PENGARUH KEGIATAN UJICOBA REDD+ PADA LINGKUNGAN DAN SOSIAL-EKONOMI MASYARAKAT SEKITAR HUTAN
Studi di Lokasi Kegiatan Ujicoba REDD+ di Kabupaten Kuala Kapuas, Kalimantan Tengah
(The Impact of Socio-Economic’s REDD+ Demonstration Activities to Forest Community Area: Study on REDD+ Demonstration Actibities in Kuala Kapuas District, Central
Kalimantan)
Dadang Setiawan*) dan Mahawan Karuniasa*) *) Program Studi Ilmu Lingkungan, Universitas Indonesia
Kampus UI Salemba - Gedung C (FKG) Lt. 5 dan 6, Jl. Salemba Raya No. 4 - Jakarta Pusat. Telp/Fax: (021) 31930251
Email: [email protected]
ABSTRACT
Implementation of the Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation (REDD+) program requires the effectiveness, efficiency and equity (equitable) as approach of mitigation on climate change to examine the options proposed and outcomes or evaluate the their actual results. This research aims to identify and analyze the impact of REDD + pilot activities on the environment and socio-economics of forest communities, as well as assessing the perception of local residents on their benefits of REDD + pilot activities and communites’perception on its program relationship with climate change. Research population is seven villages on the region of REDD + pilot activities Regency Kuala Kapuas, Central Kalimantan, with the sample villages are Mantangai Hulu Village, Katunjung and Petak Puti. Numbers of samples were 66 respondents with the unit of analysis is the family. The research results show that the demonstration activities of REDD+ have been delivered influence mainly on environment (forest vegetation) and their income, limited influence on education aspect, health and living conditions. The trainings availability, activities and socialization by REDD+ project proponent have been obtained co-benefits for locals on their capacity building, forest and land use governance, their knowledge and understanding on REDD+ benefits and their perception on REDD+ and climate change relationship concept.
Keywords: REDD+, carbon, environment, socio-economic, climate change, PES
ABSTRAK
kegiatan ujicoba REDD+ di lokasi sampel telah memberi pengaruh terutama terhadap kondisi lingkungan (lahan hutan) dan tingkat pendapatan, serta pengaruh terbatas terhadap aspek pendidikan, kesehatan dan kondisi tempat tinggal. Berbagai pelatihan, kegiatan dan sosialisasi tentang REDD+ telah meningkatkan manfaat tambahan berupa kapasitas personal, tata kelola lahan, pemahaman danpersepsi masyarakat atas manfaat ujicoba REDD+, dan melihat hubungan kegiatan ujicoba REDD+ dengan perubahan iklim.
Keywords: REDD+, karbon, lingkungan, sosial ekonomi, perubahan iklim, pembayaran jasa lingkungan (PES)
Pendahuluan
Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan atau dikenal dengan Reducing Emissions from Deforestasi and forest Degradation (REDD) mulai diperkenalkan pada pertemuan puncak kerangka konvensi perubahan iklim Pada (United Nations Framework for Climate Change Convention–UNFCCC) ke-13yang berlangsung di Bali pada 2007. Sebelumnya isu ini telah diperkenalkan pada pertemuan serupa ke-12, namun masih belum diterima menjadi kesepakatan mengikat. Indonesia bersama negara berkembang lain kembali mengusulkan kembali untuk memasukan isu deforestasi ke dalam kerangka konvensi, sehingga lahir kesepakatan Bali Action Plan dan Bali Road Map (UNFCCC, 2007). Pada CoP tersebut peserta seluruh negara setuju untuk menerima mekanisme REDD sebagai sebuah komponen potensial dari rezim perubahan iklim paska-2012 (Parker et al., 2009).
Bahan dan Metode
Peran hutan menjadi lebih penting dalam konteks kebijakan mitigasi perubahan iklim di Indonesia. Hutan menutupi luas 86–93 juta hektar, atau hampir setengah total wilayah darat Indonesia. Menurut data terakhir Kementerian Kehutanan, Indonesia kehilangan 1,18 juta hektar hutan setiap tahunnya. Deforestasi dan perubahan tata guna lahan, termasuk lahan gambut, menghasilkan sekitar 60% total emisi Indonesia (REDDI, 2013). Struktur emisi seperti ini menjadikan Indonesia memilih penanganan deforestasi dan degradasi hutan sebagai salah satu cara utama dalam mengurangi emisi dan menghadapi perubahan iklim.
