• Tidak ada hasil yang ditemukan

KEBUTUHAN HARA KALIUM TANAMAN KEDELAI DI TANAH ULTISOL

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KEBUTUHAN HARA KALIUM TANAMAN KEDELAI DI TANAH ULTISOL"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

KEBUTUHAN HARA KALIUM TANAMAN KEDELAI

DI TANAH ULTISOL

Dedi Nursyamsi

Staf Peneliti Balai Penelitian Tanah, Jl. Ir. H. Juanda 98, Bogor, e-mail: ddnursyamsi@telkom.net

ABSTRAK

Percobaan kalibrasi di lapang telah dilaksanakan di tanah Ultisol Deli Serdang, Sumatera Utara untuk mempelajari faktor-faktor tanah yang berpengaruh terhadap ketersediaan K, memilih metode ekstraksi, menentukan batas kritis, dan menghitung kebutuhan pupuk K untuk kedelai. Percobaan mengunakan rancangan acak kelompok, lima tingkat takaran K, sembilan ulangan, dan menggunakan kedelai sebagai tanaman indikator. Takaran kalium yang digunakan terdiri atas: 0, 20, 40, 80, dan 160 kg K/ha dari pupuk KCl. Hasil penelitian menunjukkan bahwa C-organik dan kapasitas tukar kation tanah merupakan faktor tanah utama yang berpengaruh terhadap ketersediaan K di tanah-tanah Ultisol. Pemupukan K nyata meningkatkan hasil biji kering kedelai di lokasi Tanjung Gusti dimana hasil tanaman meningkat dari 0.81 menjadi 1.99 t/ha akibat pemberian 80 kg K/ha atau terjadi peningkatan sekitar 146%. Pengekstrak HCl 25% ditemukan sebagai metode ekstraksi K yang sesuai untuk menduga kadar K tanah Ultisol dalam kaitannya dengan penghitungan kebutuhan pupuk K untuk kedelai. Kelas ketersediaan hara kalium tanah Ultisol untuk kedelai berdasarkan pengekstrak HCl 25% adalah rendah (< 340), sedang (340-1150) dan tinggi (>1150 ppm K2O). Kebutuhan pupuk untuk mencapai hasil

maksimum adalah 210, 190, dan 150 kg KCl/ha, sedangkan untuk mencapai hasil optimum hanya 85, 2, dan 0 kg KCl/ha masing-masing untuk kelas K tanah rendah, sedang, dan tinggi.

Kata kunci: Kalium, kebutuhan hara tanaman, Ultisol, kedelai

ABSTRACT

Field experiments were conducted in Ultisols of Deli Serdang, North Sumatera to study soil factors that effect on soil potassium availability, select extraction method, determine the critical level of soil potassium, and calculate potassium fertilizer requirement for soybean. The experiments used randomized block design, five treatments of potassium levels, nine replications, and used soybean as plant indicator. The levels of potassium treatment were 0, 20, 40, 80, and 160 kg K/ha from KCl fertilizer. The result showed that soil organic-C and cation exchange capacity were found out as the main soil factors that effect on soil K availability in Ultisols. The fertilization of K significantly increased grain yield in Tanjung Gusti where the grain yield increased from 0.81 to 1.99 t/ha (about 146%) by use of 80 kg K/ha. HCl 25% was selected extraction method to estimate K fertilizer requirement in Ultisols for soybean. The availability class of soil K for soybean was low (< 340), medium (340-1150) and high status (> 1150 ppm K2O extracted by HCl 25%). K fertilizer requirement to attend maximum yield were 210, 190,

and 150 kg KCl/ha while to attend optimum yield were only 85, 2, and 0 kg KCl/ha for low, medium, and high status of soil potassium respectively.

Key word: Potassium, plant nutrient requirement, Ultisols, soybean.

(2)

PENDAHULUAN

Tanah-tanah Ultisol termasuk tanah pertanian utama di Indonesia karena menempati areal yang paling luas setelah Inceptisol. Dalam klasifikasi tanah lama tanah ini mencakup: Podzolik Merah Kuning, Latosol Hidromorf Kelabu, dan Planosol (Subagyo et al., 2000). Tanah Ultisol memiliki penyebaran sekitar 45.8 juta ha atau sekitar 24.3% dari total daratan Indonesia. Tanah-tanah ini tersebar terutama di Pulau Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Papua (Puslittanak, 2000).

Mengingat sebarannya yang sangat luas, tanaman kedelai mempunyai prospek yang cukup besar untuk dikembangkan di tanah Ultisol asal dibarengi dengan pengelolaan tanaman dan tanah yang tepat. Umumnya tanah tersebut mempunyai pH yang sangat masam hingga agak masam, yaitu sekitar 4.1-5.5, jumlah basa-basa dapat ditukar tergolong rendah hingga sedang dengan komplek adsorpsi didominasi oleh Al, dan hanya sedikit mengandung kation Ca dan Mg. Kapasitas tukar kation (KTK) dan kejenuhan basa (KB) lapisan atas tanah umumnya rendah hingga sedang (Subagyo et al., 2000). Kekahatan kalium merupakan kendala yang sangat penting dan sering terjadi di tanah Ultisol. Masalah tersebut erat kaitannya dengan bahan induk tanah yang miskin K, hara kalium yang mudah tercuci karena KTK tanah rendah, dan curah hujan yang tinggi di daerah tropika basah sehingga K banyak yang tercuci.

