BAB II
TINJAUAN UMUM KATANA SHINKEN
Dalam bab ini akan dibahas secara mendalam mengenai bagian-bagian
pedang Jepang yang merupakan asal usul katana shinken untuk menjelaskan
perbedaan jenis pedang, dan evolusi apa saja yang terjadi pada zaman tiap-tiap
pedang itu sendiri sehingga katana shinken ada setelah mengalami perubahan
bentuk dari tachi menjadi uchigatana kemudian katana shinken. Sugata (姿)
yaitu perubahan bentuk bilah pedang Jepang dijelaskan pada bab ini, hal tersebut
dilakukan untuk menghindari pembahasan Nihonto yang terlalu luas dan hanya
memusat pada Jenis pedang yang menjadi cikal bakal katana shinken saja.
2.1 Bagian-Bagian Pedang Jepang
Pedang Jepang sangat berbeda dari segala jenis pedang dari bangsa lain.
Hal tersebut dikarenakan setiap detail dari pedang Jepang itu sendiri, dipandang
berharga oleh masyarakat maupun Tosho. Detail dari setiap bagian pedang Jepang
mengalami perubahan pada tiap zaman yang membuat pedang berubah Fungsi dan
Maknanya. Untuk membantu penjelasan akan perubahan tiap zaman pedang
Jepang maka perlu di jabarkan bagian pedang Jepang itu sendiri.
Bagian – bagian dari satu set pedang Jepang, antara lain :
1. Kissaki : Titik ujung pedang, atau didefinisikan sebagai area
2. Yokote : Area dalam ujung pedang, atau disebut sebagai
punggung kissaki.
3. Shinogi : Sebuah garis menonjol di kedua sisi bilah pedang,
yang menyambung sampai ujung pedang daerah yokote. Garis ini
biasanya lebih dekat ke area belakang (mune) dari pada sisi tajam
(ha).
4. Ha : Bagian sisi bawah pedang yang merupakan area
tajam.
5. Hamon : Garis tempa yang berkelok pada kedua sisi pedang
yang berada di antara tempahan ha dan ji, garis ini merupakan
tempat darah target mengalir.
6. Bo
-7. Ji : Area diantara ha dan shinogi.
shi : Garis bagian dari ha yang terletak di kissaki.
8. Shinogiji : Area diantara shinogi dan mune.
9. Mune : Bagian punggung bilah pedang. Dapat dikatakan
bagian tumpul atas pedang.
10.Munamachi : Sudut lekukan pada bagian tepi punggung pedang
(mune). Terletak pada dekat area pangkal besi genggaman pedang
(nakago).
11.Hamachi : Sudut lekukan pada bagian ha atau bagian bilah
tajam bagian bawah pedang, letaknya berlawanan dengan
munamachi. Terletak pada dekat area pangkal besi genggaman
12.Habakimoto : Wilayah yang dicakup oleh habaki, yaitu bagian
pangkal sisi tajam pedang yang dipasang diantara nakago dan dan
bagian yang dipoles ketika pedang sudah terpasang dengan gagang
kayu.
13.Nakago : Bagian kasar pedang yang tidak dipoles dan
ditempa secara tajam, yang merupakan pangkal besi yang akan
menjadi gagang pedang setelah dipasang penutup kayu. Dalam
bahasa Inggris disebut tang.
14.Yasurime : Semacam tulisan tanda pada tang, non fungsional
pada pertarungan tetapi banyak variasi tulisan/gambar yang dibuat
dari penempa-penempa pedang maupun sekolah penempa pedang
dan ditujukan sebagai tanda sejenis tangan tambahan.
15.Mei : Tandatangan yang terletak pada tang dibawah
yasurime.
16.Nakagojiri : Bagian pangkal tang.
17.Mekugiana : Lubang untuk mempertahankan peg (mekugi) yang
memegang dan mempertahankan tang pada gagang kayu.
18.Nagasa : Panjang, didefinisikan sebagai ukuran dari ujung
pedang (kissaki) sampai munamachi.
19.Sori : Kurva atau lekukan, yang didefinisikan sebagai
jarak tegak lurus terbesar antara nagasa dan mune.
21.Motohaba : Lebar bilah di habakimoto. Istilah fumbari
digunakan apabila bilah yang lebih luas di motohaba dibanding
sakihaba
22.Monouchi : Bagian bilah pedang utama yang digunakan
untuk pemotongan, dihitung dari kissaki kedaerah bilah bawa
sepanjang 5-6 inci (Kanzan Sato, 1983;15-16)
2.2 Jokoto ( Sampai tahun 900 )
Sekitar setelah zaman batu dan selama zaman besi, teknik pembuatan
pedang pertama kali diperkenalkan di Jepang dari daratan Asia. Tidak jelas kapan
tepatnya hal tersebut terjadi. Tetapi dari pemeriksaan penemuan pedang yang
telah digali dari tumuli ( bukit kecil / gundukan tanah ) dan kofun, membuat
seluruh arkeolog Jepang memperkirakan bahwa sekitar abad ke empat atau lima
masehi merupakan awal pedang zaman Jokoto berada. Tentu keberadaan pedang
sebenarnya sudah ada sebelum abad ke empat, namun penggunaan pedang secara
meluas berada pada waktu tersebut (Kanzan Sato, 1983;28).
