• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL DAN PEMBAHASAN Kandungan Nutrisi Pakan Burung Perkutut

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "HASIL DAN PEMBAHASAN Kandungan Nutrisi Pakan Burung Perkutut"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kandungan Nutrisi Pakan Burung Perkutut

Penelitian ini menggunakan 4 macam pakan utama berupa biji-bijian, yaitu gabah lampung, milet, jawawut dan ketan hitam. Adapun hasil analisa kandungan nutrisi pakan utama dapat dilihat pada Tabel3.

Berdasarkan hasil analisa nutrien pada masing-masing pakan utama maka terlihat kandungan protein kasar untuk jewawut sebesar 11.38%, ketan hitam 11.37%, milet sebesar 10.50%, dan gabah lampung sebesar 8.75%. Kandungan protein pada pakan utama tersebut sebagai zat nutrisi yang menunjang pertumbuhan perkutut sehingga ternak tersebut memiliki performen yang baik dan menghasilkan suara yang merdu. Menurut Soemadi dan Mutholib (2003) jumlah protein yang dikonsumsi burung ocehan dari pakan yang disediakan harus seimbang dengan kebutuhannya, tidak lebih dan tidak kurang. Apabila protein yang dikonsumsi berlebih maka sisanya akan diubah menjadi lemak sehingga menyebabkan burung menjadi gemuk dan terlihat malas. Sebaliknya, bila terjadi defisiensi konsumsi protein maka mengakibatkan burung menjadi kurus, kerdil, pertumbuhan bulu tidak sempurna, bersifat kanibal, tidak bergairah dan enggan bersuara. Untuk bersuara, burung memerlukan protein kurang lebih 35% dari jumlah makanannya (Soemadi dan Mutholib 2003).

Kandungan lemak kasar yang tertinggi pada masing-masing pakan utama adalah jawawut (2.53%) kemudian diikuti oleh ketan hitam (2.43%), gabah lampung (1.51%), dan milet (1.44%). Perlu diperhatikan bahwa jawawut sebagai kandungan lemak kasar yang tertinggi tidak diberikan dalam porsi banyak. Apabila jawawut diberikan berlebih sehingga meningkatkan bobot badan burung perkutut secara berlebih yang akhirnya menyebabkan burung tersebut jarang berkicau. Alasan tersebut diperjelas dengan pendapat Soemadi dan Mutholib (2003) bahwa kandungan lemak dalam pakan burung ocehan sebaiknya tidak lebih 8%. Hal ini disebabkan tidak semua lemak dapat dicerna tubuh yang akhirnya terbuang percuma bersama feces (kotoran) atau menumpuk di antara otot-otot tubuh maupun di bawah kulit. Sebagai akibatnya, burung menjadi gemuk sehingga malas bergerak dan jarang berkicau.

(2)

Tabel 3. Kandungan nutrien pakan utama

Komponen Gabah Lampung Milet Jewawut Ketan Hitam Kadar Air (%) Bahan Kering (%) Kadar Abu (%) Protein Kasar (%) Lemak Kasar (%) Serat Kasar (%) Gross energi (kal/g) Ca (mg/100g) P (mg/100g) Mg (mg/100g) Fe (mg/100g) Zn (mg/100g) Vitamin A (mg/100g) Vitamin C (mg/100g) 12.87 87.13 4.68 8.75 1.51 6.21 3 540 35.20 59.60 101.60 0.20 2.60 0.013 70.40 13.63 86.37 2.55 10.50 1.44 2.33 3 487 30.00 119.00 109.40 2.00 2.30 0.008 22.00 12.51 87.49 3.86 11.38 2.53 5.64 3 860 19.80 50.00 122.10 7.80 3.60 0.023 26.40 11.47 88.53 4.68 11.37 2.43 3.11 3 829 12.20 77.20 116.60 7.00 2.50 0.031 88.00 Keterangan :

• Hasil Analisis Proksimat di Laboratorium Nutrisi dan Makanan Ternak Fakultas Peternakan Universitas Mataram (2005)

• Hasil analisis dengan Bomb Calorimetry di Laboratorium Nutrisi dan Makanan Ternak Fakultas Peternakan Universitas Mataram (2005)

• Hasil analisis dengan Spectrophotometer di Laboratorium Kimia Analitik Universitas Mataram (2005)

Pakan yang baik dipilih berdasarkan dari kemampuannnya untuk menghasilkan energi. Jawawut diketahui memiliki gross energi yang tertinggi sebesar 3860 kal/g dibandingkan dengan ketan hitam (3829 kal/g), gabah lampung (3540 kal/g), dan milet (3487 kal/g). Gross energi yang tinggi pada Tabel 3 sesuai dengan tingginya lemak kasar yang dibutuhkan sebagai sumber energi. Menurut Fitri (2001) bahwa energi yang cukup bagi burung berkicau dibutuhkan untuk memproduksi suara.

Kandungan serat kasar yang tertinggi ditemukan pada gabah lampung (6.21%) kemudian jawawut (5.64%), ketan hitam (3.11%), dan milet (2.33%).

(3)

Meskipun serat kasar tidak mengandung nutrisi penting tetapi fungsinya sebagai pengatur ekskresi sisa makanan sangatlah penting. Menurut Piliang (2006) serat kasar membantu mempercepat ekskresi sisa-sisa makanan melalui saluran pencernaan. Diketahui dalam keadaan tanpa serat, feses dengan kandungan air rendah akan lebih lama tinggal dalam saluran usus yang dapat menyebabkan gangguan pada gerakan peristaltik pada usus besar sehingga ekskresi feses menjadi lebih lamban. Sebaliknya, pakan dengan serat kasar tinggi dapat mengurangi berat badan karena serat makanan akan tinggal dalam saluran pencernaan dalam waktu relatif singkat sehingga absorpsi zat makanan berkurang. Selain itu, serat kasar tinggi akan memberikan rasa kenyang karena komposisi karbohidrat kompleks yang menghentikan nafsu makan sehingga mengakibatkan turunnya konsumsi makanan (Piliang 2006).

