• Tidak ada hasil yang ditemukan

d adp 039732 chapter5

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "d adp 039732 chapter5"

Copied!
33
0
0

Teks penuh

(1)

BAB V

PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN

Jika uraian dalam bab sebelumnya diarahkan kepada upaya untuk mendeskripsikan temuan-temuan penelitian sesuai dengan fokus dan pertanyaan penelitian yang diajukan, maka dalam bab berikut ini akan disajikan uraian yang berisi pembahasan terhadap seluruh temuan penelitian, terutama yang ditekankan pada fokus penelitian.

Melalui bab ini, efektivitas dari implementasi kebijakan percepatan Wajar Dikdas 9 tahun dalam rangka membantu meringankan beban pendidikan bagi anak dari keluarga miskin akan dijawab. Melalui bab ini pula, alasan mengani masih banyaknya anak dari keluarga miskin yang belum tersentuh kebijakan akan dibahas.

Bukan hanya itu, melalui bab ini pula akan dimunculkan beberapa isu strategis yang bisa dijadikan landasan dalam rangka meningkatkan efektivitas pelaksanaan akselerasi penuntasan Wajar Dikdas 9 tahun dikaitkan dengan upayanya untuk membantu meringankan beban pendidikan bagi anak dari keluarga miskin.

A. Kajian Terhadap Arah Kebijakan yang Ditempuh

Secara umum, dari hasil penelitian terungkap bahwa meskipun kebijakan percepatan penuntasan Wajar Dikdas 9 Tahun di Kabupaten Cianjur ini telah memiliki arah yang jelas dan dukungan kebijakan yang kuat, namun pada tataran implementasinya masih menunjukan banyak kelemahan dan kekurangan. Lebih-lebih jika dikaitkan dengan upaya untuk menenuntaskan

(2)

Wajar Dikdas 9 tahun bagi anak dari keluarga miskin sesuai dengan fokus penelitian ini.

Adalah misi dan visi Kabupaten Cianjur yang secara eksplisit telah menjadikan pembangunan bidang pendidikan sebagai salah satu agenda sentralnya. Bahkan dari empat misi yang telah ditetapkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menegah Daerah (RPJMD) sekaligus menjadi acuan perencanaan pembangunan di Kabupaten Cianjur, satu misi diantaranya berisi tentang arti pentingnya pembangunan pendidikan dengan fokus pada penuntasan Wajar Dikdas 9 tahun.

Bukan hanya itu, adalah Rencana Strategis (Renstra) Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Cianjur yang secara eksplisit dan dengan begitu tegas telah menetapkan bahwa dari tujuh tujuan dan sasaran prioritas yang sekaligus merupakan arah kebijakan yang akan ditempuhnya, agenda penuntasan Wajar Dikdas 9 tahun merupakan salah satu prioritasnya. Bahkan arah kebijakan ini juga ditunjang oleh dua tujuan atau sasaran yang lainnya, yakni upaya untuk meningkatkan pemerataan pendidikan dan upaya peningkatan mutunya, dua besaran sasaran program yang apabila bisa diimplementasikan akan sangat besar sumbangannya dalam upaya mempercepat program penuntasan Wajar Dikdas 9 tahun.

(3)

Melalui kebijakan yang ditujukan untuk meningkatkan mutu, maka implementasi kebijakan percepatan Wajar Dikdas 9 tahun diharapkan bisa dilakukan tidak hanya dalam rangka mengejar target kuantitas yang ditandai dengan peningkatan angka partisipasi sekolah, baik APK maupun APM, melainkan lebih jauh lagi mampu memberikan bekal pengetahuan dan keterampilan dasar yang sangat diniscayakan setiap warga masyarakat, khususnya bagi anak dari keluarga miskin sebagai modal utama untuk bisa mengakses hak-hak hidupnya, sebut pula memberdayakannya.

Dari hasil kajian peneliti, pelaksanaan kebijakan Wajar Dikdas 9 tahun yang dilakukan di Kabupaten Cianjur saat ini memiliki landasan yang cukup kuat dan strategis. Tidak saja karena didukung oleh kebijakan-kebijakan yang telah dirumuskan dan ditetapkan pemerintah pusat dan provinsi Jawa Barat, melainkan diperkuat pula oleh visi dan misi pemerintah Kabupaten Cianjur yang secara eksplisit tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJMD) yang kemudian dijabarkan dalam Rencana Strategis (Renstra) Dinas Pendidikan Kabupaten Cianjur 2006-2011.

Dikaitkan dengan kebijakan pemerintah pusat, khususnya kebijakan Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas), pelaksanaan Wajar Dikdas 9 tahun merupakan realisasi dari Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 5 tahun 2006 Tentang Gerakan Nasional Percepatan Penuntasan Wajib Belajar 9 Tahun (Wajar Dikdas 9 Tahun) dan Pemberantasan Buta Aksara.

(4)

ditargetkan bisa mencapai angka 80 pada tahun 2010 sebagaimana bisa ditelaah

GAMBAR 5.1 :. KETERKAITAN DAN NILAI STRATEGIS PELAKSANAAN WAJAR DIKDAS 9 TAHUN DENGAN PENCAPAIAN IPM JAWA BARAT

Dari gambar di atas nampak bahwa pelaksanaan program akselerasi penuntasan Wajar Dikdas 9 tahun disamping memiliki posisi yang strtaegis dalam menunjang peningkatan rata-rata lama sekolah (RLS) dan peningkatan buta aksara sebagai faktor penentu indeks pendidikan sebagai salah satu komponen penting peningkatan IPM. Tidak sampai di situ, keberhasilan pelaksanaan Wajar Dikdas juga secara tidak langsung akan besar pula sumbangannya terhadap upaya untuk mendukung peningkatan dua indeks IPM yang lainnya, yakni indeks kesehatan dan daya beli.

