• Tidak ada hasil yang ditemukan

KONSEP PERJODOHAN PADA ABAD 20 TERKAIT

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "KONSEP PERJODOHAN PADA ABAD 20 TERKAIT "

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

KONSEP PERJODOHAN PADA ABAD 20 TERKAIT NOVEL MIDAH

SEBUAH PENDEKATAN SEJARAH PADA KARYA SASTRA

Stefani Ratu Lestariningtyas Sastra Kontemporer Fakultas Ilmu Budaya Universitas Padjadjaran

Abstrak

Penelitian ini membahas keadaan masyarakat pada abad 20 mengenai perjodohan anak dan pernikahan dini. Penelitian ini didasari oleh novel Midah karya Pramoedya Ananta Toer. Novel Midah mengangkat isu perjodohan anak dan pernikahan paksa, yang menjadikan anak sebagai alat tukar dalam sebuah perjodohan. Penelitian ini bersifat deskriptif kualitatif, karena penelitian ini membandingkan karya sastra dengan kajian jurnal-jurnal yang membahas perjodohan anak dan pernikahan dini di Indonesia pada abad 20. Penelitian ini menggunakan teori sastra Marxis untuk mengkaji perjodohan sebagai sistem tawar menawar di antara keluarga. Hasil dari penelitian ini memaparkan alasan perjodohan anak lumrah terjadi di abad 20 karena anak di bawah umur masih menurut kepada orang tua. Para orang tua di pertengahan abad 20 memilih untuk mengabaikan peraturan pemerintah mengenai pernikahan.

Kata Kunci: Midah, perjodohan anak, marxis

I. PENDAHULUAN

1. 1. Latar Belakang

(2)

utama setiap keluarga ialah fungsi pengantara pada masyarakat besar. (Goode, 1991:3) Dari keluarga, anggota masyarakat belajar untuk menjadi ‘anggota masyarakat’ sebelum terjun ke masyarakat sesungguhnya.

Dalam keluarga kecil, sistem keanggotaannya selalu meliputi orang tua dan anak. Orang-orang di luar sistem ini dapat dikatakan bukan anggota keluarga kecil, namun masih bisa disebut anggota keluarga besar. Orang tua yang menduduki strata paling atas dalam keluarga, dapat dikatakan, memiliki kekuatan absolut dan infinit untuk menciptakan peraturan. Rumah, dalam bentuk bangunan, adalah teritori kekuasaan orang tua yang tidak tertandingi. Anak sebagai bagian dari fondasi masyarakat itu diharapkan untuk bersedia melakukan perintah apapun dari orang tua. Strata tersebut tidak terlepas oleh peran keluarga yang menjadi penyumbang dalam masyarakat. Goode memaparkan fungsi-fungsi keluarga dalam masyarakat sebagai berikut: kelahiran, pemeliharaan fisik anggota keluarga, penempatan anak dalam masyarakat, pemasyarakatan, dan control sosial. (Goode, 1991:9)

Konsep kekeluargaan pun dipaparkan oleh Pramoedya Ananta Toer dalam karya-karyanya. Pramoedya kerap menggunakan latar keluarga sebagai cermin pola pendidikan keluarga-keluarga di Indonesia. Contohnya Minke, dalam Bumi Manusia, yang lahir dari keluarga terpelajar, namun memiliki sikap lebih terpelajar dalam hal morel dibandingkan keluarganya. Minke memiliki pandangan begitu luas karena didasari kekecewaan karena adat keluarganya yang terlalu mengikuti adat Jawa yang, dianggap Minke, begitu kaku.

Dalam penelitian ini, peneliti hendak mengkaji konsep perjodohan, perceraian, dan keluarga dari novel Midah. Midah adalah salah satu novel pendek karya Pramoedya Ananta Toer yang diterbitkan pertama kali pada tahun 1955 dan mulai dicetak ulang oleh Lentera Dirpantara sejak tahun 2001. Midah mengisahkan seorang gadis berparas manis yang dijodohkan oleh ayahnya di usianya yang masih sangat belia.

