• Tidak ada hasil yang ditemukan

Transformasi Organisasi : Agenda Pelaku Industri Kreatif dalam Menghadapai Hybrid Consumer - Sebuah Kajian terhadap Industri Kreatif di Indonesia-

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "Transformasi Organisasi : Agenda Pelaku Industri Kreatif dalam Menghadapai Hybrid Consumer - Sebuah Kajian terhadap Industri Kreatif di Indonesia-"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

Page 1 of 13

Transformasi Organisasi : Agenda Pelaku Industri Kreatif

dalam Menghadapai Hybrid Consumer

-

Sebuah Kajian terhadap Industri Kreatif di Indonesia

-

Oleh Arif Sugiono1

Abstrak

Industri kreatif di beberapa negara, telah menjelma menjadi kekuatan utama dalam memperkokoh perekonomian. Indonesia masih berupaya untuk menjadikan Industri kreatif sebagai ‘gelombang baru’ dalam perekonomian nasional. Ditengah upaya tersebut, masing-masing bidang pelaku industri kreatif menghadapi berbagai tantangan yang khas sesuai karakteristik bisnisnya. Diantara tantangan yang khas tersebut, ada tantangan umum yang dihadapi hampir semua pelaku industri kreatif tersebut, yakni hadirnya hybrid consumer, di tengah persaingan yang semakin hyper competitive. Agar mampu memenuhi kebutuhan dan keinginan hybrid consumer tersebut, dibutuhkan sebuah transformasi organisasi.

Keywords : Creative Industry, Hybrid Consumer, and Transformation Organization

Pendahuluan.

Keberpihakan, pengembangan dan penguatan industri kreatif telah menjadi strategi utama bagi beberapa negara dalam upaya memperkuat perekonomiannya ketika kontur pertumbuhan ekonomi global mengalami pelambatan selama satu dekade terakhir. Industri yang menjadikan pengetahuan dan kreatifitas sebagai

„nilai jual‟ telah mampu menjelma menjadi kekuatan baru dalam memenangkan kompetisi dan pengembangan ekonomi baik dalam skala global maupun regional. Lahirnya industri kreatif, harus kita akui sebagai tanda lahirnya gelombang ekonomi baru yang berbasis kreativitas, sekaligus sebagai bukti bahwa industri ini semakin menunjukkan kontribusi penting dalam pertumbuhan ekonomi sebuah negara, baik di belahan benua Eropa, Amerika dan Asia, khususnya Korea.

Beberapa negara yang menjadikan ekonomi kreatif sebagai ujung tombak dalam menopang kekuatan ekonominya adalah Amerika Serikat. Pada tahun 1997, negara ini menghasilkan produk-produk Hak Kekayaan Intelektual (HKI) senilai USD 414 miliar yang menjadikan HKI menjadi nilai ekspor nomor 1 di Amerika Serikat. Demikian juga, apa yang terjadi di Inggris. Ketika Tony Blair, sebagai Perdana Menteri yang terpilih pada tahun 1997, dan dihadapkan pada kondisi ekonomi yang kurang menguntungkan, salah satu solusinya adalah mendirikan DCMC /Departement of Culture Media & Sport, sebuah departemen yang menjadi leading hand dalam pengembangan dan penguatan industri kreatif. Dan dalam perkembangannya ekonomi kreatif mampu memberikan jawaban di tengah kelesuan perekonomian negara Ingris akibat lesunya ekonomi global pada waktu Itu.

Apa yang terjadi di Korea, juga menunjukkan hal yang kurang lebih sama. Dalam diskusi di APEC CEO Summit, Nusa Dua, Bali, 2013, Presiden Korea memberikan gambaran bagaimana efek (ekonomi kreatif) sangat penting bagi

1

(2)

Page 2 of 13 pertumbuhan, mengatasi tantangan ekonomi. Ekonomi kreatif juga memiliki peran penting bagi daya saing, dikisahkan bagaimana bangsa Korsel berinovasi mengupayakan pemasaran yang dapat menembus pasar global, inovasi dan kreativitas, menjadi kunci dalam stagnasi ekonomi, salah satu contohnya, ketika bangsa Korsel mempopulerkan gaya Gangnam style dengan berinovasi memanfaatkan masifnya penggunaan media sosial untuk menyebarkan kreativitas tarian tersebut. Berhasilnya strategi pengembangan ekonomi kreatif telah menghasilkan korean wave di beberapa negara, termasuk Indonesia.