Diketahui bahwa kandungan Ca dan P dalam pakan perkutut pada Tabel 3 berbeda-beda. Kandungan Ca tertinggi ditemukan berturut-turut pada gabah lampung (35.20 mg/100g), milet (30.00 mg/100g), jawawut (19.80 mg/100g), dan yang terendah ketan hitam (12.20 mg/100g). Adapun kandungan P yang tertinggi ditemukan pada milet (119.00 mg/100g) bila dibandingkan dengan ketan hitam (77.20 mg/100g), gabah lampung (59.60 mg/100g), dan jewawut (50.00 mg/100g). Peranan Ca bagi tubuh organisme terutama berfungsi pada berbagai proses antara lain proses pembentukan tulang, pembekuan darah, kontraksi otot dan proses induksi rangsangan saraf, sedangkan P berfungsi dalam kontraksi otot, pembentukan tulang dan aktivitas sekretoris. Kedua unsur ini sangat menentukan dalam proses pembentukan tulang dan telur, serta berperan dalam metabolisme karbohidrat. Burung yang mengalami kekurangan unsur tersebut akan memperlihatkan gejala nafsu makan menurun, pertumbuhan terganggu, terjadi pelunakan tulang (osteoporosis) dan bentuk tulang tidak normal (rakhitis) (Soemadi dan Mutholib 2003; Piliang 2004, 2006).

Berdasarkan hasil analisis, kandungan Mg tertinggi terdapat pada jewawut (122.10 mg/100g) dibandingkan ketan hitam (116.60 mg/100g), milet (109.40 mg/100g), dan yang terendah gabah lampung (101.60 mg/100g). Unsur ini sebagian besar ditemukan pada tulang dan sedikit terdapat dalam cairan dan

(4)

jaringan tubuh lainnya. Selain berperan dalam pembentukan tulang, Mg berperan dalam metabolisme karbohidrat dan fungsi sel saraf. Kekurangan Mg mengakibatkan pertumbuhan menjadi lambat, lesu dan nafas tidak teratur. Defisiensi yang akut menyebabkan terjadinya vasodilatasi (pelebaran pembuluh darah), kepucatan dan kematian (Soemadi dan Mutholib 2003, Piliang 2004).

Kandungan zat besi (Fe) pakan utama banyak terdapat pada jawawut (7.80 mg/100g) bila dibandingkan dengan ketan hitam (7.00 mg/100g), milet (2.00 mg/100g), dan gabah lampung (0.20 mg/100g). Zat besi memiliki peranan penting dalam proses pembentukan sel darah merah. Selain itu, untuk mentransport oksigen dalam bentuk hemoglobin. Apabila terjadi defisiensi maka dapat menyebabkan burung mengalami kekurangan darah yang ditandai dengan warna kulit burung tampak pucat (Leeson dan Summers 2001).

Berdasarkan hasil analisis nutrien pakan utama, Jawawut memiliki kandungan Zn tertinggi sebesar 3.60 mg/100g, selanjutnya diikuti oleh gabah lampung (2.60 mg/100g), ketan hitam (2.50 mg/100g), dan milet (2.30 mg/100g). Zn di dalam tubuh mempunyai peranan dalam perkembangan karakteristik seks sekunder dan pertumbuhan tubuh. Defisiensi Zn mengakibatkan pertumbuhan tubuh burung terganggu, bulu-bulu tumbuh kurang baik sehingga sayap memendek, testis yang mengecil (testicular atrophy), dan dapat menyebabkan kematian (Leeson dan Summers 2001, Piliang 2004). .

Kandungan vitamin A dan vitamin C yang terbesar terdapat dalam ketan hitam (0.031 dan 88.00 mg/100g). Vitamin A berperan dalam proses metabolisme sel, penglihatan, memelihara jaringan epitel yang melapisi saluran pencernaan, reproduksi dan perkembangan tulang. Adapun vitamin C dibutuhkan untuk pembentukan dan pemeliharaan suatu zat dalam tulang dan jaringan lunak serta dapat pula sebagai katalisator jaringan yang membantu dalam proses penyembuhan. Defisiensi vitamin C ditandai gejala askorbat dan pendarahan di seluruh tubuh (Leeson dan Summers 2001, Piliang 2004).

Berdasarkan hasil analisis nutrien dari keempat pakan pokok, yaitu gabah lampung, milet, jawawut, dan ketan hitam, ternyata jawawut mempunyai kandungan nutrien yang lebih tinggi dibanding gabah lampung, ketan hitam, dan milet. Nutrien yang tertinggi antara lain protein kasar, lemak kasar, gross energi,

(5)

Mg, Fe, dan Zn. Adapun gabah lampung memiliki kandungan serat kasar dan Ca yang lebih tinggi, sedangkan ketan hitam memiliki vitamin A dan vitamin C yang terbanyak kemudian milet hanya mempunyai kandungan P yang terbesar dari pakan pokok yang lain.

Hasil Ekstraksi Daun Saga, Sambiloto dan Pare

Ekstraksi adalah cara untuk memisahkan campuran beberapa zat menjadi komponen-komponen yang terpisah, sedangkan maserasi merupakan proses perendaman sampel dengan pelarut yang digunakan pada suhu ruangan. Pemilihan pelarut untuk proses ekstraksi dan maserasi akan memberikan efektifitas yang tinggi dengan memperhatikan kelarutan senyawa bahan tersebut (Winarno et al. 1973, Darwis 2000). Berdasarkan pertimbangan tersebut maka daun (saga, sambiloto dan pare) diekstrak dengan menggunakan metode maserasi air (H2O), yang proses akhirnya menghasilkan rendemen yang dapat dilihat pada Tabel 4.

Pada Tabel 4 terlihat bahwa daun sambiloto menghasilkan persentase nilai rendemen yang lebih tinggi (12.92%) dibandingkan dengan daun pare hutan (7.58%) dan daun saga (6.78%). Besaran persentase nilai rendemen yang dihasilkan akan berbanding terbalik dengan kandungan kadar air yang berada pada masing-masing daun segar, oleh karena itu persentase nilai rendemen sangat dipengaruhi oleh kadar air.

Tabel 4. Persentase rendemen yang dihasilkan dari proses ekstraksi Jenis Daun Berat segar (gr) Berat ekstrak (gr) Rendemen (%)

Saga

(Abrus precatorius linn) Sambiloto (Andrographis paniculata Ness) Pare Hutan (Momordica Charantia, L) 275.43 181.23 200.00 18.67 23.42 15.16 6.78 12.92 7.58

Keterangan: Hasil proses ekstraksi di Laboratorium Kimia Analitik FMIPA IPB (2005)

Kadar air dari masing-masing daun segar berdasarkan urutan kadar terendah hingga tertinggi adalah daun sambiloto sebesar 79.5%, daun pare hutan

(6)

sebesar 83.25% dan daun saga sebesar 83.39% (Lampiran 3). Persentase nilai rendemen tersebut digunakan untuk perhitungan berapa besar konsentrasi ekstrak daun yang diberikan pada setiap ekor perkutut dalam satu minggu. Dasar perhitungan konsetrasi ekstrak daun (saga, sambiloto dan pare) berdasarkan kebiasaan peternakan perkutut dalam memberikan daun saga sebanyak 30 lembar yang dikonversikan seberat 0.27 g dan nilai rendemen yang dihasilkan sebesar 6.78% sehingga menghasilkan konsentrasi ekstrak daun saga sebesar 0.018 g/ekor/minggu. Konsentrasi ekstrak daun tersebut diberikan dengan konsentrasi yang sama pada ekstrak daun sambiloto dan pare.

