• Tidak ada hasil yang ditemukan

TUGAS KAPITA SELEKTA HUKUM PIDANA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "TUGAS KAPITA SELEKTA HUKUM PIDANA"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

TUGAS KAPITA SELEKTA HUKUM PIDANA

Dosen: Prof. HARKRISTUTI HAKRISNOWO, SH., MH., PhD. E-mail:www.harkristuti_harkrisnowo@yahoo.com

MENGGAGAS STANDARISASI PEMIDANAAN DI

INDONESIA

Oleh : MOHAMAD SHOLEH, SH.

NPM : 1106041564

Absen : 11

Kelas : Praktek Peradilan (MA)

REVIEW:

Artikel V Saxena1 berjudul Positive and Negatives of Federal Sentencing Guidelines pada pokoknya memperkenalkan lembaga penghukuman yang ada di Negara Federasi AS bernama Komisi Pedoman Penghukuman. Pada pokoknya untuk penentuan penjatuhan pidana bagi pelaku kejahatan, tidak semata ditentukan oleh hakim, melainkan juga oleh sebuah komisi yang terdiri dari 7 orang. Hakim menentukan level tindak pidananya yang sudah ada ketentuan pidana sesuai levelnya. Dari pidana level tersebut dapat diperberat atau diperingan beberapa level bila terdapat hal-hal yang memberatkan atau meringankan. Komisi pemidanaan berdasarkan suatu penelitian terhadap kondisi kejiwaan dan sosial pelaku juga memberikan penilaian. Hasil penilaian hakim dan komisi tersebut kemudian dipanelkan untuk memperoleh jumlah bulan atau tahun lamanya pidana yang harus diterima oleh terdakwa.2

1 Saxena, V. “Positive and Negatives of Federal Sentencing Guidelines” Published August 27, 2008. Lihat juga: Jim Beck dan Elaine Wolf, “Revising Federal Sentencing Policy: Some Consequences of Expanding Eligibility for Alternative Sanctions.”

(2)

Untuk percobaan, pembantuan, pengulangan atau perbarengan sudah memiliki jumlah sekornya tersendiri. Hanya saja untuk perbutan berlanjut ketentuannya adalah tinggal mengalikan hasil pemidanaan dengan jumlah pengulangannya, sehingga dapat terjadi jumlah bulan atau tahun yang sangat lama. Akibatnya kemungkinan seorang tinggal di penjara semakin panjang yang menyebabkan tingkat hunian di penjara menjadi meningkat, yang menimbulkan anggaran pembiayaannya juga semakin membesar.3

PENGATURAN PEMIDANAAN DI INDONESIA

Apabila hakim menjatuhkan putusan penjatuhan pidana,4 pidana

yang dijatuhkan dalam peristiwa konkret tidak harus persis sama dengan ancaman pidana yang tercantum dalam rumusan tindak pidana yang didakwakan. Atas dasar ancaman pidana yang tercantum dalam rumusan tindak pidana yang didakwakan itu, hakim dapat menimbang-nimbang penerapan pidana yang dipandang paling tepat dan adil bagi terpidana. 5 Dalam menjatuhkan pidana hakim tetap

3 Ibid.

4 Penjatuhan pidana (straftoemeting) merupakan perwujudan pidana dalam bentuk konkret. Penjatuhan pidana hanya dapat dilakukan oleh hakim yang memeriksa perkara pidana yang bersangkutan. Dalam pemeriksaan perkara pidana ada tiga kemungkinan putusan hakim, kemungkinan yang pertama adalah putusan bebas (vrijspraak), dijatuhkan apabila hasil pemeriksaan sidang pengadilan kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan. Kemungkinan kedua, putusan penglepasan dari segala tuntutan hukum (onslag van recht vervolgleging); dijatuhkan apabila pengadilan berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa terbukti, tetapi perbuatan itu tidak merupakan suatu tindakan pidana. Kemungkinan ketiga putusan penjatuhan pidana; dijatuhkan dari hasil pemeriksaan sidang pengadilan, hakim berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan.

