BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang
Jaminan terhadap kebebasan beragama pada dasarnya telah diakui dan
diberikan. Hal ini secara eksplisit dituliskan dalam Undang-Undang Dasar (
UUD) Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dalam Pasal 28 E ayat (1), Pasal
29 ayat (2) telah tegas menyatakan bahwa negara menjamin kebebasan beragama.
Bahkan dalam Pasal 28 I ayat (1) menyatakan bahwa hak beragama adalah bagian
dari hak yang tidak dapat dikurangi oleh siapapun dan dalam keadaan apapun
(non derogable rights).
Meskipun, kebebasan beragama di Indonesia dijamin oleh konstitusi
bukanlah berarti kebebasan tanpa batas. Karena dalam setiap pelaksanaan
kebebasan tetap terikat dengan kewajiban hak asasi manusia. Dalam Pasal 28 J
UUD NRI Tahun 1945 dinyatakan bahwa :
(1)Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara;
(2) Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.
Pembatasan hak asasi manusia di Indonesia mengartikan bahwa tidak ada
kebebasan yang mutlak, sehingga perlu campur tangan pemerintah untuk menjaga
keseimbangan antara hak dan kewajiban agar tidak ada hak yang tercederai.
Pembatasan tersebut ditetapkan dalam sebuah undang-undang guna menjaga
Pengaturan kebebasan beragama melalui konstitusi telah menjadi jaminan
yang sah dalam perlindungan terhadap kebebasan beragama, dan sekaligus
menunjukkan prinsip-prinsip sebagai negara hukum. Dalam Pasal 1 ayat (3) UUD
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dituliskan bahwa Negara Indonesia
adalah negara hukum. Setiap negara yang mengakui sebagai negara hukum tentu
menjamin perlindungan terhadap Hak Asasi Manusia (HAM).
Menurut Scheltema yang dikutip oleh Krisna Harahap dalam bukunya
Konstitusi Republik Indonesia, ada empat unsur utama negara hukum, yaitu
sebagai berikut:4
Sedangkan Sri Soemantri,yang dikutip oleh Krisna Harahap melihat ada empat
unsur yang dipenuhi oleh negara hukum: 1. Adanya Kepastian Hukum.
2. Asas Persamaan.
3. Asas Demokrasi.
4. Asas Pemerintahan Untuk Rakyat
5
1. bahwa pemerintah (dalam arti luas) dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya harus berdasar atas hukum, baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis;
2. adanya jaminan terhadap hak- hak asasi (dan warga negara);
3. adanya pembagian kekuasaan (distribution of power) dalam negara dan; 4. adanya pengawasan peradilan (oleh badan-badan peradilan)
Dan menurut Jimly Asshiddiqie ada dua belas prinsip-prinsip negara
hukum (rechtstaat) dan salah satunya ialah perlindungan hak asasi manusia, jadi
jika dalam suatu negara, hak asasi manusia masih terabaikan atau dilanggar secara
sengaja dan penderitaan yang ditimbulkan tidak dapat diselesaikan secara adil,
4
maka negara tersebut tidak dapat dikatakan sebagai negara hukum yang
sesungguhnya.6
Menurut H.M. Amin Abdullah pelaksanaan Hak Kebebasan Beragama dan
Beribadah di tanah air, setidaknya ada 3 pemasalahan.
Di Indonesia, perubahan UUD memberikan perubahan atas kebebasan
beragama, kebebasan berekspresi, kebebasan berorganisasi. Namun, dalam
kenyataannya masih ada pelanggaran terhadap hak asasi manusia, khususnya
terhadap kebebasan beragama. Bahkan, ketika pemerintahan dibentuk secara
demokratis tetap saja tidak dapat mengurangi pelanggaran kebebasan beragama.
7
Pertama, masalah Perundang‐undangan. Ada dua sumber hukum yang ada
di tanah air untuk menangani dan menyelesaikan perselisihan pelaksanaan Hak
Kebebasan Beragama dan beribadah. Pertama, adalah Undang‐undang Nomor
1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama.
Disebutkan dalam Laporan Pelaksanaan Konvensi Penghapusan Segala Bentuk
Diskriminasi Rasial (ICERD) di Indonesia yang dikutip oleh H.M Amin Pertama, Permasalahan
perundang‐undangan. Kedua, peran aparat negara dalam penegakan hukum.
Ketiga, pemahaman tentang negara‐bangsa (nation‐states) oleh masyarakat atau
warga negara penganut agama‐agama, pemangku adat dan anggota ras atau etnis.
Ketiganya saling berkaitan yang tidak bisa dipisahkan antara yang satu dan
lainnya.
6
Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme, ( Jakarta: Sekjen dan Kepaniteraan MK RI, 2005) hal 127-128
7
Abdullah8, bahwa salah satu penyebab “kematian” 517 aliran kepercayaan sejak tahun 1949 hingga tahun 1992 adalah UU No. 1/PNPS/1965. Padahal menurut
pasal 27 Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik, kelompok minoritas
tidak boleh diingkari haknya untuk menjalankan dan mengamalkan agamanya
sendiri. Agama dan keyakinan merupakan bagian mutlak dari identitas sebuah
kelompok dan konteks etnis tidak lepas dari persoalan perlindungan kebebasan
beragama atau berkeyakinan.
Surat Keputusan Bersama (SKB) baik SKB Dua Menteri (Menteri dalam
negeri dan Menteri agama) tentang pendirian rumah ibadah maupun SKB Tiga Kedua, Apa yang dikenal di Indonesia dengan
sebutan SKB (Surat Keputusan Bersama).
