• Tidak ada hasil yang ditemukan

makalah kuliah terkait dengan kaidah fiq

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "makalah kuliah terkait dengan kaidah fiq"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

ABSTRAK

Qawa’id al-ahkam atau qawa’id fiqhiyyah adalah kaidah-kaidah umum yang di atasnya dibangun sejumlah hukum syari’at. Salah satu kaidah fiqhiyyah adalah

I’malu al-kalam awla min ihmalihi. Kaidah ini oleh sebagian ulama ditambahkan kedalam kaidah kubra yang semula hanya lima.

(2)

A. PENDAHULUAN

Khazanah keilmuan Islam memiliki dimensi yang beragam dan luas. Keragaman dan keluasannya itu membuka kesempatan kepada para ulama untuk mendalami salah satu dimensinya. Itu tanpa harus mengabaikan kelimuan lain karena adanya hubungan antara masing-masing ilmu.

Al-Qawa’id al-fiqhiyyah adalah salah satu keilmuan Islam yang memiliki peran yang sangat penting dalam mewarnai kefaqihan seorang ulama. Kaidah fikih adalah asas yang di atasnya dibangun sejumlah besar hukum Islam. Adalah gambaran yang jelas bagi ide-ide dan ketetapan-ketetapan fiqih amali pada umumnya. Adalah hukum yang menyajikan sejumlah hukum lain yang berkaitan yang tidak kita temukan nashnya dalam al-Quran maupun sunnah.

Qa’idah fiqhiyyah sendiri adalah intisari dari dalil al-Quran dan Sunnah ada yang secara langsung ada pula yang hasil pengkajian ulama fikih. Namun begitu tidak mengurangi nilai dari ilmu ini. Urgensinya bisa kita lihat dari apa yang dikatakan oleh Muhammad Shidqi al-Bourno,1

إ

ﻖﯾﺮﻄﻟا ﮫﻣﺎﻣأ ﺮﯿﻨﺗ ﺔﯾﻮﻗ ﺔﯿﮭﻘﻓ ﺔﻜﻠﻣ ﺚﺣﺎﺒﻟا ﺪﻨﻋ نﻮﻜﺗ ﺔﯿﮭﻘﻔﻟا ﺪﻋاﻮﻘﻟا ﺔﺳارد ن

ﺔﻌﺳاﻮﻟا ﮫﻘﻔﻟا باﻮﺑأ ﺔﺳارﺪﻟ

طﺎﺒﻨﺘﺳاو ﺔﯿﻋﺮﺸﻟا مﺎﻜﺣﻷا ﺔﻓﺮﻌﻣو ةدﺪﻌﺘﻤﻟاو

ةرﺮﻜﺘﻤﻟا ﻞﺋﺎﺴﻤﻟاو ةدﺪﺠﺘﻤﻟا ﻊﺋﺎﻗﻮﻠﻟ لﻮﻠﺤﻟا

Di antara kaidah fiqih yang sangat memengaruhi kefikihan seorang ulama

adalah kaidah,

ﮫﻟﺎﻤھإ ﻦﻣ ﻰﻟوأ مﻼﻜﻟا لﺎﻤﻋا

Meskipun para ulama belum memasukan kaidah ini ke dalam kaidah kubra dan belum membahasnya secara mendalam hingga kita lihat hanya sedikit kaidah-kaidah turunannya dalam kitab-kitab klasik. Namun kenyataannya, kaidah ini memiliki cabang yang sangat banyak.

(3)

Selain itu juga, sebelum masuk pada kaidah-kaidah fiqh lain, sikap para ulama dalam memperlakukan teks al-Quran maupun hadits harus melewati kaidah ini terlebih dahulu. Baru kemudian mengambil satu kaidah fikih lain. Maka wajar jika Syaikh Najib Mahmud Musthafa dalam tesisnya memasukan kaidah ini ke dalam kaidah kubra yang semula berjumlah lima. Ditambah lagi, semua ulama sepakat dengan kaidah ini.2

Terlepas dari di mana kedudukan kaidah ini di antara kaidah-kaidah

fiqhiyyah lainnya, kaidah ini merupakan bagian dari khazanah keilmuan Islam yang terpola dalam akal pikiran para fuqaha.

