• Tidak ada hasil yang ditemukan

USHUL FIQIH (Al- Amm dan Al-Khash)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "USHUL FIQIH (Al- Amm dan Al-Khash)"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

RESUME

USHUL FIQIH (Al-‘Amm dan Al-Khash)

Untuk Memenuhi Persyaratan Mata Kuliah Uahul Fiqih Dosen : Ainol Yaqin,M.Si,

Kelompok 3

1. Siti Aisah (161410131) 2. Jaenal Arifin (161410133) 3. Rizki Amalia Muharni (161410153) 4. TB. Jafar Shodik (161410154)

UIN SULTAN MAULANA HASANUDIN BANTEN

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM

JURUSAN EKONOMI SYARIAH

TAHUN AJARAN 2016-2017

(2)

AL-‘AMM

A. Pengertian ‘Amm

Pembahasan lafadz „amm dalam ilmu ushul fiqih mempunyai kedudukan tersendiri, karean „amm mempunyai tingkat yang luas serta menjadi ajang perdebatan pendapat ulama dalam menetapkan hukum. Dilain pihak sumber hukum islam pun, Al-Qur‟andan sunnah, dalam banyak hal memakai lafadz umum yang bersifat universal.

Lafadz „amm‟ ialah suatu lafadz yang menunjukan satu makna yang mencakup seluruh satuan yang tidk terbatas dalam jumlah tertentu. Para ulama ushul fiqih memberikan definisi „amm‟ antara lain sebagai berikut :

1. Menurut ulama Hanafiyah : “setiap lafadz yang mencakup banyak, baik secara laafadz maupun makna”

(Al-Badzawi:1:33)

2. Menurut ulama Syafi‟iyah, diantara Al-Ghazali : “saat lafadz yang dari satu

segi menunjukan dua makna atau lebih”

3. Menurut Al-Badzawi : “lafadz yang mencakup semua yang cocok untuk lafadz tersebut dengan satu kata”

B. Dilalah Lafazh Amm

Para ulama sepakat bahwa lafazh „amm yang disertai qarinah (indikasi) yang menunjukkan penolkan adanya takhsis adalah qath‟I dilalah. Mereka pun sepakat bahwa lafazh „amm yang disertai qarinah yang menunjukkan bahwa yang dimaksudnya khusus, mempunyai dilalah yang khusus pula. Yang menjadi perdebatan pendapat disini ialah lafazh „amm yang mutlaqtanpa disertai suatu qarinah yang menolak adanya takhsis, atau tetap berlaku umum yang mencakup satuan-satuannya.

Menurut hanafiah dilalah „amm itu qath‟I, yang dimaksud qath‟I menrut hanafiah ialah:

(3)

Artinya :“tidak mencakup suatu kandungan, yang menimbulkan suatu dalil”

Namun, bukan berarti tidak ada kemungkinan takhsis sama sekali. Oleh karena itu, untuk menetapkan ke-qathi-an lafazh „amm, pada mulanya tidak boleh ditaksis sebab apabila pada awalnya sudah dimasuki takhsis, maka dialahnya dzanni.

Mereka berasal, “sesungguhnya suatu lafazh apabila dipasangkan (di-wadha‟-kan) pada suatu mkana, maka makna tu berketetapan yang pasti, sampai adanya dalil yang mengubahnya, lebih tegas lagi mereka mengatakan:

“sesungguhnya lafzh „amm merupakan suatu hakikat, karna kosong dari segala yang menunjukkan satu ( makna khusus ) dan suatu lafazh, jika dalam keadaan mutlak. Begitu pula lafazh „amm yang mutlak dari suatu indikasi tentang kekhususannya menunjukkn pada makna umum, dan tidaklah berubah dari maknanya yang hakiki, kecuali dengan dalil”.

Pada masalah pertama , menurut imam Asy-Syafi‟iyah dan ahmad, apabila pertentangan antara lafadz khash yang terdapat pada khabar ahad dengan lafadz „amm Al-Qur‟an, maka khabar ahad itu dapat men-takhsis lafadz „amm Al-Qur‟an. Sekalipun lafadz „amm Al-Quran itu qath‟I subut nya, dilalahnya dzanni. Sebaliknya khas khabar ahad sesungguhnya dzanni subut-nya, tetapi qath‟I dilalahnya. Menurut pendapat ini, As-sunah dipandang sebagai penjelasan terhadap Al-Quran, walaupun khabar ahad.

