• Tidak ada hasil yang ditemukan

KORUPSI DAN SOLUSI ANALISIS PERSPEKTIF I (1)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "KORUPSI DAN SOLUSI ANALISIS PERSPEKTIF I (1)"

Copied!
28
0
0

Teks penuh

(1)

KORUPSI DAN SOLUSI: ANALISIS PERSPEKTIF ISLAM

Zainal Abidin, S.Sy

Dosen Al Islam, Pusbangksitek UIN Jakarta

Abstrak

Sejarah korupsi sudah terjadi begitu lama, baik sebelum Islam ada atau setelah Islam ada dan diterapkan dalam bentuk Negara Islam yang Rasulullah SAW dirikan. Pada masa Rasulullah SAW dan Khulafaur Rasyidin telah mampu menumpas para koruptor dan mencegah korupsi tumbuh pada masyarakat dan aparatur pemerintahan.

Tetapi pada Abad 21 ini korupsi menjadi penyakit endemik yang mudah menyebar dan sulit dilawan. Hal ini terjadi karena Individu, keluarga, masyarakat dan aparatur pemerintahan telah terjangkir penyakit Korupsi baik sadar atau tidak sadar.

Solusi untuk membasmi penyakit korupsi dan mencabut dari akar-akarnya yaitu dengan mendidik Individu, keluarga, masyakarat, dengan kepribadian Islam dan penegakan syariah Islam untuk menghukum pelaku dan mencegah korupsi. Begitu juga aparatur pemerintahan harus bersihkan dengan mensortir SDM yang professional dan Amanah serta tindakan-tindakan tegas pemerintah kepada pejabat yang melakukan korupsi.

Selain itu Suksesi pergantian kepemimpinan pemerintahan dengan formula pemilu yang sesuai hukum Islam sehingga menghasilkan pemimpin yang berkompetensi dan amanah tanpa membuang-buang uang rakyat dengan biaya yang begitu besar.

Kata Kunci : Korupsi, Pemilu, Pemberantasan Korupsi, Majelis umat, Uqubat, Aparat Pemerintahan,

Pendahuluan

Korupsi menpunyai sejarah yang begitu lama sehingga sering menjadi profesi sampingan para pejabat di dunia yaitu memberi dan menerima uang suap. Menurut sejarah, bentuk korupsi seperti penyuapan telah terjadi sejak masa Hammurabi dari Babilonia atau sekitar tahun 1200 SM, bahkan di India kasus korupsi sudah terjadi sejak seribu tahun sebelum Isa.

Korupsi bak penyakit endemik, mudah menyebar dan sulit dilawan. Korupsi punya karakteristik penghancur yang kuat, ia merusak sistem pemerintahan, sistem sosial sampai sistem kepribadian. Korupsi pun bisa menjatuhkan sebuah peradaban, apa yang terjadi pada peradaban Islam di Andalusia bisa diangkat sebagai contoh kecil. Andalusia (sekarang Spanyol) hancur di tangan tentara Ratu Isabella dan Raja Ferdinand, Andalusia mudah hancur karena keropos, bukan saja karena gaya hidup bermewah-mewahan hedonis yang merajalela di kalangan istana, akan tetapi juga karena perilaku korup para penguasanya.

Tibanya era modernisasi di abad 20 dituduh membuat sistem korupsi menjadi lebih terselubung, arus uang via dunia maya membuat sistem pengawasan terbatas langkahnya. Korupsi pun semakin mendapat celah lebar di sini, praktek pencucian uang (money laundry) sampai transaksi narkoba pun semakin sulit dilacak. Bahkan modernisasi menjadi ongkos bagi proses perubahan dan modernisasi itu sendiri.

Dengan sistem korupsi yang lebih canggih itu, para penegak hukum kelabakan dibuatnya. Berbagai gerakan perlawanan korupsi pun sontak mendunia, semua negara ikut serta di dalamnya. Patrick Glynn dan dua orang kawannya dari Forum Ekonomi Dunia mengistilahkan fenomena ini sebagai globalisasi korupsi. Di tahun 1990-an, tulis Glynn, gerakan sedunia menentang korupsi telah menjalar seperti api kebakaran di seluruh dataran politik dunia, pemerintahan berjatuhan, partai yang sudah lama berkuasa telah kehilangan kekuasaan, dan secara beruntun para petinggi negara dari presiden sampai anggota parlemen dituntut menjadi tersangka kasus korupsi. Hal ini besar kemungkinannya karena didukung oleh beberapa orang pemikir yang menjadikan korupsi sebagai hal yang positif meski hanya dalam hal perdagangan bebas, korupsi adalah “grease in the wheel of commerse” sebagai pelumas dari roda perdagangan, korupsi berperan untuk mempercepat prosedur dan transaksi yang bertele-tele.

(2)

negara-negara tetangga seperti Malaysia, Singapura, dan Brunei. Padahal, secara kuantitatif, Indonesia adalah negara berpenganut Islam terbanyak di dunia. Fakta ini menjadi paradoks sekaligus ironi yang nyata di depan mata.

Korupsi menjadi masalah yang kronik yang terjadi di bangsa Indonesia. fenomena yang terjadi adalah budaya permisif yang timbul di masyarakat dimana haus akan hadirnya Negara yang bebas dari korupsi tetapi masih mempraktekkan perilaku koruptif, Penegakan hukum atas tindak pidana korupsi juga masih jalan ditempat khususnya pada aparat kejaksaan dan kepolisian, sektor pelayanan publik yang cenderung birokratis dan tidak efisien, sektor swasta yang juga tak sungkan mempraktikan upaya upaya korupsi demi keuntungan yang sebesar besarnya dan yang paling penting adalah sistem pemilihan pemimpin yang boros juga jadi penyebab suburnya korupsi.

Pelayanan publik yang merupakan kepanjangan tangan Negara untuk melaksanakan fungsinya mengayomi kepentingan umum warga yang berdomisili di wilayahnya juga sampai sekarang masih juga menjadi sorotan karena terlalu rumit, tidak efisien dan penuh dengan praktik praktik KKN.

Peraturan telah banyak dibuat untuk menjamin terlaksananya praktik pemerintahan yang baik (good governance) sehingga pelayanan publik bisa menjadi lebih efisien dan dampak positif bisa langsung dirasakan oleh masyarakat, kepastian atas kualitas dan kecepatan pelayanan. Namun tujuan tersebut menjadi tidak terwujud karena masih banyaknya tumpang tindih antar peraturan tersebut dan SDM yang melaksanakan tidak kompeten dan mereka melanggengkan praktek praktek KKN dengan alasan utama kesejahteraan yang diperoleh tidak mampu mencukupi pengeluaran yang harus dipenuhi.

Salah satu sumber timbulnya korupsi juga menjadi hal yang menjadi sorotan utama yaitu Komponen suksesi kepemimpinan di Indonesia. Sejak tumbangnya masa orde baru, Indonesia telah mengalami pemilu sebanyak 3 kali. Pemilihan yang dilakukan tidak hanya digunakan untuk menentukan siapa saja orang orang ‘pilihan’ yang akan bertugas untuk mewakili kepentingan seluruh rakyat di Dewan Perwakilan Rakyat tetapi juga digunakan untuk melakukan pemilihan langsung bagi figur yang akan menjadi Pimpinan Pemerintah Pusat yaitu Presiden dan Pimpinan Pemerintah daerah yaitu gubernur pada level provinsi dan bupati/walikota untuk tingkatan kabupaten/kotamadya.

Pemilihan Umum (Pemilu) dengan format tersebut ternyata memakan anggaran yang sangat besar berdasarkan data Litbang Kompas Pada tahun 2004, biaya pemilu mencapai Rp 55,909 triliun. Lalu, pada tahun 2009, biaya pemilu mencapai Rp 47,941 triliun untuk semua tingkatan. Di Pemilu Legislatif, para caleg juga harus merogoh kocek dalam, untuk meraih kursi DPR, DPD dan DPRD. Jika diakumulasikan, menurut Donny, paling tidak mencapai Rp 160 triliun. Begitu pula dalam gelaran pilkada baik Bupati, Walikota maupun Gubernur. Setidaknya biaya yang harus dikeluarkan untuk menggelar pilkada di seluruh Indonesia mencapai Rp 23,180 triliun. Biaya pelaksanaan Pilkades untuk tahun 2013, rata-rata diatas Rp 50 juta, bahkan ada desa yang menganggarkan pelaksanaan Pilkades dengan dana mencapai Rp 78 juta. Biaya ini jika bisa dilakukan penghematan tentu bisa digunakan untuk membiayai pengeluaran yang terkait pelayanan publik.

(3)

Menurut Donny, pasangan capres-cawapres pada Pemilu 2009 lalu butuh Rp 7 triliun untuk menggoda hati 70 juta pemilih. Itu data kasar Pemilu 2009. Menurut Didik Supriyanto diperkirakan, setiap pasangan calon gubernur dan wakil gubernur mengeluarkan dana Rp 10 miliar, jika satu provinsi terdapat lima pasangan calon, maka akan ketemu angka Rp 1,65 triliun. Jika setiap pasangan calon bupati dan wakil bupati serta walikota dan wakil walikota mengeluarkan dana Rp 2,5 miliar, untuk 500 kabupaten/kota akan ketemu angka Rp 5,25 triliun. Dengan tingginya biaya yang dikeluarkan tersebut yang terjadi adalah kepala daerah terpilih akan lebih berfokus untuk bagaimana cara mengembalikan dana yang telah dikeluarkan tersebut dan tentunya cara cara yang digunakan mengarah pada tindak pidan korupsi.

Atas keadaan keadaan diatas penulis tertarik untuk mencoba menyusun sebuah tulisan mengenai pemberantasan korupsi secara komprehensif Perspektif Islam melalu studi kepustakaan.

Pengertian Korupsi

Korupsi berasal dari bahasa Latin corruptio atau corruptus, yang arti harfiahnya adalah kebusukan, keburukan, kebejatan, ketidakjujuran. Secara umum korupsi didefinisikan sebagai the abuse of public resources for private gain, penyalahgunaan sumberdaya publik untuk keuntungan pribadi, korupsi juga diistilahkan sebagai white collar crime atau fraud. Di istilah media-media berbahasa Arab kata korupsi diistilahkan dengan al-fasad, atau kerusakan, di dalam salah satu index al-Qur’an kata korupsi pun ditunjukkan kepada ayat-ayat yang mengandung kata fasad.

Korupsi didefinisikan Penyalahgunaan jabatan atau kekuasaan untuk memperkaya diri. Definisi lain menyebutkan korupsi adalah penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh pejabat atau pegawai demi keuntungan pribadi, keluarga, teman, atau kelompoknya.