Makalah ini akan coba membahas lebih lanjut tentang kaidah ini mulai dari ta’rif, penerapan, cabang-cabang sampai pada kasus-kasus yang dikecualikan dari kaidah ini. Insya Allah Ta’ala.

B. Definisi dan Penerapan Kaidah 1. Definisi Kaidah

“menerima satu pernyataan lebih utama dari pada mengabaikannya.”

Secara sintaksis kebahasaan, kaidah tersebut adalah jumlah ismiyyah atau

nominative tense yang terdiri dari tarkib izhafi (frase nomina)

مﻼﻜﻟا

لﺎﻤﻋإ

yang merupakan mubtada atau satu fungsi dalam kalimat yang diterangkan kedudukannya oleh kata atau frase berikutnya yaitu kata

ﻰﻟوأ

yang merupakan isim tafdhil dari kata

لوﻻا

yang artinya lebih utama atau lebih didahulukan.

Ada dua variable yang mungkin kita artikan secara terpisah dari kaidah itu, yaitu I’malu al-kalam dan ihmalu al-kalam.3

I’malu al-kalam adalah

يﻮﻐﻠﻟا هﺎﻀﺘﻘﻣ ﺐﺴﺣ اﺪﯿﻔﻣ ﺎﻤﻜﺣ هؤﺎﻄﻋإ

Adapun ihmalu al-Kalam adalah

(4)

ﮫﻧﻮﻤﻀﻣو هﺎﻀﺘﻘﻣ ءﺎﻐﻟﺈﺑ ﮫﯿﻠﻋ ﺔﯿﻠﻤﻋ ةﺮﻤﺛ ﺐﺗﺮﺗ مﺪﻋ

Adapun maksud keseluruhan dari kaidah itu adalah bahwa kita tidak layak

mengabaikan satu pernyataan/perkataan jika itu bisa atau memiliki makna. Itu karena tidak mungkin seorang yang berakal mengatakan sesuatu tanpa merujuk pada satu makna, baik itu makna hakiki maupun makna majazi, asalkan cocok4.

Ketika satu perkataan diabaikan padahal memiliki makna baik hakiki atau yang lainnya maka itu merupakan satu kesia-siaan,5 dan itu hal yang mustahil ada dalam nash syari’ah. Namun ketika memang tidak ada makna yang mungkin disimpulkan dari perkataannya itu, maka tentu perkataan itu tidak perlu dianggap.6

Setiap kata yang berasal dari nash syari’at atau bahkan dalam kehidupan sehari-hari pun, jika itu merujuk pada salah satu makna yang memungkinkan maka akan ada konsekuensi hukumnya. Namun jika maknanya itu dibawa kepada makna yang lain seperti makna kiasan, maka konsekuensi hukum dari makna hakikinya tidak ada.7

Cukup bagi kita satu penegasan dari al-Allamah al-Kurabisi, beliau berkata:

ﮫﻟﺎﻤﻋإ نﺎﻜﻣإ ﻊﻣ ﻆﻔﻠﻟا ءﺎﻐﻟإ زﻮﺠﯾ ﻻ

2. Penerapan Kaidah

(5)

majazi atau makna selain makna anak kandungnya yaitu anak angkat atau cucunya. Mengartikan kata anak dalam perkataan tadi dengan arti majazi itu lebih baik dari pada mengabikannya.8

Contoh lain misalnya, seseorang berkata tentang keledai miliknya dan istrinya, “salah satunya thaliq” maka jatuh thalak. Lain halnya jika ucapan itu disampaikan pada dua orang perempuan, istrinya dan perempuan lain. Maka tidak jatuh thalak.

Demikian juga halnya jika ada orang yang bersumpah “Saya tidak akan memakan sesuatu dari pohon kurma ini.” Kemudian ketika dia ternyata memakan buah dari dari pohon kurma itu atau memakan madu yang diambil dari pohon kurma itu maka dia telah melanggar sumpahnya. Itu karena pada dasarnya pohon kurma tidak dimakan batang pohonnya tetapi sesuatu yang dihasilkan olehnya.9

Kasus lain misalnya, ada seseorang yang bersumpah untuk tidak memakan sesuatu yang dari bejana tertentu, maka maksudnya adalah segela sesuatu yang dimasak dalam bejana tersebut.

