a) dokumen rencana tata ruang beserta lampirannya, b) peta usulan perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan dalam Rancangan Perda berikut hasil kajian teknis dan rencana pemanfaatannya, c) peta citra satelit liputan 2 (dua) tahun terakhir yang dapat menggambarkan secara jelas kondisi vegetasi dan penutupan lahan atas kawasan hutan yang diusulkan perubahan peruntukan dan fungsinya, d) peta dan dokumen perizinan penggunaan dan pemanfaatan kawasan hutan serta perizinan pemanfaatan lahan yang berasal dari kawasan hutan yang telah dilepaskan oleh Menteri Kehutanan.

45. Perubahan fungsi kawasan hutan selanjutnya mengacu pada PP nomor 10 tahun 2010 Tentang Tata Cara Perubahan Peruntukan Dan Fungsi Kawasan Hutan. Perubahan yang dimaksud adalah perubahan kawasan hutan yang memiliki fungsi pokok sebagai hutan konservasi, hutan lindung, dan hutan produksi; berdampak penting dan cakupan yang luas serta bernilai strategis adalah perubahan yang berpengaruh terhadap kondisi biofisik seperti perubahan iklim, ekosistem, dan gangguan tata air, serta dampak sosial ekonomi masyarakat bagi kehidupan generasi sekarang dan generasi yang akan datang. Perubahan peruntukan kawasan hutan dapat dilakukan secara parsial atau untuk wilayah provinsi. 46. Perubahan peruntukan kawasan hutan secara parsial dapat dilakukan berdasarkan

permohonan yang diajukan oleh menteri atau pejabat setingkat menteri, gubernur atau bupati/walikota, pimpinan badan usaha atau ketua yayasan. Perubahan peruntukan kawasan hutan secara parsial dilakukan melalui: a) tukar menukar kawasan hutan; atau b) pelepasan kawasan hutan. Persetujuan prinsip tukar menukar kawasan hutan diberikan oleh Menteri Kehutanan untuk jangka waktu paling lama 2 (dua) dan dapat diperpanjang paling banyak 2 (dua) kali masing-masing untuk jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun. Dalam hal rencana kegiatan perubahan peruntukan kawasan hutan yang berdampak penting dan cakupan yang luas serta bernilai strategis, Menteri Kehutanan harus meminta persetujuan terlebih dahulu dari DPR-RI, sebelum menerbitkan persetujuan prinsip tukar menukar kawasan hutan.

47. Pelepasan kawasan hutan hanya dapat dilakukan pada hutan produksi yang dapat dikonversi. Kawasan hutan produksi yang dapat dikonversi tidak dapat diproses pelepasannya pada provinsi yang luas kawasan hutannya kurang dari 30% kecuali dengan cara tukar menukar kawasan hutan. Persetujuan prinsip pelepasan kawasan hutan diberikan Menteri Kehutanan untuk jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun sejak diterbitkannya persetujuan prinsip oleh Menteri dan dapat diperpanjang paling banyak 2 (dua) kali masing-masing untuk jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan.

48. Perubahan peruntukan kawasan hutan untuk wilayah provinsi dilakukan berdasarkan usulan dari gubernur kepada Menteri Kehutanan, setelah dilakukan integrasi dengan RTRW Provinsi. Apabila usulan perubahan peruntukan kawasan hutan di wilayah provinsi berpotensi menimbulkan dampak dan/atau risiko lingkungan, maka Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) wajib dilaksanakan. Hasil kajian dan penelitian disampaikan kepada DPR-RI untuk dimintakan persetujuan.

49. Pelepasan kawasan hutan produksi yang dapat dikonversi dilaksanakan tanpa melalui penelitian Tim Terpadu karena kawasan hutan produksi yang dapat dikonversi merupakan kawasan hutan yang secara ruang dicadangkan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan, yang ditetapkan berdasarkan hasil penelitian tim pusat dan daerah serta lintas sektoral, pada saat paduserasi kawasan hutan dan rencana tata ruang wilayah provinsi.