Belakangan kata korupsi dipadankan dengan hal yang lebih spesifik. Jika dalam konteks politik, political corruption didefinisikan sebagai penyimpangan jabatan publik Sedangkan dalam konteks teknisteologis, kata korupsi sendiri dipakai untuk mengistilahkan upaya merubah teks kitab suci yang dilakukan oleh kaum Yahudi dan Nasrani.

Sebagai tindakan pengambilan terhadap yang bukan haknya, korupsi diistilahkan al-Qur’an dengan ungkapan yang berbeda-beda tergantung teknik, jenis maupun motif pengambilannya. Di antaranya adalah ghulul (penggelapan), risywah (suap), khianat, mukabarah (eksploitasi), ghasab (menguasai milik orang lain), sariqah (pencurian), dan ikhtilash (mencopet) dan terakhir aklu suht (memanfaatkan barang haram).

Mengapa korupsi bisa terjadi? secara dasariah korupsi berkaitan dengan faktor psikokultural. Artinya, ada makna kolektif yang khas mengenai korupsi dalam masyarakat yang memungkinkan praktik tersebut merebak luas; namun makna kolektif ini juga sekaligus hadir secara kognitif di dalam benak setiap individu.

Secara filosofis, koruptor merupakan penjelmaan dari docile bodies (tubuh-tubuh yang patuh), ia digerakkan dengan kode punishment atau reward. Ia menjelma menjadi rangkaian mesin-mesin rezim yang membuat korupsi tak tampak sebagai kesalahan moral, melainkan sebagai jatah yang “sewajarnya” diterima.

Secara makro, fenomena korupsi dalam sistem bernegara juga dapat dipotret sebagai “korupsi akbar”. Moody-Stewart, yang dikutip oleh Rose- Ackerman, menjelaskan bahwa korupsi akbar terdapat pada tingkat tertinggi pemerintahan serta melibatkan proyek-proyek dan program pokok pemerintah. Karena rezim korup menjadikan suap, sogok, cari muka, penjilatan sebagai mode of being .

Dan secara teologis, korupsi adalah permasalahan aqidah, permasalahan iman kepada Tuhan. Di mana persepsinya untuk taat kepada hukum (perintah atau larangan) maupun pandangannya terhadap harta dipengaruhi oleh tingkat tauhidnya. Maka, tindakan sekecil apa pun yang di ambil seseorang, pada dasarnya hal itu cerminan dari tauhidnya.

(4)

politik dan penempatan keluarga atau golongan ke dalam kedinasan di bawah kekuasaan jabatan.

Fakta Korupsi

Menurut survei terbaru lembaga pemantau korupsi Transparency International, lebih dari seperempat orang di seluruh dunia membayar suap ketika berhadapan dengan pelayanan publik dalam 12 bulan terakhir.

Barometer Korupsi Global 2013 Transparency International didasarkan pada wawancara dengan 114.270 orang di 107 negara. Lembaga itu menggunakan survei opini publik untuk memperkirakan prevalensi korupsi di lembaga-lembaga nasional di seluruh dunia.

Lebih dari satu dari empat responden (27%) mengatakan mereka membayar suap selama 12 bulan terakhir ketika mengakses lembaga dan layanan publik yang penting. Dari mereka yang dilaporkan membayar suap, 40% mengatakan mereka melakukannya "untuk mempercepat"; 27% mengatakan "itu satu-satunya cara untuk mendapatkan layanan", sementara 21% mengatakan mereka membayar suap "sebagai hadiah, atau untuk mengucapkan terima kasih ". Sisanya 12% responden mengatakan itu "untuk mendapatkan layanan yang lebih murah".

Transparasi survei International adalah salah satu dari beberapa sumber data pada subjek, meskipun mereka fokus sebagian besar pada persepsi. Sekarang dalam edisi kedelapan, survei tahun ini adalah yang terbesar dari jenisnya dan mencakup beberapa negara, seperti Libya dan Tunisia, untuk pertama kalinya Temuan penting lainnya dari survei ini:

1. Partai politik dianggap sebagai institusi yang paling korup, diikuti oleh polisi dan peradilan. Secara global, lembaga keagamaan dipandang sebagai paling korup. Di Israel, Jepang, Sudan dan Sudan Selatan, bagaimanapun, badan keagamaan yang dipandang sangat korup.

2. Hampir dua-pertiga responden mengatakan mereka percaya kontak pribadi dan hubungan membantu mendapatkan sesuatu dilakukan di sektor publik di negara mereka. Di 10 negara, termasuk Israel, Italia, Malawi, Rusia dan Vanuatu, angka ini lebih dari 80%. 3. Pada tahun 2008, 31% responden mengatakan upaya pemerintah mereka untuk

memerangi korupsi yang efektif.Tahun ini angka itu turun menjadi 22%.

4. Di Inggris, media dan partai politik yang dinilai paling korup dan 5% dari orang yang disurvei dilaporkan membayar suap.

5. responden lebih kaya dilaporkan membayar suap lebih sering daripada rekan-rekan mereka yang lebih miskin. Dari mereka dengan penghasilan di atas rata-rata negara mereka, 31% mengatakan mereka membayar suap tahun lalu, dibandingkan dengan 26% responden dengan pendapatan di bawah rata-rata.

6. Secara global, 28% pria dilaporkan membayar suap, dibandingkan dengan 25% perempuan. Di beberapa negara, seperti Nepal dan Pakistan, banyak pria dilaporkan membayar suap daripada wanita. Di Kolombia, sementara itu, 27% wanita dilaporkan membayar suap dibandingkan dengan hanya 16% laki-laki.

(5)

Kemarahan publik terhadap korupsi dirasakan atau ditemukan telah meledak dalam beberapa tahun terakhir, dengan protes jalanan dan inisiatif warga. Lebih dari setengah dari mereka yang disurvei oleh Transparency International mengatakan mereka akan bersedia untuk berbicara dan melaporkan insiden korupsi.

Dalam laporan menyajikan temuan survei, LSM berpendapat korupsi tidak hanya meningkatkan biaya layanan penting ditanggung oleh individu dan dompet publik, tapi itu persepsi korupsi meluas mengikis kepercayaan dan keyakinan dalam proses demokrasi dan hukum.

"Korupsi bisa, dan sering, melanggar hak-hak dasar. Bagi mereka hidup dengan kurang dari $ 2 per hari ... biaya tambahan suap dapat berarti menjualkan yang seharusnya dibuat untuk kesehatan dan kelaparan, antara biaya masuk sekolah dan sepatu yang diperlukan untuk dipakai ke sekolah," laporan itu, menambahkan:" Suap tidak hanya biaya individu membayar suap - itu juga merusak alokasi yang efisien dan adil dari sumber daya, menghormati orang untuk penegakan hukum dan integritas keseluruhan masyarakat ".

Di Amerika Serikat, secara rata-rata 1 dalam 14 orang mengatakan bahwa mereka membayar suap kepada pejabat publik. Dari mereka yang membayar itu, 7 persen mengatakan mereka menyogok polisi, 11 persen mengatakan mereka menyuap penyidik, dan 15 persen mengatakan mereka menyuap hakim. Warga Amerika juga mengatakan melihat partai politik sebagai lembaga publik terkorup, dengan 76 persen responden menyatakan bahwa partai politik dicemari korupsi.

Di 36 negara, termasuk Indonesia, para responden menyebutkan bahwa kepolisian merupakan lembaga yang paling korup.

Pengamat Kepolisian Bambang Widodo Umar menanggapi hasil survei Transparency Internasional Indonesia (TII) yang menyatakan Polri merupakan salah satu lembaga pemerintahan terkorup di Indonesia. Menurutnya, penilaian itu lantaran Polri tidak serius menyelesaikan kasus korupsi di internal. “Artinya tidak ada perbaikan secara serius dari pihak kepolisian untuk memperbaiki diri bahwa di lembaganya masih banyak korupsi. Itu belum terbenahi secara benar,” kata Bambang kepada wartawan, Kamis 11 Juli 2013.

Menurut mantan Sespim Polri itu rilis TII seolah memperkuat penelitian siswa angkatan 9 Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK). Dalam penelitian PTIK 2004 lalu, pihaknya mendapat temuan yang menyatakan korupsi di lembaga Polri sudah menjalar dari bawah hingga petinggi aparat penegak hukum itu.

“Korupsi di kepolisian itu mulai dari bawah sampai ke atas itu merupakan hubungan yang saling terkait. Kalau ini tidak diperbaiki dan sampai sekarang dikatakan termasuk tertinggi ya bisa saja terjadi seperti itu,” ungkapnya. Sebelumnya, survei TII menyebutkan dalam skala korupsi menurut kelembagaan di Asia Tenggara yang paling tinggi melakukan korupsi menurut responden adalah institusi Kepolisian dengan jumlah 3,9%. Kemudian, partai politik dengan jumlah 3,6% dan ketiga diisi oleh pejabat publik yang dianggap korup dengan jumlah 3,5%.

Adapun peradilan dengan jumlah 3,4%. Parlemen sendiri dianggap korup oleh 3,3% responden. Di urutan berikutnya ada bidang bisnis dengan jumlah 3,1%. Bidang kesehatan dan pendidikan dianggap korup oleh 2,9%. Sedangkan, hasil survei Global Corruption Barometer (GBC) 2013 oleh TII menempatkan kepolisian sebagai lembaga paling korup di Indonesia yakni 4,5%. Masih dengan jumlah yang sama disusul oleh parlemen. Di urutan ketiga terkorup adalah peradilan sebesar 4,4% dan partai politik di 4,3%.

(6)

Korupsi merupakan penyakit amat berat yang menyerang Indonesia, yang kini tak lagi bersifat kasuistik atau individual, tapi sudah bersifat sistemik dan dilakukan secara kelompok/mafia (“berjamaah”). Korupsi di alam demokrasi saat ini telah merasuk ke setiap instansi pemerintah (eksekutif), parlemen/wakil rakyat (legislatif), peradilan (yudikatif), dan juga swasta. Ketua MK (Mahkamah Konstitusi) Mahfud MD pernah menyebutkan pusat-pusat korupsi di Indonesia terdapat di 4 (empat) sektor lembaga pemerintah, yaitu: pajak, bea cukai, pertamina, dan pertanahan.

Di lingkungan eksekutif saja, Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) mencatat dari 524 kepala daerah (gubernur, bupati, dan wali kota), 173 di antaranya terlibat kasus korupsi pada 2004-2012. Dari jumlah tersebut, 70 persen telah diputus bersalah dan diberhentikan, sebuah jumlah yang sungguh mencengangkan. Seperti dilansir dari situs www.setkab.go.id, di pulau Sumatera saja ada tujuh gubernur yang tersangkut kasus korupsi, termasuk Gubernur Bengkulu Agusrin Najamudin. Hanya propinsi Jambi dan Bangka Belitung (Babel) saja yang gubernurnya tidak tersangkut kasus korupsi.

