• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kata Kunci : Kebijakan, Pendidikan Islam, Orde Baru

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Kata Kunci : Kebijakan, Pendidikan Islam, Orde Baru"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

KEBIJAKAN PENDIDIKAN

ISLAM DI INDONESIA PADA MASA ORDE BARU Drs. H. Muhtadi Syakur, M.Pd.I.

Dosen mata kuliah Psikologi Pendidikan, Asdir PPS STAI Qomaruddin Gresik Abstrak

Diakui bahwa kebijakan pemerintah Orde Baru mengenai pendidikan Islam—dalam konteks madrasah—di Indonesia bersifat positif dan konstruktif, khususnya dalam dua dekade terakhir 1980-an sampai dengan 1990-an. Sejumlah keputusan yang memperkuat posisi madrasah lebih ditegaskan lagi sehingga menunjukkan kesetaraan madrasah dengan sekolah. Dengan terwujudnya SKB (Surat Keputusan Bersama) Kementerian Agama, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, dan Kementerian Dalam Negeri, terlihat adanya keinginan dan upaya pemerintah untuk mengakui eksistensi madrasah sekaligus dalam meningkatkan mutunya.

Kata Kunci : Kebijakan, Pendidikan Islam, Orde Baru

A. PENDAHULUAN

Kebijakan-kebijakan pemerintah, mulai dari pemerintahan kolonial, awal, dan pasca-kemerdekaan hingga masuknya Orde Baru terkesan meng-”anaktirikan”, mengisolasi bahkan hampir saja menghapuskan sistem pendidikan Islam hanya karena alasan “Indonesia bukanlah negara Islam”. Namun berkat semangat juang yang tinggi dari tokoh-tokoh pendidikan Islam, akhirnya berbagai kebijakan tersebut mampu “diredam” untuk sebuah tujuan ideal, yaitu “menciptakan manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia ...“ seperti tercantum dalam UU SISDIKNAS No. 20 Tahun 2003. Dengan demikian, sebenarnya banyak faktor yang mempengaruhi kebijakan-kebijakan pemerintah terhadap pendidikan Islam, baik dari aspek sosiopolitik maupun aspek religius.

Secara operasional, kata kebijakan berasal dari kata “bijak” yang berarti rangkaian konsep dan asas yang menjadi garis besar dan dasar rencana dalam pelaksanaan suatu pekerjaan kepemimpinan, dan cara bertindak pemerintah, organisasi dan sebagainya.1 Sedangkan Orde Baru merupakan suatu pemerintahan dan sebagainya; peraturan pemerintah; susunan, angkatan sejak tanggal 11 Maret 1966.2 Selanjutnya rentang waktu sistem pemerintahan RI sejak lahirnya SUPERSEMAR sampai lengsernya Soeharto dan jabatan Presiden RI tanggal 20 Mei 1998 yang merupakan awal masa reformasi di Indonesia, penulis jadikan sebagai batasan pembahasan dalam penyajian tulisan ini. Di samping itu, tulisan ini juga berupaya mendeskripsikan berbagai kebijakan pemerintah era Orde Baru terutama yang ada kaitannya dengan pendidikan Islam.

B. MENJEMBATANI DUALISME PENDIDIKAN

Diakui bahwa kebijakan pemerintah Orde Baru mengenai pendidikan

1

Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Kamu Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1990), Cet. ke-3, h. 115.

2

(2)

Islam—dalam konteks madrasah—di Indonesia bersifat positif dan konstruktif, khususnya dalam dua dekade terakhir 1980-an sampai dengan 1990-an. Pada masa pemerintah Orde Baru, lembaga pendidikan (madrasah) dikembangkan dalam rangka pemerataan kesempatan dan peningkatan mutu pendidikan.

Pada awal-awal masa pemerintahan Orde Baru, kebijakan tentang madrasah bersifat melanjutkan dan meningkatkan kebijakan Orde Lama. Pada tahap ini madrasah belum dipandang sebagai bagian dari sistem pendidikan nasional, tetapi baru bersifat lembaga pendidikan otonom di bawah pengawasan Menteri Agama. Hal ini disebabkan pendidikan madrasah belum didominasi oleh muatan-muatan agama, menggunakan kurikulum yang belum terstandar, memiliki struktur yang tidak seragam, dan kurang terpantaunya manajemen madrasah oleh pemerintah.