Namun sebaliknya, upaya untuk meningkatkan Wajar Dikdas sendiri pada akhirnya akan pula banyak ditentukan oleh keberhasilan peningkatan derajat kesehatan dan juga tingkat daya beli masyarakat. Di situlah pula arti pentingnya mengintegrasikan pelaksanaan Wajar Dikdas itu dalam kaitannya dengan upaya untuk meningkatkan sektor pembangunan yang lainnya, dalam hal ini adalah pembangunan disektor kesehatan dan peningkatan daya beli masyarakat.

(5)

menurut Hendrik Blumm, faktor sikap dan perilaku masyarakat ini akan sangat menentukan derajat kesehatan mereka. Juga, semakin tinggi pendidikan sebuah masyarakat, maka akan semakin besar pula pengtetahuan dan keterampilan yang memunginkan mereka bisa mengakses peluang untuk meningkatkan taraf kesejahteraannya.

Itulah gambaran mengenai letak strategisnya pelaksanaan wajar Dikdas 9 tahun dalam upaya untuk mendukung peningkatan indeks pembangunan manusia (IPM). Menurut kajian peneliti, itulah pula peluang yang sesungguhnya bisa dijadikan salah satu kekuatan utama untuk menarik dukungan seluruh sektor, termasuk dukungan masyarakat dalam pelaksanaan Wajar Dikdas 9 tahun di kabupaten Cianjur. Di situlah pula kemampuan para stakeholders di bidang pendidikan untuk melakukan advokasi tentang arti pentingnya pelaksanaan Wajar Dikdas 9 tahun diuji dan ditantang.

Tidak sampai di situ, letak strategisnya pelaksanaan Wajar Dikdas 9 tahun itu diperkuat pula oleh visi dan misi kabupaten Cianjur yang secara eksplisit telah mencantumkan program perecepatan Wajar Dikdas 9 tahun sebagai prioritas dalam pelaksanaan pembangunan pendidikan.

(6)

perhatian sekaligus komitmen pimpinan tertinggi Kabupaten Cianjur dalam mendukung kelancaran akselerasi program penuntasan Wajar Dikdas 9 tahun.

Singkatnya, dilihat dari aspek formulasinya, juga dilihat dari letak strategisnya, termasuk dari target yang telah ditetapkannya, sesungguhnya tidak ada alasan bagi pemerintah Kabupaten Cianjur untuk tidak bisa menjabarkan arah kebijakan itu kepada berbagai program yang mendukung upaya penuntasan Wajar Dikdas 9 tahun.

B. Kajian Terhadap Program Implementasi

Seperti telah diuraikan dalam bab sebelumnya, tidak sedikit bentuk-bentuk program telah dilaksanakan oleh Kabupaten Cianjur dalam mengimplementasikan kebijakan Wajar Dikdas 9 tahun sebagai penjabaran dari arah kebijakan yang telah ditetapkannya. Namun dari hasil penelitian terungkap bahwa tidak semua program yang dilaksanakan ternyata bisa menjawab dan mengakomodasi kebutuhan dan tuntutan anak dari keluarga miskin sebagai salah satu kelompok sasaran yang menjadi target kebijakan.

Alasannya banyak, mulai dari persoalan yang berkaitan dengan lemahnya pelaksanaan fungsi dan tugas Tim Koordinasi yang telah dibentuk, termasuk lemahnya pelaku atau implementor kebijakan, lemahnya pendataan sebagai langkah awal untuk mengetahui sasaran yang akan digarap dengan kebijakan, kurang realistiknya target yang ingin dicapai, lemahnya sosialisasi sampai kepada miskinnya sumberdaya untuk mengoptimalkan dan mendukung kelancaran implementasi berbagai bentuk program intervensinya.

(7)

Dikaitkan dengan sasaran yang yang ingin dicapainya, dari hasil analisis terungkap bahwa arah kebijakan Wajar Dikdas 9 Tahun di Kabupaten Cianjur juga ternyata telah dipertegas dengan rencana pencapaian target yang sebagai salah satu tolok ukur penting untuk melihat kinerjanya.

Persisnya, dalam rangka percepatan Wajar Dikdas 9 tahun ini Kabupaten Cianjur memiliki target untuk bisa meningkatkan Angka Partisipasi Kasar (APK) dari posisi 76,03 pada tahun 2004 menjadi 104 pada tahun 2008, atau kenaikan sebesar 27,97 poin persen dalam kurun waktu lima tahun, sekitar 5,59 poin persen setiap tahunnya.

Bandingkan dengan tren kenaikan APK dalam periode empat tahun sebelumnya, periode 2001-2004 yang meningkat sebesar 26,86 poin persen, atau sekitar 6,71 poin persen setiap tahunnya. Itu semua mengandung arti bahwa target yang dirumuskan lima tahun terakhir ini boleh dikatakan cukup realistik jika dibandingkan dengan tren pencapaian APK dalam periode empat tahun sebelumnya, bahkan secara kuantitatif sedikit lebih rendah.

Tidak jauh dari itu, Angka Partisipasi Murni (APM) ditargetkan naik dari posisi tahun 2004 sebesar 68,99 menjadi 98,50 pada tahun 2008, atau meningkat sebesar 29,51 poin dalam kurun waktu lima tahun, sekitar 5,90 poin setiap tahunnya. Bandingkan juga dengan trend peningkatan APM dalam periode empat tahun sebelumnya, periode 2001-2004, yang meningkat sebesar 30,67 poin persen, atau meningkat sebesar 7,77 poin persen setiap tahunnya.

(8)

peningkatan APM empat tahun sebelumnya. Namun persoalannya akan menjadi lain ketika target sebesar itu tidak dikaitkan dengan sukung dengan optimalisasi sumber daya dalam melaksanakan program-program pendukungnya, bahkan mungkin menjadi kurang realistik jika dikatkan dengan sisa sasarannya yang kebanyakan merupakan anak dari keluarga miskin dengan karakteristik sosial dan budayanya nya yang begitu kompleks.