Demikian seterusnya sampai pada satu kesimpulan makna, baik makna hakiki maupun makna majazi. Namun ketika memang keduanya tidak memungkinkan maka kita boleh mengabaikan ucapan itu. Misalnya seseorang berkata kepada istrinya: “ini anak perempuanku.” maka tidak berubah menjadi mahram baik umurnya lebih tua atau pun lebih muda.

Baik dengan makna hakiki maupun dengan makna majazi, sulit bagi kita untuk memahami kalimat tersebut. Seolah itu menjadi sebuat teka-teki. Ketika

ini terjadi, maka jika kita mengusahakan mencari makna perkataannya itu sama saja dengan melakukan kesia-siaan.

Perkataan tersebut tidak mungkin diartikan dengan arti sebenarnya karena tidak mungkin istrinya itu anaknya jika umurnya lebih tua, dan jika umurnya lebih

muda tentu kepastian yang sudah diketahui oleh kebanyakan bahwa istrinya memiliki nasabnya sendiri. Sedangkan kita punya satu kaidah

ﺮﯿﻏ ﻖﺣ ﻲﻓ راﺮﻗإ ﺮﺒﺘﻌﯾ ﻻ ﮫﺴﻔﻧ ﻖﺣ ﻲﻓ راﺮﻗإ

8

(6)

Adapun bahwa perkataan itu tidak bisa diartikan dengan arti majazi itu karena perkataan “Ia anakku” itu diucapkan dengan maksud mentalak (talak maharrim) sedangkan kata “anakku” tidak bisa dipinjam untuk menunjukan makna talak yang merupakan salah satu hak dalam pernikahan.10

Sebagai sebuah catatan, Imam as-Subki berkata bahwa kaidah ini menyamakan antara i’mal dan ihmal jika dikaitkan dengan satu perkataan. Namun ketika i’mal dipilih dengan mencoba memahami perkataan tersebut dan nyatanya malah membuatnya merasa bahwa perkataan perkataan tadi lebih merupakan satu alibi untuk menyamarkan maksud penuturnya maka mengabaikan perkataan tadi lebih didahulukan.11

C. Kaidah Cabang dan Aplikasinya

Kaidah-kaidah fiqhiyyah yang merupakan cabang dari kaidah ini adalah sebagai berikut:

1.

ﺔﻘﯿﻘﺤﻟا

مﻼﻜﻟا

ﻲﻓ

ﻞﺻﻷا

Al-Ashlu disini ialah makna yang rajih bagi pendengar, yaitu si pendengar menarik ucapan si penutur kepada makna hakiki. Adapun hakiki di sini adalah isim fa’il yang bermakna maf’ul, yaitu sifat bagi sesuatu yang dibuang, yaitu kata

al-kalimah, maknanya adalah lafazh yang digunakan untuk menunjukan makna

leksikalnya. Seperti kata ‘singa’ yang menunjukan jenis hewan buas.12

Kebalikan dari makna hakiki adalah makna majazi. Yaitu lafazh yang digunakan dengan makna yang bukan makna leksikalnya karena ada satu alasan yang menghalangi penggunaan makna leksikalnya. Contohnya, menggunakan kata cahaya untuk makna ilmu atau untuk makna islam.

Makna kaidah ini menurut terminology ilmu fikih, bahwa menyikapi perkataan, baik itu nash, atau akad dan sumpah seseorang, atau pun yang lainnya pada dasarnya mesti menarik perkataan tadi pada makna hakikinya/makna leksikalnya sepanjang tidak ada qarinah yang lebih menguatkan makna majazinya.

(7)

Contohnya, jika si A berkata kepada si B, “Saya hadiahkan barang ini untukmu.” Lalu si B mengambil barang itu dan pergi. Kemudian tiba-tiba si A memanggil kembali dan menjelaskan maksudnya, bahwa yang dia maksud adalah menjual barang namun menggunakan kata menghadiahkan, lantas meminta bayarannya. Maka alasannya ini tidak dibenarkan. Itu karena arti asal hibbah adalah memindahkan kepemilikan tanpa ada pengganti berupa harga.

Lain halnya jika si A tadi berkata, “Saya hadiahkan barang ini dengan harga dua dinar.” kata “hadiah di sana bisa diartikan menjual karena ada bukti perkataan dua dinar yang merupakan harga pengganti dari barang tersebut.

