• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KONSEP MURABAHAH DAN WAKAALAH DALAM FIKIH MUAMALAH

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II KONSEP MURABAHAH DAN WAKAALAH DALAM FIKIH MUAMALAH"

Copied!
25
0
0

Teks penuh

(1)

12 2.1. Murabahah

2.1.1. Pengertian Murabahah

Murabahah secara etimologi berasal dari bahasa Arab yang merupakan akar kata (mashdar) dari kata

yang berarti keuntungan, berlaba, perkembangan dan kelebihan. (Warson Munawir 2002, 634)

Murabahah secara bahasa merupakan mashdar dari kalimat

ribhun yang berarti ziyadah (tambahan). (Rozalinda 2016, 83) Jual beli murabahah secara terminologis adalah pembiayaan saling menguntungkan yang dilakukan oleh shahib al-mal dengan pihak yang membutuhkan melalui transaksi jual beli dengan penjelasan bahwa harga pengadaan barang dan harga jual terdapat nilai lebih yang merupakan keuntungan atau laba bagi shahib al-mal dan pengembaliannya dilakukan secara tunai atau angsur. Secara sederhana murabahah berarti jual beli barang ditambah keuntungan yang disepakati. Murabahah merupakan akad jual beli atas barang tertentu, dimana penjual menyebutkan harga pembelian barang kepada pembeli kemudian menjual kepada pihak pembeli dengan mensyaratkan keuntungan yang diharapkan sesuai jumlah tertentu(Ismail 2011, 138).

Murabahah adalah menjual barang dengan harga yang jelas, sehingga boleh dipraktikkan dalam transaksi jual beli.(Az-zuhaili,

2011: 358) Contohnya adalah jika seseorang berkata, “Aku menjual barang ini dengan harga seratus sepuluh.” Dengan begitu, keuntungan yang diambilnya jelas. ini tak jauh beda dengan

(2)

mengatakan “Berilah aku keuntungan sepuluh dirham.”

Murabahah termasuk transaksi yang diperbolehkan oleh syariat. Mayoritas ulama, dari kalangan para sahabat, tabi’in dan para imam mazhab, juga memperbolehkan jual beli jenis ini.

Sedangkan pengertian murabahah secara terminologi seperti pendapat-pendapat yang dikemukakan berikut :

1. Wahbah Zuhaily menjelaskan, jual beli murabahah adalah :

“Jual beli dengan harga pokok dengan tambahan keuntungan” (Al-Zuhaily 1994, 83)

2. Menurut Ibnu Rusyd

Murabahah adalah penjual menyebutkan harga pembelian barang kepada pembeli, kemudian dia mensyaratkan atasnya laba dalam jumlah tertentu, dalam bentuk dinar dan dirham” (Rusyd 1989, 161)

3. Yusuf al-Qardhawi

Murabahah adalah menjual sesuatu barang dengan barang harga yang serupa dengan harga yang pertama (harga asal), dengan memberitahukan keuntungan yang lazim” (Al-Qardhawi 2001, 90)

4. Muhammad Syafi’i Antonio

Mengemukakan jual beli murabahah adalah jual beli barang harga asal dengan tambahan keuntungan yang disepakati. Dalam jual beli murabahah, penjual harus

(3)

memberitahukan harga produk yang ia beli dan menentukan suatu tingkat keuntungan sebagai tambahannya. (Syafi’i antonio 1999, 159)

Dari beberapa definisi diatas tersebut tidak dapat perbedaan signifikan di dalam memahami konsep murabahah sebagai suatu sistem jual beli di dalam islam, perbedaan beberapa defenisi tersebut hanya penggunaan pada kata “harga pokok” , “modal” dan lainnya.

Dapat disimpulkan bahwa jual beli murabahah adalah jual beli barang dimana penjual memberitahukan harga pembelian (harga asal) kepada pembeli, dengan mensyaratkan tambahan keuntungan yang disepakati oleh kedua belah pihak (penjual dan pembeli).

Berikut ini adalah penjelasan lebih lanjut mengenai jual beli

murabahah.

1.Modal serta hal-hal yang termasuk dalam modal dan yang tidak. Yang dimaksudkan dengan modal disini adalah jumlah harga yang harus dibayar pembeli pertama sesuai dengan kesepakatan transaksi. Maksudnya modal merupakan sesuatu yang digunakan untuk memiliki barang dagang dan menjadi wajib dengan akad, bukan uang tunai yang diterima setelah transaksi sebagai ganti dari harga yang disepakati dalam transaksi. Karena Murabahah menjual barang sesuai dengan harga pertama, sementara harga pertama adalah jumlah harga yang harus dibayar sesuai dengan kesepakatan jual beli. Adapun uang tunai yang diterima setelah transaksi adalah konsekuensi yang harus dipenuhi dalam transaksi lain, yaitu tukar-menukar. Dengan begitu, yang harus dipenuhi oleh pembeli kedua adalah apa yang harus dibayar setelah itu sesuai dengan kesepakatan lain.

(4)

Jika seseorang membeli pakaian dengan harga sepuluh mata uang asing, kemudian dia menjualnya dengan cara

murabahah , maka dia menyebutkan keuntungan secara mutlak (tanpa menyebutkan ciri-ciri mata uang tertentu), seperti dengan mengatakan,” aku menjual barang ini seharga modal pertama ditambah keuntungan satu dirham,” pembeli harus membayarnya dengan sepuluh mata uang yang dikeluarkan pada saat transaksi pertama (yaitu mata uang asing), sementara keuntungannya berupa mata uang dalam negeri. Alasannya, karena dia telah menyebutkan keuntungan secara mutlak , sehingga yang harus diberikan adalah mata uang yang sudah dikenal, yaitu mata uang dalam negeri.