Menghadapi kenyataan tersebut di atas, langkah pertama dalam melakukan pembaruan ini adalah dikeluarkannya Kebijakan Menteri Agama Tahun 1967 sebagai respons terhadap TAP MPRS No. XXVII Tahun 19663 dengan melakukan formalisasi dan strukturisasi madrasah. Formalisasi ditempuh dengan menegerikan sejumlah madrasah dengan kriteria tertentu yang diatur oleh pemerintah di samping mendirikan madrasah-madrasah yang baru.4 Sedangkan strukturisasi dilakukan dengan mengatur perjenjangan dan perumusan kurikulum sekolah-sekolah yang berada di bawah Depdikbud.5 Salah satunya seperti tercantum pada Pasal 1 TAP MPRS No. XXVII Tahun 1966 “menetapkan pendidikan agama menjadi mata pelajaran di sekolah-sekolah mulai dari sekolah-sekolah dasar sampai ke universitas-universitas negeri.6

Dari uraian di atas dipahami bahwa upaya melakukan formalisasi dan strukturisasi madrasah merupakan agenda awal pemerintah (Menteri Agama) pada masa Orde Baru. Proses penegerian sejumlah madrasah swasta tampaknya didorong oleh animo masyarakat yang cukup tinggi, yang pada satu sisi ingin mendalami ajaran Islam itu sendiri, namun di sisi lain berkeinginan untuk sejajar dengan sekolah-sekolah umum yang sudah berstatus negeri, sehingga dengan demikian output lembaga madrasah juga dapat memiliki peluang dan kesempatan untuk duduk dan memegang jabatan pada instansi-instansi yang ada. Sementara upaya strukturisasi kurikulum dengan memasukkan mata pelajaran pendidikan agama ke sekolah-sekolah

3

TAP MPRS No. XVII Tahun 1966 tentang Agarna, Pendidikan, dan Kebudayaan ini terdiri dari 3 bab dan 7 pasal. Lebih lengkapnya dapat dilihat dalam Hasbullah, Sejarah

Pendidikan Islam di Indonesia, Lintasan Sejarah Pertumbuhan dun Perkermbangan. (Jakarta:

RajaGrafindo Persada, 1999), Cet. ke-3, h. 248-251. 4

Pada tahun 1967 Menteri Agama mengeluarkan kebijakan untuk menegerikan sejumlah rnadrasah dalarn semua tingkatan (MI, MTs, dan MA). Melalui kebijakan ini sebanyak 123 MI telah dinegerikan sehingga menambah jumlah total MIN menjadi 358b, 182 MTsN, dan 42 Madrasah Aliyah Agama Islam (MAAIN). Lihat, Mawardi Sutejo dkk., Kapita Selekta Pendidikan

Agama Islam, (Jakarta: Dirjen Binbaga Islam Depag dan UT, 1996), Modal 1-6, h. 16. Lihat juga

Maksum, Madrasah, Sejarah dan Perkembangannya, (Jakarta: Logos Wacana tImu, 1999), h. 61. 5

Maksum, Ibid., h. 132. 6

Haidar Putra Daulay, Pendidikan Islam dalam Sistem Pendidikan Nasional di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2006), h. 150.

(3)

mulai dari jenjang pendidikan dasar hingga perguruan tinggi tampaknya didorong oleh keinginan melahirkan output yang tidak “hampa” dan nilai-nilai religius. Agaknya hal ini merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi berbagai kebijakan pemerintah terhadap pendidikan Islam di Nusantara.

Seiring dengan struktur madrasah yang semakin lengkap, pada tanggal 10 sampai 20 Agustus 1970 telah diadakan pertemuan di Cobogo, Bogor dalam rangka penyusunan kurikulum madrasah dalam semua tingkatan secara nasional. Langkah ini merupakan salah satu kontribusi pemerintah Orde Baru dalam mendekatkan hubungan madrasah dengan sekolah. Otonomi yang diberikan kementerian agama untuk mengelola madrasah terus dibarengi dengan kebijakan yang mengarah kepada penyempurnaan sistem pendidikan nasional. Langkah ini menjadi agenda penting pada masa awal-awal pemerintahan Orde Baru.

Dalam dekade 1970-an madrasah terus dikembangkan untuk memperkuat keberadaannya, namun di awal-awal tahun 1970-an, justru kebijakan pemerintah terkesan berupaya untuk mengisolasi madrasah dari bagian sistem pendidikan nasional. Hal ini terlihat dengan langkah yang ditempuh pemerintah dengan mengeluarkan suatu kebijakan berupa Keputusan Presiden (Kepres) Nomor 34 Tanggal 18 April Tahun 1972 tentang “Tanggung Jawab Fungsional Pendidikan dan Latihan”. Isi keputusan ini pada intinya mencakup tiga hal:

1. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan bertugas dan bertanggung jawab atas pembinaan pendidikan umum dan kejuruan.

2. Menteri Tenaga Kerja bertugas dan bertanggung jawab atas pembinaan dan latihan keahlian dan kejuruan tenaga kerja akan pegawai negeri.

