• Tidak ada hasil yang ditemukan

NILAI NILAI KARAKTER DALAM PEMBELAJARAN IPA DI PERGURUAN TINGGI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "NILAI NILAI KARAKTER DALAM PEMBELAJARAN IPA DI PERGURUAN TINGGI"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

NILAI NILAI KARAKTER DALAM PEMBELAJARAN IPA DI

PERGURUAN TINGGI

1)Ngurah Mahendra Dinatha, 2)Dek Ngurah Laba Laksana

1)Pendidikan IPA, STKIP Citra Bakti, NTT

2)PGSD STKIP Citra Bakti, NTT

1)ngurahm87@gmail.com, 2)laba.laksana@citrabakti.ac.id

ABSTRAK

Tujuan dari penulisan ini adalah untuk mengetahui perlunya pendidikan karakter dapat diimplementasikan dengan integrasi pendidikan karakter dalam pembelajaran, salah satunya yaitu pembelajaran IPA. Karakter bisa dibentuk dan diperkuat melalui proses pendidikan, baik di lingkungan keluarga, kampus, dan masyarakat. Integrasi pendidikan karakter di dalam proses pembelajaran dapat dilaksanakan mulai dari tahap perencanaan, pelaksanaan, hingga evaluasi pembelajaran. Pembelajaran IPA pada hakikatnya merupakan suatu produk yang diperoleh melalui serangkaian proses ilmiah sebagai pembentuk sikap ilmiah. Metode penulisan artikel ini yaitu metode kajian pustaka untuk mengulas tentang penguatan karakter mahasiswa melalui pembelajaran IPA pada mata kuliah IPA Dasar. Kesimpulan dari kajian ini adalah: (1) IPA dapat dibelajarkan di kampus melalui cara-cara yang mencerminkan hakikat IPA, (2) Peran dosen dalam membentuk karakter dimulai dengan membangkitkan keingintahuan yang amat besar dari mahasiswa. (3) Penguatan karakter mahasiswa melalui pembelajaran IPA khususnya pada mata kuliah IPA Dasar dapat dilakukan melalui pendekatan inquiri, Salingtemas, CTL, dan Ketrampilan Proses Sains (KPS).

Kata kunci: Karakter, Pembelajaran IPA, Mata Kuliah IPA Dasar

PENDAHULUAN

Saat ini, pendidikan karakter menjadi isu utama pendidikan nasional. Hal ini tampak pada peringatan Hari Pendidikan Nasional yang memilih tema “Pendidikan Karakter sebagai Pilar Kebangkitan Bangsa; Raih Prestasi Junjung

Tinggi Budi Pekerti”. Bahkan dalam sambutan memperingati Hardiknas tersebut,

(2)

nasional, mulai dari Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) sampai dengan Perguruan Tinggi, termasuk di dalamnya pendidikan nonformal dan informal. Karakter yang hendak dibangun menurut Mendiknas bukan hanya karakter berbasis kemuliaan diri semata, akan tetapi secara bersamaan membangun karakter kemuliaan sebagai bangsa.

Generasi muda khususnya mahasiswa sangat rentan terhadap pengaruh buruk lingkungan. Contoh nyata adalah banyak mahasiswa melakukan aksi tawuran yang dapat merugikan masyarakat sekitar. Kondisi tersebut sangat bertolak belakang dengan sikap seorang anak yang mau membantu orang yang sudah tua untuk menyeberang jalan, atau sengaja menyingkirkan batu yang ada di tengah jalan agar tidak ada orang yang celaka karena batu tersebut. Dalam kasus ini maka anak tersebut adalah anak yang berkarakter. Karakter itu sendiri dapat didefinisikan sebagai nilai-nilai kebajikan (tahu nilai kebajikan, mau berbuat baik, dan nyata berkehidupan baik) yang tertanam dalam diri dan terjawantahkan dalam perilaku (Budimansyah, 2010).