Sementara berdasarkan tabulasi data penanganan korupsi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tahun 2004-2013 per 30 September 2013 memperlihatkan sedikitnya telah dilakukan 509 penyelidikan, 334 penyidikan, 203 penuntutan, 228 kasus yang sudah inkracht atau berketatapn hukum dan 236 eksekusi.

Faktor Penyebab Korupsi

Banyak teori yang membahas mengenai penyebab timbulnya korupsi. Teori GONE yang dicetuskan oleh Jack Bologne menguraikan bahwa akar penyebab korupsi berasal dari greed (keserakahan), opportunity (kesempatan), need (kebutuhan) dan Exposes (hukuman).

Keserakahan timbul karena adanya sifat tidak pernah puas yang dimiliki oleh manusia. Dengan penghasilan yang sudah tinggi pun jika dikuasai keserakahan yang dilandasi akan rasa tidak pernah puas akan kebutuhan yang dipenuhi maka korupsi pun akan dilakukan. Contoh yang ditemui baru baru ini adalah pada kasus Suap kepada mantan Kepala SKK Migas yang berinisial RR, sebagai kepala SKK Migas dan komisaris Bank Mandiri gaji yang diperoleh berkisar 260 juta perbulan tetapi dengan penghasilan tersebut RR diduga mau menerima suap dari Kernel Oil.

Kesempatan merupakan suatu keadaan yang menjadi faktor penarik tindakan kriminal. Didalam tindak pidana korupsi, kelemahan peraturan ataupun kekuasaan yang dimiliki menjadikan seseorang memiliki kesempatan untuk melancarkan aksinya.

Need atau kebutuhan merupakan salah satu penyebab lain dari korupsi. Jika pada keserakahan didorong oleh rasa tidak pernah puas, maka kebutuhan menyebabkan korupsi dikarenakan adanya keadaan yang mengharuskan seseorang untuk memberanikan diri melakukan perbuatan korupsi tersebut.

Ekposes/hukuman menjadi salah satu penyebab korupsi karena jika hukuman yang diterapkan kepada para koruptor lemah ataupun penegakan hukumnya bisa dilakukan hanky panky tentunya tidak aka efek jera dalam penindakan korupsi tersebut. Pada tulisan ini akan dibahas secara khusus mengenai langkah langkah yang bisa dilakukan untuk memperbaiki penegakan hukum tersebut.

Keempat faktor greed, opportunity, need dan expose diatas bisa saling berdiri sendiri atau bias juga timbul menjadi faktor faktor yang saling mendukung untuk mendorong seseorang melakukan perbuatan korupsi.

Apa yang menjadi faktor penyebab timbulnya korupsi? Banyak pakar sudah melakukan analisis mengenai hal ini. Menurut Erika Evida, berdasarkan analisisnya terhadap pendapat para pakar peneliti korupsi seperti Singh, Merican, Ainan, sebab-sebab terjadinya korupsi adalah 3 (tiga) faktor berikut : Pertama, gaji yang rendah, kurang sempurnanya peraturan perundang-undangan, administrasi yang lamban, dan sebagainya. Kedua, budaya warisan pemerintahan kolonial. Ketiga, sikap mental pegawai yang ingin cepat kaya dengan cara tak halal, tak ada kesadaran bernegara, serta tak ada pengetahuan pada bidang pekerjaan yang seharusnya dilakukan oleh pejabat pemerintah.

(7)

Faktor ideologis inilah, beserta beberapa faktor lainnya, menjadi penyebab dan penyubur korupsi saat ini.

Faktor ideologis tersebut terwujud dalam nilai-nilai yang menjadi anutan dalam masyarakat kini yang berkiblat kepada Barat, seperti nilai kebebasan dan hedonisme. Demokrasi-kapitalis telah mengajarkan empat kebebasan yang sangat destruktif, yaitu kebebasan beragama (hurriyah al aqidah), kebebasan kepemilikan (hurriyah al tamalluk), kebebasan berpendapat (hurriyah al ra`yi), dan kebebasan berperilaku (al hurriyah al syakhshiyyah). Empat macam kebebasan inilah yang tumbuh subur dalam sistem demokrasi-kapitalis yang terbukti telah melahirkan berbagai kerusakan. Korupsi merupakan salah satu kerusakan akibat paham kebebasan kepemilikan (hurriyah al tamalluk) tersebut.

Perlu diingat korupsi bukan hanya marak di Indonesia, tapi terjadi di masyarakat manapun yang menerapkan nilai-nilai yang bersumber dari ideologi Barat tersebut. Ledakan korupsi bukan saja terjadi di tanah air, tapi juga terjadi di Amerika, Eropa, Cina, India, Afrika, dan Brasil. Negara-negara Barat yang dianggap matang dalam menerapkan demokrasi-kapitalis justru menjadi biang perilaku bobrok ini. Para pengusaha dan penguasa saling bekerja sama dalam proses pemilu. Pengusaha membutuhkan kekuasaan untuk kepentingan bisnis, penguasa membutuhkan dana untuk memenangkan pemilu.

Faktor ideologis ini juga dapat dilihat dari diterapkannya sistem demokrasi melalui pilkada yang nyata-nyata mendorong terjadinya korupsi. Maraknya korupsi kepala daerah tidak bisa dilepaskan dari sistem demokrasi ini. Mengapa korupsi menggila di alam demokrasi? Jawabannya selain untuk memperkaya diri, korupsi juga dilakukan untuk mencari modal agar bisa masuk ke jalur politik termasuk berkompetisi di ajang pemilu dan pilkada. Sebab proses politik demokrasi, khususnya proses pemilu menjadi caleg daerah apalagi pusat, dan calon kepala daerah apalagi presiden-wapres, memang membutuhkan dana besar.

Data yang telah dikemukakan di atas, yaitu adanya 173 kepala daerah yang tersangkut berbagai kasus korupsi, menunjukkan sistem demokrasi-lah yang dapat ditunjuk sebagai faktor paling utama yang mendorong terjadinya korupsi. Tentu saja tak boleh diabaikan adanya faktor lainnya. Setidaknya ada tiga faktor lainnya, yaitu : Pertama, faktor lemahnya karakter individu (misalnya individu yang tak tahan godaan uang suap). Kedua, faktor lingkungan/masyarakat, seperti adanya budaya suap atau gratifikasi yang berawal dari inisiatif masyakat. Ketiga, faktor penegakan hukum yang lemah, misalnya adanya sikap tebang pilih terhadap pelaku korupsi, serta sanksi bagi koruptor yang tidak menimbulkan efek jera.

Kesimpulannya, faktor penyebab korupsi setidaknya ada 4 (empat), yaitu :

1. Faktor ideologis, yaitu tumbuhnya nilai-nilai kebebasan dan hedonisme di masyarakat, dan juga diterapkannya sistem demokrasi yang mendorong korupsi, 2. Faktor kelemahan karakter individu,

3. Faktor lingkungan/masyarakat, seperti budaya suap, 4. Faktor penegakan hukum yang lemah.

Dampak Korupsi

Korupsi berakibat sangat berbahaya begi kehidupan manusia, baik aspek kehidupan sosial, politik, birokrasi, ekonomi, dan individu. Bahaya korupsi bagi kehidupan diibaratkan bahwa korupsi adalah seperti kanker dalam darah, sehingga si empunya badan harus selalu melakukan “cuci darah” terus menerus jika ia menginginkan dapat hidup terus. Secara aksiomatik, akibat korupsi dapat dijelaskan seperti berikut:

Bahaya korupsi terhadap masyarakat dan individu.

Jika korupsi dalam suatu masyarakat telah merajalela dan menjadi makanan masyarakat setiap hari, maka akibatnya akan menjadikan masyarakat tersebut sebagai masyarakat yang kacau, tidak ada sistem sosial yang dapat berlaku dengan baik. Setiap individu dalam masyarakat hanya akan mementingkan diri sendiri (self interest), bahkan selfishness. Tidak akan ada kerjasama dan persaudaraan yang tulus.

(8)

Korupsi juga membahayakan terhadap standar moral dan intelektual masyarakat. Ketika korupsi merajalela, maka tidak ada nilai utama atau kemulyaan dalam masyarakat. Theobald menyatakan bahwa korupsi menimbulkan iklim ketamakan, selfishness, dan sinisism. Chandra Muzaffar menyatakan bahwa korupsi menyebabkan sikap individu menempatkan kepentingan diri sendiri di atas segala sesuatu yang lain dan hanya akan berfikir tentang dirinya sendiri semata-mata. Jika suasana iklim masyarakat telah tercipta demikian itu, maka keinginan publik untuk berkorban demi kebaikan dan perkembangan masyarakat akan terus menurun dan mungkin akan hilang.

Bahaya korupsi terhadap generasi muda.

Salah satu efek negatif yang paling berbahaya dari korupsi pada jangka panjang adalah rusaknya generasi muda. Dalam masyarakat yang korupsi telah menjadi makanan sehari-harinya, anak tumbuh dengan pribadi antisosial, selanjutnya generasi muda akan menganggap bahwa korupsi sebagai hal biasa (atau bahkan budayanya), sehingga perkembangan pribadinya menjadi terbiasa dengan sifat tidak jujur dan tidak bertanggungjawab. Jika generasi muda suatu bangsa keadaannya seperti itu, bisa dibayangkan betapa suramnya masa depan bangsa tersebut.

Bahaya korupsi terhadap politik.

Kekuasaan politik yang dicapai dengan korupsi akan menghasilkan pemerintahan dan pemimpin masyarakat yang tidak legitimate di mata publik. Jika demikian keadaannya, maka masyarakat tidak akan percaya terhadap pemerintah dan pemimipin tersebut, akibatnya mereka tidak akan akan patuh dan tunduk pada otoritas mereka. Praktik korupsi yang meluas dalam politik seperti pemilu yang curang, kekerasan dalam pemilu, money politics dan lain-lain juga dapat menyebabkan rusaknya demokrasi, karena untuk mempertahankan kekuasaan, penguasa korup itu akan menggunakan kekerasan (otoriter) atau menyebarkan korupsi lebih luas lagi di masyarakat.

Di samping itu, keadaan yang demikian itu akan memicu terjadinya instabilitas sosial politik dan integrasi sosial, karena terjadi pertentangan antara penguasa dan rakyat. Bahkan dalam banyak kasus, hal ini menyebabkan jatuhnya kekuasaan pemerintahan secara tidak terhormat, seperti yang terjadi di Indonesia.