Menurut hanafiyah kahabar ahad tidak men-takhsis Al-Quran, kecuali lafadz amm

Al-quran itu sebelumnya telah terkena takhsis. Mereka memandang bahwa dilalah „amm itu qath‟I, seperti yang telah diuraikan dimuka , dan takhsis bukanlah merupakan suatu penjelasan melainkan pembahasan pemakaian sebagian satuan lafadz „amm. Mereka menetapkan bahwa pada lafadz „amm itu, kehendak makna umumnya jelas , tegas dan tidak memerlukan penjelasan. Oleh sebab itu hanafiyah tidak mewajibkan tata tertib dalam berwudhu, karena ayat menegnai wudhu yaitu surah Al-Maidah ayat 6 sudah cukup jelas dan tegas tidak memerintahkan tertibnya berwudhu. Sedankan jumhur ulaama mewajibkan tertib dalam berwudhu karena berdasarkan hadits.

(4)

Lain halnya dengan Imam Malik, sungguhpun memandang bahwa lafaz „amm Al-Quran adalah zhanni, ia tidak selamanya menjadikan khabar ahad dapat men-takhsis lafazh „amm Al-Quran. Ia kadang-kadan berpegang pada lafazh „amm Al-Quran dan meningalkan khabar ahad, namun kadang-kadang men-takhsis lafadzh „amm Al-Quran dengan khobar ahad. Misalnya firman Alah SWT :

ﻚﻟﺬﹷﺀﺍﺮﻮﺎﻤﻢﻜﻠﻞﺤﺍﻮ

Artinya “ Dan Allah menghalalkan (menikah) selain itu (yang telah disebut)” . Ditakhsis dengan hadist:

ﺍﻬﺗﻟﺍﺧﻻﻮﺍﻬﺗﻤﻋﻲﻟﻋﺓﺃﺮﻤﻟﺍﺡﻜﻧﺗﻻ

“Wanita yang dilarang dinikahi adalah bibinya, baik dari pihak ayah maupun ibu”. Menurut Imam Malik, khabar ahad yang dapat men-takhsiskan lafadz „amm Al-Quran ialah khabar ahad yang didukung oleh perbuatan penduduk madinah atau dengan qiyas.

(5)

AL-KHASH

A.Pengertian Khash

Para ulama ushul berbeda pendapat dalam memberikan definisi khash. Namun, pada hakikatnya definisi tersebut mempunyai pengertian yang sama. Definisi yang dapat dikeukakan diini antara lain:

- Menurut Al-Bazdawi, definisi khash adalah “ setiap lafazh yang dipasangkan

dapa satu arti yang menyendiri, dan terhindar dari makana lain yang (mustarak)”.

Dengan definisi diatas, iamengeluarkan lafazh mutlaq dan mustaraq dari bagian lafadzh khas, dan bukan pula bagian dari lafadzh „amm. Pendapat ini dipegang pula oleh sebagian ulama syafi‟iah. Cara penujukkan lafazh atas satu arti ini bisa dalam berbagai bentuk, yaitu bentuk jenius, seperti lafadzh insanun dipasagkan pada hewan yang berpikir, atau berbentuk spesies ( Nau‟un ), seperti kata laki-laki dan wanita, atau berbentuk individual yang berbeda-beda tetapi terbatas, seperti bilangan angka-angka ( 3,5,100, dan seterusnya ).

B. Hukum lafadzh khash

Lafadzh yang terdapat pada nash syara‟ menunjukkan satu makna tertentu dengan pasi selama tidak ada dali yang mengubah maknanya. Dengan demikian, apabila ada suatu kemungkinan arti lain yang tidak berdasar pada dalil, maka keqahti‟an dilalahnya tidak terpengaruhi.

