• Tidak ada hasil yang ditemukan

HUBUNGAN ANTARA SKOR TES INTELEGENSI CFI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "HUBUNGAN ANTARA SKOR TES INTELEGENSI CFI"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Selama ini dikalangan para praktisi psikologi dalam melakukan tes psikologi (apakah itu tes intelegensi, tes kepribadian atau tes bakat) terhadap sejumlah “testee” selalu menggunakan suatu alat tes dalam jumlah yang cukup banyak. Misalkan saja dalam melakukan tes intelegensi terhadap 100 “testee” seorang psikolog yang menggunakan alat tes Culture Fair Intellegence Test (CFIT) harus mempunyi alat tes intelegensi sejumlah 100 buah. Itupun masih terhadap satu alat test yang dimaksudkan mengukur satu aspek psikologik yang berupa intelegensi.

Dengan demikian dalam melakukan pemeriksaan psikologi sesuai dengan permintaan konsumen dalam jumlah yang cukup banyak maka seorang psikolog dituatut untuk memiliki sejumlah alat tes yang dimaksudkan. Padahal alat tes itu nantinya mungkin tidak berguna lagi karena hanya terpakai pada saat itu saja. Keadaan ini cukup untuk dinyatakan sebagai suatu yang tidak efektif den efision dalam melakukan upaya pemeriksaan psikologi.

Berangkat dari perwasalahan praktis tersebut bisa jadi seorang psikolog harus mencari upaya-upaya lain seperti meminjam milik teman atau juga menyewa lembaga-lembaga konsultasi psikologi yang lainnya. Begitupun upaya ini masih merupakan upaya yang jauh dari efektifitas ataupun efisiensi.

(2)

memperhitungkan efisiensi den efektifitas adalah merupakah suatu upaya yang harus manjadikan pemikiran lebih lanjut. Langkah yang jauh memungkinkan adalah menggunakan alat tes lain yang juga mencakup faktor yang sama seperti alat tes yang diwaksudkan. Misalkan seorang psikolog punya 3 alat tes psikologi yang mangungkap intelegensi dalam jumlah yang terbatas (katakanlah masing-masing 40 buah) maka bisa jadi dalam melakukan suatu tes psikologi yang mengungkap intelegensi dia bisa menggunakan ketiga alat tes tersebut terhadap 100 orang lebih dalam waktu yang bersamaan.

Langkah tersebut bisa jadi merupakan langkah yang cukup efesien dan efektif untuk mengatasi permasalahan diatas namun yang menjadi permasalahan selanjutnya adalah bahwa bahwa ketiga alat tes psikologi yang mengungkap intelegensi tersebut selain harus sama-sama mengungkap faktor orang sama dia juga harus dibuktikan apakah memang benar ketiganya mengungkap faktor yang sans. Pembuktian tersebut jelas harus dilakukan melalui penelitian ilmiah.

Selain ketiga alat tes psikologi yang mengungkap intelegensi tersebut harus berkorelasi secara positif juga ketiganya secara teori merupakan suatu alat tes psikologi yang mengungkap faktor-faktor Psikologis yang sama. Jadi bila beberapa, alat tes psikologi memang mengungkap faktor yang sama baik itu secara teoritis ataupun juga (harus) praktis maka beberapa alat tes psikologi tersebut secara tesus dan praktis masing-masing alat tes paikologi bisa digunakan sebagai pengganti bagi alat tes psikologi yang lainnya.

(3)

mencari apakah beberapa alat tes psikologi dalam hal ini alat tes intelegensi mempunyai korelasi. Alat tes intelegensi yang dimaksud adalah Culture Fair Intellegance lest (CFIT), Standard Progresive Matrices (SPM) dan Army Alpha. Ketiga alat tes tersebut adalah pengukur faktor yang sama yaitu intelegensi manusia. Culture Fair Intelegence Test dibuat oleh Raymond B. Cattal dan A.K.S Cattel Raven bertujuan mengukur faktor kecerdasan intelegensi orang dewasa, sedangkan tes Army Alpha diciptakan dalam suasana perang dunia I oleh tentara Amerika Serikat guna mencari prajurit-prajurit yang intelegen, tangkas dan cekatan.