Ekonomi

Korupsi merusak perkembangan ekonomi suatu bangsa. Jika suatu projek ekonomi dijalankan sarat dengan unsur-unsur korupsi (penyuapan untuk kelulusan projek, nepotisme dalam penunjukan pelaksana projek, penggelepan dalam pelaksanaannya dan lain-lain bentuk korupsi dalam projek), maka pertumbuhan ekonomi yang diharapkan dari projek tersebut tidak akan tercapai.

Penelitian empirik oleh Transparency International menunjukkan bahwa korupsi juga mengakibatkan berkurangnya investasi dari modal dalam negeri maupun luar negeri, karena para investor akan berfikir dua kali ganda untuk membayar biaya yang lebih tinggi dari semestinya dalam berinvestasi (seperti untuk penyuapan pejabat agar dapat izin, biaya keamanan kepada pihak keamaanan agar investasinya aman dan lain-lain biaya yang tidak perlu). Sejak tahun 1997, investor dari negara-negera maju (Amerika, Inggris dan lain-lain) cenderung lebih suka menginvestasikan dananya dalam bentuk Foreign Direct Investment (FDI) kepada negara yang tingkat korupsinya kecil.

Birokrasi

Korupsi juga menyebabkan tidak efisiennya birokrasi dan meningkatnya biaya administrasi dalam birokrasi. Jika birokrasi telah dikungkungi oleh korupsi dengan berbagai bentuknya, maka prinsip dasar birokrasi yang rasional, efisien, dan kualifikasi akan tidak pernah terlaksana. Kualitas layanan pasti sangat jelek dan mengecewakan publik. Hanya orang yang berpunya saja yang akan dapat layanan baik karena mampu menyuap. Keadaan ini dapat menyebabkan meluasnya keresahan sosial, ketidaksetaraan sosial dan selanjutnya mungkin kemarahan sosial yang menyebabkan jatuhnya para birokrat.

Hambatan Pemberantasan Korupsi

(9)

dibuat untuk memberantas korupsi, di antaranya UU no 31/1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi, UU no 20/2001 tentang perubahan atas UU no 31/1999, dan UU No 28/1999 tentang penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme). Namun bagaimana hasilnya? Boleh dikatakan pemberantasan korupsi di Indonesia masih belum memuaskan, jika tak bisa dikatakan gagal. Indonesia sudah berkali-kali menjadi juara negara paling korup di Asia.

Apa hambatan utama pemberantasan korupsi di Indonesia? Fakta berbicara, bahwa DPR sendirilah yang berusaha mengurangi kewenangan KPK melalui upaya DPR menggodok Revisi UU KPK No 30/2002. Misalnya, kewenangan melakukan penuntutan yang selama ini dimiliki KPK, hendak dihapuskan oleh DPR (lihat pasal 1 ayat 3, pasal 6 bagian c, pasal 7 bagian a; Draft Revisi UU KPK No 30/2002).

Fakta juga berbicara, bahwa penegak hukum juga menghambat pemberantasan korupsi. Contoh, Kejaksaan Tinggi Jawa Tengah tidak mengumumkan status tersangka Bupati Karanganyar Rina Iriani kepada publik.

Fakta-fakta ini menunjukkan hambatan utama pemberantasan korupsi justru terletak pada sistem yang ada saat ini. Mungkin ada yang keberatan terhadap kesimpulan ini, tapi paling tidak, fakta-fakta tersebut menunjukkan kurang seriusnya sistem yang ada dalam memberantas korupsi.

Korupsi dalam Pandangan Syariah Islam

Korupsi merupakan tindakan kejahatan yang harus ditumpas. Dalam khazanah hukum Islam, hukum yang mengarah pada tindakan korupsi seperti dalam pengertian di atas dapat dilihat pada unsur berikut ini :

1. Ghulûl

Dalam kamus Mahmud Yunus. Kata Ghulûl berasal dari isim mashdar yaitu ghalla, yaghullu, ghallan, wa ghullan, wa ghulûlan yang berarti memasukkan. Imam Syafi’i mengartikan Ghulul yaitu berbuat khianat dengan mengambil sesuatu dan menyembunyikannya.

Sayyid Sabiq mengemukakan bahwa Ghulul itu dilarang karena melukai hati kaum muslimin, menimbulkan perselisihan di antara mereka dan menyibukkan mereka mengurus harta tanpa mempedulikan lagi apa yang menjadi tugas mereka. Oleh karena itu, ghulul termasuk dosa besar berdasarkan ijma’ ulama. Bahkan, Rasulullah saw memerintahkan penjatuhan hukuman terhadap orang yang melakukan ghulul yaitu barangnya dimusnahkan dan ia ditebas agar membuat jera orang lain hingga tidak berani melakukan hal seperti itu. Abu Daud dan Tirmidzi meriwayatkan dari Umar r.a dari Rasulullah bahwa beliau bersabda “Jika kalian menemukan orang yang melakukan ghulul, maka musnahkanlah barangnya dan tebaslah ia”.

Diriwayatkan pula dari Amru bin Syu’aib dari bapaknya dari kakeknya bahwa Rasulullah saw, Abu Bakar, dan Umar membakar barang orang yang melakukan ghulul dan menebasnya.

ننومملنظظيم الن مظهمون تظبنسنكن امن سسفظنن للمكم ىفلنونتم ملنثم ةةمناينقةلظا منوظين للنغن امنبة تةأظين لظلمغظين نظمنون للنغمين نظأن يلسبةننلة نناكن امنون Al-Maraghi dalam tafsirnya, Tafsir al-Maraghi, menjelaskan bahwa kata ghulûl dalam ayat itu bermakna ‘al-akhdz al-khafiyyah’, yaitu mengambil sesuatu dengan sembunyi-sembunyi, semisal mencuri sesuatu. Kemudian makna ini sering digunakan dalam istilah mencuri harta rampasan perang sebelum didistribusikan.

Rasulullah Saw menjelaskan kata ghulul dalam hadis riwayat Adi bin Amirah al-Kindi, Rasulullah Saw bersabda, “Barangsiapa di antara kalian yang kami tugaskan untuk suatu pekerjaan (urusan), lalu dia menyembunyikan dari kami sebatang jarum atau lebih dari itu, maka itu adalah ghulûl (harta korupsi) yang akan dia bawa pada hari kiamat.”

(10)

Dalam riwayat Buraidah, Rasulullah juga menegaskan makna ghulûl, beliau bersabda, “Barangsiapa yang kami tugaskan dengan suatu pekerjaan, lalu kami tetapkan imbalan (gaji) untuknya, maka apa yang dia ambil di luar itu adalah harta ghulûl (korupsi).” (HR. Abu Daud)

2. Hadiah/Gratifikasi.

Pada dasarnya hadiah merupakan hal yang diperbolehkan, bahkan dianjurkan untuk saling memberi hadiah. Suatu pemberian dengan tujuan mengharapkan ridha Allah Swt untuk memperkuat tali silaturahmi atau menjalin ukhuwah Islamiah. Nabi Saw bersabda, “Saling memberi hadiahlah kalian, niscaya kalian saling mencinta.” (HR. Imam Malik)

Dari Abu Humaid as-Sa’idi (diriwayatkan) bahwa Rasulullah swa berkata: Pemberian hadiah kepada para pejabat adalah korupsi (gulul). [HR.Ahmad]. Menurut Ibn Hajar, hadis pendek Ahmad ini diriwayatkan melalui Ismail Ibn ’Ayyasy (w. 181/797) dari Yahya Ibn Sa’id (w. 144/761) dan merupakan ringkasan atau riwayat dengan makna dari hadis panjang diatas. Hadis ini dengan tegas menyatakan hadiah yang diterima pejabat dari masyarakat yang dipandang sebagai salah satu bentuk korupsi dan tidak boleh diterima. Yang dimaksud dengan hadiah di sini menurut para pensyarah hadis dan ulama fikih adalah pemberian yang diterima seseorang pejabat atau pegawai (petugas) yang terkait atau patut diduga terkait dengan jabatannya. An-Nawawi (w. 676/1277) menyatakan, “Dalam hadis ini Nabi saw menjelaskan sebab diharamkannya menerima hadiah (pemberian), yaitu keterkaitannya dengan jabatan. Lain halnya dengan hadiah kepada bukan pejabat (petugas), hadiah semacam itu dianjurkan”

Pemberian hadiah disini adalah hadiah dari rakyat kepada penguasa untuk kepentingan tertentu, seperti memberi hadiah kepada orang yang memiliki suatu jabatan, kekuasaan atau wewenang, maka pemberian hadiah tersebut terlarang. Hadiah seperti ini disebut juga dengan gratifikasi, yaitu uang hadiah kepada pegawai di luar gaji yang telah ditentukan. Rasulullah Saw melarang jenis hadiah (gratifikasi) seperti ini, beliau bersabda,“Siapa yang kami perkerjakan suatu pekerjaan, kemudian kami beri gaji, maka apa yang diambilnya selebih dari itu berarti suatu penipuan/ korupsi ”. (HR. Abu Daud)

Yusuf Qardhawi menceritakan dalam bukunya bahwa pernah Rasulullah saw mengirimkan seorang utusan untuk mengumpulkan zakat dari kabilah Azdi. Tetapi, stelah utusan tersebut menghadap Nabi, sebagian barang yang dibawahnya itu ditahan dan ia mengatakan kepada Nabi, “Ini untukmu dan ini untuk saya sebagai hadiah”.

Mendengar ucapan itu Nabi marah sambil berkata, “Mengapa tidak saja kamu tinggal di rumah bersama ayah dan ibumu sehingga hadiahmu itu sampai kepadamu kalau kamu orang yang jujur”.

Kemudian Nabi bersabda,“Mengapa saya memperkerjakan seorang laki-laki di antara kamu kemudian ia mengatakan: Ini untukmu dan ini hadiah untukmu? Mengapa tidak saja ia tinggal di rumah ibunya supaya diberi hadiah? Demi zat yang diriku di tanganNya!Salah seorang di antara kamu tidak akan mengambil sesuatu dengan cara yang tidak benar, melainkan ia akan menghadap Allah-kelak di hari kiamat-sambil membawa benda tersebut. Sungguh salah seorang di antar kamu tidak akan nanti di hari kiamat dengan membawa unta yang melenguh atau sapi yang menguak atau kambing yang mengembik. Kemudian, Nabi mengangkat dua tangannya sampai putihnya kedua ketiaknya tampak, seraya mengatakan: Ya Tuhan, sudahkah aya sampaikan ini?”.