REDD+ adalah singkatan dari Reducing Emissions from Deforestation and forest Degradationplus atau pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi lahan hutan.Istilah REDD+ mulai dikenal terutama sejak hasil keputusan konferensi negara-negara peserta kerangka konvensi perubahan iklim (Conference of the Parties – CoP) ke-13 di Bali, yang juga dikenal sebagai Bali Action Plan. Melalui konferensi REDD didefinisikan: “Pendekatan kebijakan dan insentif positif pada isu-isu yang berkaitan dengan pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan di Negara berkembang.” Pada paragraf berikutnya disebutkan “…dan peran konservasi, pengelolaan hutan lestari dan peningkatan cadangan karbon di negara berkembang.”
Keputusan UNFCCC terkait pelaksanaan kegiatan ujicoba (demonstration activities – DA) REDD+ dimulai pada Conference of the Parties 13 di Bali melalui hasil putusan pada paragraf ketiga, nomor Dec 2/CP/13 dinyatakan bahwa para pihak (negara) didorong untuk menindaklanjuti melalui kegiatan, mengidentifikasi opsi dan melakukan upaya, termasuk kegiatan ujicoba untuk menyentuh faktor pendorong/pemicu (drivers) deforestasi sesuai dengan keadaan nasional. Hingga Agustus 2013 kegiatan ujicoba REDD+ sebanyak 77 unit pelaksana, dengan dukungan donor bilateral dan mitra lainnya, dan tersebar di sejumlah lokasi (KemHut, 2013).
Sejumlah kegiatan terkait dengan sosial ekonomi yang dilakukan pelaksana ujicoba REDD+ KFCP antara lain: (a) ujicoba pembayaran jasa lingkungan (Payment Ecosystem Services--PES) termasuk mengembangkan pembibitan oleh masyarakat guna menghasilkan bibit hutan atau bibit tanaman yang akan digunakan pada proyek reboisasi. Kegiatan dilakukan melalui pembayaran sebagai upaya masyarakat berdasarkan indikator input, kinerja; (b) pembentukan tim manajemen pencegahan dan penanggulangan kebakaran lahan dan kegiatan pemantauan (monitoring) di setiap desa; (c) penutupan atau pemblokiran saluran tatas (kanal kecil) dan kegiatan persiapan lainnya dengan melibatkan masyarakat setempat untuk menutup kanal besar sebagai bagian dari upaya rehabilitasi hidrologi lahan gambut. Skema ini mengunakan insentif.; (d) dukungan pelatihan bagi Petani Pemandu (penyuluh atau penasihat pertanian) dan sekolah lapangan bagi petani; (e) Program dukungan mata pencaharian menyalurkan bibit karet bagi satu hektar perkebunan per keluarga, atau setara dengan nilai agroforestri lainnya termasuk kolam ikan; (f) pemetaan partisipatif lahan desa dan Peringkat Kekayaan Sosial (Social Wealth Ranking–SWR).
Metode penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif yakni peneliti berusaha mendeskripsikan dan menginterpretasikan berbagai data yang telah dikumpulkan melalui angket, wawancara maupun oservasi. Analisis deskriptif digunakan untuk menguraikan kondisi faktual di desa sampel terkait dengan kondisi hutan, tingkat pendapatan, kesehatan dan pendidikan, serta persepsi mereka atas manfaat kegiatan ujicoba REDD+ dan melihat pandangannya atas REDD+ dan perubahan iklim. Analisis deskriptif digunakan pada riset ini untuk mencari hubungan antara program kegiatan ujicoba REDD+ terhadap kondisi sosial ekonomi masyarakat sekitar hutan pada lokasi program tersebut.