(3)

terikat pada jenis pidana yang tercantum dalam tindak pidana yang terbukti dilakukan terpidana. Akan tetapi disamping keterikatan itu, hakim mempunyai kebebasan untuk menentukan berat ringannya pidana yang dipandang paling adil dan tepat.6

Kebebasan hakim untuk memilih berat ringannya pidana terbatas antara minimum umum dan dan maksimum khusus. Maksimum khusus adalah pidana maksimum yang tercantum dalam rumusan tindak pidana yang bersangkutan. Setiap putusan pengadilan, baik putusan bebas, penglepasan dari segala tuntutan hukum, maupun penjatuhan pidana, harus disertai bahan pertimbangan yang menjadi dasar hukum dan alasan putusan itu. Keharusan demikian ini tercantum dalam pasal 23 ayat (1) Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009, tentang Kekuasaan Kehakiman sebagai berikut: “Segala putusan pengadilan selain harus memuat alasan-alasan dan dasar-dasar putusan itu, juga harus memuat pula pasal-pasal tertentu dari peraturan-peraturan yang bersangkutan atau suber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili.”7

Dalam perkara pidana, putusan pengadilan yang berupa, penjatuhan pidana harus disertai pula faktor-faktor yang digunakan

rumusan pasal 360 ayat 2 KUHP sebagai berikut “Barangsiapa karena kealpaan menyebabkan orang lain luka-luka sedemikian rupa, sehingga timbul penyakit atau halangan menjalankan pekerjaan jabatan atau pencaharian selama waktu tertentu diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana kurungan paling lama enam bulan atau denda paling tinggi tiga ratus rupiah”

6 Berdasarkan rumusan pasal 360 ayat 2 KUHP ini hakim mempunyai kebebasan memilih salah satu dari tiga pidana yang diancamkan, yaitu penjara atau kurungan atau denda. Sedangkan ketentuan hukum pidana di luar KHUP ada yang menganut sistem kumulatif yaitu emjatuhkan dua jenis pidana pokok sekaligus, dan ada pula yang yang menganut sistem alternatif kumulatif artnya hakim boleh memilih salah satu pidana yang diancamkan atau boleh juga menjatuhkan dua jenis pidana pokok sekaligus. Contoh ketentuan pidana yang menganut sistem komulatif adalah pasal 6 ayat 1a Undang-undang Tindak pidana Ekonomi.

(4)

untuk mempertimbangkan berat ringannya pidana, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 197 ayat (1) huruf f KUHAP.8 Namun, faktor

yang memberatkan dan meringankan terdakwa, tidak ada ketentuannya dalam KUHAP. Oleh karena itu, pedoman untuk mepertimbangkan hal-hal yang memberatkan dan meringankan pidana harus dicari dalam peraturan-peraturan lain, doktrin atau dalam praktek peradilan. Memorie van Toelichting dari Strafwetboek

8 Republik Indonesia. Undang-Undang Tentang Hukum Acara Pidana. UU Nomor 8 Tahun 1981(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209). Pasal 197 KUHAP:

(1) Surat putusan pemidanaan memuat

a. Kepala putusan dituliskan berbunyi: DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA.

b. Nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama, dan pekerjaan terdakwa,

c. Dakwaan, sebagaimana terdapat dalam surat dakwaan,

d. Pertimbangan yang disusun secara ringkas mengenai fakta dan keadaan beserta alat pembuktian yang diperoleh dari pemeriksaan di sidang yang menjadi dasar penentuan kesalahan terdakwa.

e. Tuntutan pidana sebagaimana terdapat dalam surat tuntutan.

f. Pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar pemidanaan atau tindakan dan pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar hukum dari putusan, disertai keadaan yang memberatkan dan meringankan terdakwa.

g. Hari dan tanggal diadakannya musyawarah majelis hakim kecuali perkara diperiksa oleh hakim tunggal.