3. Ketua Lembaga Administrasi Negara bertugas dan bertanggung jawab atas pembinaan pendidikan dan latihan khusus untuk pegawai negeri.7

Selanjutnya, Kepres Nomor 34 Tahun 1972 ini dipertegas oleh Inpres Nomor 15 Tahun 1974 yang mengatur operasionalnya. Dalam TAP MPRS Nomor XVII Tahun 1966 dijelaskan “agama merupakan salah satu unsur mutlak dalam pencapaian tujuan nasional. Persoalan keagamaan dikelola oleh Departemen Agama, sedangkan madrasah dalam TAP MPRS Nomor 2 Tahun 1960 adalah lembaga pendidikan otonom di bawah pengawasan Menteri Agama”.8

Dan ketentuan ini, Departemen Agama menyelenggarakan pendidikan madrasah tidak saja bersifat keagamaan dan umum, tetapi juga bersifat kejuruan. Dengan Keputusan Presiden No. 34 Tahun 1972 dan Inpres No. 15 Tahun 1974, penyelenggaraan pendidikan umum dan kejuruan sepenuhnya berada di bawah tanggung jawab Mendikbud. Secara implisit ketentuan ini mengharuskan diserahkannya penyelenggaraan pendidikan madrasah yang sudah menggunakan kurikulum nasional kepada Depdikbud.

Dua kebijakan pemerintah di atas, menggambarkan ketegangan yang

7

Haidar Nawawi, Perundang-undangan Pendidikan. (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1983), h. 77.

8

(4)

cukup kuat antara madrasah dengan pendidikan umum (sekolah). Dalam konteks ini, tampaknya madrasah tidak hanya diisolasi dari sistem pendidikan nasional, tetapi terdapat indikasi kuat untuk dihapuskan. Meskipun sudah ada usaha penegerian madrasah dan penyusunan kurikulum 1973, tampaknya usaha itu tidak cukup sebagai alasan untuk mengakui madrasah sebagai bagian dari sistem pendidikan nasional.9

Kebijakan yang dinilai tidak menguntungkan umat Islam, menimbulkan respons yang berdatangan dari ulama dan madrasah swasta. Respons ini ditunjukan antara lain oleh musyawarah kerja Majelis Pertimbangan Pendidikan dan Pengajaran Agama (MP3A). Dalam musyawarah ini terdapat kesepakatan untuk rneyakinkan pemerintah bahwa madrasah adalah lembaga pendidikan yang memberikan sumbangan yang cukup berarti dalam proses pembangunan. Di samping itu, dalam pengelolaan madrasah, MP3A berpendapat yang paling tepat diserahi tanggung jawab itu adalah Depag, sebab Menteri Agamalah yang lebih tahu konstelasi pendidikan Islam, bukan Mendikbud atau menteni-menteri lain.10

Melihat aspirasi umat Islam di atas yang keberatan atas kebijakan yang dikeluarkan pemerintah, maka pemerintah pun secara aktif menyikapi tuntutan umat Islam tersebut, sehingga pada tanggal 26 November 1974 diadakan sidang kabinet terbatas yang salah satu hasilnya adalah kesepakatan yang dikeluarkan oleh tiga menteri (Kementerian Agama, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, dan Kementerian Dalam Negeri) yang dikenal dengan “SKB Tiga Menteri” tahun 1975.11

Kesepakatan tiga menteri itu mengenai “peningkatan mutu pendidikan madrasah”.12

Secara umum SKB Tiga Menteri tersebut memuat beberapa ketentuan yang meliputi kelembagaan, kurikulum dan pengajaran. Dalam keputusan bersama ini yang dimaksud dengan madrasah adalah lembaga pendidikan yang menjadikan mata pelajaran agama Islam sebagai mata pelajaran dasar yang diberikan sekurang-kurangnya 30% di samping mata pelajaran umum.13

Hanun Asrohah menjelaskan bahwa untuk merealisisaikan SKB tersebut, Departemen Agama melalui penertiban, penyeragaman, dan penyamaan perjenjangan pada madrasah-madrasah dengan langkah-langkah:14

1. Menciutkan jumlah PGAN dan mengubah status sebagian besar PGAN tersebut menjadi Madrasah Tsanawiyah atau Aliyah Negeri.

2. Mengubah status Sekolah Persiapan lAIN, menjadi Madrasah Aliyah

9

Wawancara Maksum dengan Prof Dr. Zakiah Daradjat tanggal 25 Februari 1998, lihat Maksum, Op. cit., h. 147-148.

10

Amir Hamzah Wiryo Sukarto (Ed.), Biografi K.H. Imam Zarkasyi, (Ponorogo: Guntur Press, 1996), h. 388

11

SKB Tiga Merteri itu dikeluarkan pada tanggal 24 Maret 1975 di Jakarta oleh Menteri Agama Nomor 6 Tahun .1975, Menteri P&K Nomor 037/u/1975, dan Menteri Dalam Negeri Nomor 36 Tahun 1975, lihat Alamsyah, Pembinaaan Pendidikan Agama, (Jakarta: Depag RI, 1982), h. 138

12

Isi lengkap SKB tahun 1975 tersebut, lihat ibid., h. 138-143. 13

Lihat Bab I Pasal I Ayat 1 SKB Tiga Menteri. 14

Hanun Asrohah, Sejarah Pendidikan lslam, (Jakarta: Logos Wanana Ilmu, 1999), Cet. ke-1. h. 199.

(5)

Negeri.

3. PGA-PGA yang diselenggarakan oleh pihak swasta, juga harus diubah statusnya menjadi Madrasah Tsanawiyah atau Madrasah Aliyah.