Seolah tidak mau tertinggal dengan negara-negara lain, dan sekaligus sadar bahwa pengembangan ekonomi kreatif merupakan suatu keniscayaan. Maka pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono/SBY mengambil berbagai langkah diantaranya. Pada tahun 2006, membentuk Indonesia design power, yang bertujuan untuk menempatkan produk Indonesia menjadi produk yang dapat di terima di pasar internasional namun tetap memiliki karakter nasional. Upaya pemerintahan SBY dalam mengembangkan ekonomi kreatif ditandai pula dengan keluarnya Inpres No. 6 Tahun 2009 tentang pengembangan ekonomi kreatif. Upaya lebih lanjut dalam rangka penguatan ekonomi kreatif, Presiden membuat PP/Peraturan Presiden Nomor 92 Tahun 2011 pada 21 Desember 2011, telah dibentuk Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif dengan visi untuk mewujudkan kesejahteraan dan kualitas hidup masyarakat Indonesia dengan menggerakkan kepariwisataan dan ekonomi kreatif.

Sebagai akibat kondisi perekonomian nasional yang cukup positif selama 7 tahun terakhir di era pemerintahan SBY, terdapat 80 juta penduduk kelas menengah baru.BPS (2013) Sejalan dengan itu, semakin kelas menengah bertambah, maka semakin tinggi kebutuhan mereka atas pemenuhan kebutuhan yang semakin kompleks, baik itu pendidikan, arsitektur, fashion, kerajinan, pariwisata, mode/design, kuliner, aneka hiburan (film,musik, TV,Radio, Seni pertunjukkan/event), dan berbagai produk lainnya. Di satu sisi, Indonesia juga memiliki potensi yang sangat luas untuk pengembangan ekonomi kreatif, keragaman unsur budaya, kekayaan alam, pasar yang menjanjikan menjadi kekuatan tersendiri yang perlu dikelola secara tepat, agar dapat memberikan nilai tambah ekonomi sebagai kekuatan ekonomi baru.

Prospek bisnis ekonomi kreatif di Indonesia juga menunjukkan perkembangan yang semakin menjanjikan. Pada tahun 2013, omzet ekonomi kreatif di Indonesia diperkirakan mencapai Rp.600 triliun. Kenaikan bisnis ekonomi kreatif Indonesia tahun ini tumbuh rata-rata 10 persen lebih dibandingkan 2012 yang mencapai Rp 530 triliun, kontribusi ekonomi kreatif mencapai 7 persen terhadap total PDB Indonesia. BPS (2013). Lebih lanjut, berdasarkan data dari BPS, menunjukkan ada tiga sektor unggulan di bidang industri kreatif seperti kuliner, fesyen, dan kerajinan yang menjadi penyumbang Produk Domestik Bruto (PDB) terbesar (Lihat Gambar 1). Kontribusi sektor tersebut dipastikan akan semakin tinggi dalam menopang perekonomian bangsa.

(3)

Page 3 of 13 dengan membentuk Kementeriaan Pariwisata dan Ekonomi Kreatif. Maka di era Jokowi, industri kreatif cukup dihandle oleh Kementerian Pariwisata dengan membentuk sebuah lembaga yang bernama Badan Ekonomi Kreatif. Menurut ekonom Juoro (2014), Strategi ini sah-sah saja, karena ekonomi kreatif itu arahnya lebih ke inovasi, kreatifitas sumber daya masnusia dalam negeri. Memanfaatkan riset, ahli, wirsausaha. Lalu berhubungan dengan berbagai macam bidang lagi seperti teknologi, kerajinan, seni budaya dan lainnya.

Gambar 1.

Ruang Lingkup Pengembangan Ekonomi Kreatif di Indonesia

Sumber : Kementerian Pariwisata & Ekonomi Kreatif : 2014

(4)

Page 4 of 13

Hybrid Consumer.

Kotler & Keller (2012), mengidentifikasi beberapa realitas bisnis yang dihadapi para pelaku bisnis, termasuk pelaku industri kreatif diantaranya network information technology, deregulation, globalization, privatization, industry convergence,

heightened competition, retail transformation, disintermediation, consumer buying power,

consumer information, consumer participation, dan consumer resistance. Bertolak dari

realitas bisnis yang dikemukanan Kotler dan Keller diatas, maka diantara realitas tersebut terdapat realitas penting yang dihadapi pelaku industri pada umumnya, dan pelaku industri kreatif pada khususnya. Dalam konteks Indonesia, selain realitas di atas, tantangan yang dihadapi diantaranya adalah Pertama, munculnya hybrid consumer, yang di topang oleh teknologi informasi yang telah berkembang secara masif.Sebagaimana yang digambarkan oleh Kotler dan Keller diatas, yakni network information technology. Kedua, masih belum maksimalnya upaya membangun sinergitas antara intellectuals, Business, dan Government atau triple helix sebagai para aktor utama penggerak dalam menggerakkan lahirnya kreativitas, ide, ilmu pengetahuan, dan teknologi yang vital bagi tumbuhnya ekonomi kreatif. Etzkowitz (2008). Ketiga, persaingan yang semakin kompetitif, dengan hadirnya Masyarakat Ekonomi Asean/MEA. Keempat, belum hadirnya kelembagan bisnis yang baik, (baca : baik di level industri, maupun masyarakat/pelaku ekonomi kreatif).