Pendidikan karakter itu sendiri hanya dibebankan pada beberapa mata kuliah saja yaitu misalnya Agama dan Pendidikan Pancasila, khususnya terkait akhlak dan budi pekerti peserta didik. Namun, pada kenyataannya penanaman dan pembentukan karakter melalui mata kuliah itu saja tidaklah cukup. Kurang maksimalnya hasil dari pendidikan karakter melalui mata kuliah Agama maupun Pendidikan Pancasila disebabkan oleh beberapa hal. Pertama, mata pelajaran tersebut cenderung baru membekali pengetahuan mengenai nilai-nilai melalui materi/substansi mata pelajaran. Kedua, kegiatan pembelajaran pada mata pelajaran tersebut pada umumnya belum secara memadai mendorong terinternalisasinya nilai-nilai oleh masing-masing mahasiswa sehingga mahasiswa berperilaku dengan karakter yang tangguh. Ketiga, menggantungkan pembentukan watak mahasiswa melalui beberapa mata kuliah itu saja tidak cukup. Pengembangan karakter peserta didik perlu melibatkan lebih banyak lagi mata kuliah, bahkan mencakup semua mata kuliah yang ada di perguruan tinggi.

IPA yang dianggap sulit, sejalan dengan temuan yang menyatakan bahwa siswa mengalami kesulitan ketika belajar IPA (Dinatha, 2017). Selain itu, banyaknya konsep IPA yang miskonsepsi (Laksana dkk., 2017) menjadikan IPA selalu menjadi topik yang harus dikaji.

Terkait kelemahan di atas, maka diperlukan pendidikan karakter melalui semua mata kuliah, salah satunya yaitu pelajaran IPA khususnya pada Mata Kuliah IPA Dasar. Hal ini berarti dimasukkannya nilai-nilai pendidikan karakter dalam pembelajaran di kelas, baik materi maupun proses pembelajaran yang terjadi, sehingga diharapkan nilai-nilai itu akan tertanam dengan baik pada mahasiswa, yang pada akhirnya akan terbentuk menjadi sebuah karakter yang baik.

(3)

conduct in relation to other persons and in relation to oneself ” atau kehidupan berperilaku baik/penuh kebajikan, yakni berperilaku baik terhadap pihak lain (Tuhan Yang Maha Esa, manusia, dan alam semesta) dan terhadap diri sendiri. Kehidupan yang penuh kebajikan (the virtuous life) sendiri oleh Lickona (1992) dibagi dalam dua kategori, yakni kebajikan terhadap diri sendiri (selforiented virtuous) seperti pengendalian diri (self control) dan kesabaran (moderation); dan kebajikan terhadap orang lain (other-oriented virtuous), seperti kesediaan berbagi (generousity) dan merasakan kebaikan (compassion).

Pendidikan merupakan suatu proses dengan metode-metode tertentu sehingga orang memperoleh pengetahuan, pemahaman, dan cara bertingkah laku yang sesuai dengan kebutuhan. Pendidikan nasional yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

Secara umum, mahasiswa membutuhkan dosen sebagai pembimbing yang dapat dijadikan panutan. Dosen memberikan materi perkuliahan dengan kompetensi yang sudah ditetapkan dalam Permendiknas Nomor . 22 Tahun 2006 tentang standart isi, termasuk pelajaran IPA. IPA merupakan ilmu pengetahuan yang mempelajari tentang alam semesta, yang dalam memperoleh suatu produknya melalui serangkaian proses ilmiah sehingga akan membentuk suatu sikap ilmiah, yang sangat berperan dalam pembentukan nilai-nilai kepribadian atau karakter.

Karakter bisa dibentuk dan diperkuat melalui proses pendidikan, yang dapat dilakukan di lingkungan keluarga, kampus, dan masyarakat. Seseorang dikatakan berkarakter jika telah berhasil menyerap nilai dan keyakinan dikehendaki masyarakat serta digunakan sebagai kekuatan moral dalam hidupnya. Kaitannya dengan IPA, pembentukan karakter di kampus dimulai ketika dosen melakukan suatu pembelajaran yang mengacu pada hakikat IPA. Jika dilakukan secara kontinu, karakter yang sudah terbentuk akan mengalami penguatan, melalui proses pembelajaran yang diterapkan di kelas.