(11)

Hal 10 dari 18 pendidikan, fasilitas keselamatan umum, penempatan korban bencana alam, permukiman, bangunan industri, pelabuhan, dan bandar udara.

51. Penggunaan kawasan hutan kawasan hutan produksi dan/atau kawasan hutan lindung kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan hanya dapat dilakukan untuk kegiatan yang mempunyai tujuan strategis yang tidak dapat dielakkan tanpa mengubah fungsi pokok kawasan hutan dengan mempertimbangkan batasan luas dan jangka waktu tertentu serta kelestarian lingkungan diatur melalui PP nomor 24 tahun 2010 tentang Penggunaan kawasan hutan. Kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan meliputi kegiatan religi; pertambangan; instalasi pembangkit; transmisi, dan distribusi listrik, serta teknologi energi baru dan terbarukan; pembangunan jaringan telekomunikasi, stasiun pemancar radio, dan stasiun relay televisi; jalan umum, jalan tol, dan jalur kereta api; sarana transportasi yang tidak dikategorikan sebagai sarana transportasi umum untuk keperluan pengangkutan hasil produksi; sarana dan prasarana sumber daya air, pembangunan jaringan instalasi air, dan saluran air bersih dan/atau air limbah; fasilitas umum; industri terkait kehutanan; pertahanan dan keamanan; prasarana penunjang keselamatan umum; atau penampungan sementara korban bencana alam.

52. Penggunaan kawasan hutan tanpa merubah fungsi pokoknya dilakukan berdasarkan Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan yang diterbitkan Menteri Kehutanan untuk jangka waktu paling lama 20 (duapuluh) tahun sejak diterbitkan dan dapat diperpanjang berdasarkan hasil evaluasi. Penerima Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan harus melaksanakan kewajiban yang telah diatur dalam PP nomor 24 tahun 2010. Pemegang izin pinjam pakai kawasan hutan dilarang memindahtangankan izin pinjam pakai kawasan hutan kepada pihak lain tanpa persetujuan Menteri dan/atau menjaminkan kawasan hutan yang dipinjam pakai kepada pihak lain. Khususnya untuk kepentingan pertahanan negara, sarana keselamatan lalu lintas laut atau udara, jalan umum, jalur kereta api umum, cek dam, embung, sabo, dan sarana meteorologi, klimatologi, dan geofisika, serta religi, izin pinjam pakai kawasan hutan berlaku selama digunakan untuk kepentingan dimaksud. Menteri Kehutanan melakukan evaluasi setiap 5 (lima) tahun atau sewaktu-waktu bila diperlukan, apabila penggunaan kawasan hutan tidak sesuai dengan izin pinjam pakai kawasan hutan maka izin tersebut dapat dibatalkan.

53. Informasi Geospasial (IG) sangat berguna sebagai sistem pendukung pengambilan kebijakan dalam rangka mengoptimalkan pembangunan di bidang ekonomi, sosial, budaya, dan ketahanan nasional, khususnya dalam pengelolaan sumber daya alam, penyusunan rencana tata ruang, perencanaan lokasi investasi dan bisnis perekonomian, penentuan garis batas wilayah, pertanahan, dan kepariwisataan. IG juga merupakan informasi yang amat diperlukan dalam penanggulangan bencana, pelestarian lingkungan hidup, dan pertahanan keamanan.

54. UU nomor 4/2011 tentang Informasi Geospasial menguraikan bahwa secara umum IG terbagi menjadi Informasi Geospasial Dasar (IGD) dan Informasi Geospasial Tematik (IGT). IGD mencakup acuan posisi dan peta dasar, adapun IGT mencakup berbagai ragam tema, seperti kehutanan, pertanian, perikanan, dan pertambangan. Peta dasar yang sangat diperlukan bagi perencanaan terdiri dari Peta Rupabumi yang memberikan informasi secara khusus untuk wilayah darat; Peta Lingkungan Pantai yang memberikan informasi secara khusus untuk wilayah pesisir dan Peta Lingkungan Laut Nasional yang memberikan informasi secara khusus untuk wilayah laut.