Upaya untuk meningkatkan produksi kedelai di tanah masam dapat dilakukan melalui pengelolaan tanaman yang sesuai dan manipulasi tanah yang tepat. Pemupukan kalium memegang peranan yang sangat penting dalam meningkatkan produksi kedelai di tanah Ultisol. Hara kalium merupakan hara makro bagi tanaman yang dibutuhkan dalam jumlah banyak setelah N dan P.

Kalium merupakan agen katalis yang berperan dalam proses metabolisme tanaman, seperti: (1) meningkatkan aktivasi enzim, (2) mengurangi kehilangan air transpirasi melalui pengaturan stomata, (3) meningkatkan produksi adenosine triphosphate (ATP), (4) membantu translokasi asimilat, dan (5) meningkatkan serapan N dan sintesis protein (Havlin et al., 1999). Bila ketersediaan kalium tanah rendah maka pertumbuhan tanaman terganggu dan tanaman akan memperlihatkan gejala kekahatan.

Kadar dan dinamika hara K tanah perlu diketahui untuk menentukan jumlah pupuk yang diberikan agar pemupukan efisien. Selain itu metode ekstraksi untuk menetapkan kadar hara K dalam tanah juga harus sesuai untuk tanah dan tanaman yang dikehendaki. Selanjutnya untuk memutuskan apakah suatu tanah perlu dipupuk (dengan dosis tertentu) atau tidak maka batas kritis (critical level) suatu hara untuk tanaman pada tanah tertentu perlu ditetapkan terlebih dahulu. Batas kritis adalah kadar hara di dalam tanah dimana produksi atau kualitas tanaman akan menurun bila hara tersebut ditambahkan ke dalam tanah. Bila kadar hara tanah lebih rendah daripada batas kritis maka tanaman akan memberikan respon yang tinggi terhadap pemberian pupuk. Sebaliknya bila kadar hara lebih tinggi daripada batas kritis maka tanaman tidak respon terhadap pemberian pupuk. Salah satu cara untuk menentukan batas kritis tanah dan kebutuhan pupuk suatu tanaman pada tanah tertentu adalah melalui penelitian uji tanah.

Berbagai penelitian menunjukkan bahwa pemberian pupuk kalium dapat meningkatkan produktivitas tanah sehingga hasil berbagai komoditas tanaman juga meningkat. Selanjutnya banyak penelitian melaporkan bahwa kebutuhan hara kalium tergantung sistem

(3)

tanah-tanaman. Penelitian uji tanah yang dilaksanakan oleh Nursyamsi et al. (2004) di tanah Typic Kandiudox, Bandar Abung (Lampung Utara) menunjukkan bahwa kebutuhan pupuk K untuk kedelai adalah 245 dan 68 kg KCl/ha masing-masing untuk tanah yang berstatus K rendah (< 15) dan K tinggi (> 15 mg K2O terekstrak

NH4OAc pH 7.0). Penelitian lainnya yang

dilaksanakan di tanah Inceptisol Subang menunjukkan bahwa kebutuhan pupuk K untuk kedelai di tanah berstatus K rendah dan tinggi berturut-turut adalah 265 dan 165 kg KCl/ha (Nursyamsi et al., 2005). Sementara itu penelitian pemupukan K untuk tomat yang dilaksanakan di tanah Inceptisol Darmaga (Bogor) menunjukkan bahwa rekomendasi pupuk di tanah berstatus K sangat rendah, rendah, dan sedang berturut-turut adalah: 397, 325, dan 272 kg KCl/ha. Tanah yang mempunyai kelas hara K tinggi dan sangat tinggi tidak perlu dipupuk K (Amisnaipa, 2005).

Dengan memperhatikan hasil-hasil penelitian tersebut di atas maka penelitian ini bertujuan: (1) mempelajari faktor-faktor tanah yang berkaitan dengan ketersediaan K, (2) menetapkan metode ekstraksi K tanah terbaik, (3) menentukan kelas ketersediaan hara K tanah, dan (4) menghitung kebutuhan pupuk K untuk tanaman kedelai (Glycine max, L) pada tanah Ultisol Deli Serdang, Sumatera Utara.

BAHAN DAN METODE

Penelitian tentang faktor-faktor tanah yang berkaitan dengan ketersediaan K di tanah Ultisol untuk tanaman kedelai dilaksanakan di Laboratorium Uji Tanah, Balai Penelitian Tanah Bogor pada tahun 2002 dengan menggunakan 20 contoh tanah komposit lapisan atas (0-20 cm) yang diambil dari daerah Deli Serdang, Propinsi Sumatera Utara. Percobaan lapang dilaksanakan di lahan milik petani di Kabupaten Deli

Serdang pada MH 2002/2003. Tahapan kegiatannya meliputi: (1) survey kesuburan tanah di lokasi penelitian, (2) percobaan kalibrasi uji tanah hara kalium di lapang, dan (3) analisis K tanah di laboratorium dan penghitungan batas kritis serta rekomendasi pupuk K untuk kedelai.