Contoh lain, jika seseorang mewakafkan hartanya untuk anak-anaknya, maka baik anak laki-laki maupun anak perempuan, keduanya available. Karena kata anak itu meliputi anak laki-laki dan perempuan.

Jika seseorang misalnya berkata, “Rumah ini milik Pak Udin”, dan perkataan tersebut merupakan ikrar kepemilikan, maka ketika suatu saat dia berkata, bahwa maksudnya adalah ditempati oleh Pak Udin, maka penjelasnnya ini tidak perlu dihiraukan.

2.

زﺎﺠﻤﻟا ﻰﻟإ رﺎﺼﯾ ﺔﻘﯿﻘﺤﻟا ترﺬﻌﺗ اذإ

ŏ

Al-haqiqah ialah al-ashlu al-rajih al-muqaddam fi al-I’tibar. Adapun majaz

adalah cabang dari haqiqah. Karena majaz itu berada di balik makna hakikah, itu artinya ketika satu kata memiliki dua kemungkinan makna antara hakiki dan majazi makna yang diambil adalah makna hakiki.

Contohnya, makna hakiki dari lafazh nikah menurut madzhab Hanafi adalah al-wath`u atau bercampur, bukan akad. Dalilnya

M

J I H G F E D C B A @

K

N M L

R Q P O

L

ءﺎﺴﻨﻟا :

٢٢

Atas dasar itu maka menurut hanfiyyah menikahi perempuan yang pernah berzina dengan ayahnya itu haram. Sedangkan menurut jumhur artinya di sana adalah akad.

(8)

membatalkan nasabnya. Artinya pernyataan tadi adalah majaz dari kata “memerdekakan.”

Ada syarat yang membolehkan makna hakiki ditarik ke makna majazi yaitu adanya qarinah yang menghalangi penggunaan makna hakiki, seperti kemustahilan pemakaian makna hakiki li ta’adzur, atau ketika jika diartikan dengan makna asalnya itu bertentangan dengan syari’at atau dengan urf.

Contoh penerapan kaidah ini, misalnya seseorang berkata: “saya wakafkan harta ini untuk anakku, padahal semua orang tahu bahwa dia tidak memiliki anak, yang ada adalah cucunya. Maka makna anak di sana ditarik ke makna cucu, sebagai majaz.

Contoh lain, misalnya seseorang berkata kepada wanita ajnabi, “Jika aku menikahi mu maka bagimu adalah ini dan itu, menurut madzhab hanafi perkataan ini harus ditarik kepada majaz. Itu karena kata nakaha arti asalnya adalah al-wath’u

atau jima’. Sedangkan dalam kalimat di sana yang dimaksud dalah akad nikah. Kalimat tersebut mesti diartikan akad nikah (arti majazi menurut hanafi) karena kalau diartikan dengan makna hakiki tentu akan bertentangan dengan syari’at, yaitu haramnya berbuat zina.

Contoh terakhir misalnya, jika seseorang bersemupah, “Saya tidak akan memakan sesuatu dari tepung ini”, maka tentu bukan tepung dalam arti hakiki, karena memakan tepung itu tidak dikenal menurut adat. Ada juga memakan sesuatu yang terbuat dari tepung itu, semisal roti. Maka pernyataan tadi mesti diartikan dengan arti majazi, yaitu tidak akan memakan sesuatu yang terbuat dari tepung tersebut.

3.

ﻞﻤﮭﯾ مﻼﻜﻟا لﺎﻤﻋإ رﺬﻌﺗ اذإ

Makna dari kaidah ini adalah ketika memang satu pernyataan tidak bisa dipahami dengan benar, baik dengan makna hakiki maupun makna majazi, karena mungkin terkadang hanya berupa omong kosong atau candaan, maka kita tidak perlu menganggap ucapan tersebut.

Di antara sebab satu pernyataan boleh diabaikan adalah:

(9)

- Jika pernyataannya tidak dikenal dalam syari’at. Misalnya seseorang berkata kepada salah seorang dari dua istrinya, “engkau saya thalak dengan thalak empat.” Kemudian si istri berkata, “bagiku cukup talak tiga.” Lantas dia melanjutkan “Yang satu lagi tambahan buat istriku yang lain.” Maka pernyataan talak ini tidak available kepada kedua istrinya tadi. Itu karena talak empat tidak tidak dikenal dalam syari’at dan lebih merupakan gurauan/kesia-siaan. Ketika itu dianggap hanya sebatas

laghwun maka tentu pernyataan keduanya pun batal.