(3)

Penelitian ini meneliti permasalah keluarga dari novel Midah. Permasalahan keluarga yang dikaji merujuk pada Midah sebagai anak yang dijadikan komoditi dalam hal perjodohan. Penelitian ini diharapkan dapat melihat alasan mengapa perjodohan dan pernikahan dini terkesan sangat lumrah pada pertengahan abad 20. Pemberontakan Midah dalam menolak dirinya sebagai komoditi juga dikaji dalam aspek perceraian. Keseluruhan penelitian ini ditujukan untuk menelaah peran keluarga Indonesia terhadap pernikahan anak perempuan di abad 20.

1. 2. Masalah Penelitian

Masalah yang ingin dikaji adalah konsep keluarga dan perjodohan anak di Indonesia pada Indonesia. Dalam novel Midah, Midah terlahir dari keluarga sejahtera dan taat beragama. Sayangnya, Midah tidak mendapat kasih sayang dari orang tuanya. Tidak hanya itu, Midah dijodohkan dengan seorang haji kaya yang ternyata telah memiliki banyak istri. Midah, dalam novel Midah, diteliti sebagai anak dalam stratifikasi keluarga, juga sebagai komoditi dalam urusan perjodohan. Karenanya, penelitian ini menilik isu strata keluarga serta perjodohan anak. Penelitian ini merujuk pada konsep keluarga dan perjodohan anak pada abad 20 di Indonesia. Alasan penelitian ini dibatasi pada konsep tersebut karena keterbatasan informasi mengenai perjodohan anak pada era 1950-an saja. Paska kemerdekaan Indonesia di tahun 1945 dan terbebasnya Indonesia dari Belanda di tahun 1949, rupanya belum ada data statistik yang memadai untuk pernikahan di Indonesia dalam rentang umur berapapun. Karena kejadian tersebut, wajar saja perjodohan dan pernikahan anak tak elak terjadi pada latar waktu Midah.

1. 3. Tujuan Penelitian

(4)

dari penelitian ini adalah menelaah fenomena perjodohan yang terjadi pada abad 20, sebagaimana latar waktu yang disediakan Pramoedya Ananta Toer dalam novel Midah.

1. 4. Metode Penelitian

1. 4. 1. Pendekatan

1. 4. 1. 1 Pendekatan Kritik Sastra Marxis

Pendekatan Marxis adalah pendekatan sastra yang terinspirasi oleh pemikiran dari sang filosofis dan ekonomis Jerman, Karl Marx. Meski demikian, pendekatan Marxis dalam hal sastra tidak dikembangkan oleh Karl Marx sendiri, melainkan oleh para pengembang teori Marx. Karl Marx lebih mengedepankan teori Marxis dalam hal kelas sosial dan alat produksi.

Georg Lukacs (1885-1971) adalah salah satu pengembang teori sastra Marxis. Georg Lukacs mengembangkan kritik sastra berdasarkan teori Marx. Lukacs menamakan teori kritik sastra ini reflectionism, yang dimaksudkan bahwa karya sastra adalah cerminan (reflection) dari masyarakat dimana karya sastra itu lahir. (Booker, 1996:75) Berangkat dari konsep kritik sastra ini, dapat disimpulkan bahwa karya sastra dapat dijadikan acuan sebagai penelaah sejarah dalam suatu masyarakat. Hal tersebut, wajar saja, karena seorang penulis berasal dan terbentuk dari sebuah masyarakat. Penulis telah merasakan didikan dari suatu masyarakat, sehingga pribadi dan sikap seorang penulis dapat dituangkan melalui karya sastra. Tentunya konsep pendekatan ini bertolak belakang dengan konsep kritik sastra oleh Wellek dan Warren yang secara terang-terangan menolak ungkapan bahwa karya sastra adalah iminasi kenyataan. (Booker, 1996:18) Teori-teori Marxis pada awalnya tidak diciptakan untuk pendekatan sastra, akan tetapi, pokok-pokok teori tersebut dapat diaplikasikan ke dalam penelitian karya sastra. Dalam hal pendekatan sastra, pendekatan sastra Marxis mencoba untuk mengadopsi pendekatan marxis sebagai ideologi dan kemungkinan politik murni. (Szeman, 2009:43) Konsep teori Marxis yang menjunjung material dapat diadopsi ke dalam kritik karya sastra. Aspek-aspek dalam pembangunan suatu karakter dalam karya sastra dapat ditelaah secara materialistis.