(12)

Hal 11 dari 18 56. Penyelenggaraan IGD dilaksanakan oleh Badan Informasi Geospasial sebagai pengganti

Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional (BAKOSURTANAL) sesuai dengan amanat UU nomor 4/2011. Khususnya untuk keperluan penanggulangan bencana, setiap individu diwajibkan memberikan IGT yang dimilikinya apabila diminta oleh Instansi Pemerintah atau Pemerintah Daerah yang diberi tugas dalam urusan penanggulangan bencana.

57. Peta Dasar dengan segala karakteristik ketelitiannya, menjadi dasar bagi pembuatan Peta rencana tata ruang wilayah. Peta rencana tata ruang wilayah sebagai bagian yang tidak terpisahkan dengan rencana tata ruang wilayah harus mengandung tingkat ketelitian yang sesuai dengan skala penggambarannya. PP nomor 8/2013 tentang Ketelitian Peta Rencana Tata Ruang juga mengatur tentang sistem referensi geospasial; skala peta dasar minimal, unit pemetaan yang dapat digunakan dan ketelitian muatan ruang.

58. Skala peta yang digunakan untuk perencanaan tata ruang adalah sebagai berikut:

Jenis rencana Skala peta rencana Rujukan

UU no. 26 tahun 2007 RTRW Nasional Masa berlaku 20 tahun

1:1.000.000 PP no. 26/2008

RTR KSN (Masa berlaku 20 tahun) Permen.PU no. 5/PRT/M/2012 • Kawasan perbatasan negara

(darat dan laut)

1:10.000 – 1.25.000 • Wilayah pertahanan Sesuai UU • Kawasan perkotaan metropolitan Min. 1:50.000

• KAPET Min. 1: 100.000

• Kawasan ekonomi khusus non KAPET

1: 10.000 – 1: 25.000 • Kawasan warisan budaya dan

adat tertentu

Inti min 1:5.000 Penyangga 1:10.000-1:25000 • Kawasan teknologi tinggi Inti min 1:5.000

Penyangga 1:10.000-1:25.000 • Kawasan SDA Darat Min 1:50.000 • Kawasan Hutan Lindung/Taman

Nasional

1:50.000 – 1: 250.000 • Kawasan Rawan Bencana 1:25.000 – 1: 50.000 • Kawasan ekosistem 1:50.000 –

1:250.000 • Kawasan kritis lingkungan 1:25.000 –

1:50.000 RTR Pulau/Kepulauan

Masa berlaku 20 tahun

1:500.000 Contoh: Perpres no. 88/2011 tentang RTR Pulau Sulawesi dan Perpres no. 13/2012 tentang RTR Pulau Sumatera

RTRW Provinsi

Masa berlaku 20 tahun

1:250.000 Permen. PU no. 15/PRT/M/2009 RTRW Kabupaten

Masa berlaku 20 tahun

Min 1:50.000 Permen. PU no. 16/PRT/M/2009 RTRW Kota

Masa berlaku 20 tahun

(13)

Hal 12 dari 18

Jenis rencana Skala peta rencana Rujukan

RDTRW dan Peraturan Zonasi Masa berlaku 20 tahun

Min 1:5.000 Permen.PU no. 20/PRT/M/2011

UU no. 27 tahun 2007

Hasil konsultasi dengan Dit. TRP

RPWP3K

Masa berlaku 5 tahun

RPJM/D Hasil konsultasi dengan Dit. TRP RAWP3K

Masa berlaku 1-3 tahun

RKP/D Hasil konsultasi dengan Dit. TRP

III.