Imam Syafi’i, menyatakan bahwa apabila seorang warga masyarakat memberikan hadiah kepada seorang pejabat, maka bilamana hadiah itu dimaksudkan untuk memperoleh, melalui atau dari pejabat itu, suatu hak atau suatu yang batil, maka haram atas pejabat bersangkutan untuk menerima hadiah tersebut. Hal itu karena adalah haram atasnya untuk mempercepat pengambilan hak (yang belum waktunya) untuk kepentingan orang yang ia menangani urusannya (dengan menerima imbalan) karena Allah mewajibkan mengurus hak dan imbalan atas pengambilan suatu yang batil itu lebih haram lagi. Demikian pula (haram atasnya) apabila ia menerima hadiah itu dengan menghindarkan pemberian hadiah dari suatu yang ia ingini. Adapun apabila ia dengan menerima hadiah itu bermaksud menghindarkan pemberian hadiah dari suatu kewajiban yang harus ditunaikannya, maka haram atas pejabat tersebut menghindarkan pemberian hadiah dari kewajiban yang harus dilakukannya.

(11)

Istilah lain yang juga merupakan salah satu bentuk korupsi adalah risywah, yang berasal dari kata rasya, yarsyu, rasywan wa rasywah wa risywah wa rusywah yang berarti memberi suap atau sogok kepadanya.

Dari Sauban (diriwayatkan bahwa) ia berkata: Rasulullah saw melaknat pelaku, penerima, dan perantara risywah, yaitu orang yang menjadi penghubung di antara keduanya [HR. Ahmad].

Dalam hadis ini penyuapan merupakan perbuatan yang dilarang dan dapat dikategorikan korupsi. Pelakunya tidak hanya yang menyuap, tetapi juga meliputi penerima suap dan perantara antara penyuap dan penerima suap. Penerima suap di sini adalah pejabat atau petugas yang menyelenggarakan pelayanan publik.

Yusuf Qardhawi dalam bukunya Halal dan Haram mendeskripsikan uang suap yaitu uang yang diberikan kepada penguasa atau pegawai supaya penguasa dan pegawai tersebut menjatuhkan hukum yang menguntungkan penyuap atau hukum yang merugikan lawannya atau supaya didahulukan urusannya atau ditunda karena ada suatu kepentingan dan seterusnya. Beliau dengan tegas mengatakan penguasa, pejabat dan para pembantunya diharamkan menerima uang suap. Dan kepada pihak ketiga diperingatkan jangan sampai mau menjadi perantara antara pihak penerima dan pemberi. Di dalam Al-Qur’an, Allah Swt berfirman dalam Surat Al-Baqarah ayat 188:

Artinya: “Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian lain di antara kamu dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebagian dari harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui.”

Pernyataan asy-Syafi’i ini memuat beberapa bentuk hadiah haram yang mungkin diterima pejabat (pegawai) dari pemberian hadiah, yaitu:

1. Hadiah dari pemberi dengan maksud si pemberi mendapat haknya lebih cepat dari waktunya yang semestinya;

2. Hadiah dari pemberi dengan maksud si pemberi memperoleh sesuatu yang bukan haknya, seperti hakim menerima suap dari tergugat atau terdakwa agar kasusnya dimenangkan atau dibebaskan dari tuntutan hukuman, pada hal bukti-bukti sebenarnya menunjukkan sebaliknya;

3. Hadiah dari pemberi dengan maksud pejabat bersangkutan membebaskannya dari seluruh atau sebagian kewajiban yang seharusnya ia tunaikan, seperti hadiah yang diterima petugas pajak dari wajib pajak agar kewajiban pajaknya diperkecil;

4. Hadiah yang dikategorikan sebagai korupsi ekstrotif (pemerasan), yaitu bentuk korupsi dimana pihak pemberi dipaksa melakukan penyuapan guna memcegah kerugian yang akan mengancam diri, kepentingan, orang-orang atau hal-hal yang penting baginya. Keempat bentuk pemberian hadiah yang disebutkan asy-Syafi’i ini disebut sesungguhnya risywah (boleh juga dibaca rusywah atau rasywah). Para ulama juga memasukkan pemberian seseorang kepada petugas atau pejabat untuk mendapatkan haknya sendiri yang terhalang atau untuk menolak suatu yang batil sebagai pemberian yang tidak sah, dan pemberian semacam ini, menurut sementara ulama, dinamakan as-suht.

4. Suht

Suht secara bahasa berasal dari kata kerja sahata yashatu suhtan wa suhutan yang berarti memperoleh harta haram. Ibnu Manzur menjelaskan arti suht, yaitu semua yang haram. Suht juga diartikan sesuatu yang terlarang, yang tidak halal dilakukan karena akan merusak atau menghilangkan keberkahan.

Bukhari mengutip pendapat Ibnu Sirin bahwa suht adalah risywah (suap menyuap) dalam perkara hukum atau kebijakan. Malik juga meriwayatkan bahwa orang-orang Yahudi di Khaibar pernah akan menyuap Abdullah bin Rawahah r.a dengan sejumlah perhiasan agar memberikan keringanan atau keuntungan tertentu bagi mereka, tetapi Ibnu Rawahah berkata, “Apa pun yang kamu sodorkan dari suap, maka hal itu adalah suht (yang haram) dan kami tidak akan memakannya.”

نظإةون ائئيظشن كنورلمضمين نظلنفن مظهمنظعن ضظرةعظتم نظإةون مظهمنظعن ضظرةعظأن وظأن مظهمننيظبن مظكمحظافن كنوءماجن نظإةفن تةحظسلمللة ننولماكلنأن بةذةكنلظلة ننوعماملنسن

(12)

Term al-suht dalam ayat tersebut secara leksikal berasal dari kata sahata yang memiliki makna memperoleh harta yang haram. Hal senada juga dijelaskan oleh Al-Zamakhsyari dalam tafsirnya bahwa yang dimaksud dengan al-suht adalah harta haram. Ibn Khuzaimandad, seperti yang dikutip oleh Al-Qurthubi, menjelaskan, bahwa yang dimaksud dengan al-suht adalah bila seseorang makan karena kekuasaanya. Itu lantaran dia memiliki jabatan di sisi penguasa, kemudian seseorang meminta sesuatu keperluan kepadanya, namun dia tidak mau memenuhi kecuali dengan adanya suap (risywah) yang dapat diambilnya. Jika kembali dicermati, ayat tersebut menjelaskan praktek korupsi seperti yang terjadi pada konteks kekinian. Di mana praktek suap menyuap orang yang memiliki kekuasaan merupakan bagian dari bentuk praktek korupsi yang telah menjamur di masyarakat. Banyak yang belum menyadari bahwa suap (al-suht), baik yang menerima maupun yang memberi, termasuk dalam tindakan korupsi.

5. Khâna

Khâna berarti ghadara (berkhianat, tidak jujur), naqadha, khâlafa (melanggar dan merusak). Ar-Raqib al-Isfahani, seorang pakar bahasa Arab, berpendapat bahwa khianat adalah sikap tidak memenuhi suatu janji atau suatu amanah yang dipercayakan kepadanya. Ungkapan khianat juga digunakan bagi seseorang yang melanggar atau mengambil hak-hak orang lain, dapat dalam bentuk pembatalan sepihak perjanjian yang dibuatnya, khususnya dalam masalah mu’amalah. Khianat juga digunakan kepada orang yang mengingkari amanat politik, ekonomi, bisnis (mu’amalah), sosial dan pergaulan.

Khianat adalah tidak menepati amanah. Oleh karena itu, Allah Swt sangat membenci dan melarang berkhianat. Allah berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui.” (QS. Al-Anfal: 27) Khianat yang semakna dengan pengertian korupsi, yaitu pengkhianatan terhadap amanah dan sumpah jabatan. Rasulullah Saw menggambarkan orang yang berbai’at tidak berdasarkan pada kebenaran dan ketakwaan, beliau bersabda, “Ada tiga kelompok manusia yang Allah Swt tidak mau berbicara kepada mereka di Hari Kiamat dan tidak mau menyucikan (dosa atau kesalahan) mereka dan bagi mereka siksa yang pedih, yaitu pertama, orang yang memiliki kelebihan air di perjalanan tetapi ia menghalangi Ibnu Sabil (para pejalan, musafir) untuk mendapatkannya. Kedua, orang yang memberikat bai’at kepada seorang pemimpin hanya karena kepentingan duniawi. Jika ia diberi sesuai keinginannya, ia akan memenuhi bai’at itu dan jika tidak diberikan, ia tidak memenuhi bai’atnya. Dan ketiga, orang yang menjual dagangan kepada seseorang di sore hari sesudah Asar, lalu ia bersumpah kepada Allah bahwa barang tersebut telah ia berikan (tawaran) dengan harga sekian dan sekian (untuk mengecoh pembeli) lalu ia membenarkannya, kemudian si pembeli jadi membelinya, padahal si penjual tidak memberikan (tawaran) dengan harga sekian atau sekian.” (HR. Bukhari)

6. Sariqah

Ibn Katsir dalam tafsirnya menjelaskan sebuah riwayat yang bersumber dari Abdullah bin Amr, ia mengatakan bahwa ayat ini (QS. Al-Maidah [5]: 38) turun berkenaan dengan seorang wanita yang mencuri, maka datanglah orang yang kecurian itu dan berkata pada Nabi saw. “Wahai Nabi, wanita ini telah mencuri perhiasan kami”. Maka wanita itu berkata “Kami akan menebus curiannya.” Nabi bersabda, “Potonglah tangannya!” Kaumnya berkata, “Kami akan menebusnya dengan lima ratus dinar.” Maka Nabi Saw. pun bersabda, “Potonglah tangannya!” Maka dipotonglah tangan kanannya. Kemudian wanita itu bertanya. “Ya Rasul, apakah ada jalan untuk aku bertobat?” Jawab Nabi saw,, “Engkau kini telah bersih dari dosamu sebagaimana engkau lahir dari perut ibumu”. Kemudian turunlah QS. Al-Maidah [5]: 38 tersebut.

(13)

mengambil harta orang lain secara sembunyi-sembunyi dengan jalan menganiaya, (c) mengambil harta orang lain dengan sembunyi-sembunyi, yaitu harta yang bukan diamanatkan padanya. Dari sini dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan al-sarq adalah mengambil harta orang lain yang bukan miliknya dengan jalan sembunyi-sembunyi tanpa kerelaan pemiliknya.