Dengan target sebesar itu, pada tahun 2008 Kabupaten Cianjur menargetkan dirinya untuk bisa menjadi daerah dengan kategori “tuntas Wajar Dikdas Paripurna. Bahkan target lebih jauhnya, pada tahun 2011 nanti Kabupaten Cianjur punya ambisi untuk mencapai status “wajib belajar 12 tahun

- Wajar Dikmen, sebuah target yang luhur jika dikaitkan dengan kebijakan

pemerintah provinsi maupun pusat yang telah mentargetkan penuntasan Wajar Dikdas 9 tahun pada tahun 2008.

Bukan hanya itu, penentuan target sebesar itu juga merupakan sebuah keniscayaan jika dikaitkan dengan besarnya target yang mesti dicapai kabupaten Cianjur untuk bisa meningkatkan rata-rata lama sekolah (rate of years schooling) dari 6,68 tahun pada tahun 2005 menjadi 7,31 tahun pada tahun 2008. Dengan angka itu, dan dengan didukung oleh peningkatan indikator makro lainnya – indikator kesehatan dan daya beli, Kabupaten Cianjur diharapkan mampu meningkatkan pencapaian IPM-nya dari posisi 72,27 pada tahun 2005 menjadi 76,3 pada tahun 2008 sesuai dengan target akselerasi peningkatan IPM yang telah ditetapkan Provinsi Jawa Barat.

(9)

yang dibuat oleh pemerintah provinsi dan bahkan pemerintah pusat, dan karenanya bersifat top down, ketimbang banyak mempertimbangkan kondisi riel yang dihadapi kabupaten Cianjur, sehingga dilihat dari lima prinsip penentuan target yang harus memenuhi kriteria SMART-nya (specific, measurable, achievable, relaistic dan time bound), maka hanya tiga kriteria, yakni specific, measurable dan time bound-nya yang secara jelas sudah dipenuhinya. Sementara dua kriteria penting lainnya, kriteria achievable (prinsip harus dapat dicapai) dan realistiknya (prinsip kesesuaian dengan kondisi rielnya) masih dipertanyakan, dan akan dibahas dalam uraian mengenai pencapaian kinerjanya pada pembahasan berikutnya.

2. Kajian Terhadap Keberadaan Tim Koordinasi

Dari hasil penelitian terungkap bahwa kehadiran lembaga koordinasi yang sekaligus merupakan koordinator sekaligus implementor, bahkan menjado motor penggerak dari pelaksanaan kebijakan ini tidak berjalan sebagaimana yang diharapkan. Ketua Umum Tim, dalam hal ini Sekretaris Daerah (Sekda), yang diharapkan bisa memutarkan jalannya roda organisasi yang melibatkan banyak pihak yang ada dibawah kewenangannya, misalnya, karena kesibukannya nyaris tidak pernah hadir dalam rapat-rapat Tim yang dilakukan.

(10)

(manusia) dalam bahasanya Donald Van Meter (1975), merupakan salah satu variable yang akan menentukan keberhasilan melaksanakan sebuah kebijakan.

Singkatnya, demikian dari hasil pengamatan peneliti, hanya dari Unsur Dinas P dan K serta Kantor departemen Agama yang berperan aktif. Salah satu alasannya, disamping karena hampir semua institusi yang ditetapkan menjadi anggota Tim Koordinasi itu tidak terlebih dahulu diajak bicara kecuali sebatas ditunjuk dan ditetapkan SK Bupati, juga tidak pernah melakukan pertemuan untuk menjelaskan peran dan fungsinya.

Maka benar apa yang dikatakan Peter Senge (1992), ”bahwa hampir dalam kebanyakan organisasi, relatif hanya sedikit orang yang mengikuti (enrolled), dan bahkan beberapa saja yang komit (committed), mayoritas orang berada dalam posisi pemenuhan (complant). Mereka mendukung visi pada tingkat tertentu, tetapi mereka tidak benar-0benar mengikuti (enrolled) atau komit (committed)”.

(11)

keberhasilan sebuah organisasi, dalam hal ini Tim Koordinasi, dianggap tercapai apabila proses internal organisasi berjalan lancar.

Lebih jauh ditegaskan Daniel Katz dan Robert Kahn, dalam Bryant & White (1987), ”bahwa pada tingkat pertama, keberhasilan implementasi sebuah kebijakan dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkannya dapat dilihat dari konteks proses internal organisasi melalui kerjasama, yang antara lain ditinjau dari berjalannya koordinasi dengan baik dan efektif”

Kalau pun ada beberapa pihak yang terlibat, terutama Tim yang ada pada tingkat kecanatan dan Desa, demikian hasil pengamatan peneliti, maka perannya tidak lebih dari sebatas melakukan kegiatan pendataan dan pemetaan sasaran sebagai bagian kecil dari tugas merumuskan perencanaan atau program. Sementara pelaksanaan tugas dan fungsi yang lainnya, terutama menyangkut kegiatan sosialisasi, termasuk penggerakan masyarakatnya, ternyata lebih banyak dilakukan oleh petugas internal dari Dinas Pendidikan dan Kebudayaan. Itu pun dilakukan hanya dengan memanfaatkan forum-forum pertemuan internal yang ada. Dengan kata lain, tidak ada ”gerakan” yang meniscayakan arti pentingnya kebersamaan dan pelibatan banyak pihak dalam implementasi Wajar Dikdas sebagaimana yang sering didengang-dengungkan.

3. Kajian Terhadap Kegiatan Sosialisasi

(12)

ditujukan dalam rangka meyakinkan arti pentingnya pelaksanaan kebijakan Wajar Dikdas 9 Tahun bisa dipahami oleh seluruh lapisan masyarakat.