Sejarah awal Jepang sangat dipengaruhi oleh budaya dan benua bangsa
yang lebih kuno. Budaya periode Yayoi sangat dipengaruhi oleh budaya Korea,
hal tersebut dipengaruhi oleh jalur semenanjung Korea dan Jepang yang
merupakan jalur perdagangan, yang ternyata memberikan inovasi pada
kebudayaan Jepang itu sendiri nantinya. Budi daya padi, alat-alat besi maupun
teknologi yang terkait didalamnya diperkenalkan pada zaman Jomon. Alat-alat
Pada tahap pertama pembangunan Jepang, impor alat besi dan
persenjataan dari benua-benua penempa besi masuk ke negara Jepang. Pedang
logam tertua yang tercatat di Jepang merupakan dua buah pedang yang dikirim
sebagai hadiah untuk ratu Himiko dari China selama dinasti Wei pada sekitar
tahun 240 masehi. Pada tahun 280 masehi banyak pedang besi yang di impor dari
China ke Jepang. Tosho dan para pelajar penempa pedang di zaman sekarang
percaya banyak temuan pedang purba merupakan buatan China yang dikirim ke
Jepang dan hanya beberapa yang dibuat oleh orang Jepang menyerupai buatan
China, beberapa diantaranya sangat tipis. Adanya kopian pedang China buatan
Jepang dikarenakan meningkatnya kebutuhan akan pedang besi tersebut, maka
sekitar abad ke empat atau ke lima pedang besi baja sudah dibuat di Jepang
(Yoshinda, 1987:20).
Bilah pedang pada masa itu disebut Chokuto dengan zaman pedang Jokoto,
pedang zaman ini memiliki bilah yang lurus. Ukuran panjang pedang zaman
Jokoto dapat ditemukan dalam Kojiki dan Nihon Shoki. Dua karya sejarah penting
yang berasal dari tahun 712 dan 720. Dimana masing-masing menjelaskan ukuran
dari pedang zaman tersebut adalah sepuluh kepal, sembilan kepal dan delapan
kepal. Kepalan didefinisikan sebagai ukuran jarak yang dapat ditutupi oleh empat
jari, digunakan sebagai sistem ukur pada masa tersebut. Dalam lapangan, setiap
orang memiliki berbagai macam ukuran tangan dan jari yang menyebabkan
ukuran genggaman menjadi berbeda satu dengan yang lain yang menyebabkan
ukuran pedang pada zaman Jokoto berbeda-beda namun ukuran tangan yang
centimeter. Oleh karena hal tersebut sebuah pedang dengan ukuran sepuluh
kepalan dapat mencapai 90 centimeter sampai dengan 1 meter panjangnya.
Salah satu jenis bilah pedang pada zaman Jokoto adalah jenis bilah pedang
Kiriha-zukuri, bilahnya dengan sisi datar namun dengan sudut tajam meruncing
pada ujungnya dan tajam pada sisi ha. Pedang lain adalah jenis bilah pedang
Kamasu-kissaki atau hira-zukuri yang merupakan pedang dengan bilah datar
namun memiliki ha(sisi tajam) di kedua sisinya. Kedua pedang lurus tersebut
dipengaruhi oleh mencontoh bentuk pedang China yang sebelumnya diperoleh
dari jalur perdagangan semenanjung Korea. Walaupun sudah ditinggalkan zaman
karena rentan akan patah dan efisiensinya kedua jenis pedang ini selanjutnya tetap
digunakan sebagai salah satu alat persembahan di kuil untuk dewi Amaterasu.
Sebuah pedang jenis terakhir pada era Jokoto adalah jenis bilah
Kissaki-moroha-zukuri diperkirakan dibuat dan masih digunakan pada sekitar tahun 700
sampai dengan 800 masehi. Pedang ini merupakan pedang era purba Jokoto yang
mengalami evolusi metalurgi yang membuat logamnya menjadi lebih kuat.
Pedang jenis ini yang paling terkenal diberi nama Kogarasu Maru (gagak kecil)
dibuat pada tahun 900 masehi yang menandai akhir era pedang zaman Jokoto
2.3 Koto (900 – 1596)
Pada periode Heian (794-1185), ketika ibu kota berada di Kyoto, Jepang
telah membuat kemajuan dibidang impor bijih besi. Berbeda pada era pedang
keagamaan, pedang pada era Koto banyak digunakan dalam pertempuran. Pada
zaman ini juga para tosho memulai menandatangani pangkal besi genggaman
pedang. Salah satu pedang tertua yang masih ada di museum Jepang yang
memiliki tanda tangan tosho adalah pedang yang di tempa oleh Sanjo Munechika.