Para koruptor telah mencuri harta negara yang diperuntukkan bagi kesejahteraan rakyat, sedangkan dalamIslam sendiri berkeyakinan bahwa orang yang melakukan pencurian bukalah orang yang beriman, karenaseorang yang beriman, ia tidak mungkin akan melakukan korupsi atau pencurian sebagaimana sabda Rasulullah Saw, “Pencuri tidak akan mencuri ketika ia dalam keadaan beriman.” (HR. Bukhari)

Korupsi dalam Syariah Islam disebut dengan perbuatan khianat, orangnya disebut khaa`in, termasuk di dalamnya adalah penggelapan uang yang diamanatkan atau dipercayakan kepada seseorang. Tindakan khaa`in ini tidak termasuk definisi mencuri (sariqah) dalam Syariah Islam, sebab definisi mencuri (sariqah) adalah mengambil harta orang lain secara diam-diam (akhdzul maal ‘ala wajhil ikhtifaa` wal istitar). Sedang khianat ini bukan tindakan seseorang mengambil harta orang lain, tapi tindakan pengkhianatan yang dilakukan seseorang, yaitu menggelapkan harta yang memang diamanatkan kepada seseorang itu.

Karena itu, sanksi (uqubat) untuk khaa`in (pelaku khianat) bukanlah hukum potong tangan bagi pencuri (qath’ul yad) sebagaimana diamanatkan dalam QS Al Ma`idah : 38, melainkan sanksi ta’zir, yaitu sanksi yang jenis dan kadarnya ditentukan oleh hakim.

Dalam sebuah hadis dari Jabir bin Abdullah, Rasulullah SAW bersabda : “Laysa ‘ala khaa`in wa laa ‘ala muntahib wa laa ‘ala mukhtalis qath’un.” (Tidak diterapkan hukum potong tangan bagi orang yang melakukan pengkhianatan [termasuk koruptor], orang yang merampas harta orang lain, dan penjambret).” (HR Abu Dawud).

Lalu kepada koruptor diterapkan sanksi apa? Sanskinya disebut ta’zir, yaitu sanksi yang jenis dan kadarnya ditentukan oleh hakim. Bentuk sansinya bisa mulai dari yang paling ringan, seperti sekedar nasehat atau teguran dari hakim, bisa berupa penjara, pengenaan denda (gharamah), pengumuman pelaku di hadapan publik atau media massa (tasyhir), hukuman cambuk, hingga sanksi yang paling tegas, yaitu hukuman mati. Teknisnya bisa digantung atau dipancung. Berat ringannya hukuman ta’zir ini disesuaikan dengan berat ringannya kejahatan yang dilakukan. .

Pemberantasan korupsi pada kehidupan bermasyarakat

Individu yang berkepribadian Islam

Masyarakat mempunyai peran penting dalam memberantas korupsi dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Korupsi merajalela lantaran sistem yang diterapkan meminggirkan syariat Islam. Sehinggga pemikiran, perasaan dan aturan yang berkembang di tengah masyarakat menjadi rusak dan merusak. Lantas bagaimana syariat Islam meminimalisir angka korupsi? Bagaimana pula agar syariat Islam dapat ditegakkan? Pertanyaan ini perlu dijawab dengan solusi Islam yang tuntas sehingga korupsi bisa dihilangkan.

Setiap individu dalam masyarakat sangat berperang penting akan terjadi dan pemberantasan korupsi. Agar individu dalam masyarakat bisa dicegah dari sikap korupsi maka harus dilakukan pembinaan Kepribadian Islam dengan Tsaqafah Islam sehingga mereka menjadi pribadi yang amanah dan tidak berani melakukan perilaku pidana khususnya Korupsi.

(14)

Hadis tersebut menyiratkan betapa berharganya status ‘halal’ selalu melekat pada segala sesuatu yang kita miliki. Sabda Nabi SAW tersebut juga mengingatkan kita betapa harus berhati-hatinya kita ‘mengkonsumsi’ dan memanfaatkan segala sumberdaya yang dianugerahkan kepada kita. Jika satu teguk saja minuman haram atau satu suap saja makanan haram tercerna di dalam tubuh kita, ancaman neraka telah didengungkan oleh Rasulullah. Jika satu lembar kertas saja atau satu batang pensil saja yang kita gunakan adalah didapatkan dari cara yang haram, maka kabar dari Nabi SAW tersebut sudah siap menghantui kita.

Sangat disayangkan, kehati-hatian dalam memperoleh atau memanfaatkan harta dunia seakan sudah tidak dipentingkan lagi oleh umat manusia. Dalam kehidupan sehari-hari, sering kita jumpai berbagai golongan manusia yang tidak menghiraukan cara-cara yang baik dalam mendapatkan harta. Dari level preman yang memalak para pelajar atau para penumpang angkutan umum, para pencuri yang tertangkap kamera pengintai, para pegawai negeri yang menggunakan waktu jam kerja untuk keperluan pribadi, hingga para pejabat negara yang melakukan tindak pencurian harta negara atau yang lazim kita kenal dengan korupsi.

Keluarga hindari sikap nepotisme

Keluarga berperan penting dalam menjaga anggota keluarga untuk mencegah dari perbuatan korupsi, terutama adanya anggota keluarga yang menjadi pejabat. Dalam islam Istilah Nepotisme biasa dipakai untuk menerangkan praktik dalam kekuasaan umum yang mendahulukan kepentingan keluarga dekat untuk mendapatkan suatu kesempatan. Dalam bahasa arabnya biasa dipakai istilah “al-Muhabah”.

Dalam manajemen pemerintahannya Utsman menempatkan beberapa anggota keluarga dekatnya menduduki jabatan publik strategis. Hal ini memicu penilaian ahli sejarah untuk menekankan telah terjadinya proses dan motif nepotisme dalam tindakan Utsman tersebut.

Jika yang diserahi tugas itu adalah kerabat dekat dari orang yang memberi tugas, bukanlah menjadi persoalan. Yang penting apakah orang tersebut memenuhi persyaratan atau tidak. Jadi prinsip yang ditanamkan dalam Islam adalah soal kompetensi seseorang atas sesuatu jabatan, bukan ada tidaknya hubungan kekerabatan. Kalaupun sekiranya pemangku sebuah jabatan adalah keluarga dari orang menunjuk, selama orang tersebut berkompeten/berhak dan tidak ada pihak-pihak yang merasa dizalimi, maka hal itu tidaklah menjadi persoalan Seperti yang tersirat dalam Al-Qur-an Surat al-Nahl ayat 90 Artinya: “Sesungguhnya Allah menyuruh berlaku adil, dan berbuat kebaikan, serta memberi bantuan kepada kaum kerabat; dan melarang daripada melakukan perbuatan-perbuatan Yang keji dan mungkar serta kezaliman. Ia mengajar kamu (dengan suruhan dan laranganNya ini), supaya kamu mengambil peringatan mematuhiNya” (QS.Surat al-Nah (14): 90).

Tapi jika kita memegang prinsip “kekerabatan” sebagai landasan, dalam arti setiap ada hubungan kekerabatan seseorang dengan pejabat yang menunjuk maka itu sudah merupakan nepotisme yang terlarang, secara rasional barangkali sikap ini kurang obyektif. Hanya gara-gara hubungan kerabat, seseorang tidak berhak mendapatkan haknya, padahal ia berkompeten dalam urusan itu, tentu sikap seperti ini berlebihan yang tidak pada tempatnya. Jadi dalam pandangan Islam, nepotisme tidak selamanya tercela. Yang dilarang adalah menempatkan keluarga yang tidak punya keahlian dalam suatu posisi karena didasari oleh adanya hubungan kekeluargaan. Atau punya kapasitas, tetapi masih ada orang yang lebih berhak untuk jabatan itu, namun yang didahulukan adalah keluarganya. Ini juga nepotisme yang tercela. Karena ada orang lain yang dizalimi,- tidak mendapatkan haknya.

Pengawasan Masyarakat

(15)

Inilah pentingnya seruan penerapan syariat Islam guna menyelesaikan segenap problematika yang dihadapi negeri ini, termasuk dalam pemberantasan korupsi. Karenanya, selamatkan Indonesia dan seluruh umat dengan syariah.

Pemberantasan Korupsi Melalui Perbaikan Penegakan Hukum

Penerapan Uqubat Islam

Korupsi merupakan tindak pidana atau Uqubat yang harus dihukum dengan hukum Islam. ‘Uqubat disyari’atkan untuk mencegah manusia dari tindak kejahatan. Allah Swt. berfirman, artinya

“Dan dalam qishash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, hai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertaqwa.” (QS. al-Baqarah [2]:179),

maksudnya, di dalam pensyari’atan qishash bagi kalian, yakni membunuh pembunuh, ada hikmah yang sangat besar, yaitu menjaga jiwa. Sebab, jika pembunuh mengetahui akan dibunuh, maka ia akan merasa takut untuk melakukan pembunuhan. Itu sebabnya, di dalam qishash ada jaminan hidup bagi jiwa. Pada ghalibnya, jika orang berakal mengetahui bahwa bila ia membunuh akan dibunuh, maka ia tidak akan melakukan pembunuhan tersebut. Dengan demikian, ‘uqubat berfungsi sebagai zawajir (pencegahan). Keberadaannya disebut sebagai zawajir, sebab dapat mencegah manusia dari tindak kejahatan.

Keberadaan uqubat sebagai zawajir, karena mampu mencegah manusia dari perbuatan dosa dan tindakan pelanggaran. Keberadaan ‘uqubat sebagai zawabir, dikarenakan ’uqubat dapat menebus sanksi akhirat. Sanksi akhirat bagi seorang muslim akan gugur oleh sanksi yang dijatuhkan negara di dunia. Dalilnya adalah sebagaimana diriwayatkan oleh Bukhari dari ‘Ubadah bin Shamit ra berkata:

“Kami bersama Rasulullah saw dalam suatu majelis dan beliau bersabda, “Kalian telah membai’atku untuk tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu, tidak mencuri, tidak berzina, kemudian beliau membaca keseluruhan ayat tersebut. “Barangsiapa diantara kalian memenuhinya, maka pahalanya di sisi Allah, dan barangsiapa mendapatkan dari hal itu sesuatu maka sanksinya adalah kifarat (denda) baginya, dan barangsiapa mendapatkan dari hal itu sesuatu, maka Allah akan menutupinya, mungkin mengampuni atau mengadzab.”

Hadits ini menjelaskan bahwa sanksi dunia diperuntukkan untuk dosa tertentu, yakni sanksi yang dijatuhkan negara bagi pelaku dosa, dan ini akan menggugurkan sanksi akhirat. Untuk meraih itu, Ma’iz mengakui perzinaannya, kemudian ia dirajam hingga mati. Demikian pula Ghamidiyyah, ia mengakui perzinaannya kemudian dirajam hingga mati. Seorang wanita dari suku Juhainah mengaku zina, lalu dirajam hingga mati. Rasulullah saw berkomentar tentang mereka,

“Sungguh ia telah bertaubat, seandainya dibagi antara 70 penduduk Madinah, sungguh akan mencakup semuanya.”