(5)

Dalam Semi, pendekatan kesejarahan mengandung asumsi dasar bahwa karya sastra merupakan fakta sejarah karena ia merupakan salah satu hasil ciptaan manusia pada suatu zaman yang membawa semangat zamannya. (Semi, 2012:81) Peristiwa-peristiwa yang dialami atau dipahami oleh seorang sastrawan dapat menjadi inspirasi dalam penciptaan sebuah karya sastra. Peristiwa pada suatu zaman terekam dan berpengaruh di dalam penciptaan karya sastra karena para penulis merupakan bagian dari kenyataan zamannya. (Semi, 2012:81) Karya sastra dianggap sebagai perekaman napas zaman yang memiliki unsur yang dapat dipandang sebagai salah satu bahan kajian sejarah. (Semi, 2012:82)

Pendekatan kesejarahan sejalan dengan konsep kritik sastra marxis yang dikembangkan oleh Georg Lukacs. Sebagaimana disebutkan pada poin 1. 4. 1. 1 bahwa karya sastra adalah reflection dari suatu masyarakat. Melalui pendekatan kesejarahan, seorang peneliti karya sastra dapat menilai suatu sejarah berdasarkan suatu karya sastra. Hal ini tetap terpengaruh oleh ideologi dan sikap penulis suatu karya sastra terhadap masyarakatnya, sebagaimana apa yang para penulis tuangkan ke dalam karya sastranya.

1. 4. 2. Teknik Pengumpulan Data

Data dalam novel dikumpulkan setelah pembacaan novel hingga selesai. Data kemudian dikumpulkan dan dikelompokkan berdasarkan permasalahannya. Data yang telah dikelompokkan kemudian dibandingkan dengan data dari jurnal-jurnal yang dianggap memenuhi kriteria sebagai fakta sejarah mengenai perjodohan anak Indonesia di abad 20. Jurnal-jurnal yang diambil berasal dari jstor.org. Jurnal yang diambil hanyalah jurnal yang mendalami masalah pernikahan dan perjodohan anak di Indonesia pada abad 20.

1. 4. 3. Analisa Data

(6)

Analisa data dilakukan dengan melihat aspek-aspek yang terkait dengan keluarga dan perjodohan dalam novel Midah. Sebagaimana disebutkan sebelumnya pada poin 1.2, penelitian ini difokuskan untuk meneliti konsep keluarga dan perjodohan anak pada abad 20 di Indonesia.

II. KAJIAN TEORI

2. 1. Anak Sebagai Komoditi

Sebelum abad 19, pernikahan tak elak dari masalah transaksi. (Wollburg, 2016) Tradisi pernikahan masih dianggap pihak laki-laki “membeli” seorang gadis dari pihak keluarga perempuan. Hal ini terjadi pula sebaliknya di adat matrilineal. Dalam Midah pun, Midah dijadikan barang atau komoditi dalam pernikahan. Memalui kritik sastra marxis, perjodohan anak dikaitkan dengan konsep anak secara material. Perjodohan berarti terdapat kesepakatan di antara dua keluarga dalam transaksi pernikahan. Goode menyebutkan semua sistem pemilihan jodoh menuju kepada pernikahan homogami sebagai hasil proses tawar menawar. (Goode, 1991:66) Alat tukar utama dalam perjodohan tentunya adalah anak, terutama anak dari pihak keluarga perempuan.

2. 2. Pemilihan Jodoh dan Perkawinan (Goode, 1991:63)

Melalui landasan ini, obyek penelitian diteliti dari segi perjodohan. Goode memaparkan proses pemilihan jodoh berlangsung seperti sistem pasar dalam ekonomi. Dalam Midah, Midah dijodohkan dengan seorang Haji yang kaya. Dalam konteks ini, Midah adalah komoditi dalam perjodohan. Midah sebagai komoditi masih terkait dengan poin 2. 1. mengenai anak sebagai komoditi.

2. 3. Terputusnya Sistem Peranan Keluarga (Goode, 1991:184)

(7)

3. HASIL PEMBAHASAN

Novel digambarkan Swingewood sebagai genre sastra yang cenderung realistik. Dr. Johnson, katanya, menyimpulkan bahwa novel merepresentasikan suatu gambaran yang jauh lebih realistic mengenai kehidupan sosial (Faruk, 2012:110) Karya sastra bisa dijadikan cerminan bagi masyarakat pada suatu masa. Hal tersebut diakibatkan seorang pengarang karya sastra pastilah seseorang dalam bagian masyarakat. Seorang pengarang bisa menjadikan fenomena sosial sebagai inspirasi bagi karya sastra yang ditulisnya. Konsep ini sejalan dengan teori Reflection oleh Georg Lukacs.