h. Pernyataan kesalahan terdakwa, pernyataan telah terpenuhi semua unsur dalam rumusan tindak pidana diserta dengan kualifikasinya dan pemidanaan atau tindakan yang dijatuhkan.

i. Ketentuan kepada siapa biaya perkara dibebankan dengan menyebutkan jumlahnya yang pasti dan ketentuan mengenai barang bukti.

j. Keterangan bahwa seluruh surat ternyata palsu atu keterangan dimana letak kepalsuan itu, jika terdapat surat autentik dianggap palsu.

k. Perintah supaya terdakwa ditahan atau tetap dalam tahanan atau dibebaskan.

l. Hari dan tanggal putusan, nama peneuntut umum, nama hakim yang memutus dan nama panitera.

(2) Tidak terpenuhinya ketentuan dalam ayat (1) huruf a,b,c,d,e,f,j,k, dan l, pasal ini mengakibatkan putusan batal demi hukum.

(5)

tahun 1886, memberikan pedoman untuk mempertimbangkan berat ringannya pidana sebagai berikut:

“Dalam menetukan tinggi rendahnya pidana, hakim untuk tiap kejahatan harus memperhatikan keadaan objektif dan subjektif dari tindak pidana yang dilakukan, harus memperhatikan perbuatan dan pembuatnya. Hak-hak apa saja yang dilanggar dengan danya tindak pidana itu? Kerugian apakah yang ditimbulkan? Apakah kejahatan yang dipersalahkan kepadanya itu langkah pertama ke arah jalan yang sesat ataukah merupakan suatu perbuatan yang merupakan suatu pengulangan dari watak jahat yang sebelumnya sudah tampak?”9

Pedoman-pedoman itu untuk mempertimbangkan berat ringannya pidana tersebut, pada umumnya menghendaki agar pertimbangan-pertimbangan yang meliputi keadaan-keadaan objektif tindak pidana yang dilakukan dan keadaan subjektif petindak.10

Pedoman untuk mepertimbangkan berat ringanya pidana itu amat penting bagi hakim, sehingga hakim dapat menjatuhkan pidana secara lebih memadai dan sejauh mungkin dapat dihindari diskresi

9 Soedarto (1977:55) menyatakan bahwa antara minimum dan maksimum harus ditetapkan seluas-luasnya, sehingga meskipun semua pertanyaan di atas itu dijawab dengan merugikan terdakwa, maksimum pidana yang biasa itu sudah mamadai. Pedoman dari M.v.T. dapat dipergunakan sebagai pedoman untuk mempertimbangkan berat ringannya pidana dalam praktik peradilan di Indonesia, karena KUHAP kita pada prinsipnya merupakan salinan dari Strafwetboek tahun 1886.

(6)

penjatuhan pidana. Oleh karena itu, kiranya baik sekali apabila dalam KUHAP dicantumkan rumusan tentang pedoman pemidanaan.11

DISPARITAS PEMIDANAAN DI INDONESIA

Disparitas pidana tidak hanya terjadi di Indonesia, yang termasuk keluarga hukum Eropa Continental, yang tidak mengenal sistem presedent. Hampir seluruh Negara di dunia menghadapi masalah ini. Disparitas pidana yang disebut sebagai the disturbing disparity of sentencing mengundang perhatian lembaga legislatif serta lembaga lain yang terlibat dalam sistem penyelenggaraan hukum pidana untuk memecahkannya. Lebih spesifik dari pengertian itu, menurut Harkristuti Harkrisnowo disparitas pidana dapat terjadi dalam beberapa kategori yaitu:

a. Disparitas antara tindak tindak pidana yang sama;

b. Disparitas antara tindak tindak pidana yang mempunyai tingkat keseriusan yang sama;

c. Disparitas pidana yang dijatuhkan oleh satu majelis hakim; d. Disparitas antara pidana yang dijatuhkan oleh majelis hakim