Berdasarkan hasil ekstraksi dari daun saga, daun sambiloto, dan daun pare maka ditemukan nilai rendemen yang tertinggi terdapat pada daun sambiloto, selanjutnya daun pare hutan, dan saga. Nilai rendemen dari ketiga daun tersebut dipengaruhi oleh kadar air yang terkandung dalam daun segar. Adapun dasar perhitungan konsentrasi ekstrak daun sambiloto dan ekstrak daun pare menggunakan hasil perhitungan konsentrasi ekstrak daun saga dengan menggunakan 30 lembar daun saga segar.

Hasil Analisa Kandungan Nutrien Ekstrak Daun Saga, Sambiloto dan Pare Ekstrak daun (saga, sambiloto dan pare hutan) merupakan bagian dari tanaman herbal yang berperan sebagai pakan tambahan (suplemen) dalam penelitian ini. Hasil analisa kandungan nutrisi ekstrak daun (saga, sambiloto dan pare hutan) dapat dilihat pada Tabel 5.

Ekstrak daun-daunan di atas memberikan sumbangan nutrisi terutama pada komponen lemak kasar, mineral mikro (Fe dan Zn) dan vitamin. Berdasarkan hasil analisa kandungan nutrisi ekstrak daun (saga, sambiloto dan pare hutan), maka terlihat kandungan lemak kasar tertinggi terdapat dalam ekstrak daun saga dibandingkan dengan ekstrak daun sambiloto dan ekstrak daun pare hutan. Lemak merupakan salah satu faktor yang bermanfaat di dalam tubuh sebagai bahan baku pembentukan hormon steroid yang mampu menghasilkan hormon testosteron sebagai hormon seks sekunder (Murray et al. 1999).

Kandungan zat besi (Fe) yang tertinggi ditemukan dalam ekstrak daun saga (49.86 mg/100g) dibandingkan ekstrak daun sambiloto (25.32 mg/100g) dan

(7)

ekstrak daun pare (9.93 mg/100g). Fe mempunyai peranan dalam tubuh sebagai pembawa oksigen untuk keperluan pembakaran di dalam sel tubuh. Defisiensi Fe berakibat terhadap timbulnya penyakit anemia dan juga mempengaruhi penurunan sintesis protein di dalam otak yang dapat menghambat munculnya impuls dari neuron ke neuron lain di otak sehingga otak tidak dapat berfungsi dengan normal (Piliang 2004; 2006). Ketidaknormalan fungsi otak tersebut dapat berakibat bukan hanya pada gangguan produksi dan proses belajar bersuara karena kedua hal itu dikontrol oleh sebuah daerah di otak yang disebut Vocal Control Region (VCR), tetapi juga gangguan pada hipotalamus yang mengontrol produksi hormon steroid.

Tabel 5. Kandungan nutrien ekstrak daun (asfed) Komponen Ekstrak Daun

Saga Ekstrak Daun Sambiloto Ekstrak Daun Pare Hutan Bahan Kering (%) Kadar Abu (%) Protein Kasar (%) Lemak Kasar (%) Serat Kasar (%) Ca (mg/100 g) P (mg/100 g) Mg (mg/100 g) Fe (mg/100 g) Zn (mg/100 g) Vitamin C (mg/100 g) Vitamin A (mg/100 g) 75.46 13.28 16.48 2.66 0.06 631 580 428 49.86 4.56 407 1.14 77.59 24.92 20.79 1.58 0.02 1 627 705 581 25.32 6.51 1 105 0.84 66.25 40.78 12.09 0.91 0.29 2 706 532 572 9.93 9.19 808 1.02 Keterangan :

• Hasil Analisis Proksimat di Laboratorium Nutrisi dan Makanan Ternak Fakultas Peternakan Universitas Mataram (2005)

• Hasil Analisis di Laboratorium Kimia Analitik Universitas Mataram (2005)

Berdasarkan hasil analisis ekstrak dedaunan ternyata ditemukan

kandungan seng (Zn) yang tertinggi terdapat dalam ekstrak daun pare (9.19 mg/100g) kemudian diikuti oleh ekstrak daun sambiloto (6.51 mg/100g) dan

(8)

peranan mineral seng adalah perkembangan karakteristik seks sekunder, yang pada burung dapat meliputi perkembangan suara.

Kandungan vitamin C dari masing-masing ekstrak daun secara berurutan sebagai berikut ekstrak daun sambiloto, ekstrak daun pare dan ekstrak daun saga. Menurut Prawirokusumo (1991) vitamin C digunakan sebagai antiinfeksi dan antistress oleh karena itu, vitamin C penting bagi kesehatan tubuh.

Kandungan vitamin A masing-masing ekstrak daun secara berurutan

sebagai berikut ekstrak daun saga (1.14 mg/100g), ekstrak daun pare (1.02 mg/100g) dan ekstrak daun sambiloto (0.84 mg/100g). Menurut Leeson dan

Summers (2001) vitamin A sangat berguna untuk organ mata dan fungsi indra penglihatan; proses metabolisme sel; memelihara jaringan epitel yang melapisi saluran pernafasan dan pencernaan.

Berdasarkan hasil analisis nutrien dari ekstrak daun saga, ekstrak daun sambiloto, dan ekstrak daun pare maka diperoleh kandungan nutrien yang terbanyak dan tertinggi terdapat pada ekstrak daun sambiloto selanjutnya pada ekstrak daun pare, dan ekstrak daun saga. Ekstrak daun sambiloto mengandung nutrien yang tertinggi karena mengandung protein kasar, P, Mg, dan vitamin C. Adapun ekstrak daun pare mengandung serat kasar, Ca, dan Zn yang tertinggi, sedangkan ekstrak daun saga mengandung lemak kasar, Fe, dan vitamin A yang tertinggi.