Dalam novel Midah, Pramoedya Ananta Toer mengisahkan seorang gadis yang dijodohkan oleh ayahnya. Ayahnya hanya ingin Midah untuk menikah dengan seorang haji yang kaya. Dalam penelitian ini, peneliti juga meneliti apakah fenomena perjodohan di Indonesia mirip dengan fenomena perjodohan di negara Asia lainnya pada pertengahan abad 20.

3. 1. Anak sebagai Komoditi

Sesuai dengan yang dipaparkan sebelumnya pada poin 1.4.1.1, penelitian ini menggunakan kritik sastra marxis untuk menelaah perjodohan sebagai proses tawar menawar di antara dua keluarga. Dalam kasus perjodohan anak, anak adalah alat tukar dalam proses tawar menawar ini. Seorang anak memiliki harga untuk ditukar dengan dalam proses perjodohan. Dalam kasus Midah, Midah dijodohkan oleh ayahnya dengan seorang Haji yang kaya. Hal ini nyata diungkapkan ayah Midah, melalui ibunya, yang merencanakan pernikahan itu serta alasan mengapa Midah harus menikah dengan seorang haji yang melamarnya:

Midah, sekarang engkau sudah besar. Sebentar lagi kawin. Jangan kira engkau tidak cantik. Sudah banyak bapakmu menerima lamaran. Tapi bapakmu hanya mau menerim lamaran kalau ada haji dari Cibatok yang mengerjakannya. (…) Sekarang haji yang diharapkan itu datang melamar bapakmu. Ia punya sawah banyak, kerbau berpuluh-puluh, ibadatnya kuat. (Toer, 2003:20)

(8)

22 tahun 1946 yang mengatur peraturan perkawinan, dan perceraian. Kemudian pada tahun 1947, Undang-undang ini dikembangkan untuk mengatur pelarangan pernikahan paksa dan pernikahan anak di bawah umur.(Blackburn, 1997:128) Namun dalam Midah, dengan setting 1950-an, pernikahan anak masih nyata. Anak masih dijadikan alat tukar dalam perjodohan. Keluarga Haji Abdul tidak mengindahkan peraturan pemerintah dan masih melakukan perjodohan dengan seorang lelaki yang kaya secara materil dan morel. Menggunakan teori Reflection, maka konsep anak sebagai komoditi adalah cerminan nyata atas masyarakat Indonesia di pertengahan abad 20.

3. 2. Pemilihan Jodoh dan Perkawinan

Dalam pendidikan sekolah dasar, anak-anak SD sudah dididik untuk mengetahui bahwa kemerdekaan Indonesia diperingati setiap 17 Agustus. Kemerdekaan Indonesia sudah dapat dinikmati sejak tahun 1945. Sejak tahun 1945, pemerintahan Republik Indonesia dinyatakan sudah berdiri tegak.

Namun ternyata, kemerdekaan Indonesia tidak dapat dijadikan panutan untuk kemerdekaan individu. Midah, contohnya, bahkan kehadirannya di tahun 1950-an tidak menjadikan dirinya merdeka sebagai perempuan. Blackburn dan Bessel, dalam jurnal Marriageable Age: Political Debates on Early Marriage in Twentieth-Century Indonesia (1997) menyatakan:

From early in the twentieth century, Indonesian women who had received a Western education began to draw attention to the problem of child marriage. It was not always described in quite those terms; more often the objection was to the practice described as "forced marriage": the custom of parents marrying off their daughters without consulting them. (Blackburn, 1997:109)

(9)

Dalam Midah, keluarga Midah tidak menyekolahkan Midah. Bisa jadi, semua anak perempuan Haji Abdul tidak sekolah. Karena hal ini, wajar saja Midah dijodohkan di usia yang masih sangat belia. Hal tersebut dikarenakan keluarga Haji Abdul tidak mementingkan pendidikan. Hal yang terpenting bagi keluarga Haji Abdul adalah materi dan akhlak, bukan pendidikan.