Khusus terkait hadirnya hybrid consumer, data dari APJI/Asosiasi Pengguna Jasa Internet Indonesia (2014), menunjukkan bahwa pengguna internet di Indonesia terus berkembang pesat setiap tahun. Rata-rata pertumbuhan setiap tahun mencapai 13%, tahun 2014 pengguna internet diperkirakan mencapai 107 juta jiwa. Sehingga menjadikan Indonesia sebagai negara terbesar ke empat pengguna Internet. (Gambar 1).

Gambar 1.

Jumlah Pengguna Internet di Indonesia

Sumber : APJII (2014)

(5)

Page 5 of 13 penting dari mereka adalah, bagaimana mengekspresikan diri melalui gaya individual mereka, dengan penggunaan mode, dan desain terbaru. Karakteristik yang menonjol lainnya adalah netizen, memiliki kebiasaan-kebiasaan bertindak cerdas serta menyukai hal-hal yang mudah, praktis, serba cepat, dan multifungsi. Wind, Mahajan & Guntner (2002), hybrid consumer yang oleh mereka disebut sebagai

centaur2. Jenis konsumen ini adalah kombinasi dari sifat-sifat tradisional dan yang

maya, yang rasional dan emosional, yang beraksi baik melalui jaringan komunikasi maupun secara fisik.

Hadirnya information technology telah membuat perilaku hybrid consumer, semakin convergence (gambar 2). Berdasarkan gambar 2, menunjukkan 68 % hybrid consumer pada umumnya mencari informasi melalui on line, kemudian membeli di toko, sebaliknya 54 % mencari informasi di toko, kemudian membeli secara on line. Ada juga perilaku hybrid consumer yang menunjukkan 47 % mencari info pada katalog, kemudian membeli secara on line. Dan 38 % mencari info secara on line, kemudian sisanya membeli melalui telpon. Kebutuhan dan keinginan konsumen dengan adanya teknologi, pada dasarnya tidak berubah, tapi telah dipertajam dan diperlemah oleh apa yang dijanjikan teknologi. Wind, Mahajan & Guthner (2002) mengidentifikasi kebutuhan dan keinginan hybrid consumer tersebut diantaranya adalah :

Gambar 2. Hybrid Consumer

Sumber : Wind, Mahajan & Guntner (2002).

Pertama, customerization, keinginan akan keunikan, personalisasi dan layanan sesuai keinginan pembeli. Tanpa kita sadari, segala kebutuhan yang kita inginkan seperti baju, kerajinan handmade, musik, event/festival budaya, film, paket liburan, makanan dan kebutuhan lainnya, dengan mudah kita tentukan dengan menggunaan teknologi. Perusahaan harus mengikuti keinginan konsumen tersebut dengan menciptakan sebuah kemampuan yang dapat menggabungkan antara layanan yang customized dengan produksi masal. Perusahaan harus mampu membuat sistem yang mampu menawarkan secara fleksibel pilihan-pilhan kepada

2

Centaur dalam mitologi yunani adalah makhluk setengah manusia dan setengah dewa yang berlari cepat dengan kaki teknologi baru, namun membawa hati manusia yang tidak berubah dan sulit diprediksi.

68% mencari Info via online,membeli di toko

54% mencari Info di toko, membeli secara online

47% mencari info pd katalog, membeli secara online

(6)

Page 6 of 13 para pelanggan tanpa menguasai mereka. Bagaimana perusahaan menggunakan komunikasi pemasaran untuk menawarkan pengalaman-pengalaman dan membangun hubungan langsung dengan konsumen. Pires, dkk (2006)

Kedua, Community, keinginan untuk interaksi sosial. Sudah menjadi fitrah manusia, bahwa manusia selalu berusaha untuk menjalin interaksi sosial. Hadirnya teknologi informasi telah membuat banyak diantara kita terhubung secara on line. Blac Bary Massenger, Twitter, facebook, malinglist, Whatshaap, dll telah membawa kita pada sebuah komunitas virtual yang bisa mengikat emosional kita secara dalam. Tidak hanya itu, penyampaian pengalaman dalam mengkonsumsi sebuah produk juga menjadi bahan pembicaraan dalam komunitas on line tersebut. Atas keinginan /kebutuhan kedua ini, maka tantangan organisasi harus mampu menciptakan konvergensi aspek-aspek sosial dan ekonomi, dengan tetap memperoleh keuntungan dengan tanpa merusak komunitas yang ada. Tidak hanya sampai disitu, organisasi juga dituntut untuk membangun komunitas, menarik hybrid consumer untuk terlibat aktif dalam komunitas,agar supaya perusahaan mendapatkan masukan yang berharga dalam mendesain kompetensi organisasi melalui strategi yang dipilihnya.Friend Carol (1996) dan Ambtman, Jochen Wirtz,et.al (2013).