Sejumlah keputusan yang memperkuat posisi madrasah lebih ditegaskan lagi sehingga menunjukkan kesetaraan madrasah dengan sekolah. Di antara beberapa pasal yang cukup strategis antara lain pertama, dalam Bab I Pasal 1 ayat 2 berbunyi: madrasah itu meliputi tiga tingkatan, a) Madrasah Ibtidaiyah setingkat dengan Sekolah Dasar; b) Madrasah Tsanawiyah setingkat dengan Sekolah Menengah Pertama; dan c) Madrasah Aliyah setingkat dengan Sekolah Menengah Atas. Kemudian dalam peningkatan mutu pendidikan, pada madrasah diupayakan tingkat mata pelajaran umumnya mencapai tingkat yang sama dengan mata pelajaran umum di sekolah. Hal ini memberi pengaruh kepada pengakuan ijazah, lulusan dan status siswa madrasah. Kedua, dalam Bab II Pasal 2 disebutkan bahwa: a) ijazah madrasah dapat mempunyai nilai yang sama dengan ijazah sekolah umum yang setingkat; b) lulusan madrasah dapat melanjutkan ke sekolah umum setingkat lebih atas; dan c) siswa madrasah dapat pindah ke sekolah umum yang setingkat.

Dalam pengelolaan dan pembinaan pendidikan, Depag telah mempunyai suatu otoritas dalam mengelola dan membina madrasah sebagai salah satu lembaga pendidikan. Kenyataan ini terlihat dalam Bab IV Pasal 4 sebagai berikut: pertama. pengelolaan madrasah dilakukan oleh Menteri Agama, Kedua, pembinaan mata pelajaran agama pada madrasah dilakukan oleh Menteri Agama, Ketiga, pernbinaan dan pengawasan untuk mata pelajaran umum pada madrasah dilakukan oleh Mendikbud bersama-sama dengan Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri.15

Dari beberapa pasal yang dimuat dalam SKB Tiga Menteri tersebut, terlihat adanya keinginan dan upaya pemerintah untuk mengakui eksistensi madrasah sekaligus dalam meningkatkan mutunya. Dengan SKB tersebut madrasah memiliki definisinya yang semakin jelas sebagai pendidikan yang setara dengan sekolah walaupun keduanya dikelola oleh instansi yang berbeda. Kondisi ini menjadikan madrasah tidak lagi hanya dianggap sebagai lembaga pendidikan keagamaan, melainkan sudah merupakan lembaga pendidikan yang menjadikan mata pelajaran agama Islam sebagai mata pelajaran dasar yang sekurang-kurangnya 30%, di samping mata pelajaran umum.

Sekalipun persentase mata pelajaran agama Islam sesuai SKB itu minimal 30%, namun semangatnya tetap 100%. Maksudnya adalah mata pelajaran agama tetap diberikan 100% di MA, hanya saja waktu yang disediakan untuk menyajikan mata pelajaran agama tersebut 30% dari keseluruhan waktu/jam pelajaran yang ada di MA.16

15

Alamsyah, Loc. cit. 16

Zakiah Daradjat merespons formulasi 30%-70% dengan semangat kurikulum 100% dengan pengertian di dalam pelajaran agama dimasukkan pelajaran umum dan pada pelajaran umum dirnasukkan pelajaran agama. sehingga keduanya rnerupakan pelajaran yang integratif. Ia rnendapatkan formula seperti ungkapan KH. Zarkasyi sebagai Ketua MP3A (Wawancara Maksum

(6)

C. RESTRUKTURISASI KURIKULUM MADRASAH DAN MENGATASI KELANGKAAN ULAMA

Setelah SKB Tiga Menteri, usaha pengembangan madrasah selanjutnya adalah dikeluarkannya SKB Menteri P&K Nomor 299/u/1984 dengan Menteri Agama Nomor 45 Tahun 1984, tentang Pengaturan Pembakuan Kurikulum Sekolah Umum dan Kurikulum Madrasah yang isinya antara lain adalah mengizinkan kepada lulusan madrasah untuk melanjutkan ke sekolah-sekolah umum yang lebih tinggi.17 SKB 2 Menteri dijiwai oleh TAP MPR No. II/TAP/MPR/1983 tentang Perlunya Penyesuaian Sistem Pendidikan sejalan dengan daya kebutuhan pembangunan di segala bidang, antara lain dilakukan melalui perbaikan kurikulum sebagai salah satu di antara berbagai upaya perbaikan penyelenggaraan pendidikan di sekolah umum dan madrasah.18

Dalam keputusan itu terjadi perubahan berupa perbaikan dan penyempurnaan kurikulum sekolah umum dan madrasah. Perubahan tersebut tertuang dalam KMA No. 99 Tahun 1984 untuk tingkat MI, KMA Nomor 100 untuk tingkat MTs, dan KMA Nomor 101 untuk tingkat PGAN.19 Keempat KMA tersebut merupakan upaya untuk memperbaiki kurikulum madrasah agar lebih efektif dan efisien antara lain dalam hal:

a) mengorganisasikan program pengajaran (tingkat madrasah); b) untuk membentuk manusia memiliki ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa serta keharmonisan sesama manusia dan lingkungannya; c) mengefektifkan proses belajar mengajar; dan d) mengoptimalkan waktu belajar.20