Pedang pada era Koto disebut dengan Tachi digunakan dalam pertempuran
berkuda (kalveleri). Teknik pertarungan diatas kuda gaya pasukan Jepang lebih
mengutamakan menyayat atau memotong, daripada menusuk. Dalam situasi gaya
pertarungan tersebut, pedang dengan bilah melengkung lebih menguntungkan
daripada bilah yang lurus. Pedang tachi harus ringan untuk dapat dipegang dengan
satu tangan dalam penggunaannya dengan mengendarai kuda. Pedang pada era
Koto berukuran 1 meter, hampir sama dengan ukuran pedang era Jokoto. Namun
perbedaan jelas terletak pada bentuknya yang melengkung. Pedang ini digunakan
dengan memakai sarung pedang (saya) diselipkan di pinggang dengan kissaki dan
sisi tajam menghadap kebawah.
Pedang ini menggunakan bentuk fumbari yaitu bilah yang lebih luas di
motohaba dibanding sakihaba, kebalikan dari bentuk Shinken. Pada beberapa
temuan pedang ini masih ditemukan hamon yang masih terjaga. Untuk jenis
pedang Tachi yang masih ada sampai sekarang tergolong sebagai peninggalan era
sangat awal lahirnya pedang Jepang yang digunakan dalam pertempuran.
Tidak banyak diketahui tentang Tosho pada zaman ini. Hanya saja mulai
zaman ini para penempa pedang pada saat itu sangat erat hubungannya dengan hal
religi yang berbau kuil dan upacara keagamaan. Hal tersebut dikarenakan pendeta
penempa pedang memiliki hak ekslusif dalam memproduksi bilah-bilah pedang.
Banyak ditemukan Tachi dari zaman ini dengan ukiran motif (horimono) Buddha
pada bagian Yasurime .(Yoshinda, 1987:22). Horimono motif religi yang
ditemukan pada bilah pedang semenjak era Heian sampai Nambokucho adalah
motif Buddha pelindung Fudo, motif dewa perang dan pemanah Hachiman,
motif dewi matahari Amaterasu, dan motif dewa kuil Kasuga. Dimana hal
tersebut menunjukkan pedang para samurai dianggap suci dan membuat para
samurai dilindungi oleh para dewa (Sato, 1983:64).
Seiring perubahan zaman Heian menjadi zaman Kamakura (1185-1333) ,
pembuatan pedang menjadi lebih maju. Jepang berada dibawah kekuasaan kelas
ksatria. Periode Kamakura sering di sebut sebagai zaman keemasan pedang
Jepang. Perkembangan ini didorong oleh kaisar Gotoba (1180-1239) yang
memerintahkan untuk mengumpulkan pandai besi dan penempa pedang yang
terbaik pada saat itu sehingga penggunaan baja karbon kualitas tinggi banyak
digunakan dalam penempaan pedang di zaman tersebut.
Pedang pada era Kamakura dibagi menjadi 3 sub periode, yaitu era awal
pedang Kamakura (1184 – 1231), era pertengahan pedang Kamakura (1232-1287),
dan era akhir pedang kamakura (1288 – 1333). Pada era awal pedang Kamakura
keshogunan Kamakura dan bangsawan di Kyoto saling merebut kekuasaan politik
yang menyebabkan perpecahan internal di dalam keshogunan Kamakura itu
sendiri. Oleh karena hal tersebut, permintaan akan pedang meningkat diseluruh
negeri. Periode ini adalah masa transisi dimana bentuk pedang zaman Heian yang
(kelengkungan) terlihat terlalu melengkung dengan titik sori berada dekat dengan
sisi nakago. Jenis sori ini disebut Koshi-zori yang berarti pedang melengkung di
pinggang bilah (tang). Lebar dekat kissaki (Monouchi) tidak begitu berbeda dari
dekat Nakago (Habakimoto), jenis kissaki, relatif relative lebih pendek dan
disebut ko-kissaki (kissaki kecil). Bentuk bilah tersebut mendominasi pada
periode ini mungkin karena tachi ini digunakan dengan berkuda untuk menusuk
tenggorokan musuh, yang dianggap lebih efisien daripada menebas. Panjang
standar dari periode ini adalah sekitar 79-80cm. Hamon pada periode ini
didasarkan pada Sugu-ha, yaitu lurus (Sato, 1983:52).
Pedang era pertengahan Kamakura dipengaruhi oleh terjadinya perang
pada tahun 1232, keluarga Hojo memegang kekuasaan dan kewenangan shogun
pun semakin diperluas. Kamakura menjadi pusat budaya Samurai dan permintaan
akan pedang pun meningkat. Keshogunan Kamakura menarik beberapa tosho
dengan keterampilan unggul dari Kyoto dan Okayama. Para tosho pindah dengan
membawa keluarga untuk tinggal permanen, sehingga Kamakura menjadi tempat
pusat produksi pedang. Bentuk pedang pada zaman ini menjadi lebih kuat dari
zaman sebelumnya. Bilah menjadi lebih lebar, tetapi ada perbedaan antara lebar
kissaki dengan nakago. Bilah menjadi lebih tebal dari sebelumnya, selain itu,
kissaki berubah menjadi Ikubi dan sisi tajam menjadi Hamaguri-ba karena bagian
tersebut menjadi menjadi tebal. Sori adalah Koshi-zori dan pusat sori berpindah
lebih ke atas dan nakago menjadi sedikit lebih panjang dari bentuk periode
sebelumnya. Pada bagian hamon pola-pola menjadi semakin mencolok, terutama
dimana mereka membuat hamon dengan pola obusa choji atau nama lainnya juka
choji yang merupakan pola hamon yang popular pada zaman tersebut.