Namun dari hasil penelitian terungkap bahwa sosialisasi kebijakan yang dalam kajian teoretis merupakan salah satu faktor yang akan menentukan keberhasilan dalam implementasi sebuah kebijakan, termasuk dalam implementasi kebijakan Wajar Dikdas 9 tahun, ternyata belum secara optimal dilakukan, lebih-lebih jika dikaitkan dengan esensi sebuah gerakan yang meniscayakan arti pentingnya kesemarakan dan keserentakan dalam melakukan sebuah kegiatan.

Konkritnya, demikian terungkap dari hasil penelitian, bahwa dari aspek pelaku atau implementor, maka praksis sosialisasi Wajar Dikdas 9 tahun dilapangan baru banyak dilakukan oleh pejabat dan petugas, terutama petugas dan pejabat dari lingkup Dinas Pendidikan. Sementara keterlibatan pihak-pihak lain, terutama dari kalangan tokoh masyarakat masih jauh dari esensi sebuah gerakan. Ini semua terjadi, disamping karena sosialisasinya yang memang kurang intens, cakupannya yang sempit, juga karena pelaksanaannya yang tidak terkoordinasi dengan baik. ”Kami tidak pernah diikutsertakan dalam

perumusan rencananya, apalagi dalam pelaksanaannya”, kata beberapa tokoh

masyarakat yang sempat diwawancarai.

(13)

cenderung berlangsung hanya pada tempat-tempat yang secara langsung berkaitan dengan urusan pendidikan seperti sekolah artau ruang-ruang rapat, sementara banyak ruang strategis lain seperti mesjid atau majlis ta’lim belum banyak disentuh dan termanfaatkan.

Maka tidak mengherankan kalau muncul kesan bahwa pelaksanaan Wajar Dikdas 9 tahun ini dipersepsi dan terkesan masih merupakan tugas dan urusannya pemerintah semata, bahkan cenderung dianggap merupakan tugasnya Dinas Pendidikan. Singkatnya, sosialisasi atau ”kominikasi” kebijakan yang menurut George Edward (1990) merupakan salah satu variable penting yang akan menentukan keberhasilan implementasi kebijakan belum berjalan sebagaimana yang diharapkan.

4. Kajian Terhadap Pendataan Sasaran

Sebagai bagian dari langkah perencanaan, upaya ini dilakukan tidak saja dalam rangka membuat peta atau potret tentang pencapaian pendidikan dasar yang telah dicapai oleh masing-masing wilayah kecamatan sampai dengan Desa atau kelurahan, namun sekaligus juga dilakukan dalam rangka mempersiapkan dan memperjelas sasaran yang akan menjadi fokus penggarapan kegiatan Wajar Dikdas 9 tahun menurut berbagai tingkatannya.

(14)

hanya dengan cara merekap data yang telah ada, yakni data hasil pemutaakhiran yang dilakukan BKKBN setiap tahunnya.

Dari aspek substansinya, pelaksanaan pendataan sasaran tersebut juga baru sebatas dilaksanakan dalam rangka mengungkap nama dan alamat, sementara alasan atau motif mereka tidak bersekolah, apalagi sampai mengungkap klasifikasi anak miskin dan tidak miskin dengan kondisi sosial kulturalnya yang memang berbeda, sama sekali absen dari perhatian.

Itulah pula yang kemudian akan menjadi salah satu penyebab munculnya kesulitan dalam merumuskan dan menyampaikan pesan sosialisasi atau motivasi dan penenrtuan progran intervensi yang perlu dilakukan dalam tahap berikutnya. Maka tidak mengherankan jika masalah akurasi dan validitas hasil pendataannya pun layak dipertanyakan, bahkan dipersoalkan. Padahal tingkat efektivitas dari semua program yang akan dijalankan akan sangat tergantung kepada tingkat akurasi data sasaran yang akan digarap.

Singkatnya, dari tahap persiapan implementasinya saja – koordinasi, sosialisasi dan pendataan sasaran, masih ada gap atau diskrepansi antara yang semestinya dilakukan dengan yang benar-benar dilakukan. Itulah pula temuan penelitian yang kemudian akan mempengaruhi keberhasilan melakukan implementasinya.

5. Kajian Terhadap Pelaksanaan Program dan Kinerjanya

(15)

termasuk melalui jalur pendidikan alternatifnya seperti SMP Cerdas Seatap, SMP Pertbuka, maupu jalur pendidikan Non Formal.

Bersamaan dengan itu, tidak sedikit pula hasil telah dicapai sebagai dampak dari pelaksanaan program-program tersebut. Gambarannya, meskipun jumlah anak usia 7-15 tahun meningkat cukup berarti dari posisi tahun 2004 sebesar 388.773 menjadi 407.694 anak pada posisi tahun 2008, namun tren peningkatan anak yang bisa mengakses pendidikan jauh meningkat lebih besar lagi.

Peresisnya, jika jumlah anak yang bisa mengakses pendidikan dasar 9 tahun pada tahun 2004 tercatat sebanyak 316.755 orang, atau sekitar 81,7 persen dari jumlah total anak usia 7-15 tahun sebanyak 388.773 orang, maka pada tahun 2008 meningkat menjadi 377.745 anak, atau menjadi 92,6 persen dari total anak usia 7-15 tahun sebanyak 407.694 orang.

(16)

Tabel 5.2 Trend Peningkatan Anak Usia 7-15 Tahun yang Bisa Mengakses Pendidikan Wajar Dikdas 9 Tahun

URAIAN

388.773 393.363 398.565 402.918 407.694

Jumlah total anak usia 7-15 Tahun yang Tertampung

316.755 341.315 354.830 363.867 377.745

Jumlah anak usia 7-dilihat dari aspek kuantitatifnya sesuai dengan tujuan penelitian ini. Dampak lebih jauhnya, rata-rata lama sekolah (rate of year schooling) meningkat dari 6,42 tahun pada tahun 2004 menjadi 6,92 tahun pada tahun 2008. Dampak lebih jauhnya, Indeks Pembangunan Pendidikan (IP) sebagai salah satu indikator yang sangat berpengaruh dalam meningkatkan Indeks Pembangunan Manusia (IPM), cenderung terus mengalami peningkatan sebagaimana bisa ditelaah dalam tabel berikut ini :

(17)

Singkatnya, dilihat dari aspek peningkatan akses, baik yang dilakukan melalui pemberian pelayanan pendidikan melalui jalur formal maupun jalur non formal, termasuk didalamnya upaya peningkatan akses melalui jalur pendidikan alternatif, maka hasil kajian menunjukan bahwa implementasi kebijakan percepatan penuntasan Wajar Dikdas 9 Tahun dalam lima tahun belakangan ini, dari 2004-2008, secara kuantitatif telah berhasil meningkatkan akses anak usia 7-15 tahun dalam menikmati pendidikan dasarnya.