Riset ini dilakukan pada periode April-Mei 2015. Tempat riset pada lokasi kegiatan ujicoba REDD+ di Kabupaten Kuala Kapuas, Kalimantan Tengah pada tiga desa sampel yakni Desa Mantangai Hulu, Desa Katunjung, dan Desa Petak Puti di Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah.
Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah. Desa dimaksud adalah Petak Puti, Muroi, Katunjung, Sei Ahas, Katimpun, Kalumpang, dan Matangai Hulu (Gambar 1).
Riset ini menggunakan pendekatan multistage sampling. Multi-stage sampling adalah teknik pengambilan sampel yang dilakukan secara berurutan dalam dua level tingkatan/hierarki atau lebih. Teknik ini tidak memerlukan daftar lengkap anggota/bagian dari populasi yang akan diteliti. Teknik ini juga dapat melibatkan lebih dari satu metode atau metode sampling gabungan, misalnya: simple random, cluster atau stratified sampling.
Gambar 1: Gambar dan peta lokasi kegiatan ujicoba REDD+ di Kab. Kuala Kapuas.
Riset ini menggunakan pendekatan multistage sampling. Multi-stage sampling adalah teknik pengambilan sampel yang dilakukan secara berurutan dalam dua level tingkatan/hierarki atau lebih. Teknik ini tidak memerlukan daftar lengkap anggota/bagian dari populasi yang akan diteliti. Teknik ini juga dapat melibatkan lebih dari satu metode atau metode sampling gabungan, misalnya: simple random, cluster atau stratified sampling.
menggunakan pedoman observasi berupa check list untuk mengamati kondisi keluarga yang mengikuti kegiatan ujicoba REDD+ dan yang tidak mengikuti kegiatan tersebut. Sedangkan datasekunder melalui studi literatur guna memperoleh data sekunder dengan cara mempelajari dokumen, laporan proyek dan hasil survey monitoring yang berkaitan dengan kegiatan ujicoba REDD+, dan data statistik sosial-ekonomi di lokasi riset. Data untuk mengetahui kondisi sosial ekonomi saat sebelum program ujicoba REDD+ di lokasi tersebut, diperoleh dari data-data baseline dari Kalimantan Forest Carbon Partnership (KFCP) sebagai pelaksana ujicoba REDD+ di Kabupaten Kapuas.
Data-data primer yang telah dihimpun dari responden berupa data tingkat pendapatan, tingkat kesehatan, dan tingkat pendidikan yakni ketiga komponen tersebut menggambarkan tingkat kesejahteraan masyarakat. Selain itu data primer mengenai persepsi masyarakat terhadap REDD+ berserta manfaatnya, dan persepsi responden atas kaitan REDD+ dengan perubahan iklim juga menggunakan skala likert untuk mendapatkan perbandingan persepsi masyarakat pada tas sebelum dan sesudah adanya kegiatan ujicoba REDD+.
Hasil dan Pembahasan
Kondisi lahan hutan dari kegiatan ujicoba REDD+ telah diuraikan seperti pada bagian sebelumnya dari tingkat deforestasi dan degradasi lahan. Adapun penilaian dari warga masyarakat sendiri atas kondisi lahan hutan di sekitar desanya dapat digambarkan sebagaimana tertera pada Tabel 1 di bawah.
Berdasarkan tersebut tampak bahwa penilaian responden pada saat sebelum kegiatan ujicoba REDD+ kondisi hutan dinilai responden pada umumnya relatif seimbang antara yang menilai kurang baik (43,9%) dan baik (39,4%), dan sisanya Cukup baik atau mendekati sama dengan sebelumnya (15,1%). Setelah ujicoba REDD+ pada umumnya menilai sangat baik (48,5%), baik (45,9%). Jika kedua jawaban ini digabungkan maka lebih dari 90% responden menyatakan bahwa kondisi hutannya lebih baik.