Pedang era akhir Kamakura dipengaruhi oleh invasi perang besar-besaran
tentara Mongol ke Jepang pada tahun 1274 dan 1281 yang menyebabkan negara
Jepang saat itu menghadapi krisis militer. Pada invasi pertama, Jepang
terselamatkan karena badai besar yang menghanyutkan tentara mongol. Dalam
persiapan menghadapi invasi kedua bakufu mengirim pengumuman sebuah
perintah kepada seluruh provinsi untuk meningkatkan pertahanan dan kemampuan
militernya. Salah satu dampak dari pengumuman tersebut adalah lahirnya sebuah
karya baru yang luar biasa yang merubah gaya pemakaian pedang tachi, dimana
bilahnya menjadi lebih lebar, lebih tebal dan lebih berat. Daerah kissaki menjadi
lebih lebar, dan daerah hamon menjadi lebih mengeras, dengan demikian bagian
tersebut dapat dipoles dan diasah berkali-kali sehingga ketajamannya menjadi
luarbiasa, semua hal tersebut merupakan kemajuan teknologi yang signifikan pada
untuk menghadapi gaya pertempuran tentara mongol. Namun karena perubahan
ukuran tersebut beratnya juga semakin bertambah, sehingga membuat tachi
akhirnya terpaksa menggunakan kedua tangan yang merubah teknik pemakaian
pedang sampai dengan sekarang. Hal-hal tersebut dilakukan karena gaya
berperang tentara Mongol dengan jarak dekat(Yoshindo 1987:22). Para tosho
yang terkenal dalam pembuatan pedang gaya baru ini adalah Rai Kuniyuki, Niji
Kunotoshi, Ichimonji Sukezane, Saburo Kunimure, Osafune Mitsutada dan
beberapa tosho lain dengan semangat peperangan melawan mongol ditengah krisis
Setelah periode pedang era Koto Kamakura berganti menjadi pedang era
Koto periode Nambokucho (1333-1392), kaisar Godaigo (後醍醐) melakukan
pemberontakan untuk menggulingkan Keshogunan dalam upaya mengembalikan
kekuatan istana kekaisaran dan memperoleh kendali negara. Tapi setelah hanya
dua tahun berkuasa Ashikaga Takauji i (足利 尊氏) mengangkat Kaisar sendiri
yaitu Komyo ((光 明) untuk berkuasa. Kekuatan terbelah dua pemerintahan, Godaigo memerintah di Yoshino (Nara) dan Komyo membangun pemerintah di
Kyoto. Bagian utara (Nan) dan selatan (Hoku) yang menyebabkan peperangan
terjadi selama 60 tahun. Perang saudara tersebut membentuk suatu strategi
peperangan baru yang membuat pedang menjadi semakin flamboyan dengan bilah
pisau lebar, jenis fumbari yang mengecil. Selama periode Nambakucho sebuah
tipe hamon baru tercipta dan disebut dengan Hitatsura yang digunakan untuk
pertama kalinya pada pedang produksi provinsi Sagami. Pada hamon bergaya
hitatsura tanda yang tertinggal karena proses tempering (teknik
pembakaran/pemanasan logam) muncul di daerah di sekitar daerah pinggir
pedang. Dimana pada tipe tersebut akan mempengaruhi sejarah pembuatan
pedang Jepang kedepannya.
Karakteristik hamon lain pada periode ini adalah Sakachojimidare dari
sekolah pedang Aoe dari provinsi Bichu dimana garis tempernya ber-ombak,
tajam dan sangat jelas, membentuk tonjolan seperti gelombang yang menunjuk ke
arah ujung pisau / kissaki. Hamon dengan bentuk seperti sakachojimidare maupun
yang lainnya pada periode Nambakucho mengindikasikan kepopuleran hamon
bentuk hamon pada era ini adalah hamon bentuk klasik notare (lebar dan memiliki
garis gelombang) dan gunome (garis gelombang yang tajam) (Sato, 1983:6).
Pada tahun 1392, di akhir era Nambokucho, dua kubu yang berperang
menjadi satu. Ashokaga Yoshimochi (足 利 義 持 1386-1428) membentuk
pemerintahan Muromachi distrik Kyoto. Suasana damai terbentuk, tetapi hal
tersebut berlangsung singkat, karena kenyataannya. Shogun Ashikaga secara de
facto tidak berdaya, dan kekuasaan sesungguhnya dipegang oleh Daimyo. Kondisi
yang sangat berbahaya ini mau tidak mau meninggalkan sebuah masalah.