Ketiga, Channels, keinginan akan kenyamanan dan pilihan saluran, Beberapa dekade yang lalu, kita masih meyakini bahwa kenyamanan berarti tersedianya sebuah toko yang ada di tiap sudut kota, dengan membuka jam layanan selama 24 jam. Namun sekarang hal itu tidak menjamin akan memberikan kenyamanan. Hadirnya teknologi telah merubah itu semua. Kenyamanan tidak lagi ditentukan oleh perusahaan, tapi oleh konsumen. Konsumen dengan mudah bisa membeli tiket pesawat, buku, baju, makanan, di luar jam-jam bekerja sebagaimana mestinya. Konsumen menginginkn sebuah varian yang lebih banyak (Click, Call or Visit) dalam mendapatkan sebuah produk. Untuk itu, perusahaan harus mampu menciptakan model yang mampu berinteraksi dengan konsumen di banyak lokasi dan melalui banyak saluran, pada waktu dan tempat yang diinginkan konsumen. Sunil Sahadev dan S. Jayachandran (2004), Filipe Coelho, Chris Easingwood (2008).

Keempat, Competitive Value, keinginan akan nilai kompetitif. Pola interkasi baru antara hybrid consumer dengan organisasi, membawa kesepakatan baru tentang nilai. Nilai tidak hanya di bentuk pada produk dan harga, tapi keinginan konsumen lebih dari itu. Faktor-faktor kesenangan baru, pengawasan dan kecepatan, produk yang kaya akan informasi, pendidikan dan hiburan. Oleh karena itu, perusahaan harus mampu menata kembali pendekatan-pendekatan mereka tentang penetapan harga. James J. McKeown, (1990).

Kelima, Choice tools, keinginan untuk membuat pilihan yang lebih baik.

(7)

Page 7 of 13 diketahui oleh peserta biding dalam sistem lelang ebuy. Teknologi telah memaksa organisasi untuk mampu menawarkan sebuah sistem penawaran yang sederhana, informasi yang lengkap tanpa mengarahkan mereka kepada pesaing.

Transformasi Organisasi Menghadapi Hybrid Consumer

Bahasan-bahasan tentang perlunya transformasi organisasi, ketika menghadapi dinamika ligkungan (hybrid consumer), telah dibahas oleh beberapa pihak. Diantaranya Jhonson (2001) tentang pentingnya memahami paradigma lingkungan, Becker (2011) tentang pentingnya leadership,Poutanen (2011) perlunya kreativitas dalam transformasi organisasi untuk menghadapi lingkungan yang tidak bisa di prediksi/blind environment. Namun diantara peneliti yang fokus pada transformasi organisasi, yang terkait dengan hybrid consumer adalahWind, Mahajan & Guntner (2002). Menurut mereka, agar tidak terjadi kesenjangan kapabilitas antara organisasi dengan apa yang menjadi keinginan dan kebutuhan hybrid consumer di atas, perlu adanya proses organisasi yang mendukung terciptanya sebuah nilai yang dapat disampaikan dengan baik, sesuai dengan kebutuhan keinginan para centaur di atas. (tabel 1).

Tabel 1.

Transformasi Organisasi dalam Menghadapi Hybrid Consumer

5C Implikasi terhadap Arsitektur Organisasi Langkah Nyata

Customerization Dengan menggunakan teknologi customerization, perusahaan dapat segera

dinamis “mengubah” karyawan, pemasok dan

pelanggan agar dapat memperoleh pandangan yang berbeda terhadap perusahaan.

Menciptakan Organisasi yang Customizable dan Modular

Community Menggunakan komunitas riil dan virtual di

dalam dan diluar perusahaan dapat

membantu menjembatani „silo-silo‟ organisasi

tradisional untuk mengembangkan organisasi yang lebih modular, networked dan fleksibel.

Melakukan

pengorganisasian pada communities

Channels Mengintergrasikan interaksi fisik dan virtual dengan pelanggan, maka perusahaan dapat melestarikan sumber daya sambil memberikan nilai yang lebih tinggi kepada para pelanggan.

Mengembangkan saluran yang konvergen

Competitive Value

Dengan redifinisi persamaan nilai, perusahaan harus mengembangkan metrik baru untuk mengikuti perkembangan lifetime value pelanggan dan menyediakan cara-cara baru untuk memberi nilai kepada para karyawan melalui hubungan kerja yang lebih lancar.

