• Tidak ada hasil yang ditemukan

Masalah Minoritas dan Integrasi Nasional

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Masalah Minoritas dan Integrasi Nasional"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

Masalah Minoritas dan Integrasi Nasional

Intoleransi Agama dalam Negara Demokrasi:

Marginalisasi Terhadap Kaum Syi’ah

Oleh:

Ni Made Resita Yuana1221105005

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

JURUSAN HUBUNGAN INTERNASIONAL / SEMESTER III

UNIVERSITAS UDAYANA

(2)

Latar Belakang

Pemerintah Indonesia dikatakan gagal alam melindungi kaum minoritas dari kekerasan dan intoleransi atas nama agama. Identitas masyarakat Indonesia yang beragam telah tercederai. Hal ini disebabkan oleh maraknya gerakan fundamentalisme pasca terjadinya reformasi. Reformasi memberikan keterbukaan yang seluas-luasnya kepada publik untuk menyampaikan pendapat secara terbuka. Namun hal ini tidak diimbangi dengan kebebasan yang bertanggung jawab. Toleransi pun menjadi hal yang langka. Kebebasan membuat orang-orang buta dan berlaku seenak mereka. Intoleransi menjadi hal yang tidak bisa dihindari. Mengaku paling baik diantara semuanya menjadikan beberapa gerakan fundamental mehalalkan segala cara dalam menghapuskan siapa dan apapun yang menurut mereka salah. Meski harus mengatasnamakan agama dalam aksinya.

Dalam salah satu laporan dari Human Right Watch yang berjudul “Atas Nama Agama: Pelanggaran terhadap Minoritas Agama di Indonesia,” merekam kegagalan pemerintah Indonesia dalam mengatasi gerombolan-gerombolan militan, yang lakukan intimidasi dan serang rumah-rumah ibadah serta anggota-anggota minoritas agama. Mereka makin hari makin agresif. Sasaran mereka termasuk Ahmadiyah, Kristen maupun Muslim Syiah.

Sayangnya, pejabat daerah sering menyikapi pembakaran atau kekerasan dengan justru menyalahkan korban minoritas. Para pelaku menerima hukuman ringan atau sama sekali tak dihukum. Dalam beberapa kasus, pejabat daerah menolak menjalankan keputusan Mahkamah Agung yang memberikan hak kepada jemaat minoritas untuk membangun rumah ibadah mereka. Pejabat pusat sering membela kebebasan beragama namun ada juga —termasuk Menteri Agama Suryadharma Ali— yang justru mengeluarkan pernyataan diskriminatif.

(3)

Pembahasan

Di tengah-tengah kondisi masyarakat yang plural di Indonesia, ternyata segelintir orang telah mencederai kedamaian dengan melakukan kekerasan atas nama agama. Sikap diskriminatif ini bahkan dilayangkan oleh sekelompok orang pada kelompok lainnya. Padahal realitasnya, mereka ada di dalam satu kepercayaan yang sama, yaitu Islam. Kelompok Syi’ah adalah kelompok Islam yang minoritas di Indonesia. Keberadaan mereka saat ini tengah dikecam, dikatakan sebagai kelompok dengan kepercayaan yang sesat. Kepercayaan mereka yang agaknya berbeda dengan Islam pada umumnya disinyalir sebagai dasar kuat untuk menyebut mereka sesat.

Syi’ah sendiri berasal dari etimologi bahasa arab yang bermakna pembela dan pengikut seseorang. Keberadaan kaum minoritas Islam ini bermula sejak 632 M, saat Rasulullah Nabi Muhammad Saw (Tuhan umat Islam), wafat. Disaat keadaanya sedang sekarat, Nabi sempat melakukan khotbah terakhirnya, dalam khotbah tersebut, beliau mengalungkan sorbannya kepada salah seorang sahabatnya, Ali bin Abi Thalib. Hal ini kemudian memunculkan spekulasi bagi sebagian kaum, khususnya pengikut Ali bin Abi Thalib (yang kemudian menyebut diri mereka sebagai Syi’ah Ali bin Abi Thalib), bahwa Nabi telah mewariskan kepemimpinanya kepada Ali bin Abi Thalib. Sedangkan disaat melaksanakan sholat terakhirnya, Nabi menunjuk Abu Bakar sebagai imam sholat pada saat itu. Spekulasi bagi kaum lainnya pun muncul bahwa Abu Bakarlah yang dipercayai Nabi untuk memegang kepemimpinan selanjutnya. Keraguan akan maksud Nabi tersebut memunculkan masing-masing spekulasi bagi masing – masing sahabat dan para pengikut Nabi.

