• Tidak ada hasil yang ditemukan

BIAS GENDER DALAM BUKU PENDIDIKAN AGAMA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "BIAS GENDER DALAM BUKU PENDIDIKAN AGAMA"

Copied!
34
0
0

Teks penuh

(1)

ISLAM SEKOLAH DASAR

Al Rasyidin

Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Sumatera Utara Jln. Willem Iskandar Pasar V Medan Estate, Medan 20371

E-mail: alrasyidin_68@yahoo.co.id

Abstrak: Pada hakikatnya, Islam menempatkan laki-laki dan per-empuan dalam kedudukan yang sama, yang membedakan ke-duanya hanyalah ketaqwaannya kepada Allah. Namun, dalam tataran empirik, prinsip persamaan ini berbeda antara normativitas dengan dimensi praktiknya. Perlakuan bias gender masih banyak ditemui, tidak hanya dalam masyarakat, tetapi juga di sekolah, bahkan dalam buku buku pelajaran sekolah. Beranjak dari hal itu, maka penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi dan menganalisis secara kritis informasi bias gender yang terdapat dalam buku-buku pelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI)

Se-kolah Dasar. Dengan menggunakan pendekatan inquiry qualitative

(2)

per-TEXTBOOKS IN ELEMENTARY SCHOOL

Al Rasyidin

Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Sumatera Utara Jln. Willem Iskandar Pasar V Medan Estate, Medan 20371

E-mail: alrasyidin_68@yahoo.co.id

Abstract: Islam puts men and women in an equal position; what distinguishes them is their degree of pity. However, this egalitarian principle has not always been true in practice. Gender biases can still be found not only in the society in general but also in particular at school and in the textbooks used. This study is aimed to examine critically gender biases in the school textbooks especially on Islamic Religious Education books. The study analyzes four Islamic Education Textbooks published by four different publishers, namely Esis, Yudistira, Tiga Serangkai and Erlangga. The study’s methodological approach is inquiry qualitative and uses content analysis. The study demonstrates that the textbooks examined echo biases in the form of marginalization, subordination, work burden and stereotyping imposed on a particular gender. Male biases are present in most aspects of the book structure such as in the form of question, expression, narratives and illustration.

(3)

PENDAHULUAN

Dalam perspektif Islam, laki-laki dan perempuan pada dasarnya adalah sama, yakni sama-sama makhluk ciptaan Allah Swt, sama-sama dianugerahi potensi untuk mengembangkan diri, sama memiliki harkat dan martabat kemanusiaan, dan

sama-sama diperintahkan untuk mengabdikan diri kepada-Nya.1 Karena

itu, tidak ada perbedaan prinsipil antara laki-laki dan perempuan. Jika ada, perbedaan itu lebih menyangkut fungsi-fungsi reproduksi belaka.

Namun, dalam tataran empirik, konsep dan prinsip per-samaan itu berbeda antara keharusan normatif dengan dimensi praktiknya. Dalam masyarakat patrilinial, dimana kedudukan, peran, dan fungsi laki-laki lebih diutamakan dari pada perempuan. Sebaliknya, kedudukan, peran, dan fungsi perempuan sering diposisikan pada tempat yang lebih rendah. Artinya, masyarakat patrilinial cenderung berlaku bias gender. Banyak fakta memper-lihatkan berbagai bentuk perlakuan bias gender dalam masyarakat seperti memarginalkan peran perempuan, menomorduakan per-empuan, membebani perempuan dengan peran dan kerja ganda, melakukan tindakan kekerasan terhadap perempuan, dan mem-berikan pencitraan atau pelabelan negatif terhadap perempuan.

Sikap masyarakat yang bias gender tersebut, ternyata terus diwariskan dari satu generasi kepada generasi berikutnya. Orang tua dan masyarakat, misalnya, masih memperlakuan anak laki-laki dan perempuan secara berbeda. Laki-laki-laki sering diutamakan misalnya di sekolahkan sampai ke jenjang pendidikan tinggi, sedangkan perempuan dinomorduakan dan dianggap kurang penting ‘sekolah tinggi-tinggi’. Bias gender itu tidak saja berbentuk perlakuan, tetapi juga penggunaan bahasa yang seringkali me-rujuk kepada laki-laki.

(4)

memberi nilai lebih baik kepada anak perempuan, sebab tulisannya lebih bagus dan rapi, karena itu nilainya bisa lebih baik atau senang melihat penampilan anak perempuan yang rapi dan cantik,

sehingga lebih mudah memberikan penilaian.2

Selain dalam bentuk perlakuan guru dalam mengajar, bias gender di sekolah juga ternyata diproyeksikan melalui bahan-bahan bacaan, termasuk buku-buku teks yang digunakan di Seko-lah Dasar. Beberapa penelitian menginformasikan bahwa buku-buku pelajaran yang digunakan di sekolah-sekolah Indonesia masih banyak yang bias gender. Misalnya, penelitian yang dilakukan Logsdon (1985) dan Astuti serta Indarti dan Sasriyani (1999), sebagaimana dikutip Achmad Muthali‘in, menemukan bahwa buku-buku teks yang digunakan di Sekolah Dasar memuat bias gender.3 Astiatun menemukan adanya bias gender dalam buku

pelajaran Bahasa Indonesia untuk Sekolah Dasar.4 Ace Suryadi

menyatakan bahwa materi ajar pada mata pelajaran PPKn, Bahasa Indonesia, IPS, Pendidikan Agama, dan Pendidikan Jasmani dinilai

masih bias gender.5 UNICEF menemukan bahwa banyak buku

pelajaran yang bias gender dan sangat kuat kesan stereotip gender-nya. Ilustrasi yang terdapat dalam buku-buku pelajaran Sekolah Dasar lebih banyak yang menonjolkan anak laki-laki ketimbang

perempuan.6 Penelitian Meuthia Fadila Fachruddin menemukan

bahwa terdapat bias gender dalam buku IPS untuk Sekolah Dasar terbitan Grafindo Media Pratama karya Supriatna dan buku pelajaran Ekonomi untuk SLTP terbitan Ganeca karya Dada

Darosjach.7 Penelitian lain menemukan bahwa, di antara

buku pelajaran yang masih bermuatan bias gender adalah buku-buku terbitan pihak penerbit swasta, seperti Grafindo, Yudhistira,

Erlangga, dan Tim Bina Karya Guru.8

2Yustina Rostiawati, Antara Kenyataan dan Yang Dipelajari: Apakah Dunia Pendidikan Mengikuti Zaman? Makalah dipresentasikan dalam acara Semiloka Pendidikan untuk Perempuan “Belajar dari Pengalaman Pesantren’ yang diselenggarakan oleh Rahima (Jakarta, 5 Januari 2005).

3Achmad Muthali‘in, Bias Gender dalam Pendidikan (Surakarta: Muhammadiyah University Perss, 2001).

4Astiatun, “Bias Gender dalam Wacana Buku teks” dalam www.kompas.com, diakses 26 Juni 2009.

5Lihat “Buku PPKn, BI, IPS, dan Agama Bias Gender: Kurang Menguntungkan Pemerataan Pendidikan”, dalam www.pikiran-rakyat.com,, diakses 13 Agustus 2009.

6UNICEF, “Lembar Fakta: Pendidikan Untuk Anak Perempuan di Indonesia” dalam www.unicef.org, diakses 12 Mei 2009.

7Meuthia Fadila Fachruddin, “Kesetaraaan Gender di Sekolah Dasar”, dalam Module Development Team Training. Medan, 5-9 Juni 2006.