Survei kesuburan tanah

Survei kesuburan tanah dilakukan dengan cara mengambil 20 contoh tanah komposit lapisan atas yang mewakili areal yang diteliti. Contoh tanah komposit merupakan campuran dari 5-10 anak contoh, diaduk hingga homogen, lalu diambil sekitar 1 kg. Contoh tanah tersebut dikeringkan, ditumbuk dan diayak untuk analisis sifat-sifat tanah di laboratorium. Sifat-sifat tanah yang dianalisis meliputi: tekstur (pipet), pH H2O dan KCl (pH meter), C-organik

(Kurmies), N-organik (Kjedahl), P dan K potensial (HCl 25%), Ca, Mg, dan Kdd,

serta KTK (NH4OAc pH 7.0), KB (NaCl

10%), Al dan Hdd (KCl 1 N).

Lokasi percobaan kalibrasi uji tanah ditetapkan berdasarkan kadar K tanah, yaitu dengan memilih lokasi percobaan yang mempunyai nilai uji tanah rendah hingga tinggi. Berdasarkan hasil analisis tanah di laboratorium maka lokasi percobaan lapang ditetapkan di Desa Sei Putih dan Tanjung Gusti (Kecamatan Galang) serta di Desa Dolok Masehul (Kecamatan Dolok Masehul), semuanya berada di Kabupaten Deli Serdang, Propinsi Sumatera Utara.

Percobaan kalibrasi di lapang

Penelitian menggunakan pendekatan lokasi banyak, yaitu menggunakan tiga lokasi percobaan yang mempunyai status K beragam. Hasil analisis pendahuluan contoh tanah lapisan atas (0-20 cm) dari lokasi percobaan disajikan pada Tabel 1. Percobaan memakai rancangan acak

(4)

kelompok (RAK), 5 level takaran K, ulangan 9 kali, dan tanaman kedelai sebagai indikator. Takaran K yang digunakan dalam percobaan ini adalah 0, 20, 40, 80 dan 160 kg K/ha atau masing-masing setara dengan 0, 40, 80, 160, dan 320 kg KCl. Pupuk urea dan SP-36 digunakan sebagai pupuk dasar, masing-masing 50 dan 200 kg/ha.

Sebelum percobaan pemupukan, tanah diameliorasi terlebih dahulu dengan pemberian kapur dan bahan organik. Kapur diberikan dengan dosis untuk mencapai pH tanah 6.0, yaitu setara dengan 1,48 , 1,62 , dan 1,70 t/ha berturut-turut untuk lokasi Sei Putih, Dolok Masehul, dan Tanjung Gusti, sedangkan bahan organik masing-masing diberikan 1 ton/ha. Bahan amelioran

kapur dan bahan organik ditaburkan 1 minggu sebelum tanam atau pada saat pengolahan tanah kedua. Selanjutnya tanaman kedelai ditanam (2 biji perlubang) pada petak perlakuan yang berukuran 6 m x 5 m, dengan jarak tanam 40 cm x 10 cm.

Sebelum pemupukan dilaksanakan, contoh tanah komposit dari

setiap ulangan diambil untuk analisis kalium tanah di laboratorium. Pengukuran tinggi tanaman dilaksanakan pada saat tanaman berumur 30 dan 60 hari setelah tanam (HST). Tanaman dipanen pada saat berumur 90 HST dengan memotong pangkal tanaman sekitar 3 cm di atas permukaan tanah. Selanjutnya berat biji dan brangkasan ditimbang setelah polong dipisahkan dan dikeringkan.

Tabel 1. Sifat-sifat tanah lapisan atas (0-20 cm) di lokasi percobaan lapang

Sifat tanah Ekstraktan Metode/ Satuan Sei Putih Dolok Masehul Tanjung Gusti

Tekstur Pipet Pasir % 29 23 18 Debu % 35 30 28 Liat % 36 47 54 pH Air (1 : 2,5) - 5,0 4,9 4,8 KCl - 4,3 4,1 4,1 Bahan organik C-organik Kurmies % 0,86 0,94 1,02 N-total Kjedahl % 0,07 0,07 0,09 C/N 12 12 11 P-potensial HCl 25% mg P2O5/100g 18 7 26 K-potensial HCl 25% mg K2O/100g 54 14 74 P tersedia Bray-1 ppm P2O5 0,9 0,9 2,8

Nilai tukar kation

Cadd NH4OAc pH 7,0 me/100g 2,09 4,18 4,81

Mgdd NH4OAc pH 7,0 me/100g 1,00 1,12 1,14

Kdd NH4OAc pH 7,0 me/100g 0,28 0,18 0,13

KTK NH4OAc pH 7,0 me/100 g 9,04 8,88 11,13

KB NaCl % 38 48 58

Pemilihan metode ekstraksi dan penentuan dosis pupuk K

Sebelum menentukan batas kritis dan dosis pupuk maka metode ekstraksi yang paling sesuai untuk sistem Ultisol-kedelai perlu dipilih terlebih dahulu.