Persamaan ketiga alat tes psikologi yang mengungkap intelegensi tersebut dalam hal administrasinya adalah bahwa kesemua alat tes tersebut merupakan “speed-test” artinya dalam mengungkap intelegensi seseorang ketiga alat tes menggunakan cara kecepatan menyelesaikan alat tes sebagai salah satu standard norma-nya. Berbeda degan beberapa alat tes yang lain yang mengungkap intelegensi dengan menggunakan cara “power test”, dalam hal ini alat tes tidak memperhitungkan waktu tapi memperhitungkan ketepatan pengungkapan faktor tertentu dalam waktu yang cukup lama.

B. Permasalahan

Berdasarkan penjelasan dan uraian pada latar belakang masalah diatas dapat ditarik masalah yang akan diteliti pada penelitian ini yaitu :

(4)

C. Tujunn dan Manfaat

Tujuan yang ingin dicapai dari hasil penelitian ini adalah:

*) Mencari hubungan antara skor tes intelegensi Culture Fair Intellegence Test (CFIT). Standard Progressive Matrices (SPH) dan Army Alpha.

Adapun manfaat atau hasil yang ingin didapat dari ada tidaknya hubungan antara skor ketiga alat tes tersebut adalah bahwa :

*) Kalau ketiga alat tes paikologi yang mengungkap intelegensi tersebut berhubungan bisa jadi diantara ketiga alat tes berfungsi sebagai pelengkap untuk alat tes yang lainnya. Pelengkap yang dimaksud disini adalah kalaupun alat tes tertentu jumlah yang dibutuhkan kurang memenuhi harapan maka alat tes yang lain bisa menggantikannya karena sama-sama, mengukur sesuatu yang disebut intelegensi.

(5)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian Dasar

Konsep intelegensi bermula dari suatu sebutan pada orang-orang yang mampu melakukan sesuatu proses mental dalam bentuk tes-tes cognitif tidak seperti layaknya khalayak umum. Daman dalam perkembangan selanjutnya ada beberapa kendala dalam mengukur intelegensi seseorang, karena apakah memang benar suatu alat tes yang mengukur intelegensi itu memang mengungkap intelegensi seseorang dam bukan faktor lain dari intelegensi. Kendala ini muncul karena terdapat kesulitan untuk mendifinisikan secara umum intelegensi. Bahkan diantara para ahli psikologi sandiri masih terdapat kesimpang-siuran tentang esensi dari Intelagensi (Murphy, 1991).

Berdasarkan pada permasalahan tersebut ada beberapa ahli diantaranya Humphreys dam Eysenek mengusulkan esensi dari intelegensi yang mungkin bisa difahami beberapa pihak. Dalam hal ini din manyatakan bahwa intelegensi mempunyai 3 makna yaitu :

(6)

Kedua, bahwa intelegensi tidak dapat didefinisikan secara tepat pada satu bentuk perilaku tertentu tetapi lebih pada berbagai macan bentuk perilaku pada suatu domain kognitifnya. Arti dari pengertian diatas bahwa dalam memahami intelegensi seseorang harus didasarkan pada berbagai perilaku yang telah dikeluarkan oleh seseorang dalam hubungannya dengan proses-proses kognitif sebelum perilaku itu dilakukan.

Ketiga, dalam mendefinisikan intelegensi seharusnyalah berkaitan dengan kesuksesan seseorang dalam menjalankan berbagai tugas-tugas kognitif. Korelasinya semakin tidaklah harus tepat namun cukup besar untuk bisa dipertimbangkan.

Perkembangan teori intelegensi diawali dengan Spearman yang mengeluarkan teori two-factor. Teori ini menyatakan bahwa intelegensi seseorang memuat kandungan factor “g” dan faktor “s”. Faktor adalah faktor general/umum dimiliki oleh banyak orang dan tiap-tiap orang pasti memilikinya. Sedangkan faktor “s” adalah spesifik suatu faktor yang hanya dimiliki oleh individu tertentu.

Perkembangan teori bahkan juga sampai pada pengukuran intelegensi sanpai saat inipun seringkali maish berpedoman pada teori dari Spearman tersebut diatas.