(5)

Kenyataannya, bias gender tidak hanya terdapat dalam buku-buku pelajaran umum, tetapi sebagaimana dinyatakan Suryadi, juga terdapat dalam buku-buku pelajaran pendidikan agama.9 Karena itu, studi yang bersifat spesifik terhadap

buku-buku pelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI) menemukan signi-fikansinya untuk dilakukan guna melihat secara lebih cermat informasi bias gender yang terdapat di dalamnya. Sebab, secara teoretik, muatan dalam suatu buku akan turut membentuk pan-dangan dan sikap para peserta didik yang mempelajarinya. Bila informasi yang tersaji menanamkan konsep-konsep yang keliru – apalagi salah – maka efeknya akan memunculkan pandangan dan sikap yang keliru pula.

Selama ini, studi-studi tentang bias gender selalu terfokus pada ketidakadilan gender yang hanya dialami kaum perempuan. Memang tidak dapat dinafikan fakta-fakta empiris tentang ketidak-adilan terhadap kaum perempuan. Namun, perlakuan tersebut sebenarnya tidak hanya dialami perempuan, karena ketidakadilan gender juga bisa dialami kaum laki-laki. Sebab, sebagaimana dinyatakan Faqih dalam Achmad Muthali‘in, ketidakadilan gender adalah suatu sistem dan struktur yang menempatkan laki-laki

maupun perempuan sebagai korban dari sistem.10 Artinya,

laki-laki dan perempuan berpotensi mengalami ketidakadilan gender. Karena itu, dalam konteks penelitian ini, studi terhadap buku-buku pelajaran PAI untuk Sekolah Dasar akan difokuskan pada informasi, baik yang berbentuk ungkapan atau narasi maupun ilustrasi atau gambar, berkenaan dengan bias gender terhadap laki-laki dan perempuan.

(6)

gambar atau peristiwa. Secara psikologis, bagi anak usia Sekolah Dasar, cerita dan gambar akan memberi kesan yang cukup kuat ke dalam struktur kognisi, yang pada gilirannya akan mem-pengauhi perilaku mereka; (3) kekeliruan – apakah lagi kesalahan – dalam penanaman dan transformasi konsep atau pengetahuan kepada peserta didik pada jenjang Sekolah Dasar akan sangat berpengaruh terhadap pemahaman dan perilaku yang kelak ditampilkan dalam kehidupan masa depannya. Karenanya, untuk menghindari atau setidaknya meminimalisir hal itu, perlu dilaku-kan studi terhadap buku-buku PAI yang digunadilaku-kan di Sekolah Dasar, dan (4) dari penelitian yang telah dilakuan sejumlah kala-ngan ditemukan bahwa terdapat bias gender dalam buku-buku pelajaran umum Sekolah Dasar. Karenanya, dalam konteks penelitian ini, peneliti ingin mengetahui apakah hal tersebut juga terjadi pada buku-buku PAI Sekolah Dasar.

Secara umum, penelitian ini bertujuan untuk mengidentifi-kasi dan menganalisis secara kritis informasi bias gender yang terdapat dalam buku-buku pelajaran PAI untuk Sekolah Dasar. Secara khusus, penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi dan menganalisis secara kritis pernyataan, ungkapan, narasi, dan ilustrasi yang: (1) memarginalisasi salah satu pihak, baik laki-laki atau perempuan, (2) menomorduakan (subordinasi) salah satu pihak, (3) menjustifikasi beban kerja ganda lebih berat yang harus dilakukan laki-laki/perempuan, (4) menjustifikasi tindakan kekerasan terhadap salah satu pihak, (5) memberi pencitraan atau pelabelan negatif terhadap salah satu pihak.

(7)

METODE PENELITIAN

Penelitian ini termasuk dalam kategori mode of inquiry

qualitative. Jenis mode of inquiry qualitative yang digunakan adalah

analisis isi atau content analysis. Dalam penelitian pendidikan, analisis isi termasuk salah satu bentuk dari a conceptual analysis.11

Dengan demikian, analisis isi termasuk sebuah analisis konseptual, yaitu suatu studi yang mengklarifikasi makna dari sebuah konsep dengan cara menggambarkan makna generik, makna-makna yang berbeda, dan pengunaan yang sesuai dari suatu konsep tersebut. Data penelitian ini diperoleh dari buku-buku pelajaran PAI untuk Sekolah Dasar. Dalam penelitian kualitatif, buku-buku tersebut disebut juga sebagai dokumen.12Sebagai dokumen,

buku-buku tersebut adalah bahan-bahan tertulis yang bisa bersifat resmi atau tidak, publik atau pribadi, diterbitkan atau tidak, dipersiapkan secara intensional untuk memelihara rekaman sejarah atau dipersiapkan untuk menyajikan sebuah tujuan praktis terkini.

Buku PAI yang digunakan sebagai sumber data penelitian ini dipilih dari empat buku terbitan nasional yang diduga kuat tersebar di seluruh Indonesia dan digunakan pada sejumlah

Sekolah Dasar. Buku-buku dimaksud adalah: (1). Moh. Masrun S,

dkk, Senang Belajar Agama Islam, Jakarta: Erlangga, 2007, (2).

Achmad Farichi, S.Pd.I, dkk., Khazanah Pendidikan Agama Islam,

Jakarta-Bogor: Yudistira, 2007, (3). M.A. Maksum, Khazanah

Pendidikan Agama Islam untuk Sekolah Dasar. Solo: PT Tiga Serangkai

Mandiri, 2007, (4) Moh. Thohir, dkk, Pendidikan Agama Islam,

Jakarta: Esis, 2007. Seluruh buku-buku PAI ini disusun berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi dan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 23 Tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan Sekolah Dasar.

(8)

Data penelitian ini dianalisis dengan menggunakan teknik analisis isi (content analysis). Menurut Muhadjir13, dalam

melaku-kan analisis isi ada tiga langkah yang ditempuh peneliti, yaitu: (1) menetapkan tema dan kata kunci yang dicari dalam dokumen yang akan diteliti dan dikaji, (2) memberi makna atas tema dan kata kunci tersebut, dan (3) melakukan interpretasi internal. Sesuai pendapat tersebut, maka analisis data penelitian ini dilakukan dengan mengikuti tiga langkah berikut: pertama, menetapkan tema atau kata kunci. Dalam konteks penelitian ini tema atau kata kunci dimaksud berkenaan dengan informasi bias gender, baik marginali-sasi, subordinasi, beban kerja ganda, tindak kekerasan, maupun pencitraan atau pelabelan negatif terhadap salah satu gender, yang

terdapat dalam isi buku PAI tersebut. Kedua, memberi makna

terhadap tema atau kata kunci tersebut dengan cara mempelajari dan menelusuri kandungan makna yang terdapat pada setiap tema atau kata kunci untuk memperjelas keseluruhan pengertian, informasi yang disampaikan, baik melalui pernyataan maupun ilustrasi atau gambar yang terdapat dalam buku-buku PAI yang diteliti. Ketiga, melakukan interpretasi internal, yaitu menguji ke-absahan informasi bias gender yang berhasil diidentifikasi dengan informasi lain yang secara keseluruhan terdapat dalam buku atau sumber data yang sama. Hal ini dimaksudkan agar data-data tentang bias gender yang berhasil diperoleh peneliti dari buku-buku yang distudi tidak bertentangan secara internal dengan informasi lain yang terdapat dalam sumber yang sama.