Pengekstrak K yang sesuai adalah pengekstrak yang mempunyai koefisien korelasi nyata dengan persen hasil tanaman (hasil tanaman tanpa K dibagi hasil tanaman maksimum akibat pemberian K dikalikan 100%). Metode

(5)

ekstraksi K yang dicoba dalam penelitian ini adalah: Mehlich, HCl 25%, NH4OAc pH

4,8, NH4OAc pH 7,0, Olsen, Bray 1, dan

Bray 2.

Batas kritis hara K tanah ditentukan dengan metode analisis keragaman yang dimodifikasi (Nelson dan Anderson, 1977). Prosedurnya adalah dengan menyusun pasangan data (nilai uji tanah dan respon tanaman) menurut peningkatan nilai uji tanah. Selanjutnya data dikelompokkan menurut perubahan respon tanaman (%Y) lalu perbedaan antara dua kelompok %Y yang berurutan diuji dengan uji t-student satu arah. Pengelompokkan tersebut dicoba-coba hingga perbedaan antara dua kelompok berurutan nyata.

Penghitungan dosis pupuk menggunakan kurva respon umum dari setiap kelas hara dengan menggunakan analisis regresi. Persamaan garis regresinya adalah: Y = a + bX + cX2,

dimana: a, b, c = koefisien regresi, X = dosis pupuk K (kg K/ha), dan Y = hasil biji kering (t/ha). Selanjutnya kurva respon umum dari masing-masing kelas uji tanah dibuat dalam satu grafik. Dosis optimum (takaran pupuk K untuk mencapai hasil optimum) dihitung dengan asumsi bahwa hasil optimum tercapai pada saat 90% hasil maksimum.

HASIL DAN PEMBAHASAN Faktor tanah yang berpengaruh terhadap ketersediaan K

Tanah Ultisol dari lokasi penelitian bertekstur liat, mempunyai kisaran pH agak masam hingga masam, kadar C-organik, hara N, P, Ca, dan Mg tanah rendah. Demikian pula KTK dan KB serta Al dan Hdd tanah semuanya rendah.

Kadar K potensial (HCl 25%) dan Kdd

(NH4OAc pH 7,0) juga termasuk rendah

(Tabel 2). Tingkat pelapukan bahan organik yang tinggi dan bahan induk yang miskin menyebabkan kadar

C-organik dan kadar unsur hara tanah rendah. Selain itu curah hujan di lokasi penelitian termasuk tinggi sehingga pencucian unsur hara terutama hara yang kelarutannya tinggi (N dan K) di dalam tanah juga tinggi.

Menurut kriteria Puslittan (1983), tanah ini mempunyai tingkat kesuburan yang rendah dengan faktor pembatas utama sifat-sifat kimia tersebut di atas. Tanah ini berpotensi untuk dikembangkan menjadi lahan pertanian asal faktor-faktor pembatas tersebut di atas ditanggulangi terlebih dahulu. Tanah Ultisol yang berada di lahan kering dapat dikembangkan untuk pertanian tanaman pangan, seperti: jagung, kedelai, kacang-kacangan, umbi-umbian, padi gogo, dan lain-lain (Subagyo et al., 2000).

Kadar K potensial (HCl 25%) berkorelasi positip sangat nyata dengan Kdd, dan kedua bentuk K tersebut

berkorelasi positip sangat nyata dengan C-organik, N-organik dan KTK tanah tapi tidak berkorelasi dengan sifat tanah lainnya (Tabel 3). Apabila kadar K potensial dan dapat dipertukarkan dianggap sebagai indikasi ketersediaan K tanah maka tampak bahwa C-organik dan KTK tanah merupakan faktor tanah utama yang berpengaruh terhadap ketersediaan K di tanah-tanah Ultisol. Bahan organik merupakan sumber muatan tergantung pH (pH dependent charge) dan perannya menonjol terutama di tanah-tanah yang didominasi oleh mineral liat kaolinit (1:1) dan oksida seperti tanah Ultisol. Hal ini terbukti dengan adanya korelasi positip yang sangat nyata dengan KTK tanah (Tabel 3). Tapak jerapan yang bermuatan negatif ini berperan dalam memegang kation K agar tidak mudah tercuci sehingga dapat tersedia bagi tanaman. Fenomena ini berbeda dengan di tanah Vertisol yang didominasi oleh mineral liat smektit (2:1) dimana peran terhadap KTK

(6)

yang lebih menonjol berasal dari sumber muatan permanen (permanent charge). Hal tersebut ditandai oleh adanya korelasi

positip nyata antara kadar liat dan KTK tanah (Nursyamsi dan Sutriadi, 2005). Tabel 2. Kisaran sifat-sifat tanah lapisan atas contoh tanah Ultisol dari Deli Serdang

Sifat tanah Metode/Ekstraktan Satuan Kisaran nilai

Kadar liat Pipet % 47 + 20

pH H2O Air (1 : 2,5) - 5,2 + 0,5 Bahan organik C-organik Kurmies % 0,94 + 0,32 N-total Kjedahl % 0,07 + 0,02 P-potensial HCl 25% mg P2O5/100g 27 + 20 K-potensial HCl 25% mg K2O/100g 8 + 4 P tersedia Bray-1 ppm P2O5 46,1 + 0,4