Melalui kajian kepustakaan dari beberapa hasil penelitian, artikel ini bertujuan untuk mengulas tentang penguatan karakter mahasiswa melalui pembelajaran IPA khususnya pada mata kuliah IPA Dasar di STKIP Citra Bakti.

METODE

(4)

PEMBAHASAN

Nilai-nilai Karakter dalam Pembelajaran

Karakter berasal dari bahasa Yunani “karasso” berarti cetak biru, format

dasar, sidik, seperti sidik jari (Koesoema, 2007: 90). Mounier melihat karakter dalam dua pendekatan: (1) sebagai kumpulan kondisi yang diberikan begitu saja, yang telah ada; dan (2) sebagai suatu proses yang dikehendaki, yang dibangun ke depan (Koesoema, 2007: 90-91). Disini karakter dilihat sebagai sikap yang sudah ada pada anak didik dan yang harus dikembangkan maju ke depan.

Pusat Kurikulum Nasional mengartikan karakter sebagai watak, tabiat, akhlak, atau kepribadian seseorang yang terbentuk dari hasil internalisasi berbagai kebajikan (virtues) yang diyakini dan digunakan sebagai landasan untuk cara pandang, berpikiir, bersikap, dan bertindak (Puskur, 2010: 3). Dalam bahasa yang sederhana karakter dapat dikatakan sebagai nilai-nilai dan sikap hidup yang positif, yang dimiliki seseorang sehingga mempengaruhi tingkah laku, cara berpikir dan bertindak orang itu. Misalnya, kejujuran. Sikap jujur mempengaruhi seseorang dalam seluruh hidupnya, terutama dalam menghadapi persoalan hidup, baik hidup pribadi, hidup bersama orang lain dan juga dalam pekerjaannya.

Pendekatan pendidikan karakter yang saat ini paling dikembangkan adalah pendekatan yang integratif, holistik. Artinya, seluruh unsur pendidikan dilibatkan dan cara yang digunakan menyeluruh. Kevin Ryan dasn Thomas Lickona (1992: 15-21) dengan sederhana menggambarkan pendekatan itu sebagai berikut:

Pendidikan karakter memuat beberapa komponen:

1. Pengertian:

a. Pengetahuan tentang nilai moral, nilainya apa;

b. Moral reasoning (alasan moral); apa kegunaannya bagi hidup kita dan orang lain;

c. Strategi pengambilan keputusan: apa yang akan diputuskan;

d. Moral imagination, gambaran akan situasinya bila memutuskan sesuatu;

e. Judicious judgment, bagaimana memutuskannya.

2. Afeksi:

a. Identifikasi dengan nilai moral b. Ketertarikan pada nilai baik c. Komitmen pada kehidupan moral d. Suara hati

e. Empati

3. Aksi/tindakan:

a. Keinginan (will), ingin melakukan nilai baik yang disadari.

b. Competence, ketrampilan mendengarkan, komunikasikan gagasan, menemukan dasar dll.

(5)

Agar pendidikan karakter berjalan baik, semua unsur itu harus dikembangkan. Anak didik dibantu mengerti nilai yang mau dilakukan (pengetahuan), dibantu menjadi tertarik pada nilai itu (afeksi), dan akhirnya dibantu untuk melakukannya dalam hidup nyata (aksi). Semua unsur itu harus terus dikembangkan dalam proses pendidikan, sehingga anak menjadi semakin berkembang utuh. Untuk itu juga diperlukan situasi masyarakat yang membantu (lingkungan moral), yang mendukung. Situasi masyarakat atau lingkungan yang mendukung akan menjadikan seseorang berkembang dalam pendidikan karakter lebih baik dan cepat.