Respon terhadap Dampak Perubahan Iklim dalam Kebijakan Lingkungan Hidup

59. Lingkungan Hidup dan Tata Ruang tidak dapat terpisahkan satu dan lainnya. UU nomor 26/2007 tentang Penataan Ruang mengamanatkan perlunya dilakukan penataan ruang yang dapat mengharmoniskan lingkungan alam dan lingkungan buatan, yang mampu mewujudkan keterpaduan penggunaan sumber daya sebagai unsur lingkungan hidup yang terdiri atas sumberdaya manusia, sumberdaya alam, baik hayati maupun nonhayati, dan sumberdaya buatan.

60. Sumber daya alam seperti lahan, laut, udara, minyak, hutan dan lain-lain adalah sumber daya yang bersifat esensial. Dari kacamata ekonomi, Indonesia memiliki keragaman potensi sumberdaya yang dapat diperbaharui seperti logam, minyak bumi, mineral, dan gas; dan sumber daya alam yang dapat diperbaharui melalui proses biologi (ikan, hutan, dan lain-lain) dan non-biologi (air dari mata air, situ, dan lain-lain). sumberdaya lahan, hutan maupun lautnya.

61. Terdapat sekitar 4 miliar hektar hutan di dunia, yang menutupi hampir 30 persen dari wilayah daratan bumi. Sekitar 56 persen dari hutan itu berlokasi di wilayah tropis dan subtropis. Indonesia memiliki hutan tropis ketiga terluas di dunia – hanya Brazil dan Kongo yang mempunyai hutan tropis yang lebih besar. Peran hutan menjadi lebih penting dalam dalam strategi penanganan perubahan iklim di Indonesia. Hutan menutupi antara 86 – 93 juta hektar, atau hampir setengah total wilayah darat negara ini. Menurut data terakhir Kementerian Kehutanan, Indonesia telah kehilangan 1.18 juta hektar hutan setiap tahunnya. Deforestasi dan perubahan tata guna lahan, termasuk lahan gambut, menghasilkan sekitar 60 persen total emisi Indonesia. Struktur emisi seperti ini membuat Indonesia memilih penanganan deforestasi dan degradasi hutan sebagai salah satu cara utama mengurangi emisi dan menghadapi perubahan iklim.

62. Peraturan Presiden nomor 61/2011 tentang Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RAN-GRK) adalah upaya mitigasi perubahan iklim untuk mengurangi risiko akibat perubahan iklim melalui kegiatan yang dapat menurunkan emisi/meningkatkan penyerapan GRK dari berbagai sumber emisi. Pendanaan RAN-GRK untuk kegiatan-kegiatan utama bidang pertanian, kehutanan dan lahan gambut, energi dan transportasi, Industri, pengelolaan limbah, dan kegiatan pendukung lainnya dapat bersumber dari APBN, APBD dan sumber-sumber lain yang sah dan tidak mengikat sesuai peraturan perundang-undangan.

(14)

Hal 13 dari 18 adaptasi perubahan iklim, pada saat ini telah tersedia Rencana Aksi Nasional Mitigasi dan Adaptasi yang disusun oleh Kementerian Pekerjaan Umum, Kementerian Lingkungan Hidup dan Dewan Nasional Perubahan Iklim. Untuk mengharmoniskan strategi, program dan kegiatan konkrit yang dapat diarusutamakan ke dalam rencana pembangunan, maka strategi adaptasi perubahan iklim nasional (Bappenas) dalam kerangka meningkatkan kapasitas difokuskan pada upaya peningkatan kapasitas adaptasi terutama pada sektor kelautan dan perikanan, pertanian, kesehatan, sumberdaya air dan penanggulangan bencana.