Upaya dalam pengaturan dan pembaruan kurikulum madrasah dikembangkan dengan menyusun kurikulum sesuai dengan konsensus yang ditetapkan. Khusus untuk MA, waktu untuk setiap mata pelajaran berlangsung 45 menit dan memakai semester. Sementara itu, jenis program pendidikan dalam kurikulum madrasah terdiri dari program inti dan program pilihan. Pengembangan kedua program kurikulum ini dibagi menjadi dua bagian, yaitu: a) pendidikan agama, terdiri dari: Al-Qur’an Hadis, Akidah Akhlak, Fikih, SKI, dan Bahasa Arab; dan b) pendidikan dasar umum yang terdiri dari: PMP, PSPB, Bahasa dan Sastra Indonesia, Sejarah Nasional Indonesia, Pengetahuan Sosial, Sains, Olahraga dan Kesehatan, Matematika, Pendidikan Seni, Pendidikan Keterampilan, Bahasa Inggris (MTs dan MA), Ekonomi (MA), Geografi (MA), Biologi (MA), Fisika (MA) dan Kimia (MA).21

Sebagai esensi dan pembakuan kurikulum sekolah umum dan madrasah ini memuat antara lain:

dengan Zakiah Daradjat tanggal 29 Februari 1998). 17

Zuhairini. Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta Bumi Aksara, 2000), Cet. Ke-6. h. 198. Selanjutnva isi lengkap SKB 2 Menteri tersebut, lihat Hasbullah, Op. cit., h. 152-259.

18

Ibid., h. 184. Lihat juga Mawardi Sutejo dkk, Kapita Selekta... Op. cit.. h. 17. 19

Zainal Asril dan Zulfahmi HB, Pengenalan Kurikulum MTsN dan MAN, (Padang: Baitul Hikmah, 1999), h. 15.

20

ibid. 21

(7)

1. Kurikulum sekolah umum dan madrasah terdiri dari program inti dan program pilihan.

2. Program inti dalam rangka memenuhi tujuan pendidikan sekolah umum dan madrasah, dan program inti sekolah umum dan madrasah secara kualitatif sama.

3. Program khusus (pilihan) diadakan untuk memberikan bekal kemampuan siswa yang akan melanjutkan ke perguruan tinggi bagi Sekolah Menengah Atas/Madrasah Aliyah.

4. Pengaturan pelaksanaan kurikulum sekolah umum dan madrasah mengenai sistem kredit semester, bimbingan karier, ketuntasan belajar, dan sistem penilaian adalah sama.

5. Hal-hal yang berhubungan dengan tenaga guru dan sarana pendidikan dalam rangka keberhasilan pelaksanaan kurikulum akan diatur bersama oleh kedua departemen yang bersangkutan.22

Dengan demikian, kurikulum 1984 tersebut pada hakikatnya mengacu kepada SKB 3 Menteri dan SKB 2 Menteri, baik dalam program, tujuan maupun bahan kajian dan pelajarannya. Di antara rumusan kurikulum 1984 memuat hal strategis sebagai benikut:

1. Program kegiatan kurikulum madrasah (MI, MTs dan MA) tahun 1984 dilakukan melalui kegiatan intern kurikuler, kokurikuler dan ekstrakurikuler, baik dalam program inti maupun program pilihan. 2. Proses belajar mengajar dilaksanakan dengan memerhatikan keserasian

antara cara seseorang belajar dengan apa yang dipelajarinya.

3. Penilaian dilakukan secara berkesinambungan dan menyeluruh untuk peningkatan proses dan hasil belajar, serta pengelolaan program. Selanjutnya, penilaian akan menurunnya tingkat penguasaan ilmu-ilmu keagamaan lulusan madrasah ala SKB 3 Menteri direspons pemerintah dengan mendirikan MAPK.23 Kelahiran MAPK yang dirintis oleh H. Munawir Sjadzali, MA (ketika ia menjabat sebagai Menteri Agama RI) menurut Ali Hasan dan Mukti Ali.24 dilatarbelakangi oleh kebutuhan akan tenaga ahli di bidang agama Islam (ulama) sesuai dengan tuntutan pembangunan nasional, sehingga kondisi itu perlu dilakukan upaya peningkatan mutu pendidikan pada MA.

Sejak dikeluarkannya SKB 3 Menteri yang dilanjutkan dengan SKB 2 Menteri, secara formal madrasah sudah menjadi sekolah umum yang menjadikan agama sebagai ciri khas kelembagaannya. Kebijakan pemerintah dalam 2 SKB di atas menimbulkan dilema baru bagi madrasah. Di satu pihak materi pengetahuan umum bagi madrasah secara kuantitas dan kualitas mengalami peningkatan, tetapi di pihak lain penguasaan murid terhadap ilmu pengetahuan agama menjadi “serba tanggung”, sehingga untuk mencetak ulama dan madrasah merupakan suatu hal yang terlalu riskan.