yang berbeda untuk tindak pidana yang sama;12

11 Dalam perundang-undangan Indonesia juga terdapat ketentuan yang merupakan petunjuk ke arah pertimbangan berat ringannya pidana. Ketentuan demikian tercantum dalam Pasal 27 ayat (2) Undang-undang Tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman sebagai berikut: ”Dalam mempertimbangkan berat ringanya pidana, hakim wajib memeperhatikan pula sifat-sifat yang baik dan jahat dari tertuduh”. Penjelasan pasal ini berbunyi sebagai berikut: “Sifat-sifat yang jahat maupun yang baik dari tertuduh wajib diperhatikan hakim dalam mempertimbangkan pidana yang akan dijatuhkan. Keadaan-keadaan pribadi seseorang perlu diperhitungkan untuk memberi pidana yang setimpal dan seadil-adilnya. Keadaan pribadi tersebut dapat diperoleh dari keterangan orang-orang dari lingkungannya, rukun tetangga, dokter ahli jiwa dan sebagainya.” Sayangnya dalam ketentuan ini tidak dapat disertai rincian mengenai faktor-faktor apa saja yang dapat dipergunakan sebagai bahan untuk mempertim-bangkan berat ringanya pidana.

12 Harkristuti Harkrisnowo, “Rekonstruksi Konsep Pemidanaan: Suatu Gugatan terhadap Proses Legislasi dan Pemidanaan di Indonesia”, dalam majalah KHN Newsletter, Edisi April 2003, (Jakarta: KHN, 2003) hal.28. Dalam salah satu tulisannya menyatakan bahwa:

(7)

Dari pendapat Harkristuti Harkrisnowo itulah dapat kita temukan wadah dimana disparitas tumbuh dan menyejarah dalam penegakan hukum di Indonesia. Disparitas tidak hanya terjadi pada tindak pidana yang sama, tetapi juga pada tingkat keseriusan dari suatu tindak pidana, dan juga dari putusan hakim, baik satu majelis hakim maupun oleh majelis hakim yang berbeda untuk perkara yang sama. Tentu saja kenyataan mengenai ruang lingkup tumbuhnya disparitas ini menimbulkan inkonsistensi di lingkungan peradilan.

Disparitas pidana erat kaitannya dengan hakikat dari pidana itu sendiri. Pendapat mengenai definisi pidana dari para sarjana yang pernah dikemukakan oleh Muladi dan Barda Nawawi dalam bukunya teori-teori dan kebijakan pidana sebagai berikut:

1. Prof. Sudarto: yang dimaksud dengna pidana ialah penderitaan yang sengaja dibebankan kepada orang yang melakukan perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu. 2. Prof. Ruslan Saleh: Pidana adalah reaksi delik, dan ini berujud

suatu nestapa yang sengaja ditimpakan Negara pada pembuat delik itu

3. Fitzgerald: Pidana adalah penderitaan yang dijatuhkan oleh pemerintah terhadap suatu pelanggaran atau kesalahan.

4. H.L.A. Hart menyatakan bahwa pidana harus:

a. Mengandung penderitaan atau konsekuensi-konsekuensi lain yang tidak menyenangkan;

b. Dikenakan pada seseorang yang benar-benar atau disangka benar-benar melakukan tindak pidana;

c. Dikenakan berhubungan suatu tindakan yang melanggar ketentuan hukum;

d. Dilakukan dengan sengaja oleh orang selain pelaku tindak pidana

e. Dijatuhkan dan dilaksanakan oleh penguasa sesuai dengan ketentuan suatu sistem hukum yang dilanggar oleh tindak pidana.

(8)

5. Alf Ross menyatakan bahwa pidana adalah reaksi sosial yang: a. Terjadi berhubungan dengan adanya pelanggaran terhadap

suatu aturan hukum;

b. Dijatuhkan dan dilaksanakan oleh orang-orang yang berkuasa sehubungan dengan tertib hukum yang dilanggar; c. Mengandung penderitaan atau paling tidak

konsekuensi-konsekuensi lain yang tidak menyenangkan; d. Menyatakan pencelaan terhadap si pelanggar.13