B. CFIT, SPM, ARMY ALPHA 1. Culture Fair Intelligence Test

(7)

dan A.K.S. Cattel adalah merupakan salah satu tes intelegensi yang mengungkap faktor kemampuan atau kecerdesan umum (faktor “g”). Tes ini sengaja diciptakan oleh Cattel untuk mengelincir beberapa kelemahan tes sebelumnya. Dikatakan bahwa tes ini adalah tes bebas budaya untuk itu dalam penciptaannya Cettell vienbuat setiap soalnya bukan merupakan gambaran dari satu budaya namun merupakan suatu pemahaman umum yang dimiliki oleh banyak budaya.

Dengan dilatarbelakangi bukan dari unsur klinis Cattel menyatakan bahwa CFIT bisa digunakan oleh banyak Negara dengan tidak memperhatikan perbedaan antara kelas-kelas social. Soal-soal di dalam tes ini bukan menggambarkan suatu unsur kelas social tertentu namun merupakan kemampuan umum yang dimiliki oleh seluruh kelas social. Dengan demikian tes intelegensi CFIT ini juga tidak mendiskriminasi dalam hal kapasitas “school”.

Tidak heran apabila Cattel sendiri menyatakan bahwa tes ini lebih akurat dalam mengungkap intelegensi, punya makna psikologis dan cukup ekonomis dalam administrasi dan skoringnya. Memang pada beberapa penelitian sebelumnya lebih banyak ditemukan bahwa tes CFIT ini mempunyai korelasi yang cukup kuat dengan kapasitas verbal seseorang namun hal ini bukan berarti CFIT mengungkap kapasitas verbal.

(8)

yang kecerdasannya dibawah normal, dan skala 3 untuk usia 15 tahu, keatas atau orang dewasa yang kecardasannya berada pada taraf normal rata-rata. Selain itu Cattel Juga merancang dua macam tes (“from A” dan “form B”) untuk tiap-tiap skala dan masing-masing tes sifatnya pararel, dan menurut Cattel untuk mendapatkan hasil yang reliabel sebaiknyalah digunakan dua macam bentuk penyajian A dan setelahnya bentuk B.

Pada penelitian ini jelas digunakan tes skala 3 namun cukup hanya yang berbentuk A saja karena pertimbangan waktu dan tenaga selain juga kedua bentuk sifatnya pararel satu lainnya. Baik bentuk A ataupun juga bentuk 8 terdiri 4 sub tes yang masing-mesing subtes mengukur hal yang berbeda. Subtes 1 rangkaian soal yang sifatnya “series”, subtes 2 berisikan rangkaian soal yang sifatnya klasifikasi, subtes 3 berisikan rangkaian soal yang sifatnya matriks dan subtes 4 berisikan rangkaian soal yang sifatnya kondisional.

2. Standard Progressive Matrices

Standard Progressive Matrices ini merupakan salah satu bentuk tes intelegensi yang dibuat oleh Raven pada tahun 1938. Kedua bentuk yang lainnya adalah Colour Progressive Matrices (CPH) dan Advanced Progreeiive Matrices (APM). Keseluruhan tes yang diciptakan Raven diatas sebagian besar memang mangungkap faktor “g” dari teorinya Spearman sedangkan sebagian kecil mengungkap faktor “s”.

(9)

adalah sama-sama mengukur kecerdasan umun dalam bentuk pola fikir yang sistematis dalam memahami hubungan-hubungan antar bagian.

Seperti hal-nya CFIT, pada SFM ini terdiri dari 5 kelompok yaitu kelompok A, B. C. D dan E. Masing-masing kelompok terdiri dari 12 soal sehingga secara keseluruhan soalnya ada 60 buah.

3. Army Alpha

Seperti halnya dibahas bahwa tes ini dibuat oleh Angkatan Darat Amerika yang dipimpin oleh Robert M. Yerkes guna keperluan rekruitmen tentara Amerika dalam jumlah yang cukup banyak, sehingga diperlukan suatu alat tes psikologi yang cepat dan tepat mendapatkan orang-orangnya. Untuk itu tes ini tentunya sama dengan seperti tes-tes diatas yang merupakan speed test. Harusnya tes ini sebenarnya merupakan kritik dari tes intelegensi Stanford-Binet yang memakan waktu lama dalam administresinya, Tes Army Alpha ini dirancang untuk dipergunakan mengukur factor intelegensi umum sessorang dan dalam administrasi tesnya bisa dalam jumlah yang sangat banyak.