Nilai tukar kation

Cadd NH4OAc pH 7,0 me/100g 4,18 + 2,07 Mgdd NH4OAc pH 7,0 me/100g 1,12 + 1,19 Kdd NH4OAc pH 7,0 me/100g 0,16 + 0,11 KTK NH4OAc pH 7,0 me/100 g 8,88 + 5,01 KB NaCl % 48 + 29 Kemasaman Aldd KCl 1N me/100g 0,04 + 0,17 Hdd KCl 1 N me/100g 0,09 + 0,12

Tabel 3. Matrik korelasi antar sifat-sifat tanah lapisan atas contoh tanah Ultisol dari Deli Serdang Kode K-HCl Kdd Kadar liat pH H2O C-org N-org Cadd Mgdd KTK KB Aldd Hdd K-HCl 1,000 0,969** 0,091 -0,388 0,683** 0,633** 0,252 0,376 0,552** -0,175 0,366 0,327 Kdd 1,000 -0,003 0,281 0,627** 0,503* 0,420 0,400 0,288 0,385 0,171 0,177 Liat 1,000 -0,417 0,320 0,314 0,148 -0,050 0,365 -0,278 0,027 -0,152 pH H2O 1,000 0,184 0,076 0,671** 0,746** 0,045 0,899** -0,439* -0,192 C-org 1,000 0,953** 0,655** 0,437* 0,573** 0,284 0,097 -0,005 N-org 1,000 0,605** 0,413 0,654** 0,130 0,168 -0,015 Cadd 1,000 0,855** 0,795** 0,773** 0,228 0,070 Mgdd 1,000 0,585** 0,633** 0,110 -0,042 KTK 1,000 0,585** 0,332 0,235 KB 1,000 0,085 0,188 Aldd 1,000 0,414 Hdd 1,000 N = 20; r0.05 = 0,423; r0.01 = 0,537

Selain dengan kadar K dan KTK tanah, C-organik juga berkorelasi positip sangat nyata dengan N-organik, Ca dan Mgdd tanah (Tabel 3). Nitrogen dalam

tanah sebagian besar (> 90%) berasal dari bahan organik tanah. Pelapukan bahan organik sebagai akibat aktivitas

mikroba tanah membebaskan berbagai unsur hara seperti: N, P, dan S, asam amino sederhana, asam-asam organik, dan lain-lain (Havlin et al., 1999). Seperti halnya terhadap K, tapak jerapan bermuatan negatip yang berasal dari koloid organik juga berperan dalam

(7)

memegang kation Ca dan Mg agar tidak mudah tercuci.

Reaksi tanah berkorelasi positip sangat nyata dengan Ca dan Mgdd serta

KB tapi berkorelasi negatif nyata dengan Aldd. Demikian pula Cadd berkorelasi

positip nyata dengan Mgdd dan keduanya

berkorelasi positip nyata dengan KTK dan KB tanah (Tabel 3). Kalsium dan magnesium dalam tanah berasal dari senyawa kapur (Ca,MgCO3) yang akan

terurai dalam larutan tanah menjadi Ca2+,

Mg2+, dan CO

32-. Selanjutnya CO32- akan

mengalami hidrolisis menghasilkan HCO3-

dan OH- sehingga pH tanah meningkat.

Akibat peningkatan pH maka Al3+ akan

mengendap membentuk Al(OH)3 (Brady,

1984) sehingga Aldd turun. Selain itu

kalsium dan magnesium merupakan sumber basa tanah sehingga peningkatan kedua kation tersebut di dalam tanah

menyebabkan KB tanah meningkat.

Pengaruh K terhadap pertumbuhan tanaman

Pemberian K sampai dengan takaran 160 kg/ha tidak berpengaruh nyata terhadap tinggi tanaman umur 30 dan 60 HST di tiga lokasi percobaan. Kemudian pengaruhnya terhadap hasil biji kering tanaman hanya nyata di lokasi Tanjung Gusti. Namun demikian pemberian K cenderung meningkatkan hasil tanaman di semua lokasi yang dicoba. Peningkatan hasil tertinggi tercapai di lokasi Tanjung Gusti akibat pemberian 80 kg K/ha. Di lokasi tersebut hasil tanaman meningkat dari 0.81 menjadi 1,99 t/ha atau terjadi peningkatan sekitar 146% (Tabel 4).

Tabel 4. Pengaruh pemupukan K terhadap tinggi tanaman umur 30 dan 60 HST dan hasil biji kering kedelai pada tanah Ultisol Deli Serdang

Tingi tanaman (cm) Takaran K (kg/ha) 30 HST 60 HST Hasil (t/ha) Sei Putih 0 48,5 a 86,1 a 1,74 a 20 61,4 a 117,2 a 1,91 a 40 51,8 a 87,6 a 1,94 a 80 62,5 a 114,6 a 2,01 a 160 55,0 a 96,8 a 1,98 a Dolok Masehul 0 49,2 a 85,7 a 1,72 a 20 48,8 a 80,5 a 1,75 a 40 52,9 a 90,6 a 1,76 a 80 50,7 a 84,9 a 1,78 a 160 45,1 a 79,3 a 1,75 a Tanjung Gusti 0 51,9 b 86,0 a 0,81 b 20 56,1 ab 94,9 a 1,74 a 40 54,7 ab 96,1 a 1,97 a 80 61,4 a 97,2 a 1,99 a 160 56,8 ab 93,3 a 1,93 a

Angka pada kolom yang sama bila diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5% menurut DMRT.