(4)

ia wafat. Maka timbullah kepercayaan yang berbeda dan memulai perpecahan di dalam kaum Islam.

Abu Bakar yang beberapa tahun kemudian meninggal, meninggalkan wasiat bahwa yang akan ditunjuk sebagai penggantinya adalah Umar. Hal ini kemudian dipandang tidak adil lagi bagi pengikut Syi’ah yang fundamentalis.

Anggapan bahwa Syi’ah menganggap murtad kafir Sayidina Abu Bakar, S. Umar bin Khattab, S. Utsman bin Affan, karena dianggap merebut “hak” kekhalifahan dari S. Ali bin Abi Thalib menjadi alasan mengapa kepercayaan ini di anggap sesat. Umat Syi’ah yang dikatakan suka melaknat tiga khalifah pertama tersebut, dari cintanya yang berlebihan kepada S. Ali dianggap telah menyimpang dari ajaran Islam yang diturunkan oleh Nabi.

Protes Syi’ah Ali sebagai kaum minoritas inilah yang menyebabkan mereka memisahkan diri dari mayoritas masyarakat yang mendominasi kala itu. Dengan demikian, terwujudlah dua golongan di dalam tubuh masyarakat Islam yang baru ditinggal oleh pemimpinnya. Akan tetapi, pihak mayoritas yang tidak ingin realita itu diketahui oleh para musuh luar Islam, mereka mengeksposkan sebuah berita kepada masyarakat bahwa pihak minoritas itu adalah penentang pemerintahan yang resmi. Akibatnya, mereka dianggap sebagai musuh Islam.

Alasan – alasan di atas yang kemudian membuat umat Islam memiliki keyakinan masing-masing lalu menciptakan perbedaan di antara mereka. Bagi kaum Islam pada umumnya, Syi’ah adalah ajaran Islam yang melenceng, yang melakukan ibadah dengan cara yang salah. Tidak seperti di Iran dimana Syi’ah Ali merupakan mayoritas namun Syi’ah di Indonesia sendiri adalah mayoritas yang bahkan di anggap tidak benar dan sesat. Perbedaan keyakinan membuat kaum ini kemudian menutup diri, meski tetap menjaga dan berpegang teguh pada keyakinan yang telah mereka miliki.

(5)

yang dilakukan oleh oknum tidak bertanggung jawab yang mengatasnamakan agama. ustadz Tajul Muluk selaku pemuka Syi’ah di Sampang tidak hanya difitnah namun juga disiksa secara fisik dan mentalnya. Perjuangan kaum Syi’ah di Sampang terus berlangsung hingga saat ini. Hak – hak dasar mereka terasa dirampas oleh oknum – oknum tidak bertanggung jawab. Bahkan ada beberapa kepala keluarga yang dilarang memiliki surat-surat berharga (KTP, ijazah, kartu keluarga, dan yang lain) bahkan hingga sekarang tidak pernah diproses oleh pemerintah daerah.

Tidak hanya di Sampang, di hampir seluruh daerah dimana kaum Syi’ah bermukim, kekerasan dan ancaman akan terus mereka hadapi. Satu satunya cara adalah dengan bersembunyi. Dalam Syi’ah, mereka kerap kali melakukan taqiyah, yaitu menyembunyikan identitas kepercayaan mereka ketika di depan umum. Hal ini dilakukan bukan semata-mata untuk melindungi diri sendiri namun untuk menjaga kepercayaan yang mereka miliki dan untuk menjaga perdamaian disekitar mereka.