Dari beberapa pengertian dan ruang lingkup pidana tersebut, oleh Muladi disimpulkan bahwa pidana mengandung unsur-unsur sebagai berikut:

a. Pidana pada hakekatnya merupakan suatu pengenaan penderitaan atau nestapa atau akibat lain yang tidak menyenangkan;

b. Pidana diberikan dengan sengaja oleh orang atau badan yang mempunyai kekuasaan (oleh yang berwenang);

c. Pidana dikenakan pada seseorang yang telah melakukan tindak pidana menurut undang-undang.14

Dari kesimpulan tersebut dapatlah kita menerima bahwa pada hakikatnya pidana yang berupa derita memang sepatutnya dijatuhkan pada sesorang yang melakukan tindak pidana yang diatur menurut Undang-Undang. Penjatuhan pidana itu merupakan konsekuensi wajar bagi pelaku tindak pidana, hanya saja masalah timbul jika terhadap para pelaku tindak pidana sejenis dijatuhkan hukuman yang berbeda sehingga menimbulkan anggapan bahwa pengadilan telah berlaku tidak adil. Akan tetapi jika ditinjau secara ideologis sebenarnya disparitas pidana tersebut dapat dibenarkan sebagai pencerminan salah satu karakteristik aliran modern (positivisme school) yang

13 Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-teori dan Kebijakan Pidana, (Bandung: Alumni, 1984), hal. 54.

(9)

berkembang pada abad ke-19, yakni pidana harus disesuaikan dengan penjahat.

Menurut muladi, disparitas pidana itu dimulai dari hukum sendiri. Didalam hukum positif Indonesia, hakim mempunyai kebebasan yang sangat luas untuk memilih jenis pidana (straafsoort) yang dikehendaki sehubungan dengan penggunaan sistem alternatif didalam pengancaman pidana dalam Undang-Undang. Contoh system alternatif dapat dilihat dari ketentuan pasal 188 KUHP, yang bunyinya adalah sebagai berikut:

“Barang siapa karena kesalahan (kealpaan) menyebabkan kebakaran, ledakan atau banjir, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana kurungan paling lama satu tahun atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah, jika karena perbuatan itu timbul bahaya umum- bagi barang, jika karena perbuatan itu timbul bahaya bagi nyawa orang lain, atau jika karena perbuatan itu mengakibatkan orang mati.”15

PERLUNYA PEDOMAN PEMIDANAAN

Faktor lain yang dapat menyebabkan timbulnya disparitas pidana adalah tidak adanya pedoman pemidanaan bagi hakim dalam menjatuhkan pidana. Prof. Sudarto mengatakan bahwa pedoman pemberian pidana akan memudahkan hakim dalam menetapkan pemidanaannya, setelah terbukti bahwa terdakwa telah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya. Pedoman pemberian pidana

(10)

itu memuat hal-hal yang bersifat objektif mengenai hal hal yang berkaitan dengan si pelaku tindak pidana sehingga dengan memperhatikan hal-hal tersebut penjatuhan pidana lebih proporsional dan lebih dipahami mengapa pidananya seperti hasil putusan yang dijatuhkan oleh hakim. Pendapat Sudarto16 ini dibenarkan pula oleh

Muladi,17 karena masalahnya bukan menghilangkan disparitas secara

mutlak, tetapi disparitas tersebut harus rasional. Hal ini sesuai pula dengan salah satu butir dari hasil simposium IKAHI 1975 yang menyatakan:

“Untuk menghilangkan adanya perasaan-perasaan tidak puas terhadap putusan hakim pidana yang pidananya berbeda sangat menyolok untuk pelanggaran hukum yang sama, maka dirasa perlu untuk mengadakan usaha-usaha agar terdapat penghukuman yang tepat dan serasi. Akan tetapi uniformitas mutlak bukanlah yang dimaksudkan, oleh karena bertentangan dengan prinsip kebebasan hakim, yang perlu hanyalah keserasian pemidanaan dengan rasa keadilan masyarakat dan tidak merugikan pembangunan bangsa dengan mempertimbangkan rasa keadilan si terhukum. Untuk keserasian ini diperlukan suatu pedoman/ indikator dalam bentuk yang dinamakan checking points yang disusun setelah mengadakan simposium atau seminar, baik yang bersifat regional maupun nasional dengan mengikutsertakan ahli-ahli yang disebut behavior scientist.”18