Dalam menganalisis tema atau kata kunci, akan diadopsi jenis analisis isi semantik sebagaimana dikemukakan Krippendorff14 yang berfokus pada: pertama analisis penunjukan

(designation), yaitu menggambarkan frekuensi seberapa sering objek

tertentu ditunjuk atau dirujuk. Kedua, analisis penafsiran

(attributions), yaitu menggambarkan frekuensi seberapa sering

karakterisasi tertentu dirujuk. Ketiga, analisis pernyataan

(assertions), yaitu menggambarkan frekuensi seberapa sering objek

tertentu dikarakterisasikan secara khusus. Berdasarkan pandang-an tersebut, akpandang-an dilihat seberapa sering: (1) salah satu gender (laki-laki atau perempuan) dirujuk dalam tema-tema marginalisasi, subordinasi, beban kerja ganda, mendapatkan perlakuan kekerasan, dan pencitraan atau pelabelan negatif. (2) tema-tema marginalisasi, subordinasi, beban kerja ganda, mendapatkan

per-13Noeng Muhadjir, Metodologi Penelitian Kualitatif (Yogyakarta: Rake Sarasin, 1995), 90-94.

(9)

lakuan kekerasan, dan pencitraan atau pelabelan negatif dirujuk kepada salah satu gender, laki-laki atau perempuan. (3) laki-laki atau perempuan dikarakterisasikan secara khusus dengan tema-tema marginalisasi, subordinasi, beban kerja ganda, mendapatkan perlakuan kekerasan, dan pencitraan atau pelabelan negatif.

Dalam konteksnya dengan penjaminan kesahihan data, penelitian ini menggunakan teknik pencermatan kesahihan inter-nal dan eksterinter-nal. Kesahihan interinter-nal dibangun melalui prosedur analisis yang menempatkan masing-masing unit data ke dalam kategorinya. Sedangkan kesahihan eksternal dibangun dengan cara mengkonsultasikan data dan temuan penelitian dengan teori berkenaan dengan tema yang diteliti dan diskusi atau seminar hasil penelitian.

HASIL DAN PEMBAHASAN Deskripsi Isi Buku

Secara umum, isi seluruh buku PAI yang dijadikan sebagai sumber data penelitian ini disusun sesuai dengan Kurikulum Nasional mata pelajaran PAI. Secara rinci, isi buku PAI tersebut sebagai berikut:

(10)
(11)

Bentuk-Bentuk Bias Gender

1. Peminggiran atau Marginalisasi

Meskipun tidak secara vulgar, namun kesan kuat bahwa dunia ini adalah cerminan laki-laki tampak dominan dalam buku PAI terbitan Esis. Dalam sejumlah topik dan uraian, sosok ibu dan anak perempuan sama sekali tidak pernah disebut, yang sering disebut adalah ayah. Sejumlah contoh tentang hal ini bisa disari-kan pada tabel berikut:

(12)

Berdasar tabel tampak bahwa laki-laki menjadi tokoh domi-nan yang disebut dan divisualisasikan dalam bentuk gambar pada buku PAI terbitan Esis. Kecenderungan ke arah menempatkan per-empuan dalam posisi marginal juga tampak jelas dari topik ayat-ayat pilihan pada buku jilid 6. Meskipun secara visual diilustrasi-kan sebuah keluarga terdiri dari ayah-ibu dan dua orang anaknya (Nurdin dan Tini) yang sedang pergi rekreasi, namun dalam urai-an, ibu sama sekali tidak pernah disebut, yang diceritakan hanya-lah aktivitas ayah dengan Nurdin dan Tini.15 Begitu pula, pada

hari Minggu pagi, ketika menjelaskan tentang amalan di bulan Ramadan kepada anak, tokoh yang ditampilkan hanya Pak Harun tanpa sama sekali memvisualisasikan dan menyebut peran ibu. Dalam buku-buku PAI terbitan Esis, tokoh perempuan selalu ditampilkan dalam wilayah domestik, seperti mengingatkan anak untuk thaharah, mencuci piring dan menyapu, menunggu anak makan siang,

menyiapkan makanan, dan mengajari Ilham bacaan shalat.16

15Moh. Thohir, dkk., Pendidikan Agama Islam untuk Sekolah Dasar Kelas VI, jilid VI (Jakarta: Esis, 2007), 72-73.

(13)

Berbeda dengan terbitan Esis, buku PAI terbitan Yudistira tampak menempatkan laki-laki dan perempuan dalam kedudukan relatif seimbang. Dalam setiap topik dan uraian, selalu saja ada tokoh laki-laki dan perempuan dengan peran dan aktivitas yang setara. Ada Agis dan Anis, Dimas dan Dini, Evi, Anto, dan Susi, Iwan dan Ninis, Siti dan Dono, Ahmad dan Rosa, Niko dan Vera, Dudi dan Ida, Amin dan Minah, dan masih banyak yang lainnya. Dalam keseluruhan isi buku, laki-laki dan perempuan selalu ditampilkan bersama, baik ketika melaksanakan suatu aktivitas maupun visualisasi dalam bentuk ilustrasi gambar.

Tokoh utama yang ditampilkan dalam buku-buku PAI terbitan Yudistira adalah Agis (laki-laki) dan Anis (perempuan). Dalam jilid 1, kedua anak ini, baik secara visual-ilustratif maupun uraian, ditampilkan sebagai anak yang baik, seperti mendirikan shalat, mengaji, hidup bersih, jujur, dan bertanggung jawab.

Dalam buku jilid 2, tokoh Agis lebih dominan ditampilkan, seperti sebagai sosok yang tekun belajar al-Qur’an, selalu ingat kepada Allah, memiliki banyak teman, belajar shalat, selalu berzikir, dan bersama teman-teman belajar tata cara shalat. Semen-tara itu, Anis digambarkan sebagai anak yang segera berwudu bila marah dan satu kali disebut bersama Agis rajin belajar membaca al-Qur’an dan mengucakan salam bila bertemu guru.

Dalam jilid 3, Agis dan Anis ditampilkan sebagai sosok yang mengenal Allah Swt, biasa berperilaku terpuji, ingin berangkat mengaji, dan sedang kerja bakti.17 Secara sendiri, Anis tidak pernah

ditampilkan. Berbeda dengan itu, Agis ditampilkan secara sendiri sebagai anak yang hemat, berdoa dengan penuh pengharapan dan lemah lembut, dan bersama teman-teman dan keluarga melakukan shalat berjama‘ah.18

(14)

sama-sama, Agis dan Anis ditampilkan dalam suasana gembira karena mendapat nilai bagus.21

Dalam jilid 5, Agis dan Anis secara bersama ditampilkan sebagai anak yang selalu bersemangat dalam belajar, pulang mengaji, dan rajin belajar mengaji.22 Secara mandiri, Agis lebih

dominan ditampilkan. Anis hanya ditampilkan sebagai anak yang amanah,23 sementara Agis sebagai sosok yang berani tampil, sabar

dan tabah, mengumandangkan azan, dan suka membantu ibu

memberi makan ternak.24

Dalam jilid 6, meskipun secara bersama Agis dan Anis ditampilkan sebagai anak yang mendapat nilai bagus karena rajin membaca dan memanfaatkan waktu dengan baik, serta rajin pergi ke masjid,25 namun Anis tidak pernah ditampilkan secara sendiri.