Tabel 1: Penilaian Responden Terhadap Kondisi Lahan Hutan, Sebelum dan Setelah Kegiatan Ujicoba REDD+
Penilaian Sebelum UjicobaREDD+ Setelah UjicobaREDD+ Perubahan(%)
Orang % Orang %
Tidak baik - - - -
-Kurang baik 29 43,9 2 3,0 - 40,9
Cukup baik 10 15,1 2 3,0 - 12,1
Baik 26 39,4 30 45,5 + 6,1
Sangat baik 1 1,5 32 48,5 + 46,7
Jumlah 66 100 66 100
(Sumber: Data primer)
Sumber (KFCP, 2013)
Grafik 1.: Pembagian Hutan dan Bukan Hutan di Wilayah Desa Ujicoba REDD+
Vegetasi alami dalam wilayah percontohan REDD+ KFCP telah berubah drastis dalam 15-20 tahun terakhir. Pada 2012 dilakukan monitoring vegetasi, khusus di blok A, vegetasi alami sebagian besar telah hilang dan rusak karena konversi lahan untuk pertanian dan pemukiman,
logging, irigasi, dan karena kebakaran lahan hutan.
(Sumber: KFCP, 2013)
Hutan Rawa Gambut yang relatif utuh terdapat di bagian utara kubah gambut (Blok E, warga hijau gelap), meskipun telah ada penebangan kayu di beberapa daerah. Perbedaan tipe penutupan lahan antara Blok A dan Blok E seperti terlihat pada pada Gambar 2 tersebut di atas.
Secara lebih rinci data jenis tutupan lahan pada saat kegiatan ujicoba REDD+ yang berada di Blok A dan Blok E di kawasan eks PLG. Data pada 2010 sebagian besar ditutupi oleh padang rumput dan alang-alang (44%) dan semak belukar (39%) khususnya di Blok A. Sedangkan di Blok E didominasi oleh hutan lahan basah sekunder (43%) dan primer (41,4%), sebagian padang rumput dan alang-alang (8,7%), serta sebagian kecil lahan hutan kering sekunder (3,4%) lain lainnya.
Pengembangan Hutan Desa dilakukan melalui serangkaian kegiatan persiapan yang melibatkan masyarakat desa (sosialisasi, pelatihan, inventarisasi/identifikasi areal hutan desa, dan lokakarya). Hutan Desa di Katimpun dan Petak Puti telah ditetapkan melalui SK Menteri Kehutanan (saat itu) yakni Katimpun luas lahan+ 3.230 ha (SK MenhutNo. 212/Menhut-II/2014); Petak Puti luas lahan + 7.855 ha (SK MenhutNo. 213/Menhut-II/2014).
(Sumber: KFCP, 2013)
Selain di dua desa tersebut, proses penetapan areal Hutan Desa Katunjung masih dilakukan di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.Gambar 3 di atas (tanda silang warna kuning) adalah kawasan yang diusulkan dan diproses (dua desa telah ditetapkan) menjadi pengelolaan Hutan Desa. Berdasarkan penilaian respoden atas pendidikan pada saat sebelum dan setelah kegiatan ujicoba REDD+ sebagaimana tampak pada Tabel 2 berikut.
Tabel 2: Penilaian Responden Terhadap Pendidikan, Sebelum dan Setelah Kegiatan Ujicoba REDD+
Penilaian Sebelum UjicobaREDD+ Setelah UjicobaREDD+ Perubahan
(%) menilai kurang baik (47%), sebagian lainnya menganggap tidak baik (38,8%), dan sisanya 22,7% cukup baik atau mendekati sama dengan sebelumnya. Setelah adanya kegiatan ujicoba REDD+ responden menilai pendidikan di desanya lebih baik (48,5%), sangat baik (21,2%) dan sisanya cukup baik atau hampir tetap (27,3%) serta kurang baik (3%).
tempat tersebut tempat terdekat adanya perguruan tinggi. Penilaian responden atas aspek kesehatan terkait ujicoba REDD+ seperti tercantum pada Tabel 3 berikut.