Stigma dan diskriminasi yang didapat kaum Syi’ah sebenarnya tidak akan menjadi berlarut ketika tidak ada oknum yang memprovokasi keadaan. Sebagian orang percaya, kaum ini memiliki hak mutlak untuk memilih keyakinan mereka sendiri (pasal 28E Ayat (2) dalam UUD 1945 yang menyatakan bahwa setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya). Namun ada juga sebagian orang yang merasa kaum ini tidak pantas menjalankan kepercayaan mereka.

Sebagaimana isu-isu keagamaan lainnya, tentu isu Syi’ah tak lepas dari pantauan dan tanggung jawab Majelis Ulama Indonesia (MUI) sebagai lembaga yang berwenang mengeluarkan fatwa keagamaan Islam. Dan MUI telah mengeluarkan fatwa tentang Syi’ah. MUI Pusat sejak tahun 1984 telah memfatwakan bahwa ajaran Syi’ah berbeda dengan Sunni dan agar umat mewaspadai ajaran Syi’ah. Kemudian pada tahun 2012, MUI Jawa Timur telah mengeluarkan fatwa tentang kesesatan ajaran Syi’ah (Keputusan Fatwa Majelis Ulama Indonesia Provinsi Jawa Timur dengan No. Kep-01/SKF-MUI/JTM/I/201). Fatwa ini juga dipercaya sebagai salah satu pemicu maraknya pemberontakan di Sampang terhadap kaum Syi’ah.

(6)

teori ini mampu menggambarkan kondisi kaum Syi’ah. Syi’ah sebenarnya adalah juga sama-sama pemeluk islam yang realitasnya adalah agama mayoritas di Indonesia. Namun kepercayaan yang berbeda mengakibatkan mereka sendiri di kucilkan dan terdiskriminasi oleh kaum Islam pada umumnya. Sebagai pemeluk kepercayaan Syi’ah, banyak pihak yang meyakini bahwa Syi’ah memiliki identitas yang berbeda dengan Islam pada umumnya.

Sikap pemerintah dalam mengatasi kasus dan tragedi yang melibatkan bahkan menyakiti kaum Syi’ah agaknya dapat dikatakan lemah. Pemerintah saat ini terkesan hanya mau mendengarkan mereka yang mayoritas dan mengenyampingkan minoritas. Menurut kelompok ethnopolitical di dunia, yang salah satunya adalah aktif dalam politik agama minoritas, penting untuk menyadari bahwa banyak konflik agama kontemporer di dalam dan sekitar pinggiran dunia Islam timbul dari penegasan kembali nilai-nilai Islam tradisional yang dirasa bertentangan dengan nilai-nilai dan praktik-praktik pemerintahan. Hal ini menimbulkan prinsip umum bahwa perbedaan agama membuat intensitas khusus dalam konflik antara masyarakat ketika sebuah kelompok dominan ada untuk memaksakan aturan berdasarkan keyakinan agama pada orang lain.

(7)

Kesimpulan

Perbedaan yang seharusnya menyatukan bangsa ini malah jatuhnya menjadi senjata intoleransi yang siap pakai. Mereka yang merasa benar akan melakukan apa saja untuk kemudian menghentikan kepercayaan orang lain yang mereka anggap salah. Entah dengan cara yang halus bahkan hingga kekerasan. Secara verbal maupun non verbal.Dibalik itu semua, ada kaum yang tersiksa yang menjadi minoritas di negeri mereka sendiri hanya karena kepercayaan dan identitas berbeda yang mereka yakini. Letak kesalahan yang tidak jelas selalu menjadi senjata untuk menyakiti bahkan menyingkirkan mereka. Diam tidak menyelesaikan masalah, namun bersuara pun akan menjadi boomerang bagi diri mereka sendiri.