Tanah di lokasi Tanjung Gusti

(8)

rendah dibanding tanah di dua lokasi lainnya, yaitu berturut-turut untuk lokasi Tanjung Gusti, Dolok Masehul, dan Sei Putih adalah 0,13 , 0,18 , dan 0,28 me/100g (Tabel 1). Pupuk yang diberikan ke dalam tanah segera masuk ke dalam sistem keseimbangan K larut dan K terjerap. Kadar K dalam larutan meningkat akibat pemberian pupuk, lalu K terjerap juga meningkat sehingga

ketersediaannya untuk tanaman meningkat. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilaksanakan di jenis tanah lainnya. Pemupukan K nyata meningkatkan hasil tanaman kedelai, terutama di tanah-tanah yang memiliki kadar K rendah seperti di di tanah Oxisols (Nursyamsi et al., 2004) dan Inceptisol (Nursyamsi dan Sutriadi, 2005). Demikian pula untuk komoditas

lainnya, pemupukan K nyata meningkatkan hasil tanaman tomat di tanah Latosol Darmaga (Amisnaipa, 2005) dan hasil ubi jalar di tanah Podsolik Kuamang Kuning (Wigena et al., 1993). Dengan demikian maka pemupukan K merupakan faktor produksi yang penting dan harus dilaksanakan di tanah-tanah yang berkadar K rendah.

Pengekstrak K tanah

Kadar hara kalium tanah terekstrak HCl 25% paling tinggi, sedangkan pengekstrak NH4OAc pH 7,0

paling rendah diantara pengekstrak yang diteliti. Selanjutnya kadar K tanah dari

tinggi ke rendah selengkapnya berturut-turut adalah HCl 25% > Olsen > Bray 2 > Bray 1 > Mechlich > NH4OAc pH 4.8 >

NH4OAc pH 7,0 (Tabel 5). Urutan

tersebut menunjukkan tingkat kemampuan pengekstrak dalam melarutkan kalium di tanah Ultisol. Kemampuan pengekstrak dalam melarutkan hara tanah tergantung jenis dan konsentrasi pereaksi serta lamanya pengocokan. Metode HCl mempunyai pereaksi HCl dengan konsentrasi 25% dan lama pengocokan 300 menit, sedangkan metode NH4OAc pH 7,0

mempunyai pereaksi NH4OAc 1 N dengan

lama pengocokan hanya 30 menit (Widjik Suranta dan Hardjono, 1996). Tabel 5. Korelasi antara kadar K tanah terekstrak beberapa metode ekstraksi dan persen hasil

kedelai pada Ultisol Deli Serdang

Kadar K (ppm K2O) Kadar P (ppm) Persen hasil Lokasi Mechlich NH4OAc

pH 4,8

NH4OAc pH 7,0

HCl 25%

Olsen Bray 1 Bray 2 Brang kasan Biji Sei Putih 1 437 149 28 710 663 469 517 29 83 Sei Putih 2 560 206 40 970 943 637 906 66 80 Sei Putih 3 487 182 31 1030 817 465 680 93 87 Dolok Masehul 1 48 20 9 1280 177 103 152 89 91 Dolok Masehul 2 77 29 6 1270 243 143 216 73 99 Dolok Masehul 3 71 26 6 1310 191 131 172 97 93 Tanjung Gusti 1 178 68 18 350 345 267 302 94 83 Tanjung Gusti 2 161 59 18 330 329 245 268 100 49 Tanjung Gusti 3 79 28 9 160 250 139 178 98 42 Koef. korelasi (r) Brangkasan -0,533 -0,492 -0,450 -0,133 -0,480 -0,541 -0,444 Biji 0,100 0,108 -0,008 0,824** 0,083 0,063 0,121 N = 9; r0,05 = 0,666; r0,01 = 0,798

Diantara tujuh pengekstrak yang diteliti, ternyata hanya HCl 25% yang berkorelasi positip sangat nyata dengan

persen hasil biji kedelai, sedangkan pengekstrak lainnya tidak berkorelasi nyata (Tabel 5). Hal ini menunjukkan

(9)

bahwa pengekstrak tersebut paling sesuai untuk menduga kadar K tanah Ultisol dalam kaitannya dengan penghitungan kebutuhan pupuk K untuk kedelai. Kesesuaian suatu pengekstrak untuk menduga kadar K tanah tergantung sistem tanah-tanaman. Pengekstrak yang sesuai untuk sistem Ultisol-kedelai adalah HCl 25; Inceptisol-kedelai adalah Bray 1 dan Bray 2 (Nursyamsi dan Sutriadi, 2005); sedangkan Oxisol-kedelai adalah NH4OAc pH 7,0 dan Olsen (Nursyamsi

et al., 2004). Pada sistem Oxisol-jagung, pengekstrak kalium yang sesuai adalah: Mechlich, HCl 25%, NH4OAc pH 4.8, dan

NH4OAc pH 7,0; sistem Inceptisol-jagung

adalah: Mechlich, HCl 25%, Bray 1, Bray 2, NH4OAc pH 4,8 , dan NH4OAc pH 7,0

(Nursyamsi, 2002); sedangkan sistem Inceptisol-tomat adalah NH4OAc pH 4,8

dan NH4OAc pH 7,0 (Amisnaipa, 2005) .