Di zaman global ini pengaruh yang perlu dicermati antara lain adalah: keluarga, sekolah, masyarakat luas, media (intenet, HP, TV, video, surat kabar, radio), kelompok teman, dll. Di lapangan kadang pengaruh luar lebih besar dari pada pengaruh di sekolah. Tanpa dukungan lingkungan yang baik, pendidikan karakter akan sulit berjalan dan hasilnya dapat tidak optimal. Jelas bahwa pendidikan karakter sangat kompleks, sehingga perlu dipertimbangkan secara luas dan mendalam.

Karakter menurut Pusat Bahasa Depdiknas adalah bawaan, hati, jiwa, kepribadian, budi pekerti, perilaku, personalitas, sifat, tabiat, temperamen, watak. Karakter berasal dari nilai tentang sesuatu. Suatu karakter melekat dengan nilai dari perilaku seseorang. Karenanya tidak ada perilaku anak yang tidak bebas dari nilai. Nilai-nilai pendidikan karakter yang dikembangkan Kementrian Pendidikan ada delapan belas karakter. Nilai-nilai tersebut bersumber dari agama, Pancasila, budaya, dan tujuan pendidikan nasional. Delapan belas nilai tersebut adalah: religius, jujur, toleransi, disiplin, kerja keras, kreatif, mandiri, demokratis, rasa ingin tahu, semangat kebangsaan, cinta tanah air, menghargai prestasi, bersahabat/komunikatif, cinta damai, gemar membaca, peduli lingkungan, peduli sosial, dan tanggung jawab. (Pusat Kurikulum Kementrian Pendidikan Nasional, 2009: 9-10). Menurut T. Ramli (2003), pendidikan karakter memiliki esensi dan makna yang sama dengan pendidikan akhlak. Tujuannya adalah membentuk pribadi anak supaya menjadi manusia yang baik, warga masyarakat, dan warga negara yang baik. Pendidikan karakter adalah suatu sistem penanaman nilai-nilai karakter kepada warga sekolah yang meliputi komponen pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai tersebut. Dalam pendidikan karakter di sekolah, semua komponen (pemangku pendidikan) harus dilibatkan, termasuk komponen-komponen pendidikan yang meliputi isi kurikulum, proses pembelajaran dan penilaian, penanganan atau pengelolaan mata pelajaran, pengelolaan sekolah, pelaksanaan aktivitas atau kegiatan kokurikuler.

Pembelajaran IPA dan Nilai Karakter

(6)

pemantulan cahaya, dua sifat cahaya sebagai gelombang dan partikel, hukum kekekalan energi, teori atom, prinsip ketidakpastian. Dalam biologi mahasiswa dibantu mengerti system syaraf, system perkembangbiakan, penyakit, dll. Dalam kimia mahasiswa belajar sifat kimiawi zat, reaksi dan senyawa yang terjadi. Dengan mengerti hukum dan teori sains itu, mahasiswa dibantu lebih mengerti alam dan kehidupannya secara benar. Mahasiswa dibantu lebih memahami alam semesta sehingga dapat menggunakan, mengolah, dan menghidupinya dengan lebih baik.

Kedua, pendidikan sains membantu mahasiswa untuk memahami dan menjalani proses atau ketrampilan dan cara kerja sains. Mahasiswa dibantu untuk mengerti bagaimana seorang ilmuwan melakukan percobaan dan mengambil keputusan. Inilah yang disebut metode ilmiah yang digunakan dalam sains dengan langkah sebagai berikut: melihat persoalan, membuat hipotesa, melakukan percobaan, mengumpulkan data, menganalisa data, dan menyimpulkan apakah hipotesanya benar atau tidak. Dengan metode ilmiah ini jelas mahasiswa diajari berpikir rational, berpikir dengan data dan bukti, serta analisis berdasarkan kaidah-kaidah tertentu. Mahasiswa tidak dibantu mengambil keputusan lewat rasa, tetapi lewat penalaran.