Oleh karena itu, apabila lfazh kash dikemukakan dalam bentuk mutkaq,tanpa batasan apapun, maka lafazh itu memberi faedah ketetapan hukum secara mutlaq, selama tida ada dalil yang membatasinya. Dan bila lafadz itu dikemukakan dalam benuk perintah, maka ia memberikan faedah berupa hukum wajib bagi yang diperinthakan ( Ma‟murbih), selama tidak ada dalil yang memalingkannya pada makna yang lain.demikian juga apabila lafadz itu dikemukakan dalam bnetuk larangan (nahy), ia memberika faedah berupa hukum haram terhadap hal yang dilarang itu, selama tidak ada qarinah (indikasi) yang memalingkanny dari hal itu.

Atas dasra itu, maka kta salasatin pada firman Allah SWT,dalam surah Al-Baqarah ayat 167, yang berbunyi:

(6)

ﻢﺍﻳﺼﻔﺪﺠﻳﻢﻟﻦﻤﻔ ﺔﺜﻼﺜ

ﻢﺍﻳﺍ

Mengandung penegrtian khash, yang tidak mungkin mengandung arti kuarng atau lebih dari makna yang dikehendaki oleh lafadz itu sendiri. Oleh karena itu dilalah maknanya adallah qatiyah.

Demikian juga apabila lafazdh itu dikemukakan dalam bentuk larangan ( Nahy ), ia memberikan faedah berupa hokum haram terhadap hal yang dilarang itu, selama tidak Atas dasar itu, maka kata salasatin pada firman Allah SWT pada Al- Quran Surat Al- Baqarah ayat 196 mengandung pengertian khash, yang tidak mungkin mengandung arti kurang atau lebih dari makna yang di kehendaki oleh lafazh itu sendir, yaitu tiga. Oleh karena itu, dilalah maknanya adalah qotiah.

C. Perbedaan Pendapat Akibat Keqath’ian Dilallah Khash.

Para ulama sepakat bahwa dilallah lafzh khash adalah qath. Namun merika berbeda pendapat dalam sifat ke-qaht‟iannya itu, apakah lafzh khash yang dipandang qaht dilallahnya itu sudah jelas dengan sendirinya, sehingga tida mempunyai kemungkinan penjelasan lain atau perubahan makna, atau kah sekalipun lafzh khash itu qaht‟i dilallahnya, tetapi kemungkinan mempunyai perubahan dan enjelasan yang lain.

Golongan hanafiah mereka berpendapat “ Sesungguhnya lafzh khash sepanjang telah memiliki arti secara tersendiri, berarti ia sudah jelas dan tegas dengan ketentuan lafzh- lafzh itu sendiri. Seandainya lafzh khash itu masih mempunyai kemungkinan perubahan dan penjelasan yang lain, pasti keadaan penjelasan itu menetapkan yang sudah tetap atau menolak yang sudah tertolak. Sedangkan keduanya ini tidak bisa ditrima.”

Dari sikapnya ini dapat ditarik kesimpulan pokok yaitu :

a. Mereka menetapkan bahwa lafzh khash itu tidak memerlukan penjelasan lain, sehingga dalam mengambil hokum dari satu dilallah khash, mereka tidak mengambil hadist- hadist yang berhubungan dengan penjelasan lafazh khash sebagai pembantu penjelasannya. Karena menurut mereka, dilallah khash tidak memerlukan penjelasan lain.

(7)

b. Karna mereka menyatakan bahwa lafazh khash Al- Quran itu qath‟i dilallahnya dan tidak memerlukan penjelasan ( bayan), maka setiap perubahan hukum denga nash yang lain dipandang sebagai penghapusan hukum, bukan penjelasan. Oleh sebab itu, nasikh ( penghapus hukum) harus sama kekuatan dilallahnya dengan Nash yang dihapus dilallahya ( Mansukh ).

Dengan demikian, apabila tidak sama kekuatan dilallahnya, maka tidak bisa di terima. Konsekuensinya lafzh khash yang qath‟i tidak bisa dihapus ( dinasakh ) dengan hadis ahad.