Jika keuntungan dinisbatkan pada modal, seperti dengan mengatakan, ” Aku menjual barang ini dengan mengambil keuntungan sepuluh,“ atau , “ dengan mengambil keuntungan sepersepuluh,” maka keuntungan yang dimaksud harus serupa dengan harga pertama. Hal itu karena dia ( penjual) telah menjadikan keuntungan sebagai bagian dari sepuluh, sehingga secara otomatis harus serupa denganya. Adapun hal-hal yang bisa dimasukkan ke dalam modal adalah semua biaya yang dikeluarkan untuk barang dagangan, baik secara substansi maupun nilai, dan dalam kebiasaan para pedagang dimasukkan kedalam modal. Contohnya adalah biaya untuk memutihkan dan memberi warna, biaya laundri, biaya jahit, biaya makelar, upah pengembala domba, dan makanan ternak. Hal-hal yang bisa dimasukkkan dalam modal tersebut dapat dijual dengan cara murabah . Dengan syarat, saat menjualnya penjual tidak mengatakan, “ aku membelinya dengan harga ini,” namun mengatakan, “ aku telah mengeluarkan biaya untuk ini dan itu, maka aku menjualnya kepadamu, dengan mengambil

(5)

keuntungan sebesar ini,” sehingga dia tidak berkata bohong. Adapun hal-hal yang tidak bisa dimasukkan ke dalam modal adalah upah pengembala, upah dokter, upah tukang bekam, upah khitan, upah dokter hewan, upah mengajari Al-Qur’an, sastra, syair, dan kerajinan (bagi budak pada zaman dahulu). Ia bisa dijual dengan cara murabahah , dengan harga harus dibayar dalam transaksi pertama, tanpa tambahan apa pun, karena para pedagang biasanya tidak memasukkan biaya-biaya tersebut ke dalam modal.

2. Hal-hal yang perlu dijelaskan dalam transaksi murabahah. Jual beli Murabahah adalah jual beli yang didasarkan pada rasa saling percaya, karena pembeli percaya pada pengakuan penjual mengenai harga pertama, tanpa buku apapun dan juga tanpa sumpah. Untuk itu, kedua belah pihak tidak boleh ada yang berkhianat (berdusta ). Oleh sebab itu, jika barang dagangan rusak di tangan penjual, atau di tangan pembeli itu hendak menjualnya kepada pembeli lain dengan cara

murabahah dan harga penuh, tanpa harus menjelaskan cacat yang ada. Ini adalah pendapat mayoritas ulama Hanafiyah. Alasannya, karena bagian yang rusak tidak akan mengurangi harga aslinya. Jadi dia seolah-olah telah membayar harga barang sesuai dengan kondisi yang ada sekarang. Untuk itu, tidak ada bedanya antara menjelaskan kerusakan atau tidak.

Adapun Zufar dan mayoritas ulama dari mazhab-mazhab lain berpendapat bahwa barang yang rusak tidak boleh dijual dengan cara murabahah , kecuali dengan menjelaskan kerusakan yang ada. Tujuannya adalah untuk menghindarkan terjadinya penipuan. Karena perhatian orang akan berbeda-beda dengan adanya kerusakan tersebut. Selain itu kerusakan yang terjadi juga akan mengurangi nilai (harga) barang

(6)

dagangan. Adapun jika kerusakan itu terjadi karena pembeli pertama atau orang lain, maka tidak boleh menjualnya dengan cara murabahah , kecuali dengan menjelaskan kerusakan yang ada . Ini adalah kesepakatan seluruh ulama.

Kemudian jika terjadi penambahan dalam barang dagangan, seperti anak, buah, bulu, dan susu, maka ia tidak boleh dijual dengan cara murabahah juga, kecuali dengan menjelaskan penambahan yang terjadi. Alasannya, karena tambahan yang muncul, menurut ulama Hanafiyah, adalah barang dagangan tersendiri. Untuk itu, ia tidak boleh dimasukkan kedalam harga barang. Sebaliknya, harga barang harus disebutkan tersendiri, sedangkan tambahan yang terjadi juga disebutkan tersendiri. Jika seseorang menggarap tanah, maka dia boleh menjualnya tanpa memberikan penjelasan, karena tambahan yang tidak lahir dari barang dagangan, tidak dikategorikan sebagai barang dagangan. Para ulama sudah sepakat tentang hal ini.

Jika seseorang membeli pakaian dengan harga sepuluh dirham yang ditangguhkan pembayarannya, maka ia tidak boleh menjualnya tanpa menjelaskan hal itu, karena penangguhan waktu akan menyebabkan bertambahnya harga. Karena barang yang dijual dengan cara hutang, harganya akan berbeda dengan dijual secara kontan. Jika seseorang membeli sesuatu dari orang lain dengan harga hutangnya atas orang tersebut, maka ia boleh menjualnya kembali dengan

murabahah tanpa menjelaskan hal itu, karena dia telah membeli dengan harga yang berada dalam tanggungan, sebab utang tidak harus menjadi harga barang. Jika orang yang mengutangi mengambil suatu barang dari orang yang diutangi atas nama sulh, maka ia tidak boleh menjualnya dengan cara

(7)

murabahah kecuali dengan penjelasan, karena sulh berdiri atas prinsip pemberian potongan dan kemudahan. Untuk itu, harus ada penjelasan mengenai hal tesebut agar pembeli tahu, apakah dia memaafkan atau tidak, sehingga ia terbebas dari dakwaan. Berbeda dengan pembelian dalam masalah sebelumnya, yang jual beli biasa berdiri atas prinsip menuntut pengurangan harga, sehingga tidak dibutuhkan penjelasan.