Melalui teori reflection oleh Lukacs, maka pasti ada beberapa keluarga di Indonesia abad 20 yang memegang paham kolot ini. Pendidikan formal tidak dianggap penting untuk membina anak menjadi masyarakat yang baik. Namun pada kenyataannya, di abad 20, keluarga terpelajar bukan berarti tetap bebas dari pemahaman kolot akan perjodohan anak. Blackburn dan Bessel menyatakan, “The younger the child, of course, the easier this was for parents to do (forced marriage).” Blackburn, 1997:109) Perjodohan anak dilakukan karena anak-anak tidak memiliki kekuasaan untuk melawan kehendak orang tuanya. Hal yang ditakutkan para orang tua pada abad 20 adalah, semakin dewasa seorang anak, semakin luaslah pemahaman anak untuk menolak suatu perjodohan.

Raden Ajeng Kartini adalah salah satu perempuan Indonesia yang mengkritisi hal ini. Blackburn dan Bessel mengutip surat R. A. Kartini kepada Mevrouw Abendanon dalam mengkritiki pernikahan sepupunya, Mini, yang adalah anak Bupati Ciamis:

Her mother is apparently an extremely refined and cultured woman-and she is marrying off her thirteen-year-old child! ... I had tears of rage and regret and desperation in my eyes--and especially of sympathy for that poor child when I read the announcement of the proposed marriage. Mini, that dear, wonderful child, who had such a promising future-marrying-that young thing!--oh, I still cannot imagine it. It is outrageous! Oh, do not create illusions which destroyed-do not encourage dreams, when one knows beforehand that rude awakening must follow. It is cruel—cruel! (Blackburn, 1997:109-110)

(10)

disebutkan sebagai keluarga Priyayi tentulah tidak akan memiliki urusan dengan masalah perjodohan anak di bawah umur.

Dr. Soetomo, ketua Indonesische Studieclub di Surabaya, menerbitkan buku Perkawinan dan Perkawinan Anak pada tahun 1928. Buku ini diterbitkan oleh Balai Pustaka, penerbit pertama di abad 20. Buku yang diterbitkan Balai Pustaka tentulah telah mendapat persetujuan dari pemerintah. Dalam buku tersebut, Soetomo menolak pernikahan anak di bawah umur yang adalah pernikahan paksa. Menurut Soetomo, pernikahan paksa membebani anak dengan kewajiban yang belum mereka pahami. (Blackburn, 1997:120-121) Perjodohan anak sudah menjadi masalah yang perlu dikaji oleh orang-orang terpelajar di Indonesia. Apabila Midah mengambil latar waktu 1950-an, maka sejak diterbitkannya buku Perkawinan dan Perkawinan Anak pada tahun 1928, dapat disimpulkan belum ada kesadaran pada masyarakat akan permasalahan perjodohan dan pernikahan anak di bawah umur.

3. 3. Terputusnya Sistem Peranan Keluarga

Dalam Midah, Midah memilih untuk meninggalkan suaminya setelah mengetahui suaminya memiliki istri selain dirinya. “Apalagi setelah diketahuinya bahwa Hadji Terbus bukan bujang dan bukan muda (…) Waktu ia tak sanggup lagi menanggung segalanya, dengan diam-diam ia kembali ke Jakarta.” (Toer, 2003:21) Karena pernikahannya dimulai dari proses perjodohan, dan Midah tidak dilibatkan dalam proses perjodohan ini, Midah tidak memiliki pengetahuan apapun mengenai siapa dan bagaimana suaminya, selain informasi dari ayahnya bahwa lelaki yang ingin menikahinya adalah seorang haji kaya. Karena ketidakcocokan selama pernikahan, Midah memilih lari dari suaminya, bahkan dalam keadaan mengandung.

(11)

ternyata di pertengahan abad 20, perceraian masih dapat terjadi. Mengingat ungkapan Geerts bahwa pernikahan di usia belia sangat rentan perceraian, wajar saja tingkat perkawinan anak dan perceraian masih cukup tinggi hingga pertengahan abad 20.