Sementara Agis, secara mandiri ditampilkan sebagai anak yang berperilaku rukun dan akrab bermain bersama teman, rajin, pintar, dan selalu mengerjakan shalat tarawih.26

Berdasarkan penelaahan terhadap jilid 1-6 seluruh buku PAI terbitan Yudistira, dapat disimpulkan bahwa laki-laki tampak lebih dikedepankan, baik dalam paparan maupun ilustrasi gambar. Dalam buku-buku PAI terbitan Tiga Serangkai, baik dalam uraian maupun ilustrasi, tampak bahwa secara kuantitatif banyak nama dan gambar laki-laki dan perempuan yang ditampilkan. Tidak seperti terbitan Esis dan Yudistira, dalam buku PAI terbitan Tiga Serangkai tidak ada tokoh anak laki-laki dan perempuan yang tetap ditampilkan secara dominan. Hampir dalam setiap topik dan bahasan, nama laki-laki dan perempuan disebut terus berganti-ganti. Dalam buku jilid satu antara lain disebut ada Abid, Farah, Hamid, Naufal, Tika, Fiya, Fatma, Aziz, Hafid, Rania, Musa, Irma, Hanif, Faizah, Ali, Ikwan, Fatimah, dan Rahmah. Dalam buku jilid 2 disebut nama Zahra, Anis, Ilham, Naufal, Ahdan, Adib, Nurul, Dimas, Ahmad, Saleh, Fatimah, Nisa, Udin, Hasan, Rasyid, Silfi, Tafia, Halida, dan lainnya. Dalam buku-buku jilid berikutnya, keadaan seperti itu hampir tidak berbeda.

Dalam jilid 1, ibu digambarkan sebagai sosok yang bertugas

di wilayah domestik, seperti memasak,27 mengandung,

melahir-21Ibid., 81.

(15)

kan, menyusui, merawat dan menjaga anak ketika sakit. Berbeda dengan itu, ayah digambarkan sebagai sosok yang bekerja di luar wilayah domestik. Jadi, ibu berada di wilayah domestik dan ayah di luarnya.

Dalam buku-buku PAI terbitan Erlangga, nama laki-laki dan perempuan ditampilkan dalam porsi yang relatif seimbang. Ada Imam dan Aminah, Aida, Haifa, Hamid, Aisyah, Aziz, Adwa, Nisa, Ahmad, Akrom, Azka, Andi, dan lainnya. Namun, pada ilustrasi yang divisualisasikan melalui gambar, laki-laki tampak lebih banyak dan sering ditampilkan. Secara rinci, hal ini bisa dilihat pada tabel berikut:

Tabel 3. Jumlah Ilustrasi Gambar dalam Buku PAI Terbitan Erlangga Berdasarkan Jenis Kelamin

(16)

sebagai jenis kelamin dominan. Tokoh Ilham merupakan sosok anak laki-laki yang baik, bertanggungjawab terhadap diri sendiri dan orang lain, disiplin, berakhlak terpuji,28 belajar mengaji ke

masjid, sejak kecil sudah terbiasa mengerjakan shalat, anak yang cerdas,29 paling fasih membaca al-Qur’an, dan juara lomba baca

puisi.30 Secara kuantatif, nama Ilham selalu disebut dan

divisuali-sasikan dalam bentuk gambar atau ilustrasi yang terdapat dalam hampir semua topik bahasan. Selain Ilham, tokoh lain yang selalu disebut dan muncul dalam setiap bahasan juga anak laki-laki, di antaranya Toni, Nurdin, Amir, Gufron, Hakim, Doni, Heru, M. Soleh, dan Ahmad.

Dalam buku PAI terbitan Esis ini juga ditampilkan nama sejumlah orangtua yang berjenis kelamin laki-laki, di antaranya Pak Hasan, Pak Harun, dan Pak Ilham. Dari jilid 1 sampai 6, praktis tidak ditemukan nama orang tua berjenis kelamin perempuan, kecuali ibu guru Aisyah.31 Selain itu, orang tua berjenis kelamin

perempuan seluruhnya ditulis dengan sebutan ibu. Hal ini jelas mengindikasikan bahwa perempuan masih dinomorduakan.

Dalam buku-buku PAI terbitan Esis, terdapat kolom yang diberi judul Sepenggal Hikmah. Kolom ini tampaknya dibuat khusus untuk menyajikan kisah yang mengandung hikmah untuk diteladani. Dari keseluruhan cerita yang disajikan dalam kolom

Sepenggal Hikmah tersebut, tampak bahwa laki-laki merupakan

jenis kelamin dominan. Setidaknya, hal itu bisa dilihat dari judul kolom Sepenggal Hikmah sebagaimana tabel berikut:

Tabel 4. Judul dan Jenis Kelamin yang Dominan Disebut dalam

Sepenggal Kisah pada Buku PAI Terbitan Esis

28Thohir, dkk., Pendidikan Agama Islam, jilid I (Jakarta: Esis, 2007), 15, 33, 85, 91.

29Ibid., jilid II, 2, 52, 70, 94, 104, dan 114. 30Ibid., jilid III, 78.

(17)

Hampir sama dengan buku PAI terbitan Esis, kesan bahwa dunia ini adalah ‘wilayah laki-laki’ juga masih tampak dalam buku-buku PAI terbitan Yudistira. Dari keseluruhan isi buku, per-empuan dominan ditempatkan pada wilayah domestik dengan peran ibu rumah tangga,32 memasak,33 guru mengaji,34 mendidik

anak,35 menyiapkan makanan,36 memberi makan ayam,37 dan

men-cuci piring.38 Sedangkan jenis profesi umumnya adalah sebagai

(18)

shalat,40 ustaz,41 guru agama Islam, guru sekolah, dan guru

mengaji,42 serta mengumandangkan azan.43

Dalam seluruh buku PAI terbitan Yudistira, terdapat kolom khusus yang diberi judul Kisah Berhikmah. Bila dicermati, dari ke-seluruhan kisah yang ditampilkan tersebut, tampak bahwa laki-laki merupakan sosok yang dominan ditampilkan dan memberi gambaran ‘seolah-olah’ dunia ini wilayahnya laki-laki. Dalam buku jilid 1, dari sembilan Kisah Berhikmah, sebanyak tujuh topik me-nampilkan tokoh laki-laki, dan tiap-tiap satu topik yang mencerita-kan jenis perempuan dan laki-laki-perempuan. Dalam jilid 2, tidak

satu pun topik Kisah Berhikmah menampilkan tokoh berjenis

ke-lamin perempuan. Dari sembilan Kisah Berhikmah, sebanyak tiga

topik menampilkan tokoh dengan jenis kelamin laki-laki, dan enam topik menampilkan secara bersama-sama jenis kelamin laki-laki dan perempuan. Namun, dalam jilid 3, dari delapan Kisah

Berhik-mah, tokoh laki-laki hanya ditampilkan satu kali, sedangkan

per-empuan sebanyak dua kali, dan laki-laki bersama perper-empuan ditampilkan sebanyak lima kali.

Selanjutnya dalam jilid 4, dari sembilan Kisah Berhikmah, sebanyak tiga topik menampilkan tokoh perempuan, dua topik menampilkan tokoh laki-laki dan empat topik menampilkan tokoh laki-laki dan perempuan. Kemudian dalam jilid 5, dari sepuluh

Kisah Berhikmah, seluruhnya menampilkan tokoh berjenis kelamin

laki-laki. Akhirnya pada buku jilid 6, dari sepuluh Kisah Berhikmah, umumnya berkisah tentang laki-laki, yaitu sebanyak enam topik. Dalam jilid terakhir ini, perempuan hanya ditampilkan dalam dua topik, dan dua topik lagi menampilkan laki-laki dan perempuan. Secara rinci, perbandingan laki-laki dan perempuan yang ditampil-kan dalam Kisah Berhikmah tersebut bisa dilihat pada tabel berikut:

Tabel 5. Judul dan Jenis Kelamin yang Dominan Disebut dalam

Kisah Berhikmah pada Buku PAI Terbitan Yudistira

40Ibid., jilid I, 22, 36, 84, 119; Ibid., jilid III, 51, 132, 144; Ibid., jilid IV, 14; Ibid., jilid V, 1, 73; Ibid., jilid, 55.