Ketiga, pendidikan sains membantu mahasiswa memiliki dan mengembangkan sikap belajar sains seperti sikap jujur, disiplin, teliti, obyektif, setia pada data, daya tahan dalam menyelesaikan persoalan yang sulit, dan bekerjasama dengan orang lain secara terbuka.

Menurut Martin (1991: 102-103), proses dan sikap itulah yang dapat banyak mengubah cara hidup orang. Dalam kedua langkah proses dan sikap, mahasiswa dapat menggunakan apa yang diketahui dan dialami dalam proses belajar sains untuk hidupnya sehari-hari dan hidup bersama orang lain. Misalnya, mahasiswa yang biasa jujur dalam praktikum diharapkan juga berlaku jujur di rumah dan di luar kelas; mahasiswa yang biasa bekerja teliti, diharapkan juga teliti dalam pekerjaannya di luar kampus; mahasiswa yang biasa tekun dalam mengerjakan soal sains, diharapkan juga tekun dalam mengerjakan tugas lain di rumah; mahasiswa yang biasa melakukan praktikum dengan penalaran, diharapkan dalam menghadapi soal hidup dengan nalar. Dalam pengertian UNESCO, kita belajar bukan hanya untuk mengetahui sesuatu (to know), tetapi juga melakukan sesuatu (to do), untuk hidup bersama dengan orang lain (to live together), dan untuk menjadi semakin berkembang sebagai pribadi manusia (to be) (Delors, Jacques, 1998: 86).

Norman Lederman (2007: 833) menjelaskan apa hakekat dari sains, yaitu: (1) body of knowledge; (2) method; and (3) way of knowing. Ini mengacu pada epistemologi sains, yaitu sains sebagai cara mengerti, sebagai nilai dan

(7)

Peran Pendidik dalam Pembentukan Karakter Mahasiswa

Sebagai seorang pendidik yang menjadi pelaku dalam pengajaran, dan dihubungkan dengan hakikat IPA, cepat atau lambat akan menghadapi suatu permasalahan yaitu bagaimana caranya menimbulkan ketertarikan mahasiswa terhadap subjek yang ia ajarkan.

Harry Overstreet, di dalam bukunya yang sangat mencerahkan:

Influencing Human Behaviour, mengatakan: “ Suatu tindakan terjadi dari apa

yang kita inginkan secara mendasar dan saran terbaik yang dapat diberikan kepada setiap orang yang ingin menjadi pembujuk, antara lain Anda dan saya, baik di rumah, dalam lingkungan kerja, di sekolah maupun dalam berpolitik, adalah: Pertama–tama timbulkan di dalam diri orang tersebut suatu keinginan yang amat besar. Ia yang dapat melakukan hal ini akan memiliki seluruh dunia.

Siapa yang tidak dapat, akan menapaki jalan kesendirian.” Dari pernyataan ini

menunjukkan bahwa peran dosen adalah membangkitkan keingintahuan yang amat besar dari mahasiswa. Peranan ini dapat dilakukan secara optimal oleh seorang dosen dengan kepribadian mantap dan karakter yang kuat.

Desain Pembelajaran IPA dalam Pengembangan Pendidikan Karakter

Dalam ketiga hakekat pendidikan sains dan nilai-nilai yang ada pada pendidikan sains di atas, dapat disimpulkan bahwa pendidikan sains baik melalui aspek pengetahuan, proses, dan sikapnya dapat membantu penanaman nilai kehidupan kepada anak didik. Dengan kata lain, pendidikan sains dapat membantu pendidikan karakter pada anak didik tanpa harus menambahkan materi khusus dalam bahan yang diajarkan atau yang sedang dipelajari.

Kalau kita amati alur pengembangan pendidikan karakter gaya Ryan dan Lickona, dapat dilihat bagaimana sains mampu andil dalam proses pengembangan karakter anak didik. Cara kerja sains yang rational, yang selalu berpikir lewat data, dan juga penggunaan penalaran yang mendalam, sangat membantu dalam penggalian nilai-nilai moral atau karakter mana yang mau diambil. Mahasiswa dibantu untuk secara kritis dan rasional menilai nilai-nilai karakter yang mau diambil dan dilakukan. Apakah nilai itu memang sungguh berguna bagi hidup kita, apakah nilai itu berguna bagi hidup bersama, apa dampaknya bila tidak dilakukan.