Tabel 3: Penilaian Responden Terhadap Kesehatan, Sebelum dan Setelah Kegiatan Ujicoba REDD+
Penilaian responden terhadap kondisi tempat tinggal menyatakan 45,5% kurang baik, bahkan 27,3% tidak baik, sisanya cukup baik atau relatif sama (19,7%), dan baik (6,6%). Dengan adanya kegiatan ujicoba REDD+ sebagian besar warga menilai kondisi tempat tinggalnya relatif lebih baik (33,13), bahkan sangat baik (21,2%), meski sebagian di antaranya menilai kurang baik (28,8%), dan netral (18,0%). Gambaran penilaian responden seperti tampak pada Tabel 4 di bawah ini.
Tabel 4: Penilaian Responden Terhadap Kondisi Tempat Tinggal, Sebelum dan Setelah Kegiatan Ujicoba REDD+
Penilaian Sebelum UjicobaREDD+ Setelah UjicobaREDD+ Perubahan(%)
Orang % Orang %
dalam penilaiannya atas sebelum dan setelah adanya kegiatan ujicoba REDD+ antara lain seperti tercantum pada Tabel 5. berikut.
Tabel 5: Penilaian Responden TerhadapTingkat Pendapatan, Sebelum dan Setelah Kegiatan Ujicoba REDD+
Penilaian Sebelum UjicobaREDD+ Setelah UjicobaREDD+ Perubahan(%)
Orang % Orang %
Tidak baik 18 29,5 - - - 27,3
Kurang baik 43 68,9 2 3,0 - 62,1
Cukup baik 2 1,6 6 9,1 - 6,1
Baik 2 - 29 43,9 + 40,9
Sangat baik 1 - 29 43,9 + 42,4
Jumlah 66 100 66 100
(Sumber: Data primer)
Sebagian besar responden mengakui bahwa sebelum adanya kegiatan ujicoba REDD+ menganggap bahwa pendapatan mereka kurang baik (68,9%), bahkan tidak baik (29,5%), dan sebagian kecil lainnya netral (1,6%). Sedangkan setelah adanya kegiatan ujicoba REDD+ pendapatan mereka sebagian besar mengaku menjadi sangat baik (47,5%), demikian pula banyak yang mengakui lebih baik (44,3%), dan sisanya netral (4,9%) dan kurang baik baik 3,3%.
Berdasarkan hasil survey terhadap responden, pendapatan dari kegiatan ujicoba bervariasi antara Rp 500.000 hingga mencapai di atas Rp 2.500.000. Hal ini dimungkinkan mengingat warga selain ikut berbagai paket kegiatan di desanya, juga pelaksana ujicoba REDD+ menyediakan dana pengganti bagi mereka yang bersedia menutup kanal/tabatnya dengan nilai lebar dan panjangnya kanal. Berikut adalah tabel tingkat pendapatan warga terkait kegiatan percontohan REDD+.
Tabel 6.: Tingkat Pendapatan Warga di Lokasi Sampel Kegiatan Percontohan REDD+
Gambaran pandangan responden seperti tampak pada Grafik berikut.
(Sumber: Data primer)
Grafik 2: Persepsi Responden atas Pelaksanaan Kegiatan Ujicoba REDD+
Persepsi Responden Terhadap Manfaat Kegiatan Ujicoba REDD+. Secara umum penilaian atas manfaat dari kegiatan ujicoba REDD+ telah dirasakan warga masyarakat yang menjadi responden, meski demikian pertanyaan juga disampaikan khususnya tentang manfaat kegiatan ujicoba REDD+, sebagian besar responden menjawab bermanfaat (43,9%), diikuti dengan jawaban sangat bemanfaat (40,9%) dan sisanya menjawab netral (12,1%). Sebaran penilaian responden seperti tercantum pada grafik 3. Persepsi responden melihat keterkaitan kegiatan ujicoba REDDdengan perubahan iklim, memandang bahwa adanya berbagai pelatihan, pendidikan informal dan sosialisasi yang dilaksanakan pelaksana kegiatan ujicoba REDD+ oleh KFCP dilakukan secara reguler dan keterkaitan satu sama lain.
pelatihan dan sosialisasi tersebut adalah pengenalan isu tentang REDD+ sebagai upaya untuk mengurangi laju perubahan iklim.