Undang-Undang No 1/PNPS/1965 telah dimohonkan pengujian
undang-undang kepada Mahkamah Konstitusi pada tanggal 20 Oktober 2009. Alasan
Permohonan tersebut adalah bahwa undang-undang tersebut bertentangan dengan
negara hukum, bahwa undang-undang tersebut dikeluarkan dalam kondisi
keadaan negara darurat, Dan beberapa pasal dianggap bertentangan dengan
Undang-Undang Dasar. Namun, Mahkamah Konstitusi menganggap berbeda
karena setelah memeriksa, mengadili dan memutuskan akhirnya permohonan
tersebut ditolak seluruhnya. Dari sini dapatlah disimpulkan bahwa peraturan
perundang-undangan yang dianggap bermasalah yaitu Undang-Undang No
1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama
telah diputuskan tidak bermasalah dalam hal pelaksanaan kebebasan beragama di
Menteri (Menteri Dalam Negeri , Jaksa Agung dan Menteri Agama ) tentang
Ahmadiyah. Kedua SKB ini masih terus diperdebatkan karena dari segi
sosiologis bahwa kehadiran Surat ini tidak dapat memberikan jaminan kebebasan
beragama. Dan jika kita meninjau kedudukan SKB dalam Tata Peraturan
Perundang-undangan menurut Undang-Undang No 12 Tahun 2011 bahwa SKB
tidak merupakan jenis peraturan perundang-undangan. Keadaan ini menimbulkan
konsekuensi bahwa SKB tidak dapat diuji materi oleh Mahkamah Konstitusi atau
Mahkamah Agung. Sementara mekanisme yudicial review adalah sarana bagi
masyarakat yang terlanggar hak-haknya untuk mengajukan permohonan agar
diberikan penjaminan hak-hak sebagai bentuk perlindungan hak asasi manusia.
Amanat konstitusi kepada pemerintah bahwa perlindungan, pemajuan,
penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab pemerintah
yang dalam pelaksanaannya dituangkan dalam peraturan perundang-undangan.
Artinya, Surat Keputusan Bersama bukanlah jalan keluar terhadap pelaksanaan
kebebasan beragama dan beribadah di Indonesia sesuai yang diamanatkan oleh
konstitusi. Oleh karena itu, permasalahan peraturan perundang-undangan yang
dimaksudkan adalah tidak adanya peraturan perundang-undangan yang menjamin
secara rinci dan jelas hak-hak beragama guna penjaminan HAM sesuai tujuan
negara hukum.
Kedua, masalah Penegakan Hukum. Ketika terjadi kekerasan terhadap
anggota atau pengikut golongan minoritas (baik ekstern maupun intern umat
beragama), dimanakah keberadaan negara? Masyarakat merindukan keberadaan
melihat seolah‐olah ada politik pembiaran oleh negara. Negara, dalam hal ini,
pihak kepolisian dan pemerintah daerah dianggap selalu datang terlambat atau
tidak dapat mengantisipasi keadaan dengan baik. Keadaan ini mengakibatkan
terjadinya bentrokan, penganiyaan atas nama agama, atas dalih agama sesat
karena pasifnya pemerintah dalam menanganinya.
Ketiga, peran warga negara. Yang mengkhawatirkan bagi perjalanan
bangsa ke depan adalah ditemukan indikasi‐indikasi bahwa pewacanaan sesat,
penistaan agama, kekerasan, dan pemidanaan kasus penodaan agama telah
menjadi pola umum di masyarakat untuk menyelesaikan konflik internal umat
beragama terhadap paham‐paham yang tumbuh berbeda. Situasi ini cukup
mengkhawatirkan karena warga kehilangan mekanisme lain untuk mengelola
kohesi sosialnya. Rakyat sudah jarang menggunakan jalan musyawarah mufakat
untuk menyelesaikan permasalahan kebebasan beragama dan beribadah. Rakyat
sudah seperti negara yang mempunyai sifat memaksa, yang melakukan tindakan
kekerasan dianggap sah, dianggap benar demi bangsa, dianggap murni atas nama
agama.
Gambaran di atas bertentangan dengan jaminan kebebasan beragama
sebagai hak konstitutional masyarakat yang berarti hak dasar masyarakat yang
dijamin oleh konstitusi. Di dalam konstitusi, hak-hak dasar warga negara
merupakan salah satu bagian yang penting karena menjadi bagian yang
sebagaimana dikutip oleh Dahlan Thaib mengungkapkan bahwa9
Menurut Miriam Budiardjo yang dikutip oleh Vino Devanta dalam Jurnal Konstitusi
secara umum
konstitusi memuat tiga hal pokok, yaitu: adanya jaminan terhadap hak-hak asasi
manusia dan warga negaranya, ditetapkannya susunan ketatanegaraan suatu
negara yang bersifat fundamental, dan adanya pembagian dan pembatasan tugas
ketatanegaraan suatu negara yang bersifat fundamental.
10
1. Organisasi Negara.
setiap Undang-Undang Dasar memuat ketentuan-ketentuan mengenai:
2. Hak-hak asasi manusia (biasanya disebut bill of rights kalau berbentuk naskah tersendiri).
3. Prosedur mengubah UUD (amandemen).
4. Ada kalanya memuat larangan untuk mengubah sifat tertentu dari Undang Undang Dasar.
5. Merupakan aturan hukum yang tertinggi yang mengikat semua warga negara dan lembaga negara tanpa terkecuali.
Dari pendapat kedua tokoh diatas mengenai materi konstitusi memang
dapat dibedakan satu sama lain. Dalam hal ini, pendapat Miriam Budiardjo lebih
luas karena ada prosedur perubahan konstitusi. Tetapi ada kesamaan yang paling
mendasar antara keduanya, yaitu adanya pembagian kekuasaan dan perlindungan
hak asasi manusia. Dengan adanya paham mengenai pembagian kekuasaan dan
perlindungan hak asasi manusia maka bisa disebut bahwa suatu konstitusi yang
berpaham konstitusionalisme. Dengan kata lain, semua tindakan atau perilaku
seseorang ataupun penguasa berupa kebijakan yang tidak didasarkan atau
menyimpangi konstitusi, berarti tindakan tersebut adalah tidak konstitusional.