Meredifinisikan nilai

kompetitif melalui

manusia dan teknologi

Choice tools Alat-alat cangih untuk informasi karyawan, pengambilan keputusan dan pengelolaan bisnis dapat menawarkan kepada para

Sumber : Dimodifikasi dari Wind, Mahajan & Gunther (2002) ;Albinsson dan Perera (2012).

(8)

Page 8 of 13 Seperti halnya mass customization produk, organisasi „plug & play’ yang dikembangkan oleh proses-proses modular, dapat dengan mudah ditata kembali untuk menghadapi kemungkinan pergeseran teknologi baru dan perubahan tuntutan hybrid consumer. Jaringan digital dapat menyelaraskan pandangan organisasi dengan pandangan individual sambil tetap mempertahankan struktur yang ada. Pada lingkungan di mana, teknologi inti dan kapasitas organisasi perlu diubah, maka organisasi harus cerdik dalam melakukan penataan kembali dengan cepat 3.

Pada masa lalu, perusahaan selalu melakukan trade off/pertukaran antara kegesitan dengan skala ekonomis dalam organisasi mereka, seperti ketika mereka harus memilih antara efesiensi dan customization dalam proses manufaktur mereka semakin besar organisasi, maka semakin sulit pula rstrukturisasinya. Teknologi dan proses-proses baru ini mengurangi pertukaran-pertukaran di atas. Kombinasi antara desain dan sistem modular, yang dapat menyatukan komponen-komponen ini dalam sebuah sistem, akan menciptakan organisasi yang dapat disesuaikan dengan keinginan dan kebutuhan konsumen (customized). Fleksibilitas ini menjadi penting dalam bisnis yang penuh ketidakpastian dan berubah cepat, seperti komunikasi wireless.

Pendekatan ini menciptakan peran teknologi informasi yang sangat berbeda.Teknologi informasi bukanlah alat yang pasif bagi para pemimpin bisnis dan bukan pula arsitektur organisasi berlebihan yang menciptakan model yang seragam pada sebuah organisasi. Teknologi informasi membantu para pemimpin bisnis mengembangkan teknologi dan proses-proses yang mendukung strategi bisnis mereka.Teknologi informasi menjamin bahwa proses-proses ini bersifat modular dan memiliki interface yang umum, sehingga dapat digabung dengan proses-proses lainnya. Untuk menghadapi tantangan desain organisasi yang lain, teknologi informasi dapat menarik keluar modul-modul standar inidan menggunakannya sebagai basis untuk mengembangkan solusi untuk tantangan strategis. Dengan cara ini strategi bisnis benar-benar menyatu dengan bisnis, tetapi desain organisasi untuk mengeksekusi strategi ini dibentk oleh teknologi informasi dan para pemimpin.

Melakukan pengorganisasian pada communities

Communities baik fisik maupun virtual, dapat membentuk kembali batas-batas perusahaan yang menyatukan pelanggan dan dan pemasok dalam jaringan nilai. Komunitas-komunitas ini di bangun atas dasar nilai-nilai kewiraswastaan dan arsitektur organisasi yang fleksibel. Dalam membangun komunitas, keunggulan internet, yang telah mengubah bentuk interaksi dengan para pelanggan, dapat pula digunakan untuk mengubah interaksi di dalam perusahaan. Paradigma bisnis yang baru, misalnya yang didasarkan pada penyajian solusi total dan bukan produk-produk yang berdiri sendiri, telah mendorong perumusan kembali batas-batas perusahaan.

Perusahaan dapat membangun komunitas seputar pengetahuan, proses pembentukan nilai (seperti pengembangan produk, penciptaan permintaan, dll) atau seputar bidang-bidang minat yang mengabaiakn jalur-jalur fungsional atau bisnis.

3

(9)

Page 9 of 13 Perusahaan dapat pula menemukan nilai dalam menghubungkan komunitas-komunitas swasta intranet dan extranet mereka yang vibrant dan bernilai dengan komunitas internet yang terbuka. Menggabungkan komunitas-komunitas swasta dan publik dapat membantu menghasilkan energi sosial di dalam perusahaan dan menghubungkannya dengan energi sosial di luar perusahaan, dengan cara-cara yang dapat menciptakan nilai bagi perusahaan. Beberapa cara yang bisa digunakan adalah dengan menggunakan pelanggan mercusuar untuk menentukan arah dan menciptakan budaya yang konvergensi.