Jika seseorang membeli pakaian dengan harga sepuluh dirham, kemudian dia memberikan label harga yang lebih besar dari harga aslinya, maka jika pakaian tersebut nilainya lebih dari sepuluh dirham, ia boleh menjualnya dengan cara

murabahah, tanpa harus memberikan penjelasan apapun. Hal itu tidak dianggap sebagai penipuan, karena ia telah jujur dengan menyebutkan harga tertentu. Hanya saja, ia tidak boleh mengatakan, ”Aku telah membelinya dengan harga sebesar ini,” karena dengan mengatakan seperti itu dia berarti telah berbohong. Itu jika pembeli mengetahui bahwa harga yang disebutkan berbeda dengan label yang dipasang. Adapun jika ia mengetahui bahwa kedua harga sama, maka hal itu dianggap sebagai penipuan, dan pembeli boleh memilih antara meneruskan transaksi atau membatalkannya.

Begitu juga jika seseorang memiliki harta dari hasil warisan atau hibah, kemudian dengan seseorang yang bisa dipercaya memberikan patokan haga pada harta tertentu, maka pemilik barang boleh menjualnya dengan cara murabahah

sesuai dengan harga yang dipatokkan orang tersebut, karena ia telah jujur dalam ucapannya.

3. Hukum penipuan dalam transaksi murabahah

Jika terjadi penipuan dalam transaksi murabahah , baik dengan pengakuan penjual, atau dengan adanya bukti-bukti,

(8)

maupun ketidaksediaan penjual untuk bersumpah, maka penipuan tersebut bisa dilakukan pada jenis harga atau pada jumlahnya. Jika penipuan tersebut dilakukan pada jenis harga, seperti jika seseorang membeli barang dengan suatu tangguhan pembayaran, kemudian ia menjualnya dengan cara murabahah

sebesar harga pembelian dan tanpa menjelaskan bahwa ia telah membeli barang tesebut dengan penangguhan, maka berdasarkan kesepakatan para ulama Hanafiyah pembeli boleh memilih antara mengambil barang dagangan atau mengembalikannya. Hal itu karena murabahah adalah transaksi yang berpijak pada kejujuran penjual pada harga pertama, sehingga pada jual beli yang kedua secara eksplisit juga disyaratkan terbebas dari penipuan. jika syarat ini tidak terpenuhi, maka pembeli berhak memilih antara melanjutkan transaksi atau membatalkannya, seperti ditemukan cacat pada barang dagangan. Jika penjual tidak mengatakan bahwa barang dagangan yang dibeli adalah ganti dari transaksi sulh, maka pembeli kedua memiliki khiyar.

Jika penipuan dalam murabahah terjadi pada jumlah harga, seperti jika penjual mengatakan, “ Aku membeli barang ini dengan harga sepuluh, dan aku ingin menjualkannya kepadamu dengan harga sebesar ini.”atau dia mengatakan “ Aku mengembil barang ini dengan harga sepuluh, dan aku ingin menjual kepadamu dengan harga sekian,” kemudian diketahui bahwa ia membeli barang tersebut dengan harga sembilan, maka para ulama Hanafiyah berbeda pendapat mengenai hal ini yaitu :

Abu Hanifah mengatakan dan ini adalah mazhab yang paling kuat dalam mazhab Hanafi bahwa pembeli memiliki hak

(9)

mengambil barang dagangan dengan harga yang telah disebutkan penjual. Namun jika dia keberatan, dia bisa membatalkan transaksi murabahah. Adapun dalam transaksi

Tawliyah, maka pembeli tidak memiliki hak khiyar, namun harganya harus dikurangi sesuai besarnya penipuan, dan ia harus membayar barang dagangan sesuai dengan harga asli. Perbedaan antara murabahah dan tawliyaah adalah bahwa penipuan dalam tansaksi murabahah tidak akan merubah karakter transaksi murabahah, karena murabahah adalah menjual dengan harga pertama dengan ditambah dengan keuntungan tertentu. Makna itu tetap ada dalam masalah ini, meski ada unsur penipuan didalamnya, karena sebagian harga yang ditentukan dianggap sebagian dari modal dan sebagian yang lain adalah keuntungannya. Hanya saja ada kemungkinan pembeli tidak setuju dengen keuntungan yang diambil, sehingga dia memiliki hak khiyaar, seperti dalam kasus penipuan dalam jenis harga.

Sementara Abu Yusuf mengatakan bahwa pembeli tidak memiliki hak Khiyaar, namun dalam murabahah dilakukan pengurangan harga sesuai dengan besarnya penipuan. Besarnnya penipuan dalam contoh diatas adalah satu dirham dalam tawliyaah, dan satu dirham dalam murabahah. Dan besarnya keuntungan adalah sepersepuluh dirham. Hal itu karena harga pertama merupakan patokan dalam jual beli

Murabahah dan Tawliyaah, sehingga terbukti terjadi penipuan maka penyebutan jumlah yang dimanipulasi tidak sah, sehingga penyebutan tersebut dianulir, dan transaksi disempurnakan dengan harga tersisa (harga asli).