22

Mawardi Sutejo, Kapita Selekta. .. Loc. cit. 23

Lahirnya MAPK melalui KMA No. 73 Tahun 1987. 24

M. Ali Hasan dan Mukti Ali, Kapita Selekta Pendidikan Islam, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 2003), Cet. ke-1, h 124.

(8)

Menyadari kondisi itu, pemerintah berusaha mengadakan terobosan-terobosan, sehingga muncul keinginan pemerintah untuk mendirikan MA bersifat khusus yang kemudian dikenal dengan nama Madrasah Aliyah Program Khusus (MAPK) yang didasarkan pada Keputusan Menteri Agama No. 73 Tahun 1987.25 Pada MAPK ini dititikberatkan pada pengembangan dan pendalaman ilmu-ilmu keagamaan dengan tidak mengenyampingkan ilmu umum sebagai usaha pengembangan wawasan.26

Untuk itu, Pusat Penelitian dan Pengembangan Pendidikan Agama Badan Litbang Agama Depag bekerjasama dengan Dinjen Binbaga Islam melakukan studi kelayakan terhadap beberapa MAN yang dianggap memungkinkan, baik sarana maupun prasarananya dalam menyelenggarakan program khusus. Dan penelitian tersebut ditunjuk 5 (lima) MAN sebagai penyelenggara program khusus. Kelima madrasah itu adalah: MAN Darussalam (Ciamis, Jawa Barat), MAN Ujung Pandang, MAN 1 Yogyakarta, MAN Koto Baru (Padang Panjang, Sumbar) dan MAN Jember (Jawa Timur) yang penyelenggaraannya mengacu kepada Keputusan Dirjen Binbaga Islam Nomor 47/E/1987 tanggal 23 Juli 1987.27

Dalam hal kurikulum, pada dasarnya kurikulum MAPK yang mempunyai perbandingan 70% agama dan 30% umum, secara kurikuler dimaksudkan untuk mengembangkan program pembibitan calon-calon ulama, sehingga penyelenggaraan MAPK merupakan program intensifikasi pendidikan melalui sistem asrama (program tutorial) dan pengembangan kemahiran berbahasa Arab dan Inggris. Sedangkan buku sumber, pendekatan yang digunakan, sistem evaluasi, penetapan angka kredit, semuanya sama dengan MA, hanya saja ditambah dengan bimbingan belajar (tutorial) untuk kitab kuning pada sore hari, sehingga kegiatan belajar mengajar cukup padat, baik intra maupun ekstrakurikuler.

Setelah berjalan beberapa tahun, tampaknya program MAPK hasilnya cukup menggembirakan, sehingga pemerintah terus mengupayakan pembinaan dan pengembangan baik fisik maupun mental. Dengan diberlakukannya kurikulum 1994 yang merupakan konsekuensi UUSPN Nomor 2 tahun 1989, MAPK diganti namanya menjadi Madrasah Aliyah Keagamaan (MAK). Hemat penulis, perubahan dan MAPK menjadi MAK hanyalah perubahan nama saja, bukan perubahan substansi lembaga atau kurikulum serta tujuan awal pendirian lembaga tersebut, yaitu mempersiapkan tenaga terampil yang menguasai pengetahuan agama secara baik dan mendalam. Selain itu, perubahan tersebut merupakan implikasi dikeluarkannya PP No. 28 Tahun 1990 tentang Pendidikan Dasar Pasal 4 Ayat (3) bahwa MI dan MTs yang diselenggarakan oleh Departemen Agama adalah

25

Hanun Asrohah, Op. cit., h. 202. 26

Pengembangan ilmu-ilmu umum untuk memperkuat wawasan dan pengetahuan siswa merupakan salah satu ciri khas bagi MAPK, yang membedakan ini dengan pesantren. Pada pesantren saat itu lebih banyak bergelut dengan ilmu-ilmu agama dan sedikit sekali memberikan materi dalam pengembangan wawasan.

27

Mawardi Sutejo dkk., Kapita Selekta.. Op. cit.. h. 55. Lihat juga Hasbullah, Kapita

(9)

sekolah umum berciri khas agama Islam dan SK Mendikbud No. 489/U/1992 bahwa MA adalah SMU yang berciri khas agama Islam. Meskipun tidak terdapat PP atau SK yang menunjukkan perubahan nama tersebut, namun diyakini bahwa perubahan MAPK menjadi MAK merupakan dampak positif dan PP dan SK tersebut yang juga menginginkan lahirnya lembaga-lembaga kejuruan dengan penguasaan keterampilan yang lebih khusus terutama dalam bidang penguasaan ajaran agama Islam.