- Ketika satu pernyataan bertentangan dengan kenyataan yang tampak. Misalnya seseorang yang mengaku-ngaku telah memotong tangan si A, tapi kenyataannya si A masih memiliki kedua tangannya, atau seseorang yang mengaku telah membunuh si B, tapi nyatanya si B masih hidup. - Ketika pernyataan tersebut menyalahi syari’at. Misalnya seseorang

memutus bahwa saudara perempuannya mewarisi dua kali lipat bagiannya dari warisan yang ditinggalkan oleh ayah mereka.

Pernyataan-pernyataan yang termasuk pada kenyataan-kenyataan di atas dianggap sebagai satu laghwun dan tidak berimplikasi apa pun. 13

4.

ﮫﻠﻛ ﺮﻛﺬﻛ أﺰﺠﺘﯾ ﻻ ﺎﻣ ﺾﻌﺑ ﺮﻛذ

Redaksi kaidah ini pada asalnya adalah,

ﮫﻠﻛ دﻮﺟﻮﻛ ﮫﻀﻌﺑ دﻮﺟﻮﻓ أﺰﺠﺘﯾ ﻻ ﺎﻣ نأ ﻞﺻﻻا

Imam Az-Zarkasi membuat redaksi lain dari kaidah ini, yaitu:

ﺾﯿﻌﺒﺘﻟا ﻞﺒﻘﯾ ﻻ ﺎﻣ

ﮫﻀﻌﺑ طﺎﻘﺳإو ﮫﻠﻛ رﺎﯿﺘﺧﺎﻛ ﮫﻀﻌﺑ رﺎﯿﺘﺧإ نﻮﻜﯾ

ﮫﻠﻛ طﺎﻘﺳﺈﻛ

Ibnu al-Hudzail al-Hanafi tidak menyepakati kaidah ini. Menurut beliau ketika memang ada satu pernyataan semacam ini, maka pernyataan tersebut tidak perlu dianggap.

Makna dari kaidah ini adalah apabila ada memang satu pernyataan itu lebih baik diambil dari pada diabaikan, maka penyebutan satu bagian dari

(10)

segala sesuatu yang tidak memiliki bagia-bagian, hukumnya sama dengan menyebutkan keseluruhannya. Tapi ini bisa dua kemungkinan, apakah diterima pernyataan tersebut dengan menarik ba’dhu kepada kulli, atau diabaikan saja pernyataan tersebut seperti kata Ibnu al-Hudzaili. Namun berangkat dari kaidah dasar, bahwa menghiraukan satu ucapan lebih baik dari pada mengabaikannya.

Contoh dari kaidah ini, misalnya, jika seseorang berkata kepada istrinya, “saya talak kamu dengan setengah talak.” Maka itu sama artinya dengan satu talak penuh. Misal lain, seseorang yang berkata ingin mengurus seperempat dari diri si B, maka artinya itu mengurus diri si B sepenuhnya.

Contoh lain, seseorang yang mengizinkan hamba sahayannya dalam satu macam perniagaan, artinya dia mengizinkan untuk keseluruhan transaksinya.

Misalnya lagi, seseorang yang berkata, “Saya mesti shalat shubuh satu raka’at”, maka hukumnya mesti mengerjakan dua raka’at.

Contoh lain, jika seorang perempuan yang bersih dari haid diakhir waktu shalat yang hanya menyisakan waktu yang hanya cukup untuk mandi, dan ketika ia shalat akan masuk waktu muharramah, maka dia mesti shalat dan shalatnya sah.

Permasalahan yang dikecualikan dari kaidah ini di antaranya,

- Setengah dari diriku adalah penanggung bagimu . Maka akad kafalahnya tidak sah.

- Jika seseorang memangkas setengah/sebagian dari had pelaku qadzaf (memfitnah perempuan yang terhormat), maka pernyataan tersebut tidak berlaku.