Dengan penerapan Uqubat oleh pemerintah maka permasalahan Korupsi bisa diselesaikan sesuai hukuman yang ada dalam syariah Islam. Sanksi Uqubat di dunia dilaksanakan oleh imam (Khalifah) dan wakilnya, yakni diselenggarakan oleh negara dengan cara menegakkan hudud Allah, dan melaksanakan hukum-hukum jinayat, ta’zîr dan mukhalafat.

Aparat Kepolisian sebagai penegak hukum

Dalam Islam, Polisi (syurthah) bertugas menjaga keamanan di dalam negeri, di bawah Departemen Keamanan Dalam Negeri (DKDN). Departemen ini mempunyai cabang di setiap wilayah/daerah yang dipimpin oleh kepala polisi (syahib as-syurthah) di wilayah/daerah tersebut.

Polisi (syurthah) dalam Negara Islam (Khilafah) ada 2 yakni polisi militer dan polisi yang berada di bawah otoritas Khalifah/kepala daerah. Adapun yang boleh menjadi polisi adalah pria dan wanita balig, dan warga Negara Khilafah. Mereka mempunyai seragam tersendiri, dengan identitas khusus untuk menjaga keamanan.

(16)

Adapun yang layak menjadi kepala polisi (syahib as-syurthah), menurut Ibn Abi ar-Rabi’ dalam Suluk al-Malik fi Tadbir al-Mamalik, adalah orang yang sabar, berwibawa, tidak banyak bicara, berpikir panjang dan mendalam, tegas, cerdas, hidupnya bersih, tidak grasa-grusu, sedikit senyum dan tidak mudah memberi ampun.

Tugas utama polisi adalah menjaga keamanan di dalam negeri. Selain itu, mereka juga ditugasi untuk menjaga system, mensupervisi keamanan di dalam negeri dan melaksanakan seluruh aspek teknis/eksekusi. Adapun maksud polisi berada di bawah otoritas Khalifah/kepala daerah (wali/’amil), mereka akan malaksanakan apa saja yag dibutuhkan oleh Khalifah/kepala daerah sebagai pasukan eksekusi untuk mengeksekusi pelaksanaan hukum syari’ah, menjaga system, keamanan, patrol, ronda malam hari, mengintip pencuri, mencari pelaku criminal dan orang yang dikhawatirkan keburukannya .

Polisi juga bertugas menghukum orang-orang yang dicurigai (ahl ar-raib), karena bekerja sama dengan kafir Harbi fi’lan (musuh umat Islam). Orang-orang yang seperti ini bisa muslim maupun ahli Dzimmah, bisa individu maupun organisasi. Kalau sekarang, mereka itu seperti aktifis liberal, LSM komprador, dan antek-antek AS, Inggris maupun sekutunya yang lain yang memusuhi Islam. Dalam kasus ini negara bisa memata-matai mereka dengan alasan bahwa memata-matai kafir Harbi fi’lan hukumnya wajib dan kafir Harbi hukman dalam kondisi normal boleh, tetapi bisa juga wajib ketika membahayakan Negara.begitupun dengan orang-orang yang dicurigai juga boleh untuk memata-matai mereka.

Dalam kasus murtad, ketika vonis hukuman mati sudah dijatuhkan oleh pengadilan (qadha’ khushumah), maka polisilah yang mengeksekusi hukuman mati tersebut. Dalam kasus terror, merompak, merampok harta masyarakat dan menghilangkan nyawa mereka, Negara bisa mengirim polisi untuk mengikuti gerak-gerik mereka, menangkap dan menjatuhi hukuman bunuh dan disalib, atau dibunuh, dipotong tangan dan kakinya secara menyilang, atau dibuang di suatu tempat terpencil. Sementara terhadap tindakan mencuri, merampok, korupsi, menyerang orang, baik dengan memukul, melukai, membunuh maupun menyerang kehormatan mereka, dengan mencemarkan nama baik dan menuduh zina, kepolisian bisa mencegahnya dengan deteksi dini, pengawasan dan control. Dalam kasus ini, polisi juga bertindak sebagai eksekutor, ketika vonis telah dijatuhkan oleh pengadilan.

Ada sebuah kisah menarik yang diceritakan Syauqi Abu Khalil dalam bukunya. Hal ini berkenaan tentang diangkatnya Abdurrahman bin ‘Ubaid At-tamimi ketika diangkatnya beliau sebagai pemangku jabatan kepala polisi pada masa Al-Hajjaj. Al- Haitsam dari Mujahid dari Sya’bi. Hajjaj berkata: “Tunjukkan kepadaku orang yang akan tempatkan sebagai kepala polisi”.“Orang seperti apa yang engkau inginkan?” tanya para pembantunya. Ia menjawab, “ aku menginginkan orang yang berwajah yang menakutkan, pekerja keras, berani menyuarakan kebenaran, sehingga orang-orang kaya tidak akan berani melakukan kolusi”.

“Jika itu yang engkau inginkan, pilihlah Abdurahman bin ‘Ubaid At-tamimi,” kata mereka. Maka dimintalah seseorang untuk memintanya bertugas. At-tamimi berkata, “Aku tidak akan menerima jabatan ini kecuali jika engkau bisa menjaminku dari rongrongan keluargamu, anakmu, dan orang-orangmu”.

Hajjaj berkata, “Wahai pengawal, kumpulkan orang-orang dan umumkan, siapa saja dari mereka yang meminta suatu kebutuhan kepada At-tamimi, maka sesungguhnya aku membebaskannya darinya”.

Lalu, Sya’bi melanjutkan, “Maka demi Allah, aku belum pernah seorang kepala polisi sepertinya. Ia tidak menahan kecuali dalam hal utang. Apabila didatangkan kepadanya seseorang yang melakukan pembunuhan, ia tegakka qishash. Jika didatangkan kepadanya orang yang melakukan penyerangan menggunakan besi atau menghunus senjatanya, maka ia potong tangannya. Apabila didatangkan orang yang membakar rumah penduduk, ia bakar. Dan jika didatangkan kepadanya orang yang dicurigai (yang dikenal sebagai pencuri (koruptor) misalkan, tapi tidak didapatkan barang bukti) ia pukul sebanyak tiga ratus kali.”

Sejak itu, kira-kira sekitar empat puluh malam ia bertugas, tidak ada kasus terjadi. Al-Hajjaj pun menggabungkan wilayah Bashrah dan wilayah kufah dalam tanggung jawabnya’.

(17)

mendalam kepada mereka, maka tugas berat itu pun bisa mereka jalankan dengan keikhlasan sebagai ibadah kepada Allah.

Sosok polisi yang seperti inilah yang umat dambakan di masa akan datang yang mampu memberikan penyelesaian masalah benar-benar ikhlas menolong masyarakat tanpa melihat kaya dan miskin, tinggi dan rendah derajat mereka karena polisi tersebut bekerja berdasarkan kesadaran akan amanah dari Allah swt.

Aparat Peradilan Penegak Keadilan

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mencontohkan sikap keadilan di hadapan umat. Beliau tetap bersikap adil, meskipun kepada kalangan dari kasta yang tinggi. Bahkan dalam sebuah hadits disebutkan, beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam marah manakala keadilan tidak ditegakkan kepada seorang wanita yang memiliki status sosial tinggi.

Dari 'Urwah, dari 'Aisyah Radhiyallahu anhuma, ia berkata : "Suatu hari orang-orang Quraisy merasa bingung dengan kasus seorang wanita dari suku Makhzumah yang mencuri. Mereka berkata,'Siapakah yang berani menghadap Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk meminta keringanan kepada beliau?', merekapun menjawab,'Tidak ada yang berani selain Usaamah bin Zaid; seorang kesayangan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam '."

Maka, berbicaralah Usaamah kepada Rasulullah. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam lantas menjawab: "Apakah engkau akan meminta keringanan tentang sebuah hukum dari hukuman Allah Subhanahu wa Ta’ala ?"

Lalu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berdiri dan berkhutbah: "Sesungguhnya orang-orang sebelum kalian telah binasa, disebabkan bila ada orang yang mulia mencuri mereka biarkan. Tetapi bila yang mencuri orang yang lemah, maka mereka tegakkan hukuman baginya. Demi Allah Subhanahu wa Ta’ala , kalau seandainya Faathimah bintu Muhammad mencuri, sungguh akan aku potong tangannya". [HR al-Bukhâri dan Muslim]

Demikian, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menegakkan keadilan, dan tanpa pandang bulu. Semua manusia harus merasakannya. Siapapun, bila seseorang melanggar hukum, maka hukuman itu harus tetap ditegakkan. Seorang yang benar, ia akan mendapatkan haknya. Sedangkan seorang yang salah, ia pun akan mendapatkan hukumannya.

Suatu hari, 'Amirul-Mu`minin 'Ali Radhiyallahu anhu kehilangan baju besinya yang jatuh dari untanya. Tiba-tiba beliau melihat baju itu di tangan seorang Yahudi. Beliaupun berseru kepada orang Yahudi itu: "Wahai, Fulan. Itu adalah baju besiku yang tempo hari jatuh dari untaku".

Orang Yahudi menjawab: "Ini baju besiku, karena sekarang ada di tanganku," tetapi orang Yahudi itu berkata lagi: "Sudahlah! Permasalahan ini biar diselesaikan oleh hakim kaum Muslimin saja," maka keduanya pergi ke Syuraih yang saat itu menjabat sebagai hakim kaum Muslimin. Syuraih sendiri diangkat oleh 'Amirul-Mu`minin 'Ali Radhiyallahu anhu. Ketika Syuraih melihat kedatangan 'Amirul-Mu'minin, ia lalu bergeser dari tempat duduknya, yang kemudian 'Ali duduk di tempat tersebut, lalu berkata: "Jika seandainya orang yang akan aku adukan ini seorang muslim, maka aku akan samakan duduknya denganku -saat itu tempat duduk 'Ali Radhiyallahu anhu lebih tinggi dari orang Yahudi itu- karena aku pernah mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: "Janganlah kalian samakan orang-orang kafir itu ketika mereka duduk dengan kalian".

Kemudian Syuraih pun segera berkata: "Apa yang ingin engkau sampaikan, wahai 'Amirul-Mu`minin?". 'Ali Radhiyallahu anhu mejawab: "Baju besiku terjatuh dari untaku, lalu ditemukan oleh orang Yahudi ini". Syuraih bertanya: "Apa yang akan engkau sampaikan, wahai Fulan?". Orang Yahudi itu menjwab: "Ini baju besiku, karena sekarang ada di tanganku".