D. UNIFIKASI SISTEM PENDIDIKAN

Memasuki dekade 90-an, kebijakan pemerintah Orde Baru mengenai madrasah ditujukan secara penuh untuk membangun satu sistem pendidikan nasional yang utuh. Maksudnya adalah sistem pendidikan nasional tidak hanya bergantung kepada pendidikan jalur sekolah, tetapi juga memanfaatkan jalur luar sekolah. Untuk tujuan ini, pemerintah melakukan berbagai langkah dan terobosan. Satu di antaranya melalui penyusunan UU No. I Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan sekaligus menggantikan UU No. 4 Tahun 1950 jo UU No. 12 Tahun 1954. Undang-Undang No. 2 Tahun 1989 tersebut memuat 20 bab, 59 pasal yang secara umum terdiri dan kelembagaan, peserta didik, tenaga kependidikan, sumber daya pendidikan, kurikulum, pembelajaran, evaluasi, dan supervisi.28 Berdasarkan undang-undang tersebut, pendidikan di Indonesia dilaksanakan secara semesta, menyeluruh, terpadu. Semesta dalam arti terbuka bagi seluruh rakyat dan berlaku di seluruh wilayah negara. Menyeluruh dalam arti mencakup jalur, jenjang dan jenis pendidikan. Sedangkan terpadu berarti keterkaitan antara pendidikan nasional dengan seluruh usaha pembangunan nasional.29

Penjabaran UUSPN ini dituangkan dalam peraturan pemerintah. Di antara PP itu adalah PP No. 27 Tahun 1990 tentang Pendidikan Prasekolah, PP No. 28 Tahun 1990 tentang Pendidikan Dasar, PP No. 29 Tahun 1990 tentang Pendidikari Menengah, PP No. 30 Tahun 1990 tentang Pendidikan Tinggi, PP No. 72 Tahun 1991 tentang Pendidikan Luar Biasa, PP No. 73 tahun 1991 tentang Pendidikan Luar Sekolah, PP No. 38 Tahun 1992 tentang Tenaga Kependidikan, dan PP No. 39 Tahun 1992 tentang Peran Serta Masyarakat dalam SISPENAS.30

Diundangkannya UU No. 2 Tahun 1989, memberikan efek positif terhadap pendidikan agama secara umum dan lembaga pendidikan madrasah khususnya. Indikasi ini terlihat dalam Pasal 4 bahwa pendidikan nasional bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan yang mantap

28

Isi lengkap UUNo. 2 Tahun 1989. lihat Redaksi Sinar Grafika, UU tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU RI No. 2 Tahun 1989, dan Peraturan Pelaksanaannya, (Jakarta:Sinar Grafika, 1995). Lihat juga Depag RI, Hinipunan Peraturan Perundang-undangan tentang Pendidikan Nàsional, (Jakarta. Depag 1999/2000).

29

Penjelasan UUSPN, ibid., h. 24. 30

Abdul Rachman Shaleh, Pendidikan Agama dan Keagamaan. Visi Misi dan Aksi, Jakarta: Rajawali Pers, 2000), h. 122.

(10)

dan mandiri serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan. Dalam persoalan ini, tujuan pendidikan nasional secara umum adalah mengembangkan intelektual, moral dan spiritual. Tentu dalam hal moral dan spiritual pendidikan agama mempunyai peran strategis

Pola integrasi madrasah ke dalam sistem pendidikan nasional tampaknya dalam batas tertentu mengikuti pola sekolah-sekolah swasta Islam, seperti Muhammadiyah, al-Azhar, dan lain-lain. Lembaga ini mengembangkan kurikulum yang diatur oleh pemerintah secara nasional, di samping menambahkan muatan dan kegiatan keagamaan yang cukup banyak. Penambahan ini dibenarkan menurut UUSPN Pasal 47 Ayat 2, sebagai ciri khas pendidikan yang dikelola oleh orang/yayasan Islam.

E. PENUTUP

Diawali dan proses penegerian sejumlah madrasah oleh pemerintah RI pada masa Orde Baru yaitu pada tahun 1967, mulai dari Madrasah Ibtidaiyah, Madrasah Tsanawiyah, dan Madrasah Aliyah, selangkah telah terlihat kebijakan pemerintah yang berkontribusi positif terhadap pendidikan Islam yang kemudian disusul dengan munculnya SKB Tiga Menteri tahun 1975 tentang peningkatan mutu madrasah dengan diakuinya ijazah madrasah yang memiliki nilai yang sama dengan ijazah sekolah umum, lulusan madrasah dapat melanjutkan pendidikan ke sekolah umum setingkat lebih atas dari siswa madrasah dapat berpindah ke sekolah umum yang setingkat.

Kebijakan berikutnya terlihat dari SKB 2 Menteri yang memprioritaskan pada penyempurnaan kurikulum madrasah dan sekolah umum. Di sini madrasah sudah menjadi sekolah umum dengan menjadikan mata pelajaran agama sebagai ciri khas kelembagaannya. Namun persoalan yang muncul adalah penguasaan siswa madrasah baik secara kualitas maupun kuantitas terhadap pelajaran umum dan agama menjadi serba tanggung. Untuk mengantisipasi hal ini, maka pemerintah mengeluarkan kebijakan dengan mendirikan MAPK yang akhirnya diubah namanya dengan MAK agar substansi lembaga pendidikan madrasah sebagai lembaga tafaqquh fiddin tetap dapat dilestarikan. Akhirnya, untuk lebih menyempurnakan sebuah sistem pendidikan rasional yang utuh, maka dikeluarkanlah kebijakan-kebijakan yang tertuang dalam UUSPN No. 2 Tahun 1989 sehingga menjadikan madrasah (pendidikan Islam) benar-benar terintegrasi dalam sistem pendidikan nasional.