- Jika seseorang berkata kepada istrinya, anti ‘alayya kadhahri ummi maka ini jelas jatuh hukum zhihar. Namun ketika seseorang hanya berkata, anti

ka ummi (kamu seperti ibu ku), maka itu tidak berlaku zhihar karena

maksud dari pernytaan itu adalah misalnya kesopanannya, kasih sayangnya, atau yang lainnya.

5.

ﺔﻟﻻد وأ ﺎﺼﻧ ﺪﯿﯿﻘﺘﻟا ﻞﯿﻟد ﻢﻘﯾ ﻢﻟ ﺎﻣ ﮫﻗﻼﻃإ ﻰﻠﻋ يﺮﺠﯾ ﻖﻠﻄﻤﻟا

(11)

وا ﻲﻧﺎﻌﻤﻟا ﺾﻌﺑ ﮫﯿﻓ ﺐﺟﻮﺗ ﻲﺘﻟا دﻮﯿﻘﻟا ﻦﻋ دﺮﺠﻣ ﺮﻣأ ﻰﻠﻋ لد ﺎﻣ ﻮھ

دوﺪﺤﻟا

.

Yaitu kata yang menunjukan pada sesuatu yang tidak memiliki batasan-batasan yang mungkin membantasi maknanya.

Adapun Para ulama ushul mendefinisikan

ﻦﯿﯿﻌﺗ ﻻو لﻮﻤﺷ ﻼﺑ ﮫﺴﻨﺟ ﻲﻓ ﻊﺋﺎﺸﻟا ﻆﻔﻠﻟا ﻮھ

Lafazh yang umum menurut zatnya, tanpa mencakup seluruhnya dan tanpa menetapkan satu ketentuan.

Sedangkan al-muqayyad adalah

دﻮﯿﻘﻟا ﻚﻠﺗ ﻦﻣ ءﻲﺸﺑ ادﺪﺤﻣ نﻮﻜﯾ يﺬﻟا ﻮھ

Yaitu lafazh yang dibatasi dengan satu kategori.

Dari dua definisi di atas kita sudah langsung bisa membedakan antara lafazh yang muthlak dan lafazh yang muqayyad, yaitu terletak pada ada atau tidaknya pembatas. Jika kita mengatakan “kuda” maka itu termasuk lafazh Muthlak, artinya bisa kuda mana saja, sedangkan jika kita katakana “kuda putih” maka termasuk muqayyad, artinya kata putih membatasi makna kuda yang konsekuensinya kuda hitam, coklat dan yang selain putih tidak masuk kategori.

Setelah kita mengetahi definisi dan contoh dari lafazh muthlaq dan muqayyad, kita beralih ke makna dari kaidah ini sendiri, yaitu, lafazh yang muthlaq diamalkan sesusai dengan kemuthlakannya sampai ada dalil yang mengikatnya dengan satu kategori baik itu berupa teks/nash maupun dilalah

al-hal.

Contoh dari kaidah ini, misalnya

(12)

karena ketika menyuruh si hamba sahayanya, si tuan tersebut tidak menentukan warna kuda yang harus dibeli.

- Akad sewa atau pinjam yang muthlaq berimplikasi pada dibolehkannya segala bentuk pemanfaatan dari barang sewaan atau pinjaman tersebut selama tidak melampaui batas.

Sebagaimana dijelaskan di atas bahwa pembatasan itu bisa dengan nash

atau sesuatu yang tersurat/terucapkan, seperti “Jual ini dengan 20 dirham” maka tidak boleh lebih murah dari pada itu. Namun demikian ada satu kondisi yang memang secara tidak tersirat sudah menggiring satu lafazh menjadi muqayyad. Ini yang sebelumnya disebut taqyid bi dilalah baik itu urf atau kondisi. Misalnya seorang pelajar ilmu agama meminta temannya membelikan buku tanpa menyebutkan buku apa, namun tentu maknanya bukan sembarang buku, tapi buku agama. Demikian halnya bahwa menyuruh seseorang membelikan satu benda dibatasi dengan harga pasarannya, tidak kemahalan.

6.