9
Dahlan Thaib dkk, Teori dan Hukum Konstitusi ( Jakarta : PT RajaGrafindo Persada,1999), hal 16
10
Sehingga penguasa dalam setiap mengeluarkan kebijakan wajib mendahulukan
segala aturan yang berkaitan dengan ruang lingkup kewenangan dan hak-hak
konstitusional masyarakat agar kebijakannya tersebut memiliki sifat melindungi
masyarakat yang dikuasainya.
B. Permasalahan
Berdasarkan latar belakang di atas, maka Penulis mengemukakan
permasalahan sebagai berikut:
1. Bagaimana Kaitan antara Konstitusi dengan Hak Asasi Manusia
(HAM) di dalam Negara Hukum?
2. Bagaimana Jaminan Kebebasan Beragama Menurut Undang- Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945?
C. Tujuan dan Manfaat
1. Tujuan
Adapun tujuan yang hendak dicapai dari skripsi ini adalah sebagai
berikut:
a. Untuk mengetahui bagaimana kaitan antara Konstitusi dengan Hak
Asasi Manusia (HAM).
b. Untuk mengetahui bagaimana Jaminan kebebasan beragama sebagai
perlindungan HAM menurut UUD Negara Republik Indonesia Tahun
1945.
2. Manfaat
Diharapkan skripsi ini akan memberikan manfaat:
Skripsi ini diharapkan bermanfaat sebagai tambahan dokumentasi
hukum berkaitan dengan jaminan kebebasan beragama menurut UUD
Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan sebagai upaya
pengembangan pengetahuan Hukum Tata Negara dalam pelaksanaan
perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM).
b. Secara Praktis
Skripsi ini ditujukan kepada segenap kalangan, baik itu Akademisi,
Praktisi Hukum, Aparat Penegak Hukum, Para Penyelenggara Negara,
dan Semua Pihak yang ingin mengetahui bagaimana Jaminan
kebebasan beragama menurut UUD Negara Republik Indonesia Tahun
1945.
Skripsi ini juga ditujukan kepada organisasi- organisasi keagamaan,
lembaga swadaya masyarakat (LSM) untuk menambah pengetahuan mengenai
Hak Asasi Manusia secara umum dan Hak beragama secara khusus. Skripsi ini
juga ditujukan kepada Bangsa tercinta, Indonesia dalam mencapai kerukunan
beragama di Indonesia sebagai bukti bahwa Indonesia adalah Negara yang
berdasar pada Ketuhanan Yang Maha Esa.
D. Keaslian Penulisan
Penulisan skripsi ini merupakan tugas akhir yang harus dipenuhi penulis
untuk memperoleh gelar sarjana di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
Skripsi ini berjudul “JAMINAN KEBEBASAN BERAGAMA MENURUT
skripsi ini asli serta bukan plagiat ataupun diambil dari skripsi orang lain. Skripsi
ini merupakan penemuan kebenaran ilmiah, sehingga penelitian ini dapat
dipertanggungjawabkan kebenarannya secara ilmiah. Apabila ada skripsi yang
sama,maka akan dipertanggungjawabkan penulis sepenuhnya.
E. Tinjauan Kepustakaan 1. Konstitusi
Istilah konstitusi berasal dari bahasa Perancis (constituer) yang berarti
membentuk. Pemakaian istilah konstitusi yang dimaksudkan ialah pembentukan
suatu negara atau menyusun dan menyatakan negara. Dalam bahasa latin, kata
Konstitusi merupakan gabungan dari dua kata, yaitu cume dan statuere. Cume
adalah sebuah preposisi yang berarti “ bersama dengan…”, sedangkan statuere
bersal dari kata sta yang membentuk kata kerja pokok stare yang berarti berdiri.
Atas dasar itu, kata statuere mempunyai arti ” membuat sesuatu agar berdiri atau
mendirikan/ menetapkan”. Dengan demikian bentuk tunggal (constitutio) berarti
menetapkan sesuatu secara bersama-sama dan bentuk jamak (constitusiones)
berarti segala sesuatu yang telah ditetapkan. Pengertian konstitusi menurut C.F.
Strong yang dikutip oleh Dahlan Thaib dalam bukunya Teori dan Hukum
Konstitusi adalah 11“constitution is a collection of principles according to which the power of the government, the rights of the governed, and the relations between
the two are adjusted.”
Jika dalam Bahasa Indonesia diartikan sebagai suatu kumpulan asas-asas
1. Kekuasaan Pemerintah (dalam arti luas)
2. Hak-hak dari yang diperintah
3. Hubungan antara pemerintah dan yang diperintah (menyangkut di
dalamnya masalah Hak Asasi Manusia)
Konstitusi memuat suatu aturan pokok (fundamental) mengenai
sendi-sendi pertama untuk menegakkan suatu bangunan besar yang disebut negara.
Sendi-sendi itu tentunya harus kokoh, kuat dan tidak mudah runtuh agar bangunan
negara tetap tegak berdiri. Ada dua macam konstitusi di dunia, yaitu “Konstitusi
Tertulis” (Written Constitution) dan “Konstitusi Tidak Tertulis” (Unwritten
Constitution), ini diartikan seperti halnya “Hukum Tertulis” (Geschreven Recht)
yang termuat dalam undang-undang dan “Hukum Tidak Tertulis” (Ongeschreven
Recht) yang berdasar adat kebiasaan. Dalam karangan “Constitution of Nations”,
Amos J. Peaslee menyatakan hampir semua negara di dunia mempunyai konstitusi
tertulis, kecuali Inggris dan Kanada.