Sementara itu Muhammad berpendapat bahwa pembeli memiliki hak khiyaar dalam murabahah. Dia bisa memilih

(10)

antara mengmbil barang dagangan dengan harga penuh, atau mengembalikannya kepada penjual. Alasannya adalah karena pembeli tidak mau menyempurnakan transaksi kecuali dengan harga yang telah ditentukan. Oleh karena itu, dia tidak harus menyempurnakan transaksi kecuali dengan harga yang telah disepakati. Dalam kasus ini dia memiliki hak khiyaar karena adanya unsur penipuan, sebagaimana hak khiyaar ini diberikan jika barang dagangan terdapat cacat di dalamnya. Perlu diketahui bahwa yang difatwakan didalam mazhab Hanafi, demi memberikan kemudahan bagi masyarakat, adalah kebolehan mengembalikan barang dagangan atau harga kepada pemiliknya dengan adanya penipuan besar. Hal itu jika dalam transaksi tersebut ada unsur penyesatan dari salah satu pihak atau dari pihak lainnya, seperti makelar dan sebagainya.

Yang dimaksud dengan penipuan besar (ghabn al-faakhisy) adalah jika kadar penipuan di luar taksiran ahli dalam menaksir harga barang. Contohnya penambahan harga tiga dari harga asli sepuluh. Adapun penambahan yang kurang dari itu maka dianggap sebagai penipuan ringan dan barang dagangan tidak dapat dikembalikan, sebagaimana barang dagangan tidak boleh dikembalikan jika tidak ada unsur penyesatan. (Az-zuhaili 2011, 409-589)

2.1.2. Dasarhukum murabahah

Adapun yang menjadi dalil kehalalan praktek murabahah

terdapat dalam firman Allah SWT dalam surat al-Baqarah (2) ayat: 275





















(11)

Artinya

“Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba” (QS. Al Baqarah (2): 275) (Departemen Agama RI 2012, 47)



















Artinya

“Kecuali dengan jalan perniagaan yang Berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu.”(Qs. An-Nisa’ (4): 29). (Departemen Agama RI 2012, 83)

Terdapat beberapa ketentuan umum murabahah yang telah disepakati oleh Fatwa Dewan Nasional Majelis Ulama Indonesia dalam Fatwa DSN Nomor 04/DSN-MUI/IV/2000 yang menetapkan sebagai berikut :

1. Bank dan nasabah harus melakukan akad murabahah yang bebas riba.

2. Barang yang diperjual belikan tidak haram oleh syariat Islam. 3. Bank membiayai sebagian atau seluruh harga pembelian

barang yang disepakati kualifikasinya.

4. Bank membeli membeli barang yang diperlukan nasabah atas nama bank sendiri, dan pembelian ini harus sesuai dengan bebas riba.

5. Bank harus menyampaikan semua hal yang berkaitan dengan pembelian, misalnya; pembelian dilakukan secara utang.

6. Bank kemudian menjual barang tersebut kepada nasabah (pemesan) dengan harga jual senilai dengan harga beli plus keuntungannya. Dalam kaitan ini, bank harus memberi tahu secara jujur harga pokok barang kepada nasabah berikut biaya yang diperlukan.

(12)

7. Nasabah membayar harga yang telah disepakati tersebut terdapat pada jangka waktu tertentu yang telah disepakati. 8. Untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan atau kerusakan

akad tersebut, pihak bank dapat mengadakan perjanjian khusus dengan nasabah.

9. Jika bank hendak mewakilkan kepada nasabah untuk membeli barang dari pihak ketiga, akad jual beli murbahah harus dilakukan setelah barang secara prinsip menjadi milik bank. .(Ifham Sholihin 2010, 141-142)

2.1.3. Rukun dan syarat murabahah

Mengenai rukun dan syarat murabahah pada dasarnya sama dengan jual beli biasa, seperti para pihak yang melakukan akad cakap bertindak hukum, barang yang diperjual belikan merupakan barang yang halal, ada secara hakiki, dan dapat diserah terimakan. (Rozalinda 2016, 84)

Para ulama berbeda pendapat mengenai rukun jual beli menurut mazhab hanafi rukun jual beli hanya satu yaitu

ijab(ucapan tanda penyerah dari pihak yang menyerahkan dalam suatu perjanjian).(Depdikbud KBBI 1990, 320) dan qabul (ucapan tanda setuju dari pihak yang menerima dalam suatu perjanjian). (Depdikbud KBBI 1990, 372)

Sedangkan menurut jumhur ulama rukun jual beli yaitu: aqid (penjual dan pembeli), ma’qud alaih (harga dan barang), shiqhat (ijab qabul).

Syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam transaksi

murabahah adalah sebagai berikut:

(13)

Agar transaksi murabahah sah, pembeli kedua hendaknya mengetahui harga pertama, karena mengetahui harga adalah syarat sah jual beli. Untuk itu, jika harga pertama tidak diketahui, maka transaksi murabahahnya tidak sah sampai harga pertamanya diketahui di tempat transaksi. Jika harga pertama tidak diketahui sampai kedua belah pihak berpisah, maka transaksi tersebut dinyatakan tidak sah.

b. Mengetahui jumlah keuntungan yang diminta penjual.

Keuntungan yang diminta penjual hendaknya jelas,karena keuntungan adalah bagian dari harga barang. Sementara mengetahui harga barang adalah syarat sah jual beli.

c. Modal yang dikeluarkan hendaknya berupa barang mitsliyat

(barang yang memiliki varian serupa).