Dilihat menurut jalur pendidikannya, hasil kaijian mengungkap bahwa jalur pendidikan formal reguler, yakni SD/MI dan SMP/MTs, cenderung dan tetap menjadi pilihan utama, yakni mencapai sekitar 91,27 persen dari total siswa usia 7-15 tahun yang ada pada tahun 2008. Bandingkan dengan jumlah siswa usia yang sama yang memilih jalur pendidikan formal non reguler seperti SMP Cerdas Seatap, SMP Terbuka dan sejenisnya serta jalur pendidikan non formal yang besarnya hanya mencapai 33.006 siswa, atau hanya sekitar 8,73 persen dari total jumlah siswa yang ada pada tahun 2008.

Itu semua menunjukan bahwa jalur pendidikan formal reguler, tetap merupakan pilihan pertama dan utama masyarakat, termasuk masyarakat miskin, dan karenanya memiliki nilai strategis dalam upaya peningkatan akses pendidikan dasar 9 tahun.

(18)

lebih tinggi dibanding dengan prosesntase peningkatan anak yang mengikuti pendidikan dasar jalur non formal (paket A dan B) dan pendidikan formal reguler. Bahkan dari hasil kajian terungkap bahwa dilihat dari prosentasenya, jumlah siswa yang mengikuti pendidikan dasar melalui jalur formal justeru mengalami penurunan.

Tren itu terjadi bukan karena jalur pendidikan formal reguler yang kurang diminati, melainkan lebih oleh karena kemampuan daya tampung dibanding dengan peminatnya yang tidak seimbang. Dan ketika jalur pendidikan formal reguler itu kelebihan daya tampung, maka hampir bisa dipastikan kalau anak dari keluarga miskin dengan segala ketidakberdayaannya yang akan banyak tersisihkan.

Persisnya, jika prosentase siswa yang mengikuti pendidikan melalui jalur pendidikan formal reguler tercatat sebesar 97,67 persen dari juml;ah total siswa, maka pada prosentasenya pada tahun 2008 turun menjadi hanya 91,26 persen. Sebaliknya, prosentase siswa yang mengikuti jalur formal non reguler dan pendidikan non formal naik dari 2,33 persen pada tahun 2004 menjadi 8,73 persen pada tahun 2004.

(19)

Tabel 5.4 Perbandingan Trend Jumlah dan Prosentase Siswa usia 7-15 tahun yang Mengikuti Jalur Pendidikan Formal Reguler dengan Jalur Pendidikan Non Formal dan Formal Non Reguler

URAIAN

316.755 342.315 354.830 363.867 377.745

Dalam Periode

309.367 329.823 337.159 338.664 344.739

Dalam periode sebelumnya terungkap pula bahwa jalur pendidikan non formal melalui program PKBM-nya (Paket A dan B), serta program SMP Cerdas Seatap sebagai kelanjutan dari Program / Proyek PPK IPM yang dikembangkan Provinsi Jawa Barat, disamping program Wajar Dikdas 9 Tahun melalui jalur pendidikan pesantren, ternyata merupakan jalur pendidikan yang banyak diminati anak dari keluarga miskin dalam menyelesaikan pendidikan dasarnya.

(20)

karena kemiskinannya, cenderung lebih banyak memilih jalur pendidikan pesantren ketimbang pendidikan umum.

Di situlah pula letak strategisnya bagi pemerintah Kabupaten Cianjur yang terkenal dengan ”kota santri”-nya ini untuk meningkatkan dan mengembangkan jalur pendidikan non formal di lingkungan pesantren. Dengan kata lain, jalur pendidikan yang mengintegrasikan Wajar Dikdas dengan sistem penyelenggaraan pendidikan di pesantren.

a. Pencapaian Dibanding Target

Namun dari hasil kajian terungkap pula bahwa meskipun berbagai bentuk program yang dilaksanakan selama ini telah berhasil membantu meningkatkan akses pendidikan dasar bagi anak dari keluarga miskin, tetapi jika dibandingkan dengan target yang telah ditetapkan, maka hasilnya ternyata masih jauh dari yang diharapkan sebagaimana bisa ditelaah dalam tabel di bawah ini:

Figur 5.5 Pencapaian Dibanding Target yang Telah ditetapkan

NO INDIKATOR POSISI

(21)

2008 sebesar 96,40 persen, ternyata hanya bisa dicapai sebesar 83,87 persen, atau minus sebesar 12,53 poin persen. Dengan kata lain, masih ada gap antara target dengan pencapaian.

Angka absolutnya, dari jumlah total anak usia 7-15 tahun tahun 2008 sebanyak 409.694 orang sebagaimana telah disajikan dalam bab sebelumnya, hampir 30.000 anak diantaranya ternyata belum bisa tersentuh dengan kebijakan Wajar Dikdas 9 tahun yang digulirkan pemerintah Kabupaten Cianjur selama ini. Dan sesuai dengan hasil kajian, hampir bisa dipastikan bahwa sebagian besarnya - kalaupun tidak sampai seluruhnya- dari mereka yang belum tersentuh itu kebijakan itu adalah anak dari keluarga miskin dengan karakteristiknya yang begitu kompleks.