Di beberapa negara ada dokumen tetapi tidak disebut konstitusi walaupun
sebenarnya materi muatannya tidak berbeda dengan apa yang di negara lain
disebut konstitusi. Ivor Jenning yang dikutip oleh Mirza Nasution menyatakan di
negara-negara dengan konstitusi tertulis ada dokumen tertentu yang
menentukan12
a. Adanya wewenang dan tata cara bekerja lembaga kenegaraan :
b. Adanya ketentuan berbagai hak asasi dari warga negara yang diakui
dan dilindungi
12
Di Inggris baik lembaga-lembaga negara termaksud dalam huruf a maupun
pada huruf b yang dilindungi, tetapi tidak termuat dalam suatu dokumen tertentu.
Dokumen-dokumen tertulis hanya memuat beberapa lembaga-lembaga negara dan
beberapa hak asasi yang dilindungi, satu dokumen dengan yang lain tidak sama.
Karenanya dilakukan pilihan-pilihan di antara dokumen itu untuk dimuat dalam
konstitusi. Pilihan di Inggris tidak ada. Penulis Inggris yang akhirnya memilih
lembaga-lembaga mana dan hak asasi mana oleh mereka yang dianggap
“constitutional.” Ada konstitusi yang materi muatannya sangat panjang dan sangat
pendek. Konstitusi yang terpanjang adalah India dengan 394 pasal. Kemudian
Amerika Latin seperti uruguay 332 pasal, Nicaragua 328 pasal, Cuba 286 pasal,
Panama 271 pasal, Peru 236 pasal, Brazil dan Columbia 218 pasal, selanjutnya di
Asia, Burma 234 pasal, di Eropa, belanda 210 pasal. Konstitusi terpendek adalah
Spanyol dengan 36 pasal, Indonesia 37 pasal, Laos 44 pasal, Guatemala 45 pasal,
Nepal 46 pasal, Ethiopia 55 pasal, Ceylon 91 pasal dan Finlandia 95 pasal. 13
2. Hak Asasi Manusia
Tema Hak Asasi Manusia (HAM) walau baru dirumuskan secara eksplisit
pada abad ke – 18, namun aspek hak asasi manusia telah dikenal sejak zaman
Yunani dengan permunculan teori hukum kodrat sekitar 600- 400 SM. Masalah
HAM juga telah dibahas oleh beragam agama ratusan tahun lampau, seperti
Kristen sebagaimana termaktub dalam Alkitab dan Islam termaktub di dalam Al-
Quran. Tonggak sejarah keberpihakan Islam terhadap HAM adalah
dengan sebutan Konstitusi Madinah. Menurut Al-Sayyid Muhammad Ma’ruf al
Dawalibi dari Universitas Islam Internasional Paris, seperti dikutip Nurcholish
Madjid, “yang paling menakjubkan dari semuanya tentang Konstitusi Madinah itu
ialah bahwa dokumen itu memuat, untuk pertama kalinya dalam sejarah, prinsip-
prinsip dan kaedah- kaedah kenegaraan dan nilai-nilai kemanusiaan yang
sebelumnya tidak pernah dikenal manusia”14
Di Abad Reformasi dan Pencerahan, pribadi insan dalam hubungannya
dengan penguasa memperoleh tempat yang lebih sentral dalam pemikiran hukum.
Filosof John Locke, misalnya, meletakkan dasar pengakuan hak fundamental
manusia, yang tidak dapat dipindahkan kepada orang lain, dan harus dijamin oleh Muhammad Hamidullah dalam Majmu’at Watsa’iq Siyasiyyah li
al-‘Ahd al-Khilafat al-Rasyidah (kumpulan-kumpulan dokumen-dokumen Politik
pada masa Nabi dan al-Khulafa’ al –Rasyidun) mengatakan bahwa Piagam
Madinah sangat dikagumi para sarjana modern karena meletakkan prinsip
Kebebasan Beragama dan Berusaha (ekonomi). Keberpihakan Islam terhadap
HAM ini melalui Piagam Madinah dilanjutkan oleh Deklarasi Kairo (The Cairo
Declaration of Human Rights in Islam) pada 5 Agustus 1990. Deklarasi ini
dinyatakan oleh 45 negara anggota Organisasi Konferensi Islam (OKI), sebagai
hasil konferensi Islam di Kairo, Mesir, pada 31 Juli- 5 Agustus 1990. Pada
intinya, Deklarasi Kairo menyatakan penghapusan diskriminasi berbasis ras,
warna kulit, bahasa, kepercayaan, jenis kelamin, agama, afiliasi politik, maupun
status sosial dengan mendasarkan kepada Syariat Islam.
14
penguasa. Pemikiran Locke berpengaruh besar terhadap kemajuan di bidang
kodifikadasi HAM. Kodifikasi dimaksud antar lain adalah English Bill of Rights
tahun 1689, The United States Declaration of Independence tahun 1776, dan
France Declaration Des Droits de I’homme et Du Citoyen tahun 1789.