Hasil munas IKAHI tersebut sudah dimasukkan dalam Konsep RUU KUHP. Dalam rangka usaha untuk mengurangi disparitas pidana, maka didalam konsep rancangan KUHP yang baru Buku I tahun 1982, pedoman pemberian pidana itu diperinci sebagai berikut:

“Dalam pemidanaan hakim mempertimbangkan: a. Kesalahan pembuat;

b. Motif dan tujuan dilakukannya tindak pidana;

16 Ibid, hal. 20

17 Muladi-Arief, Op.cit, hal. 68

(11)

c. Cara melakukan tindak pidana; d. Sikap batin pembuat;

e. Riwayat hidup dan keadaan social ekonomi pembuat;

f. Sikap dan tindakan pembuat sesudah melakukan tindak pidana;

g. Pengaruh pidana terhadap masa depan pembuat;

h. Pandangan masyarakat terhadap tindak pidana yang dilakukan.”

Selain pedoman pemidanaan tersebut, juga disebutkan hal-hal yang dapat dijadikan sebagai alasan yang meringankan dan alasan yang memberatkan. Namun dilihat dari isinya tidak saling menafikan, sehingga ada kemungkinan dalam setiap kasus, ada alasan yang meringankan dan ada pula alasan yang memberatkan. Dalam RUU KUHP terakhir tahun 2008 pedoman pemidanaan tersebut menjadi 11 item. Pasal 55 ayat (1) sebagai berikut:

“Dalam pemidanaan hakim wajib mempertimbangkan: a. kesalahan pembuat;

b. motif dan tujuan dilakukannya tindak pidana; c. cara melakukan tindak pidana;

d. sikap batin pembuat;

e. riwayat hidup dan keadaan sosial ekonomi pembuat;

f. sikap dan tindak pembuat sesudah melakukan tindak pidana; g. pengaruh pidana terhadap masa depan pembuat;

h. pandangan masyarakat terhadap tindak pidana yang dilakukan;

i. pengaruh tindak pidana terhadap

j. pemaafan dari korban dan/atau keluarganya; dan/atau

k. pandangan masyarakat terhadap tindak pidana yang dilakukan.”19

Rincian pedoman tersebut tidak bersifat limitatif. Hakim masih dimungkinkan menambah pertimbangan-pertimbangan lain apabila dipandang perlu. Namun apabila hakim telah memperhatikan rincian

(12)

pedoman tersebut, berarti semua kepentingan yang terkait mendapatkan perhatian yang wajar, sehingga penjatuhan pidana yang dilakukan lebih proposional. Kepentingan yang terkait atas terjadinya tindak pidana, sekurang-kurangnya kepentingan terpidana sendiri, kepentingan korban dan kepentingan masyarakat.

Menurut Romli Atmasasmita, Pedoman P em idana an Dalam Hukum Positif Indonesia adalah sebagai berikut. Dalam KUHP (Wetboek van Straftrecht yang kemudian diundangkan dengan UU No. 1 Tahun 1946) pedoman pemberian pidana diatur dengan jelas. Pasal 1 ayat (1) KUHP menekankan bahwa hukum pidana Indonesia menganut asas legalitas (principle of legality), dimana mencerminkan kepastian hukum.

“Dalam asas legalitas ada 4 hal pokok, yaitu:

(1)Tiada suatu perbuatan merupakan suatu tindak pidana, kecuali telah ditentukan dalam undang-undang terlebih dahulu,

(2)Ketentuan UU harus ditafsirkan secara harafiah dan pengadilan tidak diperkenankan memberikan suatu penafsiran analogis untuk menetapkan suatu perbuatan sebagai tindak pidana,

(3)Ketentuan UU tidak berlaku surut,

(4)Menetapkan bahwa hanya pidana yang tercantum secara jelas dalam UU yang boleh dijatuhkan.