Contohnya adalah barang-barang yang bisa ditakar, ditimbang, dan dijual satuan dengan varian berdekatan. Ini adalah syarat untuk murabahah, terlepas dari penjualan tersebut dilakukan dengan penjual pertama atau dengan orang lain, juga terlepas dari apakah keuntungan yang diminta serupa dengan modal pertama atau setelah harga itu ditentukan kadarnya. Jika harga itu berupa sesuatu yang tidak memiliki varian sejenis, seperti barang dagangan, maka ia tidak boleh dijual dengan cara murabahah kepada seseorang yang tidak memiliki barang dagangan itu. Karena murabahah adalah menjual sesuai dengan harga pertama (harga pembelian) dengan ditambah keuntungan.

Oleh karena itu, jika harga pertama bukan berupa barang

mitsliyat, seperti barang satuan dengan varian berjauhan (rumah, pakaian, delima, semangka dan sebagainya), maka ada kemungkinan barang tersebut dijual kepada orang yang

(14)

menguasai dan memiliki barang-barang itu, atau dijual kepada orang yang tidak menguasai dan memilikinya.

Jika barang tersebut dijual dari orang yang tidak menguasai dan memilikinya, maka hukumnya tidak boleh, karena barang tersebut tidak mungkin dijual dengan cara murabahah dengan barang itu sendiri, karena barang itu tidak ada dalam kekuasaannya dan bukan miliknya. Juga tidak bisa dijual kepadanya sesuai dengan nilainya (harganya), karena harga barang tersebut tidak jelas dan hanya bisa diketahui dengan taksiran dan dugaan, sementara taksiran ahli berbeda-beda.

Adapun jika barang dagangan tersebut dijual dengan cara

murabahah dari orang yang memilikinya dan menguasainya, maka harus dilihat terlebih dahulu hal berikut:

1) Jika dia menjadikan keuntungan itu sesuatu yang berbeda dari harga awal dan bersifat jelas, serta dirham atau pakaian tertentu,misalnya, maka hukumnya boleh. Hal itu karena harga yang pertama diketahui dengan jelas dan keuntungan yang diambil juga jelas. Contohnya jika seseorang mengatakan “ Aku menjual barang ini kepadamu dengan cara murabahah

dengan harga berupa pakaian yag ada di tanganmu ditambah sepuluh dirham.”

2) Jika dia menjadikan keuntungan sebagian dari modal, seperti dengan mengatakan “ setiap sepuluh maka keuntungannya satu, atau dengan kata lain mengambil keuntungan sebesar sepersepuluh dari modal pertama maka hukumnya tidak boleh.

Adapun jika potongan harga sejenis dengan modal, seperti menjualnya dengan memberikan potongan sepersepuluh atau dengnan kata lain setiap sepuluh akan dikurangi satu, maka

(15)

hukumnya adalah boleh, karena bagian yang dipotong adalah bagian dari jumlah modal yang sudah diketahui :

a. Jual beli murabahah pada barang-barang ribawi hendaknya tidak menyebabkan terjadinya riba nasiah terhadap harga pertama.

Contohnya adalah membeli barang yang ditakar atau ditimbang dengan barang yang sejenis, dengan jumlah yang sama. Dalam kasus ini, pembeli tidak boleh menjualnya lagi dengan cara murabahah, karena murabahah adalah menjual sesuai dengan harga pertama dan ditambah keuntungan tertentu. Sementara memberikan tambahan pada harta riba adalah riba, bukan keuntugan.

Adapun jika jenis barangnya berbeda, maka ia boleh dijual dengan cara murabahah. Contohnya adalah adalah membeli satu dinar dengan harga sepuluh dirham, kemudian menjualnya dengan mengambil keuntungan satu dirham atau pakaian.

Menurut syafii antonio yang dimaksud dengan harta riba adalah meliputi ; emas dan perak baik itu dalam bentuk uang maupun dalam bentuk lainnya yang dimaksud disini adalah

murabahah antara emas dengan emas, perak dengan perak. b. Transaksi pertama hendaknya sah.

Jika transaksi yang pertama tidak sah, maka barang yang bersangkutan tidak boleh dijual dengan cara murabahah, karena murabahah adalah menjual sesuai dengan harga pertama (modal) dengan menambahkan keuntungan. Sementara dalam transaksi yang tidak sah, kepemilikan barang hanya bisa ditetapkan dengan nilai barang dagangan atau barang sejenisnya, dan bukan dengan harga, karena

(16)

penentuan harga terbukti tidak sah dengan tidak sahnya transaksi. (Wahbah Az-zuhaili 2011, 710-713)

2.1.4. Hikmah murabahah

Allah SWT mensyariatkan jual beli untuk memberikan kelapangan kepada hamba-hambaNya. Sebab setiap orang dari suatu bangsa memiliki banyak kebutuhan berupa makanan, pakaian, dan lainnya yang tidak dapat diabaikan selama dia masih hidup. Dia tidak dapat memenuhi sendiri semua kebutuhan itu, sehingga dia perlu mengambilnya dari orang lain. Tidak ada cara yang lebih sempurna untuk mendapatkannya selain pertukaran. Dia memberikan apa yang dimilkinya, dan tidak dibutuhkannya sebagai ganti atas apa yang diambilnya dari orang lain yang dibutuhkannya. (Sabiq 2009, 159)

Murabahah banyak memberi manfaat baik kepada penjual maupun pembeli dalam perbankkan dan nasabah salah satunya berguna bagi orang yang membeli keperluan ataupun untuk pengembangan usahanya tetapi mengalami kesulitan dalam permodalan yang nantinya bisa berhubungan dengan pihak perbankkan melalui cara murabahah.