Itu semua menunjukan bahwa dari banyak aspeknya, target yang dibuat oleh Kabupaten Cianjur seperti telah dibahas dalam uraian sebelumnya menjadi tidak achievable dan bahkan tidak realistik jika dikaitkan dengan kemampuan dan kondisi riel pemerintah Kabupaten Cianjur dalam melakukan langkah intervensinya. Tegasnya, terget itu dibuat dan ditetapkan lebih banyak berdasarkan kepada upaya untuk mengejar besarnya target yang telah ditentukan pemerintah provinsi, bahkan mungkiun kepentingan politik ketimbang pertimbangan riel di lapangan.

b. Beberapa Faktor Penyebab Tidak Tercapainya Target

(22)

kebijakan sebagaimana telah dibahas sebelumnya, tetapi secara substantif, program-program yang digulirkannya itu sendiri ternyata belum sepenuhnya bisa menjawab dan memenuhi tuntutan dan kebutuhan riel yang dihadapi anak dari keluarga miskin.

Dari upaya peningkatan daya tampung sekolah yang dilakukan pemerintah ternyata sangat tidak sebanding dengan besarnya laju pertambahan penduduk usia Wajar Dikdas 9 tahun (7-15 tahun) sebagai akibat dari tinnginya laju pertumbuhan penduduk. Persisnya, seperti telah diuraikan pada bab sebelumnya, rata-rata penambahan jumlah anak usia wajar Dikdas 9 tahun, anak usia 7-15 tahun, setiap tahunnya bertambah sebanyak 7.586 anak. Padalah pemerintah melalui penambahan ruang kelas baru (RKB) dan unit sekolah baru (USB), rata-rata setiap tahunnya hanya bisa menampung sebanyak 3.624 anak, atau hanya sekitar 47,7 persen dari kebutuhan.

(23)

Itulah faktor yang selama ini menjadi salah satu penyebab banyak anak dari keluarga miskin yang tidak tertampung dalam jalur pendidikan dasar formal. Itulah pula yang menjadi salah satu alasan mengapa jalur pendidikan non formal dan jalur pendidikan formal non reguler menjadi salah satu alternatif strategis, bahkan menjadi satu-satunya pilihan, dan karenanya cenderung meningkat sebagaimana bisa dilihat dalam tabel di atas. Itu pun, dalam realitasnya, tidak seluruh anak dari keluarga miskin, karena berbagai alasannya, tetap masih tidak bisa mengaksesnya.

Di pihak lain, meskipun selama ini juga tidak sedikit upaya yang telah dilakukan pemerintah dalam rangka meringankan beban anak dari keluarga miskin melalui pemberian berbagai bantuan seperti BOS, Beasiswa Miskin (BSM) dan sejenisnya, namun dari hasil penelitian terungkap bahwa besarnya jumlah bantuan itu ternyata masih jauh dari kebutuhan dan karenanya belum bisa menjawab sepenuhnya masalah yang dihadapi anak dari keluarga miskin.

Masalah lainnya, meskipun ada pos atau bagian dari dana BOS yang mestinya diberikan kepada anak dari keluarga miskin untuk membantu biaya transportasi yang memang sangat membutuhkannya, misalnya, namun tidak banyak sekolah yang bisa melakukannya karena sebagian besarnya habis untuk mendanai operasional sekolah. Padahal dari hasil penelitian terungkap, tidak sedikit anak dari keluarga miskin yang terpaksa drop out karena masalah besar atau mahalnya biaya transportasi ini.

(24)

selain jumlah kuota yang diberikan oleh pemerintah jauh lebih sedikit dibanding dengan jumlah anak miskin yang perlu mendapat bantuan – dan karenanya ada gap. Sekedar gambaran, dari jumlah siswa miskin tingkat SD yang diajukan untuk mendapatkan BSM pada tahun 2008 sebesar 15.725 anak, yang bisa dipenuhi tingkat provisnsi hanya sebanyak 7.832 anak, atau sekitar 50 persen dari kebutuhan. Parahnya, karena keterbatasan yang dimilikinya, kekurangan itu belum bisa dipenuhi oleh dukungan anggaran yang khusus disediakan pemerintah daerah.

Masalah lainnya, dari hasil penelitian juga terungkap bahwa pengelolaannya pun, sebagian besarnya, tidak langsung diberikan kepada anak melainkan dilakukan oleh sekolah dengan alasan bahwa kalau diberikan kepada anak, dikhawatirkan tidak digunakan untuk membiayai kebutuhan pendidikannya. Yang memprihatinkan, dari hasil penelitian terungkap bahwa ketika dana itu dikelola oleh pihak sekolah pun, sebutlah dibelikan untuk pakaian seragam atau buku tulis, banyak murid dan orang tua yang mengeluh kalau bentuk-bentuk bantuan yang diberikan sekolah itu tidak selamanya sesuai dengan kebutuhan riel pendidikan yang dirasakan anak dari keluarga miskin.

(25)

2004 menjadi 62,6 milyar pada tahun 2008, namun sebagian besarnya lebih banyak digunakan untuk pembangunan fisik berupa rehabilitasi dan pembangunan ruang kelas baru, termasuk pembangunan unit sekolah baru. Itu pun sebagian besarnya merupakan bantuan anggaran yang bersumber dari pemerintah pusat (DAK) dan sumber anggaran provinsi Jawa Barat (Rolesharing).

Sebaliknya, dukungan anggaran untuk Wajar Dikdas 9 tahun yang disediakan pemetrintah Kabupaten Cianjur justeru mengalami penurunan dari Rp. 19,9 milyar pada tahun 2004 menjadi hanya Rp. 14,4 milyar pada tahun 2008. Itupun penggunaan anggarannya bukan diperuntukan untuk mendanai program-program yang secara langsung bisa membantu pendidikan anak dari keluarga miskin karena seagian besarnya diperuntukan untuk mendukung pelaksanaan Wajar Dikdas secara umum. Bahkan dari hasil kajian terungkap, tidak ada dukungan anggaran yang disediakan itu yang secara khusus dan langsung diperuntukan dalam rangka membantu meringankan biaya pendidikan bagi anak dari keluarga miskin.