ﺮﺒﺘﻌﻣ ﺐﺋﺎﻐﻟا ﻲﻓ و ﻮﻐﻟ ﺮﺿﺎﺤﻟا ﻲﻓ ﻒﺻﻮﻟا

Sebelum kita memahami makna dari kaidah ini, ada baiknya kita memahami makna dari beberapa kata yang menyusun kaidah tersebut. Pertama, al-washfu atau sifat, yaitu satu kondisi yang berlaku atau melekat pada sesuatu yang disifatinya. Kedua al-laghwu atau sia-sia, maknanya disini adalah batil atau tidak memiliki hukum atau konsekuensi apa pun. Ketiga, al-Mu’tabar yaitu dianggap atau dihitung.

Adapun makna keseluruhannya adalah menyebutkan sifat sesuatu yang ada ketika itu dengan adanya isyarat pada sesuatu itu maka penyebutan sifat itu tidak berlaku. Itu karena isyarat langsung pada sesuatu itu lebih kuat dari pada penyebutan sifat-sifatnya. Adapun penyebutan sifat tentang sesuatu yang memeng tidak ada ketika itu mesti dianggap karena itu bisa menghilangkan kesamaran atau agar lebih definitive.

(13)

adanya kejelasan, yaitu dengan menyebutkan ciri-cirinya. Ini berlaku memang jika sesuatu itu tidak ada atau diisyaratkan dengan isyarat yang tidak jelas.

Jika dalam keadaan sesuatu itu tidak ada, kemudian disifati dengan sifat yang ternyata ada perbedaan maka akad itu bisa batal.

Contoh dari kaidah ini di antaranya:

- Jika seseorang berkata “saya jual kuda putih ini.” Sambil menunjuk pada kuda tersebut yang ternyata kudanya hitam, maka ketika si pembeli menerima jual belinya sah, ada pun penyebutan warna kudanya tidak perlu dianggap. Akan tetapi jika kudanya itu tidak ada ketika transaksi berlangsung maka ketika disebutkan kudanya itu berwarna putih yang ternyata warnanya hitam, maka si pembeli boleh memilih.

- Jika seseorang berkata, “saya jual batu permata ini” kemudian diketahui ternyata itu adalah pecahan kaca, maka akad jual-belinya batal meskipun dikuatkan dengan isyarat.

- Jika seseorang menjual sapi yang bisa diambil susunya, namun ternyata susu sapi itu kering maka si pembeli bisa memilih antara meneruskan transaksi atau membatalkannya.

Batasan kaidah:

Kaidah ini terbatas pada sifat yang dimaksdukan untuk menjelaskan suatu benda, bukan sifat yang menjadi syarat

misalnya dalam sumpah atau yang mengarah pada satu sumpah. Contoh yang pertama, seseorang berkata kepada istrinya, “Jika

kamu masuk rumah dengan berkendaraan, maka kamu akan aku talak.” Pernyataan ini berlaku saat hadir maupun tidak. Itu karena

(14)

setelah kurma itu kering atau seteleh anggur itu menjadi kismis, sumpahnya itu tidak batal.14

7.

باﻮﺠﻟا ﻲﻓ دﺎﻌﻤﻟﺎﻛ وأ باﻮﺠﻟا ﻲﻓ دﺎﻌﻣ لاﺆﺴﻟا

Makna dari kaidah ini ialah, jika satu pertanyaan yang rinci dijawab dengan kata-kata semisal ‘ya’, ‘tentu saja’, dan ‘betul sekali’ maka artinya terkandung dalam pernyataan tadi. Itu karena secara semantic kata-kata tadi bergantung pada rincian yang terkandung dalam pertanyaannya. Misalnya, si A bertanya keada si B, “apakah kamu mengambil uang si C.” si B menjawab, “Ya.” Maka artinya si B mengambil uang si C.

Contoh lain, jika seseorang bertanya, “Apakah kamu yang membunuh si pulan.” Maka dia menjawab, “iya” maka artinya dia benar telah membunuh si pulan.

Catatan/koreksi:

Terkadang maksud dari satu pertanyaan di sini lebih umum dari apa yang dipertanyakannya, yaitu meliputi berita dan perintah. Contohnya,

- Jika seseorang menjual barang orang lain dan kemudian

menyampaikannya pada si pemilik barang, maka ketika berita itu sampai kepadanya lantas dia menyetujuinya, maka jual-belinya sah. - Jika seseorang berkata kepada si pulan, “Aku jual rumahku kepadamu”. maka jika si pulan berkata, “ya.” Itu artinya si pulan ridho dengan jual beli tersebut.