Murabahah ini disamping memberi manfaat kepada nasabah juga bermanfaat bagi pihak bank salah satunya adalah keuntungan yang muncul dari selisih harga beli dari penjual dengan harga jual dari nasabah. Kemudian juga memudahkan dalam penanganan administrasinya di bank syariah. (Antonio 2001, 107)

2.1.5. Aplikasi murabahah

Dalam perbankan syariah akad murabahah diterapkan pada pembiayaan murabahah, yakni pembiayaan dalam bentuk jual beli

(17)

barang dengan modal pokok ditambah keuntungan (margin) yang disepakati antara nasabah dan bank. Pada pembiayaan

murabahah ini nasabah dan bank syariah melakukan kesepakatan untuk melakukan transaksi pembiayaan berdasarkan prinsip jual beli, dimana bank bersedia membiayai pengadaan barang yang dibutuhkan nasabah dengan membeli kepada suplier dan menjual kembali kepada nasabah ditambah dengan margin keuntungan yang telah disepakati, kemudian nasabah membayar sesuai dengan jangka waktu yang disepakati. (Rozalinda,2005: 87)

Aplikasi murabahah tidak hanya diterapkan pada lembaga perbankan syari’ah, tetapi juga diterapkan pada lembaga koperasi yaitu lembaga BaitulMalwaTamwil. Kegiatan jasa keuangan yang dikembangkan oleh BMT berupa penghimpunan dana dan meyalurkannya melalui kegiatan pembiayaan dari dan untuk anggota dan non anggota. Namun demikian, karena merupakan lembaga keuangan islam, BMT dapat disamakan dengan sistem perbankkan/ lembaga keuangan yang mendasarkan kegiatannya dengan syariat islam. (HertantoWidodo 2010, 82)

Pembiayaan murabahah pada BMT terbagi atas dua macam: 1. Pembiayaan kepemilikan barang jatuh tempo (murabahah

jatuh tempo), yaitu pembiayaan dengan sistem jual beli, BMT dapat membantu anggotanya dengan membiayai membelikan barang yang dibutuhkan dengan jangka waktu pembiayaan tidak lebih dari satu tahun. BMT mendapat keuntungan dari harga barang yang dinaikkan atau harga jual baru ditambah margin (keuntungan).

2. Pembiayaan kepemilikan barang angsuran (murabahah angsuran) yaitu pembiayaan ke anggota untuk pembelian barang dengan mengangsur kepada BMT. jangka waktu pembiayaan dapat lebih satu tahun. BMT mendapat

(18)

keuntungan dari harga barang yang dinaikkan atau harga jual baru ditambah margin keuntungan. (Pinbuk, 2011)

2.2. Wakaalah

2.2.1. Pengertian Wakalah

Secara bahasa arti wakalah atau wikalah (dengan waw

difathah dan di kasrah) adalah melindungi. Hal ini sebagaimana firman Allah dalam surah Ali- Imran (3) :173















Artinya :

“Dan mereka memjawab, ‘Cukuplah Allah (menjadi penolong) bagi kami dan Dia sebaik-baik pelindung”. (Qs. Al-Imran (3) : 173) (Departemen Agama RI 2012, 72)

Wakalah juga berarti al-haafizh (Pelindung atau Penjaga). Hal ini sebagaimana Firman Allah dalam surah Al-Muzzamil (73) : 9





















 Artinya :

“Tidak ada tuhan selain Dia, maka jadikan-lah Dia sebagai pelindung”.(Departemen Agama RI 2012, 574)

Al-farra’ berkata, “Maksud dari wakiila dalam ayat ini adalah yang melindungi.” Wakaalah juga artinya penyerahan. Misalnya,

wakaala amruhu ila fulaaan ( dia menyerahkan urusannya kepada si fulan ). Misalnya juga ucapan, Tawakkaltu’alallah (saya berserah diri kepada Allah)”.(Wahbah Az-zuhaili 2011, 590) Dalam wakaalah sebenarnya pemilik urusan (muwakkil) itu dapat secara sah mengerjakan pekerjaannya secara sendiri. Namun, karena satu dan lain hal urusan itu ia serahkan kepada orang lain yang dipandang mampu untuk menggantikannya. Oleh karena itu

(19)

jika seorang muwakkil itu ialah orang yang tidak ahli untuk mengerjakan urusannya itu seperti orang gila atau anak kecil maka tidak sah mewakilkan kepada orang lain. Contoh wakaalah,

seseorang mewakilkan kepada orang lain untuk bertindak sebagai wali nikah dalam pernikahan anak perempuannya. Contoh lain seorang terdakwa mewakilkan urusan kepada pengacaranya.

Adapun secara terminologis yaitu Mewakilkan yang dilakukan orang yang punya hak tasharruf kepada orang yang juga memiliki

tasharruf tentang sesuatu yang boleh diwakilkan.(Mardani 2012, , 300)

Wakaalah dalam arti istilah didefinisikan oleh para ulama sebagai berikut:

a. Menurut Malikiyah

Wakaalah adalah penggantian oleh seseorang terdapat orang lain didalam haknya dimana ia melakukan tindakan hukum seperti tindakannya, tanpa mengaitkan penggantian tersebut dengan apa yang terjadi setelah kematian. (Wardi Muslich 2013, 417)

b. Menurut Hanafiyah

Wakaalah adalah penempatan seseorang terhadap orang lain ditempat dirinya dalam tasarruf yang dibolehkan dan tertentu, dengan ketentuan bahwa orang yang mewakilkan termasuk otang yang memiliki hak tasarruf. (Wardi Muslich 2013, 418)