(Sumber: Data primer)
Grafik 3: Persepsi Responden Terhadap Manfaat Kegiatan Ujicoba REDD+
Ketika ditanyakan kepada warga tentang hubungan antara kegiatan ujicoba REDD+ dengan perubahan iklim, responden sebagian besar menjawab sangat berkaitan (57,6%), sebagian menjawab berkaitan (37,9%) dan sisanya menjawab netral (3%). Gambaran jawaban responden seperti tercantum dalam grafik 4 di bawah.
Manfaat sosial tambahan lainnya (Co-Benefits). Berbagai kegiatan percontohan REDD+ yang dilaksanakan KFCP antara lain menyediakan berbagai pelatihan bagi berbagai kegiatan dan berbagai tingkatan keahlian (dasar, menengah, lanjutan), dilakukan di desa masing-masing ataupun di Ibukota Kabupaten Kuala Kapuas dan bahkan di Ibukota Provinsi Palangkaraya.
(Sumber: Data primer)
Hal ini memberikan dampak sosial positif yang belum dapat terukur secara pasti namun dapat dirasakan, khususnya bagi peneliti saat mewawancarai warga yang pernah mengikuti kegiatan percontohan REDD+ KFCP. Adanya insentif penerimaan dana dari kepesertaan kegiatan tersebut menyebabkan warga secara pasti dapat mengalokasikan dananya untuk berbagai keperluan, termasuk biaya kesehatan dan pendidikan. Demikian pula adanya jaminan asuransi menyabkan peserta antusiasi mengikuti kegiatan tanpa kekhawatiran untuk menemui risiko kecelakaan yang berarti.
Berdasarkan hasil wawancara secara kualitatif diperoleh gambaran bahwa terdapat sejumlah manfaat yang dirasakan warga dengan adanya kegiatan percontohan REDD+. Hal ini seperti yang dinyatakan kepada peneliti antara lain: 1) Terbentuknya kohesi dan modal sosial baru; 2) Adanya peningkatan kapasitas dan keterampilanwarga khususnya petani pemandu, tim pengelola kegiatan (TPK) dan tim pengawas (TP) serta aparat desa dari kegiatan ujicoba REDD+; 3) Terlatihnya aparat desa dan terbentuk jejaring (networking); 4) Partisipasi dan keterampilan perempuan dalam kegiatan terkait publik bertambah; 5) Kemampuan berbicara di depan publik dan bersosialisasi; 6) Warga lebih peduli terhadap lingkungan hutan dan terutama pencegahan kebakaran lahan; 7) Pemahaman terhadap REDD+ dan perubahan iklim relatif sangat baik.; 7) Timbulnya indikasi perubahan perilaku.
Meski demikian di tengah catatan baik tersebut, terdapat sejumlah poin sebagai dampak negatif atau potensi faktor risiko atas program. Dari hasil temuan lapangan, terdapat beberapa yang perlu menjadi perhatian terutama bagi pelaksana REDD+ mendatang. Hal ini antara lain: 1) REDD+ sama dengan pembagian uang; 2) Warga kini lebih memperhatikan kompensasi uang kehadiran bila diundang pada pertemuan umum desa atau oleh kegiatan pembangunan dan program pemberdayaan lain; 3) Benih individualistik dan ketimpangan; 4) Kajian dari segi manfaat capaian proyek relatif berhasil namun dari segi capaian tujuan-tujuan REDD+ perlu dilakukan kajian lebih mendalam.
pentingnya hutan dalam konteks perubahan iklim, bagaimana proyek-proyek REDD+ akan diatur dan dilakukan sebagai sarana untuk mencapai sasaran mitigasi perubahan iklim, dan bagaimana intervensi ini akan mempengaruhi hidup mereka.
Melalui program kegiatan ujicoba REDD+ oleh KFCP, warga mengetahui informasi ini mencakup pembagian manfaat (benefit sharing), hak dan tanggung jawab, dan juga risiko dan biaya yang terkait dengan keterlibatan penduduk setempat dalam proyek REDD+.