Pertempuran untuk kekuasaan sesungguhnya dimulai pada 1467 dengan apa yang
disebut perang Onin yang memulai terjadinya Sengoku Jidai (zaman perang
saudara). Jepang berada dalam keadaan perang yang konstan selama hampir
seratus tahun lamanya, sampai Oda Nobunaga, Toyotomi Hideyoshi, dan
Tokugawa Ieasu akhirnya berhasil memperoleh kekuasaan dan menenangkan
negara.
Selama perang tersebut berlangsung, samurai secara bertahap mulai
merubah cara bertarung yang mempengaruhi penggunaan pedang dan memulai
perubahan evolusi ukuran tachi yang semakin memendek, yang menjadi cikal
bakal lahirnya katana shinken. Horimono baru pada bilah pedang periode
Muromachi pun lahir sehingga membuat makna atau pandangan baru akan pedang
dan pengguna pedang itu sendiri. Ukiran Buddha Daikokuten, Bishamonten dan
Marishiten bermunculan untuk pertamakalinya, yang menginformasikan status
seorang samurai pada saat dihormati sebagai dewa perang dilihat dari horimono
samurai percaya roh seorang pemakai pedang akan tetap berada pada pedangnya
apabila pemilik tersebut mati dalam pertempuran. Hal ini berlangsung sampai
masa kini, baik pedang uchigatana maupun katana shinken yang merupakan
peninggalan leluhur dianggap memiliki roh didalamnya.
Untuk melihat perubahan pedang tersebut dapat dibagi menjadi 3 bagian
era pedang Muromachi, yaitu era awal pedang Muromachi (1394-1466), era
pedang pertengahan Muromachi (1467-1554) dan era pedang akhir Muromachi
(1555-1595).
Pada era awal pedang Muromachi, dengan berubahnya strategi peperangan
yang tadinya kavaleri (berkuda) menjadi infantry (berjalan kaki) yang membuat
kekuatan dan taktik perang pasukan berubah. Maka teknik bertarung dengan
menggunakan pedang dan jenis pedang yang digunakan pun terpengaruh.
Walaupun pada era ini tachi masih di produksi dan dipakai, namun pedang
uchigatana yang penggunaan awalnya sebagai pendamping tachi mengalami
pembuatan besar-besaran oleh para tosho dikarenakan intensitas pemakaiannya
yang meningkat tajam. Uchigatana mudah dibawa, pusat kelengkungannya (sori)
tepat berada ditengah bilah besi pedang, penempatan pedang berada di Obi
(sabuk) dengan sisi tajam menghadap keatas yang merupakan kebalikan dari
posisi tachi dan membuatnya dapat cepat ditarik dari sarung untuk langsung
melakukan Battōjutsu (抜刀術 ) atau seni mencabut pedang dari saya (sarung
pedang) yang akan menjadi cikal bakal pemakaian katana shinken kedepannya.
Pada era ini pedang uchigatana memiliki panjang 69,7 cm sampai dengan 72,7 cm
Era pertengahan pedang Muromachi, dimana pergerakan pasukan yang
strategis dan efisien semakin penting, membuat ukuran pedang menjadi semakin
pendek. Kebanyakan pedang yang diproduksi pada periode ini memiliki panjang
sekitar 24 inci atau 60 cm. Pedang era ini dapat digunakan menggunakan satu
tangan untuk memotong dan cepat dalam melakukan battojutsu. Tidak ada
perbedaan lebar antara monouchi dan habakimoto. Nakago menjadi lebih pendek
yang memungkinkan pedang digunakan dengan genggaman satu tangan. Peranan
tachi digantikan dalam dunia militer oleh uchigatana pada era ini. Meningkatnya
kebutuhan pedang pada era ini membuat pedang diproduksi secara massal
sehingga hanya sedikit saja pedang yang ditemukan memiliki kualitas tinggi.
Istilah Kazuuchimono atau Taba - gatana digunakan untuk menunjukkan pedang
dari segi kualitas pada zaman ini . Kazu-uchi berarti diproduksi secara massal dan
Taba-gatana berarti mereka dijual dalam bundel/paket. Pedang jenis ini dijual dan
di ekspor ke China pada saat dinasti Ming sebanyak sepuluh ribu bilah.
Era akhir pedang Muromachi, tepatnya pada tahun 1543, wajah
peperangan di Jepang berubah selamanya. Pada tahun tersebut portugis
memperkenalkan senjata api kepada Jepang yang dikenal dengan nama
Tanegashima Teppo yang merupakan senjata api jenis arquebuses yang
merupakan senjata api yang menggunakan peluru bulat dan bubuk mesiu. Pertama
kali diperkenalkan di kepulauan Kyushu tepatnya pulau Tanegashima dimana
portugis terdampar dikarenakan badai yang menghantam kapal mereka.
Tanegashima Tokitaka (1528–1579) penguasa pulau membeli dua buah
arquebuses untuk dicontoh agar dapat dibuat kembali. Tidak lama setelah
Tanegashima teppo pun berhasil dibuat. Daimyo segera menyadari potensi senjata
seperti itu, dan semenjak saat itu Jepang menjadi negara dengan jumlah
arquebuses tertinggi didunia. Teppo tersebut secara total menggantikan yumi yang
merupakan busur tradisional.