41Ibid., jilid I, 68-70; Ibid., jilid II, 87.

(19)
(20)

Berdasar tabel di atas dapat diketahui bahwa dari total 35

Kisah Berhikmah, sebanyak 19 topik menghadirkan kisah laki-laki,

18 topik menghadirkan kisah dimana terdapat laki-laki dan perempuan, dan hanya 8 topik yang mengisahkan tokoh dengan jenis kelamin perempuan.

Dalam buku-buku PAI terbitan Tiga Serangkai, meskipun

(21)

sofa,bermusyawarah, imam shalat jama‘ah, membaca koran, azan dan iqamah, dan lain-lain. Dari keseluruhan ilustrasi dan uraian, tampak bahwa ‘dunia’ laki-laki ditampilkan lebih ‘luas’ dibanding ‘dunia’ perempuan.

Dalam buku PAI terbitan Erlanga, selain sebagai siswa, perempuan juga banyak ditampilkan sebagai sosok yang mengerja-kan tugas-tugas domestik, seperti membuka jendela, membersihmengerja-kan kamar, menyapu rumah dan halaman, membersihkan meja makan,44 pergi mengaji, mengunjungi jiran tetangga, mengatarkan

makanan,45 menjemur pakaian, membawa keranjang dari pasar,46

dan sedang belajar di rumah.47 Berbeda dengan itu, laki-laki

ditam-pilkan dalam berbagai penampilan dan peran, seperti imam shalat, bermain-main, mandi, merapikan buku di meja belajar, membuang sampah, membaca al-Qur’an, melakukan pensyahadatan, me-ngamati bangunan, berdiri di ruangan praktik, duduk di kantor, menyeberang jalan, polisi yang menuntun orangtua menyeberang jalan, undangan ke rumah tetangga, gotong royong, memberi makan ayam, menanam pohon, berkumpul dengan teman, membantu ayah memperbaiki mobil, mengumandangkan azan dan iqamah, menyembelih kambing, dan orang yang kaya raya.

Dari keseluruhan peran-peran tersebut, tampak bahwa ‘wajah’ laki-laki praktis tampil dalam berbagai aktivitas dan profesi, sementara perempuan dominan dikesankan hanya terbatas sebagai pelajar dan ibu rumah tangga. Penggambaran demikian jelas menempatkan laki-laki lebih penting bila dibanding perempuan.

3. Beban Kerja Ganda

(22)

lebih banyak dialami laki-laki ketimbang perempuan. Berbeda dengan kebanyakan kecenderungan selama ini yang menempat-kan perempuan sebagai jenis kelamin yang memiliki beban kerja ganda, pada buku-buku PAI tebitan Esis, laki-laki atau ayah sering ditampilkan sebagai sosok yang memiliki beban kerja ganda. Di antaranya laki-laki sebagai guru, ayah yang setiap pagi mengajak anaknya shalat subuh dan berolah raga, suka membantu orang, membelikan buku agama untuk anaknya, menemani anak membeli sepeda, bercerita dengan anak, dan mengisi formulir pembayaran pajak. Sementara itu, ibu selalu ditampilkan dalam wilayah domes-tik dengan beban tugas menasehati anak, menunggu anak untuk makan siang, menyiapkan makanan, dan mengajari anak bacaan shalat.

Dalam buku PAI terbitan Yudistira, beban kerja perempuan

(ibu) umumnya ditampilkan hanya dalam wilayah domestik,49

kecuali menjadi guru di sekolah. Sementara laki-laki pulang dari kantor, menjadi ustaz, mencari nafkah, membersihkan halaman, guru di sekolah, imam shalat, hakim yang memutus perkara,

pene-bang kayu, amil zakat, dan lain-lain.50 Meskipun

menggambar-kan wilayah kerja laki-laki berada di luar wilayah domestik, na-mun dari deskripsi tersebut tampak bahwa laki-laki terkesan atau dikesankan menanggung beban kerja yang lebih berat bila di-banding dengan perempuan.

Sama halnya dengan Esis dan Yudistira, dalam buku-buku PAI terbitan Tiga Serangkai, beban tugas laki-laki divisualisasi dan dipaparkan lebih berat ketimbang perempuan. Perempuan umum-nya ditampilkan dalam wilayah domestik sebagai ibu rumah tang-ga dan pendidik anak-anak, sedangkan di luar wilayah domestik, perempuan ditampilkan sebagai ibu guru yang mengajar dan men-didik murid-murid. Dari keseluruhan ilustrasi dan paparan pada setiap topik dan bahasan, laki-laki selalu dikesankan sebagai sosok yang memiliki berbagai macam tugas dan pekerjaan. Kesannya, laki-laki menanggung beban kerja lebih berat dibanding perempuan.

Berbeda dengan buku-buku PAI di atas, dalam buku-buku PAI terbitan Erlangga, informasi tentang beban kerja ganda hanya dialami perempuan. Dalam buku PAI terbitan Erlangga terdapat narasi yang memaparkan perihal ibu Firman yang harus berjualan di luar rumah untuk membantu suaminya memenuhi nafkah keluarga. Di luar itu, informasi verbal dan ilustrasi yang

ditampil-49Lihat di antaranya Farichi, dkk., Khazanah Pendidikan Islam, jilid II, 58, 78, 102, 114; jilid VI, 23, 84.

(23)

kan buku-buku terbitan Erlangga secara umum hanya membagi beban kerja berdasarkan gender jenis kelamin, dimana laki-laki melakukan tugas atau pekerjaan di luar rumah dan perempuan sebaliknya.

4. Pembenaran bagi Perlakuan atau Tindakan Kekerasan

Secara umum, berdasarkan penelahaan yang cermat, dalam buku-buku PAI terbitan Esis, Yudistira, Tiga Serangkai, dan Erlang-ga, tidak ditemukan ilustrasi dan paparan atau pernyataan yang secara eksplisit menjurus ke arah pembenaran bagi perlakuan atau tindakan kekerasan, baik terhadap laki-laki maupun perempuan. Jika ada dan bisa disebut, yang terdapat hanyalah ilustrasi dan paparan yang berpotensi atau dapat dikesankan menampilkan perilaku kekerasan.

Di antaranya, dalam buku-buku PAI terbitan Tiga Serang-kai, ada cerita hikmah dan ilustrasi yang menggambarkan tinda-kan kekerasan terhadap seorang budak laki-laki pengikut Nabi Muhammad Saw. Dalam paparan dan ilustrasi tersebut bahkan ditampilkan dan dinyatakan bahwa budak laki-laki tersebut me-ninggal dunia karena disiksa tuannya.51 Jika guru tidak arif,

ilus-trasi dan paparan seperti itu bisa disalah pahami peserta didik. Atau, dalam kasus dimana anak hanya melihat gambar, maka ilustrasi dalam buku ini bisa dimaknai sebagai pembenaran bagi tindak kekerasan. Selain itu, dalam buku ini juga terdapat ilustrasi lain yang berpotensi membenarkan perlakuan tindak kekerasan, yaitu tindakan seorang perempuan dewasa yang menghardik anak yatim dan seorang laki-laki dewasa yang menghadik peminta-minta.52

(24)

Dalam buku-buku PAI terbitan Esis, pelaku dan korban tindak kekerasan semuanya dilakukan dan dialami laki-laki. Dalam buku-buku PAI terbitan Esis ini, umumnya tindakan kekerasan ditampilan dalam bentuk visualisasi gambar, seperti ilustrasi dua orang anak laki-laki yang saling menghardik,54 dan seorang anak

laki-laki yang menghardik temannya.55 Berdasarkan penelaahan,

dalam buku-buku PAI terbitan Esis tidak terdapat narasi maupun visualisasi pelaku dan korban tindak kekerasan yang dilakukan dan dialami oleh perempuan. Jika tanpa penjelasan memadai, hal ini bisa memberi kesan bahwa tindak kekerasan identik hanya dilakukan dan dialami oleh laki-laki.