(8)

Cara kerja sains juga membantu dalam penanaman segi afektif dan aksi dalam pendidikan karakter. Lewat praktikum yang menekankan kejujuran, ketelitian, kedisiplinan, kerjasama, dll., segi afeksi seperti suara hati dilatihkan; dan mahasiswa dengan sendirinya sudah melakukan tindakan atau aksi yang berkaitan dengan nilai.

Pendidikan IPA memperjelas rumusan moral

Kebanyakan nilai karakter bangsa berwujud himbauan yang sangat umum. Misalnya, agar kita menghormati pribadi orang lain; agar kita hidup rukun; agar kita mencintai lingkungan hidup; agar kita mencintai bangsa kita; agar kita mau hidup dalam perbedaan; dll. Semua nilai itu karena rumusannya/bentuknya sangat umum, sering dalam praktek dapat menimbulkan persoalan, karena ketidak jelasannya. Misalnya, agar kita hidup rukun. Apa ukurannya bahwa kita rukun atau tidak? Dalam batas mana kita disebut rukun dan tidak? Dalam hal ini pendidikan sains atau sains sendiri membantu memperjelas, sehingga nilai karakter yang umum itu lebih mudah dilakukan oleh orang. Sains menjadikan hukum moral menjadi lebih membumi dan real. Misalnya larangan, tidak boleh memberikan obat yang menyakitkan. Sains, menambahkan dari pengetahuannya, obat dosis sekian itu membahayakan jiwa, sedangkan sebelumnya tidak. Sains dapat juga membantu memberikan informasi yang jelas, faktual, sehingga penentuan moral menjadi lebih mudah (Martin, 1991: 104). Jadi sains dapat membantu dengan memberikan ukurannya yang lebih jelas.

Pendidikan moral membantu sains menjadi lebih bernilai

Nilai moral juga mempunyai relevansi bagi kemajuan pendidikan sains. Dua hal dapat kita sebutkan disini, yaitu:

 Moral memberikan rambu atau arah penelitian, penemuan, atau pengembangan sains, sehingga tidak melakukan penemuan dan penelitian yang membahayakan hidup manusia. Misalnya, nilai moral membatasi pembuatan cloning manusia dan pembuatan senjata beracun.

 Moral memberikan masukan untuk menerima atau menolak proses sains. Misalnya, untuk tidak menggunakan obat X untuk percobaan manusia; membuat percobaan binatang diluar moral kebinatangan (Martin, 1991: 108-107).

(9)

Kompetensi Dosen IPA dalam Pendidikan Karakter

Untuk membantu anak didik mengembangkan nilai karakter tadi, jelas dosen sains dituntut untuk menguasai beberapa hal seperti:

 Dosen menguasai sains dengan baik. dosen sains harus menguasai bahannya, sehingga dapat mengajarkan dengan benar.

 Dosen dapat melihat nilai karakter yang dapat ditanamkan lewat sains tadi. Dosen sains juga mengerti nilai-nilai moral atau karakter apa yang ada di balik bahan-bahan sains yang diajarkan.

 Dosen mampu untuk menyampaikannya kepada mahasiswa. Dosen sains mampu membantu mahasiswa menggali nilai karakter dalam topik sains itu. Dosen sains harus mampu membantu mahasiswa berefleksi, mencari makna dari bahan yang dipelajari.

 Dosen sains menjadi teladan nilai. Dosen sains sendiri harus menghidupi nilai karakter yang ada, sehingga mahasiswa dapat melihat teladan yang dekat dan dapat meniru. Ini terutama sangat penting pada mahasiswa di tingkah pendidikan lebih rendah.