Oda Nobunaga menggunakan 3000 teppo dengan sangat efektif dalam
pertempuran Nagashino pada tahun 1573. Pasukan dari klan Takeda yang
dianggap terbaik dan tak dipukul mundur oleh Ashigaru (pasukan infantry) yang
tidak cakap dalam berperang, tetapi dilatih untuk menggunakan teppo.
Dikarenakan maraknya penggunaan teppo maka evolusi baju zirah pasukan
infantry sampai kelas samurai pun berubah. Beberapa baju zirah menjadi berat
dan tebal untuk melindungi dari peluru yang malah menyebabkan pedang
uchigatana tidak mampu menembusnya sehingga di periode selanjutnya katana
muncul untuk menggantikan pedang uchigatana. Setelah kematian Oda Nobunaga,
negara Jepang bersatu di bawah penerusnya Toyotomi Hideyoshi, Sengokujidai
dan era pedang koto pun berakhir.
Pada tahun 1588 pemerintahan Toyotomi Hideyoshi mengeluarkan dekrit
yang melarang petani di seluruh negeri memiliki pedang. Hal ini menandai awal
dari sebuah perubahan besar. Semenjak saat itu, hak kepemilikan pedang dibatasi
dan Jepang mengalami tahun damai tanpa peperangan, sudut pandang pedang
sebagai senjata menjadi kurang penting daripada pedang sebagai obyek hiasan
2.4Shinto (1596 – 1780)
Perkembangan yang paling penting di akhir abad keenambelas dan awal
abad ketujuhbelas adalah hampir tidak ada lagi yang menggunakan tachi dan
lahirnya era katana shinken serta penerapan baru tentang kebiasaan memakai
sepasang katana panjang dan pendek (wakizashi) bersama-sama. Beberapa bilah
pedang dibuat lebar dan tebal dengan kissaki yang lebih besar dari zaman
sebelumnya.
Zaman Momoya dan zaman Edo masuk dalam evolusi katana shinken
yang ada saat ini. Semenjak periode Momoya era pedang disebut Shinto (Sato,
1983:68). Shinto berarti "pedang baru" dan memasuki penggunaan umum pedang
dalam waktu Meiji. Hal ini mengacu pada pedang yang dibuat dengan
bahan-bahan baru dan metode baru, yang keduanya menggunakan teknologi terbaru. Hal
ini berlaku terutama untuk proses penggalian baja besi terbaik dari bijih besi
Jepang (tamahagane), yang pada zaman ini memberikan bahan yang lebih baik
untuk menempa. Semua proses ini dilakukan dalam rangka untuk memenuhi
permintaan besar katana shinken yang berlangsung selama 100 tahun kedepan,
tosho pada zaman ini memproduksi pedang secara massal untuk kebutuhan
umum masyarakat menengah ke atas. Hal tersebut dikarenakan larangan
kepemilikan pedang bagi masyarakat biasa yang membuat pedang menunjukkan
status sosial seseorang. Sebagian besar dari mereka tidak menggunakan metode
yang diwarisi dari nenek moyang. Oleh karena itu, metode yang diwarisi dari
waktu dari zaman era pedang Koto sebagian besar mulai punah dan digantikan
yang rumit sebagai ajang pamer status sosial daripada fungsi pertempurannya itu
sendiri dapat dikatakan era ini merupakan era evolusi terbaik metalurgi bilah
pedang jepang namun kemerosotan pedang Jepang secara makna.
Zaman Edo merupakan era pedang satu-satunya yang memiliki 2 era
pedang dalam 1 periode pemerintahan yaitu Shinto dan Shinshinto, pada zaman
ini pedang Shinto dibagi menjadi 3 bagian waktu, diantaranya Kaigen Shinto
(1596-1623), Kanbun Shinto (1658-1683), dan Genroku Shinto (1684-1763).
Era pedang Keigen Shinto diambil dari inisial Keicho dan Genna. Pedang era ini
memiliki mihaba yang hampir sama lebarnya pada kissaki dan dekat nakago.
Bentuk kissakinya adalah o-kissaki dengan kasane tebal.
Pada era pedang Kanbun Shinto, pusat pembuatan katana shinken terletak
di Edo dan Osaka yang menghasilkan bentuk pedang baru dikarenakan kebiasaan
pada dua kota tersebut sangat berbeda. Edo merupakan pusat kekuatan militer dan
keshogunan, tosho menekankan pada ketajaman dan fungsi seperti yang
diharapkan dalam sudut pandang militer. Dengan bentuk fungsional dan hamon
yang melebar. Garis gelombang hamon semakin menurun ke pinggir bilah pada
bagian area monouchi yang merupakan bagian untuk memotong. Pedang buatan
Nagasone Kotetsu merupakan salah satu yang terkenal di Edo. Pada pedangnya
logam pada area ji sampai ha terkenal akan cerah dan beningnya. Mulai pada
zaman ini pula seluruh shinken harus melakukan ujicoba ketajaman dengan tes
memotong (tameshigiri) dengan menggunakan tawanan perang, maupun
narapidana sebagai target pencobaan ketajaman pedang. Disisi lain Osaka
yang rending dibawah samurai. Sangat banyak wakizashi yang ditemukan
daripada shinken dikarenakan pedagang dilarang untuk memiliki katana.