Konsumsi Ransum dan Konsumsi Nutrien Perlakuan

Rataan konsumsi ransum dan konsumsi nutrien perlakuan dapat dilihat pada Tabel 6. Berdasarkan Tabel 6 terlihat tingkat konsumsi ransum utama (gabah lampung, millet, jawawut dan ketan hitam) pada masing-masing perlakuan tidak berbeda nyata secara statistik, sedangkan bila dilihat menurut besaran maka konsumsi ransum yang terbanyak terdapat pada perlakuan D (penambahan ekstrak daun pare) dibandingkan dengan perlakuan C, A, B dan E. Tingkat konsumsi tersebut masih dalam taraf normal, karena menurut informasi dari Farm Prima Perkutut Bogor bahwa tingkat konsumsi ransum perkutut antara 5 - 6 g/ekor/hari.

Berdasarkan hasil penelitian konsumsi nutrien pada Tabel 6 terlihat bahwa lemak kasar yang tertinggi terdapat pada perlakuan B dan C (0.16 g/ekor/hari),

(9)

kemudian diikuti oleh perlakuan D (0.15 g/ekor/hari), perlakuan E (0.14 g/ekor/hari), dan terendah pada perlakuan A (0.12 g/ekor/hari). Hal ini

disebabkan kandungan lemak kasar ekstrak daun saga (B) lebih tinggi (2.66%) seperti yang terlihat pada Tabel 5. Burung perkutut yang mendapatkan pemberian ekstrak daun sambiloto (C) (1.58%) seperti yang terlihat pada Tebel 5 banyak mengkonsumsi jawawut (2.65%) dibandingkan dengan perlakuan lainnya (Purnamasari 2006).

Tabel 6. Rataan konsumsi ransum dan konsumsi nutrien perlakuan selama 39 hari pengamatan

Parameter Perlakuan Pakan

A B C D E Konsumsi Ransum 5.76 5.60 6.08 6.46 5.25 (g/ekor/hari) ± 0.47 ± 0.55 ± 0.50 ± 0.91 ± 0.42 Konsumsi Nutrien (ekor/hari) - Protein Kasar (g) 0.63 0.90 1.04 0.92 0.87 - Lemak Kasar (g) 0.12 0.16 0.16 0.15 0.14 - Serat Kasar (g) 0.22 0.22 0.28 0.25 0.19 - Gross Energi (Kal) 21 202 20 652 22 630 23 893 19 435

- Ca (mg) 1.38 12.66 30.66 50.20 30.98 - P (mg) 4.84 15.06 17.50 14.88 15.38 - Mg (mg) 6.64 14.12 17.53 17.73 15.51 - Fe (mg) 0.28 1.17 0.80 0.51 0.78 - Zn (mg) 0.17 0.24 0.29 0.35 0.27 - Vitamin C (mg) 1.84 9.60 22.34 17.39 16.26 - Vitamin A (mg) 0.00 0.02 0.02 0.02 0.02

Keterangan : Analisis keragaman pada konsumsi pakan menunjukkan tidak berbeda nyata A = Pakan Utama (Kontrol), B = Pakan Utama + Ekstrak Daun Saga,

C = Pakan Utama + Ekstrak Daun Sambiloto, D = Pakan Utama + Ekstrak Daun Pare Hutan, E = Pakan Utama + Ekstrak Kombinasi Daun

Konsumsi zat besi (Fe) yang terbanyak (1.17 mg) terdapat pada perlakuan B (penambahan ekstrak daun saga) dibandingkan dengan perlakuan C, E, D, dan A. Tingginya konsumsi zat tersebut dapat disebabkan oleh besarnya nilai zat besi

(10)

yang terkandung pada ekstrak daun saga (B) sebesar 49.86 mg/100g dibandingkan dengan ekstrak daun sambiloto (C) sebesar 25.32 mg/100g dan ekstrak daun pare (D) sebesar 9.93 mg/100g yang dapat dilihat pada Tabel 5. Fe memiliki peranan penting dalam proses pembentukan sel darah merah, sehingga bila terjadi defisiensi maka dapat mengakibatkan burung mengalami anemia yang ditandai dengan warna kulit burung tampak pucat (Piliang 2004, Soemadi dan Mutholib 2003).

Konsumsi seng (Zn) yang terbanyak terdapat pada perlakuan D (penambahan ekstrak daun pare) dibandingkan dengan perlakuan C, E, B dan A. Kandungan Zn yang tertinggi pada perlakuan D dikarenakan tingkat konsumsi ransum yang lebih tinggi pada perlakuan tersebut (Tabel 6) dan nilai Zn yang terkandung dalam ekstrak daun pare lebih tinggi (9.19 mg/100g) dari pada dalam ekstrak daun sambiloto (6.51 mg/100g) maupun ekstrak daun saga (4.56 mg/100g) yang dapat dilihat pada Tabel 5. Konsumsi nutrien Zn tersebut berperan pada beberapa kegiatan metabolisme dalam tubuh, diantaranya mengatur aktifitas enzim dan diduga mempunyai hubungan dengan hormon LH sebagai hormon perangsang untuk menghasilkan testosteron (Murray et al. 1999, Piliang 2006).

Konsumsi vitamin C yang terbanyak terdapat pada perlakuan C (penambahan ekstrak daun sambiloto) dibandingkan dengan perlakuan D, E, B dan A. Hal ini disebabkan oleh kandungan vitamin C yang terdapat dalam ekstrak daun sambiloto lebih tinggi (1 105 mg/100g)) dibandingkan dengan ekstrak daun pare (808 mg/100g) maupun ekstrak daun saga (407 mg/100g) yang terlihat pada Tabel 5. Menurut Piliang (2004) bahwa hampir semua spesies hewan dapat mensintesis vitamin C dalam tubuhnya, kecuali hewan primata, kelelawar pemakan buah-buahan dan burung yang tidak dapat mensintesis vitamin C dalam tubuhnya. Oleh karena itu, vitamin C perlu diberikan dalam ransum. Hal tersebut diperjelas oleh pendapat Prawirokusumo (1991) bahwa vitamin C sangat diperlukan oleh unggas dalam kondisi lingkungan yang panas, adanya stress manajemen dan penanganan hewan ternak. Vitamin C berperan dalam melawan stressor, sehingga akibat adanya stressor dari luar seperti terhadap penanganan ternak.