(20)

c. Menurut Syafi’i

Wakaalah adalah penyerahan kewenangan terhadap sesuatu yang boleh dilakukan sendiri dan bisa diwakilkan kepada orang lain, untuk dilakukan oleh wakil tersebut selama pemilik kewenangan masih hidup. Pembatasan dengan ketika masih hidup ini adalah untuk membedakannya dengan wasiat.(Wahbah Az-zuhaili, 2011: 590)

d. Menurut Hanabilah

Wakaalah adalah penggantian oleh seseorang yang dibolehkan melakukan tasarruf kepada orang lain yang sama-sama dibolehkan melakukan tasarruf dalam perbuatan-perbuatan yang bisa digantikan baik berupa hak Allah maupun hak manusia. (Wardi Muslich 2013, 419)

2.2.2. Dasar hukum waakalah

Wakaalah diperbolehkan berdasarkan Al-Qur’an, sunnah dan ijma’. Dalil dari Al-Qur’an adalah firman Allah ta’ala ketika menceritakan tentang Ashhabul Kahfi(18): ayat 19













Artinya :

“Maka suruhlah salah seorang dari kamu pergi ke kota dengan membawa uang perakmu ini, dan hendaklah dia lihat manakah makanan yang lebih baik, dan bawalah sebagian makanan untuk mu.”(Departemen Agama RI 2012, 295)

(21)

Dari ayat tersebut dapat dipahami bahwa untuk membuktikan mereka (ashhabul kahfi) telah tertidur bertahun-tahun, mereka mengutus satu orang (sebagai wakil) untuk pergi ke kota dan membeli makanan dengan uang yang mereka miliki. Ini adalah wakaalah dalam membeli. Allah berfirman dalam surah An-Nisaa’ (4): 35











Artinya :

“Maka kirimlah seorang juru damai (hakam) dari keluarga laki-laki dan seorang juru damai dari keluarga perempuan.”(Departemen Agama RI 2012, 84)

Rasulullah Saw. bersabda :

Artinya:

“Dari Urwah bin Abi Al-ja’ad Al-Bariqi “Bahwa Nabi Saw. memberinya uang satu dinar untuk membeli seekor kambing untuk Nabi. Urwah lalu membeli dua ekor kambing untuk Nabi dengan uang satu Dinar tersebut. Ia menjual salah satunya dengan harga satu dinar, lalu ia datang kepada Nabi dengan membawa satu dinar dan satu ekor kambing. Nabi lalu mendoakannya supaya diberi keberkahan dalam jual belinya . Andaikata dia membeli debu (tanah) sekali pun, ia pasti akan beruntung.”” (HR. Ahmad, Al-Bukhari dan Abu Daud) (Hamidy, Imron, Fanany 1994, 1844)

(22)

Dalam Hadist tersebut dijelaskan bahwa Nabi Saw. memberi kuasa kepada dua orang sahabat untuk melakukan transaksi. Dalam hadist tersebut Nabi Saw. memberi kuasa pada Urwah Al-Bariqi untuk membeli seekor kambing. Dengan demikian,

Wakaalah atau pemberian kuasa pernah dilaksanakan oleh Nabi Saw. dan ini menunjukkan bahwa wakaalah hukumnya boleh. (Muslich 2013,421)

Hukum asal wakaalah adalah dibolehkan. Namun terkadang ia disunnahkan jika ia merupakan bantuan untuk sesuatu yang disunnahkan, terkadang juga ia menjadi makruh jika ia merupakan bantuan terhadap sesuatu yang dimakruhkan. Dan hukumnya adalah wajib jika ia untuk menghindarkan kerugian dari muwakkil.

Adapun dalil dari ijma, maka para imam telah sepakat tentang kebolehan wakaalah, disamping adanya kebutuhan orang-orang terhadapnya, maka seseorang terkadang tidak mampu melaksanakan semua keperluannya. Oleh karena itu, wakaalah ini diperbolehkan karena merupakan salah satu bentuk tolong-menolong dalam kebaikan dan ketakwaan.

2.2.3. Rukun dan syarat

Menurut Hanafiah rukun wakaalah hanya satu yaitu, sighat

atau ijab dan kabul. Untuk terwujudnya wakaalah tidak disyaratkan sighat yang mencangkup qabul dari wakil. Akan tetapi jika wakil menolak maka wakaalah tidak jadi dilakukan . Sebagai contoh, jika seseorang mengatakan “ Juallah barang saya ini “ lalu wakil diam ,tetapi ia menjual barang tersebut maka jual belinya hukumnya sah. Akan tetapi, jika wakil mengatakan “ Aku tidak mau,” lalu ia menjual barang tersebut, maka jual belinya tidak sah,

(23)

karena ia dengan tegas menyatakan penolakannya.(Wardi Muslich, 2013,422)

Dalam ijab kabul, tidak disyaratkan kalimat tertentu, tetapi sah dilakukan dengan setiap ucapan dan perbuatan yang menunjukkan perwakilan. Antara orang yang mewakilkan dan pembatalan akad kapan saja karena perwakilan termasuk akad yang tidak mengikat. (Sayyid Sabiq,2009, 298)

Menurut jumhur ulama, wakaalah mempunyai empat rukun, yaitu sighah (ucapan atau perbuatan yang menunjukkan ijab dan

qabul), orang yang mewakilkan (muwakkil), orang yang mewakili (wakiil), sesuatu yang diwakilkan (al-muwakkalfiih). (Ahmad Wardi Muslich, 2013, 422)

Adapun rukun dan syarat wakaalah antara lain;

1. Orang yang mewakilkan, syarat-syarat bagi orang yang mewakilkan ialah ia pemilik barang atau di bawah kekuasaannya dan dapat bertindak pada harta tersebut. jika yang mewakilkan bukan pemilik atau pengampun, al-wakalah tersebut batal. Anak kecil yang dapat membedakan baik dan buruk dapat (boleh mewakilkan tindakan-tindakan yang bermanfaat mahdhah), seperti perwakilan untuk menerima hibah, sedekah, dan wasiat. Jika tindakan itu termasuk tindakan dharar mahdhah

(berbahaya), seperti thalaq, memberikan sedekah, menghibahkan, dan mengwasiatkan, maka tindakan tersebut batal.