Di Indonesia, perkembangan pemikiran Hak Asasi Manusia sudah dimulai
sejak sebelum proklamasi kemerdekaan. Hal ini merupakan pendapat dari Bagir
Manan dalam bukunya Perkembangan pemikiran dan pengaturan HAM di
Indonesia yang dikutip oleh Dahana Putra, yaitu :15 1. Periode Sebelum Kemerdekaan (1905-1954)
Sebagai organisasi pergerakan, Boedi Utomo menaruh perhatian terhadap masalah HAM. Dalam konteks pemikiran HAM, Pemimpin Boedi Utomo memperlihatkan kesadaran berserikat dan mengeluarkan pendapat melalui petisi yang ditujukan kepada pemerintah kolonial maupun tulisan yang dimuat surat kabar Goeroe Desa. Selanjutnya, pemikiran HAM pada perhimpunan indonesia banyak dipengaruhi oleh tokoh organisasi seperti Muhammad Hatta, AA Maramis dsb. Pemikiran HAM para tokoh lebih menitikberatkan pada hak untuk menentukan nasib sendiri (the right of self determination). Selanjutnya, serikat islam organisasi yang dimotori oleh H. Agus Salim dan Abdul Muis menekankan pada usaha – usaha memperoleh penghidupan yang layak dan bebas dari penindasan dan diskriminasi rasial.
Sedangkan pemikiran HAM dalam PKI sebagai partai paham Marxisme condong pada hak – hak yang bersifat sosial dan menyentuh isu – isu alat produksi. Konsen kepada terhadap HAM juga ada pada Indische Partij yang menyatakan bahwa hak untuk mendapatkan kemerdekaan serta mendapat perlakuan yang sama. Sedangkan pemikiran HAM partai Nasional Indonesia mengedepankan hak memperoleh kemerdekaan. Adapun pemikiran HAM
dalam organisasi Pendidikan Nasional Indonesia yang didirikan oleh M. Hatta setelah Partai Nasional Indonesia dibubarkan lebih menekankan hak politik yaitu hak untuk menentukan nasib sendiri, hak untuk mengeluarkan pendapat, hak berserikat dan berkumpul, hak persamaan dimuka hukum serta hak untuk turut dalam penyelenggaraan negara. Pemikiran HAM sebelum Indonesia merdeka juga terjadi perdebatan disidang BPUPKI antara Soekarno dan Soepomo ( satu pihak ) dengan M. Hatta dan M. Yamin ( lain pihak ).
15
Dahana Putra,
2. Periode Setelah Kemerdekaan ( 1945 – sekarang )
a) Periode 1945 – 1950
Pemikiran HAM periode awal kemerdekaan masih menekankan hak untuk merdeka (self Determination) hak kebebasan berserikat melalui organisasi politik yang didirikan serta hak kebebasan untuk menyampaikan pendapat di parlemen. Pemikiran HAM telah mendapat legitimasi secara formal karena memperoleh pengaturan dan masuk ke dalam hukum dasar negara (konstitusi) yaitu UUD 1945 dan prinsipkedaulatan rakyat dan berdasarkan atas hukumdijadikan sebagai sendi bagi penyelenggaraan Negara Indonesia Merdeka. Langkah selanjutnya memberikan keleluasaan kepada Rakyat untuk mendirikan partai politik. Pemerintah menyukai timbulnya partai politik karena dengan adanya partai poltik dapat dipimpin kejalan yang teratur segala aliran yang ada dalam masyarakat. Pemerintah juga berharap partai tersebut telah tersusun sebelum dilangsungkannya pemilihan Anggota Badan Perwakilan Rakyat pada Januari 1946. Hal yang sangat penting dalam kaitannya dengan HAM adalah adanya perubahan mendasar dan signifikan terhadap sistem pemerintahan dari presidensil manjadi sistem parlementer sebagaimana tertuang dalam
b) Periode 1950 – 1959
Periode 1950 – 1959 dalam perjalanan Negara Indonesia dikenal dengan sebutan periode Demokrasi Parlemen. Dalam pemikiran HAM di periode ini mendapat tempat di kalangan elit politik karena semangat, pemikiran dan aktualisasi HAM periode ini mengalami “pasang” dan menikmati “Bulan Madu” kebebasan.
Pertama : Semakin banyak tumbuh partai politikdengan beragam ideologinya masing – masing.
Kedua : kebebasan pers sebagai salah asatu pilar demokrasi menikmati kebebasannya.
Ketiga: pemilihan umum sebagai pilar lain demokrasi berlangsung dalam suasana kebebasan, fair (adil) dan demokratis.
Keempat : Parlemen atau Dewan Perwakilan Rakyat sebagai representasi dari kedaulatan rakyat menunjukan kinerja dan kelasnya sebagai wakil rakyat dengan melakukan kontrol yang semakin efektif.
Kelima : Wacana dan pemikiran tentang HAM mendapatkan iklim yang kondusif
sejalan dengan tumbuhnya kekuasaan yang memberikan ruang kebebasan.
c) Periode 1959 – 1966
hak untuk berserikat, berkumpul dan mengeluarkan fikiran dengan tulisan. Dengan kata lain telah terjadi sikap restriktif (pembatasan yang ketat oleh kekuasaan) terhadap hak sipil dan hak politik warga negara.