(11)

Berdasarkan hasil analisis rataan konsumsi ransum dan konsumsi nutrien pada masing-masing perlakuan maka disimpulkan bahwa burung perkutut yang diberikan perlakuan D (penambahan ekstrak daun pare) lebih banyak mengkonsumsi ransum (pakan utama) dibandingkan perlakuan C (penambahan ekstrak daun sambiloto), perlakuan A (kontrol), perlakuan B (penambahan ekstrak daun saga), dan perlakuan E (kombinasi ekstrak daun saga, sambiloto, dan pare). Adapun tingkat konsumsi nutrien yang terbanyak terdapat pada kelompok burung perkutut yang diberikan perlakuan C kemudian diikuti oleh perlakuan D, B, E, dan A. Burung perkutut yang menerima perlakuan C lebih banyak mengandung protein kasar, lemak kasar, serat kasar, P, vitamin C, dan vitamin A, sedangkan burung perkutut yang mendapatkan pemberian perlakuan D lebih tinggi kandungan gross energi, Ca, Mg, Zn, dan vitamin A. Selanjutnya kelompok perlakuan B lebih banyak mengandung lemak kasar, Fe, dan vitamin A kemudian kelompok perlakuan E hanya lebih banyak mengandung vitamin A akan tetapi untuk kelompok burung perkutut yang mengkonsumsi perlakuan A (kontrol) tidak memperoleh nutrien yang lebih tinggi artinya hanya memperoleh nutrien yang lebih rendah dari perlakuan lainnya.

Diferensiasi Sel-Sel Leukosit

Sel-sel darah putih (leukosit) terbagi menjadi dua kelompok besar, yaitu granulosit dan agranulosit. Granulosit mempunyai bentuk inti tidak teratur dan dalam sitoplasma terdapat granula spesifik yang dinamakan heterofil. Agranulosit mempunyai inti dengan bentuk teratur, sitoplasma tidak mempunyai granula spesifik. Agranulosit dapat digolongkan sebagai monosit dan limfosit (Frandson 1992). Rataan diferensiasi sel-sel leukosit yang meliputi heterofil, monosit dan limfosit disajikan pada Tabel 7.

Perlakuan dengan pemberian penambahan ekstrak daun saga, sambiloto dan pare tidak mempengaruhi persentase heterofil, monosit dan limfosit secara nyata. Hal ini menunjukkan bahwa perlakuan pemberian dedaunan tidak menyebabkan perubahan profil hematologi yang diindikasikan dari gambaran sel-sel leukosit. Bila dilihat dari besaran nilai maka terlihat adanya nilai heterofil yang tertinggi pada perlakuan D (penambahan ekstrak daun pare) sebesar 57.00% dibandingkan dengan perlakuan yang lain.

(12)

Tabel 7. Rataan diferensiasi sel-sel leukosit pada perkutut (%) Perlakuan Jenis Sel A B C D E Heterofil 53.50 ± 0.71 46.75 ± 15.35 43.50 ± 4.75 57.00 ± 18.40 54.67 ± 11.59 Monosit 1.50 ± 0.71 0.50 ± 0.58 0.00 ± 0.00 1.25 ± 2.50 1.00 ± 1.73 Limfosit 45.00 ± 0.00 52.25 ± 15.37 56.50 ± 4.75 41.75 ± 19.45 44.33 ± 11.50 Keterangan :

Analisis keragaman menunjukkan tidak berbeda nyata A (Ransum Kontrol)

B (0.018 gr ekstrak daun saga) C (0.018 gr ekstrak daun sambiloto) D (0.018 gr ekstrak daun pare)

E (0.006 gr ekstrak daun saga + 0.006 gr ekstrak daun sambiloto + 0.006 gr ekstrak daun pare)

Peningkatan tersebut diduga berkaitan erat dengan kandungan seng yang terdapat pada ekstrak daun pare maupun dalam konsumsi ekstrak daun pare pada perlakuan D. Khomsan (2006) melaporkan bahwa seng mempunyai efek terhadap fungsi imun yang ditandai dengan pengaruh aktivitas timulin, fungsi makrofag dan heterofil. Heterofil memiliki fungsi sebagai jajaran pertama untuk sistem pertahanan tubuh yang langsung bereaksi apabila terdapat partikel-partikel asing yang masuk kedalam tubuh. Aksi heterofil ini diwujudkan dengan cara migrasi ke daerah-daerah yang sedang mengalami serangan oleh bakteri, menembus dinding pembuluh darah dan menyerang bakteri untuk dihancurkan (Frandson 1992).

Persentase heterofil yang tinggi pada perkutut penelitian ditemukan pada pemberian penambahan ekstrak daun pare bila dibandingkan dengan burung merpati (Sturkie 1976), mengindikasikan adanya rangsangan penambahan jumlah heterofil untuk peningkatan sistem kekebalan dalam melawan partikel-partikel asing atau serangan penyakit sehingga perkutut tersebut tetap dalam kondisi sehat dan diharapkan mampu untuk menampilkan atau menghasilkan produksi suara yang lebih baik. Greenman et al. (2005) menyatakan sistem kekebalan

(13)

memerlukan energi dan nutrisi untuk melindungi tubuh dan melawan mikroorganisme patogen dan parasit.

Persentase limfosit perkutut tidak menunjukkan hasil yang nyata diantara perlakuan. Artinya penambahan ekstrak daun saga, sambiloto, dan pare serta kombinasi ketiga ekstrak daun tersebut tidak mempengaruhi persentase limfosit perkutut penelitian, sedangkan bila dilihat dari besaran persentase limfosit perkutut pada Tabel 7 maka terlihat persentase limfosit yang tertinggi terdapat pada perlakuan C (penambahan ekstrak daun sambiloto) sebesar 56.50% dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Nilai persentase limfosit yang tertinggi tersebut mengindikasikan adanya upaya perkutut untuk meningkatkan sistem kekebalan terhadap serangan penyakit maupun benda asing, sehingga ekstrak daun sambiloto berperan merangsang produksi limfosit dalam jumlah banyak. Menurut Kanniapan et al. (1991), Nuratmi et al. (1996), Prapanza dan Marianto (2003) bahwa daun sambiloto mengandung zat aktif yang disebut andrografolid (zat pahit) dan bersifat sebagai antiimflamasi dan antibakteri. Efek farmakologisnya mampu merangsang daya tahan seluler (fagositosis) terutama limfosit sehingga efektif untuk mengobati infeksi. Puri et al. (1993) menyatakan bahwa sambiloto dapat merangsang sistem kekebalan tubuh baik berupa respon kekebalan spesifik maupun non spesifik. Kekebalan spesifik ditandai dengan adanya peningkatan persentase limfosit dalam jumlah besar terutama limfosit B. Gross (1962) menyatakan bahwa pertahanan melawan infeksi virus maupun bakteri lebih banyak melibatkan peran limfosit dan heterofil secara berurutan.