Seperti komunitas-komunitas pelanggan, komunitas-komunitas internal disatukan oleh serangkaian interaksi sosial dan nilai bersama. Untuk menghadapi tantangan hybrid consumer perusahaan memerlukan budaya organisasi yang dapat menggabungkan keunggulan eksekusi organisasi tradisional dengan semangat kewiraswastaan dan kreativitas teknologi. Organisasi ini memelihara nilai dan budaya yang stabil, tetapi terus melakukan eksperimen terhadap pendekatan bisnis. Jika terbukti sukses, maka eksperimen tersebut akan diserap pada budaya organisasi yang lebih luas.Hal ini merupakan perimbangan yang sulit dicapai, tetapi sangat diperlukan untuk menciptakan organisasi yang konvergen.

Studi Albinsson dan Perera (2012), juga menguatkan, hal di atas, dengan adanya komunitas, penyelenggara dan peserta memanfaatkan tempat ini untuk berbagi pengetahuan dan pengalaman dan yang lebih penting lagi adalah, Penelitian kami memberikan kontribusi untuk literatur dengan menyoroti pentingnya masyarakat, kolaborasi, dan mengubah pola pikir konsumen terhadap berbagi keberhasilan seperti bagaimana keberhasilan dalam berusaha.

Mengembangkan saluran yang konvergen.

Gabungan secara strategis interaksi-interaksi fisik dan virtual dengan para pelanggan, dengan cara-cara yang memenuhi kebutuhan mereka akan relasi dan informasi ,menekan biaya internal dan menawarkan gagasan-gagasan masa depan. Sebagaimana hybrid consumer menggabungkan saluran yang berbeda dalam proses pencarian informasi dan pembelian mereka, perusahaan pun harus menjajagi cara-cara untuk menggabungkan saluran-saluran fisik dan virtual. (gambar 2).

Model baru ini menggabungkan aktivitas fisik dan virtual. Mengirimkan wiraniaga untuk berjabat tangan dengan klien, sambil menempelkan teknisi penjualan secara virtual, baik pada layar videoconferenceing di salah satu kantor, atau bahkan pada laptop wiraniaga penjualan. Dengan cara ini, teknisi penjualan yang juga dikenal sebagai pewarta produk dapat bekerja bersama para wiraniaga penjualan di Eropa, Asia, dan belahan benua lainnya.

Meredifinisikan nilai kompetitif melalui manusia dan teknologi.

(10)

Page 10 of 13 Menciptakan hubungan baru dengan karyawan dan melakukan penyesuaian teknologi, dapat mempermudan dalam meredifinisikan nilai kompetitif melalui manusia dan teknologi. Dengan turunnya loyalitas pada perusahaan dan pada pekerjaan jangka panjang, perusahaan harus memikirkan kembali proposisi nilai yang ditawarkan pada karyawan. Dewasa ini, hubungan dengan karyawan dalam organisasi, jauh lebih cair. Karywan mencari pekerjaan dan perusahaan mencari karyawan secara elektronik melalaui situs-situs lowongan pekerjaan. Tidak hanya sampai disitu pola hubungan ketika sudah bekerjapun mengalami perubahan.

Mengembangkan alat-alat pilihan organisasi dan ukuran kinerja.

Alat-alat internal yang cangih dapat memberdayakan para karyawan agar mampu membuat keputusan-keputusan yang lebih baik dan menghadapi konsumen yang telah diberdayakan dan memiliki lebih banyak alat keputusan di tangan mereka. Alat-alat keputusan yang lebih baik telah mengurangi ketidakpastian informasi antara perusahaan dan konsumen. Ketika konsumen memperoleh akses pada alat-alat yang lebih cangih untuk mengumpulkan informasi, membuat keputusan dan mengelola hidup mereka, perusahaan harus mengembangkan alat-alat keputusan internal yang berada di tangan para karyawan agar mereka dapat

Proses Dibangun secara kaku

dari nol

Interaksi fisik Interaksi virtual Kombinasi interaksi

fisik dan virtual

Teknologi Warisan dan pelayan

klien

Web broser Web service

Batas-Batas Organisasi terisolasi Tak terbatas Perusahaan

terintegrasi pada

Sumber : Dimodifikasi dari Wind, Mahajan & Gunther (2002)

(11)

Page 11 of 13 para karyawan memerlukan alat-alat keputusan untuk mengelola bisnis secara lebih efektif melalui berbagai saluran.

Wind, Mahajan & Guntner (2002), menegaskan bahwa menerapkan arsitektur organisasi di atas, akan membawa kita pada transformasi aspek-aspek arsitektur organisasi yang luas ( Tabel 2). Perubahan-perubahan ini mempengaruhi budaya dan nilai organisasi, proses-proses, struktur, interfaces pelanggan, teknologi dan lain-lainnya. Pada setiap bidang perubahan tersebut hybrid consumer menciptakan tantangan-tantangan baru, dan 5C menawarkan peluang-peluang baru.