Meskipun begitu, beberapa kelas kalangan pedagang kaya tetap memiliki katana
shinken. Pedang buatan Sukehiro adalah yang paling terkenal di Osaka pada
periode ini. Dimana bentuk hamon yang disebut toran-ha menjadi sebuah mode
dan yakidashi yaitu bentuk lereng miring dari habakimoto muncul untuk yang
pertama kalinya (Sato, 1983:70). Pada periode ini terlihat dimana katana shinken
buatan tosho Edo lebih mengarah kepada fungsi penggunaan pertempuran dan
Osaka kepada keindahan bentuk. Bentu posisi sori pada shinken jaman ini
semakin mengecil sehingga pedang menjadi tampak sedikit lurus.
Era pedang Genroku Shinto dipercaya sebagai era keemasan seni dan
manufaktur pedang Jepang. Orang-orang termasuk kalangan Samurai jatuh
kedalam kebiasaan mewah, mulai rusak, memeras dan korupsi dikarenakan tidak
adanya lagi kegiatan perang yang mempengaruhi produksi katana shinken. Pada
zaman ini tosho menderita secara financial akibat turunnya budo ((
dikalangan samurai itu sendiri. Keadaan finansial berbanding lurus dengan masa
damai tanpa perang yang mengakibatkan katana shinken tidak terlalu memiliki
fungsi dan mengalami penurunan yang tajam dalam permintaan. Tokugawa
Yoshimune (徳 川 吉 宗) yang merupakan shogun kedelapan bertindak untuk
memulihkan kondisi sosial terutama dengan keadaan samurai yang berhutang
pada kelas pedagang. Pada 1719, Yoshimune memerintahkan setiap Daimyo untuk
membuat laporan yang menyatakan nama-nama tosho yang tinggal di wilayahnya.
wilayah mereka dan memanggil mereka ke istana Edo, serta memerintahkan
mereka untuk membuat shinken di sana. Yoshimune memilih tiga katana shinken
buatan tosho yang paling baik dan mengizinkan mereka untuk mengukir Aoi-mon
(lambang keluarga Tokugawa) pada karya-karya mereka. Bentuk shinken dalam
periode ini tidak hampir lurus seperti di periode pedang Kanbun Shinto, tetapi
kembali melengkung dan lebar dekat kissaki lebih kecil dari dekat nakago. Tosho
mulai bermain dengan teknik mereka pada hamon untuk menciptakan shinken
yang indah agar diminati.. Gunung Fuji, seorang ibu di atas air dan desain
khayalan dapat ditemukan di hamon periode ini.
2.5Shinshinto (1781 – 1876)
Katana pada zaman Edo akhir ini dipengaruhi teknik pembuatan katana
shinken gaya Osaka. Suishinshi Masahide salah satu tosho terkenal pada zaman
ini menganjurkan untuk membuat shinken seperti era pedang Koto yang disebut
dengan era Shinshinto (new new swords). Hal tersebut dilakukan setelah
Masahide melakukan perjalanan dan observasi metode pembuatan besi dan
penempaan katana shinken keseluruh Jepang. Dikatakan bahwa dia telah belajar
dibawah ribuan tosho Jepang. Metode pembuatan pedang shinshinto mengarah
kepada pencampuran besi kuno dengan besi modern yang disebut Orohogane.
Selain itu era pedang shinshinto menekankan pada bentuk yang kuat dan hamon
bergaya toranha. Mihaba yang melebar dan panjang bilah yang lebih panjang dari
era pedang Shinto yang membuat bentuknya seperti pedang tachi ukuran pendek
Pada era pedang ini juga shinken mengalami dua bentuk perbedaan fungsi
penggunaan yang di ciptakan oleh tosho itu sendiri. Tosho pertama menekankan
interaksi tekstur pada penggunaan logam, sedangkan yang lain menekankan seni
yang terpahat pada bilah shinken yang dipengaruhi masuknya pencampuran
pedang era koto. Pada tahun 1841 tosho semakin mengalami kesulitan dalam
memproduksi pedang karena pemerintah. Setelah sebuah periode panjang inflasi,
keshogunan meminta agar tosho menjual katana shinken dipasaran dengan harga
yang diturunkan (Yoshindo 1987:27). Penggunaan kata nihontō dan shinken
muncul dan menjadi sering digunakan pada era ini dikarenakan masuknya pedang
dari barat dan di adopsi menjadi kata yang merujuk pada pedang Jepang untuk
membedakannya dengan Yoto (洋刀)
2.6Gendaito (1876-1945)
Larangan total kepemilikan pedang muncul setelah jatuhnya keshogunan
Tokugawa dan diambilnya kekuasaan pemerintahan oleh kaisar Meiji yang
mencoba memodernisasi Jepang yang disebut dengan Restorasi Meiji. Dalam
rangka memodernisasi bangsa, Kaisar Meiji menghapus kelas tradisional kuno
dan membangun kehidupan sosial yang lebih modern dimasyarakat. Samurai tidak
diberi hak istimewa lagi, termasuk hak untuk membawa katana yang telah
menjadi hak istimewa samurai selama hampir 250 tahun lamanya. Peraturan
larangan membawa katana shinken di muka umum dan larangan melakukan
tameshigiri dengan menggunakan mahluk hidup mulai diberlakukan.