Berdasarkan hasil analisis pada diferensiasi sel-sel leukosit maka disimpulkan bahwa kelompok burung perkutut yang diberikan perlakuan D (penambahan ekstrak daun pare) ditemukan adanya kandungan heterofil yang lebih tinggi daripada perlakuan lainnya, sedangkan jenis sel limfosit lebih banyak ditemukan pada kelompok burung perkutut yang mengkonsumsi perlakuan C (penambahan ekstrak daun sambiloto) dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Adanya kandungan heterofil yang tertinggi pada kelompok perkutut yang mengkonsumsi perlakuan D menunjukkan adanya peningkatan sistem kekebalan pada jajaran pertama sehingga langsung bereaksi apabila terdapat penyakit maupun benda asing yang masuk kedalam tubuh perkutut, sehingga perkutut

(14)

tersebut tetap dalam kondisi sehat dan mampu menampilkan atau menghasilkan produksi suara yang lebih baik.

Kandungan Mikro Mineral dan Hormon Testosteron dalam Plasma Pengaruh pemberian ekstrak daun (saga, sambiloto dan pare) terhadap kandungan mikro mineral dan hormon testosteron dalam plasma perkutut dapat dilihat pada Tabel 8. Kandungan Fe dari seluruh kelompok perlakuan pada Tabel 8 menunjukkan bahwa kandungan Fe dalam plasma perkutut berbeda nyata (P<0.05) dan hal ini diduga dipengaruhi oleh perlakuan. Berdasarkan uji lanjut Duncan diperoleh hasil bahwa perlakuan B (penambahan ekstrak daun saga) berpengaruh secara nyata terhadap kandungan Fe dalam plasma perkutut. Hal ini berhubungan dengan faktor-faktor yang mempengaruhi penyerapan Fe dalam tubuh. Faktor yang nyata mempengaruhi adalah jumlah kandungan zat besi pada makanan, dengan ekstrak daun saga mengandung mineral zat besi yang tertinggi yaitu sebesar 49.86 mg/100 g (Tabel 5) dan rataan konsumsi zat besi yang tertinggi 1.17 mgditunjukkan oleh perkutut yang diberi perlakuan B (penambahan ekstrak daun saga) (Tabel 6).

Tabel 8. Rataan dan simpangan baku kandungan mikro mineral dan hormon testosteron dalam plasma perkutut

Mikro Mineral (µg/ml) Perlakuan Fe Zn Hormon Testosteron (ng/ml) A 4.47 ± 0.40 b 6.47 ± 0.94 11.00 ± 1.41 B 11.04 ± 1.43 a 2.90 ± 0.78 13.25 ± 1.55 C 2.26 ± 1.56 b 5.78 ± 0.28 18.50 ± 4.95 D 3.05 ± 1.11 b 7.17 ± 2.98 19.62 ± 8.29 E 2.72 ± 1.07 b 6.68 ± 2.57 13.00 ± 2.65

Keterangan : Rataan dengan superskrip yang memiliki huruf tidak sama dalam satu kolom menunjukkan berbeda nyata (P<0.05)

A (Ransum Kontrol)

B (0.018 gr ekstrak daun saga) C (0.018 gr ekstrak daun sambiloto) D (0.018 gr ekstrak daun pare)

E (0.006 gr ekstrak daun saga + 0.006 gr ekstrak daun sambiloto + 0.006 gr ekstrak daun pare)

Fakta tersebut didukung oleh laporan Piliang (2004) bahwa ada tiga faktor yang mempengaruhi absorpsi zat besi dalam tubuh yaitu (1) kebutuhan metabolik tubuh

(15)

yang akan meningkat jika simpanan zat besi dalam tubuh rendah, (2) bentuk komponen zat besi yang terdapat dalam makanan, (3) ada atau tidaknya zat-zat nutrisi lain yang mempengaruhi absorpsi zat besi. Peranan utama zat besi adalah mentranspor oksigen (O2) dan karbondioksida (CO2) melalui hemoglobin untuk keperluan pembakaran di dalam sel tubuh. Defisiensi zat besi dalam tubuh diantaranya berdampak pada penurunan kadar neurotransmiter serotonin di sistem saraf pusat (otak) dapat mengakibatkan kerusakan otak yang permanen dan mempunyai konsekuensi yang berkelanjutan pada umur dewasa (Piliang 2004, 2006).

Pada Tabel 8 terlihat bahwa rataan kandungan seng dalam plasma perkutut dari masing-masing perlakuan berkisar antara 2.90 – 7.17 µg/ml. Kandungan seng dalam plasma perkutut tidak terdapat perbedaan yang nyata antar perlakuan. Hal ini disebabkan nilai kandungan seng pada ekstrak daun (saga, sambiloto dan pare) (Tabel 5) dan nilai rataan konsumsi pada masing-masing perlakuan yang tidak berbeda jauh (Tabel 6). Berdasarkan besaran kandungan seng dalam plasma perkutut maka terlihat pada perlakuan D bahwa kandungan seng dalam plasma kelompok tersebut mencapai nilai tertinggi sebesar 7.17 µg/ml dibandingkan perlakuan lainnya. Hal ini sesuai dengan besaran kandungan seng dalam ekstrak daun pare yang tinggi (Tabel 5) dan nilai rataan konsumsi seng yang tinggi diperoleh dari perkutut yang diberi perlakuan D (penambahan ekstrak daun pare) (Tabel 6).

Menurut Piliang (2006) absorpsi mineral seng dipengaruhi oleh kadar mineral seng dalam ransum serta terdapatnya zat-zat yang dapat mengganggu absorpsi mineral seng seperti mineral kalsium, asam fitat dan beberapa zat pengikat. Akibat perubahan absorpsi seng maka berdampak pada metabolisme dalam tubuh karena sejumlah 70 macam enzim metal (Metalloenzyme) memerlukan mineral seng agar dapat berfungsi termasuk diantaranya enzim karbonik anhidrase. Beberapa metaloenzim berperan dalam mengatur pertumbuhan sel, terutama enzim karbonik anhidrase yang ditemukan dalam sel-sel darah merah dan sel-sel-sel-sel Parietal yang terdapat dalam lambung. Reaksi ini memegang peranan penting dalam transport karbondioksida (CO2) oleh darah pada mekanisme respirasi. Selain itu, mineral seng juga mempunyai hubungan

(16)

dengan beberapa macam hormon diantaranya Follicle Stimulating Hormone (FSH) dan Luteinizing Hormone (LH), karena hormon-hormon tersebut sangat diperlukan dalam mensintesis hormon testosteron (Piliang 2006).