(11)

DAFTAR PUSTAKA

Alamsyah, Pembinaan Pendidikan Agama, Jakarta, Depag RI, 1982.

Asril, Zainal dan Zulfahmi HB, Pengenalan Kurikulum MTsN dan MAN, Padang, Baitul Hikmah, 1999.

Asrohah, Hanun, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta, Logos Wacana Ilmu, 1999. Daulay, Haidar Putra, Pendidikan Islam dalam Sistem Pendidikan Nasional di

Indonesia, Jakarta, Kencana, 2006.

Departemen Agama RI, Himpunan Peraturan Perundang-undangan tentang Pendidikan Nasional, Jakarta, Depag 1999/2000.

Hasan, M. Ali dan Mukti Ali, Kapita Selekta Pendidikan Islam, Jakarta, Pedoman Ilmu Jaya, 2003.

Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Lintasan Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan, Jakarta, RajaGrafindo Persada, 1999. Keputusan Presiden Nomor 34 tanggal 18 April Tahun 1972 tentang Tanggung

Jawab Fungsional Pendidikan dan Latihan.

Maksum, Madrasah, Sejarah dan Perkembangnnya, Jakarta, Logos Wacana Ilmu, 1999.

Keputusan Dirjen Binbaga Islam Nomor 47/E/ 1987 tanggal 23 Juli 1987. Keputusan Menteri Agama No. 73 Tahun 1987.

Keputusan Menteri Agama No. 99 Tahun 1984 untuk tingkat Madrasah Ibtidaiyah. Keputusan Menteri Agama No. 100 untuk tingkat Madrasah Tsanawiyah.

Keputusan Menteni Agania No. 101 untuk tingkat Pendidikan Guru Agama Negeri.

Nawawi, Haidar, Perundang-undangan Pendidikan, Jakarta, Ghalia Indonesia, 1983. PP No. 28 Tahun 1990 tentang Peiididikan Dasar.

Redaksi Sinar Grafika, UU tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU RI No. 2 Tahun 1989) dan Peraturan Pelaksanaannya, Jakarta, Sinar Grafika, 1995. Sutejo, Mawardi dkk., Kapita Selekta Pendidikan Agama Islam, Jakarta: Dirjen

Binbaga Islam Depag dan UT, 1996.

Shaleh, Abdul Rachman, Pendidikan Agama dan Keagamaan, Visi, Misi dan Aksi, Jakarta, Gema Wiridu Panca Perkasa, 2000.

Sukarto, Amir Hamzah Wiryo (ed.), Biografi K.H. Imam Zarkasyi, Ponorogo, Guntur Press, 1996.

Surat Keputusan Mendikbud No. 489/U/1992 tentang Sekolah Menengah Umum. TAP MPRS No. XVII Tahun 1966 tentang Agama, Pendidikan dan Kebudayaan. Tim Penyusun Kamus Pusat Pembmaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar

Bahasa Indonesia, Jakarta, Balai Pustaka, 1990.

Referensi

Dokumen terkait

Jurnal Keperawatan Profesional, F.Kes, Unuja Wilson-Barnet (2011), pengaruh komunikasi terapeutik terhadap tingkat kecemasan pasien pre.

1) Tingkat partisipasi masyarakat dalam tertib administrasi kependudukan di Kelurahan Padangsambian dan Kelurahan Sesetan Kota Denpasar masuk dalam kriteria sangat tinggi

Pola ini diduga ada kaitannya dengan banjir di mus im hujan pad a segmen-segmen PMH dan BM, sedangkan pada segmen-segrnen hulu arusnya relatif tidak berbe d a pada kedua musim..

Dari Gambar 13 dan Gambar 14, diperoleh hal yang sama dengan pengujian aktivitas fotodegradasi yang menggunakan konsentrasi biru metilena sebesar 100 ppm, yaitu kaolin merupakan

g. jika belum menguasai level materi yang diharapkan, ulangi lagi pada kegiatan belajar sebelumnya atau bertanyalah kepada instruktur yang mengampu kegiatan pembelajaran

Dalam undang-undang nomor 14 tahun 2008 tentang keterbukaan informasi publik dijelaskan bahwa informasi publik adalah informasi yang dihasilkan, disimpan, dikelola,

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum empiris, yaitu penelitian hukum yang berfokus pada perilaku masyarakat hukum. Penelitian

Variabel yang digunakan dari penelitian ini adalah struktur modal, kebijakan dividen, ukuran perusahaan, kepemilikan saham manajerial dan profitabilitas sebagai variabel