Tidak berbeda dengan buku terbitas Esis, dalam buku-buku PAI terbitan Yudistira, perilaku kekerasan sepertinya diidentikkan dengan dunia laki-laki. Berdasarkan penelahaan, dari jilid 1 sampai 6, perilaku dan korban tindak kekerasan umumnya divisualisasikan lewat gambar laki-laki. Dalam buku-buku terbitan Yudistira, bentuk-bentuk perilaku tindak kekerasan itu adalah

kekerasan terhadap Bilal bin Rabah,56 seorang laki-laki yang

menghardik pengemis tua,57 anak laki-laki yang berkelahi,58 dan

dua orang perampok laki-laki yang membakar buku-buku dan

pakaian Imam Al-Ghazali.59

Dalam buku-buku PAI terbitan Erlangga, informasi perihal tindak kekerasan disajikan, baik dalam bentuk narasi maupun visualisasi. Dalam buku-buku tersebut terdapat narasi dan ilustrasi

Rudi membentak Iwan,60 kemudian ilustrasi anak laki-laki

ber-kelahi dan menghardik binatang,61 ilustrasi dimana dua orang

anak laki-laki sedang berkelahi, anak laki-laki merampas boneka

anak perempuan,62 berkelahi dengan teman dan menendang

bina-tang,63 Firman dituduh mencuri uang,64 anak laki-laki memukul

kucing, empat orang anak laki-laki sedang berkelahi,65 anak

laki-laki memukul ayam dan saling menghardik/ mencela, dan seorang

laki-laki yang sedang menghardik peminta-minta.66

54Thohir, dkk. Pendidikan Agama Islam, jilid VI, 45, 49. 55Ibid., jilid 6, 45 dan 49.

56Achmad Farichi, dkk., Khazanah Pendidikan Agamas Islam, jilid I, 10 57Ibid., jilid I, 30,129, 132, 152 dan Jilid II, 20.

58Ibid., jilid IV, 97 dan jilid V, 92 59Ibid., jilid VI, 117.

60Masrun, dkk., Senang Belajar Agama Islam, jilid II, 82. 61Ibid., jilid III, 25.

(25)

Tabel 6. Bentuk-Bentuk Perilaku Tindak Kekerasan dalam Buku PAI

Seluruh narasi dan ilustrasi tersebut, jika tidak dijelaskan dengan baik oleh guru kepada murid-muridnya, berpotensi besar memberi justifikasi atau pembenaran bagi tindakan kekerasan, baik terhadap sesama manusia maupun hewan.

5. Pencitraan atau Pelabelan Negatif

(26)

masjid,71 hafal rukun Iman,72 rajin, tekun, hemat, dan patuh.73

Selain itu, Rahmah dilabel sebagai anak yang rajin membantu ibu dan bersama Ilham dilabel sebagai anak yang jujur dan disipilin dalam menjaga kebersihan, shalat lima waktu, belajar, dan bersih lingkungan.74

Dalam hal labelling atau pencitraan negatif, anak laki-laki lebih sering dilabel dengan hal negatif ketimbang perempuan. Di antaranya, Toni mengajak Ilham mencuri buah jambu pak Joko, Toni anak yang sombong, Dodo anak yang boros, Heru anak yang iri/dengki, dan Doni anak yang tidak menjaga kebersihan disebab-kan ketika pulang sekolah langsung madisebab-kan tanpa membersihdisebab-kan tangannya. Sedangkan anak perempuan hanya dilabel sebagai anak yang hanya mau bergaul dengan teman yang setara,75 bersifat

boros, dan anak yatim yang malu karena ibunya bekerja sebagai pedagang.76

Dalam buku-buku PAI terbitan Yudistira, tampak jelas bah-wa laki-laki lebih sering dilabel dengan hal-hal yang negatif. Sejumlah narasi dan ilustrasi memperlihatkan anak laki-laki seba-gai pengemis, seorang laki-laki yang buta sedang dibantu

menye-berang jalan,77 menghardik anak yatim, menerima derma, dan

meminum khamar.78 Disamping itu, anak laki-laki juga

divisuali-sasikan sedang berbuat keributan ketika temannya shalat,79

makan-makan ketika belajar di dalam kelas, terlambat hadir ke

sekolah, mengambil makanan tanpa izin yang punya rumah,80

malas belajar dan senang berkelahi,81 membatalkan puasa di siang

Ramadan, sering blos, berkebiasaan buruk, mengambil benda yang

bukan miliknya,82 tidak mau nyumbang, bermalas-malasan,

peringkat akhir di kelas, suka jahil, tidak mampu bayar hutang, dan kaya tapi minta zakat fitrah.83

Dari sudut materi, berbeda dengan buku-buku PAI terbitan Esis dan Yudistira, buku-buku PAI terbitan Tiga Serangkai justru

71Ibid., jilid I, 12. 72Ibid., jilid I, 15. 73Ibid., jilid I, 93-95. 74Ibid., jilid I, 22-30 dan 86. 75Ibid., jilid II, 25.

76Ibid., jilid III, 27, 43.

77Farichi, dkk., Khazanah Pendidikan Islam, jilid IV, 104, 105. 78Ibid., jilid V, 73, 123; jilid VI, 21.

79Ibid., jilid II, 14.

80Ibid., jilid III, 10, 96, dan 111. 81Ibid., jilid IV, 95 dan 97.

(27)

mencitrakan atau melabel sifat-sifat dan perilaku negatif hanya kepada gender laki-laki. Diantara sifat dan perilaku negatif tersebut adalah berkelahi, pengemis, mencontek, meminta anak agar ber-bohong, menghardik pengemis, tidak taat, sombong, dan tidak suka menolong.84 Selain itu, anak laki-laki juga disebut suka

me-ngeluh, menggunjing, tidak jujur, nakal, berbuka puasa di siang hari Ramadan, asik menontotn TV di waktu Maghrib, dan me-nyontek.

Dalam buku PAI terbitan Tiga Serangkai, meskipun ada laki-laki yang digambarkan sebagai guru, ustdaz, bahkan saudagar yang kaya, namun dalam banyak hal, laki-laki dikesankan dengan label negatif, seperti budak, pengemis, anak yang nakal, kurang sopan, kurang rapi, sombong, pemabuk, ingin mencuri dompet, tidak teratur, menyabung ayam, shalat terburu-buru, suka me-ngajak pemuda desa bermain judi, dan penjahat yang ditangkap polisi.85

Tidak berbeda dengan buku-buku PAI di atas, buku PAI Sekolah Dasar terbitan Erlangga juga lebih banyak mencitrakan atau melabel laki-laki dengan hal-hal yang negatif. Pencitraan atau pelabelan tersebut banyak divisualisasikan dalam buku terbitan Erlangga. Sejumlah visualisasi yang mencitrakan hal demikian adalah berbuat syirik, pengemis, memukul kucing, sombong, berkelahi,86 menghardik binatang, bermain-main

disam-ping orang yang sedang shalat, menyabung ayam,87 tidak jujur,88

berjudi,89 penjahat, dan merampas boneka anak perempuan.90

Buku terbitan Erlangga juga memberi kesan kuat bahwa hanya kaum laki-laki saja yang menjadi penentang Islam atau penentang Nabi Muhammad Saw. Hal tersebut tampak jelas pada materi

tentang Abu Lahab, Abu Jahal, dan Musailamah al-Kazab.91

(28)
(29)

Analisis Hasil

Penelitian ini menemukan bahwa masih terdapat informasi bias gender dalam buku PAI untuk Sekolah Dasar. Dari seluruh buku PAI yang diteliti, yaitu Pendidikan Agama Islam terbitan Esis,

Khazanah Pendidikan Agama Islam terbitan Yudistira, Khazanah

Pendidikan Agama Islam terbitan Tiga Serangkai, dan Senang Belajar

Agama Islam terbitan Erlangga, seluruhnya memuat informasi yang

bias gender. Dalam seluruh buku tersebut, praktis semua memuat informasi tentang bentuk-bentuk bias gender seperti peminggiran (marginalisasi), penomorduaan (subordinasi), beban ganda (double

burden), perlakuan atau tindakan kekerasan, dan pencitraan atau

pelabelan negatif (stereotype).