Kelas ketersediaan hara dan kebutuhan pupuk K

Hasil pengelompokkan nilai K terekstrak HCl 25% menurut prosedur Nelson dan Anderson (1977) menunjukkan bahwa batas krits K untuk tanaman kedelai di tanah Ultisol Deli Serdang adalah 340 dan 1150 ppm K2O.

Dengan demikian maka kelas

ketersediaan hara K adalah rendah (<340), sedang (340-1150), dan tinggi (> 1150 ppm K2O). Angka batas kritis

tersebut jauh lebih tinggi dibandingkan batas kritis K di tanah Inceptisol dan Oxisol. Batas kritis K tanah Inceptisol Subang hanya 23 atau 33 ppm K2O

masing-masing menurut pengekstrak Bray 1 dan Bray 2 (Nursyamsi dan Sutriadi, 2005). Sementara itu batas kritis K di tanah Oxisol Lampung hanya 15 ppm (NH4OAc pH 7,0) atau 40 ppm K2O

(Olsen).

Batas kritis hara tergantung dari sistem tanah-tanaman, artinya batas kritis suatu hara (misal kalium) akan berbeda untuk spesies tanaman yang berbeda (pada tanah yang sama) dan nilainya akan berbeda pula untuk tanah yang berbeda (pada spesies tanaman yang sama). Selain itu angka batas kritis tergantung juga terhadap pengekstrak yang sesuai di dalam suatu sistem tanah-tanaman yang bersangkutan. Batas kritis K menurut pengekstrak HCl 25% lebih tinggi dibandingkan dengan pengekstrak Bray 2, Bray 1, atau Olsen karena jenis dan konsentrasi pengekstrak serta lama pengocokan keempat metode tersebut berbeda.

Tabel 6. Persamaan regresi pada berbagai kelas hara K dan takaran pupuk K untuk tanaman kedelai di tanah Ultisol Deli Serdang.

Takaran pupuk (kg KCl/ha) Kelas hara K a b c R2

Maksimum Optimum Rendah 1,1837 0,0116 -3 x10-5 0,8073 210 85

Sedang 1,7201 0,0017 -7 x10-6 0,9427 190 2

(10)

0.00 0.50 1.00 1.50 2.00 2.50 0 100 200 300 400 Dosis KCl (kg/ha) H a s il (t/ h a )

Rendah Sedang Tinggi

y1 y2 y3

Gambar 1. Kurva respon tanaman kedelai terhadap pemberian K di tanah Ultisol Deli Serdang

Persamaan regresi untuk setiap kelas hara kalium tanah dan hasil perhitungan kebutuhan pupuk untuk mencapai hasil maksimum dan optimum disajikan di Tabel 6, sedangkan kurvanya pada Gambar 1. Takaran pupuk untuk mencapai hasil maksimum di kelas hara rendah, sedang, dan tinggi masing-masing 210, 190, dan 150 kg KCl/ha sedangkan takaran pupuk untuk mencapai hasil optimum hanya 85, 2, dan 0 kg KCl/ha. Seperti halnya batas kritis hara, kebutuhan hara tanaman juga tergantung sistem tanah-tanaman. Penelitian yang dilaksanakan di tanah Inceptisol Subang menunjukkan bahwa kebutuhan pupuk K untuk kedelai adalah 110 dan 10 kg KCl/ha masing-masing untuk kelas hara rendah dan tinggi (Nursyamsi dan Sutriadi, 2005). Sementara itu dalam sistem Oxisol-kedelai takaran optimum pupuk K untuk kedelai adalah 245 dan 68 kg KCl/ha (Nursyamsi et al., 2004) dan sistem Inceptisol-jagung adalah 119 kg MOP/ha (Nursyamsi et al., 2005).

KESIMPULAN

1. C-organik dan KTK tanah merupakan faktor tanah utama yang berpengaruh terhadap ketersediaan K di tanah-tanah Ultisol.

2. Pemberian K nyata meningkatkan hasil biji kering kedelai di lokasi Tanjung Gusti dimana hasil tanaman meningkat dari 0,81 menjadi 1,99 t/ha akibat pemberian 80 kg K/ha atau terjadi peningkatan sekitar 146%.

3. Pengekstrak HCl 25% merupakan metode ekstraksi K yang sesuai untuk menduga kadar K tanah Ultisol dalam kaitannya dengan penghitungan kebutuhan pupuk K untuk kedelai 4. Kelas ketersediaan hara kalium tanah

Ultisoll untuk kedelai berdasarkan pengekstrak HCl 25% adalah rendah (< 340), sedang (340-1150) dan tinggi (>1150 ppm K2O). Kebutuhan

pupuk untuk mencapai hasil maksimum adalah 210, 190, dan 150 kg KCl/ha, sedangkan untuk mencapai hasil optimum hanya 85, 2, dan 0 kg KCl/ha masing-masing untuk kelas K tanah rendah, sedang, dan tinggi.