Syuraih berkata: "Benarkah ini baju besi milikmu, wahai 'Amirul-Mu`minin? Tetapi engkau harus ada dua orang saksi," maka beliau pun kemudian memanggil Qanbara (bekas budak beliau) bersama Hasan (putra beliau).

(18)

Husain adalah dua orang yang akan menjadi pemuka pendudk surga dari kalangan pemuda'." Suraihpun menjawab: "Ya, itu benar!"

'Ali kemudian berkata: "Bagaimana mungkin pemuka penduduk surga dari kalangan pemuda tidak bisa menjadi saksi?"

Syuraihpun berkata kepada orang Yahudi: "Ambilah baju besi ini". Sejurus kemudian, orang Yahudi tersebut berkata: "Pemimpin kaum Muslimin datang bersamaku ke pengadilan mengadukan permasalahannya. Dan sang hakim memutuskan, akulah yang menang, tetapi beliau rela dengan keputusan itu.

Wahai 'Amirul-Mu`minin, engkaulah yang benar. Demi Allah, baju besi ini sebenarnya milik anda yang tempo hari terjatuh dari ontamu yang kemudian aku ambil. Maka dengan ini, aku bersaksi tidak ada Ilah selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah," tetapi kemudian, 'Ali justru menghadiahkan baju besi itu kepada orang Yahudi tersebut.

Hukum pembuktian dalam Islam

Hukum pembuktian dalam Islam sama halnya dengan hukum syara’ yang lain, merupakan hukum yang digali dari dalil yang bersifat rinci. Hukum pembuktian kadang-kadang terjadi pada kasus pidana (‘uqubat), kadang terjadi pula pada kasus-kasus perdata (mu’amalat).

Bukti itu ada empat dalam Islam, yakni: pengakuan, sumpah, kesaksian dan dokumen-dokumen tertulis. Sedangkan indikasi (qarinah) tidak termasuk bukti.

Pengakuan

Pengakuan dari pelaku bahwa ia telah mengambil harta ghulul dan seorang Qadhi harus meneliti kebenaran pengakuannya itu, seperti halnya Rasulullah meneliti pengakuan zina oleh Al-Aslami (apakah engkau menyetubuhinya?, apakah seperti anak celak masuk kedalam celak?, apakah seperti timba masuk kedalam sumur? – HR Abu Dawud dan Daruquthni). Hal ini untuk memastikan bahwa ia benar-benar telah melakukannya.

Sumpah

Hal ini merupakan kelanjutan dari pengakuan , ia harus bersumpah atas perbuatan tersebut benar-benar telah dilakukannya. Sumpah ini atas permintaan Qadhi, Sumpah itu wajib didasarkan pada niat orang yang meminta (HR Muslim).

Kesaksian

Dalam banyak ayat dan hadits dijelaskan bahwa pada umumnya kasus ‘uqubat dan mu’amalat dengan menghadirkan 2 orang saksi laki-laki, seperti: kasus jual beli (Al-Baqarah 282), wasiat (Al-Maidah 106), Talak dan rujuk (Ath-Thalaq 2), temuan luaqathah (HR Imam Ahmad), dan lain-lain, kecuali kasus zina dengan 4 orang saksi. Sedangkan jika tidak ada saksi laki-laki maka dapat diganti dengan 2 orang saksi wanita.

Kesaksian inipun harus disaksikan langsung oleh pemberi saksi (al-mu’ayanah), melalui panca indranya. Dan dilakukan dihadapan Qadhi pada sidang pengadilan, diluar pengadilan tidak syah.

Dokumen

Dokumen-dokumen yang ditanda-tangani oleh pemiliknya sendiri baik dihadapan instansi resmi maupun tidak, dokumen ini merupakan pengakuan tertulis dan tidak berbeda dengan pengakuan lisan. Begitu juga dokumen-dokumen yang dikeluarkan oleh Badan resmi dapat dijadikan bukti dipengadilan, salinan (copy) dokumen tidak dapat dijadikan bukti selama belum ada pengesahan dari Badan yang mengeluarkan.

Hukuman sanksi (‘uqubat) terdiri dari 4 macam: had, qishash, ta’zir dan mukhallafat. Sedangkan sanksi (‘uqubat) bagi pelaku ghulul adalah ta’zir (bukan had), karena harta yang dicuri merupakan harta yang syubhat (harta negara/baitul mal) dan merupakan harta milik umum, sama halnya anak mencuri harta bapaknya, istri mencuri harta suaminya maka tidak dikenai had tetapi ta’zir. Ta’zir adalah pelanggaran atas hukum syara’ (wajib dan haram), tetapi belum ditetapkan kadar sanksinya secara syar’i maka diserahkan kepada penguasa (qadhi/khalifah) untuk menetapkan sanksinya.

(19)

barangnya telah rusak/cacat/berkurang maka harus dikembalikan dengan barang lain yang senilai harganya.

Barangsiapa menemukan barangnya terdapat pada seorang laki-laki maka ia yang paling berhak terhadap barang tersebut, dan orang yang menjualnya harus mengembalikan barang jualannya itu (HR Abu Dawud).

Dalam hal ini putusan Qadhi tidak mengubah hakikat hukum syari’at, yakni tidak dapat merubah haram menjadi halal atau sebaliknya. Hakim hanya dapat menghukumi apa yang dapat dilihat, didengar dan disaksiikan para saksi, dan Qadhi manusia biasa yang bisa saja salah.Jika keputusannya salah maka Qadhi memperoleh satu pahala, sedangkan dosanya ditanggung oleh penipunya.

Pemberantasan Korupsi melalui Perbaikan Pelayanan Publik

Prinsip pengaturan administrasi di departemen-departemen,biro-biro, dan unit-unit pemerintah adalah sederhana dalam sistem, cepat dalam pelaksanaan tugas serta memiliki kemampuan (profesional) bagi mereka yang memimpin urusan administrasi.

Dengan diterapkannya Syariah Islam (nantinya) sebagai satu-satunya sistem hukum tunggal di negeri ini, maka Syariah Islam akan dapat memainkan perannya yang sangat efektif untuk memberantas korupsi, baik peran pencegahan (preventif) maupun penindakan (kuratif).

Secara preventif paling tidak ada 9 (Sembilan) langkah untuk mencegah korupsi terjadi pada aparat pemerintahan yang akan memberikan layanan publik, menurut Syariah Islam sebagai berikut :

Pertama, rekrutmen SDM aparat negara wajib berasaskan profesionalitas dan integritas, bukan berasaskan koneksitas atau nepotisme. Dalam istilah Islam, mereka yang menjadi aparatur peradilan wajib memenuhi kriteria kifayah (kapabilitas) dan berkepribadian Islam (syakhshiyah islamiyah). Nabi SAW pernah bersabda,“Jika urusan diserahkan kepada yang bukan ahlinya, maka tunggulah Hari Kiamat.” (HR Bukhari). Umar bin Khaththab pernah berkata,“Barangsiapa mempekerjakan seseorang hanya karena faktor suka atau karena hubungan kerabat, berarti dia telah berkhianat kepada Allah, Rasul-Nya, dan kaum mukminin.”

Kedua, negara wajib melakukan pembinaan kepada seluruh aparat dan pegawainya. Khalifah Umar bin Khaththab selalu memberikan arahan dan nasehat kepada bawahannya. Umar pernah menulis surat kepada Abu Musa Al-Asy’ari,”Kekuatan dalam bekerja adalah jika kamu tidak menunda pekerjaan hari ini sampai besok. Kalau kamu menundanya, pekerjaanmu akan menumpuk….”

Ketiga, negara wajib memberikan gaji dan fasilitas yang layak kepada aparatnya. Sabda Nabi SAW,”Siapa saja yang bekerja untuk kami, tapi tak punya rumah, hendaklah dia mengambil rumah. Kalau tak punya isteri, hendaklah dia menikah. Kalau tak punya pembantu atau kendaraan, hendaklah ia mengambil pembantu atau kendaraan.” (HR Ahmad). Abu Ubaidah pernah berkata kepada Umar,”Cukupilah para pegawaimu, agar mereka tidak berkhianat.”

Keempat, Islam melarang menerima suap dan hadiah bagi para aparat negara. Nabi SAW bersabda,“Barangsiapa yang menjadi pegawai kami dan sudah kami beri gaji, maka apa saja ia ambil di luar itu adalah harta yang curang.” (HR Abu Dawud). Tentang hadiah kepada aparat pemerintah, Nabi SAW berkata, “Hadiah yang diberikan kepada para penguasa adalah suht (haram) dan suap yang diterima hakim adalah kekufuran.” (HR. Ahmad).

Kelima, Islam melarang melakukan kecurangan (ghulul) bagi para aparat Negara. Pendapatan di luar ujrah atau imbalan para aparat Negara adalah perolehan yang diharamkan.

Rasulullah saw.

Siapa saja yang kami (negara) beri tugas untuk melakukan suatu pekerjaan dan kepadanya telah kami berikan rezeki(upah/gaji), maka apa yang diambil olehnya selain dari (upah/gaji) itu adalah ghulûl (kecurangan). (HR Abu Dawud).

Referensi

Dokumen terkait

Hasil pengamatan pergerakan penumpang yang kemudian di dokumentasikan berupa gambar foto meliputi beberapa hal sebagai berikut: 1). Ketersediaan jembatan penyeberangan

Hasil penelitian ini diharapkan untuk menambah pengetahuan dan wawasan tentang akuntansi keuangan di dalam perusahaan, khususnya yang berhubungan dengan

Metode analisis data terdiri atas 3 tahap, yaitu analisis pola spasial longsor, penggunaan lahan, dan lereng; analisis pola spasial bentuklahan, jejaring jalan,

Struktur memiliki arti sebagai cara sesuatu dibangun, susunan, bangunan atau tersusun dengan suatu pola tertentu, sehingga pengertian dari struktur musik adalah pola susunan dalam

Berdasarkan pembahasan yang telah dilakukan, penciptaan buku ilustrasi ini bertujuan sebagai media perkenalan kesenian budaya, pembelajaran yang menarik untuk menumbuhkan

Orientasi merupakan tahapan yang dilakukan oleh penyaji untuk memfokuskan pada materi yang berkaitan dengan bentuk tari tradisi gaya Surakarta Putri jenis Srimpi, wireng

Takwil firman Allah مكقتأ دنع مكمركأ إ (Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa). Maksudnya adalah,

Dari table 1 diketahui bahwa koefisien determinasi atau R square sebesar 0,996 berarti bahwa kontribusi pengaruh yang diberikan prestasi belajar terhadap minat berwirausaha siswa