Pembelajaran IPA dan Penguatan Karakter Mahasiswa

Proses pembelajarannya menekankan pada pemberian pengalaman langsung untuk mengembangkan kompetensi agar menjelajahi dan memahami alam sekitar secara ilmiah. Pendidikan IPA diarahkan untuk inquiri dan berbuat sehingga dapat membantu peserta didik untuk memperoleh pemahaman yang lebih mendalam tentang alam sekitar. Beberapa pendekatan dan model yang dapat digunakan dalam membelajarkan IPA antara lain: inquiri, Salingtemas, CTL, dan Ketrampilan Proses Sains (KPS).

Model pembelajaran inquiri merupakan pembelajaran yang menekankan pada proses berpikir kritis dan analitis untuk mencari dan menemukan sendiri jawaban dari suatu masalah yang dipertanyakan. Pembelajaran dengan model

inquiri dapat mengembangkan berbagai karakter, antara lain berfikir kritis, logis, kreatif, dan inovatif, memiliki rasa keingintahuan yang tinggi, menghargai pendapat orang lain, santun, jujur, dan tanggungjawab. Penemuan tersebut sejalan dengan temuan lainnya yang menyatakan bahwa inkuiri dapat meningkatkan aktivitas belajar dan hasil belajar siswa (Laksana, 2017).

(10)

dengan melakukan aktivitas ilmiah. Tahap penjelasan dan solusi dilakukan dengan menyelesaikan masalah/ menganalisis masalah yang telah dilontarkan, melakukan tindakan nyata berdasarkan atas kepedulian terhadap lingkungan. Tahap pengambilan tindakan dilakukan dengan menggunakan pengetahuan dan keterampilan untuk mengambil keputusan yang bisa berupa ajakan untuk berbuat, membuat laporan lisan/ tertulis.

Contextual Teaching Learning (CTL) merupakan suatu proses pendidikan yang holistik dan bertujuan memotivasi mahasiswa untuk memahami makna materi pelajaran yang dipelajarinya dengan mengkaitkan materi tersebut dengan konteks kehidupan mereka sehari-hari (konteks pribadi, sosial, dan kultural) sehingga mahasiswa memiliki pengetahuan/keterampilan yang secara fleksibel dapat diterapkan (ditransfer) dari satu permasalahan ke permasalahan lainnya. Melalui pembelajaran ini dapat memperkuat karakter mahasiswa untuk memiliki sifat religius (menumbuhkan rasa syukur terhadap ciptaan Tuhan), rasa ingin tahu yang tinggi, lebih peduli terhadap lingkungan, kreatif, dan tanggungjawab.

Pendekatan keterampilan proses merupakan keseluruhan keterampilan ilmiah yang terarah (baik kognitif maupun psikomotor) yang dapat digunakan untuk menemukan suatu konsep atau prinsip atau teori, untuk mengembangkan konsep yang telah ada sebelumnya, ataupun untuk melakukan penyangkalan terhadap suatu penemuan. Ketrampilan proses dalam pembelajaran IPA diarahkan untuk menemukan suatu produk IPA yang berupa fakta, konsep, prinsip, dan hukum. Karakter yang diperkuat melalui pembelajaran ini antara lain: rasa ingin tahu, jujur, toleransi, disiplin, kerja keras, kreatif, mandiri, komunikatif, dan tanggung jawab.

Melalui pendekatan scientific dengan tahapan 5M (mengamati, menanya, menalar, mencoba, membentuk jejaring), pada tahap bertanya merupakan kegiatan dosen untuk mendorong, membimbing, dan menilai kemampuan berfikir mahasiswa. Bagi mahasiswa, kegiatan bertanya adalah bagian penting dalam melaksanakan pembelajaran berbasis inkuiri, yaitu menggali informasi, mengkonfirmasi apa yang sudah diketahui, dan mengarahkan pada aspek yang belum diketahui. Pembelajaran yang menggunakan pertanyaan-pertanyaan untuk menuntun mahasiswa mencapai tujuan belajar dapat mengembangkan berbagai karakter, antara lain berfikir kritis dan logis, rasa ingin tahu, menghargai pendapat orang lain, santun, dan percaya diri.