- Jika seorang suami berkata kepada istrinya, “urusanmu bukan urusanku lagi.”, dia meniatkannya untuk talak, maka kemudian si istri tadi mentalak dirinya sendiri dengan talak tiga atau dengan berkata, “aku talak diriku sendiri” tanpa menyebutkan talak, maka talak tiganya sah. 15

(15)

8.

ﺪﯿﻛﺄﺘﻟا ﻦﻣ ﻰﻟوأ ﺲﯿﺳﺄﺘﻟا

Makna kaidah secara bahasa adalah, pertama al-asas adalah dasar/pondasi. Kedua, ta’kid adalah penguat. Adapun menurut istilah,

kaidah ini bermakna, bahwa sesungguhnya satu ucapan jika bisa ditafsirkan apakah itu bermakna kalimat baru atau sebagai penguat

dari ungkapan sebelumnya, maka yang utama adalah menggiringnya pada makna ungkapan baru.

Contoh dari kaidah ini antara lain,

- Jika seseorang berkata keada istrinya, kamu “saya talak, saya talak, saya talak,” sebanyak tiga kali, maka menurut Abu Hanifah dan Malik jatuh talak tiga. Sedangkan menurut Imam Ahmad dan asy-Syafi’i tidak jatuh talak kecuali satu.

- Jika seseorang bersumpah tidak akan melakukan satu pekerjaan pada satu majlis, kemudian di majlis lain bersumpah lagi, maka ketika ia ternyata melanggar sumpahnya itu, dia mesti membayar dua kafarat sumpah jika sumpah yang kedua diniatkan sebagai sumpah baru bukan sebagai penguat. Tapi jika sebagai penguat

maka kafaratnya cukup untuk satu sumpah.16

D. Penutup

Demikian paparan tentang kaidah I’malu al-kalam awla min ihmalihi

berikut cabang-cabangnya. Dari sana kita bisa mengambil beberapa kesimpulan umum.

1. Menggunakan satu perkataan sebagai satu ketetapan itu lebih utama dari pada mengeyampingkan perkataan itu itu.

2. Jika satu perkataan memang tidak bisa dipahami makna hakikinya, maka usahakan mengambil makna majazinya. Jika tetap tidak mampu maka perkataan tersebut tidak usah dihiraukan.

3. Mengulang satu pernyataan, dihukumi menyatakan sesuatu sejumlah pernyataannya.

(16)

Referensi

Dokumen terkait

Özal'ın cenazesi törenine katılan Azerbaycan Cumhurbaşkanı Elçibey ile Ermenistan Cumhurbaşkanı Petrosyan, dün Ankara'da biraraya geldi.. İki lider Türkiye'nin,

Dari tabel 1 dan 2 terlihat bahwa sensitivitas bakteri Escherichia coli penyebab infeksi saluran kemih terhadap kotrimoksazol generik maupun paten pada 17

Jika anda membutuhkan konstruksi yang membutuhkan daya ikat lebih baik maka sekrup adalah pilihan yang lebih baik daripada paku membutuhkan konstruksi yang membutuhkan daya ikat

baik secara lisan maupun tulisan. 3.4 Menerapkan kaidah tentang bentuk, makna dan fungsi dari susunan gramatikal )لصتلماَ،لصفنلما(َيمضلا dalam menyususn

Dengan demikian kayu bangkirai, kapur, punak, bintangur dan meranti dapat digunakan sebagai batang utama pada sambungan geser ganda dengan baut diameter 6,4; 7,9 dan

• Susunan dari sejumlah n antena-antena sejenis, dapat diperhatikan sebagai susunan sejumlah n sumber isotropik dengan catuan arus dan fasa tertentu, sehingga memiliki Diagram Arah

Praktisi Public Relations di Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia (Kemenlu) yakni Bapak Michael Tene dan Ibu Kusuma Habir, beliau merupakan pihak yang menjalankan

Skripsi yang berjudul “Pelaksanaan Layanan Bimbingan dan Konseling Berbasis Full Day Di SMPIT Ukhuwah Banjarmasin” ditulis oleh Muhammad Mustagfirin, telah diujikan dalam Sidang