64. Respon operasional terhadap dampak perubahan iklim telah dimulai melalui Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 26 Tahun 2012 Tentang Petunjuk Teknis Pemanfaatan Dana Alokasi Khusus Bidang Lingkungan Hidup tahun anggaran 2013, yang selanjutnya disebut DAK Bidang LH. Dana yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara ini dialokasikan kepada daerah tertentu dengan tujuan untuk membantu mendanai kegiatan pemantauan kualitas lingkungan hidup, pengendalian pencemaran lingkungan hidup, perlindungan fungsi lingkungan hidup, dan dalam rangka mendukung upaya adaptasi dan mitigasi perubahan iklim yang merupakan urusan daerah dan sesuai dengan prioritas nasional.

65. Pengadaan sarana dan prasarana dalam rangka adaptasi dan mitigasi perubahan iklim melalui DAK Bidang LH diantaranya meliputi: a) pembuatan Taman Keanekaragaman Hayati (Kehati)/Taman Hijau/Hutan Kota; b) penanaman mangrove dan vegetasi pantai; c) pembuatan model pemulihan kerusakan ekosistem terumbu karang berbasis masyarakat; d) pengadaan unit pengolah limbah organik menjadi biogas.

66. Dalam UU 32/2009 tentang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup telah diamanatkan bahwa Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib membuat Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) untuk memastikan bahwa prinsip pembangunan berkelanjutan telah menjadi dasar dan terintegrasi dalam pembangunan suatu wilayah dan/atau kebijakan, rencana, dan/program. Dalam PP no. 15/2010 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang (pasal 25, 27, 33, 35), disebutkan bahwa prosedur penetapan RTRW nasional, propinsi, kabupaten, kota, dilakukan melalui KLHS. Selain itu ada pula peraturan lain terkait pembangunan hutan yang diatur dalam PP, antara lain PP Nomor 40 Tahun 2006 tentang Tahapan, Tata Cara Penyusunan Rencana Pembangunan Nasional, PP Nomor 8 Tahun 2008 tentang Tahapan, Tata Cara Penyusunan, Pengendalian dan Evaluasi Pelaksanaan Rencana Pembangunan Daerah, dan PP Nomor 10 Tahun 2010 tentang Tata Cara Peruntukan dan Perubahan Fungsi Kawasan Hutan.

67. Tantangan permasalahan lingkungan yang dihadapi daerah saat ini diantaranya adalah : a. Isu pencemaran lingkungan yang terdiri dari 50-70% permasalahan pencemaran

akibat kegiatan domestik baik berupa limbah cair maupun limbah padat (persampahan); kemudian pencemaran akibat kegiatan industri. Untuk itu diperlukan kebijakan, pengetahuan dan kepemimpinan yang kuat untuk dapat mendorong sektor melakukan perbaikan lingkungan akibat dari kegiatan tersebut.

b. Meningkatnya permasalahan kerusakan ekosistem baik di danau, sungai, teluk, pesisir dan pantai, sehingga perlu diprioritaskan dan diselesaikan dengan kebijakan dan model yang tepat. Kegiatan utama yang dapat dilakukan adalah dengan mendorong peran masyarakat untuk memperbaiki kerusakan ekosistem tersebut.

c. Instrumen-instrumen lingkungan yang lebih baru telah dikembangkan perlu intensif dikomunikasikan antara lain adaptasi perubahan iklim, penerapan ijin lingkungan, dan Kajian Lingkungan Hidup Strategis.

(15)

Hal 14 dari 18 pengambilan keputusan. KLHS adalah instrumen pengelolaan lingkungan hidup yang diimplementasikan pada proses pengambilan keputusan perencanaan pembangunan. 69. KLHS harus mampu mendorong alternatif –alternatif baru pembangunan melalui:

a. Identifikasi isu-isu utama lingkungan atau pembangunan berkelanjutan yang perlu dipertimbangkan dalam KRP (Kebijakan, Rencana, Program)

b. Analisis dampak setiap alternatif strategi pembangunan dari KRP, khususnya isu-isu yang relevan dan memberikan masukan untuk optimalisasi dampak positif dan reduksi dampak negatif.