d) Periode 1966 – 1998
Setelah terjadi peralihan pemerintahan dari Soekarno ke Soeharto ada semangat untuk menetapkan HAM dan telah diadakan berbagai seminar tentang HAM, salah satunya dilaksanakan pada tahun 1967 yang merekomendasikan gagasan tentang perlunya pembentukan pengadilan HAM. Pembentukan Komisi dan Pengadilan HAM untuk wilayah asia. Selanjutnya pada tahun 1968 diadakanseminar Nasional Hukum II yang merekomendasikan perlunya hak uji materi (Judicial review) dilakukan guna melindungi HAM. Begitu pula dalam rangka pelaksanaan TAP MPRS NO. XIV/MPRS 1966, MPRS melalui panitia Ad Hoc IV telah menyiapkan rumusan yang akan dituangkan dalam piagam tentang HAM dan hak – hak serta kewajiban warga negara. Pada awal tahun 1970 sampai periode ahir 1980 an persoalan HAM di Indonesia mengalami kemunduran karena HAM tidak lagi dihormati, dilindungi dan ditegakkan. Pemikiran elit politik pada masa ini diwarnai penolakan terhadap HAM sebagai produk barat dan individualistik serta bertentangan dengan faham kekeluargaan yang dianut bangsa Indonesia. Pemerintah pada masa ini bersifat defensif dan represif yang dicerminkan dari produk hukum yang restriktif terhadap HAM. Sikap Defensif ini berdasarkan pada anggapan bahwa isu HAM digunakan negara barat untuk memojokan negara berkembang seperti Indonesia. Meskipun fihak pemerintah mengalami kemandegan, pemikiran HAM terus ada dikalangan LSM dan akademisi yang cocern terhadap penegakkan HAM. Upaya yang dilakukan masyarakat melalui pembentukan jaringan dan lobi Internasional terkait dengan pelanggaran HAM seperti kasus tanjung priok, kedung ombo dan sebagainya. Pada periode 1990 an memperoleh hasil yang menggembirakan karena pergeseran strategi pemerintah dari represif dan depensif ke strategi akomodatif terhadap tuntutan penegakan HAM. Hal ini ditandai dengan dibentuknya KOMNAS HAM berdasar KEPRES NO. 50 tahun 1993 tanggal 7 Juni 1993 yang bertugas untuk memantau, menyelidiki pelaksanaan HAM, serta memberi pendapat, pertimbangan dan saran kepada pemerintah perihal pelaksanaan HAM sesuai dengan pancasila dan UUD 1945 (termasuk hasil amandemen) piagam PBB, Deklarasi Unuversal HAM. Dampak sikap akomodatif pemerintah dan dibentuknya KOMNAS HAM sebagai lembaga independen adalah bergesernya paradigma pemerintah terhadap HAM dari partikularistik ke Universalistik serta semakun kooperatifnya pemerintah terhadap upaya penegakan HAM di Indonesia.
Konstitusi Indonesia yang pertama yaitu UUD 1945 telah mencantumkan
pengaturan mengenai hak-hak asasi. Hak-hak asasi yang tercantum dalam UUD
1945 tidak termuat dalam suatu piagam yang terpisah, tetapi tersebar dalam pasal
singkat. Tidak cukup waktunya untuk membahas hak-hak asasi secara mendalam
karena waktu yang mendesak. Selain itu, diantara Founding Fathers kita terdapat
perbedaan pendapat mengenai peranan hak-hak asasi di dalam negara demokratis.
Pendapat-pendapat pada waktu itu banyak dipengaruhi oleh Declration des
droits de I’homme et du citoyen, yang dianggap sebagai sumber individualisme
dan liberalisme. Oleh karena itu, dianggap bertentangan dengan asas kekeluargaan
dan asas gotong-royong. Mengenai hal ini Ir. Soekarno pada waktu itu
menyatakan sebagai berikut : jikalau kita betul-betul hendak mendasarkan negara
kita kepada faham kekeluargaan, faham tolong-menolong, faham gotong-royong
dan keadilan sosial, enyahkanlah tiap-tiap pikiran, tiap-tiap faham Individualisme
dan liberalisme daripadanya.
Sebaliknya Dr. Hatta berpendapat walaupun menyetujui prinsip
kekeluargaan, dan menentang individualisme dan liberalisme, namun tetap masih
diperlukan hak-hak asasi manusia diatur oleh Undang-Undang Dasar agar
mencegah timbulnya negara kekuasaan (machtstaat). Akhirnya, tercapailah
pengaturan secara terbatas HAM diatur dalam Undang-Undang Dasar
3. Negara Hukum
Secara konseptual istilah negara hukum di Indonesia dipadankan dengan
dua istilah dalam bahasa asing, yaitu:
a. Bahasa Belanda istilahnya rechtstaat, digunakan untuk menuju tipe negara
hukum yang diterapkan di negara-negara yang menganut sistem hukum
b. Bahasa Inggris menggunakan istilah rule of law untuk menunjuk tipe
negara hukum dari Anglo Saxon atau negara-negara yang menganut
common law system.
Perbedaan antara rechtstaat dan rule of law, antara lain dapat disebut
bahwa konsep rechstaat lahir dari suatu perjuangan menentang absolutisme,
karena itu berwatak revolusioner, sedangkan rule of law lahir dari perkembangan
Yurispundensi, sehingga perkembangannya bersifat evolusioner.16
Menurut Friedrich Julius Stahl yang dikutip oleh I Dewa Gede Atmaja,
unsur-unsur Rechstaat, terdiri atas empat unsur-unsur pokok, yaitu:17
a. Pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia
b. Negara didasarkan pada trias politika (pemisahan kekuasaan negara atas kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudisial)
c. Pemerintahan diselenggarakan atas undang-undang dasar (wetmatigheid van bestuur)
d. Ada peradilan administrasi negara yang berwenang menangani kasus perbuatan melanggar hukum oleh pemerintah ( onrechtsmatigoverheidsdaad )
Ciri-ciri rechtstaat tersebut menunjukkan bahwa ide sentral rechstaat adalah
pengakuan dan perlindungan hak- hak asasi manusia yang bertumpu pada prinsip
kebebasan dan persamaan. Sehingga dibentuklah UUD yang akan menjadi
jaminan konstitusional atas hak-hak manusia. Dan pembagian kekuasaan yang
dimaksudkan untuk mencegah terjadinya penumpukan kekuasaan dalam satu
tangan. Kekuasaan yang berlebihan yang dimilki seseorang cenderung mengekan
kebebasan dan persamaan.