Sebagai contoh, proses transformasi organisasi pemasaran tradisional ditransformasikan untuk mengikuti perkembangan hybrid consumer. Pemasaran memerlukan nilai dan budaya baru yang berfokus pada kombinasi antara eksekusi dan kewiraswastaan. Dengan menciptakan proses-proses modular untuk pemasaran, maka disiplin pemasaran dapat menjadi lebih terintegrasi ke dalam pekerjaan bagian-bagian organisasi yang lain dan melibatkan pelanggan sebagai produsen pendamping. Dengan menciptakan struktur yang didasarkan pada jaringan digital. Pemasaran dapat menawarkan akses yang lebih mudah untuk gagasan-gagasannya diseluruh organisasi dan menciptakan hubungan dengan pelanggan dan pemasok. Pemasaran juga harus megintegrasikan silo-silo yang terpisah didalam pemasaran (periklanan, budgeting dll).Pemasaran harus difokuskan pada pemusnahan batas-batas organisasi. Pemasaran harus megelola interaksi fisik dan virtual para pelanggan untuk menciptakan interface yang kohoren pada berbagai saluran. Pemasaran dapat menggunakan teknologi layanan web baik untuk menawarkan jasanya sendiri kepada organisasi maupun membangun layanan dengan menggunakan vendor luar. Mengidentifikasi batas yang jelas, mengembangkan ukuran kinerja dan memilih orang-orang yang tepat, memeliharanya

Penutup.

Industri kreatif di Indonesia, diharapkan menjadi salah satu gelombang baru dalam menopang perekonomian nasional kedepannya. Salah satu tantangan yang dihadapi pelaku usaha, adalah hadirnya hybrid consumer yang ditopang oleh masifnya perkembangan information technology. Untuk menjawab tantangan itu, diperlukan sebuah transformasi organisasi. Hasil kajian Wind, Mahajan & Guntner (2002) menunjukkan bahwa transformasi oganisasi mampu menjadikan beberapa

organsiasi sukses „menghadapi‟hybrid consumer. Hal itu bisa dilihat dari beberapa

(12)

Page 12 of 13

Daftar Pustaka

 Albinsson, Pia A & Perera B. Yasanthi, 2012. Alternative marketplaces in the 21st century: Building community through sharing events. Journal of Consumer Behaviour. Special Issue: Transformative Consumer Research and Social Marketing. http://onlinelibrary.wiley.com/doi. Volume 11, Issue 4, pages 303–315.Diakses tanggal 3 November 2014.

 Ambtman, Jochen Wirtz,et.al, 2013. Managing brands and customer engagement in online brand communities. Journal of Service Management, Vol. 24 Iss: 3, pp.223 - 244

 Arantola, Heli, 2006. Customer Insight.WSO Ypro. Helinski

 Baker, Ellen Melanie Kan, Stephen T.T. Teo. 2011. Developing a collaborative network organization: leadership challenges at multiple levels. Journal of Organizational Change Management, Vol. 24 Iss: 6, pp.853 - 875

 Boliang & Scamon, 2011. E-Word-of-Mouth on health social networking sites:

An opportunity for tailored health communication. Journal of Consumer

Behaviour.Volume 10, Issue 6, pages 322–331. Diakses tanggal 25 Oktober 2014.

 Bourlakis, M, et al, 2008. E-Consumer Behaviour : Past Present Future Trajectories of an evolving Retail Revolution. International Journal of e Business Research.Vol 4. Issue 3.

 Cravens, David W dan Piercy, Nigel F, 2013. Strategic Marketing. McGRaw Hill. International Edition.

 Etzkowitz, Henry,2008. The Triple Helix : University-Industry-Government. Routledge.

 Filipe Coelho, Chris Easingwood,2008. An exploratory study into the drivers of channel change. European Journal of Marketing, Vol. 42 Iss: 9/10, pp.1005

– 1022

 Friend, Carol, 1996. Community Relations — good neighbour strategies. Journal of Communication Management, Vol. 1 Iss: 1, pp.89 - 94

 James J. Mc Keown,.1990. New Products from New Technologies, Journal of Business & Industrial Marketing, Vol. 5 Iss: 1, pp.67 - 72

 Johnson, B Douglas, Granger Macy,2001. Using environmental paradigms to understand and change an organization’s response to stakeholders. Journal of Organizational Change Management, Vol. 14 Iss: 4, pp.314 - 335

 Juoro, Umar, 2014. Badan Ekonomi Kreatif Lebih Baik Independent. http://www.republika.co.id/berita/ekonomi/makro/14/10/31/neasi9-badan-ekonomi-kreatif-lebih-baik-independen. Diakses tanggal 13 November 2014.

 Kervenoael, Ronan De, dkk, 2014. Household pre-purchase practices and online grocery shopping.Journal of Consumer Behaviour.Volume 13, Issue 5, pages 364–372. http://onlinelibrary.wiley.com. Diakses tanggal 15 November 2014.