c. Keterlibatan para pemangku kepentingan (stakeholders), baik pemerintah maupun non-pemerintah dalam perumusan alternatif-alternatif pembangunan.

d. Bukan hanya sekedar dokumen atau pemenuhan prosedur/ peraturan

70. UU nomor 26/2007 dan UU nomor 32 tahun 2009 menjadi pertimbangan dalam PP nomor 32/2012 tentang Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Pengelolaan DAS dilaksanakan sesuai dengan rencana tata ruang dan pola pengelolaan sumber daya air yang berpedoman pada peraturan perundang-undangan di bidang penataan ruang dan sumber daya air. DAS yang dipulihkan daya dukungnya adalah DAS yang kondisi lahan serta kualitas, kuantitas dan kontinuitas air, sosial ekonomi, investasi bangunan air dan pemanfaatan ruang wilayah tidak berfungsi sebagaimana mestinya. DAS yang dipertahankan daya dukungnya adalah DAS yang kondisi lahan, kualitas, kuantitas dan kontinuitas air, sosial ekonomi, investasi bangunan air, dan pemanfaatan ruang wilayah berfungsi sebagaimana mestinya.

71. Kebijakan dan strategi Rencana Struktur Ruang Wilayah Nasional (PP nomor 28/2008) juga meliputi sistem jaringan sumberdaya air, termasuk indikasi arahan peraturan zonasi yang harus mempertimbangkan: a) pemanfaatan ruang pada kawasan di sekitar wilayah sungai dengan tetap menjaga kelestarian lingkungan dan fungsi lindung kawasan; dan b) pemanfaatan ruang di sekitar wilayah sungai lintas negara dan lintas provinsi secara selaras dengan pemanfaatan ruang pada wilayah sungai di negara/provinsi yang berbatasan.

72. Tantangan-tantangan krusial dalam hal pengelolaan sumber daya air di Indonesia dipicu pertumbuhan penduduk yang tinggi, maraknya alih fungsi lahan, dan perubahan iklim. Indonesia diperkirakan memiliki laju pertumbuhan penduduk rata-rata 1,2% per tahun sehingga sehingga pada tahun 2020 terdapat 250 juta penduduk Indonesia, yang memerlukan air bersih, bahan pangan dan tempat tinggal. Saat ini persebaran penduduk tidak merata, 65% penduduk hidup di Pulau Jawa, yang hanya memiliki 4,5 persen dari potensi cadangan air nasional.

73. Pesatnya pertumbuhan penduduk berbanding lurus dengan meningkatnya kebutuhan akan lahan bagi permukiman beserta prasarana dan sarana pendukung kehidupan perkotaan. Alih fungsi lahan terutama hutan yang tidak terkendali menurunkan fungsi daerah aliran sungai (DAS) dan daerah tangkapan air secara drastis. Perubahan pola hujan akibat perubahan iklim dan berkurangnya daerah tangkapan air mengakibatkan lebih seringnya terjadi banjir.

IV.

Isyu Strategis Penyelenggaraan Penataan Ruang dan Pengelolaan Lingkungan

Hidup

74.Aspek Kebijakan:

(16)

Hal 15 dari 18 b. Perlunya kesepakatan tentang hirarki dan kedudukan rencana tata ruang dalam UU nomor 26/2007 dan rencana pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil UU nomor 27/2007 perlu disepakati di tingkat pusat supaya dapat menjadi pedoman pemerintah kabupaten/kota pesisir dalam mengendalikan pemanfaatan ruang, terutama dalam mengantisipasi dampak perubahan iklim

c. Berdasarkan Kajian Kritis Kebijakan yang Terkait dengan Penataan Ruang dan Sumberdaya Alam (disusun oleh Kedeputian Bidang Tata Lingkungan Kementerian Negara Lingkungan Hidup) materi UU nomor 26/2007 tentang Penataan Ruang secara kontekstual berorientasi pada konservasi dengan pembagian kewenangan sedangkan UU No. 41/1999 tentang Kehutanan berorientasi pada keseimbangan antara produksi dan konservasi dengan kewenangan sentralistik. Diperlukan terobosan percepatan penyelesaian RTRW di daerah terutama bila substansi RTRW memuat aspek kehutanan, untuk mencegah penyimpangan pemanfaatan ruang dan eksploitasi sumber daya alam secara berlebihan.

d. Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN) 2008 - 2027 yang ditetapkan melalui PP no. 26/2008 telah memasuki siklus 5 (lima) tahunan pertama untuk di-evaluasi, baik melalui aspek substansi RTRWN maupun aspek implementasi RTRWN melalui Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Nasional (RTR KSN) dan RTR Pulau/Kepulauan yang merupakan rencana rinci dan perangkat operasional dari Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional.

e. Perlunya harmonisasi pelaksanaan UU nomor 2 tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum dengan peraturan tentang alih fungsi lahan sehingga alokasi penguasaan maupun alokasi penggunaan sumberdaya tanah akan senantiasa menjadi hal yang strategis untuk diselesaikan secara adil.

f. Perlunya pemaduserasian pola pengelolaan sumber daya air ke dalam RTRW Kabupaten/Kota dengan pendekatan Wilayah Sungai dalam rangka upaya konservasi, konservasi, pendayagunaan sumber daya air, pengendalian daya rusak air pada wilayah sungai, pemberdayaan dan partisipasi masyarakat serta pemanfaatan sistem informasi.

g. Belum terdapat kesepahaman tentang fungsi RTR KSN sebagai instrumen koordinasi perwujudan keterpaduan, keterkaitan, dan keseimbangan perkembangan antar wilayah Provinsi, Kabupaten/Kota, serta keserasian antar sektor. Ijin pembangunan pada wilayah yang termasuk dalam cakupan KSN seharusnya berpedoman pada RTRW Kabupaten/Kota beserta rencana rincinya yang telah menjadi peraturan daerah. h. RTR KSN disajikan dalam rencana pola ruang dengan skala 1:1000.000; diperlukan

telaahan lebih lanjut tentang materi dan kriteria arahan pengendalian pemanfaatan ruang yang terkait dengan arahan peraturan zonasi, arahan perijinan, arahan insentif-disinsentif dan arahan pengenaan sanksi agar supaya dapat menjadi pedoman penyusunan RTRW Kabupaten dan Kota.

i. Perlunya disepakati tatacara dan mekanisme revisi RTRW Kabupaten/Kota yang telah memperoleh pengesahan untuk dilengkapi dengan substansi mitigasi risiko, KHLS dan pengelolaan SDA.

(17)

Hal 16 dari 18 75.Aspek Kelembagaan:

a. Berdasarkan batas administrasi wilayah, terdapat Kawasan Strategis Nasional antar negara, antar provinsi dan antar kabupaten alam satu provinsi yang memiliki karakteristik dan tantangan yang berbeda-beda. Perpres KSN mengamanatkan pembentukan “badan pengelola” sesuai peraturan dan perundang-undangan. Perlu dikaji bersama bentuk badan pengelola yang efisien terutama untuk KSN antar negara dan antar provinsi dalam hal arahan pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang.

b. Perlunya dikaji bersama potensi dan tantangan BKPR Provinsi yang telah diberi amanat perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang sesuai Peraturan Menteri Dalam Negeri nomor 50 tahun 2009 tentang Pedoman Koordinasi Penataan Ruang Daerah untuk melaksanakan fungsi pengelolaan KSN kabupaten dalam 1 (satu) wilayah provinsi.

c. Perlunya peningkatan kapasitas lembaga perencanaan di daerah untuk menyusun RDTR dan Peraturan Zonasi sesuai ketentuan dalam Peraturan Menteri Pekerjaan Umum nomor 20/PRT/M/2011 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Detail Tata Ruang Dan Peraturan Zonasi Kabupaten/Kota.