Golongan jummhur ulama antara lain safiy‟iyyah dan Malikiyyah mengambilpendapat yang menyatakan bahwa sekalipun lafzh khash itu dilallahnya qath‟i namun mempunyai kemungkinan berubahan makna soal waddha‟-Nya ( asal pemasangannya ), sehingga apabila terdapat nash yang mengubah dilallah khash itu, maka iya dipandang sebagai penjelasan terhadap lafzh khash itu. Dari sikap ini terdapat dua kesimpulan yang berbeda dengan pendapat pertama, yaitu :

a. Nash khash menerima penjelasan dan perubahan ( gol:11 )

b. Lafadzh khas Al-Quran menurut pandangannya tetap menerima penjelasn dan perubahan. Maka ia dipandang sebagai lafadzh mujmal. Oleh sebab itu lafazdh khas mungkin saja berubah melalui penjelasan; sungguhpun penjeasan itu kekuatan dilalahnya dari segi tersebut lebih rendah dari kekuatan khas itu tersebut, seperti hadist ahad.

Perbedaan pendatpat para ulama tentanag kedudukan dilalah khas tersebut berpengaruh terhadap beberapa masalah fiqih misalnya, pengertian ruku‟ pada ayat berikut:

ﻦﻳﻌﻜﺍﺮﻠﺍﻊﻤﺍﻮﻌﻜﺮﺍﻮ

Artinya “ ruku‟ lah bersama orang-orang yang ruku”

Ulama Hanafiyah memandang bahwa ruku‟ dalam shalat itu sebagaimana lafadzkhash untuk suatu perbuatan yang ma‟lum , yaitu condong dan berdiri tegak. Mereka menyatakan sesungguhnya ruku‟yang diperintahkan pada ayat itu dan merupakan bagian fardushalat adalah condong dan berdiri tegak tanpa thuma‟ninah.

(8)

Golongan syafiiyah memandang bahwa lafadzh khas tu mempunyai kemungkinan aadnya penjelasan atau perubahan, maka dari segi ini mereka memandang lafazh khash itu sebagai lafadzh mujmal. Oleh sebab itu merekaa mnerima kemungkinan adanya penambahan atas lafadzh khas yang terdapat pada Al-Quran dengan hadist ahad yang merupakan pejelasannya. Maka menuru golonan ini, tuma‟ninah yang disyariatkan leh hadist tersebut merupakanpenjelasaan terhadap ayat Al-Quran dan termasukfardu dalam ruku‟

D. Macam-Macam Lafadzh Khas

Lafadzh khas itu bentuknya banyak, sesuai denan kedaan dan sifat yang dipakai pada lafadz itu sendiri. Iaa kadang-kadang berbentuk mutlaq tanpa dibatasi suatu syarat atau qayyid apapun, terkadang berbentuk muqayyad, yakni ibatasi oleh qayyid kadang-kadang berbentuk amr (perintah), dan kadang berbentuk nahy (larangan).

Dengan demikian, macam-macam lafadzh khas mencakup: mutlaq, muqayyad, amr, nahyi.

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan ketentuan tersebut, penulis telah melakukannya sesuai pedoman ( metode tafsir al-maudhu`i ) yang berlaku dengan memilih tema’’nilai-nilai akhlak menurut

 deviden yang diumumkan  agio saham  modal sumbangan  laba ditahan  utang deviden  perusahaan perseorangan  persekutuan-akun modal Untuk memahami dengan baik

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 tahun 1999 tentang Pembentukan Kabupaten Daerah Tingkat II Way Kanan, Lampung Timur, dan Kotamadya Metro di Propinsi Lampung.. 114

KGMWT merupakan koperasi yang mewakili unit manajemen hutan rakyat yang telah melaksanakan skema sertifikasi mandatory yaitu untuk mendapatkan Sertifikat Legalitas Kayu (S-LK)..

Dari serbuk material hibrida hasil proses milling ini dilakukan pembuatan magnet hibrida melewati proses sintering dengan suhu sintering 1100 0 C, 1130 0 C, dan 1160 0 C..

Arief Ujiyantho dan Bambang Agus Pramuka membahas tentang Mekanisme Corporate Governance , Manajemen Laba dan Kinerja Keuangan(studi pada perusahaan go public sektor

Oleh karena itu untuk mencapai keberhasilan proses pendidikan di sekolah mengenah keatas khususnya SMK, seorang guru dituntut untuk dapat memilah dan pandai

Average abnormal return saham perusahaan undervalued yang melakukan pengumuman rights issue periode Januari 2010 sampai dengan Juni 2014 pada H-0 memiliki nilai positif