(26)

C. Kajian Terhadap Anak dari Keluarga Miskin yang Tidak Bisa

Mengakses Pendidikan Dasar

Seperti telah dibahas sebelumnya bahwa membicarakan masalah pendidikan bagi anak dari keluarga miskin, apalagi menanganinya, bukanlah merupakan persoalan sederhana, apalagi diangap gampang. Dari hasil penelitian sebagaimana telah dideskripsikan dalam bab sebelumnya terungkap bahwa begitu banyak faktor dominan saling terkait yang sekaligus menjadi alasan anak dari keluarga miskin di Kabupaten Cianjur selama ini terpaksa meninggalkan bangku sekolah, baik karena dropout di tengah jalan, maupun karena memang tidak melanjutkan sekolah.

Beban berat ekonomi keluarga, jauhnya jarak dari tempat tinggal ke sekolah, kurangnya kesadaran anak dan orang tua akan arti pentingnya pendidikan, perasaan rendah diri atau minder dengan berbagai alasannya, lingkungan sosial dan sekolah yang kurang mendukung, rendahnya pendidikan orang tua, kurangnya dukungan masyarakat, termasuk lingkungan internal sekolah yang kurang kondusif, adalah beberapa faktor penting yang dari hasil penelitian terungkap sebagai penyebab anak dari keluarga miskin selama ini tidak bisa mengakses pendidikan dasar 9 tahun.

(27)

Dari diagram diatas, paling tidak ada beberapa hal penting yang bisa diangkat dan dibahas. Pertama, bahwa membahas masalah ketidakmampuan ekonomi anak dari keluarga miskin dalam mengakses pendidikan dasar 9 tahun pada prinsipnya merupakan masalah yang demikian kompleks karena melibatkan banyak masalah lain yang saling yang saling terkait dan menentukan. Dan realitas kompleks itulah yang belum banyak dipertimbangkan dalam mengimplementasikan Wajar Dikdas 9 Tahun selama ini.

Kedua, di balik faktor ”ketidakmampuan anak dari keluarga miskin” yang

selama ini sering dianggap sebagai penyebab utama sekaligus menjadi isu sentral, sesungguhnya terdapat banyak faktor yang satu sama lain saling

ANAK DARI

(28)

berkaitan dalam sebuah dinamika sistem yang melibatkan banyak aktor dan sektor.

Bahkan dari sudut pemikiran sistem sebagaimana tergambar dalam diagram, maka faktor ketidakmampuan anak dari keluarga miskin yang selama ini banyak diangkat kepermukaan, sesungguhnya hanya merupakan ”akibat

yang tidak diinginkan” (unintended effect) yang muncul karena banyak faktor

lain yang saling berkaitan itu. Itulah pula realitas kompleks yang selama ini belum banyak diperhitungkan dan diintervensi dalam mengimplementasikan kebijakan percepatan penuntasan Wajar Dikdas 9 tahun bagi anak dari keluarga miskin

Beberapa faktor ketidakberuntungan (disadvantages) berkait dengan kondisi ekonomi yang serba tidak memadai, ketidakberuntungan karena kelemahan fisik dan mental yang mereka miliki, ketidakberuntungan karena kerentanannya (vulnerability), ketidakberuntungan karena ketidakberdayaannya ketika harus berhadapan dengan kelompok masyarakat mampu (powerless) sampai ketidakberuntungan karena keterasingan kehidupannya dari masyarakat mampu, adalah beberapa saja yang mesti terakomodasi sekaligus terjawab dengan kebijakan atau pelayanan program yang akan dirumuskan.

(29)

tidakberuntungan (disadvantages) yang satu sama lain saling terkait melingkari kehidupan orang miskin.

Itu sebabnya, apa pun bentuk atau rumusan kebijakan yang akan dijalankan mesti dijabarkan kedalam berbagai program yang mampu menjawab dan memecahkan persoalan-persoalan kompleks yang sering dihadapi anak dari keluarga miskin tersebut. Itulah pula yang menurut hasil penelitian dan kajian belum banyak dilakukan dalam mengimplementasikan program Wajar Dikdas 9 taun selama ini.

Program peningkatan pendapatan ekonomi keluarga atau apa pun namanya yang diharapkan bisa membantu memberdayakan sekaligus meningkatkan ekonomi keluarga miskin, adalah merupakan salah satu program yang mesti diangkat sebagai bagian integral dari dari upaya untuk mempercepat penuntasan Wajar Dikdas bagi anak dari keluarga miskin. Fakta selama inin menunjukan, tidak sedikit anak dari keluarga miskin yang terpaksa ditarik orang tuanya dari sekolah hanya karena anaknya harus membantu kerja orang tuanya.

(30)

bangku sekolah hanya karena untuk membantu orang tua mengurus anggota keluarga yang lainnya (mengasuh adik-adiknya yang memang banyak).

Singkatnya, karena kemiskinan mereka tidak bisa menikmati pendidikan dengan alasan jauhnya jarak dari tempat tinggal ke sekolah. Karena kemiskinan, mereka tidak bisa menikmati pendidikan dasar karena orang tuanya, atau bahkan anaknya sendiri kurang memiliki kesadaran akan arti pentingnya pendidikan. Karena kemiskinan, mereka tidak bersekolah karena merasa minder dengan teman-teman sekolah yang lainnya. Karena kemiskinan, mereka hruas meninggalkan bangku sekolah untuk membantu orang tuanya.

Karena kemiskinan, singkatnya, mereka tidak banyak memiliki peluang untuk bisa mengakses haknya untuk memperoleh pendidikan dasar sebagaimana dialami oleh teman-teman sebayanya dari keluarga mampu. Celakanya, kondisi itu diperparah oleh lingkungan sosial dan internal sekolah yang belum kondusif mendukung mereka bisa mengakses pendidikan dasarnya.