d. Perlunya leading institution dan mekanisme untuk mengawal pelaksanaan RTR Pulau/Kepulauan untuk mengkoordinasikan provinsi/kabupaten/kota dalam pelaksanaan strategi operasionalisasi perwujudan struktur ruang dan pola ruang pulau, arahan pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang.

e. Perlunya koordinasi antara Bappeda, BPBD dan SKPD terkait dalam rangka pelaksanaan kajian risiko dengan tujuan mengharmoniskan rencana tata ruang kabupaten/kota dengan rencana penanggulangan bencana dan rencana aksi daerah pengurangan risiko bencana.

V.

Kesimpulan

76.Berdasarkan deskripsi sebelumnya, kumpulan kebijakan yang terkait dengan Prioritas Aksi 4 Hyogo Framework for Action (HFA) 2005-2015 : a) Reduce the underlying risk factors in key activities: a) Environmental and natural resource management, b) Social and economic development practices, c) Land-use planning and other technical measures pada prinsipnya telah tersedia telah tertuang dalam kebijakan tentang penataan ruang, lingkungan hidup, sumber daya alam dan pertanahan.

77.Pemerintah telah merumuskan kebijakan penataan ruang dan lingkungan hidup yang adaptif atau mengantisipasi skenario perubahan iklim, dalam upaya meminimalkan potensi risiko dan kerugian yang diakibatkan dimasa akan datang

78. Isyu strategis pada aspek kebijakan adalah harmonisasi peraturan yang ada untuk

penguatan fungsi dokumen rencana tata ruang sebagai matra keruangan dari

pembangunan daerah, dasar kebijaksanaan pokok pemanfaatan ruang, alat untuk mewujudkan keseimbangan antar wilayah kota/kabupaten dan antar kawasan serta keserasian antar sektor, alat untuk mengalokasikan investasi yang dilakukan pemerintah, masyarakat dan swasta, sebagai pedoman untuk penyusunan rencana rinci tata ruang. 79.Penyusunan Peraturan Zonasi berdasarkan RTRW Kabupaten/Kota dan/atau RDTR

(18)

Hal 17 dari 18 80.Isyu strategis pada aspek kelembagaan adalah leadership, penguatan kapasitas,

pembagian kewenangan yang jelas dan mekanisme koordinasi untuk melaksanakan perencanaan dan pengendalian pemanfaatan ruang.

Referensi

Dokumen terkait

It is proposed that the Filter specification should include a PropertyIsSemanticallyRelatedTo comparison operator that accepts a propertyname, resourceidentifier and zero or

Pengaturan hukum surat pernyataan telah menyetorkan modal yang dibuat oleh pendiri perseroan terbatas diatur dalam Permenkum HAM RI Nomor 4 Tahun 2014 Tentang

Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui pola segregasi karakter ketahanan tanaman kedelai terhadap infeksi SMV dan karakter agronomi lainnya serta banyak gen yang

sebagai masukan bagi Pemerintah Kota Medan mengenai indeks kepuasan masyarakat. terhadap kualitas pelayanan publik di kecamatanMedan Tembung,

Sebaran daerah asal mahasiswa dapat dipetakan berdasarkan letak geografis menggunakan data spasial dalam bentuk peta yang dipadukan dengan basisdata

Penelitian tentang sistem kemudi untuk kapal pengawas pada tahap awal yang sudah dilakukan dapat disimpulkan bahwa model kemudi yang dirancang dengan pendekatan

Dimensi lapangan yaitu 1.2m x 1.2m, dimana lapangan yang digunakan berwarna hijau dan biru dan ukuran garis sebagai track robot line follower ini yaitu 2cm

Penurunan kadar air pada biji kopi yang telah sangrai, disebabkan karena suhu yang semakin tinggi dan semakin lamanya proses penyangraian biji kopi mengakibatkan air yang