SIMPULAN

(11)

DAFTAR RUJUKAN

Dinatha, N.M. (2017). Kesulitan Belajar Siswa dalam Mata Pelajaran IPA Terpadu. Jurnal Pendidikan Dasar Nusantara. 2 (2): 214-223.

Koesoema, A.D. (2007). Pendidikan Karakter. Jakarta: Grasindo.

Laksana, D.N L. (2017). The Effectiveness of Inquiry Based Learning for Natural Science Learning in Elementary School. Journal of Education Technology. Vol. 1 (1) pp. 1-5.

Laksana, D.N.L., Degeng, I.N.S., & Dasna, I.W. (2017). Why Teachers Faces Misconception: A Study Toward Natural Science Teachers in Primary Schools. European Journal of Education Studies, 3(7), 667-679.

Martin, M. (1991). Science Education and Moral Education. Dalam History, Philosophy, and Science Teaching, hal. 102-113; ed. Michael Matthews. Toronto & NY: OISE Press, Teacher College Press.

Khusniati, M. (2012). Pendidikan Karakter melalui Pembelajaran IPA. Jurnal Pendidikan IPA di Indonesia, 2(1), 204-210.

Pusat Kurikulum dan Perbukuan Balitbang Kemdiknas. (2011). Pedoman Pelaksanaan Pendidikan Karakter: Berdasarkan Pengalaman di Satuan Pendidikan Rintisan. Jakarta: Puskur Balitbang.

Puskur (Pusat Kurikulum). Bidang Penelitian dan Pengembangan. (2010).

Pengembangan Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa. Pedoman Sekolah. Jakarta: Kementerian Pendidikan Nasional.

Ryan, K. & Lickona, T. (1992). Character Development in Schools and Beyond.

Washington, D.C.: The Council for Research in Values and Philosophy.

Suparno, P. (2005). Gagasan, sikap, dan praktek guru IPA dan Matematika Yayasan Santa Ursula terhadap pendidikan nilai. Widya Dharma, Vol 16, No 1, Oktober 2005. Hal 1-14.

Suparno, P. (2012). Sumbangan Pendidikan Fisika terhadap Pembangunan Karakter Bangsa. Yogyakarta: LPPM, USD.

Referensi

Dokumen terkait

bahwa berdasarkan Pasal 127 huruf h dan Pasal 156 ayat (1) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, Retribusi Pelayanan

Dari perbandingan yang telh dilakukan, didapat kan hasil (1) jumlah variabel yang diubah pada kedua fase yaitu sebanyak 1 variabel; (2) perubahan arah kedua fase

Deskripsi hasil Penelitian Tindakan Kelas ,yang bezjudul “Peningkatan Aktivitas Siswa Dalam Pelajaran Ilmu Pengerahuan Sosial Dengan MenggunakanMedia Gambar Pada

Dalam pengelolaan sumberdaya alam, khususnya pengelolaan daerah aliran sungai (DAS) kelembagaan adalah produk sosial yang muncul sebagai akibat proses-proses politik untuk mengatur

Fakta ini melahirkan pemikiran bahwa terdapat kemungkinan untuk meniru kondisi yang sama bagi daerah-daerah yang tidak memiliki akses terhadap tanah vulkanik

Menurut Assauri (1999:4) mendefinisikan pemasaran: “Sebagai usaha menyediakan dan menyampaikan barang dan jasa yang tepat kepada orang-orang yang tepat pada tempat dan waktu

diketahui bahwa tidak terdapat pengaruh interaksi antara lama waktu stimulasi listrik dengan jenis otot sapi Pesisir (P>0,05) terhadap nilai. cooking loss daging sapi

setelah angsuran atas pinjaman terhadap bank tersebut dilunasi maka tidak dikenakan margin atas pembiayaan murabahah yang dilakukan pada awal akad. Yang dikenakan