2. Wakil (yang mewakili), syarat-syarat bagi yang mewakili ialah bahwa yang mewakili adalah orang yang berakal. Bila seorang wakil itu idiot, gila, atau belum dewasa, maka perwakilan batal. Menurut Hanafiyah anak kecil yang sudah dapat membedakan yang baik dan buruk sah untuk

(24)

menjadi wakil, alasannya adalah bahwa Amar bin Sayyidah Ummuh Salah mengawinkan ibunya kepada Rasulullah SAW, saat itu Amar merupakan anak kecil yang masih belum baligh.

3. Muwakkal fih (sesuatu yang diwakilkan), syarat-syarat sesuatu yang diwakilkan adalah :

3.1. Menerima penggantian, maksudnya boleh diwakilkan kepada orang lain untuk mewakilkannya, maka tidaklah sah mewakilkan untuk mengerjakan shalat, puasa, dan membaca ayat al-qur’an, karena hal itu tidak bisa diwakilkan.

3.2. Dimiliki oleh yang berwakil ketika ia berwakil itu, maka batal mewakilkan sesuatu yang akan dibeli. 3.3. Diketahui dengan jelas, maka batal mewakilkan

sesuatu yang masih samar, seperti seseorang berkata “aku jadikan engkau sebagai wakilku untuk mengawinkan salah seorang anakku”.

4. Shighat, yaitu lafaz mewakilkan, shighat diucapkan dari yang berwakil sebagai simbol keridhaannya untuk mewakilkan, dan wakil menerimanya. (Suhendi 2014, 234-235)

2.2.4. Hikmah Wakalah

Hikmah disyariatkannya wakaalah sudah jelas yaitu menjaga maslahat, memenuhi kebutuhan, menghilangkan kesulitan dari orang-orang. Hal ini merupakan kemampuan, kompetensi, dan pengalaman terkadang dimiliki oleh sebagian orang saja, sedangkan orang lain tidak memilikinya. Akibatnya, tidak jarang seseorang berada dipihak yang benarnamun tidak mampu untuk menyampaikan argumen dan penjelasan, sedangkan lawannya

(25)

dalam posisi salah dalam keadaan mampu dan lebih mengetahui berbagai argumen. Namun orang pertama tadi perlu untuk mewakilkan perkaranya pada orang lain, demi membela dirinya dan menjelaskan kebenarannya.

Pada hakikatnya wakaalah merupakan pemberian dan pemeliharaan amanat. Oleh karena itu, baik muwakkil (orang yang mewakilkan) dan wakil (orang yang mewakili) yang telah melakukan kerjasama/kontrak wajib bagi keduanya untuk menjalankan hak dan kewajibannya, saling percaya, dan menghilangkan sifat curiga dan berburuk sangka. (Abdul Rahman Ghazaly dkk 2012, 191)

Dari sisi lain, dalam wakalah terdapat pembagian tugas, karena tidak semua orang memiliki kesempatan untuk menjalankan pekerjaannya dengan ditrinya sendiri. Dengan mewakilkan kepada orang lain, maka muncullah sikap saling tolong menolong dan memberikan pekerjaan bagi orang yang sedang menganggur. Dengan demikian, si muwakkil akan terbantu dalam menjalankan pekerjaanya dan si wakil tidak kehilangan pekerjaannya disamping akan mendapat imbalan sewajarnya.

Referensi

Dokumen terkait

Kreativitas Guru PAUD dalam Mengembangkan Literasi Dwibahasa melalui Media Sosial Blog di Kecamatan Limo dan Cinere. Anastasia

Fasilitas penunjang dan segi teknik yang sangat berpengaruh dalam kegiatan bongkar muat adalah alat pemindah peti kemas dan juga pengangkut peti kemas lainya. Alat pengangkut

Dede Lestari : Pengaruh Motivasi Dan Lingkungan Kerja Terhadap Kepuasan Karyawan Di P.T Kereta Api Indonesia (Persero) DAOP III Cirebon Untuk mencapai tujuan perusahaan

Dengan penggunaan Sistem Informasi Manajemen Data pada PO.Agsa Berbasis Web, diharapkan bisa mengurai sedikit masalah yang ada di perusahaan, ,pendataan keselurahan alur

Surat Ketetapan Pajak Daerah Lebih Bayar yang selanjutnya disingkat SKPDLB, adalah surat ketetapan yang menentukan jumlah kelebihan pembayaran pajak karena jumlah kredit

Terhadap dimensi non material ini, Al- Rasyidin mengutip pendapat Al- Attas, yang menyatakan bahwa dimensi non material ( al-r-h) manusia adalah tempat bagi

Anak luar kawin yang dapat diakui adalah anak luar kawin dalam arti sempit, yaitu anak yang terlahir dari ibu dan bapak yang tidak terikat perkawinan yang sah baik