Berdasarkan hal itu, dapat dikemukakan bahwa temuan penelitian ini praktis tidak jauh berbeda dengan temuan-temuan penelitian yang telah dilakukan sebelumnya, di antaranya seba-gaimana ditemukan Logsdon (1985), Astuti, Indarti, dan Sasriyani (1999) sebagaimana dikutip Achmad Muthali‘in,92 Astiatun,93 Ace

(30)

ibu guru di sekolah. Tampaknya, kesan kuat yang terkontruksi dalam keseluruhan buku PAI yang diteliti adalah penonjolan pan-dangan masyarakat patrimonial tentang gender. Dalam masya-rakat seperti ini, sebagaimana dinyatakan Alimi, laki-laki dianggap

sebagai makhluk yang kuat dan superior.97 Karenanya,

sebagai-mana dinyatakan Parsons dan Bales,98 laki-laki mengambil peran

instrumental (instrumental role) sementara perempuan mengambil peran ekspresif (expressive role). Dalam konteks ini, laki-laki ber-peran membantu memelihara sendi-sendi masyarakat dan keutuh-an keluarga dengkeutuh-an jalkeutuh-an menyediakkeutuh-an bahkeutuh-an makkeutuh-ankeutuh-an, tempat perlindungan, dan menjadi penghubung keluarga dengan dunia luar (the world outside the home). Sementara perempuan mengambil peran membantu mengentalkan hubungan, memberikan duku-ngan emosional dan pembinaan kualitas yang mendorong keutuh-an keluarga, dkeutuh-an menjamin kelkeutuh-ancarkeutuh-an uruskeutuh-an rumah tkeutuh-angga.

Selain itu, bentuk bias gender lainnya yang dominan di-tampilkan dalam seluruh buku yang diteliti adalah menampilkan gambar laki-laki dalam berbagai ilustrasi topik atau materi pe-lajaran. Secara rinci, mengenai hal ini bisa dilihat pada tabel berikut:

Tabel 8. Perkiraan Jumlah Ilustrasi Gambar dalam Seluruh Buku PAI yang Diteliti

Berdasar tabel, secara jelas dapat dilihat bahwa laki-laki sangat dominan ditampilkan dalam seluruh ilustrasi buku-buku PAI yang diteliti. Dari seluruh ilustrasi tersebut, tampilan gambar laki-laki sangat tampak mencolok dan begitu dominan dalam memvisualisasikan praktik atau tata cara mengambil wudu dan mengerjakan shalat. Umumnya semua buku PAI yang diteliti hanya menampilkan gambar laki-laki dalam mendukung, mem-perjelas, dan memperkuat materi tentang tata cara mengambil

97Mohammad Yasir Alimi et. al., Advokasi Hak-Hak Perempuan: Membela Hak Mewujudkan Perubahan,cet. I (Yogyakarta: LKiS, 1999), vi.

(31)

wudu dan mengerjakan shalat. Bila dipresentasekan, jumlah gam-bar perempuan hanya sekitar 24,71% dari seluruh total ilustrasi gambar yang ditampilkan. Dari sisi ini, tampaknya apa yang di-laporkan UNICEF bahwa ilustrasi yang terdapat dalam buku-buku pelajaran Sekolah Dasar lebih banyak yang menonjolkan anak

laki-laki ketimbang perempuan menemukan kesesuaiannya.99

Dari aspek materi, tampak jelas bahwa kaum laki-laki juga lebih banyak dikedepankan. Hal tersebut diperkuat lagi oleh Kisah Berhikmah dalam buku PAI terbitan Yudistira, Sepenggal Kisah dalam buku PAI terbitan Esis, Hikayat Bermakna dan Qira’ah Rasyidah dalam buku PAI terbitan Tiga Serangkai, dan Amaliyah serta kisah-kisah lain yang ditampilkan dalam buku PAI tebitan Erlangga, kesemuanya lebih banyak menampilkan cerita-cerita kaum laki-laki. Kisah sejarah yang mengandung teladan yang menampilkan jenis kelamin wanita dapat dinyatakan sangat sedikit, sebagaimana diperlihatkan dalam tabel 2, 4 dan 5. Dari sisi ini tampak bahwa materi dalam kurikulum PAI masih bias gender dikarenakan belum menampilkan secara seimbang laki-laki dan perempuan. Padahal, sejarah manusia dan kehidupan ini tidak bisa dilepaskan dari keberadaan kaum perempuan. Bahkan, tidak jarang, keberhasilan laki-laki dalam meraih atau melakukan sesuatu, sebenarnya dikarenakan dukungan perempuan.

(32)

sementara perempuan berada pada sektor domestik.100 Hemat

pe-nulis, sepertinya, penulisan buku-buku PAI yang distudi dalam pene-litian ini masih sangat dipengaruhi atau tidak terlepas dari budaya dan konstruk masyarakat Indonesia yang masih bercorak

patriar-khi. Sebagaimana dinyatakan Umar,101 diantara ciri masyarakat

patriarkhi adalah memberi peran lebih besar kepada laki-laki. Analisis di atas sama sekali tidak bermaksud menyarankan agar materi dan kisah hikmah yang menampilkan tokoh laki-laki dibuang dari isi kurikulum PAI untuk Sekolah Dasar. Sebab, tokoh-tokoh laki-laki seperti yang ditampilkan dalam buku-buku PAI yang diteliti, baik dalam posisinya sebagai orang baik maupun sebaliknya, adalah sebuah realitas sosial yang pernah dan ditemui dalam kehidupan. Terlebih apabila tokoh dimaksud adalah Nabi Muhammad Saw, Rasul yang merupakan pembawa risalah Islam dan pribadi yang penuh teladan untuk dicontoh dan diikuti. Begitu pula dengan para sahabat dan para ulama laki-laki, ataupun Abu Lahab, Abu Jahal, dan Musailamah al-Kazzab yang ditampilkan sebagai penentang Rasul dan risalah Islam. Semua itu realitas dan fakta sejarah yang tidak dapat dibantah dan diubah.

Namun, adalah kurang tepat dan tidak adil bila materi dan ilustrasi dalam buku-buku PAI tersebut tidak memberi tempat yang layak dan proporsional kepada perempuan sebagai tokoh yang layak dicontoh. Sebab, adalah juga merupakan realitas yang sulit dibantah bahwa dalam sejarah kemanusiaan tidak sedikit tokoh pejuang, ulama, dan orang-orang saleh yang berjenis kelamin perempuan. Bila materi dan ilustrasi lebih banyak menampilkan laki-laki, maka secara common sense saja,bisa disimpulkan bahwa tidaklah semua perilaku laki-laki layak diteladani anak perempuan. Sebab, secara biologis, perempuan dan laki-laki memang memiliki perbedaan. Kemudian di sisi lain, adalah sebuah kenyataan em-piris bahwa dalam setiap masyarakat selalu saja ada nilai dan norma-norma sosial-budaya yang digunakan untuk menjelaskan tugas, fungsi, dan peran perempuan dan laki-laki. Dalam keadaan demikian, bila pendidikan dimaksudkan ingin membentuk ke-pribadian dan perilaku terpuji peserta didik, maka bisa dipahami apabila anak perempuan menemukan kesulitan dalam bercermin atau menemukan significant person yang tepat dengan jenis kelamin dan peran gender yang idealnya mereka tampilkan dari materi dan ilustrasi yang terdapat dalam buku pelajaran PAI.