(11)

DAFTAR PUSTAKA

Amisnaipa, 2005. Rekomendasi pemupukan kalium pada budidaya tomat (Lycopersicum esculentum Mill L.) menggunakan irigasi tetes dan mulsa polyethylene. Tesis Program Studi Agronomi, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Brady, 1984. The Natures and Properties of Soils. Macmillan Publishing Company, New York.

Havlin, J. L., J. D. Beaton, S. L. Tisdale and W. L. Nelson. 1999. Soil Fertility and Fertilizers An Introduction to Nutrient Management. 6th ed. Prentice Hall,

Upper Saddle River, New Jersey. pp. 497.

Nelson, L.A. and R.L. Anderson. 1977. Partitioning of soil test-crop response probability, p. 19-38. In Peck T.R., J.T. Cope Jr., D.A. Witney (Eds). Soil Testing : Correlation and Interpreting the analytical result. ASA Special Publ. No. 29. ASA-CSSA-SSSA, Madison, Wisconsin, USA.

Nursyamsi, D. 2002. Studi korelasi uji tanah hara K tanah Oxisol dan Inceptisol untuk jagung (Zea mays). J. Tanah Trop. 15:59-68. Nursyamsi, D., M.T. Sutriadi, dan U.

Kurnia. 2004. Penentuan kebutuhan pupuk kalium untuk kedelai (Glycine max L.) pada Typic Kandiudoxs berdasarkan prosedur uji tanah. J. Tanah Trop. 1:1-9.

Nursyamsi, D. dan M.T. Sutriadi. 2005. Penelitian uji tanah hara kalium di tanah Inceptisol untuk kedelai

(Glicyne max, L.). Agric, Jurnal Ilmu Pertanian No. 18/2005 (proses penerbitan).

Nursyamsi, D., Husnaen, A. Kasno, dan D. Setyorini. 2005. Efektivitas pupuk MOP Rusia Kancil untuk jagung (Zea mays, L.) di tanah Inceptisol Cibatok (Bogor) dan Ultisol Jagang (Lampung Utara). Jurnal Tanah dan Iklim 21/2005 (proses penerbitan).

Puslittan. 1983. Term of Reference Type A. Publ. P3MT-PPT, Bogor.

Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat. 2000. Atlas Sumberdaya Tanah Eksplorasi Indonesia, skala 1 : 1.000.000. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, Badan Litbang Pertanian.

Subagyo, H., N. Suharta, dan A.B. Siswanto. 2000. Tanah-tanah pertanian di Indonesia. Hal. 21-66

dalam Sumber Daya Lahan

Indonesia dan Pengelolaannya. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, Bogor.

Widjik Suranta, I M. dan A. Hardjono. 1996. Metode Analisis Tanah. PT Astra Agro Niaga, Jakarta.

Wigena, I G.P., J. Purnomo, dan J. Prawirasumantri. 1993. Peranan bahan organik, pupuk N, dan K terhadap produksi ubi jalar pada tanah Podsolik. Hal. 65-74 dalam Prosiding Pertemuan Teknis Penelitian Tanah dan Agroklimat, Bidang Kesuburan dan Produktivitas Tanah. Bogor, 12-21 Februari 1993. Puslibangtanak, Bogor.

Gambar

Tabel 1. Sifat-sifat tanah lapisan atas (0-20 cm) di lokasi percobaan lapang
Tabel 2. Kisaran sifat-sifat tanah lapisan atas contoh tanah Ultisol dari Deli Serdang  Sifat tanah  Metode/Ekstraktan  Satuan  Kisaran nilai
Tabel 4.   Pengaruh pemupukan K terhadap tinggi tanaman umur 30 dan 60 HST dan hasil biji  kering kedelai pada tanah Ultisol Deli Serdang
Tabel 5. Korelasi antara kadar K tanah terekstrak beberapa metode ekstraksi dan persen hasil  kedelai pada Ultisol Deli Serdang
+3

Referensi

Dokumen terkait

Tak menutup kemungkinan juga bahwa buruh-buruh bangunan yang ada di pemukiman bangsal perumahan Royal Spring dan perumahan Bumi Aroepala dulunya adalah golongan

Metodologi yang digunakan penulis dalam pengembangan sistem ini adalah metodologi ITERASI, dimana tahapan dalam motedologi iterasi ini yaitu fase survei sistem

namun sudah berpindah tangan menjadi milik pengusaha atau pejabat yang membeli dari masyarakat. Hal yang lebih memprihatinkan lagi adalah masyarakat menjadi pekerja pada

Hasil: Produksi ASI pada ibu nifas dengan kenaikan berat badan pada kelompok kontrol dengan rentang 100-250 gram, sedangkan kelompok eksperimen peningkatan berat

DEANGKRINGAN “desa anti kekeringan” adalah sebuah program yang dibuat bagi masyarakat untuk mengatasi wabah kekeringan ketika musim kemarau panjang yang melanda

Sistem transmisi adalah suatu sitem penyaluran energi listrik dari suatu tempat ketempat lain seperti dari stasiun pembangkitan ke gardu induk. Tenaga listrik

Data yang digunakan adalah data sekunder yang diperoleh dari Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Jawa Tengah dan Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan

[r]