Kandungan hormon testosteron dalam plasma perkutut dapat dilihat pada Tabel 8. Rataan kandungan testosteron dalam plasma perkutut dari masing-masing perlakuan berkisar antara 11.00 – 19.62 ng/ml. Pengaruh perlakuan terhadap kandungan testosteron tidak berbeda nyata. Apabila diperhatikan dari masing-masing nilai rataan ternyata dengan penambahan ekstrak daun pare (perlakuan D) menghasilkan kandungan testosteron yang tinggi dan nilai tersebut masih tergolong dalam konsentrasi yang normal bagi bangsa merpati (Columbidae) sekitar 15 – 98 ng/ml (Sturkie 1976).

Meningkatnya kadar testosteron pada perlakuan D berkaitan erat dengan pengaruh zat makanan terhadap sintesis hormon tersebut. Adapun zat makanan yang dimaksud antara lain protein, lemak, mineral seng (Zn) dan magnesium (Mg). Protein diperlukan sebagai bahan penyusunan faktor-faktor yang mempengaruhi sekresi (releasing factors) hormon testosteron. Hal ini sesuai dengan pendapat Nalbandov (1990) bahwa ’releasing factors’ tersusun dari polipeptida yang memiliki berat molekul kecil kurang dari 1000. Lemak yang terkandung dalam perlakuan D (penambahan ekstrak daun pare) seperti yang tercantum pada Tabel 6 diduga merupakan zat makanan yang berfungsi sebagai sumber kolesterol yang merupakan prekursor semua senyawa hormon steroid dalam tubuh, antara lain hormon testosteron. Menurut Murray et al. (1999) testosteron dikonversi melalui pregnenolon, sedangkan pregnenolon diproduksi oleh kolesterol yang bersumber dari lemak. Berdasarkan Tabel 6 terlihat adanya peningkatan mineral seng dalam konsumsi nutrien pada perlakuan D (penambahan ekstrak daun pare) sehingga berdampak pada peningkatan hormon testosteron dalam plasma burung pada Tabel 8. Peningkatan tersebut mungkin disebabkan karena mineral seng berperan pada metabolisme tubuh terutama dalam hubungan dengan sekresi hormon testosteron. Hal ini sejalan dengan pendapat Pilliang (2006) yang menduga bahwa mineral seng memiliki hubungan dengan Follicle Stimulating Hormone (FSH) dan Luteinizing Hormone (LH). Selain kolesterol terdapat juga mineral magnesium (Mg) yang pada Tabel 6 terlihat nilai konsumsi

(17)

nutriennya lebih tinggi yang terdapat pada perlakuan D (penambahan ekstrak daun pare) yang diduga meningkatkan kandungan hormon testosteron dalam plasma perkutut pada perlakuan D (Tabel 8). Hal ini disebabkan magnesium berfungsi dalam mekanisme kerja sinaps yang berhubungan dengan neurotransmiter glutamat (Okumoto 2005). Informasi tersebut sesuai dengan pendapat Piliang (2004), bila terjadi defisiensi magnesium dalam tubuh maka akan mengganggu sistem saraf. Adapun pendapat Nalbandov (1990) serta Junqueira dan Carneiro (1982) bahwa sistem endokrin dan saraf saling berhubungan erat antara satu dengan yang lain karena hormon-hormon dari banyak kelenjar endokrin diatur oleh hipotalamus dan hipofise yang berada di sistem saraf pusat yang mengatur sekresi hormon dan beberapa organ endokrin dirangsang atau dihambat oleh mekanisme saraf.

Greenman et al. (2005) menyatakan bahwa peningkatan hormon testosteron pada hewan vetebrata jantan juga dipengaruhi oleh musim kawin. Burung perkutut jantan mulai boleh dikawinkan pada umur dewasa kelamin dan dewasa kelamin burung perkutut jantan dimulai pada umur 6 bulan. Hal ini sesuai dengan waktu penelitian yang pemeliharaannya hingga umur 8 bulan. Hormon testosteron berpengaruh pada perkembangan karakteristik seks sekunder pada hewan jantan (Emerson 2000). Perkembangan karakteristik seks sekunder pada hewan jantan antara lain suara, meliputi pembesaran larynx, ‘vocal cord’ meningkat menjadi panjang dan tebal, dan suara menjadi lebih dalam.

Berdasarkan hasil analisis dari kandungan mikro mineral (Fe dan Zn) dan hormon testosteron dalam plasma burung perkutut maka ditemukan kandungan Fe yang secara statistik berbeda nyata (P<0.05) terdapat pada perlakuan B (penambahan ekstrak daun saga), sedangkan kandungan Zn dan hormon testosteron tidak berbeda nyata tetapi secara besaran ditemukan pada perlakuan D (penambahan ekstrak daun pare) dengan kandungan Zn dan hormon testosteron lebih besar dari perlakuan lainnya. Adapun pengaruh perlakuan B terhadap kandungan Fe mengindikasikan adanya peningkatan absorpsi Fe dalam tubuh karena kebutuhan metabolik yang meningkat, bentuk komponen Fe yang terdapat dalam pakan, dan tidak adanya zat anti nutrisi yang mempengaruhi absorpsi Fe. Manfaat yang diperoleh dari besarnya Fe dalam tubuh perkutut secara tidak

(18)

langsung sebagai pembawa oksigen untuk keperluan pembakaran di dalam sel tubuh perkutut. Untuk kandungan Zn dan hormon testosteron dengan Zn diduga mempunyai hubungan dengan hormon FSH dan LH dalam menghasilkan testosteron.

Durasi Suara Perkutut

Durasi suara adalah waktu tempuh suara dalam detik pada saat perkutut mengemisikan sebuah suara secara lengkap. Durasi suara merupakan bagian dari pembentukan irama burung perkutut yang berkualitas, karena semakin panjang durasi suara yang dihasilkan maka semakin tinggi penilaian suara tersebut. Durasi suara terdiri dari beberapa bagian, diantaranya durasi silabel (syllable) yaitu waktu tempuh dalam satu silabel dan durasi antar silabel yaitu waktu tempuh antara silabel pertama dengan silabel kedua. Adapun Rataan perlakuan terhadap durasi suara dapat dilihat pada Tabel 9.