Indikator dari The Climate, Community and Biodiversity Alliance (CCBA) menyatakan bahwa proyek (REDD+) harus menciptakan dampak positif pada kesejahteraan sosial ekonomi bagi warga (komunitas) dan memastikan bahwa biaya dan manfaat setara di antara anggota komunitas dan kelompok konstituen selama masa proyek. Program percontohan REDD+ yang diprakarsai KFCP secara sosial-ekonomi telah memenuhi indikator tersebut.
Gambaran yang sama seperti diindikasikan oleh IPCC (2007) tentang implikasi dari Pembangunan Berlanjutan dalam mitigasi perubahan iklim antara lain terbukti dari riset ini. IPCC menyebutkan, dari sisi deforestasi dan degradasi yang menurun, Indikator dari The Climate, Community and Biodiversity Alliance (CCBA) menyatakan bahwa proyek (REDD+) harus menciptakan dampak positif pada kesejahteraan sosial ekonomi bagi warga (komunitas). Demikian pula dari kegiatan reforestasi dan aforestasi (pembibitan, penanaman), secara sosial berpengaruh positif bagi promosi mata pencaharian, migrasi penduduk ke wilayah lain berkurang; secara ekonomi berpengaruh positif dalam penciptaan lapangan kerja dan intensitas pemanfaatan lahan, peningkatan pendapatan warga setempat dan jasa lainnya; secara lingkungan berpengaruh terhadap keanekaragaman pohon, tegakan, atau tingkat bentang alam keanekaragaman hayati, perlindungan tanah dan kepemilikan lahan.
dari ketiga kriteria ini, yakni efektivitas, efisiensi dan kesetaran (equitable) yang lazim terbukti dari riset ini.
Hasil riset ini juga sejalan dengan instrumen ini adalah sistem pembayaran jasa lingkungan (Payment Environmental Services–PES), pengelolaan hutan partisipatif (PHP), dan proyek-proyek konservasi dan pembangunan terpadu (ICDP). Seperti disampaikan oleh Luttrellet al. (2012), terdapat dua jenis manfaat REDD+ yakni moneter dan peningkatan kelestarian pengelolaan hutan termasuk manfaat jassa ekosistem melalui hasil hutan nonkayu. Berdasarkan hasil riset ini membuktikan bahwa manfaat-manfaat yang timbul dari kegiatan REDD+ sesuai seperti yang diprakirakan.
Kesimpulan dan Saran
Berdasarkan hasil penelitian ini maka dapat disimpulkan sebagai berikut: (1) Kegiatan ujicoba (demonstration activities–DA) REDD+ di Kabupaten Kuala Kapuas yang diprakarsai oleh Kalimantan Forest and Climate Partnership (KFCP) terkait sosial ekonomi dilakukan dengan menyediakan alternatif mata pencaharian (livelihoods) bagi warga desa melalui program berbasis insentif kinerjaantara lain kegiatan reforestasi (pembibitan, penanaman, penyiangan), program Sekolah Lapang (SL) bagi warga untuk pengelolaan karet, fasilitasi penanaman tanaman karet, pengelolaan beje (kolam ikan musiman di hutan), penutupan kanal, dan kegiatan pencegahan kebakaran hutan;
pencanangan Hutan Desa yang diusulkan melalui pemrakarsa kegiatan percontohan REDD+ (KFCP);
(3) Kegiatan ujicoba REDD+ memiliki andil terhadap manfaat secara sosial-ekonomi warga masyarakat di lokasi program. Peningkatan manfaat secara sosial-ekonomi tampak utamanya terhadap peningkatan pendapatan, disusul aspek pendidikan, kesehatan, kondisi tempat tinggal. Manfaat sosial tambahan diperoleh warga adalah kemampuan mengelola lahannya, kohesivitas sosial, kemampuan berbicara dan mengungkapkan pendapat di depan publik (termasuk dari kaum perempuan), membangun jejaring (networking) kerjasama di antara warga maupun aparat desa, serta warga pada umumnya lebih menyadari (aware) untuk mengelola lahan hutan dan kebun mereka secara berkelanjutan (sustainable).