(10)

C. Hipotesa

Hipotesa kerja yang muncul dari penelitian ini yang hendak dibuktikan adalah:

Ada korelasi antara tes intelegensi CFIT dan SPM. CFIT dan Army Alpha serta SPM dan Army Alpha

Sedangkan guna keperluan ujian statistic maka diajukan hipotesa nihilnya yaitu:

(11)

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Identifikasi Variabel

Variabel yang akan diteliti pada penelitian ini adalah skor tes Culture Fair Intellegence Test (CFIT), skor tes Standard Progressive Matrices (SPH) dan skor tes Army Alpha. Ketiga variabel tersebut adalah variabel bebas.

B. Metode Pengumpulan Data 1. Populasi

Populasi dari penelitian ini adalah seluruh mahasiswa yang masih aktif kuliah pada Jurusan psikologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Airlangga sejumlah 250 orang yang tersebar pada 5 angkatan. 2. Sample

Metode pangambilan sample dari penelitian ini adalah secara acak sederhana (simple random). Adapun cara yang dilakukan dari keseluruhan mahasiswa psikologi sejumlah 250 orang dengan cara mengundi nomor induk mahasiswanya. Sample ditetapkan berjumlah 50 orang.

3. Pengumpulan Data

(12)

4. Alat Ukur

Alat ukur yang digunakan untuk mendapatkan skor tes intelegensi adalah alat tes intelegensi CFIT, alat tes intelegensi SFM dun alat tes intelegensi Army Alpha.

C. Metode Analisa Data

(13)

DAFTAR PUSTAKA

Anastasi Anne., Psychological Testing, 5th ed, Mcmillan Publishing Comp, New-York, 1982.

Bennett X. George., Seashore G. Harold.. dan Wesman G.

Alexander. Differential Attitude Test. Manual, and ed. The Psychological Corporation, New York, 1952.

Cattel B. Raymond., dan A.K.S. Cattel A.M., Handbook for the Culture Fair Intelligence Test: a measure of “g” scals 3 form A and B. Institute for Personality and Ability

Murphy R. Kevin., and Davidshofer O. Charles., psychological Testing. Principles & applications, 2nd ed, Prentice Hall International Editions, New-Jersey,

1991.

(14)

HUBUNGAN ANTARA SKOR TES INTELEGENSI

CFIT, SPM DAN ARMY ALPHA PADA MAHASISWA

PSIKOLOGI FISIP UNAIR

Ketua Peneliti :

Drs. Fendy Suhariadi, M.Sc.

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

LEMBAGA PENELITIAN UNIVERSITAS AIRLANGGA Dibiayai Oleh : DIP/OPF Unair 1991/1992

Referensi

Dokumen terkait

Prosedur sistem berjalan merupakan gambaran aktifitas yang dipakai oleh pelanggan telephone seluler pada saat ini.User bisa datang dan menelpon perushaan untuk

Latar belakang penelitian ini adalah pada pasal 149 huruf b Kompilasi Hukum Islam Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 menentukan : “Bilamana perkawinan putus

a. Ditunjuk Koordinator Wilayah di antara Pimpinan Daerah berdasarkan kebijakan masing-masing Pimpinan Daerah. Koordinator Wilayah bertugas memantau perkembangan Forum

Menandatangani dokumen transaksi – melengkapi, menandatangani, dan mengirim tiap perjanjian, catatan, akta, formulir, instrumen, garansi, dokumen jaminan,

1. Dari hasil pemeriksaan tahun 2016 diperoleh status istithaah jemaah haji yang memenuhi syarat sebesar 71,45% dan memenuhi syarat dengan pendampingan sebesar

SWAT akan menggambarkan sistem kerja sebagai model multi dimensional dari beban kerja, yang terdiri atas tiga dimensi atau faktor yaitu beban waktu (time- load), beban

Bilangan Reynold mengambil nama dari penelitinya. Pada percobaan ini aliran yang diamati terdiri atas dua komponen yaitu air dan tinta hitam. Sifat- sifat aliran diatas akan

Dengan mengingat fungsi ketua adat, maka sebagai ketua adat Melonguane ia merasa betapa pentingnya menjaga dan menegakkan setiap peraturan adat yang berlaku dalam