Karena begitu kompleks, luas dan beratnya masalah yang dihadapi anak dari keluarga miskin, adalah tidak mungkin jika penanganannya pun hanya mengandalkan intervensi berdasarkan kemampuan yang hanya dimiliki pemerintah. Dan di situlah pula arti pentingnya pelibatan peran serta masyarakat, tentu dengan potensi dan kemampuan yang dimilikinya dalam implementasi kebijakan percepatan penuntasan Wajar Dikdas 9 tahun ini bagi anak dari keluarga miskin.

(31)

sekaligus menggerakan anak dari keluarga miskin untuk bisa menamatkan pendidikan dasar 9 tahunnya. Itulah pula yang selama ini belum banyak dilakukan. Padahal tidak sedikit anak dari keluarga miskin yang tidak bisa mengakses pendidikan selama ini, salah satunya, diakibatkan oleh karena masyarakat, terutama tokoh masyarakat yang belum melakukan peran dan fungsi penggerakan masyarakatnya.

Intinya, apa yang tidak bisa ditangani atau dilakukan pemerintah karena keterbatasan yang dimilikinya, atau karena kekeliruan dalam memanej dan melaksanakan program-program implementasinya, saatnya kini dan ke depan bisa dibantu oleh masyarakat. Dan itulah pula yang saat ini belum banyak dilakukan. Padahal seperti telah banyak diungkapkan oleh para pakar, tingginya partisipasi masyarakat dalam pembangunan dapat dijadikan tolok ukur keberhasilan kebijakan yang diambil pemerintah.

D. Beberapa Issu Strategis

Dari pembahasan terhadap temuan hasil penelitian tersebut, paling tidak ada lima isu strategis yang bisa diangkat dari hasil penelitian ini, yaitu :

1. Memperkuat komitmen pemerintah daerah

(32)

besar anggarannya masih banyak mengandalkan dukungan anggaran yang bersumber dari pemerintah pusatdisamping dari pemerintah provinsi

2. Meningkatkan integrasi program Wajar Dikdas 9 tahun bagi anak dari

keluarga miskin dengan program sektor tekait lainnya

Berbicara mengenai upaya penuntasan Wajar Dikdas 9 tahun bagi anak dari keluarga miskin adalah berbicara mengenai banyak sektor terkait yang mesti terlibat dalam penanganannya. Itu sebabnya, upaya penanganannya pun mesti dilakukan secara terpadu dan integral, tidak parsial. Semakin terintegrasi dalam penanganannya, maka akan semakin effektif hasil yang dicapainya.

3. Peningkatan mutu pendidikan, disamping peningkatan pemerataannya

Selama ini ada kecenderungan kalau pelaklsanaan program akselerasi peningkatan Wajar Dikdas 9 tahun ini lebih banyak diarahkan kepada aspek pencapaian kuantitatifnya yang ditandai dengan peningkatan angka partisipasi sekolah, sementara pencapaian dari aspek mutunya cenderung terabaikan. Tidak mengherankan jika masih ada pihak masyarakat, khsusnya dari kalangan masyarakat tidak mampu alias miskin yang kurang memiliki kesadaran akan arti pentingnya pendidikan.

4. Pelibatan partisipasi masyarakat dalam Akselerasi Wajar Dikdas 9

tahun

(33)

partisipasi masyarakat, mulai dari proses perencanaan, pelaksanaan sampai kepada proses evaluasinya akan memiliki makna yang signifikan dalam proses penuntasan Wajar Dikdas 9 tahun.

5. Pendekatan Sosi-kultural

Gambar

GAMBAR  5.1 :. KETERKAITAN DAN NILAI STRATEGIS PELAKSANAAN WAJAR DIKDAS 9
Tabel 5.3 Sumbangan kinerja Wajar Dikdas 9 tahun terhadap Peningkatan IPM Kabupaten Cianjur
Tabel 5.4  Perbandingan Trend Jumlah dan Prosentase Siswa usia 7-15 tahun yang Mengikuti Jalur Pendidikan Formal Reguler dengan Jalur Pendidikan Non Formal dan Formal Non Reguler
tabel di bawah ini:
+2

Referensi

Garis besar

Dokumen terkait

Artinya ayah lebih me- miliki peluang memilih preferensi latar belakang keluarga calon pasangan hidup anak perempuan- nya dibandingkan preferensi karakteristik

Pertumbuhan karang keras di perairan Teluk Manado cukup baik dan beranekaragam jenis dengan nilai rerata persentase tutupan diperkirakan sekitar 45-50% berdasarkan hasil visual

Selama berlangsungnya proses kreatif itu, orang juga mengalami kepuasan secara bathin (Bastomi, 1990:12).Ditinjau dari faktor pendorong remaja dapat digolongkan menjadi

Dimulai dari BAB 1 yang membahas mengenai konseptualisasi dan rekontruksi HAM dan dilanjutkan pada BAB 2 yang membahas tema-tema pokok HAM ekonomi, sosial, dan budaya,

PENGEMBANGAN TES DIAGNOSTIK PILIHAN GANDA TWO-TIER BERBASIS PIKTORIAL UNTUK MENGIDENTIFIKASI MISKONSEPSI SISWA SMA PADA MATERI IKATAN KIMIA.. Universitas Pendidikan Indonesia |

Penggunaan Teknik Permainan Missing Letters Dalam Meningkatkan Penguasaan Kosakata Bahasa Perancis Siswa Tingkat A1 Di SMA.. Universitas Pendidikan Indonesia |

Diajukan untuk Memenuhi Sebagian dari Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Program Studi Pendidikan Guru Sekolah

Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian yang bertujuan untuk mengetahui komposisi tanaman di lahan HKm Desa Margosari dan mengetahui apakah hasil tanaman