Realitas bahwa negara yang ‘membebaskan keyakinan’ warganya ini agaknya gagal dalam menerapkan demokrasi yang dijunjung dan didewakan selama ini. Bagaimana tidak? Hanya untuk beribadah saja sudah di anggap sebagai suatu kesalahan yang bahkan sesat dimata orang. Maka, masih ada ketakutan untuk berbicara. Masih ada ketakutan untuk menunjukkan identitas diri. Meski kemudian akses untuk kehidupan yang layak menjadi sulit didapatkan, bahkan untuk melakukan hak dan kewajiban menjadi hal yang sulit ketika penerimaan untuk kaum minoritas saja sangat mustahil untuk dilakukan.

Saran

Intoleransi bukanlah budaya. Intoleransi adalah bom waktu yang akan meledak jika sudah tidak mungkin lagi untuk ditahan. Untuk kemudian melindungi diri sendiri akan sulit jika hanya mereka yang mayoritas saja yang diutamakan, yang diberikan hak dan kewajibannya. Pluralitas yang dikandung bangsa ini seharusnya menjadi warna yang tidak dapat dihapuskan begitu saja. Maka tentu saja, toleran adalah satu-satunya alat yang bisa melawan intoleransi tersebut.

(8)

sejarah yang bahkan tidak dimiliki dan hidup di negara ini (sejarah Syi’ah yang selama ini berkembang di Indonesia adalah berdasarkan sejarah dari Saudi Arabia), maka konflik agama ini tidak akan pernah ada habisnya.

Daftar Pustaka

http://edukasi.kompasiana.com/2013/08/11/benarkah-syiah-sesat-ini-dia-fatwa-mui-tentang-syiah-580281.html

http://edukasi.kompasiana.com/2013/04/18/mempelajari-rahasia-ajaran-syiah-dari-sumber-aslinya-547879.html

http://www.al-shia.org/html/id/shia/moarrefi/2.htm

http://muslim.or.id/manhaj/sejarah-kemunculan-syi.html

http://www.hrw.org/es/node/113931

http://hankam.kompasiana.com/2013/05/22/benarkah-indonesia-sangat-intoleran-pada-kaum-minoritas-562253.html

http://www.hidayatullah.com/berita/nasional/read/2014/02/07/16164/ijabi-bertanyalah-kepada-ulama-syiah.html#.U52wAHZcRYM

http://www.satuislam.org/humaniora/kronologi-tragedi-kemanusiaan-syiah-sampang/

Referensi

Dokumen terkait

bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 16 ayat (1) Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 13 tahun 2010 tentang Pedoman Teknis Tata Cara Pencalonan Pemilihan Umum Kepala Daerah dan

Fungsi pengangkutan ialah memindahkan barang atau orang dari suatu tempat ke tempat yang lain dengan maksud untuk meningkatkan daya guna dan nilai. Di sini

pembuangan dan itu mengakibatkan dampak bagi lingkungan di sekitar tetapi sekarang banyak ditemukan cara atau solusi untuk menangani dampak-dampak yang dihasilkan oleh limbah,

(Mbecek itu kalau pemahaman saya kumpulan, kesadaran, sumbangan, bantuan. Asal mula ada mbecek di sini apa tidak dari Jawa di bawa kesini mbak, itu kan adat nya

Persoalan cabai merah sebagai komoditas sayuran yang mudah rusak, dicirikan oleh produksinya yang fluktuatif, sementara konsumsinya relatif stabil. Kondisi ini menyebabkan

Tabel 3 menunjukkan terdapat perbedaan yang bermakna secara statistik pada perubahan skor tingkat pengetahuan, sikap dan perilaku ibu serta tingkat kecukupan energi,

Akta di bawah tangan ini seperti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1880 Kitab Undang- Undang Hukum Perdata tidak akan dapat mempunyai kekuatan pembuktian keluar terhadap

Kesehatan dan efek lingkungan dari pestisida, modifikasi genetik, dan unsur kimia yang digunakan dalam pengembangan produk pertanian, berbagai hal inilah yang mendorong