Dari ketentuan Pasal 1 ayat (1) KUHP jelas bahwa dasar dan sumber pemberian pidana hanyalah hukum tertulis (peraturan perundang-undangan tertulis).”

GAGASAN STANDARISASI PEMIDANAAN DI INDONESIA

(13)

ancaman pidana dalam tiga kategori, yaitu: pidana ringan (mitigated term), pidana menengah (baseterm) dan pidana berat (aggravatedterm). Kategori tindak pidana tersebut dapat ditentukan berdasarkan kualitas tindak pidana, yaitu dikaji berdasarkan

straaftoemeting sebagaimana ditetapkan dalam MUNAS IKAHI atau Pasal 55 RUU KUHP tersebut.

Misalkan untuk ancaman pidana maksimal 12 tahun, maka didapatkan pidana ringan (mitigated term) yaitu 3 tahun, pidana menengah (baseterm) yaitu 6 tahun dan pidana berat (aggravatedterm) adalah 9 tahun. Pidana-pidana tersebut menjadi semacam base penalty sebagaimana dalam The Federal Sentence Guidelines tersebut diatas. Dari base-base penalty tersebut dapat ditambah dan dikurangi berdasarkan jumlah alasan yang memberatkan dan yang meringankan. Bobot nilai memberatkan dan meringankan juga tergantung ancaman pidananya, misalkan untuk ancaman pidana 12 tahun tersebut nilai penambah dan pengurangnya adalah 4 bulan.

Metode lain untuk menetukan klasifikasi tindak pidana dalam pidana ringan (mitigated term), pidana menengah (baseterm) dan pidana berat (aggravatedterm) serta hal-hal yang memberatkan dan meringankan juga dapat dilakukan dengan pendayagunaan lembaga penelitian masyarakat (LITMAS) untuk semua terdakwa. Juga dapat dikembangkan sistem ceck-list untuk mengetahui situasi psikologis dan sosial terdakwa dengan melibatkan psikiater, tokoh masyarakat, lembaga pemerintah terkait maupun lembaga perlindungan saksi dan korban.

(14)

mengenai pidana yang dijatuhkan. Umumnya bunyi pertimbangan hakim adalah:

“Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan hal-hal yang memberatkan dan meringankan tersebut di atas, maka hukuman yang akan dijatuhkan sebagaimana tercantum dalam diktum putusan di bawah ini dipandang sudah cukup adil dan bijaksana sesuai dengan kesalahannya;”

Perbaikannya sebagai:

“Menimbang, bahwa ancaman pidana dari pasal yang dilanggar terdakwa adalah 12 tahun, sedang perbuatan pidana dilakukan oleh terdakwa dalam keadaan yang memberatkan sehingga pidana dasarnya adalah 9 tahun;”

“Menimbang, bahwa hal-hal yang meringankan berjumlah 4 buah sedangkan hal yang memberatkan hanya 2, sedang masing-masing mempunyai bobot menambah dan mengurangi selama 4 bulan, sehingga pidana dasar tersebut harus dikurangi sebanyak 8 bulan;”

“Menimbang, bahwa dengan demikian total pidana harus dijatuhkan kepada terdakwa sesuai dengan kesalahan dan perbuatannya tersebut adalah selama 8 tahun dan 4 bulan;”

Pedoman ini sebenarnya sudah dapat diterapkan oleh hakim-hakim di Indonesia, sebab ketentuannya sudah ditetapkan dalam forum MUNAS IKAHI VIII 1975. Meskipun MUNAS IKAHI bukan merupakan salah satu peraturan perundang-undangan di Indonesia, namun sekedar menjadi pedoman, atau setidak-tidaknya sebagai sumber hukum ilmiah dapat dipertanggungjawabkan. Atau setidaknya mempunyai kekuatan mengikat ke dalam profesi hakim, sebagaimana mengikat dan berlakunya Pedoman Perilaku Hakim.