100Yayah Nurmaliah, “Bias Gender Dalam Pendidikan Islam: Interpretasi Terhadap Buku Ajar Agama Islam”, dalam www.icrp-online.org/wmview.php? ArtID=179&page=7. diakses 1 Desember 2009.

(33)

Selanjutnya, ada beberapa catatan khusus yang harus dicer-mati dari temuan penelitian ini. Pertama, mungkin dikarenakan laki-laki lebih dominan ditampilkan, bias gender dalam bentuk beban kerja ganda terkesan dipikulkan kepada laki-laki. Kedua, laki-laki lebih sering dilabel dengan sifat yang kurang baik. Ketiga, laki-laki juga ternyata paling banyak ditampilkan sebagai pelaku perbuatan-perbuatan negatif. Dalam hal informasi mengenai sejarah Islam, dari semua buku PAI yang diteliti, praktis tidak pernah menyebutkan seorang per-empuan pun yang menentang Nabi Muhammad dan risalah Islam. Dalam konteks ini, kaum laki-lakilah yang ditampilkan sebagai pe-nentang kebenaran. Padahal, dalam sejarah Islam sendiri, terdapat juga tokoh wanita yang bertindak sebagai penentang risalah Islam. Ketika mengetengahkan materi tentang sikap tercela yang menam-pilkan nabi palsu, buku-buku PAI hanya menyebutkan nama Musailamah al-Kazzab (laki-laki). Padahal, dalam sejarah Islam ter-catat juga ada nabi palsu yang berjenis kelamin perempuan yang bernama Sajaah, yang mendakwahkan dirinya sebagai nabi dan melakukan penentangan terhadap khalifah Abu Bakar Shiddiq.102

SIMPULAN

Berdasarkan temuan dan analisis hasil penelitian, secara umum dapat disimpulkan bahwa informasi bias gender masih di-temukan dalam buku-buku PAI untuk Sekolah Dasar. Dari ke-seluruhan buku PAI yang diteliti, semuanya mengandung informasi bias gender, baik dalam bentuk marginalisasi atau peminggiran salah satu gender, menomorduakan (subordinasi), beban kerja gan-da, perilaku atau tindakan kekerasan, dan pencitraan atau pelabelan negatif terhadap salah satu pihak.

(34)

per-Daftar Pustaka

Alimi, Mohammad Yasir et. al. Advokasi Hak-Hak Perempuan: Membela

Hak Mewujudkan Perubahan, cet. I. Yogyakarta: LKiS, 1999.

Astiatun, “Bias Gender dalam Wacana Buku teks” dalam

www.kompas.com. diakses 26 Juni 2009.

Departemen Agama RI, Sejarah dan Kebudayaan Islam. Jakarta: Proyek Peningkatan Mutu Perguruan Tinggi Agama Islam Ditbinpertais Departemen Agama RI, 1981/1982.

Fachruddin, Meuthia Fadila. “Kesetaraaan Gender di Sekolah Dasar”, dalam Module Development Team Training. Medan: 5-9 Juni 2006.

Farichi, Achmad. Khazanah Pendidikan Islam, jilid III. Bogor: Yudistira, 2007.

Krippendorff, Klaus. Analisis Isi: Pengantar Teori dan Metodologi, terj. Farid Wajidi, cet. 2. Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1993. Maksum, M.A. Khazanah Pendidikan Islam. Jlid I- VI. Solo: Tiga

Serangkai Pustaka Mandiri, 2007.

Masrun S., Moh. dkk., Senang Belajar Agama Islam, Jilid I-VI. Jakarta: Erlangga, 2007.

McMillan, James H. dan Schumacher, Sally. Research in Education: A

Conceptual Introduction. New York: Longman, 2001.

Muhadjir, Noeng. Metodologi Penelitian Kualitatif. Yogyakarta: Rake Sarasin, 1995.

Muthali‘in, Achmad. Bias Gender dalam Pendidikan. Surakarta:

Muhammadiyah University Perss, 2001.

Nurmaliah, Yayah. “Bias Gender Dalam Pendidikan Islam: Interpretasi Terhadap Buku Ajar Agama Islam”, dalam

www.icrp-online.org. Diakses 1 Desember 2009.

Parsons, Talcott dan Bales, Robert F. Family, Socialization and Interaction

Process. London: Routledge and Kegan Paul Ltd., 2002.

Rostiawati, Yustina. Antara Kenyataan dan Yang Dipelajari: Apakah

Dunia Pendidikan Mengikuti Zaman? Makalah dipresentasikan

dalam acara Semiloka Pendidikan untuk Perempuan “Belajar dari Pengalaman Pesantren’ yang diselenggarakan oleh Rahima. Jakarta, 5 Januari 2005.

Thohir, Moh. dkk. Pendidikan Agama Islam untuk Sekolah Dasar, jilid I-VI. Jakarta: Esis, 2007.

Umar, Nasaruddin. Argumen Kesetaran Gender Perspektif Al-Qur’an. Jakarta: Paramadina, 1999.

UNICEF, “Lembar Fakta: Pendidikan Untuk Anak Perempuan di Indonesia” dalam www.unicef.org. Diunduh pada tanggal 12 Mei 2009.

www.digilib.ums.ac.id. diakses 12 Mei 2009.

Gambar

Tabel 1. Topik/ Materi PAI Kelas 1-6 Sekolah Dasar
Tabel 2. Tokoh Laki-Laki dalam Buku PAI Terbitan Esis
Tabel 3. Jumlah Ilustrasi Gambar dalam Buku PAI TerbitanErlangga Berdasarkan Jenis Kelamin
Tabel 6. Bentuk-Bentuk Perilaku Tindak Kekerasan dalam BukuPAI
+2

Referensi

Dokumen terkait

Tepung biji nangka memiliki kandungan nutrisi yang diperlukan untuk pertumbuhan jamur terutama karbohidrat.Tujuan penelitian ini untuk mengetahui tepung biji nangka

Penelitian ini menggunakan metode eksperimen. dimana destilator dua atap miring didesain sebagai alat destilasi air laut dengan memanfaatkan panas gas buang mesin

Berdasarkan dari hasil penelitian Sekripsi Lila pada mata pelajaran IPA kelas 5 semester II yang berjudul “Efektifitas penerapan Model Pembelajaran

Firman Tuhan berkata, “Sekiranya engkau memperhatikan perintah-perintah-Ku, maka damai sejahteramu akan seperti sungai yang tidak pernah kering, dan kebahagiaanmu akan

Kaset film berisi film yang akan digunakan pada saat pengambilan gambar foto sinar-X terhadap simulasi titik koordinat yang akan direkam. Dimensi kaset film juga

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, sebab berkat dan karunia-Nya, penulis dapat menyelesaikan laporan kerja praktek ini. Kerja praktek sendiri merupakan salah

Data observasi aktivitas guru digunakan untuk memberikan gambaran tentang aktivitas guru selama pembelajaran. Keterlaksanaan aktivitas guru yang menerapkan strategi