4. SIMPULAN

Melalui Midah, masyarakat pada abad 20 dicerminkan oleh Pramoedya Ananta Toer. Midah, seorang wanita yang kuat, rela menanggung semua penderitaan akibat perjodohan anak yang ia terima. Kenyataannya, pada abad 20-an, perjodohan anak dan pernikahan paksa sudah menjadi isu yang digembar-gemborkan di Indonesia. Protes dari berbagai pihak berdatangan menanggapi perjodohan anak di bawah umur. Pemerintah Indonesia pun ikut turun tangan menanggapi perjodohan anak. Pada tahun 1946. Kementrian Agama mengeluarkan Undang-undang no 22 tahun 1946 yang mengatur pernikahan, termasuk melarang pernikahan anak di bawah umur. Dalam Midah, Haji Abdul selaku ayah Midah tidak mengindahkan peraturan dari Kementrian Agama. Terkait dengan teori Reflection oleh Lukacs, maka tidak sedikit orang tua yang memilih untuk menikahkan anaknya meski anaknya masih terlalu dini untuk menikah. Orang tua pada pertengahan abad 20 masih memilih untuk menikahkan anaknya sejak dini, sebab anak berusia belia masih bisa diatur sesuai dengan kemauan orang tuanya. Dalam kasus Midah, Midah menurut ketika dinikahkan dengan seorang Haji kaya. Kekayaan Haji Terbus menjadi alat tukar yang setara dengan seorang gadis manis bernama Midah dalam perjodohan yang dilancarkan Haji Abdul selaku ayah Midah.

Pernikahan dini hanya didasari oleh ego orang tua semata. “Bibit-Bebet-Bobot” menjadi pertimbangan orang tua untuk melancarkan perjodohan dengan lelaki yang, mungkin, calon pengantin perempuan itu sendiri tidak mengenalnya. Maka pada akhirnya, tidak sedikit anak yang tidak tahan dengan kehidupan bahtera pernikahannya yang dipaksakan. Perceraian tidak terelakkan, sehingga tingkat perceraian pada pertengahan abad 20 cukup tinggi.

(12)
(13)

Daftar Pustaka:

Blackburn, S. (1997). Marriageable Age: Political Debates on Early Marriage in Twentieth-Century Indonesia Indonesia, 63, 107-141.

Booker, M. K. (1996). A Practical Introduction to Literary and Criticism (Vol. 1). London: Longman Publisher.

Cammack, M. (2011). Explaining the Recent Upturn in Divorce in Indonesia: Developmental Idealism and the Effect of Political Change. Asian Journal of Social Science, 39. Faruk. (2012). Pengantar Sosiologi Sastra dari Strukturalisme Genetik sampai

Post-modernisme. Jakarta: Pustaka Pelajar.

Goode, W. J. (1991). Sosiologi Keluarga (D. L. Hasyim, Trans.). Jakarta: Bumi Aksara. Nazir, M. (2003). Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia.

Semi, M. A. (2012). Metode Penelitian Sastra. Bandung: Penerbit Angkasa.

Szeman, I. (2009). Marxist Literary Criticism, Then and Now. Mediations, 24.2, 36-47. Toer, P. A. (2003). Midah. Jakarta: Lentera Dipantara.

Referensi

Dokumen terkait

Administrasi keadaan wilayah kerja Puskesmas Gadung dapat dilihat pada tabel berikut :.. Gambaran karakteristik responden Distribusi responden berdasarkan umur

Ruang lingkup survei kepuasan orang tua mahasiswa dalam laporan ini adalah meliputi ITTP sudah berkembang dengan baik, Segala bentuk informasi yang disampaikan

Hasil penelitian memperoleh kesimpulan sebagai berikut: (1) terdapat pengaruh model pembelajaran Problem Solving secara algoritmik dan heuristik terhadap

Loyalitas merupakan perilaku konsumen yang akan dapat diketahui jika konsumen telah melakukan pembelian kepada produk yang ditawarkan dipasar, konsumen yang loyal

DAFTAR RIWAYAT HIDUP Curriculum VitaeI. Alamat KTP : Jalan

Dengan itu, kajian ini dapat memberikan maklumat berkaitan penggunaan ‘aku’ yang bukan hanya melibatkan peserta, tetapi juga merujuk penggunaan ‘aku’ mengikut genre,

Perbedaan dialek ini yang menyebabkan ketertarikan pada penulis untuk dijadikan suatu karya komposisi musik etnis, namun tidak semua dialek yang akan dijadikan

Puji dan syukur dalam hal ini penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan karuniaNya yang telah diberikan kepada penulis, sehingga dalam penulisan skripsi