Dengan tidak adanya lagi pasar penjualan shinken, tosho terpaksa mencari
pengaruh larangan pembuatan pedang tradisional Jepang membuat tosho
meninggalkan ilmu pengetahuan yang begitu hebat dari leluhur-leluhur mereka
terkubur begitu saja. Untuk pertama kalinya dalam sejarah, pembuatan pedang
secara tradisional di Jepang berhenti. Kaisar sendiri memiliki beberapa tosho
kerajaan untuk membuat katana shinken bagi dirinya sendiri secara tradisional
sebagai barang seni / perhiasan (Yoshindo 1987:27).
Namun beberapa tahun setelah larangan tersebut, setelah perang Sino
Jepang dan perang Russo Jepang (1894-1895 Dan 1904-5), katana kembali
diproduksi secara masal untuk keperluan kalangan militer dan tentara nasional.
Pedang masa ini disebut era gendaito (pedang modern) namun tidak dapat disebut
shinken melainkan Gunto. Katana gunto dibuat dengan pengaruh pengalaman
petualangan militer dari kedua perang tersebut. Mayoritas katana gunto tidak
memiliki hamon, bilah pedang ditempa menggunakan baja cetakan pabrik dengan
bentuk menyerupai shinken tradisional buatan tosho, namun tidak dibuat
habakimoto, maupun bentuk keindahan lainnya.
2.8Shinsakuto (1953 - sekarang)
Era pedang Shinsakuto terjadi saat Jepang menyerah atas perang terhadap
Amerika Serikat. Amerika yang menduduki Jepang pada saat itu melarang dan
menyita segala bentuk bilah pedang Jepang dari peredaran. Diperkirakan pada saat
itu sebanyak 400.000an pedang Jepang dari Jokoto sampai Gendaito yang bernilai
sejarah dan seni tinggi berakhir sebagai barang rampasan perang tentara Amerika
yang dijadikan seperti piala perang, termasuk salah satu kesayangan keshogunan
Meskipun beberapa Nihonto telah dikembalikan dan di simpan negara, namun
katana Honjo beserta katana bersejarah lain masih hilang sampai sekarang. Pada
masa ini seni pedang Jepang berada di ambang kepunahan.
Ketakutan akan punahnya tradisi pembuatan pedang membuat departemen
kebudayaan Jepang pada 1948 mendirikan Nihon Bijutsu Token Hozon Kyokai
(日本美術刀剣保存協会) (NBTHK) atau disebut Lembaga Pelestarian Seni
Pedang Jepang yang merupakan lembaga pemerintah dengan tuga mencatat,
melestarikan dan mendaftarkan tiap bilah pedang antik. Sisi lain pendirian
lembaga tersebut adalah tanggapan terhadap larangan pembuatan pedang setelah
perang dunia ke2 terhadap pihak sekutu. Hingga hasilnya sampai tahun 1953
dimana Jepang berdaulat kembali memperbolehkan pembuatan katana secara
tradisional, namun dalam pembuatannya haruslah bertujuan untuk keperluan seni
semata dan bukan lagi instrumen perang. Untuk mencegah produksi dalam skala
masal yang akan membuat hilangnya nilai estetika sebuah katana dan
menjadikannya barang murahan, NBTHK memutuskan untuk memberlakukan
peraturan untuk para tosho yang berlaku sampai dengan sekarang dimana dari
peraturan tersebut era pedang Jepang disebut Shinsakuto atau pedang Jepang masa
kini.
Pada masa kini penyebutan akan shinken mengalami penekanan kepada
objek, hal tersebut dikarenakan saat pengembalian pedang Jepang yang diambil
oleh pihak Amerika terjadi pencampuran gunto, katana shinken, bahkan pedang
asing yang bukan buatan Jepang berupa Foils, Epees dan Sabres. Selain itu
orang Jepang menerapkan kata katana sebagai sebutan umum untuk pedang dan
shinken sebagai kata khusus untuk pedang yang benar-benar buatan tosho Jepang.
Peraturan yang berlaku dalam pembuatan Nihonto di Jepang adalah,
1. Hanya tosho berlisensi yang diizinkan membuat Nihonto (instrumen
pemotongan dengan bilah tajam lebih dari 6 inci, memiliki hamon, dan
lubang paku pada bagian tang, melebihkan maupun mengurangi criteria
dianggap tidak tunduk pada peraturan). Lisensi dapat diperoleh hanya
dengan belajar dan magang di bawah tosho berlisensi selama minimal lima
tahun.
2. Seorang tosho berlisensi hanya di izinkan membuat 2 bilah katana shinken
untuk satu bulannya.
3. Seluruh shinken yang telah dibuat harus terdaftar didepartemen kepolisian