Tabel 9. Rataan durasi suara burung perkutut (detik) Perlakuan Durasi A B C D E Silabel 0.190 ± 0.026 0.192 ± 0.041 0.193 ± 0.050 0.220 ± 0.043 0.213 ± 0.015 Antar Silabel 0.090 ± 0.019 0.106 ± 0.015 0.110 ± 0.014 0.122 ± 0.053 0.120 ± 0.010 Keterangan :

Data cuplikan untuk menganalisa durasi syllable dan antar syllable bersumber dari (Purnamasari 2006). Analisis keragaman menunjukkan tidak berbeda nyata

A (Ransum Kontrol)

B (0.018 gr ekstrak daun saga) C (0.018 gr ekstrak daun sambiloto) D (0.018 gr ekstrak daun pare)

E (0.006 gr ekstrak daun saga + 0.006 gr ekstrak daun sambiloto + 0.006 gr ekstrak daun pare)

Apabila ditinjau dari rataan masing-masing perlakuan, maka durasi terpanjang pada kedua parameter suara (durasi silabel dan durasi antar silabel) terdapat pada perlakuan D (penambahan ekstrak daun pare). Hasil tersebut sejalan dengan hasil penelitian Purnamasari (2006) bahwa perkutut yang mendapat

(19)

perlakuan D (penambahan ekstrak daun pare) memiliki jumlah repertoire yang lebih besar. Jumlah repertoire adalah jumlah total cuplikan suara lengkap, dihitung berdasarkan jumlah cuplikan suara yang diambil selama 6 jam/hari (pukul 08.00 – 11.00 dan 11.00 – 14.00). Jumlah repertoire perlakuan D berkisar antara 8.27 – 26.73 suara, yang mengindikasikan adanya jumlah repertoire yang semakin meningkat nyata secara statistik (P<0.05). Hal ini diduga karena rataan konsumsi oleh perkutut yang diberi perlakuan D (penambahan ekstrak daun pare) memperlihatkan jumlah nutrien (lemak, seng dan magnesium) yang tinggi (Tabel 6) dibandingkan dengan perlakuan lainnya.

Zat nutrisi dari ekstrak dedaunan perlakuan D (penambahan ekstrak daun pare) tersebut diduga merupakan zat yang berpengaruh terhadap emisi suara terutama pada waktu tempuh setiap elemen suara (durasi silabel) dan waktu tempuh saat tidak bersuara diantara elemen suara (durasi antar silabel). Zat nutrisi yang dikonsumsi oleh burung perkutut dibutuhkan untuk proses metabolisme di dalam tubuh secara normal guna pembentukan energi. Energi berguna untuk semua proses vital dalam tubuh hewan, antara lain misalnya dalam penggunaan untuk menghasilkan suara dengan durasi yang panjang. Selain itu, adanya peningkatan jumlah repertoire diduga disebabkan kandungan nutrien dari pakan dan ekstrak daun yang diberikan. Menurut pendapat Fitri (2006, komunikasi pribadi) bahwa burung yang menghasilkan repertoire panjang memiliki energi yang berlebih untuk mengemisikan suara secara terus menerus dalam kurun waktu tertentu.

Selain itu, zat nutrisi juga memberikan respon terhadap sintesis hormon terutama hormon testosteron yang mempunyai peranan dalam mengembangkan dan mempertahankan sifat seks sekunder pada hewan unggas jantan, yang antara lain meliputi suara (Sturkie 1976). Hal tersebut sesuai dengan pendapat Ganong (1983) bahwa pengaruh terhadap perkembangan karakteristik seks sekunder pada jantan yang dimanifestasikan dalam emisi suara yang meliputi pembesaran larynx, syrinx, dan trachea. Kandungan hormon testosteron dalam darah berperan sebagai pengatur perkembangan syrinx (Turner dan Bagnara 1988). Pernyataan tersebut sesuai dengan penjelasan McCasland (1987) yang menyatakan bahwa produksi suara burung merupakan hasil kerjasama antara otot pernafasan pada trakea

(20)

dengan organ pengatur suara (syrinx) yang diatur oleh sistem saraf. Schlinger (1998) menyatakan bahwa burung dewasa dengan gonad yang memiliki kadar hormon steroid yang tinggi akan memperlihatkan penampilan perilaku reproduksi seks yang spesifik. Ketika muncul peningkatan kadar hormon testosteron pada jantan maka terlihat adanya perilaku reproduksi yang salah satunya adalah burung mengeluarkan suara isyarat (song) yaitu suara berkomunikasi dalam memanggil pasangan dan menyongsong kawin serta biasanya terdengar terutama saat burung berada dalam keadaan sehat.

Menurut Sudibyo (1998) zat aktif pun mempunyai peranan yang tidak kalah penting yang berhubungan dengan suara. Zat aktif yang dikandung pada ekstrak daun pare terdiri dari saponin dan flavonoid. Saponin terbagi menjadi dua, yaitu saponin triterpenoid dan saponin steroid. Saponin steroid mempunyai aktivitas sebagai prekursor hormon, sedangkan saponin triterpenoid dapat berfungsi sebagai ekspektoran yang mengangkat lendir esofagus (obat batuk). Sementara flavonoid berfungsi sebagai antiradang, terutama berguna dalam menjaga kesehatan.

Apabila durasi silabel dan durasi antar silabel yang diemisikan terdengar lama pada individu burung perkutut yang sedang dilombakan, maka burung tersebut akan mendapatkan penilaian yang baik. Menurut Soemadi dan Mutholib (2003) perkutut yang bagus saat manggung, harus memiliki pause (masa selang) antara silabel satu dengan silabel berikutnya sehingga terdengar selaras atau serasi yang disebut wilet. Pause (masa selang) sangat menentukan dalam memberikan kenyamanan irama bagi pendengarnya.

Berdasarkan hasil analisis durasi suara perkutut melalui kedua parameter suara yaitu durasi silabel dan durasi antar silabel maka secara statistik diperoleh hasil yang tidak berbeda nyata pada setiap perlakuan. Namun, bila dilihat dari besaran maka perlakuan D (penambahan ekstrak daun pare) memberikan respon pada burung perkutut dalam menghasilkan suara yang mempunyai durasi silabel dan durasi antar silabel yang lebih panjang dibandingkan dengan respon dari perlakuan yang lain. Suara yang dihasilkan oleh burung perkutut tidak terlepas dari faktor kesehatan individu perkutut dan nutrien yang dikandung oleh pakan.

Gambar

Tabel 3. Kandungan nutrien pakan utama
Tabel 4. Persentase rendemen yang dihasilkan dari proses ekstraksi  Jenis Daun  Berat  segar (gr)  Berat  ekstrak (gr)  Rendemen (%)
Tabel 5. Kandungan nutrien ekstrak daun (as fed)  Komponen  Ekstrak Daun
Tabel 6. Rataan konsumsi ransum dan konsumsi nutrien perlakuan selama 39 hari                  pengamatan
+4

Referensi

Dokumen terkait