(15)

sama maka pidananya juga sama. Dengan mengasumsikan pidana seumur hidup adalah 30 tahun dan pidana mati adalah 40 tahun, kedua jenis pemidanaan tersebut juga dapat ditentukan keriterianya dengan tepat. Asumsi ini mungkin dapat mengatasi permasalahan tingkat hunian LP dan pembiayaan pada sistem U. S. Federal Sentencing Guidelines tersebut diatas.

Daftar Pustaka:

Arief, Barda Nawawi, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, (Bandung: Citra Aditya Bhakti, 1996).

Asshiddiqie, Jimly, Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia Studi Tentang Bentuk-Bentuk Pidana Dalam Tradisi Hukum Fiqh dan Relevansinya Bagi Usaha Pembaharuan Hukum Pidana Nasional, (Bandung: Angkasa, 1996).

Atmasasmita, Romli, Kapita Selekta Hukum Pidana dan Kriminologi, (Bandung: Mandar Maju, 1995).

Harkrisnowo, Harkristuti. “Rekonstruksi Konsep Pemidanaan: Suatu Gugatan terhadap Proses Legislasi dan Pemidanaan di Indonesia”, dalam majalah KHN Newsletter, Edisi April 2003, (Jakarta: KHN, 2003).

Jim Beck dan Elaine Wolf, “Revising Federal Sentencing Policy: Some Consequences of Expanding Eligibility for Alternative Sanctions.” Lubis, Todung Mulya. Kontroversi Hukuman Mati, (Jakarta: Kompas

Media Nusantara, 2009).

Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-teori dan Kebijakan Pidana, (Bandung: Alumni, 1984).

Muladi, Dampak Disparitas Pidana dan Usaha Mengatasinya, (Bandung: Alumni, 1985).

Republik Indonesia, Undang-Undang tentang Kekuasaan Kehakiamn, Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009, LN Tahun 2009 Nomor 157, TLN Nomor 5076). Undang-undang sebelumnya yang mengatur tentang Kekuasaan Kehakiman adalah UU Nomor 19 Tahun 1964, UU Nomor 14 Tahun 1970, UU Nomor 35 Tahun 1999 dan UU Nomor 4 Tahun 2004.

(16)

Tahun 1981 Nomor 76; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209).

Saxena, V. “Positive and Negatives of Federal Sentencing Guidelines” Published August 27, 2008.

Sudarto, Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat, (Bandung: Sinar Baru, 1983).

---. Masalah-masalah Hukum, Pemidanaan, Pidana dan Tindakan, (Semarang: BP Undip, 1987).

Referensi

Dokumen terkait

Gereja Sebagai Komunitas Persahabatan, Markus Situmorang 337 dengan semua orang, demikian juga Gereja berusaha untuk mewujudkan misi yang diterimanya dari Yesus

PCR dengan menggunakan primer untuk ekson1-ekson2 dari gen aktin menghasilkan DNA yang berukuran sekitar 450 pb (Gambar 2) yang menunjukkan bahwa daerah yang diamplifikasi

Dalam membincangkan isu keselamatan penggunaan transaksi atas talian ini, umumnya, ia menfokuskan kepada keselamatan maklumat-maklumat pelanggan yang digunakan semasa transaksi

Dengan demikian Peluang dan ancaman sukuk di Indonesia perlu untuk dikaji lebih dalam guna memaksimalkan peran sistem keuangan syariah yang ditawarkan oleh ekonomi Islam

Menurut hasil perhitungan statistik, diantara keempat variabel yang mempunyai pengaruh signifikan, ternyata pemasok merupakan variabel yang mempunyai pengaruh dominan dan

Terjadinya kasus membantu melakukan dalam tindak pidana ini bermula pada hari Kamis 18 September 2014 sekira pukul 23.30 WIB pada saat terdakwa Rengga Kinentaka bin

Salah satu upaya untuk menangani permasalahan permukiman kumuh tersebut adalah melalui peremajaan kota yang dilakukan oleh pemerintah daerah yang bersangkutan,