(13)

Page 13 of 13  ---, 2014. Pemasaran Digital : Konsumen Usia 14-34

tahun Potensial. SKH Kompas, Hal 17. Tanggal 11 November 2014.

 Kotler, Philips dan Keller, Kevin Lane, 2012. Marketing Management, 14ed.

Prentice Hall.

 Lapannen, Hanna & Gronroos, Christian, 2009. The Hybrid Consumer : Exploring The Drivers Of a New Consumer Behaviour Type. Working Papers. Hanken School of Economic.Departemen of Marketing. Helsinki. Finland.  Närvänen, Elina dkk, 2013. Online lifestyle consumption community dynamics:

A practice-based analysis. Journal of Consumer Behaviour. Volume 12, Issue 5, pages 358–369. http://onlinelibrary.wiley.com. Diakses tanggal 15 November 2014.

 Page, Kelly L & Pitt, Leyland, 2011. Web 2.0, Social Media, and Creative Consumers: Special Issue. Essay editor inJournal Of Consummer behaviour. Volume 10, Issue 6. http://onlinelibrary.wiley.com. Diakses tanggal 28 Oktober 2014.

 Pires, Guilherme D, John Stanton, Paulo Rita, 2006. The internet, consumer empowerment and marketing strategies. European Journal of Marketing, Vol. 40 Iss: 9/10, pp.936 - 949

 Poutanen, Petro, Olli Parviainen, Leif Åberg, 2011. Conditions for selforganizing and creativity in blended learning environments. On the Horizon, Vol. 19 Iss: 4, pp.286 - 296

 Racherla, Pradeep, dkk.2012. Factors affecting consumers trust in online product reviews. Journal of Consumer Behaviour Volume 11, Issue 2, pages 94–104. http://onlinelibrary.wiley.com. Diakses tanggal 15 November 2014.

 Shergil, Gurvinder, S & Chen, Zaobin, 2005. Web based shopping : Consumers’ attitudes towards online Shopping in New Zealand. Journal of Electronic Commerce Research, VOL. 6, NO.2.

 Silverstein, Michael J and Fiske, Neil, 2005. Trading Up (Re vised Edition), Why Consumer Want New Luxury Goods & How Companies Create Them. Portfolio. Penguin Group. New York.

 Silverstein, Michael J. & Butman, John & Klara Robert,2006. A Field Guide to the New Consumer. Brandweek. Vol 47. Issue 18

 Sunil Sahadev, S. Jayachandran, 2004. Managing the distribution channels for

hightechnology products: A behavioural approach", European Journal of

Marketing, Vol. 38 Iss: 1/2, pp.121 - 149

 Wind, Yoram Jerry, Mahajan Vijay & Gunther, Robert E.2002. Convergance Marketing : Strategies for Reaching the New Hybrid Consumer. Prentice Hall.  ---,www.bps.go.id.

Gambar

Gambar 1.  Ruang Lingkup Pengembangan Ekonomi Kreatif di Indonesia
Gambar 1. Jumlah Pengguna Internet di Indonesia
Tabel 2. Masalah Arsitektural Organisasi

Referensi

Dokumen terkait

Hasil dari analisis indeks daya beda yang telah dilakukan, diperoleh IDB butir soal pilihan ganda dengan data 40% kategori jelek, 30% kategori cukup, 28% kategori baik,

Kesimpulan ini dapat dijabarkan sebagai berikut:1.Perencanaan pembelajaran tolak peluru gaya ortodok dengan menggunakan alat modifikasi dari bola plastik pada siswa kelas VIII

Perbedaan ter- sebut menunjukkan bahwa siswa yang menggunakan bahan ajar berbasis ATM (kelas eksperimen) terbukti cukup efektif digunakan dalam me- ningkatkan kemampuan

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui (1) Saluran pemasaran comring pada Perusahaan Dua Putri HR di Desa Linggapura Kecamatan Kawali Kabupaten Ciamis, (2)

Wawancara dilakukan dengan cara tanya jawab dengan pegawai yang ada di lokasi mengenai sejarah berdirinya perusahaan, struktur organisasi, tenaga kerja, proses

Asam lemak  dilarutkan dalam etanol dengan konsentrasi 5, 10, 15, 20, 25, dan 30 ppm  disiapkan tiga tabung reaksi untuk masing-masing konsentrasi  dimasukkan 6,75 ml larutan

Kondisi ini menunjukkan dari pembentukan presipitat (baik inter- maupun intragranular) karena terjadi interaksi dari satu atau lebih elemen/unsur di atmosfer dengan

untuk mempersatukan masyarakat Tidak seperti akuntansi modern yang penuh de- ngan unsur individualitas para pelaku eko- nomi, paradigma akuntansi juga menekan- kan adanya