(4) Kegiatan ujicoba REDD+ melalui pelibatan warga dalam berbagai pelatihan, kegiatan dan sosialisasi, telah mempengaruhi pengetahuan dan pemahaman warga masyarakat setempat atas penilaian danpandangan mereka dalam upaya REDD+ sebagai sebuah program yang menekan laju perubahan iklim. Sebagian besar warga memandang baik dan antusias kegiatan tersebut serta mengakui telah mendapat manfaatnya (benefit sharing) baik secara ekonomi maupun berbagai keterampilan sosial lainnya, serta adanya pemahaman dalam kaitan antara kegiatan REDD+ dan perubahan iklim.
(equitable) sangat diperlukan. Penguatan regulasi dan pemahaman persepsi yang sama antara pemerintah pusat dan daerah sangat diperlukan; (4) Bagi akademisi: diperlukan penelitian lanjutan mengenai dampak dari berbagai peningkatan kapasitas warga masyarakat melalui pendidikan informal dan pelatihan-pelatihan tersebut, khususnya terhadap perubahan perilaku mereka (behavioral change) secara jangka panjang.
Ucapan Terima Kasih
Terima kasih yang tak terhingga kepada Bapak Tri Edhi Budhi Soesilo, M. Soeparmoko, Sari Hayati Hasibuan, Raldi Koestoer dari Program Studi Ilmu Lingkungan Universitas Indonesia yang telah memberikan masukan saran dan perbaikan atas penelitian ini. Kepada Bapak Mahawan Kairunisa yang telah membarikan saran dan menyediakan waktunya untuk berdiskusi dalam penyempuarnaan struktur kajian ini dan memberikan dada-data penting guna kelengkapan informasi yang diperlukan.
Terima kasih sebanyak-banyaknya juga kepada para pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu demi terwujudnya peneliatyian ini, terutama kepada warga desa di Mantangai Hulu, Desa Katunjung dan Desa Petak Puti, terimasuk para aparat desa yang dengan senang hati memberikan informasi yang diperlukan dan menyediakan waktu dan penerimaannya.#
Daftar Pustaka
Angelsen, A., & Atmaja, S. (2010). Melangkah Maju dengan REDD: Isu, Pilihan dan Implikasi.
Bogor, Indonesia: CIFOR.
CBD. (1995). Convention on Biological Diversity. Switzerland: CBD.
CIFOR. (2010). REDD Apakah itu; Pedoman CIFOR tentang Hutan, Perubahan Iklim dan REDD. Bogor: CIFOR.
Luttrell, C., Loft, L., Gebara, M., & Kweka, D. (2012). “Siapa yang seharusnya menerima manfaat dan mengapa? Wacana tentang pembagian manfaat REDD+.” Dalam A., Angelsen. (Eds). (2012). Analysing REDD+: Tantangan dan Pilihan. Bogor: CIFOR. Parker, C., Mitchell, A., Trivedi, M., & Mardas, N. (2009). The Little REDD Book. UK: Global
Peskett, L., Huberman, D., Bowen-Jones, E., Edwards, G., & Brown, J. (2008). Making REDD work for the poor. Overseas Development Institute, Poverty Environment Partnership. Westminster Bridge Road, London: ODI.
Psychology Glossary. (2015) dalam alleydog.com/glossary/definition. Diakses pada 12 Agustus 2015.
REDDI. (2013). “National Strategy REDD – Indonesia: Readiness Phase 2009 – 2012 and progress in implementation.” Jakarta: Kemhut – AusAID – GIZ – Forest Carbon Partnership.
Sunderlin, W., Larson, A.M., Duchelle, A.E., Resosudarmo, I.A.P., Huynh, T.B., Awono, A. Dokken, T. (2013). “How are REDD+ Proponents Addressing Tenure Problems? Evidence from Brazil, Cameroon, Tanzania, Indonesia and Vietnam.”World Development, Vol. xx, pp. xxx-xxx.
TNC. (2010). Reducing Emissions from Deforestation and Degradation (REDD): A Casebook of on-theground-experience. The Nature Conservancy, Conservation Indonesia and Wildlife Conservation Society. Arlington, Virginia: TNC.