Sedangkan menurut A.V. Dicey, terdiri atas tiga unsur, yaitu:18
16
a. Supremasi hukum (supremacy of law)
b. Persamaan di muka hukum (equality before the law)
c. Hak asasi individu (individual rights). Tidak memerlukan peradilan
administrasi, karena peradilan umum dianggap berlaku untuk semua
orang baik bagi warga negara maupun pejabat pemerintah.
Keempat prinsip ‘rechtsstaat’ yang dikembangkan oleh Julius Stahl tersebut di
atas pada pokoknya dapat digabungkan dengan ketiga prinsip ‘Rule of Law’ yang
dikembangkan oleh A.V. Dicey untuk menandai ciri-ciri Negara Hukum modern
di zaman sekarang. Bahkan, oleh “The International Commission of Jurist”,
prinsip-prinsip Negara Hukum itu ditambah lagi dengan prinsip peradilan bebas
dan tidak memihak (Independence and Impartiality of Judiciary) yang di zaman
sekarang makin dirasakan mutlak diperlukan dalam setiap negara demokrasi.
Prinsip-prinsip yang dianggap ciri penting Negara Hukum menurut The
International Commission of Jurist yang dikutip oleh Jimly Assidhiqie adalah:19
Sebelum perubahan UUD 1945, prinsip negara hukum Indonesia
ditegaskan dalam penjelasan UUD 1945, yang menentukan bahwa Negara
Indonesia berdasar atas hukum (rechtstaat) tidak berdasar kekuasaan belaka.
menurut Philiipus M. Hadjon yang berpendapat berdasar sudut pandang yuridisme
Pancasila, maka negara hukum Indonesia secara ideal adalah negara hukum 1. Negara harus tunduk pada hukum.
2. Pemerintah menghormati hak-hak individu.
3. Peradilan yang bebas dan tidak memihak.
18
Ibid, hal 159
19
Jimly Asshiddiqie,http://jimly.com/makalah/namafile/57/Konsep_Negara_Hukum_Indonesia.pdf,
pancasila, yang unsur-unsurnya dikutip oleh I Dewa Gede Atmaja, sebagai
berikut:
a. Keserasian hubungan antara pemerintah dan Rakyat berdasar asas kerukunan nasional
b. Hubungan yang fungsional dan proporsional antara kekuasaan negara
c. Prinsip penyelesaian sengketa secara musyawarah dan peradilan merupakan sarana terakhir
d. Keseimbangan antara hak dan kewajiban.
Setelah perubahan UUD 1945, dalam pasal 1 ayat (3) UUD NRI Tahun
1945 dituliskan bahwa negara indonesia adalah negara hukum. Dalam konsep
Negara Hukum itu, diidealkan bahwa yang harus dijadikan panglima dalam
dinamika kehidupan kenegaraan adalah hukum, bukan politik ataupun ekonomi.
Karena itu, jargon yang biasa digunakan dalam bahasa Inggris untuk menyebut
prinsip negara hukum adalah ‘the rule of law, not of man’. Yang disebut
pemerintahan pada pokoknya adalah hukum sebagai sistem, bukan orang per
orang yang hanya bertindak sebagai ‘wayang’ dari skenario sistem yang
mengaturnya.
4. Kebebasan Beragama
Ada banyak pengertian kebebasan, dan pengertian yang paling sederhana
dan klasik adalah tidak adanya larangan. Meskipun demikian konsep dasar
kebebasan juga harus memperhatikan tidak adanya intervensi dari kebebasan yang
telah dilakukan tersebut terhadap kebebasan orang lain. jadi, ada dua kebebasan
yang seimbang, yakni bebas untuk melakukan dan bebas untuk tidak diintervensi
oleh tindakan tersebut.
Dalam Blacks Law dictionary yang dikutip oleh Al-khanif mengartikan
kecuali larangan-larangan yang diatur dalam undang-undang.20
Kebebasan beragama adalah bagian dari hak beragama yang tergolong
dalam Hak Asasi Manusia (HAM). hal ini dituliskan dalam UUD Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 dalam pasal 28E ayat (1) “setiap orang bebas
memeluk agama dan beribadah menurut agamanya, memilih pendidikan dan
pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat
tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali.”
Jadi, dapatlah
disimpulkan bahwa sesungguhnya manusia mempunyai hak untuk bebas selama
hak-hak tersebut tidak bertentangan dengan larangan yang ada dalam hukum.
Berdasarkan definisi-definisi tersebut diatas, kebebasan didalam hak asasi
manusia adalah kebebasan untuk menunggalkan atau mengerjakan sesuatu hal
seperti yang telah diatur didalam peraturan-peraturan internasional dan nasional
tentang hak asasi manusia. Dalam kaitannya dengan kebebasan beragama, setiap
individu mempunyai kebebasan seperti yang diatur dalam sebuah peraturan
misalnya dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia mengatur seperti hak
untuk menganut, berpindah, mempertahankan atau tidak memeluk suatu
keyakinan apapun, serta menjalankannya baik dimuka umum maupun sendiri.
21
Dalam pasal 28I ayat (1) “hak untuk hidup, hak untuk tidak dapat disiksa, hak
kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak dapat
diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dihadapan hukum, hak untuk tidak
20
Al Khanif, Hukum dan Kebebasan Beragama (Yogyakarta: Laksbang Mediatama, 2010), hal 87
21
dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak
dapat dikurangi dalam keadaan apapun”22
Sedangkan forum eksternum ialah menyangkut kebebasan
memanifestasikan agama seperti; penyembahan (worship), upacara keagamaan
(observance), dan pengajaran (teaching). Penyembahan mengandung arti bentuk
berdoa dan kebebasan ritual, serta kotbah/dakwah. Upacara keagamaan
menyangkut prosesi agama dan menggunakan pakaian agama. Sementara
pengajaran menyangkut penyebaran substansi ajaran agama dan keyakinan.
Kebebasan berkumpul dalam hubungannya dengan agama, mendirikan dan Hak beragama mempunyai dua dimensi yaitu forum internum (ruang
privat) dan forum eksternum (ruang publik). Forum internum menyangkut
eksistensi spiritual yang melekat pada setiap individu, sementara forum eksternum
adalah mengkomunikasikan eksistensi spiritual individu tersebut kepada publik
dan membela keyakinannya di publik.
Forum internum menyangkut kebebasan untuk memiliki dan mengadopsi
agama atau keyakinan sesuai pilihan setiap individu, juga kebebasan untuk
mempraktekan (to practice) agama atau keyakinannya secara privat. Hak atas
kebebasan berfikir dan keyakinan juga mengandung arti setiap orang punya hak
untuk mengembangkan pemikiran-pemikiran dan keyakinan bebas dari pengaruh
eksternal yang tidak layak (impermissible external influence) seperti doktrinisasi,
cuci otak, manipulasi, mempengaruhi pikiran melalui obat-obat psikoaktif, atau
menjalankan institusi kemanusiaan yang layak, menerbitkan dan publikasi yang
relevan. Jadi, dapatlah disimpulkan bahwa forum internum adalah internalisasi
kebebasan beragama sedangkan forum eksternum adalah pengaplikasian
kebebasan beribadah.
F. Metode Penelitian
Dalam rangka merumuskan isi skripsi ini, maka digunakan metode
penulisan yang diuraikan sebagai berikut;
1. Jenis Penelitian
Jenis Penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini Penelitian
Yuridis Normatif yaitu jenis penelitian yang dilakukan dengan cara
menganalisis norma-norma hukum yang berlaku. Dalam hal ini, penelitian
dilakukan dengan cara menganalisa norma-norma hukum nasional dan
internasional yang berkenan dengan penelitian.
2. Data Penelitian
Penelitian ini bersumber dari bahan hukum primer, sekunder, dan tersier
yaitu sebagai berikut:
a. Bahan Hukum Primer, yaitu peraturan perundang-undangan yang
relevan dengan penelitian ini seperti:
a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
b. Universal Declaration of Human Rights (Deklarasi Universal Hak
Asasi Manusia)
c. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 Tentang Pengesahan
Internasional Tentang Hak-Hak Sipil dan Politik) dalam Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 119
d. Undang-Undang No 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor
165
e. Undang-Undang No 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2011 Nomor 82
f. Undang-Undang No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor
109
g. Undang-Undang No 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003
Nomor 78
h. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi
Kependudukan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2006 Nomor 124
i. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan
Diskriminasi Ras dan Etnis dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2008 Nomor 170
b. Bahan Hukum Sekunder, yaitu tulisan-tulisan atau karya-karya para
ahli hukum dalam buku-buku teks, tesis, makalah, jurnal, surat kabar,
Mahkamah Konstitusi, dan Naskah Komprehensif Risalah Sidang
Amandemen UUD.
c. Bahan Hukum Tersier, yaitu bahan-bahan yang digunakan guna
menunjang bahan hukum sekunder seperti kamus hukum dan kamus
bahasa.
3. Teknik Pengumpulan Data
Teknik Pengumpulan Data yang digunakan adalah Tinjauan Kepustakaan
(Library Research). Tinjauan Kepustakaan (Library Research) merupakan
teknik pengumpulan data dengan cara penelitian kepustakaan atau data
sekunder. Data sekunder adalah data-data yang berasal dari sumber-sumber
atau bahan-bahan tertulis yang ditulis oleh para sarjana dan ahli sehingga
datanya dapat diakui.
4. Analisis Data
Pengolahan data yang dilakukan dalam menyelesaikan skripsi ini adalah
dengan menganalisa permasalahan yang dibahas. Adapun analisis data
dilakukan dengan cara:
a. Mengumpulkan data-data dan bahan-bahan hukum yang relevan
dengan objek penelitian.
b. Memilih kaidah-kaidah hukum ataupun doktrin-doktrin yang sesuai
dengan objek penelitian.
c. Mensistematiskan kaidah-kaidah hukum dan doktrin-doktrin tersebut.
d. Menjelaskan korelasi antara kaidah-kaidah hukum dan atau
e. Menarik kesimpulan dengan pendekatan deduktif.
G. Sistematika Penulisan
Untuk dapat mempermudah pemahaman skripsi ini, maka pembahasan
dalam skripsi ini akan diuraikan secara sistematis. Adapun penulisan skripsi ini
dibagi ke dalam 5 Bab yang berhubungan satu sama lainnya, yaitu:
BAB I : Bab ini berisi Pendahuluan yang terdiri atas Latar Belakang
Penulisan, Perumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penulisan,
Keaslian Penulisan, Tinjauan Kepustakaan, Metode Penulisan,
hingga Sistematika Penulisan.
BAB II : Bab ini membahas tentang tinjauan mengenai Konstitusi, Hak Asasi
Manusia dan Negara Hukum.
BAB III : Bab ini membahas tentang Hubungan ataupun Kaitan antara
Konstitusi dan Hak Asasi Manusia di dalam Negara Hukum.
BAB IV : Bab ini membahas tentang Jaminan Kebebasan Beragama dalam
UUD NRI Tahun 1945.
Bab V : Bab terakhir dalam skripsi ini yang berisi penutup berupa
Kesimpulan dari keseluruhan penelitian yang dilakukan serta juga